You are on page 1of 9
223 PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL Dadang Makmun PENDAHULUAN Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal refx disease/GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keteribatan esofages, faring. laring dan saluran nafas. Telah ciketahui bahwa refluks kandungan lambung ke esofagus dapat menimbulkan berbagai gejala ¢\ esofagus maupun ckstraesofagus, dapat menyebabkan komplikas yang berat sepertstrktur Barets esophagus bahkan adeno kasinoma di kardia dan esofagus. Banyak abl yang menggunakan istilah esofagitis refluks, yang merupakan keadaan terbanyak dari penyakit refiuks gastroesofageal. Keadaan ini umum dtemukan pada populasi di negara- negara Barat, namun dilaporkan relatifrendah insidennya i negara-negaraAsia-Afrika. D1 Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala retiuks (heartburn dan/atau reguraitas) sekali dalam seminggu sertalebin dari 40% mengalamigejala tersebut skal dalam sebulan Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 73, sementara di negara-negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,53 di China dan 2.7% di Korea) Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengensi peenyakit in, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen limu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia (Syafruddin, 1998) Tingginya gejala refiuks pada populas di negara- negara Barat diduga disebabkan karena faktor diet dan meningkataya obesias. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks Smm tanpa saling berhubungan _Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/ mengellingi seluruh lumen D-—_Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelling! séuruh lumen esofagus) PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett's esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esotagjtis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain Klaifikasi Los Angeles dan klasifikast Savarry-Mile. Esofagografi dengan barium. Dibandingkan dengan ‘endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus cesofagitisringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1) stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, 2). hiatus hernia, Pemantauan pH 24 jam. Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifiasi bagian distal esofagus, Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pl pada bagian cistal esofagus. Pengukuran pH pad@ esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada Jarak § cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. ‘Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCI 0,1 M dalam waktu kurang dari satu jam, Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien ‘dengan gejala yang tidak kas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasarya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa ayer, maka Tes ini dianggap positit. Tes Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus. Manometri esofagus. Tes manometri akan memberi manfaat yang berart jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal Sintigrafi gastroesofageal. Pemeriksaan inimenggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutaya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari 40 tahun, PENATALAKSANAAN \Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulaya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka Seyoayanya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai diakakan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah: a) menyembuhkan lesi esofagus, 6). menghilangkan gejala/ keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas hidup, e). mencegah timbulnya komplikas Modifikasi Gaya Hidup Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan Pengobatan primer Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannye, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut: 1). Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum ‘tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ‘ke esofagus; 2). Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mermpengaruhi sel-sel epitel 3). Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung; 4), Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen; 1752 5). Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam; 6). Jika memungkinkan _menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik,teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progesteron Pendekatan’Step-up" PPI (Dosis standar) HORA (Dosis standar) H2RA (Desis anti refluks) Pendekantan * Step-Cown N Gambar 3. Strategi pengobatan GERD Terapi Medikamentosa Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi ‘madikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini, Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supres! asam lebih efektif daripada pernserian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motites. ‘Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down, Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tercolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat Pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up. Menurut Gerval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down, Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di atas 80% dalam waktu 6-8 ‘minggu. Untuk selanjutrya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi bila perlu" (on demand therapy) yaitu pemberian, obat- ‘obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jka ada kekambuhan sampai gejala hilang, GASTROENTEROLOG! Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efekaif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD. Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD: ‘Antasid. Golongan obat ini cukup efektf dan aman dalam ‘menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCi, obat ini dapat memperkuat tekaran sfingter esofagus bagian bawah, Kelemahan golongan obst ini adalah 1). Rasanya kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal Dosis: sehari 4x1 sendok makan Antagonis reseptor H2. Termasuk dalam golongan obatini adalah simetidin, raniciti, famotidin dan nizatidin, Sebagai ppenekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakitrefluks gastroesofageal ka diberikan 40 tahun a Gala Khas GERD ‘Heartburn Regurgitasi — J ae Gejala menetap/berulang ‘Gejala peringatan umur <40 tahun te Terapi empiric Respons balk [Ferapi minimal 4 minggu! oe a Lr——— Gambar 4 "erga 88 | cxsapabgetie GERD even Teaco Dseiak 4 ss | Teen trei Teas val co ree sss anmggi sat ps ee eae Terapia per (©n demand therapy) Terapi pemelinaraan (maintenance therapy) ‘Gambar 5. Alur pengobatan pasien diduga GERD PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL 1755 Barrett Esophagus | Metapiasia peda pemenksaan biopsi Tidak ada Displasia displasia dealat rendian Displasia deraat tinggi ¥ + Biopsi setiap | [-Pevawatan tahun ‘medi intensit - Uiang biopsi setelah 3 bulan| Riview oleh 2 orang anki: patologi anatom jk meragukan biopsi wlang { 4 ‘Adenokarsinoma Displasia deraat tinggi J Tindakan bedah [pertimbangkan Gammbar 6. Tatalaksana Barett’s sering tidak memberikan respons dengan pengobatan PPI serta menutupi perbaikan gejala tefluksnya; 3). Pada beberapa pasien, diperlukan waktu yang lebih lama Untuk menyembuhkan esofagitisnya; 4), Kadang-kadang beberapa kasus Barrett’: esophagus tidak memberikan respons terhadap terapi PPI, Begitu pula halnya dengan adenokarsinoma, S). Teradi striktur; 6). Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES. ‘Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting Jka terapi medikamentosa gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang, Umumnya pembedahan yang ditakuker adalah fundoplikasi Terapi Endoskopi Welaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian, akhirakhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERO, yaitu: + penggunaan energicadiofrekuensi + plikasi gastrik endoluminal implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implandi bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumen esofagusbagian distal menjadi lebih ect tindakan bedah| REFERENSI Dadang Makmur. Management of gastroesophages) reflux disease, Gasttoenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy 200 20) 21-7, Dent |. Definition of reflux disease and its separation from lpspepsia, Gut 2002, 50 (suppl 1V):iv 17-120, Dent}, Bru, Fendrick AM, Fennerty MB, Janssens] KauilasP, ‘Lhuriten K, Reynolds JC, Shave M, Talley NJ, An evidence ‘based appraisal of refine disease management - TheGeaval Workshop Report. Gut 1999; 44 Suppl.2) S186, Fass R, Ofman JJ. Gastrocsohageal rellux disease ~ should we adopt a new conceptual Framework?, Am} Gastroenter 2002; 978): 19019. Fock KM, Talley N., Hunt R, Fass R. Nandurkar S, Lam SK, ‘Goh KL, Sollano J, Report of the Asia-Pacific Concensts ‘on The Management of gastroesophageal refldx disease. | Gestroecterl Hepatl. 2004 19:11-20, ‘GalmicxeJP, Brule S. Enoscopy-nepatvereftaxisease, Current Gastroenterology Report 2001; 3: 206-14, Gardner [D, Stanley 8R, Robinson M. Integrated acidity and the ‘athopliysiology of gastroesophageal reflux disease. The American Journal of Gastroenterology. 2001 96(8): 1363-7, Inadon: JM, Jamal Ry Murata GH, Hoffman RM, Lavezola, Vigie IM, Svearaon KM, Sonnenberg A. Step-down management of gastroesophageal reflux disease, Castsoenterology 2001; 121: 1095-100. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks ‘Gastroesofageal /GERD di Indonesia 2004, 1756 Lazenby PJ, Hardwig SM. Chronic cough, asthme, and ‘gastroesophageal refx, Current Gastroenterology Report 2000, 2:217-23. C. Heartburn, regurgitation and noneardiae chestyain. In ‘alley NJ, Martin C} (ed). Clinical Gastroenterology. 1st cecdition Sydney, MacLennan & Petty Py Limited, 1996: 119, ‘Orlando RC. Reflx Esophagitis In Yamada T (ed). Textbook of Gastroenterology, 2nd edition, Philadelphia. TB Lippincot Co, 1995: 121-42 Powell LW. Mouth pharyn and oesophagus. In Powell LW; Piper ‘DW (eds), Fundamental of gastroenterology. ath edition ‘Sydney, ADIS Health science Press 1984: 1-13. Stanghellin V. Gastro-esophageal reflux disease: therapeutic ‘Strategies forthe new mallenium, European Journalof Chical Research 1997:9: 71-7, Syafruddin ARL. Peranan derajt keasaman lambung dan tons Sfingteresofagus bawah terhadap esofagits pada dispepsa, Laporan Penelitian Akhir, Bagian llmu Penyakit Oalam KUL, 1988 ‘Triadaflopoulos MD. Endoscopic therapies for gastroesophageal reflux disease, Curent Gastroenterology Reports 2007; 4: 20044. ZaalingE. A review of reflux esophagitis around the world. WIG, 1998; 4); 1996; 12 2 suppl 224 ‘Zhang TC. Endoscopic studies of reflux esophagitis. JAMA, Southeast Asia 1996; 1212 SuppL 1.224. Ms

You might also like