You are on page 1of 18

“DEGRADASI HABITAT”

Degradasi habitat, menurut KBBI


(kamus besar bahasa Indonesia)
degradasi adalah kemunduran,
kemerosotan, penurunan dan
sebagainya (penurunan dalam mutu,
pangkat,dsb) sedangkan secara
sederhana habitat merupakan tempat
hidup makhluk hidup, dimana
makhluk hidup tersebut melakukan
Degradasi habitat adalah penurunan
tempat hidup, atau kerusakan tempat
hidup dari suatu organisme. Degradasi
habitat ini dapat terjadi karena adanya
kegiatan (aktivitas) yang dilakukan oleh
manusia ataupun terjadi secara alamiah.
Kerusakan lingkungan, khususnya di
Indonesia, telah terjadi pada berbagai
tempat dan berbagai tipe ekosistem.
Misalnya, pada ekosistem pertanian, pesisir
dan lautan ancaman kepunahan satwa liar
juga telah terjadi di mana-mana,. yang
menjadi dasar dari masalah perusakan
ekosistem ini adalah perusakan fungsi suatu
ekosistem menjadi fungsi yang lain.
Menurut taksiran, Indonesia memiliki garis
pantai sepanjang 81.000 km atau sekitar
14% garis pantai dunia, dengan luas
perairannya mencapai 5,8 juta km2
(termasuk ZEEI). Kekayaan yang dimiliki di
kawasan pesisir dan lautan adalah meliputi
hutan mangrove, terumbu karang dan ikan
hias, rumput laut, dan perikanan. Pada akhir
tahun 1980-an, luas hutan mangrove masih
tercatat mencapai 4,25 juta ha, dengan
sebaran yang terluas ditemukan di kawasan
Irian Jaya/Papua (69 %), Sumatera (16 %),
dan Kalimantan (9 %).
Namun sayangnya berbagai potensi kawasan
pesisir dan lautan ini telah mendapat berbagai
tekanan berat dari tindakan manusia yang tidak
bijaksana, sehingga telah menimbulkan
berbagai kerusakan lingkungan. Bukan
merupakan rahasia lagi bahwa hutan mangrove
di berbagai kawasan banyak terganggu.
Misalnya, penduduk lokal telah lama
menggunakan berbagai pohon bakau untuk
kayu bakar, bahan bangunan, tonggak-tonggak
bagan, tempat memasang jaring ikan, bahan
arang dan lain sebagainya. Hutan mangrove
juga telah dibuka secara besar-besaran untuk
dijadikan daerah pemukiman, perkebunan,
bercocok tanam dan pertambakan udang.
Dampak lain adalah hilangnya tempat
bertelur dan berlindung jenis-jenis
kepiting, ikan dan udang sehingga
banyak nelayan mengeluh karena makin
sedikitnya hasil tangkapan mereka.
Pengikisan pantai pun makin menjadi,
akibatnya air asin dari laut merembes
ke daratan. Maka daerah pertanian dan
pemukiman jadi terganggu. Belum lagi
akibat jangka panjang dan dari segi
ilmu pengetahuan, sangatlah sukar untuk
dapat dinilai kerugian yang terjadi
akibat kerusakan atau punahnya hutan
mangrove tersebut.
Bukan hanya di Indonesia, namun juga di Dunia ;
Salah satu bahan cemaran di laut yang paling luas
tersebar dan sering terjadi adalah minyak mineral.
Pengaruh langsung. Hasil-hasil penelitian di
laboratorium dan di lapangan menunjukkan bahwa
mi-nyak mineral mempunyai sifat letal (mema-
tikan) dan subletal (mematikan dengan cara tidak
langsung). Sifat letal dapat dilihat dalam kasus
Tampico Maru yang pecah pada tahun 1957 di
Baja, California dan tumpah-an minyak "No. 2 fuel
oil" di West Fal-mouth, Mass, yang terjadi tahun
1969, keduanya dengan cepat menyebabkan kema-
tian massal berbagai jenis organisme laut.
Hal yang sama terulang lagi di Laut Utara, Atlantik
Utara, Pantai Barat Alaska (April 1970); Shutland
Islands (1971), dan di Jutland, Denmark (Desember
1972). Ketika tambang minyak di St. Barbara
meledak, banyak minyak tercurah dan membentuk
lapisan se-tebal 1 — 2 cm di permukaan laut. Hal ini
menyebabkan banyak burung, tumbuhan dan
hewan laut yang mati (HOLMES dalam EPA 1973).
Hasil uji patologis menunjukkan bahwa dalam tubuh
burung-burung yang mati tersebut terjadi degradasi
lemak dalam hati, kerusakan syaraf, pembesaran
limpa, "acinar atrophy of the pancreas",
"adrecortinal hyperphosia", radang paru dan ginjal
(CRASHER et al. dalam GESAMP 1977).
Curahan minyak di pelabuhan Gua-yanilla dan pantai
selatan Puerto Rico telah membunuh ikan dan
merusak hutan mang-rove di sekitarnya. Kerusakan
mangrove dan kematian ikan tersebut disebabkan lu-
bang udara pada akar mangrove dan insang ikan
tertutup oleh lapisan minyak sehingga tidak bisa
bernafas (DIAZ-PEFERRER da-lam ZIEMAN1975).
Pengaruh subletal minyak bumi terjadi dalam waktu
lama yang meliputi gangguan pada proses selluler dan
fisiologis seperti : cara makan, reproduksi (fertilisasi &
fekun-ditas), tingkah laku, pertumbuhan tidak
normal, kegagalan menangkap mangsa, gangguan
"chemical communication" (rangsang-an kimia) dan
Iain-lain.
Degradasi pada kawasan hutan
Salah satu contoh dari degradasi hutan adalah :
Kebijakan pemerintah mengizinkan kegiatan
pertambangan di kawasan hutan lindung dan konser-
vasi, mempercepat “kiamat” Indonesia. Industri ini akan
mengubah hamparan hutan Indonesia menjadi padang
pasir dengan lubang-lubang beracun. Kondisi seperti ini
mengancam umat manusia secara global. Meski luas
daratan wilayah Indonesia hanya 1,3 persen dari luas
daratan dunia, namun memiliki 10% keanekaragaman
hayati flora dunia, 12% jumlah mamalia, 17% reptil
dan binatang amphibi serta 17% spesies burung dunia
sebagai keanekaragaman hayati fauna dunia.
Kekayaan dan keanekaragaman hayati itu kini telah banyak menghilang,
bahkan dengan laju yang kian cepat seiring hancurnya ekosistem hutan.
Setidaknya 72% hutan asli Indonesia telah musnah. Studi Bank Dunia
terbaru menyebutkan bahwa tingkat laju penurunan hutan (deforestasi) di
Indonesia mencapai luas 2 juta hektar per tahun sejak tahun 1996. Laju
hilangnya hutan di Indonesia cukup mencemaskan. Selama tahun 1985-
1997, sekitar 30% dari lahan kehutanan yang ada di Sumatera telah hilang.
Di Kalimantan 21% hutan yang ada juga hilang dalam kurun waktu yang
sama. Pada tahun 1997, hanya sekitar 35% pulau Sumatera dan 60%
Kalimantan masih ditutupi hutan masing-masing seluas 16,6 dan 35,1 juta
ha. Satu-satunya peruntukan hutan Indonesia yang masih bisa diharapkan
dalam kondisi baik adalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Luas
kawasan hutan lindung Indonesia sekitar 55,2 juta hektar yang terbagi atas
31,9 juta hektar berstatus sebagai hutan lindung dan selebihnya kawasan
konservasi.
Salah satu contoh Kenyataan degradasi habitat lainnya
adalah adalah :
Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) adalah salah satu
spesies Macaca dari 7 spesies Macaca yang ada di
Sulawesi (Fooden 1969 dalam Whitten et al. 1987).
Diantara 3 spesies Macaca di Sulawesi bagian utara (M.
nigra, M. nigrescens dan M.hecki), monyet hitam
sulawesi merupakan jenis yang paling terancam
keberadaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
populasi maupun habitatnya semakin menurun dari
tahun ke tahun. Kinnaird (1997) melaporkan bahwa,
akibat perburuan dan pengrusakan habitat saja, populasi
monyet hitam sulawesi di Cagar Alam (CA) Tangkoko
Duasudara yang merupakan salah satu tempat
ditemukannya kelompok ini, telah mengalami penurunan
75% sejak tahun 1979.
Ketergantungan masyarakat terhadap
kawasan hutan dan hasil hutan yang
sangat tinggi, memicu masyarakat untuk
melakukan kegiatan perambahan hutan,
penebangan liar, perburuan dan
perdagangan liar. Belum lagi masalah lain
yang tidak bisa dikendalikan seperti
bencana alam (kebakaran), yang kerap
terjadi di sekitar kawasan. Faktor lain
yang ikut menambah semua tekanan di
atas yaitu lemahnya pengelolaan kawasan
lindung oleh pemerintah maupun pihak
terkait.
Pembukaan hutan untuk transmigrasi dan
perkebunan besar, serta pencurian hasil
hutan, juga telah menyebabkan kerusakan
ekosistem hutan secara besar-besaran.
Akibatnya, keanekaragam flora dan fauna
hutan menurun drastis, serta manfaat hutan
bagi manusia dapat terganggu atau hilang
sama sekali. Nasib serupa juga menimpa
berbagai jenis burung Cendrawasih di Irian
Jaya (Papua) yang kini terancam punah
akibat kerusakan hutan yang merupakan
habitat burung tersebut. Penyebab lainnya
adalah perburuan liar secara besar-besaran
oleh orang yang tidak bertanggung jawab,
yang menjerat burung malang tersebut
dengan menggunakan jaring di udara.
Jaring-jaring biasanya dipasang dengan
Faktor-faktor Penyebab Degradasi
Habitat
Perkembangan teknologi yang pesat

Berubahnya sistem nilai budaya masyarakat

Pemanfaatan berlebih

Kesadaran, pemahaman dan kepedulian yang rendah

Pemungutan dan perdagangan ilegal

Konversi habitat alami

Monokulturisme dalam budidaya dan pemanfaatan:


Upaya Penanggulangan Degradasi Habitat

Reboisasi lahan dan


Mengadakan sosialisasi Peremajaan tanaman
metode tebang pilih

Pembuatan cagar alam dan


tempat perlindungan bagi
Menempatkan polisi hutan Penangkapan musiman tumbuhan dan hewan
langka seperti margasatwa
dan taman nasional.

You might also like