You are on page 1of 10

Vol 6 no 2 Th 2010 Faktor-faktor yang berhubungan

http://jurnal.unimus.ac.id

89
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS KONTAK PEKERJA INDUSTRI TEKSTIL X DI
JEPARA
Ari Suwondo
1
, Siswi Jayanti
2
, Daru Lestantyo
3
1,2,3
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
Abstract
Background: The background of this research is the fact that workers in the
textile industry largely does not use personal protective equipment, during
working hours but they are always exposed to dyestuffs and color placard
substances known that these substances can dissolve the fat under the skin surface
so the skin becomes dry, cracked and could even occur vesicles. If the exposure
occurred in a long time, the skin may occur thickening (lichenification) or
substances can follow the path into the lymph vessels throughout the body and
can cause disturbances in systim hormonal and genetic defects resulting in
sterility. The purpose of this research is to obtain the relationship between age,
years of working period and the use of PPE on the incidence of contact dermatitis
in the textile industry in Jepara Troso. Method: It was an observational research
using cross sectional design. The subjects were selected using purposive
sampling. The collected data was analyzed using Spearman Rank test. Result:
This research showed that there was highly significant relationship between the
duration of work with contact dermatitis incidence (p = 0.038) and there is also a
highly significant relationship between age of workers with contact dermatitis
incidence (p = 0.025), whereas for longer exposure there was no significant
correlation with the number of contact dermatitis incidence (p = 0.476).
Conclusion: The duration of working likely had a strong association with the
incidence of contact dermatitis. So, it was suggested to all workers for washing
hands and feet carefully, especially in the folds of the hands and feet for the
remaining dyes or substances, in other that contact dermatitis cases can be
prevented.
Keywords: dye, contact dermatitis, Troso textile industry.

Ari Suwondo, Siswi Jayanti J Kesehat Masy Indones

http://jurnal.unimus.ac.id

90
PENDAHULUAN
Industri dan produknya baik formal maupun informal mempunyai
dampak positif dan negatif kepada manusia, di satu pihak akan memberikan
keuntungan, tetapi di pihak lain dapat menimbulkan dampak negatif karena
paparan zat yang terjadi pada proses kerja maupun pada hasil kerja. Beberapa
faktor yang dapat menimbulkan dampak negatif adalah faktor bahaya yang ada di
tempat kerja yang meliputi faktor fisik, biologis, kimia, mental psikologis,
hubungan antar manusia dan mesin maupun lingkungan kerja yang kurang
ergonomis, gizi kerja yang kurang memadai dan faktor lain penyebab timbulnya
penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.
1)
Industri tekstil baik yang beroperasi
secara tradisional maupun moderen memiliki berbagai faktor risiko potensi
bahaya. Salah satunya berasal dari zat kimia yang digunakan sebagai pewarna
bahan. Bahan kimia yang mampu mengganggu kulit diperkenalkan setiap tahun,
baik bahan kimia berupa organik maupun anorganik yang digunakan dalam
industri termasuk produk natural, menyebabkan daftar bahan kimia berbahaya
tidak akan berakhir.
Kontak tubuh dengan bahan kimia dapat terjadi pada berbagai tahapan
proses kerja penggunaan bahan kimia, mulai dari proses awal sampai pada
pengepakan. Proses produksi pada pabrik tekstil Troso dimulai dari mendesain,
mengikat benang sesuai dengan desain, mewarnai/ cucuk, mencelup, mencatri,
malet dan akhirnya menenun. Bahan pewarna yang sering digunakan adalah zat
warna Naftol dan zat warna reaktif yang termasuk dalam golongan senyawa Azo.
Senyawa azo merupakan bahan kimia yang berbahaya apabila masuk ke dalam
tubuh dan terakumulasi. Senyawa Azo mampu mereduksi amina aromatik yang
menghasilkan arylamines yang dapat menimbulkan alergi pada kulit. Selain itu,
bahan penyempurna pewarnaan yang digunakan untuk kedua zat warna tersebut
adalah sama yaitu zat warna Naftol memerlukan bahan berupa garam diazium dan
natrium hidroksida sebagai pelekatan zat warna ke dalam kain, sedangkan zat
warna reaktif memerlukan natrium hidroksida dan alkali untuk proses
pelekatannya.
2,3)

Vol 6 no 2 Th 2010 Faktor-faktor yang berhubungan

http://jurnal.unimus.ac.id

91
Zat warna termasuk golongan pelarut organik, sehingga zat warna
merupakan zat yang larut lemak. Akibatnya zat warna dapat menghilangkan
lapisan lemak pelindung pada kulit dan diabsorbsi tubuh. Besarnya efek zat kimia
yang masuk kedalam tubuh tergantung konsentrasi ( dosis ) dan lamanya waktu
paparan zat tersebut. Walaupun dalam dosis kecil, apabila berlangsung terus-
menerus maka dapat menimbulkan efek kronis pada tubuh. Efek akut dapat
berupa gejala-gejala gatal, kulit kering, kemerah-merahan, dan pecah-pecah,
sedangkan efek kronis dapat berupa gangguan pada respon imunologis dan
bahkan dapat terjadi kerusakan Genetik sehingga menyebabkan gangguan
hormonal maupun kemandulan pada orang yang terpapar.
3,4)

Tenaga kerja seharusnya bekerja dengan nyaman dan aman supaya
tercapai produktivitas yang tinggi. Berdasarkan studi pendahuluan di industri
tekstil Semarang didapatkan 60% pekerja positif terdiagnosis Dermatitis Kontak
iritan (DKI) setelah kontak dengan bahan pewarna tekstil. Diketahui bahwa bahan
pewarna tekstil mengandung pelarut organik yang dapat memicu terjadinya DKI.
Penggunaan APD yang tidak maksimal merupakan salah satu faktor resiko
kejadian DKI pada industri tekstil ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan karakteristik pekerja yang meliputi umur, masa kerja, lama kerja
perharinya dan penggunaan APD serta menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pekerja tekstil Troso di Jepara.

MATERI DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah survey observasi dengan desain cross sectional (
belah lintang). Populasi dari penelitian adalah seluruh pekerja tekstil Industri X
di pabrik tekstil Troso Jepara yang berjumlah 50 orang. Sampel : dipilih secara
purposif dengan kriteria inklusi: 1) bekerja sebagai karyawan tetap di industri
tekstil X, 2) berusia minimal 18 tahun, 3) masa Kerja minimal 2 (dua) tahun, 4)
tidak memiliki riwayat alergi. Jumlah sampel terpilih sebanyak 41 orang. Data
primer meliputi identitas pekerja, usia, jenis kelamin, masa kerja dan lama
paparan dalam 8 jam diperoleh melalui tanya jawab dengan kuesioner.
Pemeriksaan kulit dilakukan dengan observasi Ujud Kelainan Kulit (UKK). Data
Ari Suwondo, Siswi Jayanti J Kesehat Masy Indones

http://jurnal.unimus.ac.id

92
dianalisis menggunakan tabulasi meliputi usia, masa kerja, lama paparan, APD,
seta uji hipotesis menggunanuji statistik rank spearman.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pekerja pria 43,9% (18
responden) dan wanita 56,1% (23 responden). Jenis kelamin dari pekerja di pabrik
textil ini kebanyakan berjenis kelamin Wanita, dikarenakan memang dibutuhkan
ketelitian. Aktivitas bagian pengikatan dari desain/ corak dan pewarnaan cucuk
dilakukan oleh wanita, sedangkan pewarnaan celup dilakukan oleh laki-laki. Data
yang diperoleh menunjukkan sebaran usia dari pekerja sebagai berikut yaitu : usia
dewasa 17,1% (7 responden), usia muda 17,1% (7 responden), dan usia tua 65,9%
(27 responden). Berkaitan dengan perilaku keselamatan dan kesehatan kerja, usia
tua lebih memilih bekerja dengan aman. Usia tua juga semakin berpengalaman
dalam melaksanakan tugas, sehingga lebih hati-hati dalam penggunaan bahan
kimia.
Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pekerja dengan lama
paparan normal (8 jam/hari) adalah sebanyak 73.2% (30 Responden), sedangkan
pekerja dengan lama paparan kurang dari 8 jam/hari sebanyak 2,4% (1
responden). Sebagian besar pekerja bekerja sesuai dengan jam kerja per harinya
yaitu 8 jam dengan istirahat 1 jam.
Para pekerja dari pabrik tekstil ini hampir semuanya tidak menggunakan
APD, hanya terdapat 2 pekerja ( 4,87 % ) saja yang menggunakan APD yaitu
sarung tangan karet dan sepatu boot. Mereka yang menggunakan adalah yang
bekerja di bagian pencelupan oleh karena bagian ini memang menggunakan air
panas dan pewarna naftol, sehingga tenaga kerja terpaksa harus menggunakan
APD.
Kejadian dermatitis kontak pada pabrik tekstil Troso X di Jepara terdeksi
terdapat 12 resp ( 29,27 % ) dari 41 responden. Hasil uji statistik dengan
menggunakan Rank Spearman di dapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil analisis variabel bebas dengan dermatitis kontak
Hubungan antar variabel p-value
Vol 6 no 2 Th 2010 Faktor-faktor yang berhubungan

http://jurnal.unimus.ac.id

93
Masa kerja Dermatitis kontak 0,038
Umur pekerja Dermatitis kontak 0,025
Lama paparan Dermatitis kontak 0,476

Hasil uji statistik hubungan umur dengan kejadian dermatitis kontak
diperoleh nilai p= 0,025 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara umur dengan kejadian dermatitis. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Cohen yang menyatakan bahwa kulit manusia mengalami degenerasi seiring
bertambahnya usia, sehingga menyebabkan penipisan pada lapisan lemak dibawah
kulit akibatnya kulit menjadi lebih kering dan mudah teriritasi menjadi dermatitis
kontak.
5)
Buxton juga mengatakan bahwa dengan bertambahnya umur, kulit
manusia akan mengalami degenerasi menjadi rentan terhadap kontak bahan kimia
sehingga memudahkan timbulnya dermatitis kontak.
5)

Hasil uji statistik hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis
kontak diperoleh nilai p= 0,038, berarti terdapat hubungan yang bermakna antara
masa kerja dengan dermatitis kontak. Dermatitis kontak akan muncul apabila
pekerja terpapar oleh zat kimia dengan konsentrasi dan lama pemajanan yang
cukup. Zat warna ditambah dengan zat penguat/pelekat warna dapat berperan
sebagai pelarut organik yang dapat mengakibatkan penipisan lapisan lemak di
bawah kulit, sehingga zat warna tersebut dapat lebih mudah masuk ke dalam
tubuh dan menimbulkan efek baik akut maupun kronik. Sebagai efek akut yang
sering timbul adalah perubahan warna kulit menjadi kemerahan, timbul bintik
berair maupun bergelembung dan bila terjadi dalam waktu yang lama akan terjadi
likenifikasi (penebalan kulit dan berwarna hitam). Efek kronis yang dapat timbul
adalah adanya gangguan hormone metabolisme maupun perubahan/kerusakan
genetik yang dapat menimbulkan bayi lahir cacat ataupun kemandulan pada
pekerja.
5,6,7)

Uji statistik antara lama kerja dengan dermatitis kontak diperoleh nilai p =
0,476 yang berarti tidak ada hubungan antara lama kerja pekerja pabrik tekstil
Troso X di Jepara dengan kejadian dermatitis kontak. Pekerja di bagian
pewarnaan di pabrik tekstil Troso, rata-rata bekerja selama 7 jam sehari dari jam
Ari Suwondo, Siswi Jayanti J Kesehat Masy Indones

http://jurnal.unimus.ac.id

94
08.00 s/d jam 16.00 dengan waktu istirahat selama 1 jam. Lama waktu terpajan
bahan kimia satu harinya merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya
dermatitis kontak. Hal tersebut terjadi karena timbunan zat warna maupun zat
pelekat warna terutama pada kuku-kuku jari maupun lipatan kulit dapat
mengiritasi kulit daerah tersebut sehingga terjadilah dermatitis kontak.
2,4)
Tidak
adanya hubungan antara lama paparan dengan kejadian dermatitis kontak
disebabkan karena semua pekerja yang kontak dengan zat warna dan zat pelekat
warna bekerja lebih dari 5 jam perharinya walaupun ada perbedaan lama paparan.
Secara teoritis pemakaian alat pelindung diri (APD) dapat menurunkan
risiko kejadian dermatitis kontak, namun dalam penelitian ini terjadi kondisi yang
bebeda. Hasil uji statistik tidak dapat dilakukan karena hampir semua karyawan
tidak menggunakan alat pelindung diri, hanya 2 orang ( 4,87 % ) saja yang
menggunakan. APD yang digunakan di pabrik tekstil ini adalah sarung tangan dan
sepatu boot.
Pada proses pewarnaan dengan cara pencelupan, para pekerja seharusnya
menggunakan APD baik sarung tangan maupun sepatu boot. Hal ini dikarenakan
mereka bekerja menggunakan air panas. Perlu mendapat perhatian bagi pengguna
sarung tangan karet dan sepatu boot, harus juga diingatkan untuk selalu menjaga
kebersihan APD tersebut oleh karena apabila tidak, justru APD tersebut dapat
menjadi factor pemudah timbulnya dermatitis kontak yang disebabkan adanya zat
warna atau zat pelekat warna yang terpercik masuk.
Pada proses pewarnaan dengan cara cucuk, hasil observasi menunjukkan
bahwa mereka tidak menggunakan APD sama sekali, dengan alasan tidak dapat
bekerja pada pekerjaan yg kecil-kecil dan butuh ketelitian. Menurut Adhi Juanda,
kejadian dermatitis kontak iritan maupun alrgik, paling sering terjadi di daerah
tangan.
6,7,8)

Dermatitis kontak adalah peradangan yang terjadi oleh karena kontak
antara kulit dengan bahan yang datang dari luar dan bersifat toksik maupun
alergik atau keduanya yang terjadi akibat seseorang melakukan pekerjaan. Sedang
dermatitis kontak iritan adalah dermatitis yang disebabkan oleh zat yang merusak
kulit dengan cara mengurangi kandungan air, sehingga kulit menjadi kering,
Vol 6 no 2 Th 2010 Faktor-faktor yang berhubungan

http://jurnal.unimus.ac.id

95
mudah retak dan mudah kontak dengan bahan berbahaya lainnya. Dermatitis
kontak iritan merupakan inflamasi pada kulit dengan manifestasi eritema, edema
ringan dan pecah-pecah.
2,4,5)

Mekanisme terjadinya dermatitis kontak iritan hanya sedikit diketahui,
tetapi sudah jelas terjadi kerusakan pada membran lipid keratisonit. Dalam
beberapa menit atau beberapa jam bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui
membran untuk merusak lisosom, mitochondria dan komponen inti sel. Dengan
rusaknya membran lipid, maka enzym fosfolipase akan diaktifkan dan
membebaskan asam arakidonat yang selanjutnya berfungsi membebaskan
prostaglandin dan leukotrin sehingga terjadi delatasi pembuluh darah dan
transudasi. Kerusakan membran sel juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta
mengaktifkan sel Mast yang selanjutnya akan membebaskan histamin,
prostaglandin dan leukotrin sehingga terjadi aktifasi platelets sehingga terjadi
jendalan yang akan menutup kerusakan dan terhadap vaskuler terjadi
vasodelatasi.
5,9)
Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan
keluarnya mediator-mediator tanpa melalui proses sensitisasi.
Dermatitis kontak alergen adalah dermatitis akibat mekanisme
hipersensitivitas kulit yaitu reaksi imunologik yang spesifik yang dapat bersifat
akut atau kronik. Secara statistik insiden dermatitis kontak alergen lebih sedikit
dibanding dermatitis kontak iritan yaitu 20:80. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi
di kulit. Ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan
timbulnya lesi dermatitis kontak alergi yaitu :
1) Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase eferen. Pada fase ini terjadi
sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan
yang disebut alergen kontak atau pemeka. Hal ini terjadi bila hapten menempel
pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis
atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal) untuk mengadakan ikatan
kovalen dengan protein karier yang ada di epidermis menjadi komplek hapten
protein. Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan
Ari Suwondo, Siswi Jayanti J Kesehat Masy Indones

http://jurnal.unimus.ac.id

96
dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen- DR ). Sel LE
kemudian menuju duktus limfatikus dan menuju ke parakortek Limfonodus
regional dan terjadilah proses penyajian antigen pada molekul CD4+ ( cluster
of diferentiation 4+ ) dan molekul CD 3. CD 4+ berfungsi sebagai pengenal
komplek HLA-DR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 merupakan
pengenal antigen yang lebih spesifik, misal untuk ion chrom saja. Kedua
reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah
terjadi pengenalan sel antigen. Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk
mengeluarkan IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2.
Kemudian IL-2 merangsang terjadinya proliferasi sel T sehingga terbentuk
primed memory T cell, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan
limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak dengan alergen yang
sama. Proses ini berlangsung pada manusia selama 14-21 hari, dan belum
terjadi ruam pada kulit. Pada saat ini individu telah tersensitisasi yang berarti
mempunyai risiko untuk mengalami dermatitis kontak alergi.
5,9)

2) Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi bila timbul pajanan kedua dari antigen
yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam
kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mengsekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang
INF ( interferon ) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (Intercelluler adhesion molecul-1) yang langsung
beraksi dengan limfosit T dan Lekosit serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid
akan mengaktifkan sel Mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodelatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya
timbul berbagai macam kelainan kulit seperti ertema, edema dan vesikula yang
nampak sebagai dermatitis.
5,9)


SIMPULAN
1. Sebagian besar pekerja pabrik tekstil Troso adalah wanita (56,1%), usia
terbanyak adalah usia tua (65,9%), lama paparan normal (8 jam/ hari) adalah
Vol 6 no 2 Th 2010 Faktor-faktor yang berhubungan

http://jurnal.unimus.ac.id

97
sebanyak 73.2%, hanya terdapat 2 pekerja ( 4,87 % ) saja yang menggunakan
APD.
2. Terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian dermatitis
kontak dengan nilai p = 0,025.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian
dermatitis kontak dengan nilai p = 0,038.
4. Tidak ada hubungan antara lama kerja pekerja pabrik tekstil Troso X di Jepara
dengan kejadian dermatitis kontak dengan nilai p = 0,476.


SARAN
Kepada seluruh pekerja pabrik tekstil Troso disarankan untuk menggunakan
alat pelindung diri (APD) untuk mengurangi risiko kejadian dermatitis kontak.
Pimpinan perusahaan agar menyediakan alat pelindung diri yang dibutuhkan
karyawan serta melakukan pengawasan penggunaannya secara intensif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Budiono, Sugeng. Jusuf, RMS, Pusparini Adriana. Bunga Rampai dan
Keselamatan Kerja , Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2003.
2. Firdaus U. Dermatitis Kontak Akibat Kerja . Penyakit Kulit Akibat kerja
Terbanyak Di Indonesia. Majalah kesehatan Masyarakat Vol II No 5 th
2002.16-18.
3. Harrington, JM dan F S Gill. Buku Saku Kesehatan Kerja. Terjemahan Bahasa
Indonesia.Edisi 3. Penerbit EGC . Jakarta 2005.
4. Lestari, Fatma dan Hari Suryo Utomo. Faktor-faktor Yang berhubungan
Dengan Dermatitis Kontak Pada PT IPP Jakarta. Makara Kesehatan, Vol 11
No 2.Desember 2007.halaman 61-68.
5. Mc.Cunney, Robert J, Paul P. Rountree. Occupational And Environmental
Medicine. Self-Assesment Review. Lippincott-Raven Publisher 1998.
6. Putro HH. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak. Majalah Dokter Keluarga, Vol
5 No 1.Desember 1985.
Ari Suwondo, Siswi Jayanti J Kesehat Masy Indones

http://jurnal.unimus.ac.id

98
7. Sumamur, Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Haji Mas Agung Jakarta,
1991
8. Suripto. Higiene Industri. Penerbit FKUI.2008
9. Talbott, O. Evelyn & Craun F. Gunther. Introduction to Environmental
Epidemiology, Lewis Publisher, 1995

You might also like