You are on page 1of 9

POTENSI DAN ANTISIPASI KONFLIK SOSIAL

DI WILAYAH TRANSMIGRASI
(Studi di Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan)
Oleh: Bahtiar
4

Abstract
The society of Moramo District, South Konawe Regency denotes plural society after the
coming of transmigrant through transmigration program. Such society has a potency to
happen the conflict that can threaten the national disintegration. This research aims at
exploring the conflict potency and anticipation conflict that are undertaken by the
transmigration people in Moramo District, South Konawe Regency. The data were collected
through interview towards the informants which represents Javanese, Balinese, Tolakinese,
and Buginese ethnics. Analysis of data were done by following Miles and Huberman modes
that covers three activity phases namely: data collection, data display, and conclusion drawing.
The findings showed that the potency of conflict was caused by the ownership of land whose
status has not been clear, the discriminative village government service because based on when
the election of village head took place based on who supported him or her, sport game which
was accompanied by liquor. However, the conflict was anticipated early and structurally
through the active role of local government and the society in amalgamation process, respecting
to one another, tolerance, visiting to one another, and helping to one another.
Key Words: Transmigration, Conflict Potency, and Anticipation of Conflict
Abstrak
Masyarakat Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan merupakan
masyarakat plural setelah kedatangan transmigran melalui program
transmigrasi. Masyarakat seperti ini berpotensi terjadinya konflik yang dapat
mengancam disintegrasi bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplor
potensi konflik dan pola antisipasi konflik yang ditempuh oleh warga
transmigran di Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan. Data
dikumpulkan melalui wawancara terhadap informan yang mewakili etnis Jawa,
Bali, Tolaki, dan Bugis. Analisis data dilakukan dengan mengikuti model Miles
dan Huberman yang meliputi tiga tahap kegiatan, yakni koleksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi
konflik dipicu oleh kepemilikan tanah yang statusnya belum jelas, pelayanan
pemerintah desa yang diskriminatif karena berdasarkan atas siapa yang
mendukungnya pada saat pemilihan kepala desa, pertandingan oleh raga
disertai minuman keras. Namun demikian, konflik diantisipasi secara dini dan
terstruktur melalui peran aktif pemerintah daerah dan masyarakat dalam proses
amalgamasi, saling menghargai, toleransi, bersilaturrahim, dan tolong-
menolong.
Kata Kunci: Transmigrasi, Potensi Konflik, dan Antisipasi Konflik.
PENDAHULUAN
Masyarakat Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan merupakan
masyarakat multikultur, setelah kedatangan transmigran dari Jawa, Sunda, dan Bali.
Program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dimaksudkan

4
Dr. Bahtiar, M.Si adalah dosen Sosiologi FISIP Universitas Halu Oleo Kendari
ISSN: 2355-1445; Hal. 34-42
Bahtiar: Potensi dan Antisipasi Konflik Sosial di Wilayah Transmigrasi

35

untuk memindahkan sebagian penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang
jarang penduduknya, dan salah satu wilayah yang menjadi tujuannya adalah
kecamatan Moramo. Kecamatan Moramo terdiri atas 21 desa dan 45% diantaranya
adalah desa yang ditempati oleh warga transmigrasi asal Jawa, Sunda dan Bali, selain
itu beberapa desa diantaranya ditempati pula oleh beberapa suku bangsa Bajo dan
Bugis Makassar. Hal ini dimungkinkan karena wilayah negara kesatuan republik
Indonesia yang terdiri atas berbagai wilayah provinsi dan kabupaten, sebagai wilayah
yang terbuka dan tidak membatasi suatu wilayah tertentu untuk suku tertentu. Selain
itu telah berlangsung pula proses penyebaran penduduk secara alami, penyebaran
masyarakat suku tertentu ke daerah lain di luar daerah basis kesukuannya
berdasarkan kebiasaan dan atas kesadarannya sendiri, tanpa melalui program
transmigrasi secara formal.
Kedatangan transmigran disertai oleh etnis lain menimbulkan proses sosial
berupa kehidupan bersama membentuk masyarakat multikultural. Nasikun
menyebutnya sebagai masyarakat majemuk yang ditandai terutama oleh perbedaan
suku bangsa, agama, adat istiadat yang bersifat horizontal, dan ditandai pula oleh
perbedaan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan yang bersifat vertikal. Masyarakat
yang majemuk menurut Berghe memiliki sifat dasar yang berpotensi bagi terjadinya
konflik, karena terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang
berbeda satu sama lain, terstruktur ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non
komplementer, kurang mengembangkan konsensus terhadap nilai yang bersifat
dasar, seringkali mengalami konflik, integrasi tumbuh di atas paksaan, dan adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain. Furnivall
menyebutnya dengan istilah plural societies, yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas
dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama
lain dalam suatu kesatuan politik.
Plural societies memiliki potensi bagi terjadinya konflik dan dapat mengancam
disintegrasi baik di daerah maupun nasional. Kemajemukan yang terjadi adalah
kemajemukan horizontal (perbedaan budaya, golongan, suku bangsa, agama) dan
kemajemukan vertikal (perbedaan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan.
Konflik itu sendiri memang dapat diantisipasi secara dini dan terstruktur. Fenomena
menarik yang terdapat di lokasi penelitian ini adalah adanya kemampuan etnis
pendatang dalam meningkatkan kesejahteraan ekonominya, bahkan keberhasilan
mereka menduduki posisi kelas atas secara ekonomi. Sehingga focus kajian dalam
tulisan ini mengenai potensi dan antisipasi konflik di wilayah transmigrasi di
Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan. Berdasarkan uraian tersebut di
atas, maka permasalahan penelitian yang ingin dijelaskan adalah faktor-faktor apa
yang menjadi potensi bagi terjadinya konflik antar etnis, dan antisipasi konflik
seperti apa yang telah dilakukan oleh masyarakat sehingga terjadi integrasi yang kuat
antar etnis di Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan.

SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

36

METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan.
Lokasi ini merupakan suatu wilayah yang sebagian besar didiami oleh penduduk
transmigran asal Jawa dan Bali, serta penduduk lokal suku Tolaki dan Bugis
Makassar. Empat suku bangsa yang tingggal dan hidup bersama membentuk
masyarakat majemuk. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terhadap
informan yang mewakili masing-masing etnis tersebut. Wawancara dilakukan pada
saat sore dan malam hari di rumah para informan, materi wawancara berkaitan
dengan apa yang dilihat, dilakukan, dirasakan dan didengar oleh informan mengenai
potensi dan antisipasi konflik, proses kehidupan masyarakat transmigran, dan
mengungkap motif, makna, dan pandangan hidup yang mendasari tindakan mereka.
Analisis data dilakukan dengan mengikuti model Miles dan Huberman yang meliputi
tiga tahap kegiatan, yakni koleksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Pada tahap pertama di lapangan, dilakukan proses pemilihan, penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data kasar yang tercatat (data reduction). Hal ini
dimaksudkan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, menyingkirkan
hal-hal yang kurang penting dan mengatur data sedemikian rupa. Proses ini
berlangsung sepanjang penelitian masih belum berakhir. Penyajian data (data display)
merupakan proses perakitan atau pengorganisasian berbagai informasi yang masih
terpencar-pencar dalam bentuk teks naratif. Dengan demikian data penelitian
tersusun secara sistematis dan terpadu. Dari berbagai uraian yang telah ditampilkan,
maka selanjutnya dilakukanlah penarikan suatu kesimpulan (conclution drawing).
PEMBAHASAN
Pluralitas masyarakat dapat berpotensi menghasilkan konflik bermuatan SARA
dan dapat mengancam integrasi daerah dan integrasi nasional. Penduduk wilayah ini
telah terkotak-kotak atau terstratifikasi berdasarkan kekayaan materi yang dimiliki,
terjadi segmentasi dalam komunitas mayoritas dan minoritas dari segi ekonomi,
budaya, golongan, agama dan sumber daya sosial ekonomi lainnya. Sehingga muncul
persepsi di tengah masyarakat yang memandang bahwa komunitas transmigran Bali
dan Bugis Makassar menempati posisi yang berbeda dibandingkan dengan
transmigran Jawa dan penduduk lokal. Selain itu kemajemukan tersebut berdasarkan
pendekatan politik yang dikemukakan oleh Surbakti bahwa perbedaan pendapat,
perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan dan atau mempertahankan nilai-nilai
di sebut konflik, dan politik itu sendiri adalah konflik dalam rangka mencari dan atau
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Masyarakat yang majemuk
berpotensi pula bagi terjadinya prasangka, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Soelaeman, bahwa prasangka dapat terjadi antarkelas yang bebeda, prasangka karena
penurunan kelas sosial seseorang atau kelompok, stigma terhadap kelompok lain,
frustasi agregasi, persepsi terhadap lingkungan dan prasangka terhadap sifat-sifat
kelompok tertentu.
Bahtiar: Potensi dan Antisipasi Konflik Sosial di Wilayah Transmigrasi

37

Apabila terjadi konflik, maka membutuhkan proses penyesuaian kepada
keadaan tertentu untuk mengatasi keadaan alam, biologi, dan lingkungan sosial,
sehingga manusia dapat melangsungkan kehidupannya. Karena itu manusia perlu
memahami semua ciri yang terbentang di lingkungan sekitar serta mengembangkan
metode yang tepat untuk mengatasi tantangan dan dampak lingkungan itu sendiri.
Dengan demikian, ketika ada sekelompok etnis mencoba beradaptasi dengan
lingkungan barunya dapat dipastikan tercipta integrasi sosial, meskipun proses
pembauran tersebut berlangsung dalam waktu relatif lama dan mungkin disertai
dengan konflik-konflik kecil. Menurut Gerungan, adaptasi merupakan suatu proses
untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungan. Secara luas keseimbangan itu
dapat dicapai dengan dua cara. Pertama cara pasif, yakni dengan mengubah diri
sesuai dengan lingkungan. Proses ini dikenal dengan istilah autoplastis. Ada dua alasan
utama orang melakukan adaptasi autoplastis yaitu adanya kesadaran bahwa orang lain
atau lingkungan dapat memberi informasi yang bermanfaat dan upaya agar diterima
secara sosial sehingga terhindar dari celaan. Kedua cara aktif, yakni dengan
mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri yang dikenal dengan
aloplastis.
Demikian pula pandangan Thomas dan Zaniecki menyebutkan tiga faktor yang
menumbuhkembangkan integrasi, yaitu partisipasi, akulturasi, dan penyesuaian diri.
Pada masyarakat transmigrasi, pola adaptasi antara etnis pendatang dengan pribumi
dapat berupa pola asimilasi. Gordon membagi konsep asimilasi, menjadi tujuh
macam. Pertama, asimilasi kebudayaan, akulturasi yang bertalian dengan perubahan
dalam pola-pola kebudayaan guna penyesuaian diri dengan kelompok mayoritas.
Kedua, asimilasi struktural yang bertalian dengan masuknya golongan minoritas
secara besar-besaran dalam klik, perkumpulan, dan pranata pada tingkat kelompok
primer dari golongan mayoritas. Ketiga, asimilasi perkawinan, amalgamasi yang
bertalian dengan perkawinan antara golongan secara besar-besaran. Keempat,
asimilasi identifikasi yang bertalian dengan perasaan nasional berdasarakan
mayoritas. Kelima, asimilasi sikap yang bertalian dengan tidak adanya prasangka.
Keenam, asimilasi perilaku yang bertalian dengan tidak adanya deskriminasi.
Ketujuh, asimilasi civic yang bertalian dengan tidak adanya bentrokan mengenai
sistem nilai dan pengertian kekuassaan (Melly G. Tan).
Dalam konteks ini, para transmigran memaknai asosiasi-asosiasi mereka
sebagai mekanisme adaptif dan sebagai wahana mengekspresikan identitas etnik
mereka. Depresi sebagaimana yang dikutip oleh Pelly mengatakan selagi strategi-
strategi adaptasi dikembangkan, maka asosiasi-asosiasi tersebut memperoleh
keberartian sosial, ekonomi, dan politis yang lebih besar. Asosiasi merupakan
instrumen yang cukup strategis dalam mengembangkan adaptasi migran. Bagi
migran adanya asosiasi dipakai sebagai mekanisme adaptasi dan sebagai alat
memperjuangkan dalam bersaing dengan kelompok-kelompok etnis lain
diperantauan. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa gerak perpindahan suku-suku
bangsa yang telah berlangsung sejak dahulu telah mempertemukan berbagai
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

38

kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda, sehingga terjadi
pengenalan mereka dengan unsur-unsur kebudayaan asing, atau biasa disebut
acculturation atau cultur contract. Ini semua menyangkut konsep mengenai proses sosial
yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri itu.
Faktor yang dapat menjadi potensi konflik telah diperoleh di lapangan melalui
wawancara. Hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat desa Lamboo,
kecamatan Moramo yang bersuku bangsa Bugis Makassar atas nama Marsuki, umur
50 tahun dan memiliki tingkat pendidikan sarjana, mengatakan bahwa kesenjangan
sosial yang masih nampak di antara berbagai etnik di Kecamatan Moramo
mengakibatkan adanya kecemburuan sosial. Tingginya harga jual atau nilai tanah,
maka pada saat ini telah muncul tuntutan masyarakat lokal atas tanah yang berada di
luar lokasi transmigrasi asal Jawa, Bali dan Sunda di Desa Puudaria Jaya. Selain itu,
masyarakat lokal juga menuntut beberapa lokasi transmigrasi yang di atas tanah
tersebut telah dibangun fasilitas umum seperti sekolah dasar dan sekolah menengah
kejuruan. Seiiring dengan hal tersebut, transmigran di desa Bakutaru juga membuka
hutan yang oleh masyarakat lokal diakui sebagai milikinya (anahoma) nenek moyang
masyarakat lokal, ini adalah salah satu fakor potensil yang akan menjadi sumber
konflik, berbeda dengan suku Bugis Makassar dapat terhindar dari tuntutan karena
mereka membeli disertai bukti administrasi jual beli yang diakui kedua belah pihak.
Di samping itu, faktor konflik yang lainnya adalah pelayanan pemerintah desa
yang diskriminatif karena berdasarkan atas siapa yang mendukungnya pada saat
pemilihan kepala desa. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang dapat meredam
konflik ataupun mengantisipasi konflik tersebut, sehingga tidak sampai menjurus
kepada hal-hal yang destruktif, antara lain adalah berperan aktifnya pemerintah
daerah termasuk dewan perwakilan rakyat daerah Kabupaten Konawe Selatan,
menfasilitasi tercapainya kesepakatan damai antara transmigran dengan penduduk
lokal. Selain itu telah terjadi amalgamasi atau perkawinan silang/campur antara suku
Jawa dengan Tolaki, Suku Sunda dengan Suku Tolaki, Suku Bali dengan Suku Tolaki
dan suku Bugis Makassar dengan suku Tolaki, disertai pula dengan adanya dari
masing-masing suku bangsa memasuki lebih dari satu kelompok sosial (arisan, olah
raga, dan kesenian serta majelis talim dan remaja masjid) yang dapat memberikan
pemahaman sekaligus contoh kepada suku bangsanya akan bahagianya hidup
harmonis antara sesama manusia tanpa memandang suku ataupun golongan.
Hasil wawancara dengan informan bernama Nyoman Sudarman, umur 44
tahun, pendidikan sarjana yang telah tinggal di desa tersebut selama 37 tahun,
mengatakan bahwa selama ini di desanya tidak pernah terjadi konflik walaupun
warga desanya multietnik. Masyarakat multietnik desa Puudaria Jaya selalu dalam
suasana hubungan yang harmonis, aman dan damai. Hal tersebut disebabkan karena
adanya upaya pemahaman akan pentingnya hidup bersama dalam kehidupan
Bahtiar: Potensi dan Antisipasi Konflik Sosial di Wilayah Transmigrasi

39

bermasyarakat multietnik, berupa hubungan saling menghargai masing-masing adat
istiadat, toleransi atas keyakinan agama masing-masing suku bangsa, saling
bersilaturrahim atau saling mengunjungi setiap hari raya masing-masing agama,
saling membantu, saling menolong dalam setiap acara (pesta perkawianan, kelahiran
dan kematian) bahkan hal seperti ini telah manjadi budaya masyarakat multietnik di
Desa Puudaria Jaya. Selain itu, dengan adanya perkumpulan dimana anggota-
anggotanya adalah multietnik (Gapoktan, arisan tetangga dan kelompok remaja),
maka pembauran dan adaptasi budaya multietnik mudah terjadi. Perasaan iri hati dan
cemburu tidak terjadi lagi, karena tingkat pendapatan masyarakat cukup baik. Warga
masyarakat di desa ini memang telah memiliki motif dalam kehidupannya untuk
selalu menjaga hubungan harmonis antar sesama, disertai makna kehidupan mereka
adalah bahwa setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan manusia lain,
dan pandangan hidup masyarakat multi etnik di desa ini adalah Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagaimana halnya setiap konsep dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
sosial, konsep multikulturalisme tidak luput dari perbedaan pengertian. Mengikuti
Parekh istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen. Pertama, konsep ini
terkait dengan kebudayaan. Kedua, konsep ini merujuk kepada pluralitas
kebudayaan. Ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu untuk merespons
pluralitas itu. Oleh sebab itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik
melainkan sebagai cara pandang atau semacam ideologi dalam kehidupan manusia.
Hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan, artinya
perbedaan menjadi asasnya, dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di
muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme sebagai ideologi itu harus
diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan
perbedaan kebudayaan warga negara dengan mengutamakan kesetaraan dan saling
menghargai.
Secara konseptual, kebudayaan multikultural di dunia dapat digolongkan ke
dalam salah satu dari tiga model multikulturalisme menurut Parekh. Pertama, model
yang mengedepankan nationality. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun
bersama tanpa memperhatikan anekaragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan
nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Model ini memandang setiap orang
bukan kolektif berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Sebagai
konsekuensi dari diterapkannya model ini adalah tidak diperhatikannya akar
kebudayaan etnik-etnik penyusun negara, dan menjadikannya sebagai masa lampau
saja. Kedua, model nasionalitas etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang
kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para founders.
Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional etnik ini. Model ini
dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut
hubungan darah dengan etnis pendiri bangsa akan tersingkir menjadi orang luar dan
diperlakukan sebagai orang asing. Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui
eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini keanekaragaman
menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

40

usul warga negara diperhatikan. Model ini diterapkan terutama oleh negara-negara
yang memiliki persoalan orang pribumi aborigines dan migrants. Isu-isu yang muncul
karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik,
tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan.
Hasil wawancara dengan informan bernama Gunawan (48 tahun), kepala desa
Watu Porambaa, suku Jawa, bahwa konflik di Kecamatan Moramo yang di dalamnya
hidup berdampingan masyarakat multietnik pernah terjadi. Hal tersebut disebabkan
oleh faktor yang potensil dan selalu dapat berulang, yaitu bersumber pada
kepemilikan tanah antara transmigran dan penduduk pribumi, terutama lokasi tanah
yang statusnya tidak jelas, masing-masing antara kedua pihak mengakui tanpa
didukung oleh bukti kepemilikan yang jelas. Kejadian seperti itu bagi kami biasanya
antisipasi atau selesaikan dengan cara kekeluargaan, masyarakat transmigrasi
biasanya mengalah dan mengganti atau membeli tanah tersebut.
Selain konflik yang bersumber dari faktor kepemilikan tanah, sumber konflik
yang adalah pertandingan olah raga, pada saat pertandingan dapat menjadi faktor
dan potensial menjadi konflik antara pemuda di Kecamatan Moramo, oleh karena
itu kami setiap saat melakukan langkah antisipasi dengan cara melakukan
pendekatan kepada mereka, disertai dengan pelarangan penjualan minuman keras
sebagai pemicunya. Selain itu kami sebagai kepala desa, setiap saat terutama dalam
kegiatan-kegiatan pertemuan antara warga multietnik, memberikan pemahaman
kepada para orangtua supaya menjadi panutan atau teladan yang baik kepada anak-
anak mereka, mengajarkan tentang tenggang rasa dan tepa soliro, hidup
berdampingan, saling membantu, selalu bekerja sama dan bersatu padu antara
sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat, dan yang tidak kalah pentingnya
salah satu langkah dalam mengantisipasi konflik adalah membentuk kelompok yang
anggotanya multietnik, seperti kelompok tani, kelompok arisan tetangga dan
kelompok usaha ekonomi bagi kaum ibu-ibu rumah tangga, di dalamnya mereka
membaur san saling beradaptasi, sehingga tercipta hubungan harmonis dalam
kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya adalah hasil wawancara dengan bapak Hadiyono (47 tahun), suku
Sunda, kepala desa Sumber Sari, bahwa potensi konflik di kecamatan Moramo
adalah masalah tanah, dimana penduduk lokal tidak puas atas pembebasan tanah
yang dilakukan oleh pemerintah sebelum diserahkan kepada transmigran, sehingga
keturunan dari penduduk lokal generasi kedua menggugat, karena tidak
mendapatkan penjelasan tentang pengurusan tanah transmigran atau belum
mengetahui sejarah pembebasan tanah untuk transmigran pada masa lalu. Langkah
antisipasi yang saya lakukan sebagai kepala desa adalah menghimbau kepada warga
agar supaya tidak mudah terhasut, menyerahkan kepada pihak pemerintah
kabupaten karena pemerintahlah yang mendatangkan transmigran apabila timbul
masalah tanah. Kami selalu berharap agar pihak pemerintah peka dan cepat tanggap
melakukan langkah-langkah antisipasi dalam menghindari konflik kepemilikan tanah
di kecamatan Moramo. Konflik antara pemuda juga terjadi, hal ini disebabkan oleh
Bahtiar: Potensi dan Antisipasi Konflik Sosial di Wilayah Transmigrasi

41

pertandingan oleh raga, solusinya adalah pemerintah kecamatan bersama dengan
pemerintah desa memediasi dan mendamaikan mereka, selain itu, saya sebagai
kepala desa, apabila mendengan informasi tentang konflik pemuda, maka langkah
antisipasi yang saya lakukan adalah melarang pemuda desa Sumber Sari untuk
sementara keluar desa.
Hasil wawancara dengan bapak Endang Wijaya (47), suku Tolaki sebagai
penduduk lokal, tokoh masyarakat dan kontak tani andalan, bahwa masyarakat
Moramo yang multietnik hidup dalam suasana yang cukup harmonis, seperti itulah
yang biasa dialami oleh masyarakat Moramo dan saya saksikan sejak kedatangan
keluarga kita transmigran asal Jawa, Bali dan Sunda tahun 1975 atau selama 38
tahun. Namun demikian, bukan berarti konflik tidak pernah terjadi. Selama ini
sumber konflik yang potensial adalah berkaitan dengan batas-batas kepemilikan
tanah antara transmigran dan penduduk lokal, diikuti pula oleh adanya sebagian dari
keluarga transmigran yang baru datang ke Moramo, melakukan penambahan lahan
dan menyerobot tanah penduduk lokal, mereka warga baru datang dan tidak
mengetahui batas-batas wilayah yang dikuasai transmigran tersebut, di samping itu
kami warga lokal apalagi yang masih berumur muda dan tidak mengetahui juga
batas-batas wilayah yang pernah diserahkan oleh orangtua kami kepada pemerintah
untuk dikuasai transmigran. Oleh sebab itu, sebagai langkah antisipasi dan solusi
yang dilakukan adalah meminta kepada pihak pemerintah, dan juga melibatkan
tokoh masyarakat untuk memediasi, memberi penjelasan dan pemahaman kepada
warga masyarakat (penduduk lokal dan transmigran), disertai dengan bukti sejarah
tentang status dan asal usul tanah di kecamatan Moramo.
PENUTUP
Faktor konflik yang potensial terjadi antara masyarakat transmigrasi dan
masyarakat lokal adalah kepemilikan tanah, terutama berkaitan dengan batas-batas
dan asal-usul tanah pada saat proses awal penempatan transmigran, sehingga
generasi kedua diantara mereka yang belum mendapatkan informasi akurat
melakukan gugatan. Potensi konflik yang lainnya adalah pada saat dilakukan
pertandingan olah raga antara pemuda transmigran dan pemuda lokal. Adapun
antisipasi konflik yang telah dilakukan selama ini adalah meminta kepada pihak
pemerintah, dan juga melibatkan tokoh masyarakat untuk memediasi, memberi
penjelasan dan pemahaman kepada warga masyarakat (penduduk lokal dan
transmigran), disertai dengan bukti sejarah tentang status dan asal usul tanah di
kecamatan Moramo. Oleh karena itu, diharapkan kepada warga transmigran dan
penduduk lokal di Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan senantiasa
berupaya untuk menjalin hubungan yang harmonis antaretnik melalui kelompok-
kelompok sosial multietnik, pelibatan dalam kegiatan kerjasama, seperti
pemeliharaan saluran irigasi, kelompok usaha ekonomi, kelompok tani, arisan
ketetanggan, kesenian, pesta perkawinan dan kelahiran serta saling menolong.
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

42

DAFTAR PUSTAKA
Furnivall. 1948. Netherlands India, A Study of plural Economy. London: Cambridge.
Gerungan, W. A. 1981. Psikologi Sosial: Suatu Ringkasan. Jakarta: Eresco.
James C. Scott. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta.
Melly G. Tan. 1991. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, LEKNAS-LIPI dan Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Milles, B. Matthew & Huberman, Michael, A. 1992. Analisis Data Kualitatif , Buku
Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Penerjemah; Tjetjep Rohendi Rohidi.
Jakarta: UI-Press.
M. Munandar Soelaeman. 2009. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung, PT. Refika Aditama.
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta, CV. Rajawali.
Parekh, B. 2001. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory.
Cambridge Mass: Harvard University Press.
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi. Jakarta: LP3ES.
Pierre L. van den Berghe. 1969. Pluralism and the Polity: A Theoritical Exploration,
dalam Leo Kuper dan M.G. Smith eds, Pluralism in Africa, Berkeley and
Los Angeles. University of California Press.
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana.

You might also like