You are on page 1of 11

FUNGSI BANJAR DALAM BUDAYA SUKU SASAK TERHADAP

SOLIDARITAS SOSIAL MASYARAKAT DI DESA WATUMELEWE


KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN
Oleh: Juhaepa dan Sarpin
9

Abstract
This research aims at knowing the form and function of Banjar and the factors affecting the
change of social solidarity of Sasak ethnic in Watu Melewe Village, Tinanggea District,
South Konawe Regency. To deepen the phenomenon happened employed qualitative descriptive
approach. The data were collected through interview technique, observation, and the tracing of
document. The analysis of data took place through the phases of data collection, data
reduction, and conclusion drawing. The findings showed that there were two functional Banjar
forms in the culture of Sasak ethnic, namely Merarig and Mate Banjar. The economical and
social function of Banjar were realized through the obligation of Banjar members in giving
both the material and non material aid towards Banjar members that wanted to do the
thanksgiving and had the calamity. The positive change was this Banjar membership is not
only from the community of Sasak ethnic but also from the other communities. The negative
change was cooperative and togetherness value that began down because of the shortage of the
care of several Banjar members towards the Banjar members who required the help.
Key Words: Banjar Function, Culture, Sasak Ethnic, and Social Solidarity.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi banjar serta
faktor-faktor yang memengaruhi perubahan solidaritas sosial Suku Sasak
kaitannya di Desa Watumelewe Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe
Selatan. Dalam rangka mendalami fenomena yang terjadi digunakan
pendekatan kualitatif deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui teknik
wawancara, observasi, dan penelusuran dokumen. Analisa data berlangsung
melalui tahapan koleksi data, reduksi, dan penarikan kesimpulan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk banjar yang fungsional
dalam budaya Suku Sasak, yakni banjar merarig dan banjar mate. Fungsi
ekonomi dan sosial banjar diwujudkan melalui kewajiban anggota banjar
memberikan bantuan materiil maupun non materiil kepada anggota banjar yang
hendak melaksanakan hajatan dan terkena musibah. Perubahan yang bersifat
positif adalah keanggotaan banjar ini tidak hanya dari kalangan komunitas Suku
Sasak, tetapi juga dari komunitas lain. Perubahan yang bersifat negatif adalah
nilai kerjasama dan kebersamaan yang mulai menurun akibat sudah kurangnya
kepudulian beberapa anggota banjar kepada anggota banjar yang membutuhkan
bantuan.
Kata Kunci: Fingsi banjar, Budaya, Suku Sasak, dan Solidaritas Sosial.
PENDAHULUAN
Suku Sasak dengan tradisi dan bahasa Sasaknya merupakan suatu kelompok
suku bangsa dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia yang mempunyai keunikan
dan tradisi dalam menjalani kehidupannya. Tradisi yang dibangun oleh Suku Sasak

9
Drs. Juhaepa, M.Si. dan Sarpin, S.Sos., M.Si. adalah dosen Sosiologi FISIP Universitas Halu Oleo
Kendari
ISSN: 2355-1445; Hal. 89-99
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

90

sebagai cermin dari sebuah peradaban masyarakat. Pola konsepsi mereka bangun
melalui perjalanan yang cukup panjang melalui interaksi dengan suku-suku bangsa
lain, di samping melalui perenungan dan pengamatan yang tajam terhadap fenomena
alam, sehingga Suku Sasak memiliki banyak ragam adat dan budaya yang khas,
diantaranya adalah budaya banjar. Budaya banjar pada komunitas Suku Sasak di
daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi sesuatu yang sangat penting, karena
termasuk salah satu wadah sosial yang digunakan dalam berbagai upacara adat dan
kegiatan kemasyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa banjar sebagai salah satu
karakteristik kebersamaan masyarakat Suku Sasak.
Sekitar Tahun 1980-an, masyarakat Suku Sasak di daerah NTB banyak yang
mengikuti program transmigrasi dan tersebar di beberapa provinsi di Indonesia.
Salah satu daerah tujuan dari program transmigrasi tersebut adalah Provinsi Sulawesi
Tenggara. Sampai sekarang komunitas Suku Sasak masih tetap melestatikan budaya
Banjar. Banjar adalah suatu kelompok adat yang anggotanya terdiri dari penduduk di
suatu kampung, dusun, dasan, atau berasal dari beberapa desa, keanggotaannya
berdasarkan kepentingan dan tujuan yang sama. Anggota banjar terdiri dari satu
keturunan, agama ataupun satu perkumpulan adat yang keanggotaannya terjadi
karena adanya hubungan emosional.
Banjar sebagai salah satu wadah sosial Suku Sasak, terdiri dari beberapa krame
yaitu krame banjar subag (banjar petani sawah), krame banjar merariq (banjar
perkawinan), krame banjar mate (banjar kematian) dan krame banjar haji (banjar
perkumpulan haji). Masih banyak lagi bentuk dari krame banjar yang pada prinsipnya
terbentuk berdasarkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat Suku Sasak itu
sendiri. Sebagai sebuah perkumpulan atau persekutuan, di dalam banjar terdapat hal
yang menarik yang membuat setiap anggotanya secara spontan dan bersama-sama
membangun solidaritas sosial dan kebersamaan. Dalam arti, bahwa masalah yang
dihadapi oleh seorang anggota banjar menjadi masalah bagi semua anggota banjar.
Komunitas Suku Sasak di Desa Watumelewe Kecamatan Tinanggea
Kabupaten Konawe Selatan berjumlah 140 jiwa dengan 35 Kepala Keluarga.
Fenomena yang terjadi adalah aktivitas banjar menjadi sesuatu yang sangat signifikan
bagi mereka dalam melakukan berbagai hajatan. Namun sebagai masyarakat
minoritas yang hidup dalam adat dan budaya heterogen di daerah transmigrasi,
budaya banjar ini mulai mengalami perubahan dalam hal kebersamaan dan persatuan
di antara mereka. Anggota masyarakat yang melakukan banjar perkawinan ini tidak
sepenuhnya mendapat bantuan dari anggota komunitas Suku Sasak yang lain dalam
mengumpulkan iuran dan ketidakkompakan dalam memberikan bantuan tenaga..
Asumsi yang muncul dari fenomena di atas adalah fungsi banjar pada
masyarakat Suku Sasak di Desa Watumelewe Kecamatan Tinanggea Kabupaten
Konawe Selatan telah mengalami perubahan, bukan hanya pada banjar merariq
(banjar perkawinan) tetapi termasuk banjar-banjar yang lain. Untuk itu, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang fungsi banjar dan faktor-faktor yang
Juhaepa dan Sarpin: Fungsi Banjar dalam Suku Sasak terhadap Solidaritas Sosial

91

memengaruhi perubahan solidaritas sosial masyarakat Suku Sasak dalam kaitannya
sebagai anggota banjar.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Watumelewe Kecamatan Tinanggea,
dimana bermukim komunitas Suku Sasak yang masih melestarikan kebudayaan asal,
khususnya budaya Banjar. Namun demikian budaya ini mulai mengalami perubahan-
perubahan pada aspek solidaritas sosial masyarakat. Dalam rangka mendalami
fenomena yang terjadi maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif, yaitu untuk mendapatkan gambaran mengenai fungsi banjar dan beberapa
faktor yang memengaruhi perubahan solidaritas sosial masyarakat Suku Sasak.
Analisa berlangsung melalui empat tahap yakni pertama, pengumpulan data
(data collection) yaitu pada saat proses memasuki lingkungan penelitian dan melakukan
pengumpulan data penelitian. Kedua, reduksi data (data reduction) yaitu pada saat
proses pemilihan data, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan
dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan.
Ketiga, penyajian data (data display) yaitu penyajian informasi dalam memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Keempat,
penarikan kesimpulan, data yang telah dianalisis diharapkan benar-benar
menggambarkan kenyataan.
PEMBAHASAN
Bentuk dan Fungsi Banjar dalam Budaya Suku Sasak
Suku Lombok (Sasak) yang bermukim di Desa Watumelewe sejak 25 tahun
yang lalu melalui program transmigrasi, membentuk banjar sebagai bentuk
perkumpulan dalam melanjutkan tradisi. Banjar dalam komunitas Suku Sasak
merupakan bentuk persekutuan komunitas kecil dan terbatas yang di dalamnya
berlangsung beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan. Kegiatan Banjar dalam
komunitas Suku Sasak lebih mengarah pada aktifitas yang menyangkut siklus
kehidupan sebagai sebuah persekutuan, solidaritas sosial dan kebersamaan disebut
dalam bahasa Sasak, yaitu Besiru. Besiru inilah yang berperan penting ketika salah satu
anggota masyarakat sasak akan melakukan berbagai hajatan.
Berdasarkan hasil penelitian, bentuk-bentuk banjar yang ada di Desa
Watumelewe adalah banjar Merariq dan banjar Mate. Sedangkan dua banjar lainnya
yaitu banjar Subak dan banjar haji tidak berfungsi. Banjar subak tidak dijalankan karena
pemerintah melalui pamong tani telah mengambil alih fungsi banjar tersebut.
Demikian pula banjar haji, karena kondisi ekonomi masyarakat yang masih rendah
maka banjar ini belum dijalankan. Namun demikian menurut para informan bahwa
suatu saat kedua banjar ini dapat berfungsi seperti banjar-banjar yang lain.
1. Banjar merariq (banjar perkawinan)
Banjar merariq yaitu banjar yang membentuk perkumpulan untuk mengadakan
arisan kawinan. Anggota banjar merariq ini biasanya anak-anak muda atau orang tua
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

92

yang mempunyai anak remaja dengan mengeluarkan iuran berupa uang, beras, kue-
kue, tenaga dan lain-lain yang dibutuhkan dalam pesta perkawinan. Adat merariq
dalam budaya Suku Sasak dahulu diharuskan laki-laki membawa lari wanita yang
ingin dinikahi. Pernyataan informan penelitian bahwa banjar merariq digunakan
untuk prosesi pernikahan yang dilakukan dengan terlebih dahulu mencuri wanita
yang ingin dinikahi oleh laki-laki. Selanjutnya, membawa wanita tersebut ke rumah
kerabat dekat laki-laki. Namun sekarang proses membawa lari perempuan yang akan
dinikahi tidak dilakukan lagi, seiring dengan proses pembauran antar etnis sehingga
tidak menutup kemungkinan terjadi pernikahan campuran (amalgamasi).
Setelah dilakukan proses nyelabar kerumah pihak keluarga perempuan maka
dari pihak laki-laki memberitahukan kepada keliang banjar (ketua banjar) untuk
menyampaikan niat menggunakan banjar dalam prosesi perkawinan. Setelah
penyampaian tersebut sudah disampaikan maka diundanglah seluruh anggota banjar
dalam musyawarah yang dipimpin langsung oleh keliang banjar. Dalam musyawarah
ini si pemakai banjar mengutarakan maksud dan tujuannya untuk memakai banjar
dan berapa jumlah dana atau kebutuhan yang akan dipergunakan. Musyawarah yang
dipimpin langsung oleh ketua banjar dilakukan di rumah anggota yang akan
memakai banjar. Lebih lanjut dijelaskan oleh Lalu Ruslan (49 Tahun) bahwa banjar
ini dipakai secara bergiliran oleh anggota dan diberikan batas pemakaian dalam
setahun, ini dilakukan agar seluruh anggota mendapat giliran memakai Banjar dan
bagi anggota yang sudah memakai Banjar wajib mengeluarkan sejumlah iuran yang
sudah dikeluarkan sebelumnya oleh anggota. Bagi anggota yang memakai banjar
sepenuhnya mendapat bantuan dari anggota lainya mulai dari persiapan hajatan
sampai berakhirnya hajatan (Wawancara, 14 Oktober 2012).
Anggota yang sudah menggunakan banjar tinggal menyesuaikan berapa jumlah
yang dikeluarkan sebelumnya, maka itulah jumlah yang harus dikeluarkan
berikutnya. Dalam banjar merariq ini pula kebersamaan terjalin secara intensif selama
proses pelaksanaan hajatan, mulai dari mengumpulkan iuran, mengumpulkan kayu
bakar hingga kebutuhan dan keperluan lainya dipersiapkan secara matang sebelum
acara perkawinan tersebut dilaksanakan. Beban yang ditanggung oleh anggota yang
melaksanakan hajatan akan terasa ringan seperti yang diungkapkan oleh bapak
Hirjan (38 Tahun) dengan memakai banjar dalam selamatan pernikahan, itu akan
sangat membantu kami baik dalam hal materi naupun tenaga, karena seluruh
anggota banjar akan membantu mempersiapkan semua kebutuhan yang kami
perlukan, disitu kami cari jalan keluar bersama bagaimana cara menyelesaikan ketika
ada kendala yang kami dapatkan agar hajatan berjalan dengan baik (Wawancara, 20
Oktober 2012).
Pernyataan informan tersebut menggambarkan bahwa keberadaan banjar dalam
komunitas Suku Sasak sangat membantu karena segala sesuatu yang dibutuhkan
diselesaikan dengan jalan musyawarah oleh seluruh anggota banjar. Namun hal yang
menarik dari hasil penelitian ini adalah aktifitas banjar merariq yang mulai mengalami
perubahan. Seperti aktivitas banjar merariq digunakan ketika salah satu anggota
Juhaepa dan Sarpin: Fungsi Banjar dalam Suku Sasak terhadap Solidaritas Sosial

93

masyarakat akan menikahkan anaknya aturan yang sebenarnya ketika akan
menggunakan banjar merariq adalah dengan terlebih dahulu mencuri gadis yang akan
dinikahi. Di Desa Watumelewe dimana terdapat komunitas Suku Sasak yang masih
menggunakan banjar, proses ini tidak lagi dipergunakan.
Hal tersebut sebagaimana yang penjelasan oleh Bapak Asmul (50 Tahun)
bahwa masyarakat Lombok di Desa Watumelewe ini memang masih ada yang
menggunakan banjar tetapi adat-adatnya sudah mulai berubah, alasan sebagian
masyarakat karena mereka merasa tidak lagi berada di daerah NTB, di sini kita hidup
dengan banyak suku dan kita suku Lombok masih sangat kecil jumlahnya, jadi kita
masih membutuhkan orang lain diluar suku untuk membantu, jadi ketika kita masih
menggunakan adat/aturan yang sebenarnya mereka nanti tidak ada yang mau
menikahkan anaknya dengan suku Lombok, apa lagi klo mau menikahkan anak
dengan cara dicuri terlebih dahulu, nanti kita bertengkar antar suku jadinya.
(Wawancara, 20 Oktober 2012).
Penjelasan informan di atas menggambarkan bahwa banjar di daerah ini sudah
mengalami perubahan, namun sikap saling tolong menolong masih tetap
dipertahankan. Peruhaban terjadi pada aturan membawa lari perempuan yang akan
dinikahi dalam budaya Suku Sasak sudah mulai mengalami pergeseran dan seakan-
akan kehilangan makna yang sesungguhnya. Perubahan ini akibat pengaruh yang dari
kemajemukan masyarakat terutama di daerah transmigrasi. Banjar merariq memiliki
fungsi ekonomi yaitu anggota banjar memberikan bantuan ekonomi kepada anggota
banjar yang akan menyelenggarakan pesta pernikahan anggota keluarganya. Bantuan
ini berupa beras 50 kg atau dalam bentuk uang sebesar Rp. 250.000,- setiap anggota
banjar. Selain fungsi ekonomi, banjar ini juga berfungsi sosial, dimana anggota banjar
wajib memberikan bantuan tenaga ataupun pikiran kepada anggota banjar yang akan
menyelenggarakan pesta pernikahan tersebut.
2. Banjar mate (banjar kematian)
Banjar mate (banjar kematian) yaitu perkumpulan yang menggumpulkan iuran
atau tenaga anggota untuk membantu anggota yang mendapatkan musibah
kematian. Hasil wawancara bersama Bapak Tahir (50 Tahun) menuturkan bahwa jika
ada saudara atau tetangga yang meninggal saya langsung datang kerumahnya untuk
berta'ziah sekaligus membantu mempersiapkan kebutuhan untuk perawatan jenezah,
semua masyarakat suku Sasak di desa ini akan membantu mulai dari pembelian kain
kafan hingga selesainya pemakaman sampai selesainya selamatan. Kami membantu
dengan ikhlas uang untuk membeli keperluan jenazah tidak di sepakati berapapun
kemampuan kami berikan (Wawancara, 21 Oktober 2014).
Banjar mate ini prosesnya dilaksanakan secara sepontan tanpa adanya
musayawarah terlebih dahulu, disini terdapat saling kebersamaan dalam bekerjasama
membantu penyelenggaraan jenazah. Selengkapnya dijelaskan oleh Lalu Ruslan (49
Tahun) bahwa banjar mate sebetulnya proses pelaksanaannya sama dengan banjar
merariq, yang membedakan kalau dalam banjar merariq ada musyawarah dulu
sebelum mengeluarkan iuran seperti beras, uang atau semacamnya, sementara kalau
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

94

dalam banjar mate ini tidak ada musyawarah tapi masyarakat ini akan tergerak
membantu secara suka rela karena mereka sudah menganggap diri mereka anggota
banjar. Kalau dalam banjar mate ini juga setelah jenazah itu dikuburkan ada tradisi
masyarakat sasak mengadakan tahlilan selama sembilan malam, selama sembilan
malam ini anggota yang terkena musibah itu akan mendapat bantuan dari anggota
banjar seperti memberikan uang belanja untuk kebutuhan selama sembilan malam
tadi bisa juga berupa beras, gula, kopi, kue dan lain-lain (Wawancara, 27 Oktober
2012).
Kedua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa banjar mate ini sedikit
berbeda dengan banjar merariq tapi tujuannya sama untuk saling bekerjasama
membantu anggota yang sedang mendapatkan musibah atau yang membutuhkan
bantuan. Fungsi ekonomi dan sosial dalam banjar mate ini, dapat dilihat apabila ada
anggota banjar mengalami musibah kematian, maka akan dibantu baik bantuan
materi maupun non materi.
3. Banjar subak
Banjar subak yakni perkumpulan para petani (penggarap sawah pertanian).
Anggotannya disebut sebagai sekeha subak yang berkewajiban membayar upah
pekasih (ucapan terimakasih) dengan mengumpulkan seikat padi atau lebih sesuai
luas tanah garapan angggota sekeha. Kewajiban lain adalah bergotong royong
membersihkan dan memperbaiki kokoh (saluran), telabah (parit), pengempel (dam air)
dan tembuku (pintu air), dan lain-lain yang menyangkut sarana pengairan. Termasuk
gotong royong melakukan selametan pengempel atau selametan tembuku (kenduri).
Aturan pembagian air dan gotong royong membersihkan selokan dan
semacamnya yang berhubungan dengan kebutuhan pengairan persawahan masih
tetap ada, hanya saja terdapat perbedaan-perbedaan seperti tidak ada selametan
pengempel (selamatan setelah memperbaiki tembuku/selokan air), besiru nowong (saling
membantu menanam padi), serta tidak ada upacara selamatan sebelum memanen
hasil tanaman. Hal ini disampaikan oleh Bapak Tahir (50 Tahun) bahwa banjar
subak kalau di daerah asal kami di Lombok sangat digunakan saat mau menggarap
sawah mulai dari ngampar (menyemaikan bibit padi), nowang (menanam padi),
sampai mata (memanen padi) semuanya saling besiru (saling tolong secara
bergantian) tapi kalau disini ada Banjar tapi tidak terlalu digunakan yang sering
digunakan itu banjar merariq itu saja sudah beda caranya. Apa lagi banjar subak
sudah tidak digunakan sama sekali, kalau tiba waktunya menggarap sawah atau
panen tetap dilakukan selametan tapi dengan cara perorangan saja bahkan ada juga
yang tidak pake lagi (Wawancara, 27 Oktober 2012).
Secara khusus seperti yang dijelaskan dalam hasil wawancara di atas
menggambarkan bahwa banjar subak digunakan dalam aktifitas pertanian mulai dari
persemaian padi hingga waktu panen yang dilakukan dengan besiru (saling tolong-
menolong), namun aktifitas tersebut saat ini sudah mulai memudar dalam tradisi
komunitas Sasak di daerah ini. Fungsi banjar subak pada komunitas Suku Sasak di
Desa Watumelewe sebenarnya tidak seluruhnya hilang. Aktivitas pertanian memang
Juhaepa dan Sarpin: Fungsi Banjar dalam Suku Sasak terhadap Solidaritas Sosial

95

sudah dilakukan secara sendiri-sendiri, namun dalam proses penanaman sampai
pemanenan masih terlihat kegiatan gotong-royong di antara mereka.
4. Banjar haji
Berdasarkan hasil penelitian, banjar haji di Desa Watumelewe juga tidak
dipergunakan. Banjar haji dipergunakan oleh orang-orang yang mempunyai ekonomi
yang cukup lumayan, karena dalam tiap bulan ada iuran vang harus dikeluarkan
untuk setiap anggota. Hal ini dijelaskan oleh bapak Hirjan (38 Tahun) bahwa kalau
untuk Banjar haji memang tidak ada di sini karena itu akan sangat menyusahkan
anggota, saya bilang menyusahkan masalahnya belum ada yang punya pendapatan
yang menetap apalagi setiap beberapa bulan sekali ada iuran, untuk itu banjar haji
tidak diadakan. Tapi untuk kebersamaan tetap didahulukan kalau misalnya ada yang
tidak kompak lagi atau tidak ikut membantu teman dalam kesusahan dia nantinya
juga tidak dibantu kalau ada kesusahannya (Wawancara, 28 Oktober 2012).
Pendapatan anggota masih belum pasti dan itu nantinya akan berimplikasi terhadap
kekompakan anggota. Namun hal yang paling penting disini adalah adanya
konsekuensi yang di alami anggota apabila acuh tak acuh terhadap kesusahan
anggota lainnya, jika dia mendapatkan kesusahan akan dibalas juga dengan acuh tak
acuh oleh anggota banjar lainnya.
Varian Pengaruh Perubahan Soridaritas Sosial Masyarakat Sasak dalam
Kaitannya sebagai Anggota Banjar
Banjar yang menjadi simbol kebersamaan komunitas Suku Sasak dalam
berbagai kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama kini mulai mengalami
perubahan. Berikut faktor-faktor penyebab perubahan solidaritas sosial komunitas
Suku Sasak di Desa Watumelewe dalam kaitannya sebagai anggota banjar.
1. Kontak dengan budaya lain
Komunitas Suku Sasak tidak selalu mempertahankan apa yang menjadi
keyakinan dan tradisinya. Suatu anggapan dan kesadaran dari komunitas Suku Sasak
di Desa Watumelewe yang menganggap bahwa suatu budaya dari masyarakat lain
memiliki kegunaan dan mereka menerima budaya tersebut. Pernyataan tersebut juga
sejalan dengan pengakuan Bapak AsmuI (52 Tahun) yang mengatakan kita hidup
di daerah ini banyak suku dan itu sangat berpengaruh terhadap persatuan masyarakat
terutama suku sasak ini, ada yang mulai beranggapan jika tidak bisa dibantu oleh
suku sendiri ada banyak tetangga dari suku Iain yang mau membantu jika kita
meminta bantuannya, karena disini kita hidup sama-sama sebagai masyarakat
tranmigrasi (Wawancara, 28 Oktober 2012).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadinya kontak atau interaksi
dengan suku lain secara tidak langsung memengaruhi pola pikir dan prinsip yang
berbeda yang akan menimbulkan kerengganan solidaritas dalam budaya. Di Desa
Watumelewe, keberagaman suku dan budaya justru semakin memperkuat solidaritas
sosial antar suku bangsa. Budaya banjar adalah budaya komunitas Suku Sasak, namun
yang menjadi anggotanya tidak hanya dari kalangan Suku Sasak tetapi juga dari
kalangan suku-suku lain.
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

96

2. Pendidikan
Masalah tingkat pendidikan kurang berpengaruh terhadap perubahan yang
terjadi dalam komunitas Suku Sasak, khususnya dalam kaitannya sebagai anggota
banjar di Desa Watumelewe. Namun tak dapat dipungkiri faktor pendidikan
mempunyai sumbangsih yang sangat signifikan dalam proses terjadinya suatu
perubahan masyarakat. Suku Sasak di Desa Watumelewe umumnya berpendidikan
Sekolah Dasar (SD), ketika berinteraksi dengan anggota masyarakat lain yang
mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi otomatis pola pikir mereka akan
berubah, apalagi interaksi tersebut terjadi secara intensif dalam kehidupan
bermasyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendidikan tidak
memiliki pengaruh langsung terhadap perubahan solidaritas sosial komunitas Suku
Sasak. Tingkat pendidikan yang relatif rendah menyebabkan pola pikir yang tidak
maju. Mengembangkan budaya banjar sebagai bentuk solidaritas sosial masyarakat
seharusnya dilakukan oleh seluruh masyarakat, bukan hanya komunitas Suku Sasak
sehingga budaya ini menjadi budaya bersama masyarakat. Oleh karena itu,
perubahan pola pikir yang selalu menganggap bahwa budaya banjar sebagai milik
komunitas Suku Sasak harus diubah.
3. Sikap
Dalam budaya banjar terdapat proses kebersamaan yang sangat kuat dan segala
aktifitas dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang status maupun
perbedaan, yang ditampilkan pada saat itu adalah sikap saling peduli satu sama lain.
Bapak Hirjan (38 Tahun) menjelaskan bahwa budaya banjar menampilkan sikap rasa
saling peduli terhadap kesusahan yang di alami anggota, sikap itu Nampak pada saat
anggota mengalami kesulitan yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Akan
tetapi hal yang paling menghawatirkan saat ini sudah mulai nampak sikap rasa
ketidak pedulian anggota terhadap anggota yang lain, kita rasakan sendiri ketika akan
memakai banjar dalam proses selamatan atau hajatan paling yang datang bantu
hanya sebagian kecil dari anggota banjar (Wawancara, 3 November 2012).
Kekhawatiran yang terjadi sekarang adalah tingkat kepedulian anggota banjar
terhadap kegiatan banjar yang mulai menurun. Pada saat salah seorang anggota banjar
melaksanakan hajatan ada beberapa anggota yang tidak datang membantu tanpa
alasan yang jelas. Dari pernyataan informan tersebut dapat dikatakan bahwa fungsi
sosial dari banjar kurang berjalan, tetapi fungsi ekonomi dari banjar tetap berjalan
dengan baik.
4. Toleransi
Toleransi yang cukup tinggi yang ditampilkan oleh komunitas Suku Sasak
secara tidak langsung telah membawa mereka pada perubahan nilai dan budaya yang
mereka anut sebelumnya. Hal ini mereka sadari namun mereka harus menyesuaikan
diri dengan wilayah yang mereka diami. Seperti penuturan ibu Nur (38 Tahun) saya
tinggal di desa ini banyak bergaul dengan orang-orang dari suku lain yang
mempunyai kebiasaan yang berbeda dari saya, dan saya faham dan saya harus
memiliki sikap saling mengerti terhadap mereka, saya tidak bisa memaksakan
Juhaepa dan Sarpin: Fungsi Banjar dalam Suku Sasak terhadap Solidaritas Sosial

97

kehendak saya sendiri karena saya hidup seperti yang saya bilang tadi hidup bersama
orang-orang dari suku lain (Wawancara, 4 November 2012). Komunitas Suku Sasak
yang hidup di dalam wilayah yang heterogen mengedepankan sikap saling
memahami dan saling mengerti terhadap situasi dan kondisi kehidupan dalam
pergaulan hidup sehari-hari.
5. Sistem terbuka
Semakin terbukanya suatu masyarakat, menungkinkan masyarakat tersebut
melakukan kontak dengan masyarakat lain diluar dari komunitasnya. Akibatnya
dapat menyebabkan masyarakat yang satu mengalami perubahan kebudayaan dari
pengaruh kelornpok masyarakat lainnya. Budaya atau kebiasaan dari masyarakat yang
lebih kecil akan menyesuaikan dengan kebudayaan dari komunitas suku yang lebih
dominan. Hasil wawancara bersama ibu Nur (39 Tahun) menuturkan bahwa di
masyarakat transmigrasi tidak bisa kita berfikir hanya akan butuh bantuan sama suku
kita sendiri, kita juga mebutuhkan mereka yang dari suku diluar kelompok kita. Kita
harus lebih demokratis karena kalau tidak seperti itu akan ada kesenjangan dan
pertentangan yang terjadi, karena kita sudah menampikan rasa tidak saling percaya
terhadap yang lainnya. Budaya tetap kita kedepankan tapi rasa kebersamaan terhadap
anggota masyarakat lain tidak kalah pentingnya (Wawancara, 4 November 2012).
6. Penduduk yang heterogen
Desa Watumelewe adalah desa yang penduduknya tergolong heterogen yang
terdiri atas beberapa suku seperti suku Jawa, Bugis, Tolaki, Bali dan Muna.
Heterogenitas penduduk Desa Watumelewe ini merupakan simbol kekayaan budaya
yang dimiliki oleh Desa Watumelewe. Budaya Banjar dalam proses pelaksanaanya
bukan oleh anggota banjar saja dalam hal ini sebatas ruang lingkup Suku Sasak saja
kini mengalami perubahan, yakni masuknya kelompok-kelompok dari anggota
masyarakat di luar komunitas Suku Sasak. Ibu Murni (38 Tahun) memaparkan
bahwa kalau ada selamatan pernikahan atau pesta selain menggunakan banjar
sekarang juga menggunakan tenaga dari luar anggota banjar seperti tukang memasak,
dan bisa juga tukang buat kue-kue dan lainnya. Mungkin dirasa oleh yang punya
hajatan lebih bagus hasilnya makanya mereka pake orang Iain. Tapi itu juga sudah
wajar karena kita juga bertetangga dengan orang lain (Wawancara, 10 November
2012). Penduduk yang heterogen secara tidak langsung menuntut kita untuk saling
berbagi satu sama lain, karena pada hakekatnya kita hidup membutuhkan orang lain
diluar kelompok kita. Semula banjar hanya sebatas anggota namun karena hidup di
daerah transmigrasi maka kita juga membutuhkan orang lain diluar kelompok karena
dalam keseharian kita hidup berdampingan dengan mereka.
7. Ketidakpuasan
Budaya yang mempersatukan kebersamaan mereka di daerah transmigrasi
ternyata tidak membawa kepuasan dalam diri pribadi mereka. Hambali (35 Tahun)
menuturkan jujur saja saya pribadi merasa kurang puas dengan bantuan banjar, ini
saya katakan karena sekarang anggota-anggota banjar tidak sepenuhnya menolong
saat kita ada kesusahan, seperti banjar merariq yang sering digunakan di tempat ini
SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

98

kadang hanya datang membawa iuran berupa beras atau mungkin uang setelah itu
mereka menghilang tidak muncul lagi untuk membantu, pokoknya sudah mulai
berubah sikap anggota pada umumnya sehingga klo mereka ada kesusahan juga kita
malas-malas juga pergi bantu (Wawancara, 10 November 2012). Kenyataan
menunjukkan bahwa sudah ada anggota banjar yang merasa tidak puas dengan
aktifitas banjar yang ada di Desa Watumelewe. Ini disebabkan mulai kurangnya
perhatian atau kepedulian terhadap kesusahan yang dialami oleh anggota. Banjar
dijadikan sebagai wadah untuk mencari keuntungan oleh sebagian anggota. Misalnya
kalau sudah menggunakan bantuan banjar, adakalanya anggota banjar ini enggan
membantu anggota lain yang belum memakai banjar.
8. Orientasi masa depan
Masyarakat selalu mempunyai orientasi ke masa depan apakah ada atau tidak
manfaat yang harus didapatkan ketika akan mempertahankan budaya yang di anut
selama ini. Ketika tidak ada maka ada kemungkinan untuk meninggalkan nilai yang
sudah ada dengan menggantinva atau menyesuaikan dengan nilai-niiai yang baru
muncul untuk mempertahankan eksistensi kehidupan dalam bermasyarakat. Hasil
wawancara bersama bapak Lalu Ruslan (49 Tahun) menggambarkan keberadaan
budaya banjar di Desa Watumelewe saat ini adalah budaya banjar, karena banjar
sifatnya lebih terbuka terhadap perbedaan-perbedaan baik suku maupun budaya.
Mungkin itu juga salah satu penyebab terjadinya kerenggangan kebersamaan antar
anggota banjar sekarang ini, bukan masalah sebenarnya ketika dalam anggota banjar
saling memahami tapi yang ada dirasakan sekarang tujuan dan semangat sudah mulai
berbeda-beda. Ada yang beranggapan tanpa banjar kesusahan atau kesulitan dapat
selesai dan sebagainya ini menandakan kebersamaan yang sudah mulai memudar dan
lebih berfikir untuk kehidupan pribadi (Wawancara, 11 November 2012).
Budaya Sasak (Lombok) sejak masa lampau mengandung nilai-nilai yang sangat
luhur dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Memiliki relevansi dan makna yang
dijadikan acuan dalam pergaulan hidup. Namun dewasa ini, nilai-nilai yang
diwariskan oleh leluhur komunitas Suku Sasak telah mengalami pergeseran,
mengalami kelunturan, dan akan kehilangan makna yang sesungguhnya. Ini terjadi
karena adanaya pengaruh yang datang baik dari luar maupun dari dalam masyarakat
itu sendiri. Selain pemaparan di atas hal yang serupa pun diungkapkan oleh bapak
Hirjan (39 Tahun) bahwa memang lain rasanya kalau kita hidup bukan di daerah asal
sendiri, apalagi klo mau mengedepankan budaya. Sebenarnya bisa saja tapi tidak tau
juga masyarakat Lombok yang trans ini mungkin juga termasuk saya sendiri sudah
berfikir lain, dan sudah menganggap segala sesuatu bisa dikerjakan dengan usaha
tanpa harus terus-terusan berharap bantuan teman (Wawancara, 11 November
2012).
Budaya banjar komunitas Suku Sasak mengalami pergeseran atau perubahan
baik proses maupun pola fikir dari anggota banjar itu sendiri. lni terjadi karena
adanya faktor-faktor yang memengaruhi perubahan tersebut. Dari sekian banyak
faktor yang diamati dilapangan serta melalui proses wawancara yang panjang dapat
Juhaepa dan Sarpin: Fungsi Banjar dalam Suku Sasak terhadap Solidaritas Sosial

99

disimpulkan bahwa faktor yang paling dominan adalah kontak dengan kebudayaan
lain, toleransi, penduduk yang heterogen dan ketidakpuasan. Sedangkan faktor yang
lain seperti pendidikan, sikap, dan orientasi masa depan termasuk faktor penunjang
perubahan.
PENUTUP
Bentuk-bentuk banjar yang masih dipertahankan oleh komunitas Suku Sasak di
Desa Watumelewe adalah banjar merariq (banjar perkawinan) dan banjar mate (banjar
kematian). Sedangkan banjar subak (banjar petani sawah) dan banjar haji (banjar
perkumpulan haji) tidak dilakukan. Banjar subak tidak dilakukan karena pemerintah
melalui pamong tani sudah mengurus pengairan sawah. Begitu pula banjar haji tidak
dilakukan karena masih rendahnya kondisi ekonomi masyarakat. Fungsi banjar
dalam komunitas Suku Sasak di Desa Watumelewe adalah fungsi ekonomi dan
fungsi sosial. Sedangkan fungsi kerja sama dalam bidang keagamaan tidak berjalan
karena tidak terbentuknya banjar haji. Bantuan yang diberikan anggota banjar
kepada anggota banjar yang membutuhkan bantuan berupa 50 kg beras atau dalam
bentuk uang yang disesuaikan dengan harga beras. Kemudian bantuan dalam bentuk
tenaga sebagai perwujudan dari fungsi sosial.
Perubahan soridaritas sosial komunitas Suku Sasak saat ini dapat dilihat dari
perubahan bersifat positif dan negatif. Perubahan yang bersifat positif adalah
keanggotaan banjar ini tidak hanya dari kalangan komunitas Suku Sasak, tetapi juga
dari komunitas lain. Perubahan yang bersifat negatif adalah nilai kerja sama dan
kebersamaan yang mulai menurun akibat sudah kurangnya kepudulian beberapa
anggota banjar kepada anggota banjar yang membutuhkan bantuan. Perubahan ini
disebabkan oleh faktor adanya kontak dengan budaya lain, penduduk yang
heterogen, toleransi, sistem yang terbuka, sikap, ketidakpuasan, pendidikan dan
orientasi masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat.
Jakub, Ali. 1982. Aspek Geografis Budaya dalam Wilayah Pembangunan Daerah NTB.
Jakarta: Depdikbud.
Johnson, Paul Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.
Kamanto, Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Munandar, Soelaiman. 1993. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Eresco.
Satori, Djaman dan Komariah, Aan. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.
Yamin, Moch. dan Tolomundu, Farid. 2008. Besiru Revitalisasi Banjar di Lombok.
Mataram: Nada Cipta Litera.

You might also like