Professional Documents
Culture Documents
MATA KULIAH
PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU ORGANISASI
OLEH :
BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis Volume 14, Nomor 1, Juni 2010, hlm. 13-21 ISSN
: 2367-11271
PERAN PENAMBAHAN GAYA KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL PADA GAYA KEPEMIMPINAN
TRANSAKSIONAL DALAM MEMPREDIKSI KINERJA,
ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR, DAN
SIKAP BAWAHAN TERHADAP ATASAN:
Studi Empiris pada Perusahaan Peternakan
Desi Mayasari, Suci Paramitasari Syahlani, Ahmadi
Laboratorium Agrobisnis
Bagian Sosial Ekonomi Peternakan UGM
Jl. Fauna no 3, Bulaksumur, Yogyakarta, Phone. 0274-513363, HP. 0815 687 8525
email: ssyahlani@yahoo.com, suci.syahlani@ugm.ac.id
Abstract: This study aims to measure the influence of transformational leadership style on
performance, organizational citizenship behavior, and subordinates attitude toward the
leader. The research desing used in this study is survey. Respondents of this research
were 140 subordinates that worked in Three companies in livestock industry that has
international and national market share. Random sampling was use to determine the
respondents based on employee list. Data was analyzed by simple linear regression
analysis and multiple linear regression analysis. The results of the analysis show Thar
there is an increase explanation capability aplication of transformational leadership
addition on transactional leadership to performance, organizational citizenship behavior,
subordinates attitude towards the each leader were 2,3%, 8,3%, and 70,4% respectively.
The results of this research Led to the conclusion that transformasional leadership addition
gave stronger explanation of transactional leadership capability to predict performance,
organizational citizenship behavior, and subordinates attitude towards the leader. As many
as 17.1% variability of performance could be explained Bay addition transformational
leadership on transactional leadership, while it was 12,3% dan 72,4% on variability of
organizational citizenship behavior and attitude of subordinates respectively.
Keywords: Performance, organizational citizenship behavior, attitude, transformational
leadership
DEFINISI SIKAP
A; Pengertian Sikap
Sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang
objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan
cara tertentu (Calhoun & Acocella, 1995).
Menurut Azwar (2007), struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling
menunjang yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif Ketiga komponen tersebut secara
Gambar 1
Konsepsi skematis sikap Calhoun & Acocella (1995)
B; Pembentukan Sikap
Seseorang tidak dilahirkan dengan sikap dan pandangannya, melainkan sikap
tersebut terbentuk sepanjang perkembangannya. Dimana dalam interaksi sosialnya,
individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang
dihadapinya (Azwar, 1995).
Calhoun & Acocella (1995) menulis bahwa sumber pembentuk sikap ada empat,
yakni pengalaman pribadi, interaksi dengan orang lain atau kelompok , pengaruh media
massa dan pengaruh dari figur yang dianggap penting. Calhoun & Acocella (1995)
menambahkan bahwa tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan tingkat pendidikan ikut
mempengaruhi pembentukan sikap.
Dari beberapa pendapat di atas, Azwar (1995) menyimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan,
orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan
lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
1; pengalaman pribadi : Bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang
dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap
objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi
dalam situasi yang melibatkan emosi, karena penghayatan akan pengalaman lebih
mendalam dan lebih lama membekas.
2; pengaruh orang lain yang dianggap penting : Individu pada umumnya cenderung
memiliki sifat yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting
yang didorong oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik.
3; pengaruh kebudayaan : Pengaruh budaya sangat menekankan pengaruh lingkungan
(termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan
pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita
alami. Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu
masyarakat. Kebudayaanlah yang menanamkan garis pengarah sikap individu
terhadap berbagai masalah.
4; media massa : Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar,
majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang
mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika
cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu
hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
5; lembaga pendidikan dan lembaga agama : Lembaga pendidikan serta lembaga agama
sebagai sesuatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan
keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak
boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaranajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menetukan sistem
kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep
tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal.
Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan
mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang
tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang
diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali menjadi determinan
tunggal yang menentukan sikap.
6; faktor emosional : Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi
sebagai semacam penyaluran prustrasi atau pengalihan bentuk mekamisme
pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera
berlalu begitu prustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih
persisten dan bertahan lama.
C; Perubahan dan Fungsi Sikap
Sikap ternyata dapat berubah dan berkembang karena hasil dari proses belajar,
proses sosialisasi, arus informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya pengalamanpengalaman baru yang dialami individu (Davidoff, 1991). menyebutkan pungsi sikap ada
empat, yaitu :
1; fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat yang menunjukkan bahwa individu dengan
sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkannya dan
menghindari hal-hal yang tidak diinginkannya. Dengan demikian, maka individu akan
membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang dirasakan akan mendatangkan
keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang merugikannya.
2; fungsi pertahanan ego yang menunjukkan keinginan individu untuk menghindarkan
diri serta melindungi dari hal-hal yang mengancam egonya atau apabila ia
mengetahui fakta yang tidak mengenakkan , maka sikap dapat berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan
tersebut.
3; fungsi pernyataan nilai, menunjukkan keinginan individu untuk memperoleh kepuasan
dalam menyatakan sesuatu nilai yang dianutnya sesuai dengan penilaian pribadi dan
konsep dirinya.
4; fungsi pengetahuan menunjukkan keinginan individu untuk mengekspresikan rasa
ingin tahunya, mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya.
D; Penerjemahan Sikap Dalam Tindakan
Fleur (1958) mengemukakan 3 postulat guna mengidentifikasikan tiga
pandangan mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu postulat of consistency, postulat
of independent variation, dan postulate of contigent consistency.
Berikut ini penjelasan tentang ketiga postulat tersebut:
1; postulat konsistensi : Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal memberi
petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang
bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi postulat ini mengasumikan adanya
hubungan langsung antara sikap dan perilaku.
2; postulat variasi independen : Postulat ini mengatakan bahwa mengetahui sikap tidak
berarti dapat memprediksi perilaku karena sikap dan perilaku merupakan dua dimensi
dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda. : postulat konsistensi
kontigensi
Postulat konsistensi kontigensi menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku
sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan,
STIMULUS
KESADARAN
NEGATIF
SIKAP
TINDAKAN
POSITIF
Gambar 2
Proses Sikap Rogers (1983)
Sheeran (2003) berpendapat bahwa sikap merupakan orientasi yang bersifat
menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif dan perilaku.
Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek
sikap tertentu berupa fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang objek. Sedangkan
Komponen afektif menurut Stephan dan Stephan (1985) adalah komponen yang berkaitan
dengan perasaan dan emosi seseorang terhadap objek sikap. Dan komponen perilaku
merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan sikap yang ada
pada dirinya.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan pandangan, perasaan dan kecenderungan
seseorang bertindak terhadap objek sikap yang dipengaruhi oleh adanya kesadaran.
E; Penilaian Sikap
Sikap dapat diukur dengan metode/teknik :
1; Measurement by scales --- pengukuran sikap dengan menggunakan skala (skala
sikap).
2; Measurement by rating --- pengukuran sikap dengan meminta pendapat atau penilaian
para ahli yang mengetahui sikap individu yang dituju.
3; Indirect method --- pengukuran sikap secara tidak langsung yakni mengamati
(eksperimen) perubahan sikap/pendapat ybs.
Dua model skala sikap, yaitu : (1) Skala Sikap Likert, dan (2) Skala Sikap
Thorstone. Skala Sikap Likert tersusun atas beberapa pernyataan positif
(favorable statements) dan pernyataan negatif (unfavorable statements) yang mempunyai
lima kemungkinan jawaban (option) dengan kategori yang continuum, dari mulai jawaban
sangat setuju (strongly agree) sampai sangat tidak setuju (strongly disagree).
Langkah-langkah penyusunan Skala Sikap Likert :
1; Tentukan objek sikap
2; Buat kisi-kisi atau konstruk skala sikap (attitude scale construction)
3; Tulis pernyataan (statement) secara tepat (tidak mengandung penafsiran ganda dan
tidak mengandung kata-kata ekstrim yang memberi arah jawaban).
4; Kaji/analisis setiap pernyataan secara rasional (isi telah mewakili aspek/objek sikap dan
struktur kalimat benar).
5; Uji-coba skala sikap untuk menganalisis tingkat kebaikan (ketepatan skala dan daya
pembeda) secara empirik setiap pernyataan.
6; Analisis tingkat kebaikan skala sikap (reliabilitas, validitas, ketepatan skala dan daya
pembeda setiap pernyataan).
7; Melakukan pengukuran sikap terhadap responden dengan menggunakan skala sikap
yang telah teruji tingkat kebaikannya.
8; Memberi skor (scoring) terhadap lembar kerja/jawaban responden.
Menilai sikap individu atau kelompok (skor rata-rata), yakni dengan cara membanding skor
yang diperoleh dengan kriteria tertentu
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh gaya kepemimpinan
transformasional pada kinerja, organizational citizenship behavior, dan sikap bawahan
terhadap atasan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei.
Responden yang digunakan sebanyak 140 karyawan bawahan yang bekerja di tiga
perusahaan peternakan yang mempunyai pangsa pasar dalam dan luar negeri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan desain survei dengan menggunakan metode
wawancara. Responden penelitian ini adalah karyawan di tiga perusahaan yang bergerak
dalam industri peternakan pada level persuahaan dengan pangsa pasar internasional dan
nasional. Karyawan yang dimaksud adalah bagian dari suatu organisasi yang terstruktur
yang terdiri atas pimpinan dan bawahan. Sampel ditentukan dengan random sampling
berdasar data karyawan perusahaan. Jumlah responden sampel penelitian yang terlibat
dalam penelitian ini adalah 140 responden. Sejumlah 48 responden diambil dari
perusahaan peternakan A yang memiliki pangsa pasar internasional dan sejumlah 47 dan
45 reponden diambil dari perusahaan B dan C yang memiliki pangsa pasar nasional.
Kuesioner dikembangkan untuk mengukur kepemimpinan transformasional,
kepemimpinan transaksional, kinerja, OCB, dan kinerja dengan menggunakan skala Likert.
Uji kualitas data dilakukan dengan uji validitas dan reliabilitas. Kuesioner didasarkan atas
sistem penilaian skala Likert. Item pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner ini
menggunakan Multifactor Leadership Questionnaire atau MLQ (Bass dan Avolio,1990).
MLQ merupakan kuesioner untuk kepemimpinan transaksional dan transformasional.
Sehubungan dengan adanya penilaian atasan, peneliti memberikan keyakinan pada
responden bahwa jawaban responden bersifat rahasia, sehingga diharapkan responden
tidak memiliki keraguan dalam mengisi kuesioner.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada kinerja, OCB dan sikap
bawahan terhadap atasan. Penambahan gaya kepemimpinan transformasional
meningkatkan kemampuan dalam memprediksi kinerja, OCB dan sikap bawahan terhadap
atasan. Perusahaan besar dengan kapabilitas yang lebih baik dalam membentuk struktur
organisasi yang lebih efektif relatif lebih dapat menarik manfaat yang lebih besar dari
penambahan gaya kepemimpinan transformasional.
10
11
12
2;
3;
4;
5;
6;
7;
8;
9;
orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah
: social power, authority, wealth, preserving my public image dan social recognition.
Achievement. Tujuan dari tipe nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan
menunjukkan kompetensi sesuai standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi
kebutuhan bila seseorang merasa perlu untuk mengembangkan dirinya, serta jika
interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai khusus yang terdapat pada tipe nilai
ini adalah : succesful, capable, ambitious, influential.
Hedonism. Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang
diasosiasikan dengan pemuasan kebutuhan tersebut. Tipe nilai ini mengutamakan
kesenangan dan kepuasan untuk diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini
adalah : pleasure, enjoying life.
Stimulation. Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan
rangsangan untuk menjaga agar aktivitas seseorang tetap pada tingkat yang optimal.
Unsur biologis mempengaruhi variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah pengaruh
pengalaman sosial, akan menghasilkan perbedaan individual tentang pentingnya nilai
ini. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah kegairahan, tantangan dalam hidup.
Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : daring, varied life, exciting life.
Self-direction. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pikiran dan tindakan yang tidak
terikat (independent), seperti memilih, mencipta, menyelidiki. Self-direction bersumber
dari kebutuhan organismik akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi
dari tuntutan otonomi dan ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini
adalah : creativity, curious, freedom, choosing own goals, independent.
Universalism. Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial.
Tipe nilai ini mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan
perlindungan terhadap kesejahteraan umat manusia. Contoh nilai khusus yang
termasuk tipe nilai ini adalah : broad-minded, social justice, equality, wisdom, inner
harmony.
Benevolence. Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep
prososial. Bila prososial lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi,
tipe nilai benevolence lebih kepada orang lain yang dekat dari interaksi sehari-hari.
Tipe ini dapat berasal dari dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang
positif untuk mengembangkan kelompok, dan kebutuhan organismik akan afiliasi.
Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah peningkatan kesejahteraan individu yang
terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini
adalah : helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true friendship, mature love.
Tradition. Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku
yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama. Tradisi sebagian
besar diambil dari ritus agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan
motivasional dari tipe nilai ini adalah penghargaan, komitmen, dan penerimaan
terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai khusus yang termasuk
tipe nilai ini adalah : humble, devout, accepting my portion in life, moderate, respect
for tradition.
Conformity. Tujuan dari tipe nilai ini adalah pembatasan terhadap tingkah laku,
dorongan-dorongan individu yang dipandang tidak sejalan dengan harapan atau
norma sosial. Ini diambil dari kebutuhan individu untuk mengurangi perpecahan sosial
saat interaksi dan fungsi kelompok tidak berjalan dengan baik. Nilai khusus yang
13
termasuk tipe nilai ini adalah : politeness, obedient, honoring parents and elders, self
discipline.
10; Security. Tujuan motivasional tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni,
dan stabilitas masyarakat, hubungan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari
kebutuhan dasar individu dan kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua
minat, yaitu individual dan kolektif. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah :
national security, social order, clean, healthy, reciprocation of favors, family security,
sense of belonging.
C; Struktur Hubungan Nilai
Selain adanya 10 tipe nilai ini, Schwartz juga berpendapat bahwa terdapat suatu
struktur yang menggambarkan hubungan di antara nilai-nilai tersebut. Untuk
mengidentifikasi struktur hubungan antar nilai, asumsi yang dipegang adalah bahwa
pencapaian suatu tipe nilai mempunyai konsekuensi psikologis, praktis, dan sosial yang
dapat berkonflik atau sebaliknya berjalan seiring (compatible) dengan pencapaian tipe nilai
lain. Misalnya, pencapaian nilai achievement akan berkonflik dengan pencapaian nilai
benevolence, karena individu yang mengutamakan kesuksesan pribadi dapat merintangi
usahanya meningkatkan kesejahteraan orang lain. Sebaliknya, pencapaian nilai
benevolence dapat berjalan selaras dengan pencapaian nilai conformity karena keduanya
berorientasi pada tingkah laku yang dapat diterima oleh kelompok sosial.
Pencapaian nilai yang seiring satu dengan yang lain menghasilkan sistem
hubungan antar nilai sebagai berikut :
1; Tipe nilai power dan achievement, keduanya menekankan pada superioritas sosial
dan harga diri
2; Tipe nilai achievement dan hedonism, keduanya menekankan pada pemuasan yang
terpusat pada diri sendiri
3; Tipe nilai hedonism dan stimulation, keduanya menekankan keinginan untuk
memenuhi kegairahan dalam diri
4; Tipe nilai stimulation dan self-direction, keduanya menekankan minat intrinsik dalam
bidang baru atau menguasai suatu bidang
5; Tipe nilai self-direction dan universalism, keduanya mengekspresikan keyakinan
terhadap keputusan atau penilaian diri dan pengakuan terhadap adanya keragaman
dari hakekat kehidupan
6; Tipe nilai universalism dan benevolence, keduanya menekankan orientasi
kesejahteraan orang lain dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi
7; Tipe nilai benevolence dan conformity, keduanya menekankan tingkah laku normatif
yang menunjang interaksi intim antar pribadi
8; Tipe nilai benevolence dan tradition, keduanya mengutamakan pentingnya arti suatu
kelompok tempat individu berada
9; Tipe nilai conformity dan tradition, keduanya menekankan pentingnya memenuhi
harapan sosial di atas kepentingan diri sendiri
10; Tipe nilai tradition dan security, keduanya menekankan pentingnya aturan-aturan
sosial untuk memberi kepastian dalam hidup
11; Tipe nilai conformity dan security, keduanya menekankan perlindungan terhadap
aturan dan harmoni dalam hubungan sosial
14
12; Tipe nilai security dan power, keduanya menekankan perlunya mengatasi ancaman
ketidakpastian dengan cara mengontrol hubungan antar manusia dan sumberdaya
yang ada.
Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz
menyimpulkan bahwa tipe nilai dapat diorganisasikan dalam dimensi bipolar, yaitu :
1; Dimensi opennes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen
yang berlawanan dengan dimensi conservation yang mengutamakan batasan-batasan
terhadap tingkah laku, ketaatan terhadap aturan tradisional, dan perlindungan terhadap
stabilitas. Dimensi opennes to change berisi tipe nilai stimulation dan self direction,
sedangkan dimensi conservation berisi tipe nilai conformity, tradition, dan security.
2; Dimensi yang kedua adalah dimensi self-transcendence yang menekankan penerimaan
bahwa manusia pada hakekatnya sama dan memperjuangkan kesejahteraan sesama
yang berlawanan dengan dimensi self-enhancement yang mengutamakan pencapaian
sukses individual dan dominasi terhadap orang lain. Tipe nilai yang termasuk dalam
dimensi self-transcendence adalah universalism dan benevolence. Sedangkan tipe nilai
yang termasuk dalam dimensi self-enhancement adalah achievement dan power. Tipe
nilai hedonism berkaitan baik dengan dimensi self-enhancement maupun openness to
change
D; Hubungan Nilai Dan Tingkah Laku
Di dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan
tingkah laku. Nilai membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana
individu bertingkah laku dalam situasi tersebut (Rokeach, 1973; Kahle dalam Homer &
Kahle, 1988). Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam memilih dan
memutuskan sesuatu (Williams dalam Homer & Kahle, 1988). Danandjaja (1985)
mengemukakan bahwa nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku
seseorang, serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan pada
setiap individu. Karenanya nilai berpengaruh pada tingkah laku sebagai dampak dari
pembentukan sikap dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan
faktor penentu dalam berbagai tingkah laku sosial (Rokeach, 1973; Danandjaja, 1985).
Mengacu pada BST, nilai merupakan salah satu komponen yang berperan dalam
tingkah laku : perubahan nilai dapat mengarahkan terjadinya perubahan tingkah laku. Hal
ini telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian yang berhasil memodifikasi tingkah laku
dengan cara mengubah sistem nilai (Grube dkk., 1994; Sweeting, 1990; Waller, 1994;
Greenstein, 1976; Grube, Greenstein, Rankin & Kearney, 1977; Schwartz & Inbar-Saban,
1988). Perubahan nilai telah terbukti secara signifikan menyebabkan perubahan pula pada
sikap dan tingkah laku memilih pekerjaan, merokok, mencontek, mengikuti aktivitas politik,
pemilihan teman, ikut serta dalam aktivitas penegakan hak asasi manusia, membeli mobil,
hadir di gereja, memilih aktivitas di waktu senggang, berhubungan dengan ras lain,
menggunakan media masa, mengantisipasi penggunaan media, dan orientasi politik
(Homer & Kahle, 1988).
15
E; Fungsi Nilai
Fungsi utama dari nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:
1; Nilai sebagai standar (Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994), fungsinya ialah:
a; Membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam social issues
tertentu (Feather, 1994).
b; Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding
ideologi politik yang lain.
c; Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain.
d; Melakukan evaluasi dan membuat keputusan.
e; Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain,
memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku individu lain
yang berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah.
2; Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan
keputusan (Feather, 1995; Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994). Situasi tertentu
secara tipikal akan mengaktivasi beberapa nilai dalam sistim nilai individu. Umumnya
nilai-nilai yang teraktivasi adalah nilai-nilai yang dominan pada individu yang
bersangkutan.
3; Fungsimotivasional. Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku
individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk
mengekspresikan kebutuhan dasar sehingga nilai dikatakan memiliki fungsi
motivasional. Nilai dapat memotivisir individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu
(Rokeach, 1973; Schwartz, 1994), memberi arah dan intensitas emosional tertentu
terhadap tingkah laku (Schwartz, 1994). Hal ini didasari oleh teori yang menyatakan
bahwa nilai juga merepresentasikan kebutuhan (termasuk secara biologis) dan
keinginan, selain tuntutan sosial (Feather, 1994; Grube dkk., 1994).
F; Nilai Sebagai Keyakinan (Belief)
Dari definisinya, nilai adalah keyakinan (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994;
Feather, 1994) sehingga pembahasan nilai sebagai keyakinan perlu untuk memahami
keseluruhan teori nilai, terutama keterkaitannya dengan tingkah laku. Nilai itu sendiri
merupakan keyakinan yang tergolong preskriptif atau proskriptif, yaitu beberapa cara atau
akhir tindakan dinilai sebagai diinginkan atau tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan
definisi dari Allport bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi seseorang untuk
bertindak berdasarkan pilihannya (dalam Rokeach, 1973). Robinson dkk. (1991)
mengemukakan bahwa keyakinan, dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman
dalam suatu skema konseptual, tapi juga predisposisi untuk bertingkah laku yang sesuai
dengan perasaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut.
Dalam Rokeach (1973) dikatakan, sebagai keyakinan, nilai memiliki aspek
kognitif, afektif dan tingkah laku dengan penjelasan sebagai berikut:
1; Nilai meliputi kognisi tentang apa yang diinginkan, menjelaskan pengetahuan, opini
dan pemikiran individu tentang apa yang diinginkan.
2; Nilai meliputi afektif, di mana individu atau kelompok memiliki emosi terhadap apa
yang diinginkan, sehingga nilai menjelaskan perasaan individu atau kelompok
terhadap apa yang diinginkan itu.
3; Nilai memiliki komponen tingkah laku, artinya nilai merupakan variabel yang
berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku yang ditampilkan.
16
Pemahaman nilai sebagai keyakinan, tidak dapat dipisahkan dari model yang
dikembangkan Rokeach pertama kali pada tahun 1968, yang disebut Belief System Theory
(BST). Grube dkk. (1994) menjelaskan bahwa BST adalah organisasi dari teori yang
menjelaskan dan mengerti bagaimana keyakinan dan tingkah laku saling berhubungan,
serta dalam kondisi apa sistem keyakinan dapat dipertahankan atau diubah. Selanjutnya
dijelaskan bahwa dalam BST, tingkah laku merupakan fungsi dari sikap, nilai dan konsep
diri.
Menurut Grube, Mayton, II & Rokeach (1994), BST merupakan suatu kerangka
berpikir yang berupaya menjelaskan adanya organisasi antara sikap (attitude), nilai
(value), dan tingkah laku (behavior). Menurut teori ini, keyakinan dan tingkah laku saling
berkaitan. Keyakinan-keyakinan yang dimiliki individu terorganisasi dalam suatu dimensi
sentralitas atau dimensi derajat kepentingan. Suatu keyakinan yang lebih sentral akan
memiliki implikasi dan konsekuensi yang besar terhadap keyakinan lain. Jadi perubahan
suatu keyakinan yang lebih sentral akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap
tingkah laku dibandingkan pada keyakinan-keyakinan lain yang lebih rendah
sentralitasnya. Urutan keyakinan menurut derajat sentralitasnya adalah self-conceptions,
value, dan attitude.
Sikap (attitude) adalah keyakinan yang menempati posisi periferal/tepi atau
paling rendah sentralitasnya dalam BST. Sikap merupakan suatu organisasi dari
keyakinan-keyakinan sehari-hari tentang obyek atau situasi. Jumlah sikap yang dimiliki
individu dapat berhubungan dengan banyak obyek atau situasi yang berbeda-beda.
Karenanya seseorang dapat memiliki sikap yang ribuan jumlahnya. Mengingat sikap
adalah keyakinan yang periferal, maka perubahan sikap hanya memiliki pengaruh yang
terbatas pada tingkah laku.
Nilai (value) adalah keyakinan berikutnya yang lebih sentral. Nilai melampaui
suatu obyek dan situasi tertentu. Nilai memegang peranan penting karena merupakan
representasi kognitif dari kebutuhan individu di satu sisi dan tuntutan sosial di sisi lain.
Konsep diri (self-conceptions) adalah keyakinan sentral dari BST. Menurut Rokeach
(dalam Grube, Mayton, II & Rokeach, 1994) konsep diri adalah keseluruhan konsepsi
individu tentang dirinya yang meliputi organisasi semua kognisi dan konotasi afektif yang
berupaya menjawab pertanyaan "Siapa diri saya ini?". Semua keyakinan lain dan tingkah
laku terorganisasi di sekeliling konsep diri dan berupaya menjaga konsep diri yang positif.
Jadi, perubahan pada satu komponen BST, akan menyebabkan perubahan pada
komponen lain termasuk tingkah laku. Berbeda dengan sikap, nilai adalah keyakinan
tunggal yang mengatasi obyek maupun situasi. Karenanya, perubahan nilai lebih
dimungkinkan akan menyebabkan perubahan komponen lainnya dibandingkan yang lain.
G; Pengukuran Nilai
Selama ini pengukuran nilai didasarkan kepada hasil evaluasi diri yang
dilaporkan oleh individu ke dalam suatu skala pengukuran (mis. Rokeach value survey,
Schwartz value survey). Evaluasi diri membutuhkan pemahaman kognitif maupun afektif
terhadap diri sendiri, termasuk untuk membedakan antara nilai ideal normatif dan nilai
faktual yang ada saat ini. Sejalan dengan hal ini, Schwartz, Verkasalo, Antonovsky dan
Sagiv (1997) melihat hubungan antara respon terhadap social desirability dan skala nilai
berdasarkan pelaporan diri. Mereka membuktikan bahwa terjadi bias pada pengukuran
nilai yang mengandung aspek social desirability tinggi, yaitu pada tipe nilai hedonism,
17
18
METODE PENELITIAN
A; Disain Penelitian
Berdasarkan deskripsi tujuan penelitian adalah penelitian korelasional dan bukan
deskriptif, dalam deskripsi waktu penelitian ini bersifat cross-sectional dan bukan
longitudinal, dari deskripsi keluasan dan kedalaman topik merupakan penelitian statistik
dan bukan kasus Berdasarkan deskripsi lingkungan penelitian merupakan penelitian
lapangan dan bukan penelitian laboratorium atau simulasi, dan berdasarkan deskripsi
aktivitas persepsi responden (subjects perception) merupakan penelitian yang
menggunakan aktivitas rutin aktual responden dan bukan aktivitas yang dimodifikasi.
Penelitian ini dirancang untuk mengetahui adanya pengaruh antara variabel
independen dengan variabel dependen serta variabel mediasi seperti dirumuskan dalam
hipotesis yang memerlukan pengujian lebih lanjut. Oleh karena itu, desain penelitian ini
termasuk pada desain studi konfirmatori yang bertujuan menguji hipotesis. Metode
pengumpulan data dilakukan melalui survei dengan menggunakan kuesioner.
B; Sampel dan Pengukuran
Ukuran sampel memegang peranan penting dalam estimasi dan interpretasi
hasil. Ukuran sampel sebagaimana dalam metode statistik lainnya menghasilkan dasar
untuk mengestimasi kesalahan sampling. Rumus untuk menghitung besar sampel untuk
pemodelan SEM sampai sekarang belum ada, tetapi beberapa pengalaman yang pernah
ditulis menunjukkan besar sampel yang cukup adalah berkisar 100-200. Bila terlalu besar,
metode ini menjadi sensitif, sehingga sulit untuk mendapatkan Goodness of fit yang baik.
Untuk itu disarankan ukuran sampel adalah 5-10 observasi untuk setiap estimasi
parameter., sehingga apabila terdapat 20 parameter yang diestimasi, maka diperlukan
100-200 observasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di Bandar lampung. Penentuan
jumlah sampel sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Roscoe (1975) seperti
yang dikutip oleh Sekaran (2003)
1; Jumlah sampel yang lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 sudah cukup dalam
penelitian.
2; Dalam penelitian multivariat (termasuk analisis regresi berganda) jumlah sampel
harus beberapa kali lebih besar dari jumlah variabel dalam penelitian (sebaiknya 10
kali atau lebih besar).
3; Penelitian ini menggunakan SEM, maka minimal sampel yang digunakan adalah 200
responden.
Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah non-probability sampling,
artinya setiap anggota populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan
sebagai sampel, karena tidak diketahui jumlah populasinya. Teknik sampling yang
digunakan adalah convenience sampling.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dara primer. Data
primer dalam penelitian ini berasal dari responden, yaitu orang-orang yang merespon atau
menjawab setiap pertanyaan penelitian. Data diambil dengan menggunakan kuesioner
19
penelitian. Kuesioner dirancang dan berisikan informasi data responden dan pernyataan
yang diharapkan dapat mengungkap gaya hidup dan nilai responden, serta niat berperilaku
mereka. Unit analisis dalam penelitian ini adalah pada level individual dan dilakukan
melalui satu kali survai bukan longitudinal
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Nilai dan gaya hidup memiliki pengaruh postif pada perilaku ramah lingkungan.
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian konfirmatori dengan mengacu pada
model yang telah diajukan oleh peneliti sebelumnya. Perbedaan dengan penelitian
sebelumnya terletak pada latar yang digunakan. Dilihat dari hasil indeks kesesuaian pada
model pengukuran yang ada belum fit. Hal ini perlu dilanjutkan dengan pengujian model
struktural yang tidak dilakukan pada penelitian ini.
Berdasarkan hasil uji regresi yang ada menampilkan bahwa nilai dan gaya hidup
dalam diri konsumen menjadi faktor penting yang harus diperhatikan oleh praktisi
pemasaran dalam hal ini pemasar produk ramah lingkungan. Untuk konsumen yang
memiliki nilai. Penelitian lain perlu dilakukan untuk melihat konsistensi instrument
penelitian yang ada, dengan menambah variabel atau konstruk lain dan menggunakan
latar industri yang berbeda.
20
Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.3, No. 1, April 2012, 123-140)
ISSN : 2367-11271
Pengaruh Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja dengan Mediasi
Komitmen (di PT Alam Kayu Sakti Semarang)
A Soegihartono
Fakultas Ekonomi Universitas Dian Nuswantoro, Jl Nakulo 5-11 Semarang Tawangmas
Semarang Barat Semarang Jawa Tengah
Abstrak: Tujuan dari penelitian adalah untuk menguji dan menganalisis apakah ada
pengaruh kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan PT. Alam Kayu
Sakti (PT. ALKA) Semarang dengan mediasi komitmen organisasional. Sebagai obyek
penelitian ini adalah karyawan tetap PT. Alam Kayu Sakti (PT. ALKA) Semarang dengan
sampel sebanyak 109 kryawan yang dijadikan sebagai responden. Pertanyaan yang
digunakan telah dilakukan uji validitas dengan analisis faktor dan reliabilitas dengan
cronbach alpha dan intrumen tersebut valid dan reliabel atau layak digunakan sebagai alat
penelitian. Adapun hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut: Penelitian ini dapat
membuktikan kepemimpinan berpengaruh positip terhadap komitmen organisasional. Ini
sesuai dengan teorinya Bass (1990). Penelitian ini dapat membuktikan kepuasan kerja
berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional. Ini sesuai penelitian Johlke (2000).
Penelitian ini dapat membuktikan kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja. Ini
sesuai dengan teorinya Bass (1990). Penelitian ini dapat membuktikan kepuasan kerja
berpengaruh positip terhadap kinerja. Ini sesuai dengan teorinya Robins (1996). Penelitian
ini membuktikan komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap kinerja. Ini sesuai
dengan penelitian Johlke dkk (2000). Penelitian ini tidak membuktikan bahwa komitmen
organisasi memediasi pada pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja. Ini sesuai dengan
penelitian Tri Murdoko (2007). Penelitian ini tidak membuktikan bahwa komitmen
organisasi memediasi pada pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja. Ini sesuai dengan
penelitian Yustiani, Utai Dian (2005).
Kata kunci: Kepemimpinan, kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kinerja.
DEFINISI KEPUASAN KERJA :
A; Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut istilah umum ketenagakerjaan, kepuasan kerja adalah derajat kepuasan
yang dapat dirasakan oleh karyawan dalam memenuhi kebutuhan pribadi yang penting
melalui pengalaman bekerja. Kebutuhan ini dapat mencakupi: kompensasi yang memadai
dan adil; lingkungan kerja yang aman dan sehat; berkembangnya kemampuan diri sebagai
manusia yang memungkinkan karyawan dapat menggunakan serta mengembangkan
keterampilan serta pengetahuan mereka dan mempertahankan kepentingan diri pada
kepentingan yang lebih tinggi; pertumbuhan dan keamanan (kesempatan berkembang
dalam karier); adanya perlindungan hak-hak karyawan; dapat memenuhi tuntutan-tuntutan
kerja yang masuk akal, dan sebagainya. (http://www.nakertrans.go.id)
21
Kepuasan kerja sebagai satu set sikap yang dipegang oleh individu mengenai
pekerjaannya. Kepuasan kerja adalah pelahiran psikologikal individu terhadap
pekerjaannya yaitu bagaimana individu itu melihat pekerjaannya. Sikap seseorang
pekerja boleh dibahagikan kepada dua bahagian yaitu sikap positif dan negatif. Pekerja
yang bersikap positif adalah mereka yang mendapakepuasan kerja. Manakala mereka
yang bersikap negatif ialah mereka yang mengalami ketidakpuasan kerja.
Kepuasan kerja sebagai satu tindakbalas pekerja yang berpuas hati terhadap
kerjanya. Oleh itu kepuasan kerja dianggap sebagai apa yang dikehendaki oleh pekerja
atau diharapkan dari pekerja. Kepuasan kerja adalah keadaan emosi positif, gembira dan
menyeronokkan hasil daripada penilaian pekerjaan dan pengalaman pekerjaan seseorang
sebagai menyenangkan dan berjaya. Pekerja yang mempunyai kepuasan kerja akan
menghasilkan kerja yang lebih bermutu dan produktif. Kepuasan kerja merujuk kepada
perasaan
atau
tindakbalas
emosi
individu terhadap aspek situasi kerja.
(http://www.uum.edu.my)
Menurut Drs H Rusdi Lubis, kepuasan kerja dapat dilihat dari reaksi seseorang
terhadap hasil kerjanya, oleh karenanya lebih bersifat emosional. Dalam hal tersebut,
memberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya dan
menyelesaikannya sampai tahap akhir adalah kondisi yang
diciptakan
didalam
organisasi, unit kerja atau perusahaan. (http://www.padang-ekspres.co.id),
Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk
mendapatkan hasil kerja yang optimal. Ketika seorang merasakan kepuasan dalam
bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas
dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal. Dalam kenyataannya, di
Indonesia dan juga mungkin di negara-negara lain, kepuasan kerja secara menyeluruh
belum mencapai tingkat maksimal. (http://www1.bpkpenabur.or.id)
Editorial Jurnal Pendidikan : kepuasan kerja juga tergantung pada hasil intrinsik,
ekstrinsik, dan persepsi pemegang kerja pada pekerjaannya, sehingga kepuasan kerja
adalah tingkat di mana seseorang merasa positif atau negatif tentang berbagai segi dari
pekerjaan, tempat kerja, dan hubungan dengan teman kerja. Enam jenis sasaran yang
harus dicapai sebelum kepuasan kerja dapat diperoleh adalah uang, wibawa, kedudukan,
keamanan, pengakuan, rasa memiliki, dan kreativitas. Kepuasan kerja adalah keadaan di
mana seorang pekerja merasa senang, gembira, bangga, berhasil, dihargai, adanya rasa
kekeluargaan, saling menghormati, saling mendukung yang timbul karena keadaan
pekerjaan dapat memenuhi harapan. (http://www.depdiknas.go.id)
Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah cara seorang pekerja merasakan
pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan generaralisasi sikap-sikap terhadap pekerjaan
yang didasarkan atas aspek-aspek perkerjaannya bermacam-macam. Kepuasan kerja
adalah suatu sikap positif dan juga bisa negatif yang dipunyai individu terhadap berbagai
segi pekerjaan, tempat kerja dan hubungan dengan teman sekerja. Kepuasan kerja (Job
Satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu yang menilai perbedaan antara
jumlah imbalan yang diterima dengan yang diyakininya seharusnya diterima. Individu
yang mempunyai kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap yang positif terhadap kerja
itu, individu yang tidak berpuas hati dengan kerja mempunyai sikap yang negatif terhadap
pekerjaan itu. (http://www.geocities.com/guruvalah)
22
Menurut Keith Davis dan John W Newstrom, dalam bukunya Perilaku Dalam
Organisasi, kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang
menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Ada perbedaan yang penting antara
perasaan ini dengan dua unsur lainnya dari sikap pegawai. Kepuasan kerja adalah
perasaan senang atau tidak senang yang relatif yang berbeda dari pemikiran objektif dan
keinginan perilaku. Ketiga bagian sikap itu membantu para manajer memahami reaksi
pegawai terhadap pekerjaan mereka dan memperkirakan dampaknya pada perilaku di
masa datang. Apabila pegawai bergabung dalam suatu organisasi, ia membawa serta
seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat,d an pengalaman masa lalu yang menyatu
membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan
seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan. Jadi kepuasan kerja juga
berkaitan erat dengan teori keadilan, perjanjian psikologis, dan motivasi. Kepuasan kerja
umumnya mengacu pada sikap seorang pegawai. Kepuasan kerja juga dapat mengacu
pada tingkat sikap yang umum di dalam suatu kelompok. Kepuasan kerja memiliki banyak
dimensi. Ia dapat mewakili sikap secara menyeluruh, atau mengacu pada bagian
pekerjaan seseorang. Sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan kerja bersifat dinamik.
Kepuasan kerja adalah bagian dari kepuasan hidup. Sifat lingkungan seseorang di luar
pekerjaan mempengaruhi perasaan di dalam pekerjaan. Demikian juga halnya, karena
pekerjaan merupakan bagian penting kehidupan, kepuasan kerja mempengaruhi kepuasan
hidup seseorang. Hasilnya, terdapat dampak bolak balik yang terjadi antara kepuasan
kerja dan kepuasan hidup.
23
Urutannya adalah prestasi yang lebih baik secara khas menimbulkan imbalan
ekonomi, sosiologis, dan psikologis yang lebih tinggi. Apabila imbalan itu dipandang pantas
dan adil, maka timbul kepuasan yang lebih besar karena pegawai merasa bahwa mereka
menerima imbalan yang sesuai dengan prestasinya. Sebaliknya, apabila imbalan
dipandang tidak sesuai dengan tingkat prestasinya, cenderung timbul ketidakpuasan.
Dalam hal apa pun, tingkat kepuasan seseorang dapat menimbulkan keikatan lebih besar
atau dapat pula menimbulkan keikatan lebih kecil yang kemudian mempengaruhi upaya
dan akhirnya prestasi. Akibatnya adalah terdapat garis hubungan yang terus menerus
antara prestasi dan kepuasan kerja.
B; Teori Dasar Kepuasan Kerja
Wexley et all, telah mengkategorikan teori-teori kepuasan kerja kepada tiga
kumpulan utama, yaitu : 1). Teori ketidaksesuaian (discrepancy); 2) Teori keadilan (equity
theory) ; 3) Teori Dua Faktor.
1; Teori Ketidaksesuaian. Menurut Locke kepuasan atau ketidak puasan dengan aspek
pekerjaan tergantung pada selisih (discrepancy) antara apa yang dianggap telah
didapatkan dengan apa yang diinginkan. Jumlah yang diinginkan dari karakteristik
pekerjaan didefinisikan sebagai jumlah minimum yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan anda. Seseorang akan terpuaskan jika tidak ada selisih antara kondisikondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin besar kekurangan dan
semakin banyak hal-hal penting yang diinginkan, semakin besar ketidak puasannya,
Jika lebih banyak jumlah faktor pekerjaan yang diterima secara minimal dan
kelebihannya menguntungkan (misalnya : upah ekstra, jam kerja yang lebih lama)
orang yang bersangkutan akan sama puasnya bila terdapat selisih dari jumlah yang
diinginkan.
Proter mendefiniskan kepuasan sebagai selisih dari banyaknya sesuatu yang
seharusnya ada dengan banyaknya apa yang ada. Konsepsi ini pada dasarnya
sama dengan model Locke, tetapi apa yang seharusnya ada. Menurut Locke berarti
24
25
26
Kesimpulannya dalam teori dua faktor bahwa terdapat faktor pendorong yang
berkaitan dengan perasaan positif terhadap pekerjaan sehingga membawa kepuasan
kerja, dan yang kedua faktor yang dapat mengakibatkan ketiak puasan kerja.
Kepuasan kerja adalah motivator primer yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri,
sebaliknya ketidakpuasan pada dasarnya berkaitan dengan memuaskan anggota
organisasi dan menjaga mereka tetap dalam organisasi dan itu berkaitan dengan
lingkungan.
Dari penjelasan tersebut dapat dikemukakan tentang ciri-ciri tentang
kepuasan kerja :
1; Hasil persepsi karyawan terhadap pekerjaan sehingga menimbulkan sikapnya
terhadap pekerjaan, sikap tersebut bisa positif dan bisa pula negatif.
2; Penilaian karyawan terhadap perbedaan antara imbalan dengan dengan harapan.
3; Karyawan yang puas akan bersikap positif terhadap pekerjaan, sebaliknya karyawan
yang tidak puas bisa bersikap negatif terhadap pekerjaan.
Upah/gaji merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi penyebab paling
mungkin terhadap ketidak puasan kerja. Upah yang diberikan untuk pekerja dalam posisi
yang sama merupakan penyebab terhadap keyakinan seseorang tentang seberapa besar
gaji yang harus diterima. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan profesional pekerja
semakin tinggi kemungkinan ia melakukan perbandingan sosial dengan orang-orang
yang berprofesi sama di luar organisasi. Jika upah atau gaji yang diberikan oleh
organisasi lebih rendah dari upah yang berlaku dalam masyarakat untuk suatu tipe
pekerjaan, para pekerja mungkin sekali tidak akan puas dengan upah atau gajinya.
Banyak orang bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk bekerja di lokasi yang lebih
diinginkan atau pada pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang
lebih besar dalam pekerjaan yang mereka lakukan dan jam kerja. Tetapi kunci yang
menautkan upah dan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; lebih penting
lagi adalah persepsi keadilan. Kondisi atau keadaan tempat kerja merupakan penyebab
kepuasan kerja.
Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial.
Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan
mendukung ke kepuasan kerja yang meningkat. Bagi sebagian karyawan, pekerjaan yang
tidak menarik misalnya karena sangat teknis dan repetitive sehingga tidak lagi menuntut
imajinasi, inovasi dan kreatifitas dalam pelaksanaannya merupakan salah satu sumber
ketidak puasan yang tercermin pada tingkat kebosanan yang tinggi.
Kebanyakan pekerja ingin menunjukkan hasil karya yang melebihi sekedar
persyaratan minimal. Karena itu pekerjaan yang mengandung tantangan yang apabila
terselesaikan dengan baik merupakan salah satu sumber kepuasan kerja. Semakin besar
keragaman aktivitas yang dilaksanakan oleh seorang pekerja, pekerjaan tersebut semakin
tidak menjemukan. Pekerjaan yang sangat membosankan adalah pekerjaan dengan
aktivitas-aktivitas yang sama, sederhana dan berulang-ulang setiap beberapa menit, atau
ratusan kali setiap hari. Suatu pekerjaan yang mencakup semakin banyak keterampilan
dan bakat- bakat yang relevan dengan identitas diri pekerja, pekerja semakin lebih
merasakan bahwa ia melaksanakan pekerjaan yang berarti ketimbang sekedar menepati
waktu. (http://www.geocities.com/guruvalah)
27
28
29
30
B; Variabel Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan dan hipotesis, maka variabel dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1; Variabel bebas (x) terdiri dari:
a; Kepemimpinan (X1)
b; Kepuasan kerja (X2)
2; Variabel mediasi, yaitu: Komitmen
Veriabel Komitmen bisa menjadi variabel terikat apabila dihubungkan antara
variabel Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja. Variabel Komitmen menjadi variabel bebas
apabila dihubungkan dengan variabel kinerja:
a; Variabel terikat (Y): kinerja karyawan
b; Variabel komitmen menjadi mediasi akan dianalisis pengaruhnya hubungan
kepemimpinan terhadap kinerja karyawan.
c; Variabel komitmen menjadi mediasi akan dianalisis pengaruhnya hubungan
kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.
KESIMPULAN
Dari hasil yang telah diteliti di PT. Alam Kayu Sakti Semarang, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1; Penelitian ini dapat membuktikan kepemimpinan berpengaruh positip terhadap
komitmen organisasional. Ini sesuai dengan teorinya Bass (1990).
2; Penelitian ini dapat membuktikan kepuasan kerja berpengaruh positip terhadap
komitmen organisasional. Ini sesuai penelitian Johlke (2000).
3; Penelitian ini dapat membuktikan kepemimpinan berpengaruh positip terhadap kinerja.
Ini sesuai dengan teorinya Bass (1990).
4; Penelitian ini dapat membuktikan kepuasan kerja berpengaruh positip terhadap kinerja.
Ini sesuai dengan teorinya Robins (1996).
5; Penelitian ini membuktikan komitmen organisasional berpengaruh positip terhadap
kinerja. Ini sesuai dengan penelitian Johlke dkk (2000).
6; Penelitian ini tidak membuktikan bahwa komitmen organisasi memediasi pada
pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja. Ini sesuai dengan penelitian Tri Murdoko
(2007).
7; Penelitian ini tidak membuktikan bahwa komitmen organisasi memediasi pada
pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja. Ini sesuai dengan penelitian Yustiani, Utai
Dian (2005).