You are on page 1of 30

IDENTIFIKASI DAN KAJIAN

TENTANG: NILAI, SIKAP DAN


KEPUASAN KERJA
i

MATA KULIAH
PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU ORGANISASI

OLEH :

PASCA SARJANA MAGISTER ADMINITRASI PENDIDIKAN


UNIVERSITAS MATARAM
2014

BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis Volume 14, Nomor 1, Juni 2010, hlm. 13-21 ISSN
: 2367-11271
PERAN PENAMBAHAN GAYA KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL PADA GAYA KEPEMIMPINAN
TRANSAKSIONAL DALAM MEMPREDIKSI KINERJA,
ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR, DAN
SIKAP BAWAHAN TERHADAP ATASAN:
Studi Empiris pada Perusahaan Peternakan
Desi Mayasari, Suci Paramitasari Syahlani, Ahmadi
Laboratorium Agrobisnis
Bagian Sosial Ekonomi Peternakan UGM
Jl. Fauna no 3, Bulaksumur, Yogyakarta, Phone. 0274-513363, HP. 0815 687 8525
email: ssyahlani@yahoo.com, suci.syahlani@ugm.ac.id
Abstract: This study aims to measure the influence of transformational leadership style on
performance, organizational citizenship behavior, and subordinates attitude toward the
leader. The research desing used in this study is survey. Respondents of this research
were 140 subordinates that worked in Three companies in livestock industry that has
international and national market share. Random sampling was use to determine the
respondents based on employee list. Data was analyzed by simple linear regression
analysis and multiple linear regression analysis. The results of the analysis show Thar
there is an increase explanation capability aplication of transformational leadership
addition on transactional leadership to performance, organizational citizenship behavior,
subordinates attitude towards the each leader were 2,3%, 8,3%, and 70,4% respectively.
The results of this research Led to the conclusion that transformasional leadership addition
gave stronger explanation of transactional leadership capability to predict performance,
organizational citizenship behavior, and subordinates attitude towards the leader. As many
as 17.1% variability of performance could be explained Bay addition transformational
leadership on transactional leadership, while it was 12,3% dan 72,4% on variability of
organizational citizenship behavior and attitude of subordinates respectively.
Keywords: Performance, organizational citizenship behavior, attitude, transformational
leadership
DEFINISI SIKAP
A; Pengertian Sikap
Sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang
objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan
cara tertentu (Calhoun & Acocella, 1995).
Menurut Azwar (2007), struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling
menunjang yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif Ketiga komponen tersebut secara

bersama-sama membentuk sikap seseorang. Komponen kognitif merupakan representasi


terhadap apa yang dipercayai oleh seseorang. Komponen afektif merupakan perasaan
yang menyangkut aspek emosionaL Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan
berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang.
Calhoun & Acocella (1995) membagi sikap menjadi tiga komponen yaitu:
1; Komponen kognitif, adalah komponen yang terdiri dari pengetahuan Pengetahuan
inilah yang akan membentuk keyakinan dan pendapat tertentu tentang objek sikap.
2; Komponen afektif, adalah komponen yang berhubungannya dengan perasaan senang
atau tidak senang, sehingga bersifat evaluatif. Komponen ini erat hubungannya dengan
sistem nilai yang dianut pemilik sikap.
3; Komponen konatif, adalah komponen sikap yang berupa kesiapan seseorang untuk
berperilaku yang berhubungan dengan objek sikap.
Sikap memiliki beberapa karakteristik, antara lain: arah, intensitas, keluasan,
konsistensi dan spontanitas Calhoun & Acocella (1995). Karakteristik dan arah
menunjukkan bahwa sikap dapat mengarah pada persetujuan atau tidaknya individu,
mendukung atau menolak terhadap objek sikap. Karakteristik intensitas menunjukkan
bahwa sikap memiliki derajat kekuatan yang pada setiap individu bisa berbeda
tingkatannya. Karakteristik keluasan sikap menunjuk pada cakupan luas tidaknya aspek
dari objek sikap. Karakteristik spontanitas mengindikasikan sejauh mana kesiapan individu
dalam merespon atau menyatakan sikapnya secara spontan.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap
adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi yang
merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling
bereaksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Gambar 1
Konsepsi skematis sikap Calhoun & Acocella (1995)

B; Pembentukan Sikap
Seseorang tidak dilahirkan dengan sikap dan pandangannya, melainkan sikap
tersebut terbentuk sepanjang perkembangannya. Dimana dalam interaksi sosialnya,
individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang
dihadapinya (Azwar, 1995).
Calhoun & Acocella (1995) menulis bahwa sumber pembentuk sikap ada empat,
yakni pengalaman pribadi, interaksi dengan orang lain atau kelompok , pengaruh media
massa dan pengaruh dari figur yang dianggap penting. Calhoun & Acocella (1995)
menambahkan bahwa tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan tingkat pendidikan ikut
mempengaruhi pembentukan sikap.
Dari beberapa pendapat di atas, Azwar (1995) menyimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan,
orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan
lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
1; pengalaman pribadi : Bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang
dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap
objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi
dalam situasi yang melibatkan emosi, karena penghayatan akan pengalaman lebih
mendalam dan lebih lama membekas.
2; pengaruh orang lain yang dianggap penting : Individu pada umumnya cenderung
memiliki sifat yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting
yang didorong oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik.
3; pengaruh kebudayaan : Pengaruh budaya sangat menekankan pengaruh lingkungan
(termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan
pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement yang kita
alami. Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu
masyarakat. Kebudayaanlah yang menanamkan garis pengarah sikap individu
terhadap berbagai masalah.
4; media massa : Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar,
majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang
mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika
cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu
hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
5; lembaga pendidikan dan lembaga agama : Lembaga pendidikan serta lembaga agama
sebagai sesuatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan
keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak
boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaranajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menetukan sistem
kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep
tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal.
Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan
mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang

tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang
diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali menjadi determinan
tunggal yang menentukan sikap.
6; faktor emosional : Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi
sebagai semacam penyaluran prustrasi atau pengalihan bentuk mekamisme
pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera
berlalu begitu prustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih
persisten dan bertahan lama.
C; Perubahan dan Fungsi Sikap
Sikap ternyata dapat berubah dan berkembang karena hasil dari proses belajar,
proses sosialisasi, arus informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya pengalamanpengalaman baru yang dialami individu (Davidoff, 1991). menyebutkan pungsi sikap ada
empat, yaitu :
1; fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat yang menunjukkan bahwa individu dengan
sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkannya dan
menghindari hal-hal yang tidak diinginkannya. Dengan demikian, maka individu akan
membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang dirasakan akan mendatangkan
keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang merugikannya.
2; fungsi pertahanan ego yang menunjukkan keinginan individu untuk menghindarkan
diri serta melindungi dari hal-hal yang mengancam egonya atau apabila ia
mengetahui fakta yang tidak mengenakkan , maka sikap dapat berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan
tersebut.
3; fungsi pernyataan nilai, menunjukkan keinginan individu untuk memperoleh kepuasan
dalam menyatakan sesuatu nilai yang dianutnya sesuai dengan penilaian pribadi dan
konsep dirinya.
4; fungsi pengetahuan menunjukkan keinginan individu untuk mengekspresikan rasa
ingin tahunya, mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya.
D; Penerjemahan Sikap Dalam Tindakan
Fleur (1958) mengemukakan 3 postulat guna mengidentifikasikan tiga
pandangan mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu postulat of consistency, postulat
of independent variation, dan postulate of contigent consistency.
Berikut ini penjelasan tentang ketiga postulat tersebut:
1; postulat konsistensi : Postulat konsistensi mengatakan bahwa sikap verbal memberi
petunjuk yang cukup akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang
bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi postulat ini mengasumikan adanya
hubungan langsung antara sikap dan perilaku.
2; postulat variasi independen : Postulat ini mengatakan bahwa mengetahui sikap tidak
berarti dapat memprediksi perilaku karena sikap dan perilaku merupakan dua dimensi
dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda. : postulat konsistensi
kontigensi
Postulat konsistensi kontigensi menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku
sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan,

keanggotaan kelompok dan lain sebagainya, merupakan kondisi ketergantungan yang


dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sejauh mana prediksi
perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu
situasi ke situasi lainnya. Postulat yang terakhir ini lebih masuk akal dalam menjelaskan
hubungan sikap dan perilaku.
Apabila individu berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai
bentuk tekanan atau hambatan yang dapat mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat
diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku yang ditampakkannya merupakan ekspresi
sikap yang sebenarnya. Artinya, potensi reaksi sikap yang sudah terbentuk dalam diri
individu itu akan muncul berupa perilaku aktual sebagai cerminan sikap yang
sesungguhnya terhadap sesuatu. Sebaliknya jika individu mengalami atau merasakan
hambatan yang dapat mengganggu kebebasannya dalam mengatakan sikap yang
sesungguhnya atau bila individu merasakan ancaman fisik maupun ancaman mental yang
dapat terjadi pada dirinya sebagai akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakan
maka apa yang diekspresikan oleh individu sebagai perilaku lisan atau perbuatan itu
sangat mungkin sejalan dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan
dengan apa yang dipegangnya sebagai suatu keyakinan,
Semakin kompleks situasinya dan semakin banyak faktor yang menjadi
pertimbangan dalam bertindak maka semakin sulitlah mempediksikan perilaku dan
semakin sulit pula menafsirkannya sebagai indikator (Azwar, 1995).
Sikap merupakan kemampuan internal yang berperan dalam mengambil
keputusan dan tindakan. Orang bersikap tertentu, misalnya menerima atau menolak suatu
obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek itu, berguna baginya atau tidak. Apabila
obyek dinilai berguna, dia akan bersikap positif, dan apabila obyek dinilai tidak berguna,
dia akan bersikap negatif. Siswa yang memandang belajar di sekolah sebagai sesuatu
yang bermanfaat baginya, ia bersikap yang positif terhadap belajar di sekolah, dan
sebaliknya siswa memandang belajar di sekolah sebagai sesuatu yang tidak berguna, ia
bersikap negatif terhadap belajar Fleur. (1958).
Ajzen (1988) mendefinisikan sikap sebagai predisposisi yang dipelajari
individu untuk memberikan respon suka atau tidak suka secara konsisten
terhadap objek sikap. Respon suka atau tidak suka itu adalah hasil
proses evaluasi terhadap keyakinan-keyakinan (beliefs ) individu terhadap objek
sikap (Ajzen, 1988).
Baron dan Byrne (1994) mendefinisikan sikap sebagai penilaian
subjektif seseorang terhadap suatu objek. Sikap adalah respon evaluatif
yang diarahkan seseorang terhadap orang, benda, peristiwa, dan perilaku
sebagai objek sikap. Sikap melibatkan kecenderungan respon yang bersifat
preferensial. Sikap sebagai respon evaluatif
menunjukkan ekspresi suka
atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, mendekati atau menghindari, dan
tertarik atau tidak tertarik terhadap objek sikap.
Rogers (1987) berpendapat bahwa sikap adalah suatu evaluasi atau penilaian
seseorang terhadap obyek sikap yang tercermin dalam bentuk perasaan setujutidak
setuju, mendukung-tidak mendukung, sebagai potensi reaksi terhadap suatu obyek
sikap yang berawal dari sebuah proses kesadaran (awareness) dan kemudian
menghasilkan sebuah pilihan dalam bentuk tindakan. Lebih jauh Rogers (1983)
mengambarkan sikap dalam bagan dibawah ini.

STIMULUS
KESADARAN

NEGATIF
SIKAP

TINDAKAN

POSITIF
Gambar 2
Proses Sikap Rogers (1983)
Sheeran (2003) berpendapat bahwa sikap merupakan orientasi yang bersifat
menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif dan perilaku.
Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek
sikap tertentu berupa fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang objek. Sedangkan
Komponen afektif menurut Stephan dan Stephan (1985) adalah komponen yang berkaitan
dengan perasaan dan emosi seseorang terhadap objek sikap. Dan komponen perilaku
merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan sikap yang ada
pada dirinya.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan pandangan, perasaan dan kecenderungan
seseorang bertindak terhadap objek sikap yang dipengaruhi oleh adanya kesadaran.
E; Penilaian Sikap
Sikap dapat diukur dengan metode/teknik :
1; Measurement by scales --- pengukuran sikap dengan menggunakan skala (skala
sikap).
2; Measurement by rating --- pengukuran sikap dengan meminta pendapat atau penilaian
para ahli yang mengetahui sikap individu yang dituju.
3; Indirect method --- pengukuran sikap secara tidak langsung yakni mengamati
(eksperimen) perubahan sikap/pendapat ybs.
Dua model skala sikap, yaitu : (1) Skala Sikap Likert, dan (2) Skala Sikap
Thorstone. Skala Sikap Likert tersusun atas beberapa pernyataan positif
(favorable statements) dan pernyataan negatif (unfavorable statements) yang mempunyai
lima kemungkinan jawaban (option) dengan kategori yang continuum, dari mulai jawaban
sangat setuju (strongly agree) sampai sangat tidak setuju (strongly disagree).
Langkah-langkah penyusunan Skala Sikap Likert :
1; Tentukan objek sikap
2; Buat kisi-kisi atau konstruk skala sikap (attitude scale construction)
3; Tulis pernyataan (statement) secara tepat (tidak mengandung penafsiran ganda dan
tidak mengandung kata-kata ekstrim yang memberi arah jawaban).
4; Kaji/analisis setiap pernyataan secara rasional (isi telah mewakili aspek/objek sikap dan
struktur kalimat benar).
5; Uji-coba skala sikap untuk menganalisis tingkat kebaikan (ketepatan skala dan daya
pembeda) secara empirik setiap pernyataan.

6; Analisis tingkat kebaikan skala sikap (reliabilitas, validitas, ketepatan skala dan daya
pembeda setiap pernyataan).
7; Melakukan pengukuran sikap terhadap responden dengan menggunakan skala sikap
yang telah teruji tingkat kebaikannya.
8; Memberi skor (scoring) terhadap lembar kerja/jawaban responden.
Menilai sikap individu atau kelompok (skor rata-rata), yakni dengan cara membanding skor
yang diperoleh dengan kriteria tertentu
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh gaya kepemimpinan
transformasional pada kinerja, organizational citizenship behavior, dan sikap bawahan
terhadap atasan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei.
Responden yang digunakan sebanyak 140 karyawan bawahan yang bekerja di tiga
perusahaan peternakan yang mempunyai pangsa pasar dalam dan luar negeri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan desain survei dengan menggunakan metode
wawancara. Responden penelitian ini adalah karyawan di tiga perusahaan yang bergerak
dalam industri peternakan pada level persuahaan dengan pangsa pasar internasional dan
nasional. Karyawan yang dimaksud adalah bagian dari suatu organisasi yang terstruktur
yang terdiri atas pimpinan dan bawahan. Sampel ditentukan dengan random sampling
berdasar data karyawan perusahaan. Jumlah responden sampel penelitian yang terlibat
dalam penelitian ini adalah 140 responden. Sejumlah 48 responden diambil dari
perusahaan peternakan A yang memiliki pangsa pasar internasional dan sejumlah 47 dan
45 reponden diambil dari perusahaan B dan C yang memiliki pangsa pasar nasional.
Kuesioner dikembangkan untuk mengukur kepemimpinan transformasional,
kepemimpinan transaksional, kinerja, OCB, dan kinerja dengan menggunakan skala Likert.
Uji kualitas data dilakukan dengan uji validitas dan reliabilitas. Kuesioner didasarkan atas
sistem penilaian skala Likert. Item pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner ini
menggunakan Multifactor Leadership Questionnaire atau MLQ (Bass dan Avolio,1990).
MLQ merupakan kuesioner untuk kepemimpinan transaksional dan transformasional.
Sehubungan dengan adanya penilaian atasan, peneliti memberikan keyakinan pada
responden bahwa jawaban responden bersifat rahasia, sehingga diharapkan responden
tidak memiliki keraguan dalam mengisi kuesioner.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada kinerja, OCB dan sikap
bawahan terhadap atasan. Penambahan gaya kepemimpinan transformasional
meningkatkan kemampuan dalam memprediksi kinerja, OCB dan sikap bawahan terhadap
atasan. Perusahaan besar dengan kapabilitas yang lebih baik dalam membentuk struktur
organisasi yang lebih efektif relatif lebih dapat menarik manfaat yang lebih besar dari
penambahan gaya kepemimpinan transformasional.

10

Jurnal Perspektif Bisnis, Vol.1, No.1, Juni 2013, ISSN: 2338-5111


PREDIKSI PERILAKU RAMAH LINGKUNGAN YANG DIPENGARUHI OLEH NILAI DAN
GAYA HIDUP KONSUMEN
Suprihatin Ali
Dosen Jurusan Administrasi Bisnis FISIP Universitas Lampung
ABSTRACT
The research objective is to investigate the effect of value and lifestyle on consumers
environmental behaviour. This study use convenience sampling technique to collect 433
respondents in Bandar Lampung. Results support the hypothesis. The research reveals
that value and lifestyle can influence significantly toward consumers environmental
behaviour.
Keyword: Environmental value, lifestyles and green behaviour
DEFINISI NILAI
A; Pengertian Nilai
Untuk memahami pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini akan disajikan
sejumlah definisi nilai dari beberapa ahli.
Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of
existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct
or end-state of existence. (Rokeach, 1973 hal. 5)
Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and
about desirable or undesireable goals or end-states. (Feather, 1994 hal. 184)
Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as
guiding principles in the life of a person or other social entity. (Schwartz, 1994 hal. 21)
Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu
keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3)
melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku,
individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman
tentang nilai, yaitu (1) suatu keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah laku dan
tujuan akhir tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai
cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai
prinsip atau standar dalam hidupnya.
Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana
nilai itu terbentuk. Schwartz berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif
dari tiga tipe persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu :

11

1; kebutuhan individu sebagai organisme biologis;


2; persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal;
3; tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan
hidup kelompok (Schwartz & Bilsky, 1987; Schwartz, 1992, 1994).
Jadi, dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori
bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam
kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz &
Bilsky, 1987). Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang
diinginkan.
Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari
minat kolektif (tipe nilai benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan prioritas
pribadi / individual (power, achievement, hedonism, stimulation, self-direction), atau keduaduanya (universalism, security). Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial
tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu
(misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui
pengalaman pribadi yang unik (Feather, 1994; Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994;
Rokeach, 1973; Schwartz, 1994).
Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya
diinginkan, di mana lebih diinginkan mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku
yang mungkin dilakukan individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku
(Kluckhohn dalam Rokeach, 1973). Lebih diinginkan ini memiliki pengaruh lebih besar
dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun
berdasarkan derajat kepentingannya.
Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk
berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman
budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu
(Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil (Rokeach, 1973). Jadi nilai
memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal
tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu
tersebut menetap (Danandjaja, 1985).
B; Tipe Nilai (Value Type)
Penelitian Schwartz mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan
masalah apakah nilai-nilai yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi
beberapa tipe nilai (value type). Lalu masing-masing tipe tersebut terdiri pula dari sejumlah
nilai yang lebih khusus. Setiap tipe nilai merupakan wilayah motivasi tersendiri yang
berperan memotivasi seseorang dalam bertingkah laku. Karena itu, Schwartz juga
menyebut tipe nilai ini sebagai motivational type of value.
Dari hasil penelitiannya di 44 negara, Schwartz (1992, 1994) mengemukakan adanya 10
tipe nilai (value types) yang dianut oleh manusia, yaitu:
1; Power. Tipe nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan yang
universal, yaitu transformasi kebutuhan individual akan dominasi dan kontrol yang
diidentifikasi melalui analisa terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini
adalah pencapaian status sosial dan prestise, serta kontrol atau dominasi terhadap

12

2;

3;

4;

5;

6;

7;

8;

9;

orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah
: social power, authority, wealth, preserving my public image dan social recognition.
Achievement. Tujuan dari tipe nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan
menunjukkan kompetensi sesuai standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi
kebutuhan bila seseorang merasa perlu untuk mengembangkan dirinya, serta jika
interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai khusus yang terdapat pada tipe nilai
ini adalah : succesful, capable, ambitious, influential.
Hedonism. Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang
diasosiasikan dengan pemuasan kebutuhan tersebut. Tipe nilai ini mengutamakan
kesenangan dan kepuasan untuk diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini
adalah : pleasure, enjoying life.
Stimulation. Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan
rangsangan untuk menjaga agar aktivitas seseorang tetap pada tingkat yang optimal.
Unsur biologis mempengaruhi variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah pengaruh
pengalaman sosial, akan menghasilkan perbedaan individual tentang pentingnya nilai
ini. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah kegairahan, tantangan dalam hidup.
Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : daring, varied life, exciting life.
Self-direction. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pikiran dan tindakan yang tidak
terikat (independent), seperti memilih, mencipta, menyelidiki. Self-direction bersumber
dari kebutuhan organismik akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi
dari tuntutan otonomi dan ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini
adalah : creativity, curious, freedom, choosing own goals, independent.
Universalism. Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial.
Tipe nilai ini mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan
perlindungan terhadap kesejahteraan umat manusia. Contoh nilai khusus yang
termasuk tipe nilai ini adalah : broad-minded, social justice, equality, wisdom, inner
harmony.
Benevolence. Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep
prososial. Bila prososial lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi,
tipe nilai benevolence lebih kepada orang lain yang dekat dari interaksi sehari-hari.
Tipe ini dapat berasal dari dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang
positif untuk mengembangkan kelompok, dan kebutuhan organismik akan afiliasi.
Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah peningkatan kesejahteraan individu yang
terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini
adalah : helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true friendship, mature love.
Tradition. Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku
yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama. Tradisi sebagian
besar diambil dari ritus agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan
motivasional dari tipe nilai ini adalah penghargaan, komitmen, dan penerimaan
terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai khusus yang termasuk
tipe nilai ini adalah : humble, devout, accepting my portion in life, moderate, respect
for tradition.
Conformity. Tujuan dari tipe nilai ini adalah pembatasan terhadap tingkah laku,
dorongan-dorongan individu yang dipandang tidak sejalan dengan harapan atau
norma sosial. Ini diambil dari kebutuhan individu untuk mengurangi perpecahan sosial
saat interaksi dan fungsi kelompok tidak berjalan dengan baik. Nilai khusus yang

13

termasuk tipe nilai ini adalah : politeness, obedient, honoring parents and elders, self
discipline.
10; Security. Tujuan motivasional tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni,
dan stabilitas masyarakat, hubungan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari
kebutuhan dasar individu dan kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua
minat, yaitu individual dan kolektif. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah :
national security, social order, clean, healthy, reciprocation of favors, family security,
sense of belonging.
C; Struktur Hubungan Nilai
Selain adanya 10 tipe nilai ini, Schwartz juga berpendapat bahwa terdapat suatu
struktur yang menggambarkan hubungan di antara nilai-nilai tersebut. Untuk
mengidentifikasi struktur hubungan antar nilai, asumsi yang dipegang adalah bahwa
pencapaian suatu tipe nilai mempunyai konsekuensi psikologis, praktis, dan sosial yang
dapat berkonflik atau sebaliknya berjalan seiring (compatible) dengan pencapaian tipe nilai
lain. Misalnya, pencapaian nilai achievement akan berkonflik dengan pencapaian nilai
benevolence, karena individu yang mengutamakan kesuksesan pribadi dapat merintangi
usahanya meningkatkan kesejahteraan orang lain. Sebaliknya, pencapaian nilai
benevolence dapat berjalan selaras dengan pencapaian nilai conformity karena keduanya
berorientasi pada tingkah laku yang dapat diterima oleh kelompok sosial.
Pencapaian nilai yang seiring satu dengan yang lain menghasilkan sistem
hubungan antar nilai sebagai berikut :
1; Tipe nilai power dan achievement, keduanya menekankan pada superioritas sosial
dan harga diri
2; Tipe nilai achievement dan hedonism, keduanya menekankan pada pemuasan yang
terpusat pada diri sendiri
3; Tipe nilai hedonism dan stimulation, keduanya menekankan keinginan untuk
memenuhi kegairahan dalam diri
4; Tipe nilai stimulation dan self-direction, keduanya menekankan minat intrinsik dalam
bidang baru atau menguasai suatu bidang
5; Tipe nilai self-direction dan universalism, keduanya mengekspresikan keyakinan
terhadap keputusan atau penilaian diri dan pengakuan terhadap adanya keragaman
dari hakekat kehidupan
6; Tipe nilai universalism dan benevolence, keduanya menekankan orientasi
kesejahteraan orang lain dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi
7; Tipe nilai benevolence dan conformity, keduanya menekankan tingkah laku normatif
yang menunjang interaksi intim antar pribadi
8; Tipe nilai benevolence dan tradition, keduanya mengutamakan pentingnya arti suatu
kelompok tempat individu berada
9; Tipe nilai conformity dan tradition, keduanya menekankan pentingnya memenuhi
harapan sosial di atas kepentingan diri sendiri
10; Tipe nilai tradition dan security, keduanya menekankan pentingnya aturan-aturan
sosial untuk memberi kepastian dalam hidup
11; Tipe nilai conformity dan security, keduanya menekankan perlindungan terhadap
aturan dan harmoni dalam hubungan sosial

14

12; Tipe nilai security dan power, keduanya menekankan perlunya mengatasi ancaman
ketidakpastian dengan cara mengontrol hubungan antar manusia dan sumberdaya
yang ada.
Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz
menyimpulkan bahwa tipe nilai dapat diorganisasikan dalam dimensi bipolar, yaitu :
1; Dimensi opennes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen
yang berlawanan dengan dimensi conservation yang mengutamakan batasan-batasan
terhadap tingkah laku, ketaatan terhadap aturan tradisional, dan perlindungan terhadap
stabilitas. Dimensi opennes to change berisi tipe nilai stimulation dan self direction,
sedangkan dimensi conservation berisi tipe nilai conformity, tradition, dan security.
2; Dimensi yang kedua adalah dimensi self-transcendence yang menekankan penerimaan
bahwa manusia pada hakekatnya sama dan memperjuangkan kesejahteraan sesama
yang berlawanan dengan dimensi self-enhancement yang mengutamakan pencapaian
sukses individual dan dominasi terhadap orang lain. Tipe nilai yang termasuk dalam
dimensi self-transcendence adalah universalism dan benevolence. Sedangkan tipe nilai
yang termasuk dalam dimensi self-enhancement adalah achievement dan power. Tipe
nilai hedonism berkaitan baik dengan dimensi self-enhancement maupun openness to
change
D; Hubungan Nilai Dan Tingkah Laku
Di dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan
tingkah laku. Nilai membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana
individu bertingkah laku dalam situasi tersebut (Rokeach, 1973; Kahle dalam Homer &
Kahle, 1988). Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam memilih dan
memutuskan sesuatu (Williams dalam Homer & Kahle, 1988). Danandjaja (1985)
mengemukakan bahwa nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laku
seseorang, serta memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan pada
setiap individu. Karenanya nilai berpengaruh pada tingkah laku sebagai dampak dari
pembentukan sikap dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai merupakan
faktor penentu dalam berbagai tingkah laku sosial (Rokeach, 1973; Danandjaja, 1985).
Mengacu pada BST, nilai merupakan salah satu komponen yang berperan dalam
tingkah laku : perubahan nilai dapat mengarahkan terjadinya perubahan tingkah laku. Hal
ini telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian yang berhasil memodifikasi tingkah laku
dengan cara mengubah sistem nilai (Grube dkk., 1994; Sweeting, 1990; Waller, 1994;
Greenstein, 1976; Grube, Greenstein, Rankin & Kearney, 1977; Schwartz & Inbar-Saban,
1988). Perubahan nilai telah terbukti secara signifikan menyebabkan perubahan pula pada
sikap dan tingkah laku memilih pekerjaan, merokok, mencontek, mengikuti aktivitas politik,
pemilihan teman, ikut serta dalam aktivitas penegakan hak asasi manusia, membeli mobil,
hadir di gereja, memilih aktivitas di waktu senggang, berhubungan dengan ras lain,
menggunakan media masa, mengantisipasi penggunaan media, dan orientasi politik
(Homer & Kahle, 1988).

15

E; Fungsi Nilai
Fungsi utama dari nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:
1; Nilai sebagai standar (Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994), fungsinya ialah:
a; Membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam social issues
tertentu (Feather, 1994).
b; Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding
ideologi politik yang lain.
c; Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain.
d; Melakukan evaluasi dan membuat keputusan.
e; Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain,
memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku individu lain
yang berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah.
2; Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan
keputusan (Feather, 1995; Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994). Situasi tertentu
secara tipikal akan mengaktivasi beberapa nilai dalam sistim nilai individu. Umumnya
nilai-nilai yang teraktivasi adalah nilai-nilai yang dominan pada individu yang
bersangkutan.
3; Fungsimotivasional. Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku
individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk
mengekspresikan kebutuhan dasar sehingga nilai dikatakan memiliki fungsi
motivasional. Nilai dapat memotivisir individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu
(Rokeach, 1973; Schwartz, 1994), memberi arah dan intensitas emosional tertentu
terhadap tingkah laku (Schwartz, 1994). Hal ini didasari oleh teori yang menyatakan
bahwa nilai juga merepresentasikan kebutuhan (termasuk secara biologis) dan
keinginan, selain tuntutan sosial (Feather, 1994; Grube dkk., 1994).
F; Nilai Sebagai Keyakinan (Belief)
Dari definisinya, nilai adalah keyakinan (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994;
Feather, 1994) sehingga pembahasan nilai sebagai keyakinan perlu untuk memahami
keseluruhan teori nilai, terutama keterkaitannya dengan tingkah laku. Nilai itu sendiri
merupakan keyakinan yang tergolong preskriptif atau proskriptif, yaitu beberapa cara atau
akhir tindakan dinilai sebagai diinginkan atau tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan
definisi dari Allport bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi seseorang untuk
bertindak berdasarkan pilihannya (dalam Rokeach, 1973). Robinson dkk. (1991)
mengemukakan bahwa keyakinan, dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman
dalam suatu skema konseptual, tapi juga predisposisi untuk bertingkah laku yang sesuai
dengan perasaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut.
Dalam Rokeach (1973) dikatakan, sebagai keyakinan, nilai memiliki aspek
kognitif, afektif dan tingkah laku dengan penjelasan sebagai berikut:
1; Nilai meliputi kognisi tentang apa yang diinginkan, menjelaskan pengetahuan, opini
dan pemikiran individu tentang apa yang diinginkan.
2; Nilai meliputi afektif, di mana individu atau kelompok memiliki emosi terhadap apa
yang diinginkan, sehingga nilai menjelaskan perasaan individu atau kelompok
terhadap apa yang diinginkan itu.
3; Nilai memiliki komponen tingkah laku, artinya nilai merupakan variabel yang
berpengaruh dalam mengarahkan tingkah laku yang ditampilkan.

16

Pemahaman nilai sebagai keyakinan, tidak dapat dipisahkan dari model yang
dikembangkan Rokeach pertama kali pada tahun 1968, yang disebut Belief System Theory
(BST). Grube dkk. (1994) menjelaskan bahwa BST adalah organisasi dari teori yang
menjelaskan dan mengerti bagaimana keyakinan dan tingkah laku saling berhubungan,
serta dalam kondisi apa sistem keyakinan dapat dipertahankan atau diubah. Selanjutnya
dijelaskan bahwa dalam BST, tingkah laku merupakan fungsi dari sikap, nilai dan konsep
diri.
Menurut Grube, Mayton, II & Rokeach (1994), BST merupakan suatu kerangka
berpikir yang berupaya menjelaskan adanya organisasi antara sikap (attitude), nilai
(value), dan tingkah laku (behavior). Menurut teori ini, keyakinan dan tingkah laku saling
berkaitan. Keyakinan-keyakinan yang dimiliki individu terorganisasi dalam suatu dimensi
sentralitas atau dimensi derajat kepentingan. Suatu keyakinan yang lebih sentral akan
memiliki implikasi dan konsekuensi yang besar terhadap keyakinan lain. Jadi perubahan
suatu keyakinan yang lebih sentral akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap
tingkah laku dibandingkan pada keyakinan-keyakinan lain yang lebih rendah
sentralitasnya. Urutan keyakinan menurut derajat sentralitasnya adalah self-conceptions,
value, dan attitude.
Sikap (attitude) adalah keyakinan yang menempati posisi periferal/tepi atau
paling rendah sentralitasnya dalam BST. Sikap merupakan suatu organisasi dari
keyakinan-keyakinan sehari-hari tentang obyek atau situasi. Jumlah sikap yang dimiliki
individu dapat berhubungan dengan banyak obyek atau situasi yang berbeda-beda.
Karenanya seseorang dapat memiliki sikap yang ribuan jumlahnya. Mengingat sikap
adalah keyakinan yang periferal, maka perubahan sikap hanya memiliki pengaruh yang
terbatas pada tingkah laku.
Nilai (value) adalah keyakinan berikutnya yang lebih sentral. Nilai melampaui
suatu obyek dan situasi tertentu. Nilai memegang peranan penting karena merupakan
representasi kognitif dari kebutuhan individu di satu sisi dan tuntutan sosial di sisi lain.
Konsep diri (self-conceptions) adalah keyakinan sentral dari BST. Menurut Rokeach
(dalam Grube, Mayton, II & Rokeach, 1994) konsep diri adalah keseluruhan konsepsi
individu tentang dirinya yang meliputi organisasi semua kognisi dan konotasi afektif yang
berupaya menjawab pertanyaan "Siapa diri saya ini?". Semua keyakinan lain dan tingkah
laku terorganisasi di sekeliling konsep diri dan berupaya menjaga konsep diri yang positif.
Jadi, perubahan pada satu komponen BST, akan menyebabkan perubahan pada
komponen lain termasuk tingkah laku. Berbeda dengan sikap, nilai adalah keyakinan
tunggal yang mengatasi obyek maupun situasi. Karenanya, perubahan nilai lebih
dimungkinkan akan menyebabkan perubahan komponen lainnya dibandingkan yang lain.
G; Pengukuran Nilai
Selama ini pengukuran nilai didasarkan kepada hasil evaluasi diri yang
dilaporkan oleh individu ke dalam suatu skala pengukuran (mis. Rokeach value survey,
Schwartz value survey). Evaluasi diri membutuhkan pemahaman kognitif maupun afektif
terhadap diri sendiri, termasuk untuk membedakan antara nilai ideal normatif dan nilai
faktual yang ada saat ini. Sejalan dengan hal ini, Schwartz, Verkasalo, Antonovsky dan
Sagiv (1997) melihat hubungan antara respon terhadap social desirability dan skala nilai
berdasarkan pelaporan diri. Mereka membuktikan bahwa terjadi bias pada pengukuran
nilai yang mengandung aspek social desirability tinggi, yaitu pada tipe nilai hedonism,

17

stimulation, self-direction, achievement dan power. Jadi pengukuran nilai yang


menggunakan skala pelaporan diri pada penelitian yang banyak dipengaruhi aspek social
desirability seperti dalam penelitian ini (mis. tingkah laku seksual) kurang baik.
Cara lain yang digunakan untuk mengetahui nilai individu adalah dengan teknik
wawancara. Teknik ini telah digunakan oleh Rokeach (1973) untuk menggali nilai-nilai apa
saja yang dimiliki seseorang. Ia melakukan wawancara dengan para responden yang
dimintanya untuk menjawab pertanyaan tentang nilai apa yang menjadi tujuan akhir
mereka.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, nilai-nilai seseorang akan
tampak dalam beberapa indikator :
1; Berkaitan dengan definisi nilai sebagai cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu,
maka indikator pertama adalah pernyataan tentang keinginan-keinginan, prinsip hidup
dan tujuan hidup seseorang.
2; Indikator berikutnya adalah tingkah laku subyek dalam kehidupannya sehari-hari. Nilai
berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bertingkah laku, memberi arah pada
tingkah laku dan memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan. Jadi
tingkah laku seseorang mencerminkan nilai-nilai yang dianutnya. Dari tingkah laku
dapat dilihat apa yang menjadi prioritasnya, apa yang lebih diinginkan oleh seseorang.
3; Fungsi nilai adalah memotivasi tingkah laku. Seberapa besar seseorang berusaha
mencapai apa yang diinginkannya dan intensitas emosional yang diatribusikan
terhadap usahanya tersebut, dapat menjadi ukuran tentang kekuatan nilai yang
dianutnya.
4; Salah satu fungsi dari nilai adalah dalam memecahkan konflik dan mengambil
keputusan. Dalam keadaan-keadaan dimana seseorang harus mengambil keputusan
dari situasi yang menimbulkan konflik, nilainya yang dominan akan teraktivasi. Jadi,
apa keputusan seseorang dalam situasi konflik tersebut dapat dijadikan indikator
tentang nilai yang dianutnya.
5; Fungsi lain dari nilai adalah membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu
dalam suatu topik sosial tertentu dan mengevaluasinya. Jadi apa pendapat seseorang
tentang suatu topik tertentu dan bagaimana ia mengevaluasi topik tersebut, dapat
menggambarkan nilai-nilainya.
TUJUAN PENELITIAN
1; Untuk mengetahui variabel nilai-nilai lingkungan berpengaruh pada variabel perilaku
ramah lingkungan.
2; Untuk mengetahui variabel gaya hidup berpengaruh pada variabel perilaku ramah
lingkungan.

18

METODE PENELITIAN
A; Disain Penelitian
Berdasarkan deskripsi tujuan penelitian adalah penelitian korelasional dan bukan
deskriptif, dalam deskripsi waktu penelitian ini bersifat cross-sectional dan bukan
longitudinal, dari deskripsi keluasan dan kedalaman topik merupakan penelitian statistik
dan bukan kasus Berdasarkan deskripsi lingkungan penelitian merupakan penelitian
lapangan dan bukan penelitian laboratorium atau simulasi, dan berdasarkan deskripsi
aktivitas persepsi responden (subjects perception) merupakan penelitian yang
menggunakan aktivitas rutin aktual responden dan bukan aktivitas yang dimodifikasi.
Penelitian ini dirancang untuk mengetahui adanya pengaruh antara variabel
independen dengan variabel dependen serta variabel mediasi seperti dirumuskan dalam
hipotesis yang memerlukan pengujian lebih lanjut. Oleh karena itu, desain penelitian ini
termasuk pada desain studi konfirmatori yang bertujuan menguji hipotesis. Metode
pengumpulan data dilakukan melalui survei dengan menggunakan kuesioner.
B; Sampel dan Pengukuran
Ukuran sampel memegang peranan penting dalam estimasi dan interpretasi
hasil. Ukuran sampel sebagaimana dalam metode statistik lainnya menghasilkan dasar
untuk mengestimasi kesalahan sampling. Rumus untuk menghitung besar sampel untuk
pemodelan SEM sampai sekarang belum ada, tetapi beberapa pengalaman yang pernah
ditulis menunjukkan besar sampel yang cukup adalah berkisar 100-200. Bila terlalu besar,
metode ini menjadi sensitif, sehingga sulit untuk mendapatkan Goodness of fit yang baik.
Untuk itu disarankan ukuran sampel adalah 5-10 observasi untuk setiap estimasi
parameter., sehingga apabila terdapat 20 parameter yang diestimasi, maka diperlukan
100-200 observasi.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di Bandar lampung. Penentuan
jumlah sampel sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Roscoe (1975) seperti
yang dikutip oleh Sekaran (2003)
1; Jumlah sampel yang lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 sudah cukup dalam
penelitian.
2; Dalam penelitian multivariat (termasuk analisis regresi berganda) jumlah sampel
harus beberapa kali lebih besar dari jumlah variabel dalam penelitian (sebaiknya 10
kali atau lebih besar).
3; Penelitian ini menggunakan SEM, maka minimal sampel yang digunakan adalah 200
responden.
Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah non-probability sampling,
artinya setiap anggota populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan
sebagai sampel, karena tidak diketahui jumlah populasinya. Teknik sampling yang
digunakan adalah convenience sampling.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dara primer. Data
primer dalam penelitian ini berasal dari responden, yaitu orang-orang yang merespon atau
menjawab setiap pertanyaan penelitian. Data diambil dengan menggunakan kuesioner

19

penelitian. Kuesioner dirancang dan berisikan informasi data responden dan pernyataan
yang diharapkan dapat mengungkap gaya hidup dan nilai responden, serta niat berperilaku
mereka. Unit analisis dalam penelitian ini adalah pada level individual dan dilakukan
melalui satu kali survai bukan longitudinal
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Nilai dan gaya hidup memiliki pengaruh postif pada perilaku ramah lingkungan.
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian konfirmatori dengan mengacu pada
model yang telah diajukan oleh peneliti sebelumnya. Perbedaan dengan penelitian
sebelumnya terletak pada latar yang digunakan. Dilihat dari hasil indeks kesesuaian pada
model pengukuran yang ada belum fit. Hal ini perlu dilanjutkan dengan pengujian model
struktural yang tidak dilakukan pada penelitian ini.
Berdasarkan hasil uji regresi yang ada menampilkan bahwa nilai dan gaya hidup
dalam diri konsumen menjadi faktor penting yang harus diperhatikan oleh praktisi
pemasaran dalam hal ini pemasar produk ramah lingkungan. Untuk konsumen yang
memiliki nilai. Penelitian lain perlu dilakukan untuk melihat konsistensi instrument
penelitian yang ada, dengan menambah variabel atau konstruk lain dan menggunakan
latar industri yang berbeda.

20

Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.3, No. 1, April 2012, 123-140)
ISSN : 2367-11271
Pengaruh Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja dengan Mediasi
Komitmen (di PT Alam Kayu Sakti Semarang)
A Soegihartono
Fakultas Ekonomi Universitas Dian Nuswantoro, Jl Nakulo 5-11 Semarang Tawangmas
Semarang Barat Semarang Jawa Tengah
Abstrak: Tujuan dari penelitian adalah untuk menguji dan menganalisis apakah ada
pengaruh kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan PT. Alam Kayu
Sakti (PT. ALKA) Semarang dengan mediasi komitmen organisasional. Sebagai obyek
penelitian ini adalah karyawan tetap PT. Alam Kayu Sakti (PT. ALKA) Semarang dengan
sampel sebanyak 109 kryawan yang dijadikan sebagai responden. Pertanyaan yang
digunakan telah dilakukan uji validitas dengan analisis faktor dan reliabilitas dengan
cronbach alpha dan intrumen tersebut valid dan reliabel atau layak digunakan sebagai alat
penelitian. Adapun hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut: Penelitian ini dapat
membuktikan kepemimpinan berpengaruh positip terhadap komitmen organisasional. Ini
sesuai dengan teorinya Bass (1990). Penelitian ini dapat membuktikan kepuasan kerja
berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional. Ini sesuai penelitian Johlke (2000).
Penelitian ini dapat membuktikan kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja. Ini
sesuai dengan teorinya Bass (1990). Penelitian ini dapat membuktikan kepuasan kerja
berpengaruh positip terhadap kinerja. Ini sesuai dengan teorinya Robins (1996). Penelitian
ini membuktikan komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap kinerja. Ini sesuai
dengan penelitian Johlke dkk (2000). Penelitian ini tidak membuktikan bahwa komitmen
organisasi memediasi pada pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja. Ini sesuai dengan
penelitian Tri Murdoko (2007). Penelitian ini tidak membuktikan bahwa komitmen
organisasi memediasi pada pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja. Ini sesuai dengan
penelitian Yustiani, Utai Dian (2005).
Kata kunci: Kepemimpinan, kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kinerja.
DEFINISI KEPUASAN KERJA :
A; Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut istilah umum ketenagakerjaan, kepuasan kerja adalah derajat kepuasan
yang dapat dirasakan oleh karyawan dalam memenuhi kebutuhan pribadi yang penting
melalui pengalaman bekerja. Kebutuhan ini dapat mencakupi: kompensasi yang memadai
dan adil; lingkungan kerja yang aman dan sehat; berkembangnya kemampuan diri sebagai
manusia yang memungkinkan karyawan dapat menggunakan serta mengembangkan
keterampilan serta pengetahuan mereka dan mempertahankan kepentingan diri pada
kepentingan yang lebih tinggi; pertumbuhan dan keamanan (kesempatan berkembang
dalam karier); adanya perlindungan hak-hak karyawan; dapat memenuhi tuntutan-tuntutan
kerja yang masuk akal, dan sebagainya. (http://www.nakertrans.go.id)

21

Kepuasan kerja sebagai satu set sikap yang dipegang oleh individu mengenai
pekerjaannya. Kepuasan kerja adalah pelahiran psikologikal individu terhadap
pekerjaannya yaitu bagaimana individu itu melihat pekerjaannya. Sikap seseorang
pekerja boleh dibahagikan kepada dua bahagian yaitu sikap positif dan negatif. Pekerja
yang bersikap positif adalah mereka yang mendapakepuasan kerja. Manakala mereka
yang bersikap negatif ialah mereka yang mengalami ketidakpuasan kerja.
Kepuasan kerja sebagai satu tindakbalas pekerja yang berpuas hati terhadap
kerjanya. Oleh itu kepuasan kerja dianggap sebagai apa yang dikehendaki oleh pekerja
atau diharapkan dari pekerja. Kepuasan kerja adalah keadaan emosi positif, gembira dan
menyeronokkan hasil daripada penilaian pekerjaan dan pengalaman pekerjaan seseorang
sebagai menyenangkan dan berjaya. Pekerja yang mempunyai kepuasan kerja akan
menghasilkan kerja yang lebih bermutu dan produktif. Kepuasan kerja merujuk kepada
perasaan
atau
tindakbalas
emosi
individu terhadap aspek situasi kerja.
(http://www.uum.edu.my)
Menurut Drs H Rusdi Lubis, kepuasan kerja dapat dilihat dari reaksi seseorang
terhadap hasil kerjanya, oleh karenanya lebih bersifat emosional. Dalam hal tersebut,
memberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya dan
menyelesaikannya sampai tahap akhir adalah kondisi yang
diciptakan
didalam
organisasi, unit kerja atau perusahaan. (http://www.padang-ekspres.co.id),
Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk
mendapatkan hasil kerja yang optimal. Ketika seorang merasakan kepuasan dalam
bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas
dan hasil kerja karyawan akan meningkat secara optimal. Dalam kenyataannya, di
Indonesia dan juga mungkin di negara-negara lain, kepuasan kerja secara menyeluruh
belum mencapai tingkat maksimal. (http://www1.bpkpenabur.or.id)
Editorial Jurnal Pendidikan : kepuasan kerja juga tergantung pada hasil intrinsik,
ekstrinsik, dan persepsi pemegang kerja pada pekerjaannya, sehingga kepuasan kerja
adalah tingkat di mana seseorang merasa positif atau negatif tentang berbagai segi dari
pekerjaan, tempat kerja, dan hubungan dengan teman kerja. Enam jenis sasaran yang
harus dicapai sebelum kepuasan kerja dapat diperoleh adalah uang, wibawa, kedudukan,
keamanan, pengakuan, rasa memiliki, dan kreativitas. Kepuasan kerja adalah keadaan di
mana seorang pekerja merasa senang, gembira, bangga, berhasil, dihargai, adanya rasa
kekeluargaan, saling menghormati, saling mendukung yang timbul karena keadaan
pekerjaan dapat memenuhi harapan. (http://www.depdiknas.go.id)
Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah cara seorang pekerja merasakan
pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan generaralisasi sikap-sikap terhadap pekerjaan
yang didasarkan atas aspek-aspek perkerjaannya bermacam-macam. Kepuasan kerja
adalah suatu sikap positif dan juga bisa negatif yang dipunyai individu terhadap berbagai
segi pekerjaan, tempat kerja dan hubungan dengan teman sekerja. Kepuasan kerja (Job
Satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu yang menilai perbedaan antara
jumlah imbalan yang diterima dengan yang diyakininya seharusnya diterima. Individu
yang mempunyai kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap yang positif terhadap kerja
itu, individu yang tidak berpuas hati dengan kerja mempunyai sikap yang negatif terhadap
pekerjaan itu. (http://www.geocities.com/guruvalah)

22

Menurut Keith Davis dan John W Newstrom, dalam bukunya Perilaku Dalam
Organisasi, kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang
menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Ada perbedaan yang penting antara
perasaan ini dengan dua unsur lainnya dari sikap pegawai. Kepuasan kerja adalah
perasaan senang atau tidak senang yang relatif yang berbeda dari pemikiran objektif dan
keinginan perilaku. Ketiga bagian sikap itu membantu para manajer memahami reaksi
pegawai terhadap pekerjaan mereka dan memperkirakan dampaknya pada perilaku di
masa datang. Apabila pegawai bergabung dalam suatu organisasi, ia membawa serta
seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat,d an pengalaman masa lalu yang menyatu
membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan
seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan. Jadi kepuasan kerja juga
berkaitan erat dengan teori keadilan, perjanjian psikologis, dan motivasi. Kepuasan kerja
umumnya mengacu pada sikap seorang pegawai. Kepuasan kerja juga dapat mengacu
pada tingkat sikap yang umum di dalam suatu kelompok. Kepuasan kerja memiliki banyak
dimensi. Ia dapat mewakili sikap secara menyeluruh, atau mengacu pada bagian
pekerjaan seseorang. Sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan kerja bersifat dinamik.
Kepuasan kerja adalah bagian dari kepuasan hidup. Sifat lingkungan seseorang di luar
pekerjaan mempengaruhi perasaan di dalam pekerjaan. Demikian juga halnya, karena
pekerjaan merupakan bagian penting kehidupan, kepuasan kerja mempengaruhi kepuasan
hidup seseorang. Hasilnya, terdapat dampak bolak balik yang terjadi antara kepuasan
kerja dan kepuasan hidup.

Gambar 3 Beberapa unsur yang berkaitan dengan kepuasan hidup


Sebagian manajer berasumsi bahwa kepuasan yang tinggi selamanya akan
menimbulkan prestasi yang tinggi, tetapi asumsi ini tidak benar. Karyawan yang puas
boleh jadi adalah karyawan yang berproduksi tinggi, sedang atau rendah, dan mereka
akan cenderug meneruskan tingkat prestasi yang menimbulkan kepuasan bagi mereka.
Gambaran yang lebih akurat tentang hubungan itu adalah bahwa prestasi turut
menyumbang timbulnya kepuasan kerja yang tinggi, seperti pada gambar di bawah ini.

23

Urutannya adalah prestasi yang lebih baik secara khas menimbulkan imbalan
ekonomi, sosiologis, dan psikologis yang lebih tinggi. Apabila imbalan itu dipandang pantas
dan adil, maka timbul kepuasan yang lebih besar karena pegawai merasa bahwa mereka
menerima imbalan yang sesuai dengan prestasinya. Sebaliknya, apabila imbalan
dipandang tidak sesuai dengan tingkat prestasinya, cenderung timbul ketidakpuasan.
Dalam hal apa pun, tingkat kepuasan seseorang dapat menimbulkan keikatan lebih besar
atau dapat pula menimbulkan keikatan lebih kecil yang kemudian mempengaruhi upaya
dan akhirnya prestasi. Akibatnya adalah terdapat garis hubungan yang terus menerus
antara prestasi dan kepuasan kerja.
B; Teori Dasar Kepuasan Kerja
Wexley et all, telah mengkategorikan teori-teori kepuasan kerja kepada tiga
kumpulan utama, yaitu : 1). Teori ketidaksesuaian (discrepancy); 2) Teori keadilan (equity
theory) ; 3) Teori Dua Faktor.
1; Teori Ketidaksesuaian. Menurut Locke kepuasan atau ketidak puasan dengan aspek
pekerjaan tergantung pada selisih (discrepancy) antara apa yang dianggap telah
didapatkan dengan apa yang diinginkan. Jumlah yang diinginkan dari karakteristik
pekerjaan didefinisikan sebagai jumlah minimum yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan anda. Seseorang akan terpuaskan jika tidak ada selisih antara kondisikondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin besar kekurangan dan
semakin banyak hal-hal penting yang diinginkan, semakin besar ketidak puasannya,
Jika lebih banyak jumlah faktor pekerjaan yang diterima secara minimal dan
kelebihannya menguntungkan (misalnya : upah ekstra, jam kerja yang lebih lama)
orang yang bersangkutan akan sama puasnya bila terdapat selisih dari jumlah yang
diinginkan.
Proter mendefiniskan kepuasan sebagai selisih dari banyaknya sesuatu yang
seharusnya ada dengan banyaknya apa yang ada. Konsepsi ini pada dasarnya
sama dengan model Locke, tetapi apa yang seharusnya ada. Menurut Locke berarti

24

penekanan yang lebih banyak pada pertimbangan-pertimbangan yang adil dan


kekurangan atas kebutuhan-kebutuhan karena determinan dari banyaknya faktor
pekerjaan yang lebih disukai. Studi Wanous dan Laler menemukan bahwa para pekerja
memberikan tanggapan yang berbeda-beda menurut bagaimana kekurangan/selisih itu
didefinisikan. Keduanya menyimpulkan bahwa orang memiliki lebih dari satu jenis
perasaan terhadap pekerjaannya, dan tidak ada cara yang terbaik yang tersedia untuk
mengukur kepuasan kerja.
Kesimpulannya teori ketidaksesuaian menekankan selisih antara kondisi yang
diinginkan dengan kondisi aktual (kenyataan), jika ada selisih jauh antara keinginan dan
kekurangan yang ingin dipenuhi dengan kenyataan maka orang menjadi tidak puas.
Tetapi jika kondisi yang diinginkan dan kekurangan yang ingin dipenuhi ternyata sesuai
dengan kenyataan yang didapat maka ia akan puas.
2; Teori Keadilan (Equity Theory). Teori keadilan memerinci kondisi-kondisi yang
mendasari seorang bekerja akan menganggap fair dan masuk akal insentif dan
keuntungan dalam pekerjannya. Teori ini telah dikembangkan oleh Adam dan teori ini
merupakan variasi dari teori proses perbandingan sosial. Komponen utama dari
teori ini adalah input, hasil, orang bandingan dan keadilan dan ketidak adilan.
Input adalah sesuatu yang bernilai bagi seseorang yang dianggap mendukung
pekerjaannya, seperti : pendidikan, pengalaman, kecakapan, banyaknya usaha yang
dicurahkan, jumlah jam kerja, dan peralatan atau perlengkapan pribadi yang
dipergunakan untuk pekerjaannya. Hasil adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh
seorang pekerja yang diperoleh dari pekerjaanya, seperti : upah/gaji, keuntungan
sampingan, simbol status, penghargaan, serta kesempatan untuk berhasil atau
ekspresi diri. Menurut teori ini, seorang menilai fair hasilnya dengan membandingkan
hasilnya : rasio inputnya dengan hasil : rasio input seseorang/sejumlah orang
bandingan. Orang bandingan mungkin saja dari orang-orang dalam organisasi maupun
organisasi lain dan bahkan dengan dirinya sendiri dengan pekerjaan-pekerjaan
pendahulunya. Teori ini tidak memerinci bagaimana seorang memilih orang bandingan
atau berapa banyak orang bandingan yang akan digunakan.
Jika rasio hasil : input seorang pekerja adalah sama atau sebanding dengan rasio
orang bandingannya, maka suatu keadaan adil dianggap ada oleh para pekerja. Jika
para pekerja menganggap perbandingan tersebut tidak adil, maka keadaan
ketidakadilan dianggap adil. Ketidak adilan merupakan sumber ketidak puasan kerja
dan ketidak adilan menyertai keadaan tidak berimbang yang menjadi motif tindakan
bagi seseorang untuk mengakkan keadilan. Tingkat ketidakadilan akan ditentukan atas
dasar besarnya perbedaan antar rasio hasil : input seseorang pekerja dengan rasio
hasil : input orang bandingan, dianggap semakin besar ketidakadilan. Teori keadilan
memiliki implikasi terhadap pelaksanaan kerja para pekerja disamping terhadap
kepuasan kerja. Teori ini meramalkan bahwa seorang pekerja akan mengubah input
usahanya bila tindakan ini lebih layak daripada reaksi lainnya terhadap ketidakadilan.
Seorang pekerja yang mendapat kompensasi kurang dan dibayar penggajian
berdasarkan jam kerja akan mengakibatkan keadilan dengan menurunkan input
usahanya, dengan demikian mengurangi kualitas atau kuantitas dari pelaksanaan

25

kerjanya, Jika seorang pekerja mendapatkan kompensasi kurang dari porsi


substansinya gaji atau upahnya terkait pada kualitas pelaksanaan kerja (misalnya ,
upah perpotong) ia akan meningkatkan pendapatan insentifnya tanpa meningkatkan
usahanya. Jika pengendalian kualitas tidak ketat, pekerja biasanya dapat
meningkatkan kuantitas outputnya tanpa usaha ekstra dengan mengurangi kualitasnya.
Kesimpulannya teori keadilan ini memandang kepuasan adalah seseorang terhadap
keadilan atau kewajaran imbalan yang diterima. Keadilan diartikan sebagai rasio antara
input (misalnya, pendidikan, pengalaman kerja) dengan output (misalnya, upah/gaji,
penghargaan, promosi dibandingkan dengan pekerja lain di perusahaan yang sama
atau di perusahaan lain pada input dan output yang sama.
3; Teori Dua Faktor. Teori ini diperkenalkan oleh Frederick Herzberg dalam tahun 1959,
berdasarkan atas penelitian yang dilakukan terhadap 250 responden pada sembilan
buah perusahaan di Pittsburg. Dalam penelitian tersebut Herzberg ingin menguji
hubungan kepuasan dengan produktivitas.
Teori dua faktor menyatakan bahwa kepuasan kerja secara kualitatif berbeda dengan
ketidak puasan kerja. Menurut teori ini, karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori, yang satu dinamakan disatisfier atau hygiene factors dan
yang lainnya dinamakan satisfier atau motivators. Hygiene factor meliputi hal-hal
seperti : gaji/upah, pengawasan, untuk memenuhi dorongan biologis serta
kebutuhan dasar seseorang seperti :kebutuhan keamanan dan berkelompok. Jika
kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, seseorang tidak puas.
Namun jika besarnya hygiene factors memadai untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, seseorang tidak akan kecewa lagi tetapi belum tentu terpuaskan. Seseorang
hanya terpuaskan jika terdapat jumlah yang memadai untuk faktor- faktor pekerjaan
dinamakan satisfier. Satisfier adalah karakteristik pekerjaan yang relevan dengan
kebutuhan-kebutuhan urutan lebih tinggi seseorang serta perkembangan psikologisnya,
mencakup pekerjaan yang menarik penuh tantangan, kesempatan untuk berprestasi,
penghargaan dan promosi. Jumlah satisfier yang tidak mencukupi akan merintangi para
pekerja mendapatkan kepuasan positif yang menyertai pertumbuhan psikologis.
Teori ini memperoleh kritikan berupa penyanggahan gagasan dua faktor,
mereka percaya motivasi berdasar atas satu faktor dan bukan dua faktor. Model ini tidak
memberi tekanan yang secukupnya pada gaji, status dan hubungan dengan orang lain
yang dipandang sebagai faktor pemeliharaan yang dapat menimbulkan motivasi. Frederich
Herzberg menyatakan pada manusia berlaku faktor motivasi dan faktor pemeliharaan di
lingkungan pekerjaannya. Dari hasil penelitiannya menyimpulkan adanya enam faktor
motivasi yaitu (1) prestasi; (2) pengakuan; (3) kemajuan kenaikan pangkat; (4) pekerjaan
itu sendiri; (5) kemungkinan untuk tumbuh; (6) tanggung jawab.
Sedangkan untuk pemeliharaan terdapat sepuluh faktor yang perlu diperhatikan,
yaitu (1) kebijaksanaan; (2) supervisi teknis; (3) hubungan antar manusia dengan
atasan ; (4) hubungan manusia dengan pembinanya; (5) hubungan antar manusia dengan
bawahannya; (6) gaji dan upah; (7) kestabilan kerja; (8) kehidupan pribadi; (9) kondisi
tempat kerja; (10) status.

26

Kesimpulannya dalam teori dua faktor bahwa terdapat faktor pendorong yang
berkaitan dengan perasaan positif terhadap pekerjaan sehingga membawa kepuasan
kerja, dan yang kedua faktor yang dapat mengakibatkan ketiak puasan kerja.
Kepuasan kerja adalah motivator primer yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri,
sebaliknya ketidakpuasan pada dasarnya berkaitan dengan memuaskan anggota
organisasi dan menjaga mereka tetap dalam organisasi dan itu berkaitan dengan
lingkungan.
Dari penjelasan tersebut dapat dikemukakan tentang ciri-ciri tentang
kepuasan kerja :
1; Hasil persepsi karyawan terhadap pekerjaan sehingga menimbulkan sikapnya
terhadap pekerjaan, sikap tersebut bisa positif dan bisa pula negatif.
2; Penilaian karyawan terhadap perbedaan antara imbalan dengan dengan harapan.
3; Karyawan yang puas akan bersikap positif terhadap pekerjaan, sebaliknya karyawan
yang tidak puas bisa bersikap negatif terhadap pekerjaan.
Upah/gaji merupakan karakteristik pekerjaan yang menjadi penyebab paling
mungkin terhadap ketidak puasan kerja. Upah yang diberikan untuk pekerja dalam posisi
yang sama merupakan penyebab terhadap keyakinan seseorang tentang seberapa besar
gaji yang harus diterima. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan profesional pekerja
semakin tinggi kemungkinan ia melakukan perbandingan sosial dengan orang-orang
yang berprofesi sama di luar organisasi. Jika upah atau gaji yang diberikan oleh
organisasi lebih rendah dari upah yang berlaku dalam masyarakat untuk suatu tipe
pekerjaan, para pekerja mungkin sekali tidak akan puas dengan upah atau gajinya.
Banyak orang bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk bekerja di lokasi yang lebih
diinginkan atau pada pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang
lebih besar dalam pekerjaan yang mereka lakukan dan jam kerja. Tetapi kunci yang
menautkan upah dan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan; lebih penting
lagi adalah persepsi keadilan. Kondisi atau keadaan tempat kerja merupakan penyebab
kepuasan kerja.
Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial.
Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan
mendukung ke kepuasan kerja yang meningkat. Bagi sebagian karyawan, pekerjaan yang
tidak menarik misalnya karena sangat teknis dan repetitive sehingga tidak lagi menuntut
imajinasi, inovasi dan kreatifitas dalam pelaksanaannya merupakan salah satu sumber
ketidak puasan yang tercermin pada tingkat kebosanan yang tinggi.
Kebanyakan pekerja ingin menunjukkan hasil karya yang melebihi sekedar
persyaratan minimal. Karena itu pekerjaan yang mengandung tantangan yang apabila
terselesaikan dengan baik merupakan salah satu sumber kepuasan kerja. Semakin besar
keragaman aktivitas yang dilaksanakan oleh seorang pekerja, pekerjaan tersebut semakin
tidak menjemukan. Pekerjaan yang sangat membosankan adalah pekerjaan dengan
aktivitas-aktivitas yang sama, sederhana dan berulang-ulang setiap beberapa menit, atau
ratusan kali setiap hari. Suatu pekerjaan yang mencakup semakin banyak keterampilan
dan bakat- bakat yang relevan dengan identitas diri pekerja, pekerja semakin lebih
merasakan bahwa ia melaksanakan pekerjaan yang berarti ketimbang sekedar menepati
waktu. (http://www.geocities.com/guruvalah)

27

C; Faktor-faktor Kepuasan Kerja


Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang
pegawai adalah: (a) isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai
kontrol terhadap pekerjaan ; (b) supervisi ; (c) organisasi dan manajemen; (d) kesempatan
untuk maju; (e) gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif;
(f) rekan kerja; dan (g) kondisi pekerjaan. Selain itu, menurut Job Descriptive Index (JDI)
faktor penyebab kepuasan kerja ialah (1) bekerja pada tempat yang tepat, (2) pembayaran
yang sesuai, (3) organisasi dan manajemen, (4) supervisi pada pekerjaan yang tepat, dan
(5) orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat (http://www1.bpkpenabur.or.id)
Banyak dimensi telah dihimpun dari kepuasan kerja, lima hal yang terutama
mempunyai karakteristik penting, yaitu : 1) Pembayaran : suatu jumlah yang diterima
dan keadaan yang dirasakan dari pembayaran; 2) Pekerjaan : sampai sejauh mana tugas
kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan untuk menerima
tanggung jawab; 3) Kesempatan Promosi : adanya kesempatan untuk maju; 4) Penyelia :
kemampuan penyelia untuk memperlihatkan ketertarikan dan perhatian kepada pekerja.;
5) Rekan sekerja : sampai sejauh mana rekan sekerja bersahabat, kompeten dan
mendukung
Dimensi tersebut juga telah dikembangkan oleh para peneliti dari Cornel
University dalam Job Descriptive Index (JDI) untuk menilai kepuasan kerja seseorang
dengan dimensi kerja berikut: pekerjaan, upah, promosi, rekan sekerja dan
pengawasan.9 Sekelompok karakteristik yangumumnya ditemukan dalam analisis
statistik dari beberapa daftar pertanyaan sikap, meliputi: gaji/upah, kondisi kerja,
pengawasan, teman kerja, isi pekerjaan, jaminan kerja, serta kesempatan promosi.
Pendapat dari Bass dan Ryter menyatakan ada tiga cara untuk meningkatkan
kepuasan kerja atas dasar pikiran bahwa pekerja merasa dirinya dihargai dalam
pekerjaan, yaitu : 1) meningkatkan pengharapan bahwa pekerja dapat memperoleh nilai
yang diinginkan, 2) meningkatkan keyakinan bahwa dia melakukan pekerjaan yang
memberi hasil yang bernilai, 3) menaikkan pemenuhan kebutuhan sesuai dengan hasil
kerjanya.
Ada enam jenis sasaran yang harus dicapai sebelum kepuasan kerja dapat
diperoleh adalah uang, wibawa, kedudukan, keamanan, pengakuan, rasa memiliki dan
kreativitas
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja yang biasa terjadi
pada dunia kerja/industri, yaitu :
1; Usia. Ketika para karyawan makin bertambah lanjut usianya. Mereka cenderung
sedikit lebih puas dengan pekerjaannya. Karyawan yang lebih muda cenderung kurang
puas karena berpengharapan tinggi, kurang penyesuaian dan berbagai sebab lain;
2; Tingkat pekerjaan. Orang-orang dengan pekerjaan pada tingkat lebih tinggi cenderung
merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka.. Mereka biasanya memperoleh gaji dan
kondisi kerja lebih baik, dan pekerjaan yang dilakukan memberi peluang untuk merasa
lebih puas;
3; Ukuran organisasi. Pada saat organisasi semakin besar, ada beberapa bukti yang
menunjukkan bahwa kepuasan kerja cenderung agak menurun apabila tidak

28

diambil tindakan perbaikan untuk mengimbangi kencenderungan itu. Kepuasan kerja


karyawan dipengaruhi faktor-faktor berikut :
a; balas jasa yang adil dan layak;
b; penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian;
c; berat ringannya pekerjaan;
d; suasana dan lingkungan pekerjaan;
e; peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan;
f; sikap pimpinan dalam kepemimpinannya;
g; sifat pekerjaan monoton atau tidak.
Lima model kepuasan kerja yang menonjol akan menggolongkan penyebabnya.
Penyebabnya adalah pemenuhan kebutuhan, ketidak cocokkan, pencapaian nilai,
persamaan, dan komponen watak/genetik. Ulasan singkat dari model- model ini akan
memberi penjelasan konsep yang terlihat sederhana, sebagai berikut : 1) Pemenuhan
kebutuhan. Model ini menjelaskan bahwa kepuasan ditentukan oleh karakteristik dari
sebuah pekerjaan memungkinkan seseorang individu untuk memeunuhi kebutuhannya.
Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan dapat mempengaruhi kepuasan kerja.2)
Ketidakcocokkan. Model ini menjelaskan bahwa kepuasan adalah hasil dari harapan yang
terpenuhi. Pada saat harapan lebih besar daripada yang diterima, seseorang akan tidak
puas. Sebaliknya, individu akan puas pada saat ia mempertahankan ouput yang
diterimanya dan melampui harapan pribadinya. Pencapaian nilai. Gagasan yang
melandasi pencapaan nilai adalah bahwa kepuasan berasal dari persepsi bahwa suatu
pekerjaan memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang penting dari seorang
individu. Oleh karena itu para manajer dapat meningkatkan kepuasan karyawan
dengan melakukan strukturisasi lingkungan kerja penghargaan dan pengakuan yang
berhubungan dengan nilai-nilai karyawan.3) Persamaan. Dalam model ini, kepuasan
adalah suatu fungsi dari bagaimana seorang individu diperlakukan secara adil di tempat
kerja. Kepuasan berasal dari persepsi seseorang bahwa ouput pekerjaan, relative sama
dengan inputnya, perbandingan yang mendukung output/input lain yang signifikan., 4)
Komponen Watak/Genetik. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan
merupakan sebagian fungsi dari sifat pribadi maupun faktor genetik. Model ini
menunjukkan bahwa perbedaan individu yang stabil adalah sama pentingnya dalam
menjelaskan
kepuasan
kerja
dengan
karakteristik
lingkungan
kerja.
(http://www.geocities.com/guruvalah)
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1; Untuk menganilisis pengaruh kepemimpinan terhadap komitmen pada perusahaan PT.
Alam Kayu Sakti Semarang.
2; Untuk menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen pada perusahaan
PT. Alam Kayu Sakti Semarang.
3; Untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada
perusahaan PT. Alam Kayu Sakti Semarang.

29

4; Untuk menganalisasi pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan pada


perusahaan PT. Alam Kayu Sakti Semarang.
5; Untuk menganalisis pengaruh komitmen terhadap Kinerja karyawan pada Alam Kayu
Sakti Semarang.
6; Untuk menganalisis komitmen yang menjadi mediasi atau tidak pada hubungan
pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja pada perusahaan PT. Alam Kayu Sakti
Semarang.
7; Untuk menganalisis komitmen yang menjadi mediasi atau tidak pada hubungan
pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja pada perusahaan PT. Alam Kayu Sakti
Semarang.
METODE PENELITIAN
A; Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi adalah jumlah keseluruhan obyek (satuan-satuan/individu-individu)
yang karakteristiknya hendak diduga (Djuwarto dan Pangestu Subagyo: 1993). Adapun
populasi dalam penelitian ini adalah karyawan tetap PT. Alam Kayu Sakti (PT. ALKA )
Semarang yang berjumlah 300 orang.
Teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang menyesuaikan diri
dengan kriteria tertentu (Cooper & Emory). Adapun kriteria responden yang terpilih adalah
sebagai
berikut:
1; Pendidikan minimal SMU sederajat
2; Jenis kelamin pria dan wanita
3; Masa kerja diatas dua tahun
Berdasarkan kriteria diatas, maka jumlah sampel dapat ditentukan sebesar 109
responden. Penulis menggunakan teknik ini karena populasi mempunyai unsur/anggota
yang tidak homogin dan berstrata secara proporsional, misalnya mempunyai latar
pendidikan yang berbeda.
Jenis Dan Sumber Data
1; Jenis Data; Data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi
a; Data primer, yaitu data yang berasal dari daftar daftar hasil kuesioner.
b; Data sekunder, yaitu data dokumentasi yang di peroleh dari perusahaan dan dari
sumber lain.
2; Sumber Data : Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistimatik dan standart
memperoleh data yang diperlukan. Data yang diperlukan dalam penelitian adalah data
primer merupakan data yang berasal dari sumber yang asli, diperoleh secara langsung
dari obyek yang diteliti.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui daftar pertanyaan / kuesioner
yaitu sebagai alat untuk mengumpulkan data yang berupa daftar pertanyaan (kuesioner)
Dimana daftar pertanyaan ini cukup lengkap, terinci dan sistimatis tentang keteranganketerangan yang dibutuhkan dari karyawan PT. Alam Kayu Sakti Semarang

30

B; Variabel Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan dan hipotesis, maka variabel dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1; Variabel bebas (x) terdiri dari:
a; Kepemimpinan (X1)
b; Kepuasan kerja (X2)
2; Variabel mediasi, yaitu: Komitmen
Veriabel Komitmen bisa menjadi variabel terikat apabila dihubungkan antara
variabel Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja. Variabel Komitmen menjadi variabel bebas
apabila dihubungkan dengan variabel kinerja:
a; Variabel terikat (Y): kinerja karyawan
b; Variabel komitmen menjadi mediasi akan dianalisis pengaruhnya hubungan
kepemimpinan terhadap kinerja karyawan.
c; Variabel komitmen menjadi mediasi akan dianalisis pengaruhnya hubungan
kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.
KESIMPULAN
Dari hasil yang telah diteliti di PT. Alam Kayu Sakti Semarang, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1; Penelitian ini dapat membuktikan kepemimpinan berpengaruh positip terhadap
komitmen organisasional. Ini sesuai dengan teorinya Bass (1990).
2; Penelitian ini dapat membuktikan kepuasan kerja berpengaruh positip terhadap
komitmen organisasional. Ini sesuai penelitian Johlke (2000).
3; Penelitian ini dapat membuktikan kepemimpinan berpengaruh positip terhadap kinerja.
Ini sesuai dengan teorinya Bass (1990).
4; Penelitian ini dapat membuktikan kepuasan kerja berpengaruh positip terhadap kinerja.
Ini sesuai dengan teorinya Robins (1996).
5; Penelitian ini membuktikan komitmen organisasional berpengaruh positip terhadap
kinerja. Ini sesuai dengan penelitian Johlke dkk (2000).
6; Penelitian ini tidak membuktikan bahwa komitmen organisasi memediasi pada
pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja. Ini sesuai dengan penelitian Tri Murdoko
(2007).
7; Penelitian ini tidak membuktikan bahwa komitmen organisasi memediasi pada
pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja. Ini sesuai dengan penelitian Yustiani, Utai
Dian (2005).

You might also like