You are on page 1of 5

Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi

Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1 Juni 2014

Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi Informasi Obat Perlu Ditingkatkan di Puskesmas
Yuni Priyandani, Eny Dwi Susanti, Halla Hisan Hartoto, Kristina Kesumawardani, Mutiara Titani, Ratna Ayu Amalia,
Catur Dian Setiawan, Mufarrihah, I Nyoman Wijaya, Wahyu Utami
Departemen Farmasi Komunitas, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Kampus B Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam,
Surabaya 60286, email:yunipriyandani@yahoo.com
Abstract
Primary health care center as the first line of health services which have the function of improving the
health of individuals and communities to be supported with quality pharmaceutical services. The modification
of the orientation of pharmaceutical care from drug oriented to patient oriented also requires pharmacist to be
able to provide quality services. Measurement of quality of pharmaceutical services could be done by
measuring patient satisfaction. There are five dimention of quality of pharmaceutical services, namely
tangibles, responsiveness, reliability, assurance, and empathy. Indicator of pharmaceutical services depend on
standart of pharmaceutical services in primary health care center by Health Department of Indonesia.
The purpose of this study was to determine patient satisfaction with Likert scale for the quality
pharmaceutical services at 58 primary health care center in Surabaya. Accidental sampling method was
conducted by collecting data from 581 patients and fullfilled the inclusion criteria. Data were anaylized by
customer window methods.
In customer window method, the result showed that indicator of pharmaceutical service that had
inadequate performance and should be enhanced, include providing information of therapeutic duration and
confirmation of drugs information to the patients. Indicator of pharmaceutical service of that had should be
improved to achieve good pharmaceutical services.
Keywords: patient satisfaction, pharmaceutical services, primary health care center
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan dapat diperoleh di rumah sakit,
apotek, maupun puskesmas (pusat kesehatan masyarakat).
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja suatu
puskesmas adalah satu kecamatan (Depkes RI, 2006).
Fungsi puskesmas sebagai pusat pemberdayaan
masyarakat, serta pusat pelayanan kesehatan masyarakat
strata pertama (primary health care) yaitu meliputi
pelayanan kesehatan perorangan (private good) dengan
tujuan utama untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat serta mencegah penyakit dengan
tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif
(Depkes, 2008). Penyelenggaraan upaya kesehatan
masyarakat di puskesmas perlu ditunjang dengan
pelayanan kefarmasian yang bermutu sesuai Pedoman
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Depkes, 2006).
Puskesmas mempunyai tujuh unit pelayanan, dengan
unit nomor enam yaitu unit penunjang yang mempunyai
tugas melaksanakan kegiatan laboratorium sederhana
dan pengelolaan obat-obatan serta termasuk pelayanan
kefarmasian (Perda Kota Surabaya no.17 tahun 1995).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
(Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009). Paradigma
pelayanan kefarmasian saat ini telah berubah dari orientasi
obat menjadi orientasi kepada pasien yang mengacu pada
asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) dengan
konsekuensi perubahan orientasi tersebut mengharuskan
apoteker sebagai tenaga kefarmasian di puskesmas untuk
terus meningkatkan kompetensi, sehingga mampu
menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian
yang bermutu (Depkes RI, 2006).

Kemampuan memberikan pelayanan kefarmasian


bermutu merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki apoteker yang ada di puskesmas (Depkes RI,
2006). Mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Mutu
pelayanan terkait kepuasan adalah segala sesuatu yang
dirasakan atau dipersepsikan oleh seseorang (pasien)
sebagai mutu (Sari, 2010). Definisi kepuasan adalah
evaluasi purnabeli, dimana persepsi terhadap kinerja
alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau
melebihi harapan, apabila persepsi terhadap kinerja tidak
dapat memenui harapan, maka yang terjadi adalah
ketidakpuasan (Umar, 2003).
Pengukuran kepuasan pengguna jasa kesehatan
merupakan salah satu indikator untuk mengetahui mutu
pelayanan kesehatan. Ada beberapa macam konsep
pengukuran kepuasan pasien seperti kepuasan pasien
secara keseluruhan, dimensi kepuasan pasien, konfirmasi
harapan,
minat
pembelian
ulang,
kesediaan
merekomendasi, dan ketidakpuasan pasien (Umar, 2003).
Kepuasan pelanggan (pasien) diukur melalui lima
dimensi, yaitu tangibles (bukti langsung), responsiveness
(ketanggapan), reliability (kehandalan), assurance
(jaminan), dan empathy (Kotler, 2009). Setiap dimensi
mutu pelayanan dijabarkan dalam indikator mutu
pelayanan kefarmasian yang sesuai dengan Pedoman
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Depkes RI, 2006).
Pemerintah juga telah mengeluarkan pedoman umum
dalam penyusunan indeks kepuasan masyarakat dan
merupakan tolok ukur untuk menilai tingkat kualitas
pelayanan. Puskesmas merupakan instansi pemerintah
yang memberikan pelayanan publik termasuk pelayanan
kefarmasian sehingga perlu dilakukan penilaian
kepuasan pasien untuk mengetahui unsur pelayanan
yang masih perlu perbaikan dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan (KepMenPAN, 2004).

2 Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1, Juni 2014

Berdasarkan kondisi di rumah sakit (RS) pemerintah


di wilayah Surabaya Barat didapatkan informasi bahwa
masyarakat keluarga miskin yang sebelumnya berobat ke
rumah sakit lebih memilih berobat ke puskesmas karena
pasokan obat di RS berkurang (www.surabayapost.co.id,
19 Januari 2012) yang berarti banyak masyarakat
memanfaatkan pelayanan puskesmas. Masih banyak
keluhan masyarakat terkait pelayanan puskesmas di
wilayah Surabaya seperti pelayanan lambat dan proses
menunggu obat terlalu lama (www.harianbhirawa.co.id,
28 Desember 2011) sehingga perlu dilakukan penelitian
ini untuk mengetahui unsur pelayanan yang masih perlu
perbaikan dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan kefarmasian di puskesmas. Berdasarkan
tinjauan tersebut didapatkan rumusan masalah
bagaimanakah kepuasan pasien terhadap pelayanan
kefarmasian di puskesmas wilayah Surabaya ditinjau
dari indikator mutu pelayanan kefarmasian.
Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui
kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kefarmasian
di puskesmas wilayah Surabaya ditinjau dari indikator
mutu pelayanan kefarmasian. Tujuan khusus penelitian
ini untuk mengetahui indikator mutu pelayanan
kefarmasian yang merupakan prioritas utama untuk
ditingkatkan, dipertahankan, prioritas rendah, atau
dirasakan berlebihan oleh pasien di puskesmas wilayah
Surabaya. Penelitian ini bermanfaat sebagai pedoman
bagi apoteker untuk meningkatkan kinerja pelayanan
kefarmasian di puskesmas wilayah Surabaya, sebagai
pedoman dan sarana membentuk kebijakan baru bagi
Dinas Kesehatan terkait pelayanan kefarmasian di
puskesmas wilayah Surabaya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross
sectional, karena variabel diteliti dengan satu kali
pengamatan dalam satu jangka waktu tertentu
(Notoatmodjo, 2002). Lokasi penelitian ini adalah 58
puskesmas di seluruh wilayah Surabaya. Waktu
pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan
Januari sampai Mei 2012 sesuai dengan surat ijin
penelitian (survei) dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Penelitian ini dihentikan bila jumlah sampel responden
pasien puskesmas telah terpenuhi untuk tiap puskesmas
wilayah Surabaya. Data primer diperoleh dari data
pengisian kuesioner oleh pasien yang telah mendapatkan
pelayanan kefarmasian di puskesmas wilayah Surabaya.
Data sekunder berupa daftar puskesmas di seluruh
wilayah Surabaya dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Variabel bebas (independent variabel) adalah mutu
pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Surabaya
dan yang menjadi variabel tergantung (dependent
variable) adalah kepuasan pasien terhadap mutu
pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Surabaya.
Populasi dan Sampel Penelitian.Populasi penelitian
adalah pasien yang mendapatkan pelayanan kefarmasian
di puskesmas wilayah Surabaya. Penelitian ini
menggunakan teknik accidental sampling. Sampel
penelitian ini adalah pasien yang mendapatkan
pelayanan kefarmasian dan ada pada saat peneliti berada
di puskesmas wilayah Surabaya selama waktu penelitian.
Responden adalah pasien atau pengantar pasien yang
datang berobat ke puskesmas serta memenuhi kriteria
inklusi. Kriteria inklusi responden yaitu bersedia mengisi

Priyandani Y., et al.

kuesioner, mendapatkan resep dan mengambil obat di


kamar obat atau apotek di puskesmas, melakukan
kunjungan lebih dari satu kali di puskesmas, dan berusia
lebih dari 15 tahun agar dapat memberikan penilaian.
Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang
tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo,
2005). Kriteria eksklusi responden dalam penelitian ini
yaitu buta aksara, gangguan kejiwaan, serta tidak dapat
membaca kuesioner tanpa alat bantu kacamata. Jumlah
populasi pada penelitian ini tidak diketahui maka jumlah
sampel dihitung berdasarkan persamaan dari Lwanga
and Lemeshow, 2001. Peneliti menetapkan Z=1,96;
p=0,5; dan d=0,05 sehingga diperoleh jumlah sampel
minimal 385 pasien untuk 58 Puskesmas yang ada di
seluruh wilayah Surabaya.
Instrumen Penelitian. Instrumen penelitian ini
berupa kuesioner yang harus diisi oleh responden dengan
pertanyaan menggunakan skala Likert dengan skor 1
sampai 5 untuk kolom harapan, dan kolom kenyataan
pelayanan yang diterima yang merupakan kinerja petugas
pelayanan kefarmasian (Rianse dan Abdi, 2009). Pasien
(responden) mengisi sendiri kuesioner tersebut yang
selanjutnya dilakukan pengolahan data oleh peneliti
dengan bantuan software komputer SPSS versi 18.
Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur
mengukur apa yang ingin diukur (Singarimbun dan
Effendi, 1989). Penelitian ini menggunakan uji validitas
rupa (face validity), validitas isi (content validity), dan
validitas konstruk (construct validity). Validitas rupa
merupakan penampilan fungsi efektivitas dari suatu alat
pengukur untuk mengukur suatu gejala (Rianse dan
Abdi, 2009). Validitas isi (content validity) adalah suatu
pengukuran untuk mengetahui sejauh mana isi alat
pengukur mewakili semua aspek yang dianggap sebagai
aspek kerangka konsep (Singarimbun dan Effendi,
1989). Uji validitas rupa (face validity) dan validitas isi
(content validity) dilakukan dengan melakukan uji coba
instrumen secara bersamaan oleh peneliti. Pengujian
validitas konstruk dilakukan dengan analisis faktor, yaitu
mengkorelasikan skor tem instrumen dengan rumus
Pearson Product Moment (Rianse dan Abdi, 2009).
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan
konsistensi alat pengukur dalam mengukur gejala yang
sama (Singarimbun dan Effendi, 1989). Reliabilitas
pengukuran berkaitan dengan stabilitas dari alat ukur,
kemantapan pembacaan atau presisi hasil pengukuran
/konsitensi pengukuran (Supriyanto dan Djohan, 2011).
Pengukuran reliabilitas instrumen dengan menggunakan
koefisien alpha dari Cronbach (Rianse dan Abdi, 2009).
Salah satu cara untuk melihat kualitas pelayanan
secara keseluruhan dan mendeteksi adanya kesenjangan
dapat digunakan jendela pelanggan (Customer Window).
Jendela pelanggan adalah suatu alat analisis kesenjangan
untuk memahami kepuasan dan kepentingan relatif
(urutan kepentingan) pelanggan terhadap jasa pelayanan
yang diperoleh (Supriyanto dan Ernawati, 2010). Jendela
pelanggan ini dibagi atas empat kuadran dimana masingmasing kuadran menunjukkan pelayanan untuk setiap
variabel pelayanan kesehatan yang telah dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Validasi instrumen kuesioner pada penelitian ini
dilakukan dengan parameter validitas rupa (face
validity), validitas isi (content validity), dan validitas

Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi

Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1 Juni 2014

konstruk (construct validity). Uji validitas rupa (face


validity) dan validitas isi (content validity) pada uji coba
instrumen yakni kuesioner secara bersamaan oleh
peneliti kemudian dilakukan uji validitas konstruk
(construct validity).
Jumlah minimal responden yang dibutuhkan untuk
pengujian validitas konstruk adalah 30 responden
(Singarimbun dan Effendi, 1989). Uji validitas konstruk
dilakukan pada 45 orang responden di Puskesmas Jagir
Surabaya Selatan. Hasil pengolahan data uji validitas
konstruk menunjukkan keseluruhan item pertanyaan
pada kuesioner yang terdiri dari 20 item kinerja dan 20
item harapan memberikan nilai r hitung yang lebih besar
dari nilai r tabel, sehingga diambil kesimpulan bahwa
kuesioner memenuhi uji validitas. Sedangkan hasil
pengolahan data uji reliabilitas instrumen kuesioner
(berisi 20 item pertanyaan) didapatkan nilai koefisien
alpha sebesar 0,885 untuk kinerja dan 0,907 untuk
harapan, sehingga instrumen kuesioner ini reliabel,
karena nilai koefisien alpha dari Cronbach lebih besar
dari 0,6 (Rianse dan Abdi, 2009). Kuesioner sebagai
instrumen penelitian ini sudah memenuhi uji validitas
dan uji reliabilitas sehingga dapat dipakai dalam survei
kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kefarmasian
di puskesmas wilayah Surabaya.
Tabel 1. Data Umum Responden di Puskesmas Surabaya
Responden di Puskesmas Surabaya
Data
Prosentase
Frekuensi
(%)
(total = 581)
Jenis Kelamin :
Laki-laki
Perempuan
Umur (tahun) :
15-24
25-44
45-64
>65
Jenis pekerjaan :
Wiraswasta/swasta
Ibu rumah tangga
Pegawai/PNS
Tidak Bekerja
Lain-lain
Pendidikan :
SD atau sederajat
SMP atau sederajat
SMA atau sederajat
PT atau sederajat
Lain-lain

113
468

19,4
80,6

101
378
98
4

17,4
65,1
16,9
0,7

207
306
15
17
36

35,6
52,7
2,6
2,9
6,2

83
92
313
88
5

14,3
15,8
53,9
15,1
0,9

Berdasarkan data umum responden (Tabel 1)


didapatkan informasi bahwa jenis kelamin perempuan
dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga merupakan
jumlah responden yang paling banyak. Ibu sebagai tokoh
sentral dalam keluarga merupakan pasien tidak langsung
yang mengantarkan keluarga berobat ke puskesmas dan
mendapatkan atau merasakan pelayanan kefarmasian di
puskesmas.

Tabel 2. Nilai Kinerja-Harapan Metode Customer Window


Rerata
Rerata
(Nomor Kuesioner) Indikator
Skor
Skor
Posisi
Mutu Pelayanan Kefarmasian
Kinerja Harapan Kuadran
(X)
(Y)
Dimensi Bukti Langsung (Tangibles):
(1) Ketepatan penempatan papan nama
apotek atau kamar obat terlihat jelas

4,08

4,36

(2) Tersedia poster untuk upaya


4,09
4,38
penyuluhan pasien
(3) Kenyamanan ruang tunggu
4,09
4,37
(15) Etiket rapi, jelas, dan mudah dibaca
4,34
4,48
(19) Kelengkapan obat-obatan
4,19
4,39
Dimensi Keandalan (Reliablity):
(4) Memberikan informasi lama
3,47
4,15
penyiapan obat
(7) Memberikan informasi tentang
4,12
4,49
kegunaan obat
(8) Memberikan informasi tentang cara
4,39
4,51
pemakaian
(12) Memberikan informasi tentang cara
3,20
4,17
penyimpanan
(9) Memberikan informasi tentang lama
3,90
4,38
penggunaan
(10) Memberikan informasi tentang efek
3,15
4,34
samping
(11) Memberikan informasi makanan /
minuman yang harus dihindari selama
3,40
4,30
konsumsi obat
Dimensi Ketanggapan (Responsiveness):
(5) Kecepatan pelayanan
4,05
4,35
(13) Memberikan informasi yang mudah
4,01
4,32
dipahami oleh pasien
Dimensi Jaminan (Assurance):
(20) Menjamin mutu obat
4,40
4,45
(14) Mengkonfirmasi kembali
3,89
4,37
penjelasan yang diberikan
(6) Memastikan kebenaran penerima
4,48
4,42
obat
Dimensi Kepedulian (Empathy):
(16) Kepedulian dengan keluhan pasien
4,26
4,32
(17) Memberikan informasi obat dengan
4,21
4,33
ramah
(18) Bahasa mudah dimengerti
4,29
4,35
RERATA SKOR TOTAL

4,00

B
B
B
B
B
D
B
B
D
A
D
D

C
C
B
A
B
C
C
C

4,36

Berdasarkan Tabel 2 dinyatakan bahwa rerata skor


kinerja sumbu mendatar X merupakan rerata kinerja
pelayanan kefarmasian dari petugas pelayanan
kefarmasian di puskesmas yang diterima oleh seluruh
jumlah responden. Sedangkan rerata skor harapan sumbu
vertikal Y merupakan rerata harapan pelayanan
kefarmasian di puskesmas yang diharapan oleh seluruh
jumlah responden. Pembagian kuadran ini tidak melalui
titik koordinat (0,00;0,00) karena penilaian kinerja
maupun harapan dengan skala Likert pasti mempunyai
nilai skor. Berdasarkan penelitian didapatkan data bahwa
nilai rerata skor kinerja (X) 4,00 menunjukkan sebagai
letak sumbu Y. Sedangkan nilai rata-rata skor kinerja
(Y) 4,36 menunjukkan letak sumbu X dengan
perpotongan kedua sumbu pada koordinat (X;Y) atau
(4,00;4,36). Perpotongan kedua sumbu ini yang akan
menentukan pembagian kuadran A, B, C, dan D seperti
terlihat pada Gambar 1.

4 Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1, Juni 2014

Gambar 1. Jendela Pelanggan (Customer Window)


Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Wilayah Surabaya
Berdasarkan Gambar 1 didapatkan informasi bahwa
ada dua indikator mutu pelayanan kefarmasian yang
terdapat pada kuadran A yang mendapat prioritas utama
untuk ditingkatkan yaitu memberikan informasi tentang
lama penggunaan (nomor pertanyaan kuesioner 9) dan
mengkonfirmasi kembali penjelasan yang diberikan
(nomor pertanyaan kuesioner 14). Pemberian informasi
tentang lama penggunaan obat menjadi lebih penting jika
terkait dengan penggunan obat untuk terapi kausal
(antibiotik, antijamur, antivirus) karena jika lama
penggunaan obat tidak diberitahukan oleh petugas
pelayanan kefarmasian kepada pasien maka terapi obat
tersebut tidak optimal bahkan dapat terjadi resistensi
bakteri maupun rekurensi penyakit yang disebabkan oleh
jamur. Indikator konfirmasi kembali penjelasan yang
telah diberikan oleh petugas kepada pasien juga terletak
pada kuadran A yang merupakan indikator untuk
diperbaiki kinerjanya. Indikator ini sangat penting untuk
mengetahui pemahaman pasien terhadap penjelasan
petugas terkait cara penggunaan obat dan aturan waktu
pemakaian obat.
Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 1 didapatkan data
bahwa indikator penentu yang memiliki nilai rerata
paling besar untuk harapan, yang artinya responden
menilai pelayanan kefarmasian benar-benar diperlukan
yaitu memberikan informasi tentang cara pemakaian
obat dengan skor harapan 4,51 yang juga berarti bahwa
konfirmasi kembali penjelasan harus meliputi cara
pemakaian obat. Indikator penentu yang memiliki nilai
rerata paling besar untuk kinerja sehingga memberikan
penilaian paling baik adalah indikator memastikan
kebenaran penerima obat dengan skor kinerja 4,48 yang
memang sudah sering dilakukan petugas pelayanan
kefarmasian yaitu memanggil pasien saat memberikan
obat dan meminta kembali nomor kitir resep yang telah
diberikan kepada pasien.
Berdasarkan Gambar 1 didapatkan informasi bahwa
ada sembilan indikator mutu pelayanan kefarmasian
yang berada pada kuadran B, yang berarti harap
dipertahankan karena pada kuadran ini harapan pasien
tinggi dan juga sudah sesuai dengan kinerja tinggi yang

Priyandani Y., et al.

telah dilakukan oleh petugas pelayanan kefarmasian.


Sedangkan pada kuadran C menunjukkan ada lima
indikator mutu pelayanan kefarmasian yang merupakan
prioritas rendah untuk ditingkatkan, karena kinerja
petugas pelayanan kefarmasian sudah baik. Kuadran D
menunjukkan ada empat indikator mutu pelayanan
kefarmasian yang tidak diharapkan oleh pasien dan
kinerja petugas pelayanan kefarmasian pada indikator ini
juga rendah.
Berdasarkan
konsep
pelayanan
kefarmasian
(pharmaceutical care) untuk mencapai hasil terapi obat
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien
(Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009), maka
indikator yang berada pada kuadran C dan D yang tidak
dirasakan penting oleh pasien, tetapi berkaitan dengan
konsep pelayanan kefarmasian. Indikator kuadran C dan
D tersebut seperti pemberian informasi tentang efek
samping obat, cara penyimpanan obat dan informasi
tentang makanan/minuman yang harus dihindari selama
konsumsi obat sebaiknya diberitahukan kepada pasien
dengan cara memberikan edukasi kepada pasien bahwa
indikator ini sangat penting untuk menjamin terapi obat
yang aman dan efektif. Berdasarkan wawancara dengan
petugas pelayanan kefarmasian di puskesmas wilayah
Surabaya didapatkan keterangan bahwa apoteker enggan
memberikan informasi terkait efek samping obat (ESO)
untuk menghindarkan pasien dari rasa takut minum obat.
Pemberian informasi tentang efek samping obat
sebenarnya dapat meningkatkan kewaspadaan pasien
terhadap efek samping obat yang berpotensi terjadi.
Informasi yang juga harus diberikan untuk menjamin
terapi obat yang optimal adalah makanan/minuman yang
harus dihindari selama konsumsi obat. Indikator lain
yang terdapat pada kuadran D yang perlu mendapatkan
perhatian adalah pemberian informasi tentang cara
penyimpanan obat yang benar. Penyimpanan obat terkait
stabilitas dan efektivitas obat dengan menghindarkan
obat dari sinar matahari langsung, terlindung dari
cahaya, kelembaban, dan suhu (DepKes RI, 2006).
Pengukuran kepuasan pasien pada pelayanan
kefarmasian di puskesmas sangat penting dilakukan
karena akan mempengaruhi minat kunjungan ulang
pasien ke tempat pelayanan kefarmasian tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode customer window
karena ingin diketahui indikator pelayanan kefarmasian
yang perlu mendapakan prioritas utama untuk dilakukan
perbaikan. Metode lain yaitu metode servqual (service
quality) yang memiliki beberapa kelemahan seperti tidak
ada bukti pasien menilai mutu pelayanan kefarmasian
berdasarkan gap antara kinerja dan harapan, di samping
itu harapan pasien cenderung sangat tinggi. Dampak dari
harapan pasien yang cenderung tinggi mengakibatkan
kegagalan dalam pemenuhan harapan lebih sering terjadi
bila dibandingkan dengan keberhasilan dalam pemenuhan
harapan (Tjiptono, 2011).
Penelitian ini menggunakan teknik accidental
sampling yaitu mendapatkan sampel responden yang
kebetulan ada saat peneliti sedang melakukan
pengambilan data dan memenuhi kriteria inklusi. Teknik
accidental sampling yang termasuk non-random
sampling ini dilakukan dalam penelitian karena
keterbatasan sumber daya penelitian. Teknik sampling
ini termasuk non-random sampling sehingga penelitian
ini tidak dapat digeneralisasi.

Pemberian Informasi Lama Terapi dan Konfirmasi

Kesimpulan. Penelitian yang telah dilakukan terkait


kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di
puskesmas wilayah Surabaya ini dapat disimpulkan
bahwa pada kuadran :
A. Indikator mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas
wilayah Surabaya yang merupakan prioritas utama untuk
ditingkatkan kinerjanya meliputi dua indikator berikut
yaitu memberikan informasi tentang lama penggunaan
obat dan mengkonfirmasi kembali penjelasan yang
diberikan.
B. Indikator mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas
wilayah Surabaya yang harus dipertahankan meliputi
sembilan indikator yaitu pemberian informasi cara
pemakaian obat, penempatan papan nama apotek atau
kamar obat yang dapat telihat dengan jelas, memanggil
nama pasien saat penyerahan obat, pemberian informasi
kegunaan obat, poster kesehatan untuk informasi pasien,
kenyamanan ruang tunggu, penulisan petunjuk aturan
pakai obat dengan jelas, penyerahan obat-obatan yang
lengkap, penyerahan obat dalam keadaan fisik baik.
C. Indikator mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas
wilayah Surabaya yang mempunyai prioritas rendah
untuk ditingkatkan karena kinerja sudah baik dan
harapan pasien rendah meliputi lima indikator yaitu
pelayanan obat dengan cepat, pemberian informasi yang
dapat dipahami oleh pasien, peduli keluhan pasien,
pemberian informasi obat dengan ramah, dan
penggunaan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien.
D. Indikator mutu pelayanan kefarmasian di puskesmas
wilayah Surabaya yang dianggap tidak terlalu penting
oleh pasien meliputi empat indikator yaitu pemberian
informasi tentang efek samping obat, pemberian
informasi tentang makanan/minuman yang harus
dihindari selama konsumsi obat, pemberian informasi
tentang cara penyimpanan obat dan pemberian informasi
lama penyiapan obat.
Saran. Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat
disarankan pemberian edukasi kepada pasien mengenai
pentingnya pelayanan kefarmasian melalui berbagai media
penyuluhan baik secara langsung maupun tidak langsung
karena masih terdapat indikator mutu pelayanan
kefarmasian di puskesmas terutama indikator dengan
harapan rendah pada kuadran C dan D yang dianggap tidak
terlalu penting oleh pasien tetapi sangat penting untuk
menunjang konsep pelaksanaan pharmaceutical care
seperti pemberian informasi efek samping obat (ESO).
Penelitian lain lebih lanjut terkait penilaian kepuasan
pelayanan kefarmasian di puskesmas diperlukan untuk
mengetahui pengaruh kepuasan pasien terhadap minat
kunjungan ulang pada pelayanan kefarmasian di
puskesmas. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan menggunakan teknik systematic
random sampling yang termasuk teknik random
sampling agar hasil penelitian dapat digeneralisasi ke
dalam populasi penelitian.

Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol.1 No.1 Juni 2014

Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih diberikan


kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
beserta pimpinan dan komisi penelitian atas kesempatan
yang diberikan untuk melakukan penelitian ini dengan
menggunakan dana penelitian Project Grant tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, 2006. Pedoman Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas. Dep.Kes. RI: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2008. Pedoman Penilaian
Tenaga Kesehatan Teladan di Puskesmas
KepMenKes RI Nomor: 658/Menkes/SK/IV/2005.
Jakarta : Direktur Bina Kesehatan Komunitas.
Keputusan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara
(KepMenPAN) Nomor 25 tahun 2004 tentang
Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan
Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
2004. Jakarta.
Kotler P, Keller KL, 2009. Dasar-dasar Pemasaran Jilid 2,
Edisi keduabelas. Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama.
Lwanga SK, Lemeshow S, 2001. Besar Sampel dalam
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada
Univesity Press. hlm.55
Media Harian Bhirawa. Puskesmas Berstandar ISO
Dikeluhkan. diakses dari www.harianbhirawa.co.id/,
diakses tanggal 28 Desember 2011
Notoatmodjo, S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan,
Edisi Revisi, Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal. 35, 125.
Notoatmodjo S, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan
Aplikasi, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51
Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya
Nomor 17 Tahun 1995 tentang Organisasi dan
Tatakerja Pusat Kesehatan Masyarakat di Kotamadya
Daerah Tingkat II Surabaya. 1995. Surabaya.
Rianse U, Abdi SP, 2009. Metodologi Penelitian Sosial
dan Ekonomi. Bandung: Cv. Alfabeta. Hal.
162,166,167, 180.
Sari, I., 2010. Manajemen Pemasaran Usaha Kesehatan.
Jogjakarta: Nuha Medica. hlm. 45-72
Singarimbun M, Effendi S, 1989. Metode Penelitian Survai,
Edisi Revisi. Jakarta: LP3S. Hal.122-140
Supriyanto S, Djohan AJ, 2011. Metodologi Riset dan
Bisnis Kesehatan. Banjar Baru: Garfika Wangi
Kalimantan. hlm.143, 160-161.
Supriyanto S, Ernawati MS, 2010. Pemasaran Industri
Jasa Kesehatan. Jogjakarta: Andi Offset. Hal. 330.
Surabaya Pos. RS BDH Kehabisan Obat. diakses dari
www.surabayapost.co.id/, diakses 19 Januari 2012
Umar H, 2003. Metode Riset Perilaku Konsumen Jasa,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tjiptono F, 2011. Pemasaran Jasa, Sleman: Bayumedia
Publishing, hlm.334-357.

You might also like