You are on page 1of 26

ANALISIS PENGARUH PENATAAN KELEMBAGAAN DAN

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KINERJA


PEGAWAI PADA BADAN GEOLOGI KEMENTRIAN ENERGI DAN
SUMBER DAYA MINERAL DI BANDUNG
BAMBANG SUCIPTO
ABSTRACT
This research was initiated by the appearance of an employee performance issue
on Geological Agency, Ministry of Energy and Mineral resources is still low. Problems are
detected, presumably due to the structuring of institutional and human resource
development are not yet effective. Referring to these problems, this research study will focus
on the institutional arrangement and human resource development related to employee
performance problems.
The design of the study was conducted using a quantitative approach through explanatory
survey method. While the population of the study conducted at the Geological Agency
Ministry of Energy and Mineral Resources to the number of population of 1446 people .
Through Simple Random Sampling technique (Simple Random Sampling), obtained the
sample of 313 respondents. Then the technique of data collection is done through
observation, interviews and questionnaires, while the data analysis technique used is
Structural Equation Modeling (SEM). The results found that institutional arrangement and
human resource development of simultaneous events (right) has a significant influence on
the performance of employees at the Geological Agency of the Ministry of Energy and
Mineral Resources, the standard deviationof 0.86 or 0.86 % and the rest, ie, 0.14 or 14 %
affected by other variables (). The results also revealed that the variable institutional
arrangement is the most dominant variable in affecting the performance of employees ,
compared with the variable of human resource development. The magnitude of the effect
produced, among other institutional arrangement (X1) affect employee performance by 0.76
or 76 %, while the human resource development (X2) affect employee performance by 0.59
or 59 %.
The results also found that the dimensions of institutional arrangement and human
resource development had also empirically determines the employee performance
improvement. The magnitude of the influence of institutional arrangement can be explained
as follows: the human dimension of 0.63, duty dimension of 0.33, the strategy dimension by
0.51, a dimension of 0.42 structures, technology dimension and cultural dimension of 0.53
at 0.69. While the magnitude of the influence of the levels of human resource development
on employee performance can be explained as follows: reactions of 0.32 dimension, 0.44
dimension of learning, behavior levels by 0.55, the level of organization result is 0.46 , the
level of cost affectivity by 0.47.
The research concludes that the institutional arrangement and human resource
development has been empirically affects the performance of employees at the Geological
Agency of the Ministry of Energy and Mineral Resources, either simultaneously or partially.
The result implies that the changes occurred in the performance of employees affected by
the changes that occur in institutional arrangements and human resource development.
1. Latar Belakang Penelitian
Organisasi merupakan salah satu bagian penting bagi kehidupan manusia dalam
mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Pentingnya kehadiran organisasi ini dapat
dipahami, karena organisasi memiliki fungsi dan peran sebagai piranti (perangkat) yang
potensial dalam mendukung tercapainya tujuan tersebut. Oleh karena itu, organisasi harus

memiliki kemampuan untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan hidup manusia yang


semakin kompleks.
Ditengah menguatnya arus globalisasi dan percepatan teknologi yang semakin
tinggi, adaptabilitas organisasi menjadi semakin penting karena globalisasi menuntut
persaingan yang tinggi diberbagai dimensi kehidupan. Adaptabilitas organisasi ini juga
sangat dibutuhkan, agar organisasi mampu menghadapi berbagai tantangan, ancaman dan
kendala yang dihadapi. Dalam konteks ini, penataan kelembagaan atau pembenahan
organisasi yang fundamental dan substantif sangat penting untuk dilakukan. Hal ini diilhami
oleh petimbangan bahwa penataan kelembagaan pada hakikatnya merupakan suatu langkah
strategis dan sistematis yang dilakukan oleh suatu organisasi agar organisasi lebih
professional dan proporsional. Hal ini sejalan dengan pandangan Sedarmayanti (2006:10)
yang mengemukakan bahwa:
Penataan kelembagaan pemerintahan baik pusat maupun daerah lebih
diarahkan pada upaya penyederhanaan birokrasi pemerintah untuk
menyempurnakan dan mengembangkan organisasi dengan lebih
proporsional, datar, transparan, hierarki yang pendek se rta
terdesentralisasi kewenangannya.
Pandangan tersebut mencerminkan bahwa penataan kelembagaan dalam perspektif
pemerintahan merupakan suatu upaya organisasi pemerintah yang diarahkan untuk
menyederhanakan birokrasi pemerintah, sehingga organisasi tersebut lebih profesional.
Dengan demikian, organisasi pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kinerjanya baik
secara individu (pegawai/aparat) maupun kelembagaan. Peningkatan kinerja pegawai ini
dirasakan sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mendorong peningkatan kualitas
pelayanan publik.
Pada sisi lain, upaya peningkatan kinerja pegawai juga tidak bisa dilepaskan dari
tingkat kemampuan dan kompetensi pegawai dalam menjalankan tugasnya. Hal ini sejalan
dengan pandangan Keban (2004: 198) yang menandaskan bahwa ...peningkatan kinerja
seorang pegawai akan tercermin dari peningkan kemampuan dan kompetensinya,
sehingga yang bersangkutan dapat menjalankan tugasnya secara optimal . Salah satu
upaya untuk mendorong peningkatan kemampuan dan kompetensi pegawai tersebut, antara
lain dapat dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia. Hal ini didasarkan pada
argumentasi bahwa, pengembangan sumber daya manusia, sebagaimana dijelaskan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, merupakan suatu proses kegiatan yang
dilakukan oleh kelembagaan pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan
dan kompetensi pegawai (aparatur).
Penguatan terhadap pernyataan di atas dijelaskan oleh Notoatmodjo (2010:5) yang
mengemukakan bahwa:
Pengembangan sumber daya manusia (human resaurces development)
merupakan suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan
manusia dalam rangka mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Dari sisi organisasi pengembangan sumber daya manusia juga sangat
berguna untuk meningkatkan kinerja para pegawai .
Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa pengembangan sumber daya manusia
memang sangat dibutuhkan oleh suatu organisasi, termasuk organisasi publik seperti
pemerintah dalam mendorong akselerasi peningkatan kinerja pegawainya. Oleh karena itu,
pengembangan sumber daya aparatur perlu dilakukan secara serius, sistematis, terencana
dan berkesinambungan. Dengan demikian, upaya peningkatan kinerja pegawai yang
merupakan bagian penting dari ikhtiar dalam mewujudkan kualitas pelayanan publik
diharapkan dapat direalisasikan secara nyata.
Disadari sepenuhnya bahwa masalah kinerja pegawai, khususnya di lingkungan
pemerintahan hingga saat ini masih menjadi salah satu problem yang cukup krusial dan

menjadi sorotan publik, sehingga membutuhkan penanganan yang serius serta komitmen
yang tinggi dari semua pihak, khususnya pemerintah. Menguatnya persoalan tersebut,
sesungguhnya dipicu oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan
administrasi publik yang selama ini dinilai kurang berpihak pada kepentingan masyarakat.
Tingginya tuntutan publik tersebut, mencerminkan betapa beratnya beban dan
tanggungjawab pegawai pemerintah (aparatur) dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi
negara dan abdi masyarakat. Beratnya beban tersebut semakin bertambah, manakala
berbagai fenomena rendahnya kinerja yang ditampilkan oleh pegawai pemerintah selama
ini, kemudian berimplikasi pada rendahnya kualitas pelayanan publik serta melemahnya
kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Akibatnya bentuk pelayanan apapun
yang diberikan oleh pemerintah, senantiasa dicurigai dan mendapatkan opini yang kurang
menguntungkan terhadap peran dan fungsi aparatur pemerintah sebagai pelayan publik.
Buruknya citra pegawai pemerintah (aparatur) di mata publik, semakin menguat
ketika fakta empiris menunjukan kualitas pelayanan yang berbelit-belit, ketidakjelasan
waktu pelayanan, besarnya biaya pelayanan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dan
ketidakramahan aparatur pelayanan pada saat memberikan layanan pada masyarakat.
Munculnya fenomena tersebut, diperkuat oleh pandangan Rasul (2000) yang menjelaskan
empat permasalahan yang senantiasa timbul dalam menjalankan organisasi pemerintahan,
yakni;
Pertama, ketidakefektifan dalam menjalankan organisasi. Kedua,
ketidakefisienan yang timbul karena tingkat rasio antara dana yang
diperoleh dan dikumpulkan dari masyarakat dengan pengembaliannya
kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas umum memang masih sangat
rendah. Ketiga, adanya private inurement. Keempat, munculnya excessive
risk.
Secara yuridis, upaya untuk meningkatkan kinerja pegawai, khususnya di
lingkungan pemerintahan, sesungguhnya telah dilakukan oleh pemerintah melalui
pencanangan serangkaian paket kebijakan yang diterjemahkan melalui berbagai ketentuan,
seperti TAP MPR RI No. XI tahun 1998, UU No. 28 tahun 1999, Inpres No. 7 tahun 1999,
dan Tap MPR No. VII /MPR / 2001. Serangkaian paket kebijakan tersebut esensinya
mengatur bagaimana langkah-langkah strategis dan teknis dalam mendorong peningkatan
kinerja institusi pemerintah. Oleh karena itu, secara institusional, berbagai ketentuan ini
sesungguhnya telah memberikan arahan atau pedoman yang cukup jelas bagi aparatur
(pegawai pemerintah) dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat pemerintah.
Namun secara implementatif, berbagai ketentuan tersebut ternyata belum sepenuhnya dapat
diterjemahkan secara efektif, sehingga menimbulkan terjadinya disparitas antara keinginan
masyarakat dengan tingkat kinerja yang ditampilkan oleh pegawai pemerintah (aparatur).
Kondisi yang menyatakan bahwa kinerja pegawai Badan Geologi masih rendah
dapat dijelaskan pada table sebagai berikut:

Tabel 1.1
Kondisi Kinerja Pegawai Badan Geologi
Nomor
1
2

Kegiatan
Pembuatan laporan
kegiatan Tim
Pembuatan laporan
tahunan

Target
30 hari setelah
kegiatan berahir
45 Hari setelah
berakhirnya tahun
berjalan

Realisasi
Selesai 60 hari setelah
kegiatan berahir
Selesai lebih dari 60 hari
setelah berakhirnya tahun
berjalan

Penyusunan
Identifikasi Kebutuhan
Diklat (IKD) Pegawai
Adaptabilitas tugas
pokok sesuai dengan
kebutuhan masyarakat
Kedudukan Pusat
Pengembangan
Geologi Kelautan
Penyempurnaan UPT
yang telah ada dan
Pembentukan UPT
baru

Selesai Agustus 2011

Selesai Oktober 2011

Terpenuhinya
kebutuhan
masyarakat
Berada di dalam
organisasi Badan
Geologi
Selesai Desember
2011

Belum efektif

Masih tetap berada di dalam


organisasi Badan Litbang
ESDM
Sampai dengan September
2012 belum selesai

Sumber : Badan Geologi, tahun 2012

Hasil survei yang dilakukan pada Badan Geologi Kementerian Energi


dan Sumber Daya Mineral tahun 2011, penulis mendeteksi bahwa tingkat kinerja
pegawai relatif masih rendah. Ada beberapa indikasi yang menguatkan dugaan
tersebut, antara lain:
1. Hasil kerja belum berjalan dengan efektif, misalnya pada Sekretariat Badan
Geologi masih terdapat program yang berlum berjalan dengan efektif, seperti
dalam penyelesaian pembuatan laporan kegiatan Tim seharusnya selesai 30
hari setelah berahirnya kegiatan dan baru diselesaikan 60 hari setelah
berakhirnya kegiatan.
2. Dalam penyusunan atau pembuatan laporan tahunan Badan Geologi, target
dapat diselesaikan dalam waktu 45 hari setelah berakhirnya tahun berjalan,
namun laporan tahunan baru dapat diselesaikan lebih dari 60 hari setelah
berakhirnya tahun berjalan.
3. Belum efektifnya pelaksanaan tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh para
pegawai, khususnya menyangkut pekerjaan yang sifatnya administratif.
Misalnya masih terjadi keterlambatan dalam penyusunan Identifikasi
Kebutuhan Diklat (IKD). Kondisi tersebut dapat merugikan pegawai Badan
Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam rangka
pengembangan sumber daya manusia.
4. Adaptabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi belum sepenuhnya berjalan
dengan efektif, seperti dalam penanganan penyediaan air bersih untuk daerah
sulit air.
5. Kedudukan Pusat Pengembangan Geologi Kelautan berada pada organisasi
Badan Litbang ESDM, seharusnya berada pada organisasi Badan Geologi.
Hal ini dapat menyebabkan tidak efektifnya penyusunan dan pelaksanaan
prgoram penelitian kegeologian.
6. Penyempurnaan organisasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang telah ada dan
proses pembentukan UPT baru belum dapat diselesaikan, sehingga dapat
berdampak kepada kinerja pegawai yang tidak dapat diberikan bobot nilai
dalam penilaian Sasaran Kerja Pegawai.

Masalah yang terdeteksi di atas, penulis duga disebabkan oleh penataan


kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia yang belum berjalan dengan
efektif. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
fenomena yang berkembang di lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral Bandung, khususnya menyangkut penataan kelembagaan, dan
pengembangan sumber daya manusia dikaitkan dengan masalah kinerja pegawai.
Ketertarikan tersebut, akan coba penulis terjemahkan melalui penelitian disertasi dengan
mengambil judul Analisis Pengaruh Penataan Kelembagaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia
terhadap Kinerja Pegawai Pada Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung. Berpijak dari latar
belakang tersebut di atas, maka yang menjadi pernyataan masalah (problem statement)
adalah: kinerja pegawai pada Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Bandung masih rendah. Adapun identifikasi masalah yang peneliti
ajukan adalah sebagai berikut: pertama, Bagaimana pelaksanaan penataan kelembagaan,
pengembangan sumber daya manusia dan kinerja pegawai Pada Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bandung ? kedua, Seberapa
besar pengaruh penataan kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia terhadap
kinerja pegawai Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Bandung ? Ketiga, Seberapa besar pengaruh penataan kelembagaan melalui dimensi
sumber daya manusia, tugas, strategi, struktur dan desain, teknologi, dan kultur terhadap
kinerja pegawai Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Bandung ? Keempat, Seberapa besar pengaruh pengembangan sumber daya manusia
melalui dimensi reactions, learning, behavior, organization result dan cost effectivity
terhadap kinerja pegawai Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Bandung ?
2.

Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian


Secara esensial administrasi publik sesungguhnya merupakan langkah strategis dan
sistematis yang dilakukan oleh perangkat negara (aparatur pemerintah) dalam rangka
mencapai tujuan negara. Dalam konteks ini, Siagian (2002 : 8) memberikan pengertian
administrasi publik sebagai berikut: keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh
aparatur pemerintah dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara .
Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa dalam konteks pelaksanaan administrasi publik,
aparatur pemerintah memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan pencapaian
tujuan negara. Pentingnya aparatur pemerintah dalam konteks pelaksanaan administrasi
publik ini, tidak hanya menyangkut perumusan atau formulasi suatu kebijakan semata,
tetapi juga akan terkait dengan pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Itulah
sebabnya kemudian, Kasim (1994 : 8) mengemukakan sebagai berikut :
Administrasi publik sangatlah berpengaruh tidak hanya terhadap
tingkat perumusan kebijakan, melainkan pula terhadap implementasi
kebijakan, karena memang administrasi publik berfungsi unt uk
mencapai tujuan program yang telah ditentukan oleh para pembuat
kebijakan politik.
Penguatan terhadap pandangan di atas juga dikemukakan oleh Prethus dalam
Kristiadi (1994 : 24) yang menyatakan sebagai berikut:
Public administration involves the implementation of public policy which
has been determined by representative political bodies. (Administrasi publik
menyangkut implementasi kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh
badan-badan perwakilan politik.)
Pernyataan Prethus di atas semakin mengokohkan argumentasi bahwa administrasi
publik bukan hanya sekedar melaksanakan kebijakan negara (public policy), melainkan juga

terlibat dalam proses perumusan kebijakan negara dan penentuan tujuan serta cara-cara
dalam mencapai tujuan negara tersebut. Oleh karena itu, administrasi publik tidak hanya
berkaitan dengan badan-badan eksekutif semata, melainkan seluruh lembaga negara dan
gabungan antar lembaga negara. Dengan demikian, perumusan kebijakan negara (public
policy) yang semula merupakan fungsi politik telah bergeser menjadi fungsi administrasi
publik. Lebih lanjut Prethus dalam Silalahi (1989 : 18) mengemukakan bahwa :
Public administration may be defined as the coordination of individuals and
group efforts to carry out public policy. (Administrasi publik kiranya dapat
dirumuskan sebagai sarana koordinasi dari individu -individu dan
kelompok dalam melaksanakan kebijakan negara).
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa administrasi publik juga bersentuhan
dengan masalah koordinasi antara pemangku kepentingan dalam konteks pelaksanaan suatu
kebijakan. Oleh karena itu, sinergitas dari berbagai kelompok kepentingan merupakan hal
penting yang harus diperhatikan, agar tujuan negara, yakni meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan kualitas pelayanan publik. Hal tersebut dapat dipahami, mengingat
eksistensi pemerintah sesungguhnya akan tergantung kepada sejauhmana ia dapat
meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan terkait dengan hal tersebut, adalah
melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sebagaimana dilukiskan oleh Dwiyanto
(2010 : 177) merupakan perubahan yang terencana, sistematis dan terukur dalam
rangka mengubah tatanan birokrasi pemerintahan .
Pandangan tersebut
mengisyaratkan bahwa reformasi birokrasi pada intinya menekankan adanya perubahan
terhadap suatu birokrasi yang dianggap sudah ada, namun kurang atau tidak memberikan
sebuah kondisi perbaikan. Itulah sebabnya kemudian dibutuhkan adanya sebuah perubahan
yang sifatnya terencana, sistemik dan terukur.
Pandangan di atas dikuatkan oleh pendapat Saefullah (2010 : 11) yang
mengemukakan bahwa itilah reformasi birokrasi dimaknai sebagai perubahan sistem
secara luas atau perubahan struktural secara khusus di lingkungan birokrasi
pemerintahan. Hal ini mencerminkan bahwa istilah reformasi birokrasi juga akan
bersentuhan dengan persoalan sistem dalam sebuah tatanan kehidupan manusia, baik secara
sosial maupun kelembagaan. Secara sosial dalam arti bahwa perubahan itu perlu dilakukan
dalam sebuah tatanan masyarakat secara umum yang dianggap kurang atau tidak kondusif
bagi kehidupan masyarakat, baik menyangkut perilaku, kebiasaan maupun aspek yang
lainnya. Secara kelembagaan, dalam arti terkait dengan perubahan-perubahan yang perlu
dilakukan pada kelembagaan yang mengatur atau mengelola masalah-masalah publik,
seperti pemerintahan atau birokrasi pemerintahan.
Untuk memperbaiki dan menyempurnakan tatanan kelembagaan pemerintah inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah penataan kelembagaan. Secara substantif, penataan
kelembagaan merupakan bentuk upaya yang dilakukan oleh suatu organisasi, termasuk
pemerintah agar institusi dapat tumbuh dan bertahan, sehingga dapat menjalankan
fungsinya secara optimal. Penguatan terhadap pandangan tersebut dikemukakan oleh
Kusumah (2006 : 44) yang menandaskan bahwa penataan kelembagaan juga
merupakan rangkaian kegiatan untuk memperbaiki totalitas sistem organisasi yang
terdiri dari yang bersifat statis (wadah) dan konsep yang bersifat dinamis (aspek
proses kegiatan). Dalam perspektif organisasi publik, penataan kelembagaan dapat
dimaknai sebagai proses perubahan yang direncanakan dalam rangka meningkatkan kinerja
aparatur, sehingga mendorong terhadap peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Sedarmayanti (2006 : 73-78) mengemukakan
berbagai faktor yang mempengaruhi penataan kelembagaan sebagai berikut:
1) Sumber Daya Manusia
2) Tugas (Deskripsi Kerja)

3) Strategi
4) Struktur (Desain Organisasi)
5) Teknologi
6) Culture (Budaya)
Faktor sumber daya manusia akan bersentuhan dengan perubahan yang terjadi
dalam organisasi tersebut. Dengan perkataan lain, bagaimana cara sumber daya manusia
menghadapi dan mengalami proses perubahan yang berlangsung dalam organisasi tersebut.
Sehubungan dengan hal di atas, Winardi, (2006 : 110) mengemukakan lima macam fase inti
dari dimensi manusia dalam konteks penataan kelembagaan, yaitu:
a. Kesadaran tentang adanya kebutuhan untuk berubah ( awareness of
the need for change)
b. Kesadaran untuk berpartisipasi dan membantu perubahan tersebut
(desire to participate and support the change)
c. Pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan perubahan (dan
bagaimana kiranya bentuk perubahan tersebut) (knowledge of how to
change and what the change looks like)
d. Kemampuan untuk mengimplementasi perubahan tersebut, sehari hari (ability to implement the change on a day to day basis)
e. Perkuatan agar perubahan tersebut tetap berlangsung (reinforcement
to keep the change in place).
Terkait dengan tugas (pekerjaan) Robin (1993 : 137) menjelaskan bahwa terdapat
model karakteristik pekerjaan (job characteristics model) yang diperkenalkan oleh
Hackman dan Oldham di mana setiap pekerjaan dapat dideskripsikan ke dalam lima
pekerjaan inti yaitu :
a. Keanekaragaman keterampilan
b. Identitas tugas
c. Pentingnya tugas
d. Otonomi
e. Umpan balik
Faktor strategi merupakan langkah atau upaya yang dilakukan oleh pimpinan
kelembagaan untuk menghadapi berbagai tantantangan, ancaman dan kendala yang
dihadapi oleh organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Sejalan dengan pernyataan
tersebut, Drucker dalam Siagian (2002:5) menyatakan bahwa:
Strategi merupakan kiat yang diterapkan biasanya oleh manajemen
puncak untuk memenangkan peperangan yang melibatkan organisasi.
Untuk memenangkan peperangan tersebut maka harus diketahui
faktor-faktor kekuatan dan kelemahan apa yang dimiliki oleh organisasi,
peluang apa yang mungkin timbul dan bagaimana cara
memanfaatkannya, serta ancaman apa yang diperkirakan akan timbul
dan caracara apa yang paling efektif untuk mengahadapinya. Sebaiknya,
perlu pula diketahui kekuatan dan kelemahan lawan sehingga dapat
ditentukan kiat yang tepat sehingga lawan tidak memiliki kemampuan
untuk memanfaatkan peluang dan bahkan apabila mungkin
menghilangkan peluang tersebut, sehingga tidak memiliki keandalan
dalam menghadapi ancaman yang dihadapinya.
Mengacu kepada uraian di atas, maka secara sederhana dapat dikemukakan bahwa
dalam konteks penataan kelembagaan, faktor strategi setidaknya dapat diidentifikasi dari
hal-hal sebagai berikut: pertama, faktor kekuatan dan kelemahan organisasi, kedua, peluang

yang mungkin dapat diraih, ketiga, bagaimana cara memanfaatkan peluang tersebut,
keempat, ancaman apa yang akan dihadapi.
Kemudian terkait dengan struktur atau desain organisasi, Robin (2006:585)
menjelaskan bahwa terdapat enam unsur kunci yang perlu disampaikan ke manajer ketika
merancang struktur organisasinya yaitu:
a. Spesialisasi Kerja,
b. Departementalisasi
c. Rantai Komando
d. Rentang Kendali
e. Sentralisasi dan Desentralisasi
f. Formalisasi
g. Struktur Matriks
Sementara faktor teknologi mengisyaratkan pentingnya penggunaan teknologi pada
berbagai organisasi, termasuk organisasi pemerintah. Pada organisasi pemerintah, sarana
pendukung yang harus segera diterapkan yaitu penerapan electronic government (egovernment). Penerapan e- government berdasarkan Microsof e government menurut
Widodo (2001:53) akan banyak memberikan peluang dan keuntungan di antaranya:
a. Deliver electronic and integrated public services, nilai tambahan
dalam peningkatan pelayaan karena dapat dilakukan semakin
cepat, akurat dan terpadu.
b. Bridge the digital divide, jembatan penghubung antara pemerintah
dan masyarakat untuk memperkenalkan teknologi baru.
c. Achieve life long learning, sarana proses pembelajaran masyarakat.
d. Rebuiled their custumer relationship, membangun hubungan dengan
konsumen untuk meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah.
e. Foster
economic
development,
mendukung
peningkatan
pembangunan perekonomian.
f. Establish ensible policies and regulations, perkembangan
memunculkan isi-isu actual yang berkaitan erat dengan e-commerce,
cyber-crime, dan cyber-terrorism yang menuntutan adanya kebijakan
dan pengaturan.
g. Create a more participative form of government, peningkatan
partisipasi masyarakat dalam mendukung demokrasi.
Faktor budaya atau kultur dalam konteks penataan kelembagaan merupakan
bagian penting yang harus diperhatikan oleh seluruh komponen organisasi. Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan, karena secara substantive budaya budaya akan berkaitan dengan
norma, kebiasaan dan aturan yang berlaku dalam organisasi yang bersangkutan. Sejalan
dengan hal tersebut Ibrahim (2004 : 318) mengemukakan fungsi budaya organisasi bagi
anggotanya sebagai berikut:
a. Adaptasi Eksternal : proses meraih tujuan dan bekerjasama dengan
pihak luar. Sejumlah pertanyaan harus dapat dijawab agar dapat
sukses dengan adaptasi eksternal, antara lain:
b. Integrasi internal : adalah kreasi dari satu identitas kolektif dan
pemahaman tentang metode-metode kerja yang serasi dan hidup
dalam kebersamaan.
c. Mewujudkan kebersamaan eksekutif dan karyawan : dengan
menyadari tujuan bersama, perilaku yang ditetapkan dan saling isi
mengisi.
d. Memilih organisasi sesuai dengan budayanya: adanya beberapa
pilihan antara lain:

1. Budaya akademik: perorangan secara hati-hati bergerak melalui


serangkaian program latihan bagi pengembangan karir untuk
memperoleh fungsi-fungsi yang diharapkan dalam jangka
panjang.
2. Budaya perlindungan : perorangan diminta untuk berjuang
sehidup semati bagi kelangsungan hidup organisasi/perusahaan.
3. Budaya klub: Senioritas, loyalitas, status, komitmen dan
menyatu, di antara lebih penting dari pada keahlian.
4. Budaya tim baseball atau bola kaki: bakat dan kinerja sangat
diutamakan, perorangan yang menang dihargain tinggi dan yang
selalu mengecewakan biasanya terdepak keluar dengan
sendirinya.
Melalui keenam faktor yang dikemukakan oleh Sedarmayanti (2006) itulah yang
kemudian penulis jadikan parameter untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan penataan
kelembagaan yang dilakukan oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Melalui keenam faktor itu pula landasan teoritik mengenai keberhasilan penataan
kelembagaan diharapkan mampu memberikan penguatan terhadap kinerja pegawainya.
Khasanah teoritik mengenai peningkatan kinerja pegawai juga dapat dideteksi
melalui upaya pengembangan sumber daya manusia. Secara anatomik, eksistensi teori
pengembangan sumber daya manusia sesungguhnya merupakan bagian integral dari
manajemen sumber daya manusia. Sedangkan manajemen sumber daya manusia sendiri,
menurut Rachmawati ( 2008 : 3) diterjemahkan sebagai berikut:
Manajemen sumber daya manusia merupakan suatu proses
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan kegiatan kegiatan pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi,
pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar
tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.
Pandangan di atas mengisyaratkan bahwa esensi manajemen sumber daya
manusia, tidak hanya berkaitan dengan proses perencanaan, pengorganisasi, pengarahan dan
pengawasan semata, tetapi juga diarahkan kepada upaya untuk mengembangkan sumber
daya manusia itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa salah satu bagian
penting dari manajemen sumber daya manusia adalah bagaimana mengupayakan
pengembangan sumber daya agar mereka dapat mendukung tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan oleh organisasi.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa keberhasilan untuk mengembangkan
sumber daya manusia dalam suatu organisasi, agaknya sulit untuk dicapai manakala tidak
direncanakan secara matang dan komprehensif. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya
perencanaan sumber daya manusia yang sistematis, komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam konteks inilah, kemudian konsep dan teori perencanaan sumber daya manusia
memegang peranan yang sangat penting guna mendukung pemahaman terhadap
pengembangan sumber daya manusia. Sejalan dengan hal tersebut, Rachmawati (2008 : 56)
mengartikan perencanaan sumber daya manusia sebagai berikut: Perencanaan sumber
daya manusia adalah suatu proses sistematis yang digunakan untuk memprediksi
permintaan dan penyediaan sumber daya manusia di masa datang.
Pandangan di atas mengandung makna bahwa melalui perencanaan sumber daya
manusia yang sistematis dapat diperkirakan jumlah dan jenis sumber daya manusia yang
dibutuhkan pada setiap periode tertentu, sehingga dapat membantu pimpinan dalam
menentukan model pengembangan sumber daya manusia, guna mendukung tercapainya
tujuan organisasi. Dengan demikian, pengembangan sumber daya manusia diharapkan
mampu melahirkan kualitas sumber daya manusia dalam organisasi yang bersangkutan.

10

Gagasan tersebut diilhami oleh adanya pemahaman bahwa pengembangan sumber


daya manusia esensinya merupakan suatu upaya yang sistematis, terencana, terukur dan
berkesinambungan yang ditujukan untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya
manusia, khususnya di lingkungan pemerintahan, sehingga mereka diharapkan mampu
mencapai tujuan organisasi secara optimal. Senada dengan pernyataan tersebut,
Notoatmodjo (2010 : 3-4) mengemukakan batasan pengembangan sumber daya manusia
sebagai berikut:
Pengembangan sumber daya manusia (human resaurces development)
secara makro, adalah suatu proses peningkatan kualitas atau
kemampuan manusia dalam rangka mencapai suatu tujuan
pembangunan bangsa. Sedangkan secara mikro, pengembangan sumber
daya manusia adalah suatu proses perencanaan pendidikan, pelatihan
dan pengelolaan tenaga atau karyawan untuk mencapai suatu hasil
optimal.
Pandangan di atas, mengisyaratkan pentingnya pengembangan sumber daya
manusia dalam suatu organisasi. Oleh sebab itu, implementasinya perlu
mempertimbangkan berbagai faktor, baik secara internal dan eksternal organisasi.
Untuk melihat sejauhmana tingkat keberhasilan pengembangan sumber daya
manusia tersebut, dibutuhkan suatu parameter yang jelas sehingga dapat memberikan
gambaran yang komprehensif tentang pengembangan sumber daya aparatur yang
dimaksud. Dalam konteks tersebut, Gomes & Park (1997 : 490) melihat tolok ukur
pengembangan sumber daya pegawai berdasarkan informasi yang bisa diperoleh, melalui
lima tingkatan, yakni : (1) Reactions, (2) Learning, (3) Behavior, (4) Organization result
(5) Cost effectivity.
Melalui pemahaman kelima tolok ukur di atas, pengembangan sumber daya
manusia diharapkan mampu mendorong peningkatan kinerja aparatur. Kinerja pegawai
sebagaimana dilukiskan oleh Benardin (1993 : 376) adalah :
Hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai, baik secara individu
maupun kelompok dalam rangka pencapaian visi, misi dan program
yang telah ditetapkan oleh organisasi, sehingga dapat diketahui
kontribusi dari setiap pegawai terhadap organisasinya.
Pengertian di atas, mencerminkan bahwa konsep kinerja tidak hanya dapat dilihat
dalam perspektif individu, baik pegawai biasa maupun para pejabatnya tetapi juga
kelompok pegawai (aparatur) dalam menjalankan visi, misi dan program kerjanya. Dengan
demikian, institusi dapat mengetahui seberapa besar konstribusi yang bersangkutan dalam
mendukung keberhasilan pencapaian tujuan organisasi.
Lebih lanjut Benardin (1993 : 377) menjelaskan parameter atau kriteria untuk
mengukur kinerja sebagai berikut: (1) kualitas, (2) kuantitas, (3) ketepatan waktu, (4)
penghematan biaya, (5) kemandirian atau otonomi dalam bekerja, dan (6)
kerjasama. Melalui keenam parameter inilah kinerja pegawai di lingkungan Badan
Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan diukur.
Selanjutnya, untuk melukiskan keterkaitan antara variabel yang akan diteliti secara
teoritik penulis mengambil rujukan dari beberapa pandangan pakar. Sejalan dengan hal
tersebut, Sedarmayanti (2006 : 22) menandaskan sebagai berikut: agar diperoleh
peningkatan kinerja, baik secara individu (pegawai) maupun kelopok terutama
dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, dibutuhkan penataan
kelembagaan secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan.
Pernyataan di atas mencerminkan bahwa pelaksanaan penataan kelembagaan yang
dilakukan oleh instansi pemerintah, pada akhirnya akan memberikan implikasi terhadap

11

peningkatan kinerja aparatur pemerintah yang kemudian memberikan dorongan pula


terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik.
Secara spesifik, keterkaitan atau hubungan antara ketiga variabel dilukiskan oleh
Harits (2011) yang mengemukakan bahwa : Penataan kelembagaan merupakan
bagian penting dari organisasi bagi terciptanya sumber daya manusia yang handal
sehingga dapat meningkatkan kinerja para pegawainya . Pandangan tersebut, semakin
memperkuat argumentasi bahwa penataan kelembagaan dan pengembangan sumber daya
manusia yang dilakukan oleh suatu organisasi pada akhirnya akan memberikan implikasi
terhadap peningkatan kinerja aparat (pegawainya).
Untuk memperjelas kerangka berpikir yang telah dijelaskan di atas, penulis dapat
mengilustrasikannya sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini:

Nugraha (2006)
DIMENSI PENATAAN
KELEMBAGAAN
(Sedarmayanti : 2006)

1)
2)
3)
4)
5)
6)

Sumber Daya Manusia


Tugas (Deskripsi Kerja)
Strategi
Struktur (Desain Organisasi)
Teknologi
Culture (Budaya)

DIMENSI KINERJA
PEGAWAI
Benardin (1993)
1. Kualitas
2. Kuantitas
3. Ketepatan Waktu
4. Penghematan Biaya
5. Kemandirian
6. Kerjasama

DIMENSI PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA
(Gomes&Park:1997)

1.
2.
3.
4.
5.

Reactions
Learning
Behavior
Organization result
Cost effectivity.

Harits
(2005)

Rachmawati (2008)
Gambar 1: Kerangka Berpikir Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, kajian pustaka dan kerangka pemikiran, maka


penulis mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Pertama, Penataan kelembagaan,
pengembangan sumber daya manusia dan kinerja pegawai Badan Geologi Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bandung, sudah dilaksanakan secara optimal
Kedua, Penataan kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia besar
pengaruhnya terhadap kinerja pegawai di lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bandung. Ketiga, Penataan kelembagaan melalui
dimensi sumber daya manusia, tugas, strategi, struktur dan desain, teknologi, dan kultur
besar pengaruhnya terhadap kinerja pegawai di lingkungan Badan Geologi Kementerian

12

Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bandung. Keempat, Pengembangan sumber
daya manusia melalui dimensi reactions, learning, behavior, organization result dan cost
effectivity besar pengaruhnya terhadap kinerja pegawai di lingkungan Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bandung.
3. Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan adalah metode Explanatory Research.
Penguatan terhadap pemilihan metode ini dilandasi oleh pandangan Singarimbun & Sofian
Effendi (1995:2) yang menandaskan bahwa metode ini tidak hanya menjelaskan atau
menggambarkan fakta empiris yang ditemui di lapangan, tetapi juga akan menjelaskan
analisis pengaruh baik secara parsial maupun simultan antara variabel yang menjadi fokus
penelitian. Sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah Badan Geologi Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung. Adapun anggota populasi yang menjadi
sasaran penelitian adalah seluruh pegawai yang ada di lingkungan Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung yang berjumlah 1446 orang.
Anggota populasi tersebut tersebar pada lima unit kerja, yakni Sekretariat Badan Geologi,
Pusat Sumber Daya Geologi, Pusat Vulkanologi dan Migitasi Bencana Geologi, Pusat
Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan serta Pusat Survei Geologi. Kemudian
melalui teknik Simple Random Sampling (Sampling Acak Sederhana) diperoleh sampel
sebanyak 313 orang. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah Structural
Equation Modeling (SEM).
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian pada prinsipnya merupakan interpretasi peneliti
berdasarkan hasil perhitungan statistik, hasil wawancara serta penguatan teori yang
relevan dengan temuan penelitian. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini peneliti tidak
hanya sekedar menyampaikan angka-angka hasil perhitungan statistic tetapi juga dilandasi
oleh sejumlah argumentasi yang rasional dan empirik. Dalam konteks ini, pembahasan
hasil penelitian akan dilihat dari dua perspektif, yakni pembahasan secara simultan dan
parsial. Adapun pembahasan hasil penelitian yang dimaksud dapat dijelaskan di bawah ini.
4.1 Pengaruh Simultan Penataan Kelembagaan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Terhadap Kinerja Pegawai
Hasil analisis data menunjukan adanya pengaruh yang signifikan dari penataan
kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia terhadap kinerja pegawai pada
Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan besar pengaruh
mencapai 0.86 standar deviasi atau sebesar 86% dan selebihnya, yakni 14,0 % dipengaruhi
oleh variabel lain yang tidak diteliti. Hasil tersebut mengandung makna bahwa perubahanperubahan yang terjadi pada kinerja pegawai dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang
terjadi dalam pelaksanaan penataan kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia
di lingkungan Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Secara empirik, diperoleh hasil bahwa penataan kelembagaan merupakan variabel
yang paling dominan dalam mempengaruhi variabel kinerja pegawai. Hasil uji statistik
menunjukan bahwa penataan kelembagaan telah memberikan pengaruh terhadap kinerja
pegawai sebesar 0.76 standar deviasi atau sebesar 76.0 %. Sedangkan pengembangan
sumber daya manusia telah memberikan pengaruh terhadap kinerja pegawai pada Badan
Geologi sebesar 0.59 standar deviasi atau 59.0%. Hasil tersebut mencerminkan bahwa
dalam konteks kinerja pegawai, aparatur pemerintah di lingkungan Badan Geologi
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, lebih terpusat pada aspek-aspek yang terkait
dengan pelaksanaan penataan kelembagaan yang secara substantive meliputi dimensi
sumber daya manusia, tugas (deskripsi kerja), strategi, struktur (desain organisasi), teknologi

13

dan culture (budaya) dalam mendukung peningkatan kinerja pegawai dibandingkan


variabel pengembangan sumber daya manusia.
Hasil temuan tersebut, tentu tidak mengandung arti pengembangan sumber daya
manusia dinilai tidak memberikan kontribusi dalam menunjang peningkatan kinerja
pegawai. Tetapi, secara empiris pelaksanaan penataan kelembagaan yang dilakukan oleh
Badan Geologi justru lebih memberikan penguatan terhadap peningkatan kinerja pegawai.
Oleh sebab itu, esensi penataan kelembagaan yang meliputi dimensi sumber daya manusia,
tugas (deskripsi kerja), strategi, struktur (desain organisasi), teknologi dan culture (budaya)
lebih mewarnai peningkatan kinerja pegawai.
Penataan kelembagaan merupakan bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah
agar institusi dapat tumbuh dan bertahan, sehingga dapat menjalankan fungsinya secara
optimal. Fakta empiris memperlihatkan bahwa penataan kelembagaan yang dilakukan oleh
Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral pada prinsipnya merupakan
suatu proses perubahan yang direncanakan dalam rangka meningkatkan kinerja aparatur,
sehingga mendorong tercapainya visi dan misi organisasi, yakni peningkatan kualitas
pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan (change) sendiri merupakan
suatu hal yang pasti terjadi, karena manusia selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan dan tuntutan perubahan.
Terjadinya perubahan di lingkungan institusi pemerintah, termasuk di lingkungan
Badan Geologi sesungguhnya diilhami oleh gerakan reformasi nasional yang menghendaki
terjadinya perubahan iklim pemerintahan yang lebih demokratis, responsif dan akuntabel.
Dengan demikian, pemerintahan diharapkan mampu menghadirkan sebuah produk
pelayanan yang prima, sehingga dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Salah satu manifestasi dari pelaksanaan reformasi tersebut, adalah melakukan
penataan kelembagaan, baik terkait dengan penataan sumber daya aparatur, tugas/deskripsi
kerja, strategi, struktur/desain organisasi, teknologi maupun culture/ budaya.

4.2 Pengaruh Parsial Penataan Kelembagaan Terhadap Kinerja Pegawai.


Pembahasan secara parsial mengenai pengaruh penataan kelembagaan terhadap
kinerja pegawai pada Badan Geologi Kementrian Energi Sumber Daya Mineral, dilakukan
berdasarkan dimensi-dimensi penataan kelembagaan. Adapun faktor-faktor yang dimaksud,
antara lain meliputi faktor sumber daya manusia, tugas (deskripsi kerja), strategi, struktur
(desain organisasi), teknologi dan culture (budaya). Hasil uji statistik memperlihatkan
bahwa penataan kelembagaan telah mempengaruhi kinerja pegawai pada Badan Geologi
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar 0.76 atau 76.0 %. Hal ini
mengandung arti bahwa perubahan-perubahan dalam kinerja pegawai dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan dalam penataan kelembagaan. Adapun pembahasan lengkap tentang
pengaruh penataan kelembagaan terhadap kinerja pegawai dapat dijelaskan sebagai berikut
ini :
1. Dimensi Sumber Daya Manusia (X1)
Dimensi sumber daya manusia memiliki koefisien jalur sebesar 0.63 yang
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara faktor sumber daya manusia dengan
penataan kelembagaan. Hal ini mengandung makna bahwa keberhasilan penataan
kelembagaan yang dilakukan oleh Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral tercermin dari factor sumber daya manusia (aparatur). Hasil tersebut menunjukan
bahwa semakin baik penataan kelembagaan di lingkungan Badan akan semakin tercermin
dari kualitas sumber daya aparaturnya. Factor sumber daya manusia terkait dengan
kesadaran untuk melakukan perubahan, kesediaan untuk ikut berpartisipasi, memiliki
pengetahuan untuk melakukan perubahan, kemampuan untuk melakukan perubahan dan
memberikan dukungan penuh dalam melaksanakan perubahan Melalui analisis deskriptif

14

diperoleh informasi bahwa sumber daya manusia di lingkungan Badan Geologi secara
kuantitas umumnya sudah sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan organisasi, namun secara
kualitas masih dibutuhkan adanya peningkatan, sehingga diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang signifikan dalam menunjang pelaksanaan penataan kelembagaan pada
Badan Geologi.
Hasil penelitian terungkap bahwa para pegawai di lingkungan Badan Geologi
Kementrian Energi Sumber Daya Mineral pada umumnya memiliki kesadaran untuk
melakukan perubahan sejalan dengan program penataan kelembagaan yang dilakukan oleh
Badan Geologi. Adanya kesadaran ini, merupakan suatu cermin bahwa para pegawai di
lingkungan Badan Geologi pada umumnya telah mengikuti perkembangan dan tuntutan
publik yang semakin tinggi. Kondisi semacam ini, secara operasional cukup membantu
dalam menunjang pencapaian program penataan kelembagaan yang tengah dilakukan oleh
Badan Geologi. Selain itu, adanya kesadaran untuk melakukan perubahan, baik
menyangkut pola, sistem maupun iklim kerja secara kelembagaan ikut membantu dalam
pencapaian visi, misi dan program yang telah dicanangkan oleh Badan Geologi. Oleh
karena itu, upaya untuk membangun kesadaran para pegawai dalam mengikuti setiap
perubahan dan perkembangan organisasi sejatinya menjadi komitmen semua pihak.
Dengan demikian, harapan untuk meningkatkan kinerja pegawai dapat direalisasikan
sesuai dengan target yang ditetapkan.
2.

Dimensi Tugas (X2)


Dimensi tugas memiliki koefisien jalur sebesar 0,33. Kendatipun dimensi ini
merupakan dimensi yang paling kecil dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan
penataan kelembagaan dalam mempengaruhi kinerja pegawai. Namun secara operasional,
dimensi ini juga ikut menentukan tingkat keberhasilan tersebut.
Hasil tersebut
mengandung makna bahwa kelembagaan mampu dicerminkan oleh dimensi tugas. Dalam
perspektif organisasi publik, factor tugas atau deskripsi pekerjaan merupakan salah satu
bagian penting dalam mendukung pelaksanaan penataan kelembagaan. Secara substantif,
dimensi tugas tercermin dari indikator memahami keanekaragaman keterampilan,
kejelasan identitas tugas, pentingnya tugas kemandirian dalam melaksanakan tugas dan
memberikan respon terhadap pelaksanaan tugas.
Hasil penelitian mengungkap bahwa dalam proses penataan kelembagaan
dibutuhkan adanya pemahaman terhadap keragaman keterampilan yang dimiliki oleh para
pegawai pada masing-masing unit kerja di lingkungan Badan Geologi. Keragaman
keterampilan kerja sesungguhnya merupakan manifestasi dari beban kerja yang harus
dikerjakan oleh para pegawai sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pada masing-masing
unit kerja. Keragaman keterampilan juga mencerminkan aktivitas struktur organisasi
Badan Geologi, dimana esensinya terkait dengan tugas-tugas yang sifatnya administratif,
tugas teknis-operasional dan tugas-tugas yang sifatnya manajerial. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap keragaman keterampilan masing-masing pegawai di lingkungan
Badan Geologi sejatinya dapat dimaknai sebagai suatu stimulant bagi pegawai dalam
mendukung tercapainya visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi.
Dengan perkataan lain, keragaman keterampilan tidak boleh menjadi kendala atau rivalitas
dalam melaksanakan aktivitas dan pekerjaan. Dalam konteks penataan kelembagaan,
adanya keragaman keterampilan justru harus menjadi pendorong bagi pegawai untuk
meningkatkan kinerjanya, sehingga out put yang dihasilkan benar-benar dapat
memberikan kemaslahatan dan kemajuan bagi Badan Geologi
Hasil penelitian juga mengungkap bahwa adanya kejelasan tugas merupakan
bagian penting dalam mendukung implementasi penataan kelembagaan yang tengah
dilaksanakan oleh Badan Geologi. Pentingnya kejelasan tugas ini didasarkan pada
argumentasi bahwa seorang pegawai tidak mungkin dapat melaksanakan tugasnya secara

15

optimal, manakala yang bersangkutan tidak mengetahui kejelasan tentang tugas yang
harus mereka kerjakan. Kejelasan tugas yang dimaksud meliputi kejelasan tentang tujuan,
tata cara (pola kerja) dan mekanisme/ prosedur kerja, kejelasan waktu, kerjasama dan
koordinasi, sistem pelaporan (akutabilitas), perlengkapan/ fasilitas kerja pendukung serta
anggaran yang dibutuhkan. Oleh sebab itu, secara organisatoris tugas-tugas yang harus
dikerjakan dan menjadi tanggung jawab para pegawai di lingkungan Badan Geologi telah
diatur dalam tugas pokok dan fungsi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
3.

Dimensi Strategi (X3)


Dimensi strategi (X3) memiliki koefisien jalur sebesar 0.51. Hasil tersebut
mengandung makna bahwa pelaksanaan penataan kelembagaan yang dilakukan oleh
Badan Geologi juga mampu dicerminkan oleh factor strategi. Secara substantive, factor
strategi dilihat dari indikator memahami potensi organisasi, mampu membaca kelemahan
organisasi, mampu menangkap peluang yang dapat dicapai dan mampu mengantisipasi
ancaman yang dihadapi.
Hasil penelitian terungkap bahwa pemahaman terhadap potensi organisasi secara
umum telah terbangun di lingkungan Badan Geologi, sehingga mendukung terhadap
pelaksanaan penataan kelembagaan. Pemahaman terhadap potensi organisasi, esensinya
terkait dengan berbagai aspek yang ada di lingkungan organisasi, baik menyangkut
sumber daya manusia, sumber daya anggaran, fasilitas, teknologi, network (jaringan kerja)
maupun kelengkapan aturan atau regulasi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap potensi
organisasi sesungguhnya sangat berkaitan dengan maju tidaknya suatu organisasi. Untuk
itu, pemahaman terhadap semua aspek yang terkait dengan potensi organisasi, sangat
penting untuk diperhatikan karena kehadiran berbagai aspek tersebut dalam perspektif
organisasi merupakan hal yang tidak bisa diabaikan.
Secara empiris, berbagai aspek yang terkait dengan potensi organisasi memang
telah dimiliki oleh Badan Geologi. Namun disadari sepenuhnya bahwa kehadiran potensi
tersebut belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga berimplikasi
terhadap pelaksanaan penataan kelembagaan yang tengah dilakukan oleg Badan Geologi.
Salah satu kendala yang menyebabkan belum optimalnya pemanfaatan potensi organisasi
tersebut adalah masih adanya sebagian pegawai yang belum sepenuhnya memahami esensi
potensi organisasi secara komprehensif.
Hasil penelitian menemukan pula bahwa salah satu bagian penting dalam
melaksanakan penataan kelembagaan di lingkungan Badan Geologi adalah kemampuan
para pegawai untuk membaca kelemahan organisasi. Untuk itu, upaya mendorong
pemahaman para pegawai dalam membaca kelemahan organisasi, kemudian menjadi salah
satu bagian program pengembangan sumber daya aparatur yang dicanangkan oleh Badan
Geologi Kementrian Sumber Daya Mineral. Adapun langkah konkrit untuk mendorong
pemahaman tersebut, antara lain memasukan fenomena tersebut ke dalam salah satu topik
pendidikan dan pelatihan, khususnya yang diselenggarakan oleh Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pegawai bahwa membaca
kelemahan organisasi bukanlah pekerjaan mudah, karena hal tersebut menyangkut
penilaian terhadap diri sendiri yang terkadang bersifat subyektif. Subyektivitas penilaian
tersebut, biasanya muncul karena takut oleh atasan atau tidak mau memperlihatkan
kelemahan kepada pihak lain karena malu atau takut dimanfaatkan pihak lain untuk
menjatuhkan kredibilitas dan nama baik Badan Geologi secara kelembagaan. Itulah
sebabnya, upaya memberikan pemahaman terhadap kelemahan organisasi lebih banyak
diorientasikan kepada pihak internal dan sifatnya rahasia. Artinya, tidak semua pihak
mudah mengetahui hal-hal yang terkait dengan kelemahan organisasi, khususnya yang

16

bersifat strategis dan bisa mengancam kredibilitas organisasi. Hal ini tentu tidak
dimaksudkan untuk menghindari prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana
diisyaratkan dalam penyelenggaraan good governance, tetapi semata-mata untuk
mengantisipasi terjadinya mispersepsi dalam memaknai kelemahan organisasi yang dapat
mengganggu integritas organisasi.
4.

Dimensi Struktur/Desain Organisasi (X4)


Dimensi struktur atau desain organisasi (X4) memiliki koefisien jalur sebesar 0,42.
Hasil tersebut mengandung makna bahwa desain organisasi dalam konteks penataan
kelembagaan mampu dicerminkan oleh dimensi ini. Secara substantive, dimensi desain
organisasi dapat dicermati dari indikator memahami kompleksitas organisasi, mampu
menterjemahkan tugas pokok dan fungsi, memahami wewenang yang dimiliki, efektivitas
koordinasi dan indikator rentang kendali yang efektif.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa untuk mendukung keberhasilan proses
penataan kelembagaan dibutuhkan adanya pemahaman terhadap kompleksitas organisasi
dari seluruh elemen atau para pegawai yang ada di lingkungan Badan Geologi.
Kompleksitas organisasi yang dimaksud terkait dengan seluruh komponen atau unsurunsur yang secara langsung maupun tidak dapat mempengaruhi tercapainya tujuan
organisasi. Secara empirik, komponen-komponen yang terkait dengan kompleksitas
organisasi yang dimaksud, antara lain berkaitan dengan faktor internal organisasi maupun
faktor ekternal organisasi. Faktor internal organisasi, antara lain; kompleksitas sumber
daya manusia, fasilitas, culture (budaya) sumber daya anggaran, teknologi, regulasi,
sedangkan faktor eksternal antara lain; jaringan kerja, koordinasi antar kelembagaan,
tuntutan publik dan sebagainya. Dalam konteks tersebut, peneliti menemukan bahwa para
pegawai di lingkungan Badan Geologi pada umumnya belum seluruhnya memiliki
kemampuan untuk mendeteksi dan memahami kompleksitas organisasi yang dimaksud,
sehingga berimplikasi terhadap proses penataan kelembagaan yang tengah dilakukan.
Hasil temuan tersebut dapat dipahami mengingat, potensi dan kemampuan sumber daya
aparatur di lingkungan Badan Geologi yang relatif bervariatif. Artinya, tingkat
pengetahuan, pemahaman serta sensitivitas terhadap kondisi lingkungan, baik internal
maupun eksternal juga berbeda. Kondisi tersebut, kemudian mengakibatkan munculnya
perbedaan perspesi dalam memaknai setiap fenomena yang berkembang di lingkungan
organisasi.
Dilihat dalam perspektif peran dan fungsi, kehadiran sumber daya aparatur di
lingkungan Badan Geologi memang tidak dipungkiri memiliki kompleksitas yang cukup
tinggi. Hal ini tercermin dari banyak perbedaan, baik dari sisi latar belakang pendidikan,
pengalaman, kemampuan, spesifikasi keahlian, karakter, maupun latar belakang budaya.
Kondisi semacam ini, diakui ataupun tidak kemudian berimplikasi pada cara dalam
memaknai tugas dan pekerjaan, sehingga menimbulkan keragaman dalam mensikapi tugas
dan pekerjaan tersebut. Artinya, pola perilaku yang diperankan dalam menterjemahkan
suatu pekerjaan relatif berbeda. Namun, secara kelembagaan, sistem dan prosedur kerja
terkait dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja sudah dilegitimasi
melalui SOP (standar operasional prosesdur) yang tetap. Itulah sebabnya kemudian,
dibutuhkan adanya pemahaman yang komprehensif dalam memaknai kompleksitas
sumber daya aparatur. Artinya, perbedaan dalam mensikapi setiap pola kerja harus
dimaknai sebagai keragaman yang dinamis, seraya memperhatikan out put atau hasil kerja
yang dicapai oleh seorang aparatur. Dengan perkataan lain, perbedaan dalam memaknai
pola kerja bisa saja terjadi, namun hasil kerja yang dicapai semestinya mendukung
terhadap tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi.
5.

Dimensi Teknologi (X5)

17

Dimensi teknologi (X5) memiliki koefisien jalur sebesar 0.53. Hasil tersebut
mengandung makna bahwa keberhasilan pelaksanaan penataan kelembagaan di
lingkungan Badan Geologi mampu dicerminkan oleh dimensi teknologi. Secara
substantive dimensi teknologi ditunjukkan melalui penggunaan teknologi secara tepat dan
kemampuan dalam menggunakan sarana teknologi
Hasil penelitian mengungkap bahwa secara organisatoris Badan Geologi
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral selama ini dinilai telah mampu
menggunakan sarana teknologi secara proporsional, sehingga mendukung proses penataan
kelembagaan yang telah dilakukan. Urgensi penggunaan sarana teknologi secara tepat
merupakan salah satu bagian penting bagi Badan Geologi dalam mendukung proses
penataan kelembagaan yang tengah dilakukan. Penggunaan sarana teknologi ini, secara
operasional sangat inheren dengan kebutuhan fasilitas kerja, baik yang bersifat teknis
maupun administratif. Secara umum penggunaan sarana teknologi ini, telah disesuaikan
dengan kebutuhan dan tuntutan organisasi. Hal ini disadarai sepenuhnya mengingat
pertumbuhan, perkembangan dan percepatan teknologi saat ini yang semakin tinggi. Oleh
karena itu, setiap institusi publik----termasuk Badan Geologi dituntut untuk memiliki
kemampuan dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan organisasi dan kebutuhan publik.
Dengan perkataan lain, tingkat adaptabilitas organisasi publik dalam memenuhi kebutuhan
organisasi dan publik tersebut dapat diterjemahkan melalui penguatan sarana teknologi
secara tepat. Urgensi penggunaan sarana teknologi ini juga diilhami oleh berbagai
fenomena antara lain; pertama, dalam dua dekade terakhir ini, praktis dunia telah
memasuki era jaringan komputerisasi yang sekaligus menandai dimulainya abad
informasi. Kedua, pada saat yang sama revolusi digitalisasi telah sedemikian masif dengan
ditandai semakin meluasnya pemakaian handphone yang secara terbuka telah
menembus batasan kelas sosial di berbagai belahan dunia. Selain itu, pemakaian internet
pun telah memasuki ruang-ruang pribadi dengan akses yang semakin mudah dan cepat.
Dengan demikian, dapat dipahami jika perkembangan revolusioner di era digital
ini, secara perlahan tapi pasti telah merambah berbagai ranah kehidupan manusia di
berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Mewabahnya era digital bekalangan ini
sebenarnya, bukanlah suatu ancaman yang mengerikan apabila kita mampu beradaptasi
serta dapat memanfaatkan percepatan teknologi tersebut secara cepat, tepat dan arif.
Bahkan kekuatan era-digital ini menurut Indrajit (2006) secara fungsional justru bisa
membawa perbaikan yang signifikan terhadap berbagai problem yang dihadapi organisasi,
baik pemerintah maupun kalangan swasta, seperti peningkatan kinerja, pelayanan publik,
mendorong transparansi dan akuntabilitas dan lain-lain.
6.

Dimensi Kultur/Budaya (X6)


Dimensi kultur (X6) memiliki koefisien jalur sebesar 0.69. Hasil tersebut
mengandung makna bahwa keberhasilan penataan kelembagaan di lingkungan Badan
Geologi mampu dicerminkan oleh dimensi ini. Bahkan berdasarkan hasil perhitungan
statistika faktor ini telah memberikan kontribusi paling tinggi dibandingkan dengan
dimensi lain dalam menentukan keberhasilan penataan kelembagaan pada Badan Geologi.
Secara substantive, dimensi ini dapat dilihat dari kemampuan menyesuaikan perilaku
dengan budaya organisasi, memahami nilai-nilai organisasi, dan kemampuan dalam
menerapkan berbagai peraturan.
Hasil penelitian mengungkap bahwa kemampuan menyesuaikan perilaku dengan
budaya organisasi, merupakan proses penting dalam mendukung pelaksanaan penataan
kelembagaan di lingkungan Badan Geologi. Pentingnya penyesuaian perilaku terhadap
proses penataan kelembagaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pertama, esensi
penataan kelembagaan sesungguhnya sangat terkait dengan pelaksanaan proses reformasi
yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh pemerintah. Kedua, proses reformasi

18

mengisyaratkan pentingnya perubahan berbagai aspek kehidupan organisasi, termasuk


perubahan perilaku aparatur dalam melaksanakan tugasnya.
Fakta empiris memperlihatkan adanya sebagian pegawai di lingkungan Badan
Geologi yang belum sepenuhnya mampu melakukan adaftasi dengan proses perubahan
terkait dengan proses penataan kelembagaan yang dilakukan oleh Badan Geologi. Kondisi
tersebut mengisyaratkan bahwa pergeseran paradigma sistem pemerintahan yang diusung
melalui konsep reformasi birokrasi dan penataan kelembagaan pemerintahan saat ini,
belum menunjukan hasil yang nyata, sehingga fungsi dan peran birokrasi pemerintah
belum mengalami perubahan yang signifikan. Birokrasi pemerintah saat ini, karakternya
tidak jauh berbeda dengan birokrasi pada masa Orde Baru, termasuk di lingkungan Badan
Geologi. Birokrasi pemerintah masih bersifat superior, sehingga kurang mampu
menampilkan kinerjanya sebagai pelayanan publik. Sejatinya, aparatur pemerintah mampu
mengubah pola dan perilaku sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan publik.
4.3 Pengaruh Parsial Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja
Pegawai
Pembahasan pengaruh pengembangan sumber daya manusia terhadap kinerja
pegawai pada Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dilakukan
berdasarkan dimensi-dimensi variabel pengembangan sumber daya manusia yang menjadi
alat ukur variabel tersebut. Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud meliputi Reactions,
Learning, Behavior, Organization Result dan tingkatan Cost Effectivity. Hasil uji statistik
memperlihatkan bahwa pengembangan sumber daya manusia telah mempengaruhi kinerja
pegawai pada Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar 0.59
atau 59 %. Hal ini mengandung arti bahwa perubahan-perubahan dalam kinerja pegawai
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam pengembangan sumber daya manusia.
Adapun pembahasan secara komprehensif tentang pengaruh pengembangan sumber daya
manusia terhadap kinerja pegawai dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:
1. Dimensi Reactions
Dimensi reactions (X2.1) memiliki koefisien jalur sebesar 0.32. Hasil tersebut
mengandung makna bahwa efektivitas pengembangan sumber daya manusia mampu
dicerminkan oleh dimensi ini. Secara substantive tingkatan reaction tercermin dari
kepuasan aparat terhadap program pengembangan sumber daya manusia, adanya
penyempurnaan program pengembangan dan adanya sikap proaktif dalam mengikuti
program pengembangan.
Hasil penelitian mengungkap bahwa para pegawai dinilai telah merasa puas
terhadap program pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan oleh Badan
Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, sehingga mereka dapat mendorong
peningkatan kinerjanya. Temuan tersebut dikuatkan oleh hasil uji deskripsi yang
memperlihatkan kecenderungan para pegawai yang merasakan kepuasan atas pelaksanaan
program pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan Badan Geologi. Hasil
temuan tersebut mengisyaratkan bahwa Badan Geologi secara kelembagaan memiliki
komitmen yang serius untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian aparaturnya
sesuai dengan potensi dan latar belakang pendidikan yang dimiliki masing-masing
pegawai. Kondisi tersebut disadari sepenuhnya karena esensi pengembangan sumber daya
aparatur sesungguhnya merupakan suatu upaya atau langkah strategis dalam mewujudkan
potensi yang ada pada keadaan yang lebih lengkap dan lebih baik. Sejalan dengan
pandangan tersebut, Sujana, H.D (2000:353) mengemukakan bahwa: pengembangan
adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi, membawa suatu keadaan
secara bertingkat kepada suatu keadaan yang lebih lengkap, lebih besar atau lebih baik,
memajukan sesuatu dari yang lebih awal kepada yang lebih akhir atau yang dari sederhana
kepada tahapan perubahan yang lebih kompleks.

19

Hasil temuan di atas mengandung makna bahwa pengembangan sumber daya


aparatur secara substantif sangat berkaitan dengan upaya untuk mengubah suatu keadaan,
dari keadaan yang relatif kurang sempurna atau kurang baik menjadi keadaan yang lebih
sempurna atau lebih baik. Dengan demikian, esensi pengembangan sumber daya aparatur
mencerminkan adanya suatu perubahan yang signifikan terhadap keadaan yang diharapkan
mampu memperbaiki kondisi kearah yang lebih baik. Pada posisi ini, tersirat urgensi
pengembangan sumber daya manusia dalam konteks organisasi. Penguatan terhadap
argumentasi tersebut, diilhami oleh pendapat Gomes (1998 : 1) yang menandaskan bahwa
: Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang terdapat dalam
organisasi, meliputi semua orang yang melakukan aktivitas. Pandangan tersebut semakin
memperkuat argumentasi bahwa keberadaan sumber daya manusia memiliki posisi yang
sangat strategis dalam mendukung berbagai aktivitas yang akan dilaksanakan oleh suatu
organisasi. Kondisi tersebut mengandung makna bahwa tidak mungkin suatu oranisasi
dapat melaksanakan aktivitasnya, tanpa kehadiran sumber daya manusia.
2. Dimensi Learning
Dimensi learning (X2.2) memiliki koefisien jalur sebesar 0.44. Hasil tersebut
menunjukan bahwa keberhasilan pengembangan sumber daya manusia mampu
dicerminkan oleh dimensi learning. Secara substantif, dimensi ini dapat dicermati dari
kemampuan aparat dalam memahami pengetahuan dan adanya peningkatan kemampuan
(skill). Hasil penelitian mengungkap bahwa pengembangan sumber daya manusia yang
dilakukan Badan Geologi selama ini dinilai telah memberikan dampak positif terhadap
peningkatan kemampuan pegawai dalam memahami ilmu pengetahuan keorganisasian,
sehingga para pegawai secara perlahan dapat meningkatkan kinerjanya.
Hasil penelitian terungkap bahwa kendatipun pola atau model pengembangan
sumber daya manusi dinilai masih kelasik dan bersifat monoton---khususnya yang terkait
dengan pelaksanaan diklat, namun secara akademik para pegawai merasakan adanya
peningkatan pengetahuan, baik terkait dengan pekerjaan yang sifatnya administratif, teknis
maupun manajerial (kepemimpinan). Secara substantive, esensi pengembangan sumber
daya manusia dilakukan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh bagian sumber daya
manusia bekerja sama dengan kelembagaan diklat, baik yang bersifat internal maupun
eksternal.
Hasil wawancara dengan Kepala Badan diperoleh gambaran bahwa esensi
pengembangan sumber daya manusia, khususnya melalui diklat dilakukan dengan
membagi kedalam tiga materi pokok sesuai dengan jenis diklat yang dilaksanakan. Sesuai
dengan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000, jenis dan penjenjangan
pendidikan dan pelatihan (diklat) jabatan tersebut, dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yakni pertama, diklat prajabatan dan kedua, diklat dalam jabatan. Diklat prajabatan
dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan dalam rangka pembentukan wawasan
kebangsaan, kepribadian dan etika PNS termasuk di lingkungan Badan Geologi. Selain itu,
esensi diklat ini juga memuat pengetahuan dasar tentang system penyelenggaraan
pemerintahan negara, bidang tugas dan budaya organisasi, agar mampu melaksanakan
tugas dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Sedangkan diklat dalam jabatan
dilaksanakan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap PNS (termasuk
di lingkungan Badan Geologi) agar dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan dengan sebaik-baiknya.
Secara spesifik, diklat dalam jabatan tersebut terdiri atas diklat kepemimpinan,
diklat fungsional dan diklat teknis. Diklat kepemimpinan (diklatpim), sebagaimana
dijelaskan dalam LAN-RI (2000 : 259) merupakan Diklat yang dilaksanakan untuk
mencapai persyaratan kompetensi kepemimpinan aparatur disesuaikan dengan jenjang
jabatan struktural yang bersangkutan. Pengertian tersebut, mengisyaratkan bahwa
pelaksanaan diklat tersebut, sesungguhnya diarahkan untuk mencapai sasaran kompetensi

20

kepemimpinan yang ada di lingkungan aparatur pemerintah, termasuk pada Badan


Geologi. Dengan perkataan lain, diklat ini akan diberikan atau dilaksanakan kepada
mereka yang telah memiliki jabatan struktural tertentu sesuai dengan tingkatan jabatan
masing-masing.
3.

Dimensi Behavior

Dimensi behavior (X2.3) memiliki koefisien jalur sebesar 0.55. Hasil tersebut
menunjukan bahwa keberhasilan pengembangan sumber daya manusia mampu
dicerminkan oleh dimensi behavior. Secara substantive, dimensi behavior dapat dicermati
dari adanya perubahan perilaku aparat dan terjadinya pergeseran pola pikir dalam
menunjang peningkatan kinerja. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pengembangan
sumber daya manusia yang dilakukan Badan Geologi selama ini dinilai belum sepenuhnya
memberikan dampak positif terhadap perubahan perilaku pegawai. Hal ini mengandung
makna, bahwa pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan Badan Geologi secara
psikologis belum sepenuhnya memberikan penguatan, terhadap perubahan perilaku
pegawai, khususnya dalam melaksanakan pekerjaan. Padahal, dalam memasuki era
globalisasi saat ini pergeseran paradigm sistem pemerintahan mengisyaratkan pentingnya
perubahan perilaku aparatur dalam menjalankan tugasnya, khususnya terkait dengan
peningkatan kinerja aparatur dan pelayanan publik.
Isyarat tentang pentingnya perubahan perilaku setelah mengikuti program
pengembangan pegawai dikemukakan oleh Rachmawati (2007 : 121) yang memberikan
gambaran bahwa pengembangan sumber daya aparatur, setidaknya dapat mencapai tiga
perubahan, yakni: pertama, ranah kognitif (cognitif domain), yaitu penampilan yang
ditunjukan peserta dalam perubahan atau peningkatan pengetahuan dan intelektual, kedua,
ranah sikap (affective domain), yaitu penampilan yang ditunjukan peserta dalam perubahan
minat, sikap dan nilai-nilai, dan ketiga, ranah keterampilan (psyhcomotoric domain), yaitu
penampilan yang ditunjukan peserta baik yang bersifat intelektual maupun bersifat laku atau
gerak yang dikuasai dan dilakukan dengan tepat sesuai kecepatan tertentu.
Fakta empiris juga memperlihatkan bahwa pengembangan sumber daya manusia
yang dilaksanakan oleh Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral saat
ini belum sepenuhnya mampu memberikan dampak terhadap pergeseran pola pikir dalam
menunjang peningkatan kinerja. Hasil temuan tersebut dapat dipahami, mengingat
mengubah mind set berpikir seseorang memang bukanlah hal yang mudah, karena tidak
saja berkaitan dengan masalah karakter seseorang, tetapi juga menyangkut nilai dan budaya
dalam suatu organisasi. Selain itu, mengubah pola pikir seseorang juga membutuhkan
waktu yang rerlatif lama. Jadi, agaknya sulit manakala kegiatan pengembangan sumber
daya manusia yang dilaksanakan hanya dalam waktu yang relatif singkat dapat mengubah
perilaku dan mind set seorang pegawai. Bahkan dapat dikatakan suatu hal hal yang utopis,
jika kehendak untuk mengubah perilaku kerja dan mind set berpikir hanya dilakukan
melalui pengembangan sumber daya manusia.
4.

Dimensi Organization Result


Dimensi Organization Result (X2.4) memiliki koefisien jalur sebesar 0.46. hasil
tersebut mengandung makna bahwa keberhasilan pengembangan sumber daya manusia
mampu dicerminkan oleh dimensi organization result. Secara substantif dimensi
organization result tercermin dari adanya dampak terhadap organisasi dan peningkatan
kemampuan kerja aparatur. Hasil penelitian mengungkap bahwa secara kelembagaan
pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan Badan Geologi selama ini belum
sepenuhnya memberikan dampak positif terhadap kemajuan organisasi. Hal ini
mencerminkan, bahwa walaupun Badan Geologi telah memiliki komitmen yang kuat

21

untuk melaksanakan program pengembangan sumber daya manusia. Namun dalam


perspektif organisasi, kegiatan tersebut belum sepenuhnya mendukung terhadap kemajuan
organisasi.
Hasil wawancara dengan Kepala Badan diperoleh keterangan bahwa secara
kelembagaan pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia yang telah dilaksanakan
memang belum sepenuhnya mampu memberikan kontribusi terhadap kemajuan organisasi.
Namun hal tersebut tidak dimaknai sebagai kegagalan dalam melaksanakan
pengembangan sumber daya manusia, karena secara personal kegiatan tersebut diakui atau
pun tidak telah memberikan kontribusi yang positip dalam meningkatan kemampuan para
pegawai. Artinya, kegiatan pengembangan sumber daya manusia tersebut, sebenarnya
telah memberikan penguatan terhadap pencapaian visi dan misi organisasi dalam bentuk
peningkatan kemampuan kerja pegawai. Oleh sebab itu, pengembangan sumber daya
manusia yang dilakukan sebenarnya juga ikut membantu dalam mendukung kemajuan
organisasi, walaupun dinilai oleh sebagian pegawai tidak terlalu siginifikan. Kondisi
tersebut dapat dimengerti, karena sesungguhnya banyak faktor yang dapat mendukung
kemajuan suatu organisasi, disamping eksistensi sumber daya manusia antara lain; sumber
daya anggaran, fasilitas, teknologi, struktur, kultur, komitmen, dan dukungan regulasi.
Sinergitas diantara berbagai factor tersebut diyakini akan dapat mendukung terhadap
kemajuan suatu organisasi.
Namun demikian, hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari perspektif
peningkatan kemampuan kerja pegawai pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia
yang dilaksanakan oleh Badan Geologi saat ini dinilai telah mampu memberikan dampak
terhadap peningkatan kemampuan kerja para pegawai. Secara personal, pengembangan
sumber daya memang diakui telah memberikan kontribusi dalam meningkatkan
kemampaun kerja para pegawai. Namun secara hakiki, dalam arti mengubah pola pikir dan
perilaku pegawai, kegiatan tersebut belum sepenuhnya dapat diandalkan. Padahal
pengembangan sumber daya aparatur, sesungguhnya tidak hanya ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan dan keterampilan semata, tetapi juga diharapkan mampu
mengubah sikap dan perilaku aparatur. Hal ini sejalan dengan pandangan LAN-RI (2004 :
257) yang menjelaskan bahwa pengembangan sumber daya manusia diharapkan akan
menghasilkan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS, berupa
pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas
jabatannya.
5.

Dimensi Cost Effectivity


Dimensi Cost Effectivity (X2.5) memiliki koefisien jalur sebesar 0.47. Hasil
tersebut dinyatakan signifikan dalam mempengaruhi kinerja pegawai. Hal ini juga
mengandung arti bahwa dalam konteks pengembangan sumber daya manusia dimensi ini
secara valid mampu memberikan kontribusi terhadap keberhasilan pelaksanaan
pengembangan sumber daya manusia. Secara substantive dimensi Cost Effectivity dapat
dicermati dari efisiensi anggaran program pengembangan dan manfaat program
pengembangan yang dihasilkan.
Hasil penelitian mengungkap bahwa para pegawai pada umumnya menilai Badan
Geologi secara kelembagaan telah mampu melakukan efisiensi anggaran dalam
melaksanakan program pengembangan sumber daya manusia. Hasil temuan tersebut,
mencerminkan bahwa Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral
secara kelembagaan telah melakukan perencanaan berdasarkan kebutuhan program
pengembangan sumber daya manusia. Hal ini telah menjadi komitmen kelembagaan dalam
rangka mendukung peningkatan kemampuan dan kompetensi para pegawai. Dengan
demikian, diharapkan mampu mendorong peningkatan kinerja pegawai.

22

Temuan penelitian memperlihatkan bahwa efisiensi anggaran dalam


melaksanakan suatu program atau kegiatan, memang bukan persoalan yang mudah--termasuk dalam melaksanakan program pengembangan sumber daya manusia di
lingkungan Badan Geologi. Secara empiris, kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain; pertama, inkonsistensi antara perencanaan yang telah diputuskan
sebagai kebijakan organisasi dengan implementasi di lapangan, sehingga seringkali
menimbulkan terjadinya gap (kesenjangan), yang dalam perspektif kebijakan publik
disenyalir oleh Dunsire dalam Wahab (2001 : 47) disebut sebagai implementation gap
yaitu suatu proses dimana suatu program/kebijakan selalu akan membuka peluang
terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat
program/kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi) dari
pelaksanaan program/kebijakan tersebut.

5. Kesimpulan Dan Saran


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan di atas, maka
peneliti kemudian dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa penataan kelembagaan, pengembangan
sumber daya manusia dan kinerja pegawai di lingkungan Badan Geologi sudah
dilaksanakan dengan baik. Walaupun secara umum belum sepenuhnya dilaksanakan
berdasarkan dimensi-dimensi penataan kelembagaan, pengembangan sumber daya
manusia dan dimensi kinerja pegawai. Oleh karena itu, di dalam pelaksanaan
selanjutnya memerlukan perhatian dari berbagai pihak terkait, agar tujuan organisasi
dapat berjalan sesuai dengan rencana yang ditentukan.
2. Hasil penelitian menunjukan bahwa penataan kelembagaan dan pengembangan
sumber daya manusia telah memberikan pengaruh yang signifikan dan dapat
dikategorikan sebagai pengaruh yang kuat terhadap kinerja pegawai di lingkungan
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung. Hal ini
mencerminkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada kinerja pegawai
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada pelaksanaan penataan
kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia di lingkungan Badan Geologi
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.
3. Hasil penelitian juga menemukan bahwa penataan kelembagaan besar pengaruhnya
terhadap kinerja pegawai di lingkungan Badan Geologi Kementrian Energi dan
Sumber daya Mineral. Kondisi tersebut tercermin dari besarnya pengaruh dimensi
sumber daya manusia, tugas, strategi, struktur dan desain, teknologi, dan kultur. Selain
itu, ditemukan pula bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada kinerja pegawai
Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral tidak semata-mata
ditentukan oleh dimensi-dimensi penataan kelembagaan, tetapi juga ditentukan oleh
komitmen aparatur dalam melaksanakan penataan kelembagaan.
4. Hasil penelitian juga menemukan bahwa pengembangan sumber daya besar
pengaruhnya terhadap kinerja pegawai di lingkungan Badan Geologi Kementrian
Energi dan Sumber daya Mineral. Kondisi tersebut dapat dilihat dari besarnya
pengaruh dimensi reactions, learning, behavior, organization result dan cost effectivity.
Selain itu, terungkap pula bahwa rendahnya kinerja pegawai di lingkungan Badan
Geologi Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral tidak hanya ditentukan oleh
dimensi-dimensi pengembangan sumber daya manusia, tetapi juga ditentukan oleh
orientasi perubahan perilaku dari para pegawai.

23

5.2 Saran-Saran
Berpijak pada hasil kesimpulan penelitian, maka peneliti dapat mengemukakan
saran-saran sebagai berikut:
5.2.1 Saran Akademik
Adapun saran yang bersifat akademik dapat peneliti kemukakan sebagai berikut:
1.
Untuk pengembangan teori penataan kelembagaan dalam mempengaruhi kinerja
pegawai disarankan agar menggunakan konsep komitmen aparatur sebagai
parameter untuk mengukur penataan kelembagaan. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menguji kembali hasil penelitian ini serta untuk mengembangkan konsep-konsep
yang berhubungan dengan teori penataan kelembagaan dalam mempengaruhi kinerja
pegawai.
2.
Untuk pengembangan teori pengembangan sumber daya manusia dalam
mempengaruhi kinerja pegawai disarankan agar menggunakan konsep orientasi
perubahan perilaku sebagai salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan
pengembangan sumber daya manusia dalam mempengaruhi kinerja pegawai. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menguji kembali hasil penelitian ini serta untuk
mengembangkan konsep-konsep yang berhubungan dengan teori pengembangan
sumber daya manusia dalam mempengaruhi kinerja pegawai.
3. Di dalam penelitian ini, peneliti tidak menggugurkan teori yang telah ada atau
menghasilkan teori baru, karena teori yang digunakan masih relevan dan aktual
sehingga dalam konteks ini ada penguatan terhadap teori yang digunakan peneliti.
Oleh sebab itu, peneliti menyarankan kepada peneliti lain untuk mengembangkan
dalam fokus dan lokus yang berbeda.
5.2.2 Saran Praktis
Berangkat dari kesimpulan penelitian tersebut, maka secara praktis peneliti dapat
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Untuk mendorong kinerja pegawai, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral perlu memprioritaskan perhatian kepada dimensi-dimensi penataan
kelembagaan, sehingga mampu mendukung pencapaian visi, misi dan program
organisasi. Adapun langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah melalui sosialisasi
secara intensif dan terintegratif mengenai program-program penataan kelembagaan
dengan melibatkan semua komponen di lingkungan Badan Geologi.
2. Walaupun secara formal pengembangan sumber daya manusia kurang memberikan
pengaruh yang signifikan, namun untuk lebih meningkatkan kinerja pegawai, Badan
Geologi disarankan untuk lebih memperhatikan aspek orientasi perubahan perilaku
dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia.
3. Untuk mendukung keberhasilan penataan kelembagaan dan pengembangan sumber
daya manusia, Badan Geologi disarankan untuk lebih mengefektifkan koordinasi, baik
secara internal maupun eksternal. Adapun langkah yang di ditempuh, antara lain
melakukan tindak lanjut koordinasi secara sistematis dan berkelanjutan dengan
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan
Kepegawaian Negara, Badan Pendidikan dan Pelatihan Diklat KESDM, Sekretariat
Jenderal KESDM serta Pemerintah Daerah terkait.
5.2.3 Saran Kebijakan

24

Adapun saran kebijakan yang dapat peneliti kemukakan untuk memberikan


kontribusi terhadap penguatan penataan kelembagaan dan pengembangan sumber daya
manusia, antara lain :
1. Untuk memperkuat pelaksanaan penataan kelembagaan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, khususnya Badan Geologi, sebaiknya melakukan evaluasi
kebijakan penataan kelembagaan secara komprehensif dalam bentuk penyempurnaan
rumusan kebijakan agar Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2008 tentang
Kedudukan Organisasi Eselon I Kementerian/Lembaga, Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 18 Tahun 2008
tentang Pembentukan Unit Pelayanan Teknis (UPT), Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian ESDM, serta pembentukan Balai Pemantauan dan Penyelidikan
Gunungapai dan Bencana Geologi. Dengan demikian kelembagan yang telah ada
dilakukan penyesuaian, agar out put yang dihasilkan berupa usulan dapat menjadi
bahan rekomendasi untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan penataan kelembagaan
serta memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi selama ini.
2. Untuk lebih mengefektifkan pengembangan sumber daya manusia di lingkungan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, khususnya Badan Geologi, sebaiknya
dilakukan evaluasi kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan pengembangan sumber
daya aparatur, antara lain melalui evaluasi terhadap Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Belajar Pendidikan Pascasarjana Program Magister/Master (S2) dan Doktor (S3)
Dalam Negeri dan Luar Negeri di lingkungan Departemen ESDM Energi dan
Sumber Daya Mineral dan Nomor 27 Tahun 2007 Tenang Pedoman Pendidikan dan
Pelatihan Terstruktur. Dengan demikian, pengembangan sumber daya manusia yang
dilakukan benar-benar dapat memberikan kontribusi terhadap kinerja pegawai,
kompetensi, wawasan, profesionalisme aparatur dan mengembangkan pola pikir yang
positif, metode kerja yang baik, rasional dan obyektif, serta meningkatkan semangat
pengabdian.

DAFTAR PUSTAKA

Atmosoeprapto, 2001, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada
Anthony, William, P., 1977, Management of Human Resources : A Sysems Approach to
Personnel Management, Colombus, Ohio : Grid Inc.
Bastian, Indra, 2001, Akuntansi Sektor Publik di Indonesia, BPFE, Yogyakarta
Benardin, H.J. dan J.E.A., Russel, 1993, Human Resource Management, Singapore :
Mac Graw Hill, Inc.
Clutterbuck, David, 2003, The Art of HRD: The Power of Empowerment, Release the
Hidden Talents of Your Employees, Daya Pemberdayaan: Menggali dan
Meningkatkan Potensi Karyawan Anda, Jakarta : PT. Gramedia
Dharma, Agus, 1991, Manajemen Prestasi Kerja, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

25

Dharma, Surya, 2008, Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi, Usmara (ed),


Yogyakarta: Amara Books
Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta :
Gajahmada University Press
Gomes, Faustino C., (1998) Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta., Andi
Ofset,
Gomes, J.B. and Park S.H., 1997, Interorganizational Links, Academy of Management
Journal, Vol 40 (3) pp 673-696
Harits, Benyamin, 2005, Teori Organisasi 2, Bandung, Insani Press
Hersey, Paul, Ken, Blanchard, 2008, Manajemen Perilaku Organisasi : Pendayagunaan
Sumber Daya Manusia. Terjemahan Agus Dharma, Jakarta : Erlangga
Huse, Edgar F., 1975, Organizational Development and Change, Los Angeles, California :
West Publishing Co.
Ibrahim, Adam, 2004, Perilaku Organisasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Jones, Charles O, 2007, Pengantar Kebijakan Publik (terjemahan), Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
Keban, Yeremias.T, 2007, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep,
Teori dan Isu, Yogyakarta : PT. Gava Media, Yogyakarta
Kusumah, Irman B, 2006, Tinjauan Historis Penataan Kelembagaan Pemerintahan
Daerah (Kecamatan dan Kelurahan), Bandung: Humaniora
Kurniawan, Agung, 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta : Pembaruan
Mahmudi, 2005, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta : UPP STIM YKPN
Mangkunegara, AA Anwar Prabu, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, Bandung : PT Rosdakarya
Mintzberg, Henry, 1979, The Structuring Of Organizations, USA : Prentice Hall. Inc.
Englewood Cliffs.N.J
McMann, Paul dan Alfred J. Nanni, 1994, Is Your Company Really Measuring
Performance, New Jersey : Prentice Hall
Nugraha, 2006, Alternatif Model Kelembagaan Pemerintah Daerah , Bandung :
Humaniora
Nursanti, Tinjung, D., 2008, Strategi dalam Perencanaan Sumber Daya Manusia yang
Efektif, Yogyakarta : Amara Books
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta : Rineka
Cipta
Prawirosentono, Suryadi, 1999, Manajemen Sumber Daya Manusia : Kebijakan
Kinerja Karyawan, Kiat Menuju Organisasi Kompetitif Dalam
Perdagangan Bebas Dunia, Yogyakarta : BPFE
Rasul, Sjahruddin, 2000, Peningkatan Kinerja Pemerintah Daerah : Konsep dan
Prinsip Dasar, UAD Press Kerjasama Dengan Fakultas Ekonomi UAD,
Yogyakarta
Rachmawati, Kudyah, 2008, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : C.V.
Andi Offset
Rivai, Viethzal, 2006, Performance Appraisal, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Robbins, S.P. , 1993, Organization Behavior, Edisi Ke 6, New York: Prentice Hall
Rosenzweig, James.E., Kas, Fremont E., 1995, Organization and Management, a System
Approach, New York: McGraw-Hill Book Company
Saefullah, Djadja, 2006, Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik : Perspektif
Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Era Desentra lisasi, Bandung
: LP3AN FISIP UNPAD

26

Sedarmayanti, 2000, Restrukturisasi dan Pemberdayaan


Organisasi untuk
Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan, Bandung : Mandar Maju
___________, 2006, Menata Ulang Kelembagaan Pemerintah daerah Untuk
Meningkatkan Kinerja dan Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di
Era Baru Pemerintahan, Bandung : Humaniora
Siagian, Sondang. P, 1998, Administrasi Pembangunan : Konsep, Dimensi dan
Strateginya, Jakarta : Bumi Aksara
_________________, 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara,
Simon, Herbert, 1976, Administrative Behavior : A Study of Decision Making Processes
in Administrative Organization, 3 rd edt., New York: The Free Press,
Macmillan Publishing Co. Inc.
Sirkula, Andrew. F., 1981, Personal Administration and Human Resources
Management, London : John Wiley and Sons
Soesilo, Joko, 2000, Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta : Gava Media
Supriatna, Tjahya, 2004, Kemitraan Sektor Swasta dan Pemerintah Daerah dalam
Pembangunan Daerah, Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah,
Pascasarjana STPDN
Tangkilisan, Hesel, Nogi.S, 2005, Kebijakan Publik Yang Membumi, Yogyakarta :
Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia & Lukman Offset
Tamim, Faisal, 2004, Reformasi Birokrasi : Analisis Pemberdayaan Aparatur Negara,
Jakarta : Belantika
Thoha, Miftah, 1983, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Utomo, Tri Widodo, 2004, Pendelegasian Kewenangan Pemerintahan Daerah Kepada
Kecamatan dan Kelurahan, Humaniora, Bandung
Widodo, Joko, 2001, Good Governance : Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi, Surabaya: Insan Cendikia
_____________, 2007, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Bayumedia, MalangJawa Timur
Winardi, Josef, 2004, Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem , Jakarta:
Karya Nusantara
___________, 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Karya Nusantara
Werther, Jr. William B. and Davis 1996. Human Resources Personnel Management.
New York: Mc-Grew Hill, Inc.

You might also like