You are on page 1of 10

FIRDAUFAN, et al.

/ EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Evaluasi Program Pengendalian Tuberkulosis


dengan Strategi DOTS di Eks Karesidenan Surakarta
Evaluation of DOTS strategy for Tuberculosis Control
Former Surakarta Residency
Firdaufan1), Santoso2), Rifai Hartanto2), Hendratno1),
Sumardiyono2), Endang Sutisna2), Mohammad Syahril1)
1) BBKPM Surakarta
2) IHEPS/Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

ABSTRACT
Background. Direct Observed Treatment Short Course (DOTS) strategy has been regarded as successful
to control Tuberculosis. However decreasing rates of TB prevalence and mortality were not fast
enough to attain half of the prevalence and mortality in 2015 as targeted by Millenium Development
Goals (MDGs). There is a need for continuity and expansion of DOTS strategy implementation. This
studi aimed to evaluate the attainment of TB control program with DOTS strategy and determine
factors affecting it.
Methods. This was a quantitative and qualitative evaluation study using a post-hoc cross-sectional
design. The study was conducted in Sukoharjo and Boyolali districts, and Surakarta municipality, Central
Java, carried out from October 2009 to February 2010. The target population included TB implementing
workers, policymakers, TB health program planners, TB patients and their family, and other stakeholders.
Results. There is disparity in the target attainment of TB control program at district/ municipalities as
well as subdistrict levels. Some districts and subditricts have not reached the expected quantitative
and qualitatives levels of outcome. Case finding and detection rate were subtstandard 70%, at
municipality/ district level. This problem was due to level of compliance among doctors, spesialists,
and private hospitals was still low to implement standard procedures of diagnosis, treatment, reporting
and recording of TB patients. The drop-out rate and ineffective drug administration supervision affected
the cure rate. Financial support for the TB control program from the local government and local
legislatives was lacking.
Conclusion. TB control program with DOTS has been implemented but with varying level of
achievement. System strengthening and participation of all health providers are encuraged by
establishing external network.
Keywords: evaluation, tuberculosis control, DOTS strategy

PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang penting di tingkat global, regional,
nasional, maupun lokal. Tuberkulosis menyebabkan
5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta kematian
per tahun di seluruh dunia.
Strategi Direct Observed Treatment Short Course
(DOTS) telah berhasil membantu tercapainya dua
sasaran yang dideklarasikan World Health Assembly
(WHA) pada tahun 1991, yaitu deteksi kasus baru
bakteri tahan asam (BTA) positif sebesar 70%, dan

penyembuhan sebesar 85% dari kasus pada tahun


2000 (WHO, 2009a). Meskipun demikian kecepatan
kemajuan saat ini diperkirakan tidak cukup untuk
mencapai target penurunan prevalensi dan mortalitas
TB dari Millenium Development Goals (MDG) menjadi
separoh pada tahun 2015 (Dye et al., 2005). Karena
itu diperlukan kontinuitas implementasi strategi
DOTS agar program itu dapat mencapai target dan
bahkan meningkatkan target indikator-indikator
keberhasilan program hingga tahun 2015.
Pada 2006 WHO menetapkan strategi baru
untuk menghentikan TB. Strategi itu bertujuan
199

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 2/JULI/2009

untuk mengintensifkan penanggulangan TB,


menjangkau semua pasien, dan memastikan
tercapainya target Millennium Development Goal
(MDG) pada tahun 2015. Strategi baru WHO
ditetapkan berdasarkan pencapaian DOTS, serta
menjawab tantangan baru bagi keberhasilan
penanggulangan TB. Enam elemen strategi WHO
untuk menghentikan TB untuk 2006-2015 (WHO,
2009c): (1) Perluasan dan peningkatan DOTS
berkualitas tinggi; (2) Mengatasi TB/HIV, MDRTB dan tantangan lainnya; (3) Penguatan sistem
kesehatan; (4) Pelibatan semua pemberi pelayanan
kesehatan; (5) Pemberdayaan pasien dan komunitas;
(6) Mendorong dan meningkatkan penelitian
(WHO, 2009c).
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu
fungsi manajemen yang vital untuk menilai
keberhasilan pelaksanan program penanggulangan
TB. Pemantauan yang dilakukan secara berkala dan
kontinu berguna untuk mendeteksi masalah secara
dini dalam pelaksanaan kegiatan yang telah
direncanakan, agar dapat dilakukan tindakan
perbaikan segera. Selain itu evaluasi berguna untuk
menilai sejauh mana tujuan dan target yang telah
ditetapkan sebelumnya telah tercapai pada akhir
suatu periode waktu. Evaluasi dilakukan setelah suatu
periode waktu tertentu, biasanya setiap 6 bulan
hingga 1 tahun. Dalam mengukur keberhasilan
tersebut diperlukan indikator dan standar. Hasil
evaluasi berguna untuk kepentingan perencanaan
program dan perbaikan kebijakan program
penanggulangan TB.
Dengan latar belakang tersebut studi evauasi
dilakukan untuk menjawab masalah penelitian
sebagai berikut: (1) Sejauh mana tujuan dan target
penanggulangan tuberkulosis (TB) yang telah
ditetapkan melalui strategi DOTS telah tercapai di
tingkat kota dan kabupaten eks karesidenan
Surakarta?; (2) Apakah faktor-faktor yang
menghambat dan faktor yang mendukung program
DOTS TB di kota/ kabupaten eks karesidenan
Surakarta?
SUBJEK DAN METODE
Evaluasi ini merupakan studi deskriptif-analitik
dengan desain potong lintang (cross-sectional). Data
dikumpulkan dengan pendekatan kuantitatif dan
200

kualitatif. Evaluasi dilakukan di eks karesidenan


Surakarta, meliputi kota Surakarta, kabupaten
Sukoharjo dan Boyolali, Jawa Tengah. Evaluasi
dilakukan pada Oktober 2009 sampai dengan
Februari 2010. Populasi sasaran meliputi petugas
pelaksana, pembuat kebijakan, perencana program
TB, pasien TB dan keluarganya, masyarakat, dan
pemangku kepentingan penanggulangan TB.
Pelaksana dan pembuat kebijakan program
penanggulangan TB di tingkat kota/ kabupaten
meliputi Kepala Dinkes Kota/ Kabupaten, Kasie
P2M, Wasor TBC, Lab Kes Da, anggota DPR komisi
Kesra/ Kesehatan. Tingkat kecamatan meliputi
Kepala Puskesmas, dokter fungsional pemerintah,
dokter praktik swasta, perawat poliklinik, petugas TB,
petugas laboratorium, bidan, petugas Puskesmas
Pembantu.
Variabel kuantitatif yang diteliti: (1) Angka
penjaringan suspek; (2) Case Detection Rate (CDR);
(3) Angka konversi; (4) Angka kesembuhan (cure rate);
(5) Angka keberhasilan (Success Rate); (6) Angka
kesalahan laboratorium. Definisi operasional variabel
sebagai berikut (DepKes, 2008).
1. Angka penjaringan suspek (Suspect Screening
Rate) adalah jumlah suspek yang diperiksa per
100,000 penduduk
2. Angka penemuan kasus baru TB BTA positif (Case
Detection Rate, CDR) adalah persentase jumlah
kasus baru BTA positif yang ditemukan dan
diobati dibagi dengan jumlah kasus baru TB yang
diperkirakan pada suatu populasi di suatu wilayah
3. Angka konversi adalah persentase jumlah kasus
baru TB paru BTA positif yang konversi menjadi
negatif dibagi dengan jumlah kasus baru TB
paru BTA positif yang diobati
4. Angka kesembuhan (Cure Rate) adalah persentase
dari jumlah kasus baru TB BTA positif yang
sembuh dibagi dengan jumlah kasus baru TB
BTA positif yang diobati
5. Angka keberhasilan (Success Rate) adalah
persentase kasus baru BTA positif yang sembuh
plus pengobatan lengkap di antara kasus baru
TB paru BTA positif yang diobati.
6. Angka kesalahan (Error Rate) laboratorium adalah
persentase jumlah sediaan yang dibaca salah
dibagi dengan jumah seluruh sediaan yang
diperiksa.

FIRDAUFAN, et al./ EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Variabel kualitatif yang diteliti: (1) Komitmen


politis; (2) Pemeriksaan mikroskopis untuk deteksi
kasus; (3) Kemoterapi standar jangka pendek TB; (4)
Penguatan sistem kesehatan; (5) Pelibatan semua
pemberi pelayanan kesehatan; (6) Pemberdayaan
pasien dan komunitas; (7) Mengatasi tantangan TB/
HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya.
Data kuantitatif dikumpulkan dengan metode:
(1) Kajian dokumen; (2) Check list. Data kualitatif
dikumpulkan dengan metode: (1) Kajian dokumen
dan check list; (2) Wawancara dengan menggunakan
daftar pertanyaan terbuka yang berbeda untuk
masing-masing kategori subjek penelitian; (3)
Pengamatan langsung; (4) Diskusi kelompok fokus.
Data kuantitatif disajikan dalam frekuensi, persen,
dan grafik. Data kualitatif dianalisis dengan analisis
tematik (thematic analysis).
HASIL-HASIL
1. Angka Penjaringan Kasus TB per 100,000
Penduduk
Ditemukan angka penjaringan kasus rendah di tingkat
kabupaten atau tidak konsisten (Gambar 1). Faktor
penyebab rendahnya jumlah suspek yang diperiksa: (1)
Penjaringan suspek TB hanya dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan (Passive Case Finding, PCF); (2)
Tidak terdapat Active Case Finding (ACF) atau
penjaringan kasus oleh masyarakat; (3) Penjaringan kasus
secara aktif hanya melalui Contact Survey terhadap
anggota keluarga dan tetangga yang dicurigai TB.

Gambar 1 Angka penjaringan kasus TB per 100,000


penduduk di Boyolali, Sukoharjo, dan Surakarta

Disarankan agar penjaringan kasus ditingkatkan


melalui ACF, dengan menggunakan model ACD/
JMD (Juru Malaria Desa), dan/ atau Deteksi Dini

Kasus TB oleh kader Posyandu/ ibu-ibu PKK. Model


yang pertama mengerahkan petugas kesehatan secara
aktif untuk mencari kasus TB pada penduduk. Model
ini kurang dianjurkan karena dapat menyebabkan
ketergantungan masyarakat kepada petugas untuk
memecahkan masalah kesehatan mereka. Model
Deteksi Dini Kasus TB oleh kader Posyandu/ ibuibu PKK lebih baik karena konsisten dengan salah
satu elemen strategi baru WHO untuk menghentikan
TB, yaitu pemberdayaan pasien dan komunitas.
Contoh, di kota Surakarta sejak November 2009
telah dibentuk 6 Posyandu Mandiri Plus
Penanggulangan TB sebagai prototipe pemberdayaan
masyarakat dalam penaggulangan TB. Posyandu
Mandiri Plus merupakan upaya kerjasama antara Tim
Penggerak PKK Surakarta dengan Ketua Ny. Iriani
Joko Widodo, Tim Penggerak PKK Kecamatan dan
Kelurahan, dengan IHEPS (Institute of Health Economic and Policy Studies). Kader Posyandu dan ibu
PKK mendeteksi dini suspek kasus TB dan
memberikan motivasi pemeriksaan dahak dan
pengobatan jangka panjang. Sebuah Kartu Deteksi
Dini TB oleh Kader dan brosur Deteksi Dini TB
Menuju Surakarta Bebas Tuberkulosis telah dibuat
dan disebarluaskan untuk mendukung kegiatan
Posyandu Mandiri Plus tersebut.
Jumlah suspek yang diperiksa sangat tinggi di
Surakarta pada 2006 lalu menurun drastis pada 2007
dan 2008 (Gambar 1). Terdapat beberapa sebab.
Pertama, pada 2006 terdapat dana dari KNCV untuk
kegiatan PCF dan ACF, tetapi dana tersebut berhenti
sejak 2007, sehingga mempengaruhi cakupan
penemuan kasus. Kedua, gambaran inkonsistensi
mengindikasikan sistem pencatatan dan pelaporan
di DKK kurang dapat diandalkan. Timeliness dan
ketersediaan data ketika dibutuhkan merupakan salah
satu atribut surveilans. Di DKK Surakarta data
Tuberkulosis dalam komputer tidak siap tersedia pada
waktu dibutuhkan. Selain itu terdapat inkonsistensi
dan/ atau ketidaklengkapan antara data-base
pencatatan dan pelaporan yang tersedia pada
komputer DKK dan data pencatatan dan pelaporan
manual. Biasanya data manual baru disiapkan ketika
akan dilakukan pelaporan ke tingkat administrasi
yang lebih tinggi (tingkat provinsi). Salah satu di
antara beberapa akar penyebab masalah adalah infeksi
kronis oleh virus terhadap data yang belum teratasi
hingga awal 2010.
201

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 2/JULI/2009

Beberapa sebab ketidaktersediaan data ketika


dibutuhkan (1) Sistem komputerisasi belum
dipandang sentral dalam sistem penanggulangan TB;
dan (2) Serangan virus komputer dalam sistem
pencatatan dan pelaporan. Pada umumnya
komputerisasi di DKK, puskesmas, dan RS, masih
dipandang sebagai pelengkap penderita dengan ciriciri khas marginalisasi (peminggiran, pemojokan)
letak komputer di ruangan. Sebaliknya ciri-ciri
komputerisasi yang telah dipandang penting jika
diletakkan sentral dan menyatu di meja masingmasing petugas yang relevan. Virus komputer yang
merusak data pencatatan dan pelaporan di DKK dan
puskesmas perlu diatasi segera dengan memasang
perangkat lunak penangkal virus yang dapat
diandalkan.. Petugas perlu lebih disiplin meng-update setiap hari dan memindai (scanning) flash disk
dan CD sebelum membuka file. Disarankan untuk
menggunakan perangkat lunak anti-virus Antivir
karena dapat diandalkan, dapat diunduh gratis dari
web, dan mudah di-update.
2. Case Detection Rate

Mean Case Detection Rate

Ditemukan rata-rata Case Detection Rate (CDR) di


bawah target 70% di Boyolali, Sukoharjo, dan
Surakarta. Terdapat penurunan CDR 3 tahun terakhir
(Gambar 2).
Tahun
2006
2007
2008

100
80
60
40
20
0
Boyolali

Sukoharjo Surakarta
Kota/kabupaten

Gambar 2 Case Detection Rate di Boyolali, Sukoharjo, dan


Surakarta

Faktor penyebab rendahnya CDR: (1) Kesulitan


suspek kasus mengeluarkan dahak, meskipun telah
diberikan mukolitik-ekspektoran (terutama pasien
suspek TB yang telah diobati sebelumnya dengan
obat anti-tuberkulosis/ OAT yang tidak standar); (2)

202

Program TB hanya mengandalkan Passive Case Finding (PCF) untuk menjaring kasus TB; (3) Penerapan
estimasi prevalensi kasus BTA positif TB yang seragam
di seluruh Indonesia, yaitu 107 kasus/100,000
penduduk, untuk semua kota, kabupaten dan
kecamatan; (4) Penyebab lain, seperti penjaringan
terlalu longgar (terlalu sensitif ), banyak orang yang
tidak memenuhi kriteria suspek terjaring, dan kualitas
dahak yang diperiksa kurang baik. Kesulitan dalam
memperoleh dahak untuk pemeriksaan diagnostik
baik pada dewasa maupun anak perlu segera diatasi.
Perlu dicari prosedur alternatif pemeriksaan dahak
yang bisa dilakukan di tingkat primer.
Disarankan upaya menggerakkan partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan penjaringan kasus
TB. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri dapat
ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri
Plus Penanggulangan TB untuk meningkatkan
penjaringan kasus di tingkat akar rumput.
Target pencarian kasus dan CDR ditentukan
berdasarkan estimasi prevalensi TB sebesar 107 kasus/
100,000 penduduk. Estimasi prevalensi TB tersebut
diterapkan seragam di tingkat provinsi, kota,
kabupaten, maupun kecamatan, di seluruh Indonesia. Pendekatan tersebut tidak akurat dan
menyebabkan target jumlah kasus BTA positif terlalu
tinggi (atau sebaliknya terlalu rendah) untuk suatu
provinsi, kota, kabupaten, maupun kecamatan.
Untuk mengatasi masalah tersebut disarankan
agar diterapkan penyesuaian (adjustment) estimasi
prevalensi kasus TB yang digunakan sebagai target
CDR di tingkat kota, kabupaten, maupun kecamatan.
Sebagai contoh, banyak analisis menunjukkan,
tingkat pendapatan penduduk, kepadatan penduduk,
kondisi lingkungan pemukiman, dan infeksi HIV/
AIDS di suatu wilayah merupakan faktor risiko TB.
Karena itu estimasi kasus TB dapat disesuaikan
menurut variabel tersebut. Dengan angka korekasi
(penyesuaian) tersebut maka provinsi/ kota/
kabupaten/ kecamatan yang penduduknya memiliki
tingkat pendapatan lebih tinggi, kepadatan
penduduk lebih rendah, lingkungan pemukiman
lebih bersih, dan insidensi infeksi HIV/ AIDS,
memiliki estimasi prevalensi kasus TB yang lebih
rendah daripada provinsi/ kota/ kabupaten/
kecamatan yang penduduknya memiliki tingkat
pendapatan lebih rendah, kepadatan penduduk lebih

FIRDAUFAN, et al./ EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

tinggi, lingkungan pemukiman lebih buruk, dan


insidensi infeksi HIV/ AIDS lebih tinggi. Dengan
metode itu dapat dihindari overestimasi dan
underestimasi tentang prevalensi kasus TB di suatu
populasi.
3. Angka Konversi
Angka konversi atau conversion rate adalah persentase
jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang konversi
menjadi negatif dibagi dengan jumlah kasus baru TB
paru BTA positif yang diobati. Indikator ini berguna
untuk mengetahui dengan cepat hasil pengobatan
dan mengetahui apakah pengawasan langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.
Gambar 4 Conversion rate di tingkat puskesmas di Surakarta

Disarankan agar DKK tidak hanya


memperhatikan kinerja pengobatan TB rata-rata
puskesmas di seluruh kota/ kabupaten, tetapi juga
memperhatikan kinerja pengobatan TB tertentu yang
belum mencapai target angka konversi.
4. Angka Kesembuhan

Gambar 3 Conversion rate di Boyolali, Sukoharjo, dan


Surakarta

Gambar 3 menunjukkan, angka konversi di


tingkat kota/ kabupaten, yaitu di Boyolali, Sukoharjo,
dan Boyolali telah mencapai target minimal 80%.
Tetapi gambaran ini harus dilihat sebagai rata-rata
pencapaian angka konversi pengobatan TB di tingkat
kota/ kabupaten yang diperoleh dari kegiatan
pelayanan pengobatan TB di puskesmas. Hasil ini
tidak menggambarkan angka konversi pengobatan
yang dilakukan pada UPK lainnya, yaitu RS, dokter
umum, dan spesialis praktik pribadi, karena memang
tidak terdapat data tentang pengobatan dengan OAT
standar DOTS pada UPK tersebut.
Angka konversi di tingkat puskesmas
menunjukkan bahwa masih terdapat sejumlah
puskesmas yang belum mencapai angka konversi yang
diharapkan (Gambar 4).

Angka kesembuhan atau cure rate adalah persentase


kasus baru BTA positif yang sembuh di antara kasus
baru TB paru BTA positif yang diobati. Angka
kesembuhan berguna untuk mengetahui efektivitas
OAT standar DOTS ketika diberikan kepada pasien
TB di suatu komunitas. Angka kesembuhan yang
rendah merupakan indikator awal kemungkinan
kekebalan/ resistensi bakteri tuberkulosis terhadap
OAT standar, sehingga perlu dilakukan surveilans
kekebalan/ resistensi.

Gambar 5 Cure rate kasus TB di Boyolali, Sukoharjo, dan


Surakarta

203

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 2/JULI/2009

Berbeda dengan pasien penyakit non-infeksi,


kesembuhan pasien TB penting karena setiap pasien
TB yang tidak sembuh atau tidak diobati merupakan
faktor risiko TB yang mempengaruhi keberhasilan
program penanggulangan TB. Angka kesembuhan di
tingkat kota/ kabupaten di Boyolali dan Sukoharjo
telah mencapai target minimal 85% (Gambar 5).
Angka kesembuhan di tingkat puskesmas
menunjukkan bahwa masih banyak puskesmas yang
belum mencapai angka kesembuhan yang diharapkan
(Gambar 6). Faktor penyebab rendahnya angka
kesembuhan bisa dibagi dua pihak penyedia
pelayanan dan pengguna pelayanan (pasien). Hasil
wawancara dengan pasien TB dan keluarga
mengungkapkan, terdapat sejumlah faktor
penghambat yang dapat mempengaruhi angka
kesembuhan: (1) Putus berobat karena merasa sudah
enak; (2) Pengobatan tidak teratur karena berpindahpindah tempat kerja; (3) Kebosanan minum obat;
(4) Pasien kurang motivasi; (5) Efek samping obat
(reaksi pada tubuh setelah minum obat); (6) Persepsi
bahwa pelayanan puskesmas kurang memuaskan dan
obat tidak lengkap, lalu pindah ke dokter praktik
swasta yang tidak memberikan OAT standar DOTS
dalam jangka panjang.

Dukungan anggota keluarga (istri, anak) dalam


mengantar pasien ke puskesmas untuk pemeriksaan
dan pengambilan obat, maupun pengawasan
pengobatan); (2) Tempat tinggal/ pekerjaan yang
tetap mendukung kelangsungan pengobatan.
Disarankan agar DKK tidak hanya
memperhatikan kinerja rata-rata puskesmas di seluruh
kota/ kabupaten dalam menyembuhkan pasien TB,
tetapi juga memperhatikan kinerja sejumlah
puskesmas tertentu yang belum menujukkan kinerja
yang baik dalam mencapai target angka kesembuhan
pengobatan pasien TB.
Gambar 6 juga menunjukkan, grafik angka
kesembuhan di Surakarta tidak mencakup data tahun
2006 dan angka kesembuhan yang sangat fluktuatif
antara tahun 2007 dan 2008. Grafik tersebut tidak
menunjukkan pencapaian angka kesembuhan yang
sesungguhnya di Surakarta, melainkan menunjukkan
masalah pada sistem pencatatan dan pelaporan di
tingkat DKK. Terdapat ketidaktersediaan data TB
pada database komputer dan inkonsistensi angkaangka antara database komputer dan pencatatan
secara manual. Infeksi virus komputer menyebabkan
masalah hilangnya data TB dalam sistem pencatatan
dan pelaporan TB di DKK. Sebab lain adalah
komputerisasi dalam sistem pencatatan dan pelaporan
program penanggulangan TB belum diprioritaskan
di antara semua kegiatan DKK.
5. Program dan Pelayanan TB di Puskesmas

Gambar 6 Cure rate kasus TB di tingkat puskesmas di


Sukoharjo

Wawancara dengan pasien TB dan keluarga


mengungkapkan, terdapat sejumlah faktor
pendukung keberhasilan pengobatan pasien TB: (1)
204

Hasil wawancara dengan koordinator TB da wasor


TB di DKK, petugas TB/ P2M dan petugas
laboratorium puskesmas mengungkapkan,
umumnya petugas TB dan petugas laboratorium
memiliki tugas rangkap sebagai petugas kusta,
penyakit tidak menular, malaria, pengobatan dasar
dan perawatan sehingga petugas TB tidak bisa
maksimal dalam menjalankan tugasnya. Sebagian
petugas TB dan laboratorium mengaku bahwa tugas
rangkap ini menurunkan kinerjanya dalam kegiatan
penganggulangan TB dengan strategi DOTS, tetapi
sebagian lainnya merasa tidak terbebani dengan tugas
rangkap tersebut.
Petugas TB dan laboratorium di puskesmas
mengutarakan bahwa sering diperoleh suspek TB
tetapi sulit mendapatkan BTA positif karena dahak
dari suspek cair sehingga menyulitkan diagnosis di

FIRDAUFAN, et al./ EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

laboratorium. Petugas laboratorium juga


mengeluhkan ruangan laboratorium yang tidak
representatif, fasilitas laboratorium yang kurang
mendukung, mikroskop rusak diperbaiki sendiri.
Umpan balik hasil cross-check tentang akurasi diagnosis laboratorium kurang teratur. Gambar 7
menunjukkan bahwa error rate pemeriksaan dahak
pada laboratorium puskesmas lebih rendah dari batas
maksimum 5%.

dewasa jarang terjadi. Tetapi OAT untuk pasien TB


anak kadang terjadi. Salah satu cara yang dilakukan
oleh DKK untuk mengatasi ketiadaan stok obat
adalah membentuk jejaring dengan DKK terdekat
yang memungkinkan dilakukan peminjaman obat
dari daerah lain. Biasanya obat yang bisa
dipertukarkan adalah OAT dari pemerintah pusat,
bukan obat yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Sebuah cara lain untuk mengatasi ketiadaan OAT
untuk pasien TB anak, seperti yang dikemukakan dan
telah dilakukan oleh salah seorang dokter di
puskesmas kabupaten Boyolali adalah memodifikasi
OAT orang dewasa menjadi OAT untuk pasien TB
anak.
7. Sistem Pencatatan dan Pelaporan TB

Gambar 7 Error rate pemeriksaaan dahak pada


laboratorium puskesmas di Boyolali dan Sukoharjo

Petugas TB dan laboratorium puskesmas


mengusulkan agar peralatan (mikroskop dll)
dilengkapi, ruangan dibuat lebih representatif, dan
adanya kebijakan diagnosis pada anak memakai tes
BCG.
6. Penyediaan dan penyimpanan OAT program
DOTS
Gudang Farmasi Penyimpanan Obat DKK
menyediakan dan menyimpan OAT standar DOTS
dengan kartu stok dan menerapkan sistem FIFO (first
in first out) untuk mencegah obat kadaluwarsa. Jika
terdapat obat kadaluwarsa, maka obat tersebut ditarik
dan diterbitkan Berita Acara untuk pemusnahan.
Suplai obat dari provinsi setiap tahun sekali. Mulai
2010 obat disediakan oleh pemerintah daerah.
Menurut wawancara dengan petugas Gudang
Farmasi, kehabisan stok OAT jarang terjadi. Hasil
wawancara dengan dokter puskesmas menemukan
bahwa kekurangan suplai OAT untuk pasien TB

Pertama, ketiadaan data atau informasi tentang TB


di beberapa DKK pada saat dibutuhkan untuk
pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan,
perencanaan, maupun evaluasi. Tidak jarang data
atau informasi yang dibutuhkan baru tersedia setelah
berhari-hari. Kedua, kualitas data yang dikumpulkan
umumnya belum memadai, sering kali terdapat
inkonsistensi data ketika dilakukan cek silang yang
mengindikasikan keraguan validitas data. Ketiga,
hanya sebagian puskesmas telah menggunakan
komputer untuk pencatatan dan pelaporan TB.
Semua DKK menggunakan komputer untuk
pencatatan dan pelaporan TB. Tetapi sebagian besar
komputer tidak ditempatkan sentral, melainkan
dipojokkan di dalam ruangan, yang mengindikasikan
bahwa sistem informasi kesehatan dengan
komputerisasi belum dipandang kegiatan prioritas.
Keempat, data yang ada belum dimanfaatkan secara
optimal untuk surveilans TB di tingkat DKK,
puskesmas, maupun RS, untuk pemantauan,
evaluasi, dan perencanaan program TB. Biasanya
pencatatan dan pelaporan tidak digunakan untuk
perencanaan, melainkan hanya sekedar untuk
dilaporkan ke tingkat administrasi yang lebih atas.
Informasi yang dibutuhkan untuk perencanaan atau
pengambilan keputusan biasanya baru tersedia pada
akhir bulan atau periode tertentu ketika DKK,
puskesmas, maupun RS harus membuat laporan.
Disarankan untuk memperbaiki sistem
pencatatan dan pelaporan di DKK, puskesmas,
maupun RS. Untuk menunjang public-private mix,

205

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 2/JULI/2009

DKK perlu menyediakan form pencatatan dan


pelaporan untuk para dokter umum, spesialis, dan
RS swasta, agar memudahkan partisipasi UPK
tersebut dalam sistem pencatatan dan pelaporan kasus
TB. Untuk meningkatkan kualitas informasi perlu
dilakukan pelatihan untuk petugas tentang
penyimpanan dan teknik analisis data, serta teknik
penyajian hasil analisis data yang dapat digunakan
untuk perencanaan dan pengambilan keputusan di
DKK, puskesmas, dan RS.
8. Public-Private-Mix
Kerjasama antara institusi pemerintah dan swasta,
atau institusi pemerintah dan pemerintah, memiliki
potensi untuk memperluas dan memelihara
kesinambungan strategi DOTS. UPK swasta (RS,
dokter umum, spesialis) memiliki potensi
meningkatkan penjaringan kasus, CDR, maupun
pengobatan kasus TB dengan strategi DOTS. Dalam
praktik, hasil wawancara dengan RS dan sejumlah
dokter praktik swasta mengungkapkan bahwa UPK
tersebut sangat kurang memberikan kontribusi
penemuan, pemeriksaaan, dan pengobatan kasus TB
dengan strategi DOTS.
Belum terdapat komitmen yang kuat dari pihak
manajemen UPK (pimpinan RS) dan tenaga medis
(dokter umum dan spesialis) serta paramedis dan
seluruh petugas terkait dalam penanggulangan TB
dengan strategi DOTS. Pada umumnya belum
terdapat unit DOTS di RSUD maupun RS swasta
di Boyolali, Sukoharjo, dan Surakarta. Satu-satunya
Unit DOTS yang terletak di Bagian Penyakit Paru
dan Saluran Pernapasan pada RSUD Dr Moewardi,
Surakarta.
Pada umumnya para dokter umum maupun
spesialis yang praktik pribadi maupun praktik di RS
tidak menggunakan pemeriksaan dahak untuk diagnosis TB. Alasan yang umumnya dikemukakan
adalah waktu yang terlalu lama untuk mendapatkan
hasil pemeriksaan dahak di laboratorium. Sebagai
gantinya para dokter dan spesialis menggunakan foto
Roentgen yang menurut mereka lebih cepat dan
praktis. Kebiasaan ini tidak mendukung strategi
DOTS, karena diagnosis TB dengan pemeriksaan
toraks dengan foto Roentgen memiliki reliabilitas
(keterandalan) yang rendah. Demikian pula para
dokter umumnya tidak menggunakan OAT standar

206

DOTS, melainkan INH, Rifampisin dan vitamin,


dan sebagainya, dengan lama terapi yang tidak tentu
dan tidak memadai. Alasan yang dikemukakan, karena
pasien sulit diharapkan untuk berobat teratur dalam
jangka 6 bulan. Tidak terdapat sistem pencatatan dan
pelaporan pasien TB pada dokter umum dan spesialis
praktik pribadi.
Terdapat beberapa sebab rendahnya partisipasi
dan komitmen UPK swasta dalam menerapkan program pengendalian TB dengan strategi DOTS.
Pertama, sikap independensi yang berlebihan di antara
para dokter dalam membuat keputusan dalam
menentukan diagnosis dan memilih terapi TB.
Kemandirian yang berlebihan itu menyebabkan para
dokter tidak menaati prosedur standar diagnosis dan
terapi kasus TB. Kedua, jarang dilakukan sosialisasi
oleh DKK kepada dokter praktik swasta tentang
kemitraan dalam rangka implementasi strategi DOTS.
Ketiga, para dokter praktik swasta tidak mendapat
suplai OAT standar DOTS maupun logistik administratif untuk mendukung sistem pencatatan dan
pelaporan TB. Para dokter umumnya tidak melaporkan
penemuan kasus TB atau kasus suspek TB ke puskesmas
atau DKK, karena memang tidak pernah dihubungi
oleh petugas TB puskesmas ataupun DKK. Hasil
wawancara dan diskusi dengan koordinator atau wasor
TB dan kepala DKK menemukan bahwa belum
terdapat nota kesepahaman antara UPK dan DKK.
Demikian pula jarang dilakukan sosialisasi strategi
DOTS kepada UPK.
Disarankan agar dibuat jejaring eskternal antara
DKK sebagai regulator dan UPK (RS, dokter umum,
spesialis) sebagai penyedia pelayanan kesehatan,
ikatan profesi misalnya Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), serta puskesmas sebagai unit pelayanan primer.
Perlu dibuat nota kesepakatan antara DKK dan para
UPK. Agar kerjasama dalam implementasi DOTS
lebih mengikat, disarankan agar lisensi (izin praktik)
dan akreditasi RS secara eksplisit dikaitkan dengan
realisasi UPK dalam menaati prosedur standar diagnosis dan penatalaksanaan kasus TB sesuai dengan
program DOTS. Terbentuknya jejaring eksternal,
nota kesepahaman, lisensi dan akreditasi yang
mengikat RS dan para dokter penting untuk
memastikan bahwa mereka bersama dengan DKK dan
puskesmas (pelayanan primer) membantu
keberhasilan strategi DOTS.

FIRDAUFAN, et al./ EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

9. Kemitraan dengan Pemerintah Daerah/


DPRD
Kemitraan dan dukungan Pemerintah Daerah (Kota
dan Kabupaten) kurang dalam pembiayaan program
pengendalian TB. Hasil wawancara dengan
koordinator TB dan kepala DKK diperoleh
pandangan bahwa anggaran Pemda untuk program
TB tidak memadai, baik dalam besaran maupun
keteraturan. Anggaran Pemda untuk program TB
tidak selalu ada setiap tahun. TB harus bersaing
dengan prioritas kesehatan lainnya untuk
mendapatkan anggaran. Sebagai contoh, di
Sukoharjo, anggaran yang tersedia untuk program
TB hanya sebesar Rp 150 juta per tahun pada 2008
dan 2009, digunakan untuk membiayai kegiatan
contact survey, pemberian imbalan bagi petugas,
pemantauan, dan peningkatan kualitas SDM
(misalnya, pelatihan, kerjasama dengan BBKPM)
Hasil diskusi dengan kabid P2M dan koordinator
TB, di Surakarta anggaran program TB melalui APBD
II untuk tahun 2008, 2009 dan 2010 direncanakan
dan diusulkan oleh puskesmas. Dengan membuat
Daftar Penetapan Anggaran, masing-masing
puskesmas membuat perencanaan sendiri dan
mengusulkan anggaran ke bagian Keuangan Pemda.
Anggaran TB digunakan untuk transport pengawas
menelan obat (PMO), pertemuan PMO, program
makanan tambahan (PMT) pasien TB, dan kontak
survei. Anggaran TB bisa juga menggunakan
pembiayaan Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) untuk keluarga miskin. Belum terdapat
Perda tentang Penanggulangan Tuberkulosis di kota/
kabupaten. Hasil wawancara dengan anggota DPR
diungkapkan bahwa jika sangat urgen DPRD akan
membuat Perda Kesehatan dan TB.
Disarankan agar dilakukan advokasi oleh DKK
yang lebih sering untuk meningkatkan kepedulian
Pemda. Dari hasil diskusi dengan para koordinator TB,
wasor TB, dan kepala bidang P2M DKK disarankan
agar advokasi disertai dengan data/ informasi yang baru
tentang pencapaian program penanggulangan TB di
daerah untuk meyakinkan para pengambil keputusan
anggaran pada Pemda dan DPRD.
PEMBAHASAN
Program pengendalian TB dengan strategi DOTS
telah berjalan di kabupaten dan kota yang diteliti,

yaitu kabupaten Boyolali, Sukoharjo, dan kota


Surakarta. Tetapi pelaksanaan program DOTS
tersebut belum mencapai target yang diharapkan.
Disarankan agar keberhasilan dalam mencapai target indikator utama penanggulangan TB tidak hanya
dilihat pada level kabupaten/ kota tetapi juga
dianalisis pada level yang lebih mikro, yaitu
kecamatan dan desa. Indikator keberhasilan
pengendalian TB tertentu, seperti penemuan kasus
dan case detection rate masih di bawah standar, baik
pada level kota/ kabupaten maupun pada level
puskesmas. Penyebab utama adalah partisipasi dokter,
RS, dan tenaga kesehatan lainnya yang masih sangat
rendah dalam penemuan dan diagnosis kasus TB.
Penyebab lainnya adalah estimasi prevalensi kasus
TB yang seragam di seluruh Indonesia yang
menyebabkan overestimasi atau underestimasi tentang
angka prevalensi kasus TB yang sesungguhnya di tingkat
provinsi, kabupaten/ kota, dan kecamatan. Disarankan
agar dilakukan peneltian lebih lanjut dengan tujuan
menentukan angka koreksi atau penyesuaian (adjustment) tentang estimasi angka prevalensi TB menurut
pendapatan penduduk, kepadatan penduduk, indeks
sanitasi lingkungan, prevalensi HIV/AIDS, dan faktor
risiko TB lainnya, yang sedapat mungkin merupakan
data sekunder (sudah tersedia di sistem pencatatanpelaporan di lembaga terkait).
Angka konversi dan angka kesembuhan di
sejumlah puskesmas masih di bawah target 85%,
meskipun secara rata-rata target tersebut secara
agregat telah tercapai di level kabupaten/ kota. Salah
satu penyebab utama adalah putus berobat dan
ketidakefektifan pengawasan menelan obat dalam
memastikan keteraturan menelan obat.
Dukungan pemerintah daerah dan DPRD dalam
pembiayaan program pengendalian TB masih rendah.
Kepatuhan para dokter, spesialis, dan RS swasta
masih rendah dalam menerapkan prosedur standar
DOTS dalam pemeriksaan, diagnosis, pengobatan,
maupun pencatatan dan pelaporan pasien TB. Perlu
penguatan sistem dan peningkatan partisipasi semua
tenaga kesehatan, dengan cara membangun jaringan
eksternal, membuat nota kesepakatan, dan
mewajibkan dokter praktik swasta dan RS untuk
memeriksa, mendiagnosis, dan mengobati pasien TB
dengan prosedur standar DOTS, dengan cara
mengaitkannya dengan persyaratan izin praktik dan
akreditasi RS.
207

JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 1/NO. 2/JULI/2009

DAFTAR PUSTAKA
USAID (2008). Infectious disease. www.usaid.gov.
Diakses April 2010.
DepKes (2008). Pedoman nasional penanggulangan
tuberkulosis. Edisi ke 2. Jakarta: DepKes RI.
Dye C, Watt CJ, Bleed DM, Hosseini SM, Raviglione
MC (2005). Evolution of tuberculosis control
and prospects for reducing tuberculosis
incidence, prevalence, and deaths globally.
JAMA, 293:2767-2775.

208

WHO (2009a). WHO Report 2009: Global


tuberculosis control epidemiology, strategy,
financing. Geneva, Switzerland: WHO Press.
whqlibdoc.who.int/publications/
2009/
9789241563802_eng.pdf Diakses April 2010
WHO (2009b). The stop TB strategy.
www.who.int.org. Diakses April 2010.
WHO (2009c). The global plan to stop TB 20062015. www.who.int.org. Diakses April 2010.

You might also like