Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Background. Direct Observed Treatment Short Course (DOTS) strategy has been regarded as successful
to control Tuberculosis. However decreasing rates of TB prevalence and mortality were not fast
enough to attain half of the prevalence and mortality in 2015 as targeted by Millenium Development
Goals (MDGs). There is a need for continuity and expansion of DOTS strategy implementation. This
studi aimed to evaluate the attainment of TB control program with DOTS strategy and determine
factors affecting it.
Methods. This was a quantitative and qualitative evaluation study using a post-hoc cross-sectional
design. The study was conducted in Sukoharjo and Boyolali districts, and Surakarta municipality, Central
Java, carried out from October 2009 to February 2010. The target population included TB implementing
workers, policymakers, TB health program planners, TB patients and their family, and other stakeholders.
Results. There is disparity in the target attainment of TB control program at district/ municipalities as
well as subdistrict levels. Some districts and subditricts have not reached the expected quantitative
and qualitatives levels of outcome. Case finding and detection rate were subtstandard 70%, at
municipality/ district level. This problem was due to level of compliance among doctors, spesialists,
and private hospitals was still low to implement standard procedures of diagnosis, treatment, reporting
and recording of TB patients. The drop-out rate and ineffective drug administration supervision affected
the cure rate. Financial support for the TB control program from the local government and local
legislatives was lacking.
Conclusion. TB control program with DOTS has been implemented but with varying level of
achievement. System strengthening and participation of all health providers are encuraged by
establishing external network.
Keywords: evaluation, tuberculosis control, DOTS strategy
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang penting di tingkat global, regional,
nasional, maupun lokal. Tuberkulosis menyebabkan
5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta kematian
per tahun di seluruh dunia.
Strategi Direct Observed Treatment Short Course
(DOTS) telah berhasil membantu tercapainya dua
sasaran yang dideklarasikan World Health Assembly
(WHA) pada tahun 1991, yaitu deteksi kasus baru
bakteri tahan asam (BTA) positif sebesar 70%, dan
100
80
60
40
20
0
Boyolali
Sukoharjo Surakarta
Kota/kabupaten
202
Program TB hanya mengandalkan Passive Case Finding (PCF) untuk menjaring kasus TB; (3) Penerapan
estimasi prevalensi kasus BTA positif TB yang seragam
di seluruh Indonesia, yaitu 107 kasus/100,000
penduduk, untuk semua kota, kabupaten dan
kecamatan; (4) Penyebab lain, seperti penjaringan
terlalu longgar (terlalu sensitif ), banyak orang yang
tidak memenuhi kriteria suspek terjaring, dan kualitas
dahak yang diperiksa kurang baik. Kesulitan dalam
memperoleh dahak untuk pemeriksaan diagnostik
baik pada dewasa maupun anak perlu segera diatasi.
Perlu dicari prosedur alternatif pemeriksaan dahak
yang bisa dilakukan di tingkat primer.
Disarankan upaya menggerakkan partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan penjaringan kasus
TB. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri dapat
ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri
Plus Penanggulangan TB untuk meningkatkan
penjaringan kasus di tingkat akar rumput.
Target pencarian kasus dan CDR ditentukan
berdasarkan estimasi prevalensi TB sebesar 107 kasus/
100,000 penduduk. Estimasi prevalensi TB tersebut
diterapkan seragam di tingkat provinsi, kota,
kabupaten, maupun kecamatan, di seluruh Indonesia. Pendekatan tersebut tidak akurat dan
menyebabkan target jumlah kasus BTA positif terlalu
tinggi (atau sebaliknya terlalu rendah) untuk suatu
provinsi, kota, kabupaten, maupun kecamatan.
Untuk mengatasi masalah tersebut disarankan
agar diterapkan penyesuaian (adjustment) estimasi
prevalensi kasus TB yang digunakan sebagai target
CDR di tingkat kota, kabupaten, maupun kecamatan.
Sebagai contoh, banyak analisis menunjukkan,
tingkat pendapatan penduduk, kepadatan penduduk,
kondisi lingkungan pemukiman, dan infeksi HIV/
AIDS di suatu wilayah merupakan faktor risiko TB.
Karena itu estimasi kasus TB dapat disesuaikan
menurut variabel tersebut. Dengan angka korekasi
(penyesuaian) tersebut maka provinsi/ kota/
kabupaten/ kecamatan yang penduduknya memiliki
tingkat pendapatan lebih tinggi, kepadatan
penduduk lebih rendah, lingkungan pemukiman
lebih bersih, dan insidensi infeksi HIV/ AIDS,
memiliki estimasi prevalensi kasus TB yang lebih
rendah daripada provinsi/ kota/ kabupaten/
kecamatan yang penduduknya memiliki tingkat
pendapatan lebih rendah, kepadatan penduduk lebih
203
205
206
DAFTAR PUSTAKA
USAID (2008). Infectious disease. www.usaid.gov.
Diakses April 2010.
DepKes (2008). Pedoman nasional penanggulangan
tuberkulosis. Edisi ke 2. Jakarta: DepKes RI.
Dye C, Watt CJ, Bleed DM, Hosseini SM, Raviglione
MC (2005). Evolution of tuberculosis control
and prospects for reducing tuberculosis
incidence, prevalence, and deaths globally.
JAMA, 293:2767-2775.
208