You are on page 1of 276

STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN

TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA


(STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG)

TRI HARIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI
Dengan

ini

saya

menyatakan

bahwa

disertasi

Strategi

Integrasi

Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di


Teluk Lampung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2009

Tri Hariyanto
NRP C561030204

ABSTRACT
TRI HARIYANTO. 2009. Integrating Strategy on Development of Capture
Fisheries and Aquaculture (Case Study in Lampung Bay). Under supervision of
MULYONO S. BASKORO, JOHN HALUAN, BUDHI HASCARYO ISKANDAR
The objectives of this study were to asses the feasibility and development
strategy for capture fisheries based on marine culture and described as follows:
(1) to identify and formulate selection methods for potencial commodities for
capture fisheries base on marine culture as well as financial feasibility, (2) to
determinate development priority, (3) to arrange the development strategy and
empowerment technique of institution in capture fisheries based on marine
culture, and (4) to formulate an alternative development model for capture
fisheries based on decisin support system (DSS).
Development system was designed in decision support system based on
computer program package called as CAP-AQUADEV. Potency of fish resources
was carried out using descriptive survey method. Compatible land was carried
out by weighted Selection of priority potencial commodity and determination of
ideal fishing gear were performed using OWA method. Criteria applied to find out
feasibility level were NPV, Net B/C, and IRR. Strategy anlysis performed using
AHP method. Analysis of element interrelationship using ISM method.
Verification of the DSS CAP-AQUADEV in South Lampung Province
showed that South Lampung Province, in term of marine fish resources was
declining. Ideal fishing gear was fish trap. Potential commodity for capture
fisheries based on marine culture was snapper. In term of financial perspective,
those marine culture was suitable for condition and potency of development area
and feasible to be implemented. Strategic analysis informed that development of
capture fisheries based on marine culture was optimization the use of fish
resources and marine culture. Determinative factors in development of capture
fisheries based on marine culture were information about marine culture activity,
infrastructure which support development of capture fisheries based on marine
culture, and interrelationship. Meanwhile, the objective of capture fisheries based
on marine culture development should be directed to increase fish production,
local goverment income, and increase economic growth. The key elements of the
players in development capture fisheries based on marine culture were fisherman
of capture fisheries, fisherman of marine culture, and society. Bureaucracy
amenity was the key elements of program requirement. Investment fund was the
key elements for development constrain. The measure of the achievement was
increasing amount and income of marine culture fisherman. Increasing
investment was the key element of development program. Activities needed for
action plan was coordination among sectors. Increasing fisherman income was
key element of development succes. The key elements of change program was
increasing income of marine culture fisherman. Fisherman of capture fisheries
and marine culture were the key element of consumer elements.
Keywords: capture fisheries, marine culture, ideal fishing gear, potential
commodity, feasibility, strategy, interrelationship, CAP-AQUADEV

RINGKASAN
TRI HARIYANTO. 2009. Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap
dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung). Dibimbing oleh
MULYONO S. BASKORO, JOHN HALUAN DAN BUDHI HASCARYO
ISKANDAR.
Prospek pengembangan perikanan di Indonesia cukup baik, mengingat
sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh laut dengan segala kekayaan
yang terkandung di dalamnya. Produksi perikanan laut dari hasil penangkapan
tidak mungkin terus menerus diandalkan, mengingat makin menurunnya kualitas
sumber daya alam (SDA). Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka
meningkatkan produksi perikanan laut yaitu melalui kegiatan usaha budidaya.
Oleh sebab itu, sosok integrasi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang
hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan tangkap dan budidaya yang
mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan,
berkeadilan, dan berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan. Secara khusus
tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) menganalisis potensi SDI,
(2) menganalisis kesesuaian lahan pada wilayah pengembangan, (3)
menganalisis teknologi penangkapan ikan yang ideal, (4) mengidentifikasi dan
merumuskan cara pemilihan komoditas potensial, serta kelayakan usahanya, (5)
menyusun prioritas pengembangan, (6) menyusun strategi pengembangan dan
cara pemberdayaan kelembagaan, dan (7) mengembangkan model
pengembangan perikanan tangkap berbasis Sistem Penunjang Keputusan
(SPK).
Sistem pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budiaya yang
terintergasi dirancang dalam statu program komputer dengan nama CAPAQUADEV. Sub model potensi SDI dilakukan secara survei deskriptif, sub model
kesesuaian lahan dilakukan dengan analisis kesesuaian lahan, sub model
pemilihan teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial dirumuskan
dengan ordered weighted averaging (OWA), sub model kelayakan dirumuskan
dengan kriteria net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan
internal rate of return (IRR), sub model strategi dirumuskan dengan metode
analytical hierarchy process (AHP), dan sub model kelembagaan dirumuskan
dengan metode interpretative structural modelling (ISM).
Berdasarkan verifikasi model CAP-AQUADEV di Lampung Selatan, sub
model potensi SDI menunjukkan adanya peningkatan trend Catch Per Unit Effort
(CPUE).
Berdasarkan analisis pada sub model kesesuaian lahan diketahui bahwa
pada dasarnya lahan perairan yang ada menunjukkan punya potensi untuk
dikembangkan dan layak untuk kegiatan budidaya ikan
Berdasarkan analisis pada sub model pemilihan diketahui bahwa teknologi
penangkapan ikan yang ideal untuk dikembangkan di Lampung Selatan adalah
alat tangkap bubu, sedangkan komoditas potensial terpilih adalah ikan kerapu.
Berdasarkan analisis strategi (sub model strategi) diketahui bahwa
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya diprioritaskan untuk
optimalisasi dalam pemanfaatan potensi SDI dan budidaya laut. Pada analisis ini
diketahui pula bahwa faktor determinatif dalam pengembangan perikanan
tangkap berbasis budidaya yaitu informasi mengenai kegiatan budidaya laut,
sarana dan prasarana yang menunjang pengembangan perikanan budidaya laut,

dan kelembagaan. Sedangkan tujuan pengembangan perikanan tangkap


berbasis budidaya harus diarahkan pada peningkatan produksi ikan, peningkatan
pendapatan daerah, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pada analisis keterkaitan antar elemen dalam pengembangan perikanan
tangkap berbasis budidaya (sub model kelembagaan) diketahui bahwa pelaku
yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong
pengembangan adalah nelayan, pembudidaya, dan masyarakat. Kemudahan
birokrasi merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi
untuk mendorong perkembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Untuk
pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur kunci
adalah peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya. Aktivitas
kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan
adalah koordinasi antar sektor. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya
merupakan elemen kunci dalam keberhasilan pengembangan. Tujuan kunci dari
program pengembangan adalah peningkatan investasi. Peningkatan pendapatan
nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dari elemen perubahan.
Keterbatasan modal merupakan unsur kunci dari kendala pengembangan yang
harus diatasi. Nelayan dan pembudidaya merupakan unsur kunci dari unsur
pengguna.
Model konseptual dalam sistem pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya ini dapat digunakan sebagai acuan pertimbangan kebijakan
bagi para pengambil keputusan baik dilingkungan pemerintah daerah maupun
pelaku usaha untuk mengembangkan perikanan tangkap berbasis budidaya.
Keluaran hasil penelitian ini diharapkan akan mempermudah tahapan proses
pengambilan keputusan secara transparan dan mudah ditelusuri sistematika
ilmiahnya, khususnya untuk membuat prioritas pilihan kebijakan dalam
menentukan teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial daerah serta
strategi pengembangannya, determinasi elemen penting dalam pengembangan,
serta membuat analisis kelayakan dan resiko usaha terkait. Selain itu, metodologi
dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti
selanjutnya.
Kata kunci : perikanan tangkap, perikanan budidaya, alat penangkapan ikan,
komoditas potensial, kelayakan, strategi, integrasi, CAP-AQUADEV

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009


Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN


PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA
(STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG)

TRI HARIYANTO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi

: Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan


Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung )

Nama

: Tri Hariyanto

NIM

: C 561030204

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.


Ketua

Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si.


Anggota

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.


Anggota

Mengetahui
Program Studi Teknologi Kelautan,
Ketua

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

Tanggal Ujian : 28 Desember 2009

Tanggal Lulus :

Disertasi ini kami persembahkan kepada :


Kedua orang tuaku Drs Aris Moenandar dan Sih Kasanah (Alm)
yang telah mendidik, membimbing dan membesarkan serta menyayangi kami
Kedua mertua tercinta Soekro Poerwodipoero (Alm) dan Buntarijah Soekro
Isteri tercinta : Rr Rita Kunsidiarti, anak-anakku tersayang : Adhyaksa
Saktika Drestanto, Anindita Fitria Listyanti dan Adhyastantio Satria
Dewanto, yang selalu memberikan dorongan dan spirit dalam
menyelesaikan studi dan bekerja.

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat,
karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul Strategi Integrasi Pengembangan
Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung) ini
berhasil diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Institut
Pertanian Bogor, dan sebagai bagian dari upaya memberikan konstribusi bagi
pembangunan perikanan khususnya untuk Kabupaten Lampung Selatan. Penulis
dapat mengikuti pendidikan sampai S3 dan menyelesaikan disertasi pada
Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB ini, atas jasa serta doa dari
ayahanda Drs. Aris Moenandar dan ibunda Sih Kasanah (almh) yang paling
penulis hormati, serta isteri tercinta Rr Rita Kunsidiarti. .
Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, MSi
selaku Anggota Komisi Pembimbing Disertasi;
2. Prof Dr Ir Indra Jaya, M.Sc., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
yang mewakili Rektor IPB pada Ujian Terbuka;
3. Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Wakil Dekan yang mewakili Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan;
4. Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc., selaku Ketua Program Studi Teknologi
Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB;
5. Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc., dan Dr. Ir. M, Fedi A. Sondita, MSc.. selaku
penguji luar pada Ujian Tertutup;
6. Dr. Ir. Made L Nurdjana,. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;
7. Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;
8. Profesor (Emeritus) Dr. Ir. Daniel R. Monintja, yang selalu memberikan
dorongan semangat sejak penulis mengikuti program studi

S3 Teknologi

Kelautan IPB;
Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
atas dukungannya dalam penyelesaian disertasi ini, kepada :
1. Dr. Ir. M. Murdjani, MSc. Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut,
Lampung.

2. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Propinsi Lampung;


3. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan;
4. Dr. Agus Suherman, SPi, MSi, Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro Semarang
5. Teman-teman seangkatan dan teman-teman dari Sekretariat Pascasarjana
IPB, khususnya Pak Jayana, Mbak Shinta, Mbak Hani, Mas Iwan dan lainlainnya dalam membantu penyelesaian administrative perkuliahan dan
disertasi ini;
6. Teman-teman se kantor khusus pada Rifki, Wahid, Andi dan Erie Suhaeri
yang selalu membantu dalam penelitian dan penyelesaian disertasi ini;
7. Semua

pihak

yang

telah

membantu

dalam

penyelesaian

disertasi

Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan, IPB.


Penulis berharap, disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya
penentu kebijakan dan pelaku perikanan khususnya di daerah penelitian yaitu
Kabupaten Lampung Selatan, penentu kebijakan dan pengambil keputusan di
bidang perikanan
Semoga pendidikan yang telah penulis jalani dan disertasi ini menjadi
contoh dan penyemangat bagi anak-anakku tersayang yaitu : Adhyaksa Saktika
Drestanto, Anindita Fitria Listyanti dan Adhyastantio Satria Dewanto dan
generasi penerus lainnya untuk mencapai jenjang pendidikan yang tertinggi.

Bogor,

Desember 2009

Tri Hariyanto

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 02 Desember
1958 dari ayah Drs. Aris Moenandar dan ibu Sih Kasanah. Penulis merupakan
putra ke 3 dari 7 bersaudara.
Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis
Peterongan I

pada Sekolah Dasar

di Semarang pada tahun 1971 dan penulis melanjutkan pada

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II di Semarang dan diselesaikan


pada tahun 1974. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan penulis pada tahun
1977 pada SMA Negeri III-IV di Semarang.
Penulis melanjutkan pandidikan tinggi mengambil jurusan Perikanan pada
Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Diponegoro dan diselesaikan
pada tahun 1984.

Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 dan

mengambil jurusan Manajemen Sumberdaya Manusia pada Fakultas Ekonomi,


Universitas Trisakti, Jakarta, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2003 penulis
melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi
Teknologi Kelautan.
Pada bulan Juli 1988, penulis menikah dengan Rr. Rita Kunsidiarti dan
dikarunia 3 putra, yaitu : Adhyaksa Saktika Drestanto, mahasiswa jurusan Ilmu
Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip, Anindita Fitria
Listyanti, mahasiswa jurusan Psikologi pada Fakultas Psikologi Undip dan
Adhyastantio Satria Dewanto yang masih di kelas I SMP.
Penulis mulai bekerja pada Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen
Pertanian pada tahun 1985 sebagai staff teknis pada Direktorat Penyuluhan.
Selama bekerja pada Direktorat Penyuluhan penulis pernah mengikuti berbagai
pendidikan dan pelatihan dalam bidang penyuluhan. Pada tahun 1999 penulis
diangkat menjadi Kepala Sub Direktorat pada Direktorat Perbenihan, Ditjen
Perikanan, disini penulis juga mendapatkan pendidikan dan pelatihan di bidang
perbenihan diantaranya di Philippina, Thailand

dan China. Pada tahun yang

sama terjadi reorganisasi pada Departemen Kelautan dan Perikanan, penulis di


mutasi pada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya sampai dengan sekarang
dan pada tahun 2008 penulis mendapat kepercayaan dari pimpinan untuk
menjabat sebagai

Direktur pada Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan,

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan.


Selama di Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan penulis ikut berbagai

pertemuan internasional diantaranya COFI (Committee on Fisheries) di Roma,


NACA di Thailand dan APFIC (Asia Pacific Fisheries Committee) di Colombo.
Pada tanggal 3 Desember 2009 yang lalu penulis mendapat jabatan baru dan
telah dilantik menjadi Direktur Usaha Budidaya, Ditjen Perikanan Budidaya,
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Berbagai penghargaan yang penulis dapatkan diantaranya pemenang
lomba lukis, pemenang Lomba Kartun di Semarang, pameran karikatur di
Semarang, pemenang lomba logo ISPIKANI (Ikatan Sarjana Perikanan
Indonesia) yang digunakan sebagai logo ISPIKANI sampai dengan sekarang dan
mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 dan 20 tahun dari
Presiden RI.

Bogor,

Desember 2009

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii
1

PENDAHULUAN .........................................................................................
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7

Latar Belakang ....................................................................................


Perumusan Masalah............................................................................
Kerangka Pemikiran ............................................................................
Tujuan Penelitian .................................................................................
Manfaat Penelitian ...............................................................................
Ruang Lingkup Penelitian....................................................................
Hipotesis ..............................................................................................

Potensi dan Aktualisasi Perikanan Tangkap ......................................


Potensi dan Aktualisasi Perikanan Budidaya .....................................
Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya ....................
Teori Sistem ........................................................................................
2.4.1 Pengertian sistem .......................................................................
2.4.2 Sistem manajemen ahli ..............................................................
2.4.3 Sistem penunjang keputusan .....................................................
2.4.4 Sistem pakar...............................................................................
2.5 Penelitian Terdahulu............................................................................

17
20
24
32
32
34
36
38
41

METODOLOGI ............................................................................................ 43
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5

Waktu dan Tempat Penelitian..............................................................


Tahap Penelitian .................................................................................
Metoda Pengumpulan Data .................................................................
Metode Pengolahan Data ...................................................................
Pendekatan Sistem..............................................................................
3.5.1 Analisis kebutuhan....................................................................
3.5.2 Formulasi permasalahan ..........................................................
3.5.3 Identifikasi sistem .....................................................................
3.6 Konfigurasi Model ................................................................................
3.6.1 Sistem manajemen dialog ........................................................
3.6.2 Sistem manajemen basis data..................................................
3.6.3 Sistem manajemen basis model ...............................................
3.6.4 Sistem pengelolaan terpusat ....................................................
3.7 Model CAP-AQUADEV .......................................................................
4

1
10
13
15
15
16
16

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 17


2.1
2.2
2.3
2.4

43
43
44
45
59
59
62
63
66
67
68
68
68
68

HASIL .......................................................................................................... 70
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................................
4.1.1 Letak geografis dan topografis...................................................
4.1.2 Demografii..................................................................................
4.1.3 Kondisi perikanan ......................................................................
4.2 Perikanan Tangkap..............................................................................
4.2.1 Produksi perikanan .....................................................................
4.2.2 Perkembangan jumlah alat tangkap ...........................................

70
70
74
75
79
80
80

4.2.3 Kapal penangkap ikan ................................................................ 81


4.3 Perikanan Budidaya Laut..................................................................... 82
4.4 Model CAP-AQUADEV ........................................................................ 84
4.4.1 Potensi sumberdaya ikan .......................................................... 84
4.4.2 Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba jaring apung
(KJA) .......................................................................................... 95
4.4.3 Pemilihan teknologi penangkapan ikan ..................................... 98
4.4.4 Pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap
berbasis budidaya ..................................................................... 100
4.4.5 Kelayakan investasi ................................................................... 102
4.4.6 Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.................................................................... 103
4.4.7 Kelembagaan............................................................................. 106
5

PEMBAHASAN ............................................................................................ 123


5.1 Kondisi Perikanan Tangkap ................................................................. 123
5.2 Perikanan Budidaya Laut..................................................................... 125
5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Perikanan
Budidaya .............................................................................................. 128
5.4 Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan
Tangkap dan Perikanan Budidaya ....................................................... 129
5.4.1 Sub model potensi ...................................................................... 129
5.4.2 Sub model kesesuaian lahan ...................................................... 137
5.4.3 Sub model pemilihan .................................................................. 139
5.4.4 Sub model kelayakan ................................................................. 141
5.4.5 Sub model strategi ...................................................................... 142
5.4.6 Sub model kelembagaan ............................................................ 146

KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 148


6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 148
6.2 Saran ................................................................................................... 149

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 151


LAMPIRAN ........................................................................................................ 158

xii

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Matrik pengambilan dan analisa data penelitian ......................................

45

Nilai skala banding berpasangan .............................................................

55

Matriks elemen .........................................................................................

55

Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matriks normalisasi dan vektor


prioritas .....................................................................................................

56

Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15 ........................................

57

Kondisi kependudukan Kabupaten Lampung Selatan .............................

74

Banyaknya penduduk usia sekolah di Kecamatan Pesisir Kab.


Lampung Selatan tahun 2007 .................................................................

75

Gambaran potensi, pemanfaatan dan produksi perikanan dari berbagai


kagiatan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 ..............................

76

Perkembangan pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Lampung


Selatan tahun 2006-2007 .........................................................................

77

10 Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan


tahun 2006-2007 ......................................................................................

77

11 Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan ...................................

78

12 Perkembangan RTP perikanan dan penyerapan tenaga kerja perikanan


di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998-1999 ..................................

79

13 Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan tahun


2006 ..........................................................................................................

81

14 Perkembangan produksi budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan .

82

15 Perkembangan RTP budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan .......

83

16 Perkembangan jumlah benih yang ditanam pada budidaya laut di


Kabupaten Lampung Selatan ...................................................................

83

17 Perkembangan produksi kerapu dan rumput laut pada budidaya laut di


Kabupaten Lampung Selatan ...................................................................

83

18 Perhitungan CPUE selama tahun 2001-2007 ..........................................

84

19 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Lampung


Selatan .....................................................................................................

85

20 Catch, Effort dan CPUE ikan demersal ....................................................

85

21 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung ......

87

22 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Lampung
Selatan .....................................................................................................

87

23 Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis kecil ...............................................

88

24 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung .

90

25 Jenis dan jumlah alat tangkap crustacea di Kabupaten Lampung


Selatan .....................................................................................................

90

8
9

xiii

26 Catch, Effort dan MSY crustacea .............................................................

91

27 Tingkat pemanfaatan crustacea ...............................................................

92

28 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan lainnya di Teluk Lampung ................

93

29 Catch, Effort dan MSY ikan lainnya di Teluk Lampung ...........................

93

30 Tingkat pemanfaatan perikanan lainnya di Teluk Lampung ....................

95

31 Hasil penilaian kelayakan kesesuaian lahan ............................................

96

32 Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan


selama kurun waktu 2002-2006 ...............................................................

99

33 Bobot kriteria pemilihan teknologi penangkapan ikan ..............................

99

34 Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Kabupaten Lampung


Selatan ..................................................................................................... 100
35 Bobot kriteria pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap
berbasis budidaya laut .............................................................................. 101
36 Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di
Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 ................ 102
37 Skala prioritas komoditas potensial terpilih di Kabupaten Lampung
Selatan ..................................................................................................... 102
38 Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan .................................. 103

xiv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan untuk


memenuhi kebutuhan konsumen .............................................................

Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap ...................

Skema pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya .....................

Diagram alir perumusan masalah penelitian ............................................

13

Teknik-teknik pendukung sistem manajemen ahli ....................................

35

Struktur sistem manajemen ahli ...............................................................

36

Struktur dasar sistem penunjang keputusan ...........................................

37

Struktur dasar sistem pakar ......................................................................

39

Bagan alir proses penelitian .....................................................................

44

10 Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perikanan tangkap


berbasis budidaya ....................................................................................

64

11 Diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan


tangkap dan perikanan budidaya .............................................................

65

12 Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan integrasi


pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ...................

67

13 Perkembangan produksi ikan di kabupaten lampung selatan selama


kurun waktu 2002-2006 ............................................................................

80

14 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 2002-2006 ......

81

15 Daerah penangkapan ikan di Teluk Lampung ..........................................

82

16 Perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007 ...........................

84

17 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung ....

86

18 Tren produksi dan effort ikan demersal di Teluk Lampung ......................

86

19 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk


Lampung...................................................................................................

89

20 Tren produksi dan effort ikan pelagis di Teluk Lampung ..........................

89

21 Kurva produksi lestari sumberdaya crustacea di Teluk Lampung ...........

91

22 Tren produksi dan effort crustacea di Teluk Lampung .............................

92

23 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung ........

94

24 Tren produksi dan effort ikan lainnya di Teluk Lampung ..........................

94

25 Peta sebaran alternatif lokasi pengembangan perikanan budidaya


di Teluk Lampung .....................................................................................

96

26 Grafik parameter DO, suhu, pH, salinitas dan TOM di beberapa lokasi
budidaya di Teluk Lampung .....................................................................

97

27 Grafik parameter kelarutan senyawa nitrogen (DIN) dan total bahan


organik (TOM) di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung ...............

98

xv

28 Hasil analisis strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan


perikanan budidaya .................................................................................. 104
29 Hirarki elemen sektor pengguna yang terpengaruh dari integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 107
30 Grafik driver power dependence untuk elemen pengguna yang
terpengaruh dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya ................................................................................................... 108
31 Hirarki elemen kebutuhan yang terpengaruh dari pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 109
32 Grafik driver power dependence untuk elemen kebutuhan untuk
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................. 110
33 Hirarki elemen kendala dalam pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya .................................................................................. 111
34 Grafik driver power dependence kendala dalam pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 111
35 Hirarki elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 112
36 Grafik driver power dependence elemen perubahan yang mungkin
terjadi dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya 113
37 Hirarki elemen tujuan dari program pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya ........................................................................... 114
38 Grafik driver power dependence elemen tujuan pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................ 115
39 Hirarki elemen keberhasilan pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya .................................................................................. 115
40 Grafik driver power dependence keberhasilan pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 116
41 Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 117
42 Grafik driver power dependence aktivitas yang dibutuhkan guna
perencanaan tindakan dalam pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya .................................................................................. 118
43 Hirarki elemen pelaku pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya .................................................................................. 119
44 Grafik driver power dependence pelaku pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya ............................................................. 119
45 Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 120
46 Grafik driver power dependence untuk pencapaian tujuan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 121
47 Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan ......... 130
48 Tren produksi dan effort perikanan tangkap di Provinsi Lampung ........... 130

xvi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Produksi ikan demersal, jumlah unit penangkapan dan trip operasi
penangkapan ikan di Teluk Lampung...................................................... 158
2 Produksi ikan demersal, trip produksi dan CPUE yang sudah
distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 160
3 Produksi ikan pelagis, jumlah unit penangkapan dan trip operasi
penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 162
4 Produksi ikan pelagis, trip produksi dan CPUE yang sudah
distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 165
5

Produksi crustacea, jumlah unit penangkapan dan trip operasi


penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 168

6 Produksi crustacea, trip produksi dan CPUE yang sudah


distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 169
7

Produksi ikan lainnya, jumlah unit penangkapan dan trip operasi


penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 171

8 Produksi ikan lainnya, trip produksi dan CPUE yang sudah


distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 172
9 Analisis keseuaian lokasi budidaya laut dengan karamba jaring apung . 174
10 Pemilihan teknologi penangkapan ikan................................................... 176
11 Pemilihan komoditas potensial................................................................ 183
12 Analisis finansial budidaya udang vaname sederhana ........................... 190
13 Analisis finansial budidaya udang vaname semi intensif ........................ 193
14 Analisis finansial budidaya udang vaname intensif ................................. 196
15 Analisis finansial budidaya udang windu sederhana............................... 199
16 Analisis finansial budidaya udang windu semi intensif ............................ 202
17 Analisis finansial budidaya udang windu intensif .................................... 205
18 Analisis finansial budidaya rumput laut ................................................... 208
19 Analisis finansial budidaya kerapu macan .............................................. 211
20 Analisis finansial budidaya bandeng ....................................................... 214
21 Analisis finansial pancing rawai .............................................................. 217
22 Analisis finansial pancing ulur ................................................................. 218
23 Analisis finansial jaring lingkar (pure seine) ............................................ 219
24 Analisis finansial jaring insang (gill net) .................................................. 220
25 Analisis Kelembagaan dengan ISM ...................................................... 221
26 Gambar dokumentasi Penelitian ............................................................. 241
27 Ilustrasi program CAP-AQUADEV .......................................................... 250
28 Surat Keterangan ................................................................................... 251

DAFTAR ISTILAH
Analisis kebutuhan

Merupakan permulaan pengkajian dari suatu system,


menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari
seorang pengembil keputusan terhadap jalannya system,
dan dapat meliputi hasil suatu survey, pendapat ahli,
diskusi, observasi lapang dan sebagainya.

Analytical
Hierarchy Process
(AHP)

Metode yang digunakan dalam proses pengambilan


keputusan suatu masalah disederhanakan dalam suatu
kerangka
berpikir
yang
terorganisir,
sehingga
memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif
atas masalah tersebut.

Berkelanjutan

Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di mana


laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju
pemulihan sumber daya tersebut.

CAP-AQUADEV

Perangkat lunak computer yang dapat digunakan untuk


perencanaan pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi
penulis di Email: hariyanto003@yahoo.com

CPUE

Catch Per Unit Effort, yaitu hasil tangkapan per satuan


upaya, indeks kelimpahan.

Consistency Ratio
(CR)

Merupakan parameter yang digunakan dalam teknik AHP


untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah
dilakukan dengan konsekuen atau tidak.

Decision Support
System (DSS)

System Penunjang Keputusan (SPK), yaitu system yang


berfungsi mentransformasi data dan informasi menjadi
alternative keputusan dan prioritasnya. DSS bermanfaat
membantu pengembilan keputusan secara interaktif.

Expert (ahli)

Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan


pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.

Input

Indicator masukan, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan


agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk
menghasilkan keluaran.

Internal Rate of
Return (IRR)

Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present


value sama dengan nol.

Interpretative
Structural Modeling
(ISM)

Teknik permodelan interpretasi struktural, yaitu salah satu


teknik permodelan berbasis komputer yang dikembangkan
untuk perencanaan kebijakan strategis yang merupakan
proses pengkajian kelompok (group learning precess) di
mana model-model struktural dihasilkan guna memotret
perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang

Kapal Perikanan

dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis


serta kalimat.
Kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan
untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan
ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian
atau eksplorasi perikanan.

MSY

Maximum sustainable yield, yaitu produksi maksimum


berkelanjutan secara biologi, jumlah suatu hasil tangkapan
maksimum yang dapat dipanen dari suatu sumber daya
ikan tanpa mengganggu kelestariannya.

Nelayan

Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam


operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau
tanaman air.

Net Benefit Cost


Ratio (Net B/C)

Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total


biaya produksi.

Net Present Value Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai
(NPV)
sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.
Output

Indicator keluaran, yaitu sesuatu yang diharapkan langsung


dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik
atau non fisik.

Pendekatan sistem

Suatu
pendekatan
analisis
organisatoris
yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis.
Dengan demikian manajemen system dapat diterapkan
dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai cirri
dasar system yang perubahan dan gerakannya akan
mempengaruhi keberhasilan suatu system.

Pengembangan

Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada


sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu
kemajuan.

Perikanan

Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan


dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perikanan.

Perikanan
Tangkap

Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak


dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa
pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat,
mengangkut,
menyimpan,
mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

System Informasi
Manajemen

Merupakan system yang berfungsi untuk menyediakan


informasi yang efektif dan efisien bagi pihak manajemen
dalam rangka memperlancar pelaksanaan fungsinya.

Sistem Manajemen
Basis Data

Merupakan komponen SPK yang mempunyai tiga fungsi


utama, yaitu sebagai penyimpanan data dalam basis data,
menerima dan memperbaharui data dari basis data, dan
sebagai pengendali atau pengelola basis data.

Sistem Manajemen
Basis Model

Merupakan komponen SPK yang mempunyai empat fungsi


pokok, yaitu sebagai perancang model, sebagai perancang
format keluaran model (laporan-laporan), untuk merubah,
memperbarui model dan untuk memanipulasi data. Pada
intinya, system manajemen basis model memberikan
fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasikan
pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang
tergabung dalam permodelan SPK.

Sistem Manajemen
Dialog

Merupakan komponen SPK yang pberfungsi untuk


berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utama sistem
manajemen sialog adalah menerima masukan dan
memberiukan keluaran yang dikehendaki pengguna.

Software

Serangkaian program, prosedur dan kemungkinan


dokumen tertentu yang berhubungan dengan operasi
sistem pengolahan data, software atau piranti lunak
mencakup compiler, library routines, dan lain-lain.

Sumber Daya Ikan

Potensi semua jenis ikan.

1
1.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara Samudera

Hindia dan Pasifik. Negara ini mempunyai 17.504 pulau-pulau dengan luas
sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Panjang garis pantai Indonesia adalah sekitar
81.000 kilometer. Sekitar dua pertiga negara ini terdiri dari perairan laut.
Perairan Indonesia yang luas ini merupakan sumber daya kelautan dan
perikanan yang sangat besar. Lebih dari 10.000 spesies fauna dan flora tropis
hidup di perairan ini.
Pada tahun 1960-an, pada saat seluruh stakeholder perikanan sepakat
menyatakan bahwa potensi perikanan laut Indonesia sangat melimpah, ternyata
pernyataan tersebut didukung oleh data statistik perikanan tahun 1974. Produksi
perikanan tangkap Indonesia pada tahun 1960 baru 410.043 ton dan naik
722.512 ton pada tahun 1968. Jadi hasil tangkapan tersebut hanya 6,6% (1960)
dan 11,6% (1968) dari maximum sustainable yield (MSY) yang besarnya 6,2 juta
ton. Saat itu dinyatakan bahwa ikan perairan laut Indonesia masih melimpah.
Jumlah nelayan baru 870.137 orang pada tahun 1968 dan bahkan menurun
menjadi 841.627 orang pada tahun 1970, yang selanjutnya naik kembali menjadi
854.000 orang pada tahun 1973. Namun demikian pada tahun 2004 produksi
perikanan tangkap telah mencapai 4,5 juta ton atau telah dimanfaatkan sekitar
70,31% (Barani, 2005). Berdasarkan kondisi ini, perlu ada suatu upaya untuk
mempertahankan potensi sumber daya ikan (SDI) agar tidak terjadi overfishing.
Penangkapan berlebih atau overfishing sudah menjadi kenyataan pada
berbagai perikanan tangkap di dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia
(FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh,
dan mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa hanya 25% dari sumber
daya yang masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002). Total
produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5% lebih rendah
dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak termasuk Cina, karena unsur
ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Apabila sumber daya
perikanan mengalami penurunan, maka stok ikan membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian
penangkapan.

Produksi perikanan tangkap di laut dan perairan umum daratan Indonesia


menunjukkan kecenderungan yang stagnasi. Dari total produksi perikanan
Indonesia, usaha perikanan tangkap masih memberikan sumbangan produksi
yang terbesar yaitu sekitar 76,0%, sedangkan sisanya berasal dari usaha
perikanan budidaya. Stagnasi produksi perikanan tangkap Indonesia terutama
disebabkan oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang melebihi daya dukungnya,
penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungan
khususnya di kawasan pemijahan dan asuhan ikan, serta kerusakan lingkungan
perairan yang diakibatkan oleh pencemaran.
Evaluasi tingkat pemanfaatan empat kelompok sumberdaya ikan yang
berada di WPP-RI yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya
Ikan pada tahun 2006 berdasarkan hasil riset BRKP menunjukkan bahwa dua
puluh satu stok/sub stok ikan atau sekitar 55,3% dari 38 stok/sub stok ikan telah
dimanfaatkan penuh bahkan sebagian ada yang telah melebihi daya dukungnya.
Sementara itu, sembilan stok/sub stok ikan atau sekitar 23,7% belum dapat
ditentukan tingkat pemanfaatannya karena data/informasi belum mencukupi,
sehingga hanya delapan stok/sub stok ikan (sekitar 21%) yang pemanfatannya
memungkinkan untuk ditingkatkan pada beberapa WPP tertentu (Nurhakim,
2007)
Selama kurun waktu 1960-2006, produksi perikanan tangkap di perairan
umum daratan berfluktuasi antara 228.571-364.875 ton dengan rata-rata 290.260
ton per tahun dan sejak tahun 1995 mengalami stagnasi malahan cenderung
menurun. Di perairan umum daratan, produksi perikanan tangkap yang stagnan
ini diduga karena pengelolaan sumber daya ikan belum dilakukan secara
rasional, di beberapa kawasan terjadi penangkapan ikan yang intensif dan caracara penangkapan yang merusak serta terjadinya degradasi lingkungan perairan.
Indikasi yang paling jelas dan mudah dilihat adalah hasil tangkapan yang terus
menurun, perubahan struktur populasi ikan dan ukuran individu ikan yang
semakin mengecil.
Dalam sektor perikanan budidaya (akuakultur) merupakan salah satu
kegiatan

produksi

selain

kegiatan

penangkapan

ikan

dan

pengolahan

(Gambar 1). Berbeda dengan penangkapan yang hanya memanen (berburu)


ikan dari alam (laut dan perairan umum, sungai, danau, rawa), dalam akuakultur
pemanenan ikan dilakukan setelah kegiatan penyiapan wadah (pemupukan,

pengapuran, dan pemberantasan hama) penebaran benih, pemberian pakan,


pengelolaan air, penanggulangan/pemberantasan hama dan penyakit, serta
pemantauan (sampling) pertumbuhan dan populasi (Effendi, 2004).

Perikanan

Perikanan Tangkap

Pengolahan

Akuakultur
(Perikanan Budidaya)

Konsumen

Gambar 1.

Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan


untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Effendi, 2004).

Produk akuakultur bisa langsung dijual ke konsumen dalam bentuk hidup


dan segar atau diolah terlebih dahulu menjadi komoditas yang berbentuk
berbeda sama sekali, antara lain sosis, burger, dan baso ikan. Integrasi yang
kuat antara kegiatan akuakultur dan industri pengolahan biasanya menghasilkan
industri perikanan budidaya yang mantap, seperti budidaya ikan salmon dan lele
(catfish) di Amerika Serikat. Di Indonesia integrasi tersebut mulai terlihat dalam
industri budidaya patin dan ikan nila. Kedua ikan tersebut dibudidayakan hingga
mencapai ukuran 1 kg/ekor, dan kemudian di-fillet atau pemisahan daging dari
tulangnya (deboning) untuk dijadikan bahan baku industri makanan.
Selain itu, dewasa ini juga sudah banyak integrasi antara kegiatan
akuakultur dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking ikan di laut dan
perairan umum. Kegiatan restocking adalah menebar benih ikan di perairan
(danau, waduk, sungai, teluk, rawa) yang bertujuan meningkatkan stok (stock
enhancement) ikan di perairan tersebut dalam rangka konservasi dan menaikkan

pendapatan para pelaku perikanan tangkap (nelayan). Kegiatan ini dilakukan


secara reguler dan terus menerus dengan menggunakan benih yang dihasilkan
dari kegiatan akuakultur (pembenihan) (Effendi,2004).

Asosiasi/koperasi
nelayan

Akuakultur
(Pembenihan)

Gambar 2.

Perikanan Tangkap
(Nelayan)

Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap


(Effendi, 2004).

Di Jepang, negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Cina kegiatan


restoking sudah menjadi kegiatan komersial, bukan sekedar kegiatan konservasi
dan sosial. Kegiatan akuakultur (pembenihan) menjual benih kepada asosiasi,
koperasi nelayan atau pemerintah daerah yang melakukan restocking,
sementara nelayan melaporkan hasil tangkapannya untuk dikenai biaya (charge)
pembelian benih oleh asosiasi atau koperasi tersebut (Gambar 2). Perikanan
masa depan tampaknya akan banyak terjadi integrasi, baik antara akuakultur
dengan pengolahan maupun antara akuakultur dengan perikanan tangkap
ataupun integrasi ketiganya (Effendi, 2004).
Integrasi yang sudah dilakukan di masyarakat walaupun tidak disengaja
adalah perikanan tangkap berbasis budidaya, dimana benih yang dimasukkan ke
dalam perairan adalah benih yang tidak laku dijual maupun benih yang
produksinya berlebih. Banyak perusahaan pembenihan udang, kerapu, bandeng
yang produksinya berlebih secara sukarela melakukan stocking pada perairan
sekitarnya, walaupun masih mengabaikan kaidah restocking yang sebenarnya.

Gambar 3.

Skema pengelolaaan perikanan tangkap berbasis budidaya

Pada awal tahun 2000, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah


mencanangkan Culture Based Fisheries sebagai program utama yang bertujuan
untuk meningkatkan produktivitas pada suatu perairan dengan mengoptimalkan
peran serta masyarakat sebagai pengelola atau biasa disebut Community Based
Fisheries

Management.

Namun

demikian

keberhasilannya

masih

dapat

dikatakan jauh dari target yang diharapkan, sehingga perlu sosialisasi kepada
seluruh stakeholder tentang pentingnya pemahaman pengelolaan sumberdaya
perairan secara bersama. Menurut Jorgensen and Thompson (2007) Community
Based Fisheries Management adalah pemahaman tentang penjelasan suatu
bentuk pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan perairan dan perikanan
didasarkan oleh organisasi masyarakat lokal yang tergantung pada sumberdaya
tersebut. Menurut Nikijuluw (2002), bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan
berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian
wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola

sumberdaya

perikanannya

sendiri

dengan

terlebih

dahulu

mendefinisikan kebutuhan dan keinginannya, tujuan serta aspirasinya.


Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang cukup besar, berdasarkan
hitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi lahan kegiatan

budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan
budidaya laut tersebut terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke
ujung wilayah timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan
pada areal tersebut antara lain ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang,
kerang mutiara dan abalone serta rumput laut (Dahuri, 2002).
Lebih lanjut disebutkan oleh Nurdjana et al (1998) bahwa komoditas
unggulan budidaya laut yang layak untuk dikembangkan antara lain adalah ikan
kerapu, ikan kakap putih, tiram mutiara, kerang darah, abalone, rumput laut ikan
hias laut, kerang hijau, teripang, tiram dan lobster. Luas perairan yang potensial
untuk budidaya laut adalah 312.773 km2, yang terdiri dari perairan untuk
budidaya ikan kakap putih seluas 213.428 km2, ikan kerapu 40.913 km2, kerang
darah dan tiram 37.878 km2, teripang 5.159 km2, tiram mutiara dan abalone
4.286 km2, serta rumput laut 11.109 km2. Luasan ini dirasakan belum akurat.
Untuk keperluan up-dating, luasan tersebut dievaluasi menggunakan metoda
yang dianggap lebih akurat.
Kawasan budidaya laut secara garis besar terdiri dari dua zone kawasan.
Kawasan bagian laut mencakup daerah budidaya, daerah alur lalu lintas orang
dan barang serta daerah penyangga. Kawasan darat antara lain diperuntukan
bagi daerah perumahan, daerah usaha, daerah operasional serta sarana dan
prasarana. Lahan budidaya laut merupakan faktor penting bagi pengembangan
budidaya laut karena terkait dengan faktor biofisik lingkungan yang berkenaan
dengan ketersediaan areal untuk pengembangan sarana budidaya laut baik
secara fisik maupun kecocokan pemanfataannya.
Faktor-faktor yang mendukung integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya, antara lain adalah:
(1)

Lokasi geografis Indonesia yang strategis, yang memungkinkan akses jasa,


produk perikanan dan kelautan ke berbagai bagian dunia;

(2)

Kawasan perairan laut yang sangat luas, serta iklim tropik yang
memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut berbagai ikan dan jenis
kehidupan air lainnya;

(3)

Jumlah penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang relatif


banyak merupakan faktor pendukung pengembangan perikakan tangkap
berbasis budidaya;

(4)

Adanya sistem ekonomi terbuka yang telah memungkinkan keikutsertaan


negara dalam zona perdagangan bebas regional, sehingga menyediakan
peluang yang lebih besar untuk memasukkan produk perikanan Indonesia
ke pasar global dan regional;

(5)

Adanya sertifikasi sistem pengendalian mutu yang telah diakui masyarakat


dunia, sehingga dapat menjamin mutu produk perikanan Indonesia di pasar
ekspor;

(6)

Adanya peningkatan permintaan ikan yang merupakan hasil perubahan


kecenderungan dalam pola konsumsi makanan dunia. Sementara di pihak
lain, terjadi penurunan produksi ikan di negara-negara lain, sehingga
memperluas peluang Indonesia di pasar dunia.
Namun demikian, perkembangan pembangunan perikanan budidaya masih

dihadapkan pada berbagai kendala dan hambatan, baik yang bersifat eksternal
maupun internal, kendala tersebut antara lain adalah:
(1)

Adanya

globalisasi

perdagangan

dunia

yang

berdampak

terhadap

pemasaran produk perikanan, antara lain berupa:


-

Ekspor hasil perikanan yang semakin kompetitif.

Ketatnya persyaratan mutu yang diterapkan negara pengimpor.

Gencarnya isu lingkungan.

Tuntutan pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries


(CCRF).

(2)

Terbatasnya

peraturan

dan

perundang-undangan

yang

mengatur

pembangunan perikanan budidaya


(3)

Adanya ketidak-pastian dan ketidak-konsistenan dalam masalah penataan


ruang kawasan

(4)

Kurangnya upaya penegakan hukum yang berkaitan dengan budidaya


perikanan

(5)

Kurangnya akses pemasaran produk perikanan

(6)

Kurangnya prasarana pemasaran dan fasilitas pasca produksi yang


memadai

(7)

Belum memadainya teknologi yang tersedia untuk budidaya perikanan,

seperti teknologi penyediaan benih ikan laut


(8)

Lambatnya penyediaan data dan informasi di bidang perikanan tangkap


dan budidaya.

Hal ini sangat terkait erat dengan adanya keterbatasan

perangkat pendukung pengolahan data serta kualitas sumber daya


manusia (SDM) di bidang statistik perikanan
(9)

Belum memadainya sarana produksi untuk pengembangan perikanan


tangkap berbasis budidaya

(10) Kurangnya pengetahuan para nelayan dan pembudidaya ikan mengenai


kaidah integrasi perikanan tangkap dan budidaya
(11) Belum efektifnya kelembagaan penyuluhan di bidang perikanan tangkap
dan budidaya, sehingga aliran informasi dan teknologi perikanan tangkap
budidaya menjadi terhambat dan bahkan terputus
(12) Keterbatasan teknologi penangkapan ikan dan teknologi budidaya
(13) Mahalnya input produksi yang di impor
(14) Kurangnya

ketersediaan

aksesibilitas

kredit

untuk

kegiatan

usaha

penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan


(15) Kurangnya koordinasi dan sosialisasi program-program serta kegiatan
pembangunan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(16) Kurang kondusifnya faktor keamanan, sebagai akibat dari krisis ekonomi
yang berkepanjangan
Sumberdaya perairan Teluk Lampung telah dimanfaatkan untuk berbagai
kegiatan ekonomi masyarakat, di antaranya kegiatan penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pariwisata dan transportasi. Kegiatan penangkapan dan
pembudidayaan ikan adalah kegiatan ekonomi yang melibatkan sebagian besar
masyarakat

golongan

menengah

ke

bawah.

Kurangnya

pengetahuan,

terbatasnya keterampilan dan kemampuan manajemen usaha serta rendahnya


askses permodalan adalah permasalahan utama dalam pengembangan
masyarakat menengah ke bawah. Untuk itu diperlukan intervensi dan upaya
pemerintah serta didukung strategi yang efektif dalam pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya di Teluk Lampung.
Perairan Teluk Lampung merupakan daerah penangkapan ikan yang
produktif dan memungkinkan dilakukannya operasi penangkapan ikan dengan

berbagai alat dan metode penangkapan (DKP Lampung, 2003)

Kedalaman

perairan Teluk Lampung tidak terlalu dalam dan perairannya relative tenang,
nelayan dapat mengoperasikan berbagai jenis alat tangkap sesuai dengan jenis
ikan yang menjadi target operasi penangkapannya.
Nelayan dan pembudidaya di sekitar Teluk Lampung memiliki akses
langsung untuk memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada di perairan Teluk
Lampung. Nelayan Lampung dapat memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di
Teluk Lampung sedangkan pembudidaya dapat memanfaatkan perairan yang
memenuhi persyaratan teknis untuk pengembangan usaha budidaya laut dengan
mengembangan komoditas yang strategis di perairan tersebut.
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Selatan (2005), rumah
tangga perikanan laut Lampung Selatan terdiri dari 1.587 nelayan yang terdiri
dari 472 orang nelayan tanpa perahu, 715 orang nelayan perahu tanpa motor,
201 nelayan dengan kapal motor. Pembudidaya ikan terdiri dari budidaya laut
(442 orang), petambak (3.427 orang), budidaya air tawar (2.002 orang) dan mina
padi (108 orang). Produksi perikanan tangkap Kabupeten Lampung Selatan pada
tahun 2004 mencapai 25.867,6 ton, terdiri dari jenis ikan Peperek, manyung, ikan
biji nangka, kerapu, kakap, ikan kurisi, ikan ekor kuning, ikan kuro, teri, japuh ,
Lemuru, golok- golok/ parang- parang, Kembung , tenggiri, Layur, tongkol, dan
ikan lainnya.
Produksi perikanan budidaya laut di Lampung Selatan tahun 2006 adalah
1.569,28 ton atau naik 749,3 ton dari produksi tahun 2005. Produksi tahun 2006
tersebut terdiri atas kerapu bebek dan kerapu macan yang dihasilkan dari 264
RTP dengan 470 unit KJA. Unit KJA tersebut sebagian besar berlokasi di
Tanjung Putus dan Pulau Puhawang.
Usaha budidaya laut dengan KJA memerlukan modal usaha yang besar,
untuk

itu

pengembangan

perikanan

budidaya

perlu

dilakukan

secara

komprehensif dengan mempertimbangkan dan memperhatikan aspek-aspek


terkait. Faktor yang perlu diperhatikan tidak hanya menyangkut hal teknis akan
tetapi juga mencakup aspek sosial dan budaya. Berbagai masalah telah
teridentifikasi terkait dengan pengembangan perikanan budidaya di Teluk
Lampung, diantaranya: konflik penggunaan lahan dengan perikanan tangkap dan
transportasi, sedimentasi perairan akibat pembukaan lahan pesisir dan lahan
atas untuk berbagai kegiatan, serta ketidakteraturan penempatan dan tata letak

10

KJA di kawasan budidaya.


Memperhatikan
pengembangan

besarnya

perikanan

kendala

tangkap

dan

dan

permasalahan

perikanan

budidaya

terkait
maka

pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dijadikan alternatif


kegiatan ekonomi masyarakat yakni pengembangan kegiatan penangkapan ikan
di suatu kawasan dengan didukung penyediaan benih dari perikanan budidaya.
1.2

Perumusan Masalah
Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut berkembang seiring dengan

pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Intensitas pemanfaatan tersebut,


diiringi dengan penurunan mutu lingkungan akibat tekanan dari aktivitas di
daerah pesisir dan lahan atas. Kegiatan perikanan adalah salah satu kegiatan
yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut, terdiri atas perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan budidaya perairan payau (tambak)
sudah dimulai sejak zaman Majapahit dan Indonesia adalah bangsa pertama di
dunia yang mengembangkan usaha perikanan tambak (Schuster,1952 dalam
Dahuri, 2002), sehingga wajar bila Indonesia memiliki tambak yang sangat luas
yaitu sekitar 340.000 ha pada tahun 2001 (Ditjen Perikanan Budidaya, 2002).
Sementara itu, budidaya laut memang baru dimulai awal tahun 1980-an,
sehingga tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah. Banyak hasil yang
sudah dicapai dari hasil pembangunan perikanan budidaya laut dan payau
selama ini, namun demikian, produksi itu masih sangat kecil dibandingkan
dengan potensi yang kita miliki. Lebih dari itu, kegagalan panen karena
peledakan wabah penyakit, seperti white spot yang menyerang udang windu
dalam tambak pada awal 1999-an dan sampai sekarang pun belum terpecahkan
secara tuntas.
Oleh sebab itu, integrasi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang
hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan tangkap dan budidaya laut
yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan,
dan berkelanjutan. Untuk merealisasikan integrasi ini, maka pola pembangunan
perikanan tangkap dan budidaya seyogyanya berdasarkan pada: (1) potensi SDI,
(2) kesesuaian lahan dan peruntukannya untuk kegiatan perikanan budidaya, (3)
kelayakan usaha dan (4) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya selama ini.

11

(1)

Pembangunan Perikanan Tangkap Berkelanjutan


SDI adalah sumber daya renewable yang mampu berkembang biak

sehingga bisa diharapkan kelestariannya, sepanjang dilakukan pengelolaan yang


baik. Teknologi penangkapan modern termasuk cara pendeteksian ikan kini
berkembang sangat cepat dan penggunaan teknologi ini kalau tidak dikontrol
dapat membahayakan SDI itu sendiri.
Secara garis besar di dalam pengelolaan perikanan dalam proses
pengaturannya ditempuh dua kelompok metode yang mendasarkan kepada : (1)
input kontrol yaitu yang melakukan pengaturan terhadap faktor input (masukan)
perikanan, dan (2) output kontrol, pengaturan terhadap luaran (output) dari
perikanan. Pengaturan melalui input kontrol termasuk diantaranya pembatasan
jumlah alat tangkap atau kapal penangkap, penutupan musim tangkap dan
penutupan daerah tangkap pada periode tertentu. Pada prinsipnya input kontrol
mengatur faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masukan terhadap tingkat
eksploitasi. Sedangkan pengaturan melalui output kontrol dilakukan terhadap
hasil tangkapannya (output) misalnya dalam bentuk quota (jumlah hasil
tangkapan). Pengaturan semacam ini banyak dilakukan di daerah dingin,
sedangkan di daerah tropis pengaturan banyak berdasarkan kepada input
kontrol. Metode tersebut juga sering dikombinasikan dengan metode teknis,
misalnya saja di beberapa negara maju di daerah dingin, disamping ada
pengaturan kuota juga ada pengaturan ukuran mata jaring yang diberlakukan
terhadap alat tangkapnya.
(2)

Pembangunan Perikanan Budidaya Berbasis Wilayah dan Komoditas


Unggulan
Keragaman kondisi biofisik wilayah pesisir dan laut Indonesia yang begitu

tinggi berimplikasi pada kesesuaian (suitability) untuk pengembangan perikanan


budidaya dengan komoditas yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Komoditas perikanan yang dihasilkan oleh usaha perikanan budidaya ini
tidak hanya dimaksudkan untuk pasar global guna memperoleh devisa, tetapi
juga di dalam rangka memenuhi kebutuhan ikan (ketahanan pangan) dalam
negeri, sehingga rakyat menjadi semakin cerdas dan kuat. Komoditas unggulan
yang dimaksud di sini adalah komoditas-komoditas perikanan yang permintaan
(pasar) nya tinggi, baik pasar domestik maupun ekspor, atau harga jualnya
tinggi.

12

(3)

Penguatan dan Pengembangan Teknologi Perikanan Tangkap dan


Perikanan Budidaya.
Sampai saat ini teknologi yang digunakan untuk usaha budidaya laut di

Indonesia hanya sebatas pada jaring apung atau karamba laut (cage net),
sistem rakit, dan rakit dasar. Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah laut
yang bersifat semi tertutup serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi mangrove
dan terumbu karang, maka teknologi sea ranching dan sea farming seperti
yang berhasil diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang, Australia, dan
beberapa negara Pasifik Selatan, perlu diterapkan dengan beberapa
penyesuaian. Disamping itu selektifitas alat tangkap perlu juga dikembangkan
dalam rangka mempertahankan keseimbangan populasi yang ada.

(4)

Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan


Budidaya
Pemanfaatan sumber daya perikanan di suatu wilayah pesisir umumnya

terfokus pada satu jenis, yaitu penangkapan ikan atau budidaya. Intensitas
penangkapan ikan yang semakin meningkat akan menurunkan potensi
sumberdaya ikan dan secara tidak langsung menurunkan kesejahteraan
masyarakat. Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan budidaya akan
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam mempertahankan
kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan
melakukan restoking dari hasil budidaya.

13

Gambar 4. Diagram alir perumusan masalah penelitian


Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan bahwa secara khusus,
permasalahan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya
dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana kesesuaian lahan pada wilayah
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya? (2) Bagaimana
perumusan cara pemilihan komoditas potensial ataupun unggulan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, serta kelayakan usahanya?; (3) Bagaimana
perumusan

cara

pemilihan

teknologi

penangkapan

(4)

Bagaimanakah

perumusan penyusunan strategi pengembangan dan kelembagaan perikanan


tangkap dan perikanan budidaya?; (5) Bagaimanakah kajian tersebut direkayasa
dalam

sebuah

model

Sistem

Penunjang

Keputusan

yang

mendukung

rekomendasi, pengkajian ulang dan penerapan lain terkait dengan perubahan


situasional?
1.3

Kerangka Pemikiran
Prospek pengembangan bidang perikanan di Indonesia cukup baik,

mengingat sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh laut dengan segala

14

kekayaan yang terkandung di dalamnya. Produksi perikanan laut dari hasil


penangkapan tidak mungkin terus menerus diandalkan, mengingat intensifnya
tingkat pemanfaatan, kemampuan pertumbuhan alami populasi ikan dan makin
menurunnya kualitas sumberdaya alam. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam
rangka meningkatkan produksi perikanan laut yaitu melalui kegiatan usaha
budidaya.
Selama ini perkembangan budidaya laut di Indonesia selalu dihadapkan
pada masalah antara lain: usaha yang masih tradisional, belum adanya pola
kemitraan yang saling menguntungkan benturan dengan kepentingan usaha lain
serta sulitnya ketersediaan benih dan input produksi lainnya yang berkualitas dan
kontinyu. Di samping itu, terjadinya penurunan mutu lingkungan budidaya pada
kawasan pengembangan budidaya laut akibat kegiatan lain disekitar kawasan
dan limbah dari kegiatan budidaya itu sendiri telah meningkatkan kematian dan
menurunya pertumbuhan ikan. Untuk itu pengembangan kegiatan budidaya laut
perlu dikembangkan atas pertimbangan ilmiah secara modern dan terpadu mulai
dari proses hulu sampai hilir dalam suatu kawasan budidaya laut.
Perikanan

tangkap,

terutama

secara

tradisional

telah

sejak

lama

dikembangkan. Perikanan tangkap dengan alat-alat modern telah dikembangkan


sejak 30 tahun yang lalu. Potensi lestari perikanan Indonesia diperkirakan
sebesar 6,4 juta ton per tahun (Komnas Kajiskan dalam Nurhakim, 2007). Di
beberapa perairan Indonesia, perikanan tangkap telah mencapai titik jenuh dan
secara umum produksi perikanan tangkap sudah sulit dikembangkan. Perikanan
budidaya merupakan tumpuan harapan dalam pengembangan perikanan
Indonesia

di

masa

mendatang.

Untuk

itu

perlunya

strategi

integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya sebagai satu


alternatif dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan.
Dalam melaksanakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya harus didahului dan memperhatikan potensi SDI, hasil survei
areal yang potensial untuk menentukan lokasi yang tepat sebagai kawasan
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dengan
mempertimbangkan faktor pendukung lainnya, seperti ketersediaan prasarana,
kondisi sosial ekonomi masyarakat, pelayanan perbankan, kepastian hukum dan
RUTRD di daerah. Pusat-pusat pengembangan yang akan dijadikan titik awal
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, karena
potensial dan posisinya yang sangat strategis untuk memacu integrasi

15

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di kawasan


pengembangan sekitarnya. Pemilihan jenis komoditas ditetapkan dengan
mengikuti permintaan pasar dan kesiapan teknologinya.
Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat
dilakukan dengan menggunakan strategi yang tidak hanya sekedar memecahkan
berbagai permasalahan tetapi juga mampu menimbulkan peluang dan insentif
bagi pembangunan yang sedang dilakukan, terutama untuk mengatasi berbagai
permasalahan

nasional

yang

sedang

dihadapi

seperti

devisa

dan

ketenagakerjaaan.

1.4

Tujuan Penelitian
Tujuan

umum

penelitian

ini

untuk

mengkaji

strategi

integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Secara khusus


tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
(1)

Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial


ataupun unggulan perikanan tangkap dan

perikanan budidaya, serta

kelayakan usahanya.(dilihat dari potensi SDI, kesesuaian lahan, teknologi


penangkapan ikan)
(2)

Menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan


pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(3)

Mengembangkan model pengembangan perikanan tangkap berbasis


budidaya

dengan

lingkup

sasaran

pengembangan

areal,

produksi,

komoditas, serta sarana dan prasarana pendukung.

1.5

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(1)

Tersusunnya strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan


perikanan budidaya

(2)

Kontribusi untuk pengembangan metode analisis dalam memecahkan


masalah pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(3)

Sumber informasi mengenai konsep pengembangan perikanan tangkap


dan perikanan budidaya dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang
terkait dalam suatu sistem pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.

16

1.6

Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini antara lain meliputi kegiatan:

(1)

Menganalisis potensi SDI, yaitu melakukan analisis untuk mengetahui


besarnya potensi sumber daya perikanan yang ada, tingkat eksploitasi
yang telah dicapai serta kemungkinan perkembangannya lebih lanjut sesuai
dengan potensi lestari (MSY).

(2)

Inventarisasi dan pengumpulan data, yang terdiri dari data-data mengenai:


a. Potensi sumber daya lahan pengembangan budidaya laut
b. Keragaan pengembangan budidaya laut, yang mencakup: Kegiatan
budidaya laut yang telah dikembangkan, meliputi: ikan, crustacea,
molusca, rumput laut dan kekerangan, lokasi budidaya laut yang telah
dikembangkan, prospek dan peluang pasar masing-masing komoditas
budidaya laut, keragaan areal, produksi, komoditas, dan prasarana
pendukung yang telah dibangun dan permasalahan yang menghambat
pengembangan budidaya laut.

(3)

Penentuan kesesuain lahan untuk pengembangan budidaya laut.

(4)

Penentuan kelayakan usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

(5)

Pemilihan alat tangkap dan komoditas unggulan.

(6)

Pengorganisasian dan kelembagaan di dalam pengembangan perikanan


tangkap dan perikanan budidaya.

(7)

Melakukan verifikasi model pada wilayah kajian.

1.7

Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah pengembangan perikanan tangkap

dan perikanan budidaya memberikan kontribusi dalam optimalisasi pemanfaatan


sumberdaya perikanan guna peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas
kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri,
mendorong pertumbuhan industri dalam negeri yang pada akhirnya dapat
memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Potensi dan Aktualisasi Perikanan Tangkap


Sumberdaya ikan merupakan sumber daya yang mampu berkembang biak
sehingga bisa diharapkan kelestariannya, sepanjang dilakukan pengelolaan yang
baik. Teknologi penangkapan modern termasuk cara pendeteksian ikan kini
berkembang sangat cepat dan penggunaan teknologi ini kalau tidak dikontrol
dapat membahayakan SDI itu sendiri. Jadi manfaat pengelolaan tidak lain adalah
agar terjamin kelestarian SDI sesuai dengan pesan didalam Kode Etik Perikanan
yang Bertanggung Jawab (The Code of Conduct for Responsible Fisheries),
sehingga

diharapkan

generasi

yang akan datang ikut

menikmati dan

memperoleh manfaat dari SDI tersebut.


Potansi sumberdaya perikanan laut Indonesia menurut data estimasi
Departemen Kelautan dan Perikanan sebesar 5.258.000 ton dengan bagian
terbesar adalah jenis ikan pelagis kecil (small pelagics) yang mencapai 51,7 %
atau sekitar 3.235.800 ton (Dahuri, 2001). Jenis ikan lain yang juga banyak
terdapat di perairan Indonesia adalah jenis demersal dan pelagis besar, masingmasing sekitar 28,54% dan 16,83% atau 1.786.400 ton per tahun dan 1.053.500
ton per tahun.
Perkembangan produksi perikanan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor
pendorong berupa peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana
penangkapan ikan. Peningkatan sarana ini berlangsung bersamaan dengan
motorisasi usaha penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap dengan
bahan sintetis. Namun demikian sesuai dengan code of conduct for responsible
fiheries pada artikel 6.3. bahwa pengembangan armada perikanan harus
mempertimbangkan ketersediaan sumber sesuai dengan kemampuan reproduksi
demi keberlanjutan pemanfaatannya. Hal ini jangan sampai terjadi kondisi
dimana lebih banyak kapal dari pada ikan yang hendak ditangkap yang berakibat
kerugian dari segi ekonomi perikanan, karena kapal ikan tidak dapat memperoleh
jumlah tangkapan yang memadai sehingga semua pihak tidak memperoleh
keuntungan yang layak.
Sebagai sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi,
eksploitasi sumberdaya perikanan laut di Indonesia menunjukkan peningkatan
sepanjang tahun. Pada tahun 1995, total pendaratan ikan di Indonesia mencapai

18

3.292.930 ton, dimana pendaratan ikan mendominasi seluruh pemanfaatan


sumberdaya perikanan laut, yaitu 2.752.838 ton, diikuti oleh jenis crustacea
203.441 ton, lalu jenis hewan lunak (mollusca) 98.445 ton dan jenis ikan lainnya
seperti penyu, teripang, ubur-ubur dan lainnya yang mencapai 126.661 ton
(Dahuri, 2001).
Beberapa jenis ikan yang termasuk kelompok ikan pelagis kecil antara lain:
Teri, Tembang, Siro, Lemuru, Layang, Kembung, Bawal Putih, Alu-alu, Tetengek,
Sunglir, Ikan terbang, Belanak, Julung-julung, Golok-golok dan Ekor Kuning
(Widodo et al., 1999).
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih secara
alami tetapi juga merupakan sumberdaya yang tak terbatas baik jumlah maupun
kemampuan regenerasinya. Untuk itu pemenfaatannya harus dilakukan secara
rasional

yaitu

dengan

memperhatikan

daya

dukungnya.

Pemanfaatan

sumberdaya yang tidak rasional akan menyebabkan menipisnya stok, kepunahan


populasi, dan penurunan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE) (Naamin et al.,
1991).
Pembangunan dibidang perikanan terutama dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap didasarkan pada konsep hasil maksimum yang
dapat menjamin usaha berkelanjutan (maximum sustainable yield/MSY). Hal ini
dapat dicapai dengan sistem pengelolaan terpadu dan berkesinambungan yang
dilakukan

pemerintah

bekerjasama

dengan

para

pengusaha

perikanan.

Berdasarkan kecenderungan produksi hasil tangkapan ikan yang meningkat dan


ada data hasil tangkapan yang tidak dicatat pada suatu wilayah perairan, maka
nilai dugaan potensi sumberdaya ikan yang dihasilkan dari hasil analisis adalah
minimal (under estimate). Hasil estimasi dengan pendekatan Surplus Production
Model (Schaefer) nilai MSY masih mungkin dilakukan walaupun memberikan nilai
yang lebih tinggi. MSY atau hasil tangkapan yang lestari adalah besarnya jumlah
stock ikan tertinggi yang dapat ditangkap secara terus menerus dari suatu
sumberdaya tanpa mempengaruhi kelestarian stock ikan tersebut.
Jones dalam Badrudin et al., (1991), menyebutkan bahwa prinsip
pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut:
(1)

Pengendalian jumlah upaya penangkapan, dengan mengatur jumlah alat


tangkap yang ada sampai pada jumlah tertentu (maksimum).

19

(2)

Pengendalian alat tangkap, ini dilakukan dengan tujuan agar usaha


penangkapan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai
umur dan ukuran tertentu.
Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Dwiponggo (1983),

adalah:
(1)

Tujuan yang bersifat fisik-biologi, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan


dalam level maximum sustainable yield (MSY)

(2)

Tujuan yang bersifat ekonomi, yaitu tercapainya keuntungan maksimum


dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimal profit.

(3)

Tujuan ysng bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang


maksimal. Seperti penyerapan tenaga kerja dan menghilangkan konflik
kepentingan diantara nelayan atau anggota masyarakat.
Upaya pengelolaan perikanan seyogyanya dilaksanakan sedini mungkin.

Para petugas perikanan baik di pusat maupun daerah didalam membuat


perencanaan pembangunan perikanan perlu memasukkan unsur sumber daya.
Pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional akan menyebabkan menipisnya
stok, kepunahan populasi, dan penurunan hasil tangkap per satuan upaya
(CPUE) (Naamin et al., 1991).
Pengelolaan

sumberdaya

perikanan

dalam

rangka

pemanfaatan

sumberdaya perikanan tangkap didasarkan pada konsep hasil maksimum yang


dapat manjamin usaha berkelanjutan (maximum sustainable yield/ MSY). Hal ini
dapat dicapai melalui sistem pengelolaan terpadu dan berkesinambungan yang
dilakukan pemerintah bersama stakeholders terkait.
Jika upaya pengelolaan sudah terlambat akan sulit untuk memulai dan
memulihkan sumber daya ikan karena masalahnya sudah cukup kompleks.
Upaya pengelolaan tidak juga harus menunggu kelengkapan informasi yang
diperlukan

dalam

pengelolaan.

Sesuai

dengan

prinsip

kehati-hatian

(precautionary principle), upaya pengelolaan sebaiknya dilakukan sedini


mungkin.
Aplikasi pengelolaan perikanan dalam proses pengaturannya dapat
ditempuh melalui dua kelompok metode yang mendasarkan kepada: (1) input
control yaitu yang melakukan pengaturan terhadap faktor input (masukan)
perikanan, dan (2) output control, pengaturan terhadap luaran (output) dari
perikanan. Pengaturan melalui input control termasuk diantaranya pembatasan
jumlah alat tangkap atau kapal penangkap, penutupan musim tangkap dan

20

penutupan daerah tangkap pada periode tertentu. Pada prinsipnya input control
mengatur faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masukan terhadap tingkat
eksploitasi. Sedangkan pengaturan melalui output control dilakukan terhadap
hasil tangkapannya (output) misalnya dalam bentuk quota (jumlah hasil
tangkapan). Pengaturan semacam ini banyak dilakukan di daerah dingin,
sedangkan di daerah tropis pengaturan banyak berdasarkan kepada input
control. Metode tersebut juga sering dikombinasikan dengan metode teknis,
misalnya saja di beberapa negara maju di daerah dingin, disamping ada
pengaturan quota juga ada pengaturan ukuran mata jaring yang diberlakukan
terhadap alat tangkapnya.
Permasalahan perikanan tangkap baik itu berupa permasalahan sosial
ataupun kerusakan lingkungan dan menurunnya stok SDI, sebenarnya telah
lama timbul sejak manusia menggunakan laut atau perairan umum sebagai
sumber untuk mendapatkan bahan pangan. Namun saat itu, bobot permasalahan
yang timbul tidak seberat yang dihadapi pada saat sekarang ini, dimana baik
konflik sosial yang ditimbulkan akibat adanya kompetisi besar-besaran dalam
memperebutkan ikan yang menjadi tujuan tangkapan, maupun kerusakan
lingkungan serta punahnya beberapa spesies ikan yang diakibatkannya telah
menunjukkan indikator yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup
generasi mendatang.
Ditinjau dari keberlangsungan dan kelestarian lingkungan bahwa segala
bentuk aktivitas yang sifatnya merusak lingkungan, sekalipun dalam jumlah yang
relatif kecil sebenarnya perlu dihindari termasuk dalam hal ini penggunaan alat
tangkap modifikasi dari alat tangkap trawl. Dalam hal yang lebih luas lagi perlu
dihindari penggunaan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan.
2.2. Potensi dan Aktualisasi Perikanan Budidaya
Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar
15,59 juta hektar, yang terdiri atas lahan budidaya budidaya air tawar 2,23 juta
hektar, budidaya air payau 1,22 juta hektar dan budidaya laut 12,14 juta hektar.
Sedangkan pemanfaatanya hingga saat ini masing-masing baru mencapai 10,1%
untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau dan 0,01% untuk
budidaya laut. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari
ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia.
Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain

21

ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan abalone
serta rumput laut (Dahuri, 2002).
Pada tahun 2004 produksi perikanan budidaya nasional adalah 1,47 juta
ton dengan kenaikan rata-rata pertahun dari tahun 2000 adalah 10,36%. Jumlah
produksi tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara produsen
perikanan budidaya ketiga terbesar setelah China dan India. Produksi perikanan
budidaya Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 didominasi oleh
produksi udang ditambak. Sedangkan persentase rata-rata kenaikan produksi
per tahun tertinggi adalah budidaya laut. Produksi budidaya laut mulai meningkat
hampir dua kali lipat pada tahun 2004 dari tahun 2003, hal ini terkait dengan
program pengembangan budidaya rumput laut. Nilai produksi perikanan
budidaya juga mengalami peningkatan dari Rp. 11,06 trilliun pada tahun 2000
menjadi Rp. 19,27 triliun pada tahun 2004, atau naik rata-rata 14,93% per tahun.
Kenaikan nilai produksi rata-rata tertinggi yaitu sebesar 32,94% pada budidaya
karamba.
Komoditas dominan dan mengalami perkembangan cukup pesat adalah
udang, yaitu dari 143.750 ton pada tahun 2000 menjadi 238.843 ton pada tahun
2004 atau mengalami kenaikan rata-rata per tahun 13,86%. Perkembangan
produksi udang yang cukup pesat ini didukung oleh adanya upaya introduksi
udang jenis baru yaitu udang putih atau vannamei yang berasal dari perairan sub
tropis. Sampai saat ini produksi udang nasional masih ditopang oleh produksi
udang vanname, terutama pada tambak-tambak intensif skala besar.
Selain dikonsumsi didalam negeri produksi perikanan budidaya Indonesia
juga terserap pada pasar luar negeri seperti negara-negara di Eropa, Amerika,
Jepang dan negara maju lainnya. Beberapa jenis komoditas perikanan budidaya
yang diekspor adalah udang, kerapu, nila, rumput laut, kepiting, patin, lele,
bandeng, kodok, abalone, ikan hias dan mutiara. Pertumbuhan ekspor perikanan
Indonesia didominasi oleh udang dan cakalang. Pada tahun 2000 volume ekspor
udang Indonesia sebesar 116.187 ton meningkat menjadi 139.450 ton pada
tahun 2004. Jika memperhatikan neraca ekspor-impor peroduk perikanan, maka
dapat disimpulkan bahwa masih terjadi surplus perdagangan komoditas
perikanan. Hal ini membuktikan bahwa bidang periknan tidak membebani neraca
pembayaran, bahkan sebaliknya justru merupakan andalan untuk memperoleh
devisa. Surplus perdagangan hasil perikanan untuk memperoleh devisa pada

22

tahun 2000 sebesar US$ 1,56 milyar dan terus mengalami peningkatan hingga
US$ 1,62 milyar pada tahun 2004.
Peningkatan produksi perikanan budidaya yang telah dicapai selama ini,
telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan konsumsi ikan per
kapita nasional dari 21,57 kg per kapita pada tahun 2000 menjadi 23,18 kg per
kapita pada tahun 2004. Disamping itu perkembangan perikanan budidaya juga
telah memberikan dampak pada penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 5
(lima) tahun (2000 2004) mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,05% per
tahun. Jumlah pembudidaya ikan meningkat dari dari 2,18 juta orang pada tahun
2000 menjadi 2,46 juta orang pada tahun 2004. Tenaga kerja di perusahaan
perikanan budidaya, baik yang berstatus pemilik modan asing (PMA) maupun
pemilik modal dalam negeri (PMDN) mengalami peningkatan dari 3.151 orang
tenaga asing dan 154.173 orang tenaga kerja lokal pada tahun 2000, meningkat
menjadi 4.719 orang tenaga kerja asing dan 187.124 orang tenaga kerja lokal
pada tahun 2004. Rumah tangga perikanan (RTP) budidaya secara keseluruhan
berjumlah 1,2 juta buah pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 1,4 juta buah
pada tahun 2004 dengan jumlah terbesar pada budidaya kolam, budidaya sawah
dan tambak.
Pemanfaatan potensi pengembangan budidaya perikanan dapat dilakukan
melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan prasarana, pengelolaan
kesehatan ikan dan lingkungan. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu
meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan produksi usaha perikanan budidaya.
Kegiatan budidaya perikanan di laut dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan
marikultur

dan

budidaya

air

payau.

Untuk

usaha

marikultur

biasanya

menggunakan jaring apung, sedangkan usaha budidaya air payau menggunakan


kolam dan petak tambak (Dahuri, 2002).
Kegiatan budidaya perikanan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain
sumber air menyangkut kualitas dan kuantitasnya, potensi/ketersediaan lahan
menyangkut topografi, tekstur dan kesuburannya yang diperkirakan dapat
dimanfaatkan bagi usaha budidaya serta peruntukkan lahan dan potensi konflik
dengan kegiatan lain disekitarnya. Oleh karena itu pengembangan usaha
budidaya adalah mengupayakan peningkatan produktivitas suatu lahan atau
perairan yang sudah terseleksi dengan menambahkan input-input teknologi yang
ada. Hal ini menyebabkan tingkat perkembangan dan tingkat produksi yang
dicapai berbeda di setiap daerah, sesuai dengan teknologi dan tingkat kesuburan

23

lahan atau perairan yang ada serta kemampuan masyarakat mengaadopsi


teknologi baru. Sehingga potensi produksi dalam usaha budidaya merupakan
produksi yang dapat dicapai dari lahan yang ada serta produksi dari lahan
potensial dengan perkiraan pada tingkat produktivitas tertentu yang mungkin
diterapkan.
Pengembangan

budidaya

perikanan

ke

depan

harus

mampu

mendayagunakan potensi yang ada, sehingga dapat mendorong kegiatan


produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta
mempercepat

pembangunan

ekonomi

masyarakat

pembudidaya

ikan

di

Indonesia secara keseluruhan. Pada pelaksanaannya pengembangan perikanan


budidaya harus dilakukan dengan memperhatikan CCRF (code of conduct for
responsible fisheries) antara lain dengan memperhatikan (1) kelestarian
lingkungan sumberdaya alam, pengembangan dilakukan secara berkelanjutan,
keamanan pangan, tidak memodifikasi genetik biota, eco-labelling dan
ketertelusuran.
Dalam upaya mensukseskan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden Republik Indenesia pada 11
Juni 2005, khususnya revitalisasi perikanan budidaya, maka pemerintah
menetapkan prioritas atau fokus kegiatan pengembangan spesies yang (1)
mempunyai permintaan besar baik pasar luar maupun dalam negeri, (2) dapat
dikembangkan secara menguntungkan, (3) mudah diadopsi pembudidaya, serta
(4) waktu produksi pendek yaitu pengembangan komoditas udang dan rumput
laut. Selain itu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya juga menetapkan 8
(delapan) komoditas lainnya sebagai komoditas unggulan karena mempunyai
potensi untuk ekspor, yaitu: patin, kerapu, nila, lele, gurame, bandeng, abalone
dan ikan hias.
Sesuai dengan visi pengembangan perikanan budidaya yaitu adalah
mewujudkan perikanan budidaya yang berdaya saing dan berkelanjutan sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi andalan maka kebijakan pembangunan perikanan
budidaya adalah (1) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk ekspor,
(2) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk peningkatan konsumsi
ikan dalam negeri, dan (3) pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan
budidaya.
Pada pelaksanaanya kebijakan tersebut dikemas dalam 3 (tiga) program
pokok pengembangan perikanan budidaya yaitu (1) program peningkatan

24

produksi perikanan budidaya untuk ekspor (PROPEKAN), (2) program


peningkatan produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat
(PROKSIMAS), dan (3) program perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya
perikanan budidaya (PROLINDA). Program tersebut ditunjung oleh 6 program
penunjang yaitu (1) pengembangan prasarana, (2) pengembangan sistem
perbenihan, (3) pengembangan sistem produksi, (4) pengembangan sistem
pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, (5) pengembangan sistem usaha
budidaya dan (6) pengembangan sistem administrasi dan kelembagaan.
Menurut Cholik et al (2005) bahwa membangun akuakultur nasional
haruslah berdampak positip pada hal sebagai berikut : tingkat konsumsi ikan oleh
masyarakat, tingkat pendapatan pembudidaya ikan, berkembangnya akuakultur
berkelanjutan

dan

peningkatan

ekspor,

pengurangan

tekanan

terhadap

sumberdaya ikan wilayah pantai, pengkayaan stock ikan di laut dan perairan
umum, pasok bahan baku bagi industri terkait dan pelestarian lingkungan hidup.
Pengembangan akuakultur harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan
sebagai pedoman dapat digunakan CCRF yang sudah diadopsi di banyak
negara. Akuakultur yang memiliki criteria tersebut merupakan akuakultur yang
akan menjadi tumpuan harapan bangsa.
2.3. Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya
Perkembangan masyarakat dunia pada abad ke-21 telah menunjukkan
kecenderungan adanya perubahan perilaku dan gaya hidup serta pola konsumsi
pangan dari daging merah (red meat) ke produk perikanan. Intensitas kegiatan
atau kesibukan di era kompetisi ketat cenderung meningkat, mengakibatkan
manusia tidak leluasa lagi memanfaatkan waktu untuk menikmati makanan
konvensional yang dimasak dan dikonsumsi di tempat jauh dari tempat bekerja.
Aktivitas perjalanan lintas daerah, kultural, negara, senantiasa membutuhkan
makanan universal yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai
agama, kepercayaan dan budaya. Kecenderungan peningkatan angka harapan
hidup penduduk sebagai salah satu indikator penentu indeks kesejahteraan
(human development index), menuntut persiapan manusia menyongsong era
generasi berusia panjang (older generation era). Salah satu bahan makanan
yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah produk perikanan. Hasil olahan
produk ini dianggap lebih sehat dikonsumsi, netral, dan hasil olahannya sangat
beragam. Kebutuhannya di masa mendatang diprediksi melampaui 50%

25

kebutuhan protein hewani masyarakat dunia 3 g/kg berat badan per hari atau
sekitar 54 kg/kapita/tahun.
Pasokan ikan dunia saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan
di laut. Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara
dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO (2002)
menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut di sebagian
negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan
ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia.

Bahkan

berdasarkan hasil penelitian oleh Komisi Stock Assessment pada tahun 2000
menunjukkan bahwa potensi lestari ikan perairan laut Indonesia mengalami
penurunan dari 6,18 juta ton/tahun menjadi 6,01 juta ton/tahun. Oleh karena itu,
alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya
(akuakultur).
Saat ini akuakultur tidak hanya berperan menopang pemenuhan kebutuhan
bahan pangan berupa protein hewani, akan tetapi juga dalam menyediakan
bahan baku bio-industri, dan upaya pelestarian spesies ikan yang terancam
punah (endangered species). Industri pengekstrak bahan aktif dari organisme
akuatik terutama laut, seperti berbagai jenis rumput laut, membutuhkan bahan
baku dalam jumlah yang besar dan cenderung terus meningkat. Berbagai jenis
biota akuatik yang dieksploitasi seperti ikan kerapu terhindar dari ancaman
kepunahan setelah berkembangnya kegiatan budidaya. Dalam pelestarian fungsi
lingkungan perairan, para pembudidaya ikan dapat menjadi pengamanan
swakarsa

dari

ancaman

perusak

lingkungan

seperti:

pengebom

dan

penggunaan racun dalam kegiatan penangkapan ikan; pembuangan limbah


industri ke perairan; penambangan karang.
pembudidaya

sangat

berkepentingan

dengan

Harus disadari bahwa para


kualitas

lingkungan

yang

terpelihara.
Peran akuakultur dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam
mungkin tidak banyak disadari. Sumberdaya lahan pantai berpasir yang tidak
dapat dimanfaatkan untuk pertanian terbukti bermanfaat untuk tambak udang
dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down concrete. Selokan
air atau saluran irigasi sangat produktif dan efisien untuk kolam air deras dan
karamba ikan. Tambak-tambak garam yang awalnya berfungsi tunggal, melalui
modifikasi dan penerapan teknik akuakultur dapat berfungsi ganda yaitu

26

menghasilkan kista dan biomassa artemia, yang nilainya jauh lebih tinggi
daripada garam yang dihasilkan.
Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, sumberdaya perikanan
meliputi semua biota yang hidup di perairan tawar maupun laut.

Indonesia

dengan perairan laut seluas 5,8 juta km2 merupakan salah satu negara yang
memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (Soegiarto dan Polunin,
1981 dalam Dahuri, 2002). Kelompok utama biota yang memiliki jumlah spesies
terbanyak di perairan laut Indonesia adalah moluska atau kekerangan (2.500
spesies) terdiri atas kelompok gastropoda (1.500 spesies) dan kelompok bivalve
(1.000 spesies), diikuti oleh kelompok ikan (lebih dari 2.000 spesies), kelompok
krustase (1.502 spesies). Kelompok lainnya adalah hewan karang (910 spesies),
sponge (850 spesies), tumbuhan (832 spesies), ekhinodermata (745 spesies),
burung (148 spesies), mamalia (29 spesies) dan reptil (6 spesies). Sampai saat
ini pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut, baik untuk usaha akuakultur
maupun bahan baku industri masih sangat kecil.
Walau akuakultur bermula dari penerapan teknologi

yang sangat

sederhana, bercirikan pedesaan (rural farming activity) dan subsisten atau


sampingan, seperti tambak di Jawa Timur, budidaya ikan mas di Jawa Barat,
namun pada akhir abad 20 akselerasi perkembangan perikanan budidaya
menunjukkan kecenderungan industrialisasi dengan penerapan teknologi maju.
Perikanan budidaya bukan lagi budidaya yang konvensional, tetapi kegiatan
ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai
sektor. Berbagai IPTEK berkembang untuk mendukung pengembangan budidaya
menuju skala besar dan bernilai tambah tinggi. Investasi dalam usaha ini juga
melibatkan modal multinasional. Produk akuakultur telah membawa perubahan
besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat
harga yang relatif rendah dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera
konsumen, baik dari segi mutu maupun jumlah.
Guna mempertahankan stok atau potensi lestari sumberdaya ikan di
perairan laut perlu alternatif pengelolaan yang tepat, dalam hal ini dapat
memberikan kesempatan sumberdaya ikan melakukan pemulihan secara alami
dan mempertahankan pendapatan nelayan yaitu dengan pengembangan
perikanan tangkap yang berbasis pada perikanan budidaya. Perikanan tangkap
berbasis budidaya ini pada prinsipnya adalah pengembangan budidaya ikan
untuk menunjang ketersediaan stok sumberdaya ikan di perairan umum atau laut

27

(De Silva et al., 2006). Tujuan dari sistem pengelolaan perikanan tangkap
berbasis budidaya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan atau
pembudidaya dan sekaligus mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan
di alam.
Lebih lanjut di jelaskan De Silva et al. (2006), bahwa dalam pengelolaan
perikanan tangkap berbasis budidaya tersebut terlihat adanya interaksi antara
kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Pelaksanaan pengelolaan ini
melibatkan pembudidaya ikan atau kegiatan budidaya ikan pada tahap
penyiapan benih ikan untuk ditebar dan kegiatan penangkapan setelah ikan
mencapai ukuran tertentu. Kegiatan budidaya yang dilakukan dalam pelaksanaan
pengelolaan tersebut dalam bentuk kegiatan pembenihan ikan di hatchery,
dilanjutkan dengan pemeliharaan benih sampai siap ditebar dan dibudidayakan
dalam karamba jaring apung.
Kegiatan perikanan tangkap dalam pengelolaan ini berperan pada saat
pengaturan

penangkapan

ikan

yang

telah

ditebar

di

perairan

umum.

Penangkapan tersebut berdasarkan ukuran ikan, ikan yang dapat ditangkap


adalah ikan yang sudah mencapai ukuran konsumsi. Sedangkan jumlah
penangkapan dalam sebenarnya tidak dibatasi sesuai jumlah ikan yang ditebar.
Alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap yang selektif dan tidak
destruktif atau merusak dan disesuaikan dengan jenis dan habitat ikan yang di
tebar.
Sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya terlihat interaksi
mutualisme

antara

kegiatan

budidaya

(pembenihan,

pendederan

dan

pembesaran) dengan kegiatan penangkapan ikan di perairan umum tersebut.


Dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya,
kesejahteraan pembudidaya akan terjamin yaitu dari hasil usahan pembenihan
dan pembesaran, sementara itu tingkat kesejahteraan nelayan juga akan
meningkat dengan ketersediaan stok ikan di perairan yang terjamin dan
berkelanjutan (sustainable).
Besarnya tekanan terhadap sumberdaya perikanan baik dari kegiatan
penangkapan maupun perubahan dan penurunan mutu lingkungan pada suatu
kawasan perairan dapat dikendalikan diantaranya dengan kegiatan penebaran
kembali

benih

ikan

atau

restocking,

perbaikan

mutu

lingkungan

dan

pengendalian kegiatan penangkapan. Sedangkan dalam hal pengelolaan


sumberdaya pendekatan co-management terbukti lebih efektif. Karena dengan

28

pendekatan co-management seluruh stakeholders terkait dilibatkan dan merasa


memiliki kepentingan terhadap objek yang dikelola seperti sumberdaya
perikanan.
Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheriesCBF) adalah salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan yang
menerapkan prinsip co-management yang pada pelaksanaannya melakukan
upaya penebaran kembali (restocking), pemeliharaan lingkungan perairan dan
pengendalian kegiatan penangkapan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu perairan oleh masyarakat
setempat dengan pembinaan dan stimulasi dari pemerintah. Rangkaian kegiatan
yang komprehensif tersebut oleh Lorenzen (1995) disebut sebagai adaptive
management yaitu pengelolaan berdasarkan aspek biologi ikan, biofisik perairan
dan pemberdayaan pelakunya.
Model perikanan tangkap berbasis budidaya telah diadopsi banyak negara
penghasil produk perikanan utama dunia dalam pemanfaatan sumberdaya
perairan untuk kegiatan perikanan seperti: China, Thailand, Vietnem, Philipina,
Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri Lanka. Upaya ini dilakukan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terdiri atas ikan dan
perairan habitatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kegiatan yang
hampir sejenis sudah menjadi kearifan lokal (local wisdom) di beberapa daerah
seperti Lebak-Lebung di Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat,
Sasi di Maluku dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi sebahagian
kearifan lokal tersebut telah memudar atau kurang efektif karena pengaruh
modernisasi dan globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna
meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan tangkap
berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan.
Pada pelaksanaannya keberhasilan pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya sangat ditentukan oleh aspek kelembagaan pengelola
(organisasi, keanggotaan dan aturan), penetapan wilayah, penentuan jenis ikan
yang akan ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian kegiatan penangkapan
dan pengawasannya, serta untuk implementasinya di perairan laut yang bersifat
open acces maka model comunity-based fisheries management dapat
diterapkan.

Model

comunity-based

fisheries

management

telah

direkomendasikan oleh Valbo-Jorgensen dan Thompson (2007) sebagai hasil

29

kegiatan

pengembangan

perikanan

tangkap

berbasis

budidaya

yang

dilaksanakannya di Bangladesh.
Program pemacuan stok dalam rangka peningkatan sumberdaya ikan
sudah dikembangkan di beberapa negara seperti Jepang, China dan Norwegia.
Pemacuan stok ikan di Jepang telah berdampak terhadap peningkatan produksi
sea bream sebesar 8% dan Blue crab sebesar 22 %. Laporan FAO tahun 1999
menyebutkan bahwa upaya pemacuan stok di perairan umum daratan di China
dan Vietnam dapat meningkatkan hasil penangkapan sebesar 20% dari total
hasil penangkapan sebesar 2 juta ton/tahun. Sedangkan di Norwegia berhasil
meningkatkan produksi ikan hingga 32%.
Penerapan teknik pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia yang berupa
penebaran dan introduksi ikan serta perlindungan sumberdaya ikan melalui
penetapan kawasan suaka perikanan telah lama dilakukan terutama di perairan
umum daratan sejak jaman penjajahan Belanda. Meskipun kegiatan introduksi
dan restoking ikan telah lama dilakukan, kontribusinya terhadap hasil tangkapan
belum menunjukkan hasil yang nyata bahkan di beberapa perairan berdampak
terhadap penurunan keragaman dan kelimpahan species lokal yang disebabkan
oleh kompetisi dan atau predasi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh
penerapannya yang tidak didasarkan atas hasil kajian ilmiah yang memadai dan
tidak dilakukan atas kaidah pendekatan kehati-hatian.
Hal tersebut berbeda dengan peningkatan kelimpahan stok ikan melalui
pengelolaan suaka perikanan yang dilakukan sejak sebelum penjajahan
Belanda, seperti suaka perikanan Danau Loa Kang dan Danau Batu Bumbun di
DAS Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola pada masa Kerajaan Kutai
Kartanegara, sekitar 500 tahun yang lalu. Suaka tersebut sangat berperan dalam
memasok benih ikan secara alami dan berperan dalam pelestarian sumberdaya
ikan. Dewasa ini, penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan suaka tersebut
telah luntur sehingga suaka yang ada tidak berfungsi optimal lagi.
Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, (2009) bahwa BRKP telah
melakukan penerapan pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia berbasis hasil
kajian ilmiah yang dirintis sejak tahun 2000 di perairan umum daratan dan laut. Di
perairan umum daratan, pelaksanaan pemacuan sumberdaya ikan terutama
dilakukan di perairan waduk dan danau. Di beberapa kawasan, penerapan
pemacuan sumberdaya ikan mulai mempertimbangkan aspek daya dukung
perairan, kesesuaian habitat dan jenis ikan, peluang kompetisi antara jenis ikan

30

tebaran dengan jenis ikan asli, jumlah padat tebar optimal, dan monitoring dan
evaluasi

keberhasilan

ataupun

kegagalannya

serta

diikuti

dengan

pengembangan kelembagaan pengelolaannya. Di perairan laut, penerapan


pemacuan sumberdaya ikan disertai penerapan teknik rehabilitasi habitat
terumbu karang.
Berbagai penerapan pemacuan sumberdaya ikan yang telah dilakukan
menunjukkan hasil yang menggembirakan antara lain:
a) Introduksi ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) di Waduk Wonogiri,
Jawa Tengah.
b) Introduksi udang galah (Macrobrachium rosernbergii) di Waduk Darma, Jawa
Barat
c) Pengembangan suaka ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) di Danau
Singkarak, Sumatera Barat.
d) Introduksi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dari Danau Singkarak ke
Danau Toba, Sumatera Utara.
e) Penebaran kembali (restocking) ikan baung (Mystus nemurus) di Waduk
Wadaslintang, Jawa Tengah
f)

Penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) di Waduk Djuanda, JatiluhurJawa Barat

g) Rehabilitasi terumbu karang di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan


Jemeluk, Bali.
Introduksi ikan patin siam ukuran 10-15 gram per ekor dengan jumlah
total 45.000 ekor ke Waduk Wonogiri (luas 7.800 ha) dilakukan pada tahun 2002.
Ikan patin yang ditebarkan tersebut ternyata dapat melakukan pemijahan di
muara sungai yang masuk waduk sehingga dengan melindungi kawasan
pemijahan dan asuhannya, tidak diperlukan penebaran kembali benih patin.
Introduksi ikan ini telah meningkatkan produksi perikanan tangkap sebesar
112.215 kg (tangkapan ikan patin) senilai 785,5 juta rupiah pada tahun 2004 dan
pada tahun 2007, hasil tangkapan ikan patin meningkat menjadi 150.034 kg
senilai 1,3 milyar rupiah.
Introduksi udang galah di Waduk Darma menghasilkan produksi sebesar
337,65 kg senilai 13,5 juta rupiah meskipun udang galah yang ditebarkan hanya
26.500 ekor atau 26,5% dari jumlah optimum penebaran, yaitu sekitar 100.000
ekor. Apabila penebaran udang galah dilakukan secara optimum maka ditaksir

31

akan dihasilkan produksi senilai 70-140 juta rupiah per tahun yang akan
menambah pendapatan bagi 120 orang nelayan di perairan waduk tersebut.
Untuk mengatasi penurunan hasil tangkapan ikan bilih di habitatnya yang
asli (Danau Singkarak) telah pula diterapkan pembentukan suaka buatan di
Sungai Sumpur, salah satu sungai yang masuk Danau Singkarak. Dari suaka
buatan tersebut ternyata dapat melestarikan induk ikan bilih sebanyak 3,3 juta
ekor per tahun dan benih ikan bilih sebanyak 5,46 juta ekor per tahun. Benih ikan
bilih ini masuk ke danau sebagai peremajaan stok ikan bilih yang akan ditangkap
nelayan.
Introduksi ikan bilih sebanyak 2.850 ekor, satu-satunya ikan endemik dari
Danau Singkarak dilakukan ke Danau Toba pada tahun 2003. Ikan bilih yang
ditebarkan mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik sehingga pada
tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih mencapai 653,6 ton senilai 3,9 milyar
rupiah. Hasil tangkapan ikan bilih terus meningkat sehingga pada tahun 2007
produksinya mencapai 8.500 ton dan pada tahun 2008 meningkat tajam menjadi
13.000 ton.
Pada tahun 2003-2004, penebaran kembali (restocking) ikan baung telah
pula dilakukan di Waduk Wadaslintang. Ikan baung adalah ikan asli di perairan
waduk ini dan ekonomis tinggi, namun populasinya menurun karena tekanan
penangkapan dan keterbatasan habitat pemijahannya. Upaya penebaran
kembali ikan baung ini telah berhasil meningkatkan hasil tangkapan sebesar 15%
dari total hasil tangkapan ikan.
Pada tahun 2008, berdasarkan rekomendasi hasil riset, telah dilakukan
penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda, Jawa Barat sebanyak 2,112 juta
ekor. Ikan bandeng tumbuh pesat dari ukuran rata-rata satu gram per ekor
menjadi 100-150 gram per ekor dalam waktu 3 bulan setelah penebaran. Selama
empat bulan penangkapan telah tercatat sebanyak 65 ton ikan bandeng senilai
455 juta rupiah pada tingkat harga nelayan.
Pemacuan sumberdaya ikan dalam bentuk rehabilitasi terumbu karang
yang dilakukan di perairan laut, seperti Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan
Teluk Jemeluk, Bali menunjukkan indikasi keberhasilan dalam pemulihan
terumbu karang dan peningkatan kanekaragaman jenis ikan di perairan tersebut.
Belajar dari pengalaman empiris tersebut dengan rata-rata produksi
perikanan tangkap perairan umum daratan sebesar 290.880 ton dan perikanan
tangkap di laut sebesar 4,3 juta ton, maka dengan pemacuan stok target

32

peningkatan produksi perikanan tangkap yang dicanangkan sebesar 19,24%


dapat dicapai hanya melalui penerapan pemacuan stok di perairan umum
daratan saja. Pada tahun 2010 produksi perikanan tangkap di perairan umum
daratan tersebut diprediksi akan mencapai sekitar 1,2 Juta ton.

Menurut Bell et al (2006), bahwa ada contoh keberhasilan dalam


pemacuan stock yang dilakukan di Jepang tentang perikanan scallop.
Menurut Uki (2006), bahwa keberhasilan pemacuan stock yang dilakukan di
Jepang dalam pengkayaan stock di laut untuk peningkatan perikanan

scallop di Hokkaido, Jepang dengan memberikan kontribusi panen tetap


tahunan sebesar 300,000 ton per tahun. Panen tersebut menggambarkan
peningkatan kelipatan empat dalam penangkapan yang maksimum.
keberhasilan dari pengkayaan stok scallop di Hokkaido sebagai akibat :
metode yang simple dan efektif dalam penangkapan dan pembesaran
spat dalam jumlah besar; habitat yang ideal untuk pengembangan scallop;
rata-rata kelangsungan hidup spat sebesar >30%. Selanjutnya disebutkan
bahwa elemen yang luar biasa dalam perikanan ini adalah pengembangan
metode untuk penangkapan, pembesaran dan penebaran sebesar 2
milliar benih setiap tahun. Pemakaian spat yang liar tidak hanya untuk
bypass

kebutuhan

hatcheries,

tapi

pengenalan binatang genetic modifikasi.

juga

menghilangkan

resiko

Biaya mengumpulkan dan

pembesaran spat dalam ukuran tertentu dilakukan oleh nelayan. Mereka


juga mengorganisir monitoring dan pengawasan populasi scallop dan
lingkungan pada 200 titik di area perikanan, menyesuaikan penangkapan
spat setiap tahun agar dapat memenuhi kebutuhan estimasi untuk
menebarkan benih, menghilangkan predator starfish, dan memberikan
pelatihan kepada anggota baru di koperasi.
2.4

Teori Sistem

2.4.1 Pengertian sistem


Sistem sebagai teori pertama kali dikembangkan oleh L.V. Bertalanffy yang
memperkenalkan pemikirannya tentang General System Theory (GST), ia
mendefenisikan sistem sebagai totalitas dari bagian-bagian yang saling
berhubungan. Paradigma GST menekankan perlunya keahlian generalis dan

33

pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.


(Pressman 1992 diacu dalam Agustedi 2000). Kesisteman adalah suatu meta
konsep atau meta disiplin, dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin
ini dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil. Pendekatan sistem
adalah mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh
(Eriyatno dan Fadjar, 2007). Marimin (2004), mendefinisikan sistem sebagai satu
kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain
yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks.
Pengertian tersebut mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan
antara bagian, ini menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi
kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain. Selain itu dapat
dilihat bahwa sistem berusaha mencapai tujuan. Pencapaian tujuan ini
menyebabkan timbulnya dinamika, perubahan-perubahan yang terus menerus
perlu dikembangkan dan dikendalikan. Defenisi tersebut menunjukkan bahwa
sistem sebagai gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur
dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan.
Semua defenisi tentang sistem mencakup lima unsur utama yang terdapat
dalam sistem yaitu:
(1)

Elemen-elemen atau bagian-bagian

(2)

Adanya interaksi atau hubungan antar elemen-elemen atau bagian-bagian

(3)

Adanya

sesuatu yang mengikat elemen-elemen atau bagian-bagian

tersebut menjadi suatu kesatuan.


(4)

Terdapat tujuan bersama, sebagai hasil akhir

(5)

Berada dalam suatu lingkungan yang kompleks


Elemen-elemen yang saling berinteraksi tersebut sering disebut sebagai

subsistem. Disebut demikian karena sebenarnya subsistem tersebut merupakan


suatu sistem yang mempunyai komponen-komponen tersendiri. Sebaliknya suatu
sistem dapat dikatakan sebagai subsistem dari suatu sistem lain yang lebih besar
(Simatupang, 1995).
Manetsch dan Park (1974), mendefinisikan sistem sebagai satu set elemen
atau komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan terorganisir untuk
menghasilkan satu set tujuan. Tiga syarat agar pendekatan sistem dapat bekerja
dengan baik: (1) tujuan sistem ditentukan dengan pasti, (2) proses pengambilan
keputusan dalam sistem yang nyata harus dapat dipusatkan dan (3)
memungkinkan perencanaan jangka panjang.

34

Dent dan Blackie (1979), menyebutkan bahwa penelitian sistem mencakup


dua hal, yaitu analisis komponen dan hubungannya serta proses sintesa yang
mungkin membentuk sistem baru atau mengefisienkan sistem aslinya. Hal yang
penting dalam mempelajari sistem adalah menentukan batas sistem agar dapat
membantu mengerti fungsi sistem tersebut. Eriyatno (1998) berpendapat bahwa
pendekatan sistem memberikan metode yang logis untuk penanganan masalah
dan

merupakan

alat

yang

memungkinkan

untuk

mengidentifikasikan,

menganalisis, menstimulasi serta mendesain sistem keseluruhan.


Eriyatno (1998) menyatakan bahwa metode untuk memecahkan masalah
yang dilakukan dengan melalui pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap
proses. Tahap-tahap tersebut meliputi: evaluasi kelayakan, penyusunan model
abstrak, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem. Menurut
Cooper

(1969),

ada

dua

tahap

dalam

penyusunan

model

yaitu

mengidentifikasikan komponen-komponen yang penting dari sistem dan


menentukan hubungan-hubungan fungsi kuantitatif dari semua komponen.
Pendekatan sistem diperlukan untuk menyelesaikan persoalan dengan
melalui tahapan-tahapan dimana untuk menentukan tujuan dan permasalahan
diawali dengan penentuan kebutuhan-kebutuhan dari setiap pelaku yang terlibat.
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis dengan metode yang
logis untuk penanganan masalah dan merupakan alat yang memungkinkan untuk
mengidentifikasikan,

menganalisis,

menstimulasi

serta

mendesain

sistem

keseluruhan (Marimin, 2004; Eriyatno dan Fadjar, 2007). Menurut Eriyatno dan
Fadjar (2007), dalam pendekatan sistem terdapat enam tahapan analisis
sebelum sampai kepada sintesa (rekayasa), yaitu: (1) analisis Kebutuhan; (2)
identifikasi sistem; (3) formulasi masalah; 4) pemodelan sistem; 5) verifikasi dan
validasi model, dan 6) implementasi. Langkah ke 1 sampai dengan ke 6
umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal dengan Analisa
Sistem.
2.4.2 Sistem manajemen ahli
Sistem manajemen ahli merupakan integrasi dari sistem penunjang
keputusan dan sistem pakar.

Integrasi tersebut dapat berupa memasukan

sistem pakar ke dalam komponen-komponen sistem penunjang keputusan atau


dengan membuat sistem pakar sebagai komponen yang terpisah dari sistem

35

penunjang keputusan. Integrasi sistem pakar pada sistem penunjang keputusan


dapat dilakukan pada basis data, basis model, sistem dialog, maupun pada
rekayasa sistem dan pengguna. penggunaan sistem pakar di luar komponen
sistem penunjang keputusan dilakukan dengan menggunakan keluaran dari
sistem pakar sebagai masukan pada sistem penunjang keputusan atau
sebaliknya. disamping itu, sistem pakar juga dapat digunakan untuk melengkapi
proses pengambilan keputusan pada sistem penunjang keputusan (Turban,
1988).
Sistem manajemen ahli lahir dari perpaduan dua bentuk sistem yaitu sistem
penunjang keputusan dan sistem pakar (knowledge-based systems).

sistem

manajemen ahli merupakan sistem yang menerapkan konsep framework untuk


melakukan analisis struktur terhadap proses pengambilan keputusan. hasil
analisa tersebut selanjutnya akan diproses di dalam suatu sistem pakar untuk
membantu pengguna dalam memecahkan masalah.

teknik-teknik yang

mendukung sistem manajemen ahli dapat dilihat pada Gambar 5.


Basis Pengetahuan
Heuristik
Tatacara inferensi
Perangkat Lunak
User Friendly
Integrated

Analisa Keputusan
Model
preferensi
manusia
Model
keputusan
normatif
Analisa utilitas atribut
ganda

SISTEM
MANAJEMEN AHLI

Model Optimasi
Program Matematika
ProgramSasaran
Ganda

Ilmu Manajemen
Manajemen Penelitian
& Pengembangan

Gambar 5. Teknik-teknik pendukung sistem manajemen ahli (Eriyatno 1998).

Eriyatno (1998) berpendapat bahwa

sistem manajemen ahli dapat

didefinisikan sebagai gabungan interaktif dari tiga basis sumberdaya informasi,


yaitu sistem manajemen basis data (Data Base Management System), sistem
manajemen basis model (Model Base Management System), dan sistem
manajemen basis pengetahuan (Knowledge Base Management System). Ketiga

36

basis informasi tersebut diolah dalam unit pemrosesan terpusat yang menerima
sinyal dari sistem manajemen dialog (Dialogue Management System) yang
bersifat interaktif dengan pengguna. Struktur dari sistem manajemen Ahli dapat
dilihat pada Gambar 6.
Pengguna

Sistem Manajemen
Dialog

Struktur Komunikasi

Sistem Manajemen
Basis Model

Sistem Manajemen
Basis Data

Model-model
kuantitatif dalam
pengambilan
keputusan

Sistem Manajemen Basis


Pengetahuan
- Query Generation
- Transformasi
Jawaban
- Aturan yang berlaku

Pengguna

Pengguna

Gambar 6 Struktur sistem manajemen ahli.


2.4.3.Sistem penunjang keputusan
Menurut Eriyatno (1998), sistem penunjang keputusan (SPK) adalah
konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan
para pengambil keputusan sebagai pemakainya. Sistem penunjang keputusan
dimaksudkan untuk memaparkan secara rinci elemen-elemen sistem sehingga
dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. Karakterisasi pokok
yang melandasi teknik sistem penunjang keputusan yaitu:
(1)

Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan

(2)

Adanya dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap berganda

(3)

Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain
ilmu komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen, dan intelegensia
buatan

(4)

Mempunyai

kemampuan

aditif

terhadap

perubahan

kondisi

dan

kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.


Eriyatno (1998) melanjutkan bahwa aplikasi sistem penunjang keputusan
selanjutnya mampu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu melalui pendekatan
sistem. Penggunaan sistem penunjang keputusan seyogyanya ditunjang oleh

37

berbagai studi lapangan dan penelitian kasus guna menelusuri validitas input dan
parameter-parameternya.
Landasan utama dalam pengembangan sistem penunjang keputusan untuk
model manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk
menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan,
yaitu: (1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model, dan (3) data.
Hubungan antar komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Menurut Minch dan Burns (1983), sistem manajemen dialog adalah
subsistem dari sistem penunjang keputusan yang berkomunikasi langsung
dengan pengguna, yakni menerima masukan dan memberikan keluaran. sistem
manajemen basis data harus bersifat interaktif dan luwes dalam arti mudah
dilakukan perubahan terhadap ukuran, isi, dan struktur elemen-elemen data.
sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk
mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang
tergabung dalam permodelan sistem penunjang keputusan.
Sistem pengolahan problematik adalah koordinator dan pengendali dari
operasi sistem penunjang keputusan secara menyeluruh. sistem ini menerima
masukan dari ketiga sub sistem lainnya dalam bentuk baku serta menyerahkan
keluaran ke sub sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Fungsi
utamanya adalah sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan
antar sub sistem (Eriyatno,1998).
Data

Model

Sistem Manajemen Basis Data


(DBMS)

Sistem Manajemen Basis Model


(MBMS)

Sistem Pengolahan Problematik

Sistem Manajemen Dialog

Pengguna

Gambar 7. Struktur dasar sistem penunjang keputusan (Eriyatno 1998).

38

Keen dan Morton (1978) dalam Marimin (2004), menyatakan bahwa


aplikasi Sistem Penunjang Keputusan akan bermanfaat bila terdapat kondisi
sebagai berikut:
(1)

Data sangat banyak sehingga sulit untuk memanfaatkannya.

(2)

Waktu untuk menentukan hasil akhir atau mencapai keputusan terbatas.

(3)

Diperlukan manipulasi dan komputasi dalam proses pencapaian tujuan.

(4)

Perlunya penentuan masalah, pengembangan alternatif dan pemilihan


solusi berdasarkan akal sehat.

2.4.4. Sistem pakar


Menurut Oxman (1985) dalam Marimin (2005), sistem pakar (Expert
System) merupakan perangkat lunak komputer yang menggunakan pengetahuan
(aturan-aturan tentang sifat dan unsur suatu masalah), fakta, dan teknik inferensi
untuk memecahkan masalah yang biasanya membutuhkan kemampuan seorang
ahli/praktisi. System pakar menggunakan informasi faktual dan observasi yang
didasarkan atas pengalaman dan intuisi ahli agar sistem pakar dapat bernalar
seperti manusia.
Seringkali

Sistem pakar tidak memiliki solusi algoritma yang praktis.

keputusan

dibuat

berdasarkan

informasi yang

tidak lengkap

berdasarkan pendapat dan intuisi, spekulatif, tidak pasti, dan kabur (fuzzy).
Menurut Marimin (2005), pengetahuan yang digunakan dalam sistem pakar
terdiri dari kaidah-kaidah (rules) atau informasi dari pengalaman tentang tingkah
laku suatu unsur dari suatu gugus persoalan. Kaidah-kaidah biasanya
memberikan deskripsi tentang kondisi yang diikuti oleh akibat dari prasyarat
tersebut. Sistem pakar dapat memberikan saran, kesimpulan, dan penjelasan
untuk menyelesaikan persoalan tertentu.
Sistim pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan
dan

konsultasi.

Bagian

pengembangan

sistem

pakar

digunakan

oleh

penyusunnya untuk memasukan pengetahuan dasar ke dalam lingkungan sistem


informasi.

Sedangkan

bagian

konsultasi

digunakan

untuk

mendapatkan

pengetahuan ahli serta saran, nasehat ataupun justifikasi (Marimin, 2005).

39

AHLI

Pengguna

- Fakta
- Aturan
- Model

Akuisisi ilmu
pengetahuan

Penghubung

- Fakta
- Aturan
- Model

Sistem berbasis
pengetahuan

- Nasehat
- Justifikasi
- Konsultasi

- Fakta
- Aturan
- Model

Dangkal
Mendalam
Statis
Dinamis

Mekanisme
Inferensi
Strategi
Penalaran
Strategi
Pengendalian

Fasilitas penjelasan

Gambar 8. Struktur dasar sistem pakar (Marimin, 2005).


Sistem pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan

Marimin (2005) melanjutkan, bahwa pada prinsipnya sistem pakar tersusun


dari beberapa komponen yang mencakup:
(1) fasilitas akuisisi pengetahuan
(2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based system)
(3) mesin inferensi (Inference Engine)
(4) fasiltas untuk penjelasan dan justifikasi
(5) penghubung antara pengguna dengan sistem pakar (User interface)
Tiap bagian mempunyai hubungan yang erat dengan bagian lainnya.
Keterkaitan antar komponen-komponen tersebut disajikan pada Gambar 8.
Bagian terpenting dari Sistem Pakar adalah mekanisme inferensi yang berfungsi
untuk memanipulasi dan mengarahkan fakta, kaidah dan model yang disimpan
dalam sistem berbasis pengetahuan dalam rangka mencapai solusi atau
kesimpulan. Mekanisme inferensi terdiri dua strategi, yaitu (1) strategi penalaran
dan (2) strategi pengendalian.

Strategi penalaran dikelompokan lagi menjadi

strategi penalaran pasti (Exact Reasoning Mechanism) dan strategi penalaran


tidak pasti (Inexact Reasoning Mechanism).

40

Menurut Marimin (2005), strategi penalaran pasti meliputi modus ponens


dan modus tollens dan beberapa teknik resolusi. Kaidah modus ponens dapat
digambarkan sebagai berikut:

A
B
Dari penggambaran tersebut di atas dapat diartikan apabila ada kaidah jika
A maka B dan diketahui bahwa A benar,maka dapat diambil kesimpulan yang
sah bahwa B adalah benar.
Kaidah modus tollens pada prinsipnya merupakan kebalikan dari kaidah
modus ponens, dan dapat digambarkan sebagai berikut:

(not) B
(not) A
Dari penggambaran tersebut di atas dapat diartikan apabila ada kaidah jika
A maka B dan diketahui bahwa B adalah salah,maka dapat disimpulkan bahwa A
salah.
Strategi pengendalian yang sering digunakan dalam Sistem Pakar terdiri
dari mata rantai ke depan (Forward Chaining), mata rantai ke belakang
(Backward Chaining), dan gabungan dari kedua teknik pengendalian tersebut.
Ketiga teknik strategi pengendalian tersebut digunakan untuk melakukan
pencarian dan pembuktian bahwa suatu solusi dari suatu persoalan ada atau
benar.
Teknik mata rantai ke belakang melacak suatu kesimpulan sementara atau
akhir yang kemudian dilacak melalui fakta-fakta pendukung dan kaidah-kaidah
yang

ada,

serta

untuk

mendapatkan

variabel

pembentuk

kesimpulan.

Sedangkan pada teknik mata rantai ke depan, kesimpulan suatu kasus dibangun
berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahui.
Dengan struktur dasar seperti telah dijelaskan di atas, Marimin (2005)
berpendapat bahwa sistem pakar merupakan salah satu alternatif terbaik untuk
menyelesaikan persoalan dengan menggunakan komputer yang didukung oleh
teknik kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), terutama untuk pemecahan

41

persoalan yang kompleks dan belum memiliki algoritme. Dalam penerapannya,


sistem pakar dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang bersifat
analitis (interprestasi dan diagnostik), sintesis, dan integrasi yang sesuai dengan
konsep sistem informasi dengan penerapan data dasar (modelisasi konseptual,
konsepsi fisik, restrukturisasi data dan administrasi dokumen).

2.5. Penelitian Terdahulu


Penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan analisa kelayakan
investasi diantaranya telah dilakukan oleh Hadisenjaya (1995) yang merancang
dan mengembangkan model FISHTool yang merupakan aplikasi sistem
penunjang keputusan untuk investasi pada industri tepung ikan. Model ini dibuat
untuk membantu menganalisa kelayakan pendirian industri tepung ikan ditinjau
dari aspek pasar, aspek teknis khususnya pemilihan lokasi, dan aspek finansial.
Kriteria investasi yang digunakan untuk mengukur kelayakan dalam model ini
adalah Payback Period, Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return
(IRR).
Selanjutnya Agustedi (2000) merancang model Perencanaan Pembinaan
Agroindustri Hasil Laut Orientasi Ekspor dengan Pendekatan Wilayah yang
dikembangkan. Penelitian tersebut bertujuan untuk menghasilkan suatu model
perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut orientasi eksport dengan
pendekatan wilayah yang antara lain meliputi analisis faktor-faktor pendukung
dan penghambat pembinaan agroindustri hasil laut, menganalisis struktur biaya
biaya usaha agro industri hasil laut. Penelitian juga menghasil satu perangkat
lunak AGROSILA sebagai suatu model berbasis komputer.
Penelitian Giyatmi (2005) dengan judul Sistem Pengembangan Agroindustri
Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Provinsi
Jawa Tengah. Penelitian ini antara lain bertujuan untuk mengkaji dan
merumuskan cara pengelompokan wilayah untuk pengelompokan kawasan
pengembangan, mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas
potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan
usahanya di masing-masing kawasan pengembangan serta menyusun suatu
strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan agroindustri
perikanan

laut

serta

mengembangkan

alternatif

model

pengembangan

agroindustri hasil laut berbasis sistem penunjang keputusan. Kajian ini

42

menghasilkan sistem pengembangan agroindustri perikanan laut yang dirancang


dalam suatu program komputer dengan nama AGRIPAL.
CAP-AQUADEV ini dirancang untuk membantu para pengambil keputusan
di lingkungan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan ke depan. Hasil
akhir yang direkomendasikan yaitu (1) sub model potensi SDI, (2) sub model
kesesuaian lahan, (3) sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan, (4) sub
model pemilihan komoditas potensial, (5) sub model kelayakan usaha, (6) sub
model strategi, dan (7) sub model kelembagaan.

3.1

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan selama 24 bulan, mulai dari Maret 2006 hingga

Maret 2008. Pengolahan, tabulasi, dan analisis data serta pembuatan perangkat
lunak komputer dilaksanakan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (FPIK
IPB). Penelitian lapang di laksanakan di Kabupaten Lampung Selatan.
Kegiatan penelitian meliputi:
(1)

Survei terhadap lokasi penelitian untuk analisis dan identifikasi masalah


terkait dengan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya serta
merancang percobaan penelitian dilakukan pada bulan Maret 2006 -April
2006.

(2)

Studi pustaka untuk mendapatkan data-data pendukung dalam analisis


pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, dilakukan bulan April
2007-Mei 2007 di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Jakarta,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, lembaga-lembaga penelitian
terkait lainnya, FPIK IPB dan perguruan tinggi lain.

(3)

Pengumpulan data utama terkait dengan integrasi pengembangan


perikanan tangkap dan perikanan budidaya, dilakukan di Lampung Selatan,
Dinas Perikanan dan Kelautan Lampung, DKP, FPIK IPB, bulan Juni 2007
Nopember 2007.

(4)

Pengolahan data dan pembuatan perangkat lunak komputer CAPAQUADEV, dilakukan di FPIK IPB bulan Nopember 2007-Maret 2008.

(5)

Penulisan laporan dan konsultasi (disertasi) bulan Agustus 2007Maret


2008, dilakukan di FPIK IPB.

3.2. Tahap Penelitian


Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka pelaksanaan penelitian ini melalui
tahapan:
(1) Pengambilan data primer dan sekunder;
(2) Analisis potensi SDI dan kondisi existing perikanan tangkap;
(3) Analisis kesesuaian lahan untuk budidaya;
(4) Analisis pemilihan teknologi unggulan;
(5) Analisis pemilihan komoditas potensial;

44

(6) Analisis kelayakan usaha;


(7) Analisis kelembagaan
(8) Identifikasi elemen sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya; serta
(9) Perancangan software Cap-Aquadev.

Gambar 9. Bagan alir proses penelitian


Identifikasi
mendapatkan

elemen

sistem

elemen-elemen

pengembangan

penting

sistem

dimaksudkan

yang

digunakan

untuk
untuk

perancangan model integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan


budidaya. Permodelan sistem digunakan untuk merumuskan hubungan antara
masukan dan keluaran dan memprediksi hasil yang dimungkinkan. Pengumpulan
data digunakan untuk melakukan verifikasi model, yaitu di Lampung Selatan.
Perancangan sistem pengambilan keputusan berbasis komputer dimaksudkan
untuk mendukung proses pengambilan keputusan yang rasional dalam integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya secara cepat dan
efektif.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan penelitian, data dikumpulkan melalui studi pustaka dan
survei lapang untuk mendapatkan data primer dan sekunder. Data sekunder

45

diperoleh dari beberapa literatur dan instansi terkait, baik di daerah maupun di
tingkat pusat. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara
mendalam (in-depth interview) atau dengan bantuan kuesioner terhadap pihak
terkait, seperti nelayan, pelaku usaha budidaya, tenaga kerja yang bergerak
pada usaha budidaya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Teknik
pengambilan contoh (expert survey) dilakukan dengan teknik pengambilan
contoh purposif (purposive sampling) dengan kriteria mewakili setiap bidang
keahlian sesuai bidang kajian.
3.4. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan terhadap data primer dan sekunder yang telah
dikumpulkan dengan menggunakan berbagai metode yang tercakup dalam
Model CAP-AQUADEV. Konfigurasi Model CAP-AQUADEV terdiri dari Sub
Model Potensi SDI, Sub Model Kesesuaian Lahan Pengembangan Perikanan
Budidaya, Sub Model Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Layak
dikembangkan, Sub Model Pemilihan Komoditas Unggulan, Sub Model
Kelayakan Usaha, Sub Model Strategi integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, Sub Model Kelembagaan pengembangan
perikanan tangkap berbasis budidaya.
Tabel 1. Matriks pengambilan dan analisa data penelitian
Tujuan Penelitian
1.

Kajian potensi SDI di Lampung Selatan

2.

Kajian kesesuaian lahan pada wilayah


pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya di Lampung Selatan.
Kajian teknologi penangkapan ikan yang ideal
dikembangkan di Lampung Selatan.

3.

Metode
Pengambilan Data
Survei lapang

Metode Pengolahan dan


Analisa Data
CPUE dan MSY

Survei
wawancara

dan

Pembobotan

Suvei
wawancara

dan

OWA

4.

Mengidentifikasi dan merumuskan cara


pemilihan komoditas potensial ataupun
unggulan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya.

Suvei
wawancara

dan

OWA

5.

Kelayakan usaha

dan

NPV, IRR, B/C

6.

Menyusun tahapan ataupun prioritas kegiatan


pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.

Survei
wawancara
Questioner

7.

Menyusun strategi pengembangan cara


pemberdayaan
kelembagaan
perikanan
tangkap dan perikanan budidaya.

Suvei
wawancara/
FGDM

dan

AHP

ISM

46

Kajian Potensi SDI. Metode penelitian yang digunakan adalah survei


deskriptif. Penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan fakta-fakta dan mencari
keterangan-keterangan tentang potensi sumber daya perikanan (tangkap),
mengidentifiksi

permasalahan

serta

mencari

keterkaitan

dan

hubungan-

hubungan, membuat prediksi, mendapatkan pembenaran dan implikasi dari


permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan. Data-data tersebut sebagai
landasan

untuk

menyusun

konsep

pengelolaan

perikanan.

Pengelolaan

perikanan pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk:


(1) Memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa
keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan.
(2) Memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi
para pihak pengguna sumberdaya perikanan.
(3) Secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang terkait
dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan, terutama nelayan.
Konsep dasar yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa
pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya
dukung (carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan
tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan
alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomass ikan. Oleh karena itu, upaya
pengelolaan diawali dengan pengkajian stok, agar potensi stok alaminya dapat
diketahui. Bahwa analisis akan diawali dengan pengkajian stok sumberdaya yang
hendak dikelola. Pada saat yang sama juga dilakukan pemantauan terhadap
upaya penangkapan, terutama untuk memantau apakah sudah terjadi eksploitasi
yang berlebih, dengan melihat hasil tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran
yang tertangkap.
Kajian atau pendugaan potensi sumberdaya ikan menggunakan metode
surplus produksi dari Schaefer (1988) dalam FAO (1999), yang mendasarkan
pada asumsi bahwa Catch per Unit Effort (CPUE) meruipakan fungsi dari f yang
bersifat linier dengan rumus :

Sehingga;

47

Sedangkan:

Keterangan:
CPUE

: cacth per unit effort

: hasil tangkapan

: effort/ upaya penangkapan

Ci

: jumlah tangkapan periode ke-i

MSY

: potensi lestari

Perhitungan nilai CPUE dihitung setelah melakukan standarisasi alat


tangkap. Alat tangkap yang dijadikan standar mempunyai nilai faktor daya
tangkap atau Fishing Power Indexs (FPI) sama dengan 1 (satu).
Berdasarkan

hasil

kajian

stok

dan

pemantauan

tersebut,

dengan

memperhatikan aspek resiko yang mungkin timbul dan aspek lingkungan


(ekologi, sosial ekonomi dan budaya), maka akan dapat dibuat suatu peraturan
perikanan, terutama terkait dengan pengaturan upaya penangkapan (jenis alat,
jumlah alat, waktu dan lokasi) dan pengaturan hasil tangkapan (ukuran yang
boleh ditangkap dan jumlah atau kuota).
Kajian Potensi Budidaya Laut. Analisis pengembangan Budidaya Laut di
Lampung Selatan diawali dengan studi keadaan umum dan potensi perikanan
khususnya di seluruh wilayah Lampung Selatan, dan selanjutnya dirinci, terutama
yang berhubungan dengan potensi lahan pengembangan dari komoditi perikanan
laut dan kesinambungan usaha perikanan budidaya laut, gambaran tentang
usaha perikanan budidaya laut yang telah ada dan berkembang, serta teknologi
pembudidayaan yang digunakan.
Perumusan Cara Pemilihan teknologi penangkapan ikan yang layak
dikembangkan dan prioritas komoditas potensial dan produk unggulan.
Penentuan teknologi penangkapan ikan dan prioritas komoditas potensial
merupakan proses yang sangat penting mengingat keberadaan teknologi
penangkapan ikan dan komoditas dalam integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya dapat menjadi penentu keberlangsungan

48

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.


Di dalam penentuan jenis teknologi penangkapan ikan dan komoditas
potensial untuk integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya di wilayah Lampung Selatan didasarkan pada beberapa kriteria.
Menurut Monintja (2000) kriteria untuk teknologi penangkapan ikan yang ramah
lingkungan adalah sebagai berikut: 1) selektivitas tinggi, 2) tidak destruktif
terhadap habitat, 3) tidak membahayakan nelayan (operator), 4) menghasilkan
ikan bermutu baik, 5) produk tidak membahayakan konsumen, 6) minimum hasil
tangkapan yang terbuang, 7) dampak minimum terhadap keanekaragaman
sumberdaya hayati, 8) tidak menangkap spesies yang di lindungi atau terancam
punah. Sedangkan kriteria yang diperlukan dalam pemilihan komoditi potensial
yang akan dikembangkan, diantaranya berupa nilai ekonomis komoditas,
peluang diversifikasi komoditas serta kelayakan budidaya (kesesuaian lahan).
Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA
Operator. Pemilihan prioritas alternatif ditentukan dengan metode Evaluasi
Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation atau IPE) dengan kaidah
Fuzzy Group Decision Making (FGDM). Sebagai alternatif, akan dipilih beberapa
jenis ikan berdasarkan rataan volume produksi selama sepuluh tahun terakhir.
Responden menilai setiap kriteria atau alternatif dengan skala Paling Rendah
(PR), Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T), Sangat Tinggi
(ST), dan P (Paling Tinggi atau Perfect).
Pemilihan produk budidaya laut berpedoman pada pilihan parameterparameter dari setiap kriteria penentuan produk unggulan, di antaranya
berdasarkan kelayakan komoditas, ketersediaan dan tingkat kemudahan
teknologi, nilai ekonomis, peluang pasar, penyerapan tenaga kerja, dampak
ganda terhadap sektor lain, dampak terhadap lingkungan, dan kondisi budidaya
laut saat sekarang.
Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA
Operator. Pemilihan prioritas alternatif digunakan metode Evaluasi Pilihan Bebas
atau IPE dengan kaidah FGDM. Responden menilai setiap kriteria atau alternatif
dengan skala Paling Rendah (PR), Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang
(S), Tinggi (T), Sangat Tinggi (ST), dan P (Paling Tinggi atau Perfect).
Perumusan Kelayakan Investasi. Dengan melihat manfaat finansial dan
ekonomi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

49

budidaya di Kabupaten Lampung Selatan, maka dilakukan studi kelayakan atas


investasi yang ditanamkan. Dalam rangka mencari usuran menyeluruh tentang
manfaat investasi digunakan berbagai macam kriteria investasi yang dinyatakan
dengan indeks. Indeks-indeks tersebut disebut sebagai kriteria investasi, di
mana setiap indeks menggunakan nilai kini (present value) yang telah didiskonto
dari arus manfaat dan biaya selama umur suatu usaha atau investasi.
Penilaian atas suatu investasi dilakukan dengan membandingkan semua
penerimaan yang diperoleh akibat investasi tersebut dengan semua pengeluaran
yang harus dikorbankan selama proses investasi dilaksanakan. Baik penerimaan
maupun pengeluaran dinyatakan dalam bentuk uang agar dapat dibandingkan
dan harus dihitung pada waktu yang sama. Dalam analisis ini akan dikembalikan
pada nilai kini (present value). Karena baik penerimaan maupun pengeluaran
berjalan bertahap, maka terjadi arus

pengeluaran dan penerimaan yang

dinyatakan dalam bentuk arus tunai (cash flow).


Kriteria yang akan digunakan dalam studi kelayakan pada penelitian ini
didasarkan pada analisis biaya manfaat baik secara finansial maupun ekonomi.
Kriteria-kriteria yang digunakan adalah:
(1)

Net Present Value (NPV)


Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan

jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Rumus untuk
menghitung NPV adalah:

Atau

Keterangan:
NB

: Net Benefit (Benefit Cost).

: Benefit yang telah di-discount.

: Cost yang di-discount.

: Discount factor.

: Waktu (tahun).

50

Kriteria

keputusan

yang

diambil

dalam

menentukan

kelayakan

berdasarkan NPV adalah:

Jika NPV > 0, berarti investasi dinyatakan menguntungkan atau layak untuk
dilakukan.

Jika NPV < 0, berarti investasi dinyatakan tidak menguntungkan atau tidak
layak untuk dilaksanakan.

Jika NPV = 0, maka investasi pada proyek tersebut hanya mengembalikan


manfaat yang persis sama dengan tingkat social opportunity cost of capital
(SOCC).

(2)

Internal Rate of Return (IRR)


IRR atau internal rate of return adalah suatu tingkat discount rate yang

menghasilkan net present value sama dengan nol. IRR merupakan suku bunga
maksimal untuk sampai kepada NPV bernilai sama dengan nol, jadi dalam
keadaan batas untung rugi. Oleh karena itu juga dianggap sebagai tingkat
keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Asal setiap manfaat yang
diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan
mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur
proyek. Rumus untuk menghitung IRR adalah:

Keterangan:
i1
i2

: tingkat discount rate yang dihasilkan NPV1.


: tingkat discount rate yang dihasilkan NPV2.

Proyek atau investasi dikatakan layak bila IRR > dari tingkat bunga berlaku.
Sehingga bila IRR ternyata sama dengan tingkat bunga yang berlaku, maka
NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari tingkat bunga
yang berlaku, maka berarti nilai NPV < 0, berarti proyek tidak layak.
(3)

Benefit Cost Ratio (B/C Rasio)


Benefit Cost Ratio (B/C Rasio) merupakan perbandingan antara total

penerimaan kotor dan total biaya produksi.


menghitung Net B/C adalah:

Rumus yang digunakan untuk

51

Kriteria

keputusan

yang

diambil

dalam

menentukan

kelayakan

berdasarkan perbandingan antara pendapatan kotor dan biaya produksi adalah:


1) jika B/C Ratio > 1, layak diterima;
2) jika B/C Ratio < 1, tidak layak diterima.
Perumusan Analisis Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan
Tangkap dan Perikanan Budidaya. Strategi integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya dirumuskan dengan teknik pengambilan
keputusan Analytical Hierarchy Process. Penyusunan strategi pada penelitian
dapat dilakukan di tahap awal. Penyusunan strategi pada penelitian dapat
dilakukan di tahap awal (fase identifikasi) atau di akhir (fase setelah kelayakan)
dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Dengan kata lain penyusunan strategi dapat bersifat kualitatif maupun deskriptif
analitik.
Fokus hirarki ini adalah Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan
Tangkap dan Perikanan Budidaya. Hirarki berikutnya merupakan faktor yang
berpengaruh dalam pengembangan, yaitu (1) SDI, (2) potensi lahan budidaya
laut, (3) SDM, (4) teknologi; (5) permodalan, (6) pasar, (7) kebijakan pemerintah,
(8) sarana dan prasarana, (9) informasi, dan (10) kelembagaan. Struktur
dibawahnya adalah tujuan pengembangan, yaitu (1) peningkatan produksi ikan,
(2) perluasan lapangan kerja, (3) perluasan kesempatan berusaha, (4)
peningkatan pendapatan daerah, (5) peningkatan pertumbuhan ekonomi, (6)
peningkatan

konsumsi

ikan.

Alternatif

strategi

yang

ditawarkan

dalam

pengembangan budidaya laut adalah (1) optimalisasi perikanan budidaya, (2)


optimalisasi perikanan tangkap, (3) pengelolaan perikanan tangkap berbasis
perikanan budidaya.
Proses penentuan alternatif kebijakan integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan menggunakan aplikasi
pendekatan proses hierarki analitik (analytical hierarchy process-AHP). Kriteria
untuk alternatif pengelolaan budidaya laut di Lampung Selatan adalah sebagai
berikut:
1) Aspek hukum; yaitu ditinjau dari aspek hukum, kebijakan yang di ambil tidak
bertentangan dengan hukum.

52

2) Aspek ekonomi; dari aspek ekonomi kebijakan yang di ambil bersifat


menguntungkan.
3) Aspek ekologis (lingkungan); dari aspek ekologis kebijakan yang di ambil
tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya.
4) Aspek teknis; dari aspek teknis kebijakan yang di ambil bersifat secara teknis
efektif digunakan.
5) Aspek sosial; dari aspek sosial kebijakan yang di ambil dapat diterima
masyarakat nelayan.
Proses hierarki analitik (analytical hierarchy process-AHP) dirancang
untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat
dengan permasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang di desain untuk
sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Analisis ini
merupakan suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu
model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, dan biasanya diterapkan
untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur, maupun masalah-masalah
yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks
atau tidak berkerangka, pada situasi di mana data dan informasi statistik sangat
minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh
persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP juga banyak digunakan pada
pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber
daya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam
situasi konflik (Saaty, 1993 dan Marimin, 2004).
AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan
dengan pendekatan sistem, di mana pengambil keputusan berusaha memahami
suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil
keputusan (Saaty, 1993).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks
yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta
menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel di
beri nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara
relatif dibandingkan dengan variabel dengan variabel yang lain. Dari berbagai
pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel
yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada
sistem tersebut (Marimin, 2004). AHP dan analisa kelayakan usaha sangat baik
digunakan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam menentukan jenis

53

perlakuan terhadap lingkungan budidaya (Jadwiga, 2008). Selain itu model atau
software

sudah

lazim

digunakan

dalam

penentuan

prioritas

untuk

memaksimalkan keuntungan atau efisiensi dari dua kegiatan perikanan atau lebih
yang berlangsung pada waktu atau lokasi yang sama (Morten et al, 2009).
Seperti penelitian Pascoe and Mardle (2001), yang menyatakan bahwa untuk
memaksimalkan keuntungan ekonomi dan menjagakestabilan pekerja dilakukan
analisis menggunakan bioekonomi model.
Menurut Saaty (1993), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan
dengan analisis logis eksplisit, yaitu:

(1)

Prinsip menyusun hirarki


Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkah-

langkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang
merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen
pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan
seterusnya secara hierarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah
menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan.

(2)

Prinsip menetapkan prioritas


Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu

aspek dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemenelemen menurut relatif pentingnya.

(3)

Prinsip konsistensi logis


Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan,

dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten


dengan kriteria yang logis.
Langkah-langkah dalam metode AHP menurut Saaty (1993) adalah:
(1)

Mendefinisikan permasalahan dan pemecahan masalah yang diinginkan.

(2)

Membuat

struktur

hierarki

dari

sudut

pandang

manajerial

secara

menyeluruh. Pada tingkat puncak dari suatu hierarki disebut fokus yang
terdiri atas hanya satu elemen. Fokus merupakan sasaran keseluruhan
yang sifatnya luas. Pada tingkat-tingkat berikutnya masing-masing dapat
memiliki beberapa elemen. Elemen-elemen dalam tingkat harus dari derajat
besaran yang sama. Tingkat terendah terdiri atas berbagai tindakan akhir

54

atau rencana-rencana alternatif, yang bisa memberikan kontribusi secara


positif

ataupun

negatif

bagi

pencapaian

sasaran

utama

melalui

pengaruhnya pada berbagai kriteria yang ada diantara kedua tingkat


tersebut.
(3)

Menyusun

matriks

banding

berpasangan.

Dari

matriks

banding

berpasangan dapat diketahui pengaruh setiap elemen yang relevan atas


setiap

kriteria

yang

berpengaruh

terhadap

fokus.

Perbandingan

berpasangan yang pertama dilakukan pada fokus dan elemen satu tingkat
dibawahnya.
(4)

Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil melakukan


perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah 3.

(5)

Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang


diagonal utama. Angka pada skala banding berpasangan digunakan bila
baris lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus dibanding kolom,
maka digunakan angka kebalikannya. Bila membandingkan suatu elemen
dalam matriks dengan elemen itu sendiri, perbandingan itu harus memberi
bilangan 1, maka diagonal matriks diisi dengan bilangan-bilangan 1.
Melaksanakan langkah 3,4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam
hierarki.

(6)

Sintesis

berbagai

pertimbangan

untuk

memperoleh

suatu

taksiran

menyeluruh dari prioritas relatis. Nilai-nilai dalam setiap kolom dijumlahkan


lalu membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah pada kolom
tersebut

untuk

memperoleh

matriks

yang

dinormalisasi,

yang

memungkinkan pembandingan antar elemen yang bermakna. Kemudian


merata-ratakan sepanjang baris dengan menjumlahkan semua nilai dalam
setiap baris dari matriks yang dinormalisasi dan membaginya dengan
banyaknya entri dari setiap matriks untuk mendapat Vektor Prioritas (VP).
Saaty

(1993)

mengatakan

bahwa

proses

pada

AHP

adalah

mengidentifikasi, memahami, dan menilai intreraksi-interaksi suatu sistem


sebagai suatu keseluruhan. Dalam penilaian AHP dan pengisian matriks banding
berpasangan menggunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 2).
Pengisian matriks hanya dapat dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari
kiri ke kanan bawah.

55

Tabel 2. Nilai skala banding berpasangan


Intensitas
pentingnya
1
3
5
7

Definisi

Penjelasan

Kedua elemen sama


pentingnya
Elemen yang satu lebih
sedikit penting dari elemen
yang lain
Elemen yang satu sangat
penting dari elemen yang
lain
Satu elemen jelas lebih
penting dari elemen yang
lain

Dua elemen menyumbangkan sama


besar pada sifat itu
Pengalaman dan pertimbangan
sedikit menyokong satu elemen atas
elemen yang lain
Pengalaman dan pertimbangan
dengan kuat menyokong satu
elemen atas elemen yang lain
Satu elemen dengan kuat disokong
dan dominannya telah terlihat dalam
praktek
Bukti yang menyokong elemen yang
satu atas elemen yang lainnya
memiliki tingkat penegasan yang
mungkin menguatkan.

Satu elemen mutlak lebih


penting dari elemen yang
lain

Nilai-nilai antara dua


Kompromi diperlukan diantara dua
pertimbangan yang
pertimbangan
berdekatan
Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan
kebalikan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila
dibandingkan dengan i.
Sumber : Saaty (1993)
2,4,6,8

Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat m kriteria yang dibandingkan,


maka harus dihasilkan m matriks, setiap sel cij mempunyai karakteristik
sedemikian sehingga ;

Atau

Jika C1, C2, ,Cn adalah elemen yang akan dibandingkan, dan n adalah jumlah
elemen yang akan dibandingkan (Tabel 3).
Tabel 3. Matriks elemen
C1

C2

..

Cn

C1

a12

A1n

C2

1/a12

..

A2n

..

..

Cn

1/a1n

1/a2n

..

56

Analisis selanjutnya adalah menghitung nilai-nilai yang telah dihitung dari


setiap matriks untuk mendapatkan vektor prioritas (VP). Selain itu juga dilakukan
sintesis berbagai pertimbangan dan mendapatkan nilai konsistensi.
Tabel 4. Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matriks normalisasi dan vektor
prioritas
C1

C2

Cn

Matriks Normalisasi

VP

C1

A12

A1n

1/J1

A12/J2

A1n/Jn

P1

C2

1/a12

A2n

A21/J1

1/J2

A2n/Jn

P2

Cn

1/a1n

1/a2n

An1/J1

An2/J2

1/Jn

pn

J1

J2

Jn

VP

Penghitungan nilai eigen Maks ( maks) dengan rumus :

Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :

Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) adalah :

Keterangan:
RI :
CR

Indeks acak (random Indeks) dari matriks berordo 1 sampai 15 (Tabel


Nilai Indeks Acak).

dikatakan

mempunyai

tingkat

konsistensi

yang

tinggi

dan

dapat

dipertanggungjawabkan bila bernilai lebih kecil atau sama dengan 0,1. Hal ini
dikarenakan merupakan tolok ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil
perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty ,1993).

57

Tabel 5 Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15


N
RI
1
0,00
2
0,00
3
0,59
4
0,90
5
1,12
Sumber : Saaty (1993)

N
6
7
8
9
10

RI
1,24
1.32
1,41
1,45
1,49

N
11
12
13
14
15

RI
1,51
1,48
1,56
1,57
1,59

Saaty (1993) menyatakan bahwa AHP memberi suatu sarana yang berguna
untuk menstruktur hierarki, baik untuk perencanaan yang diproyeksikan
(deskriptif) maupun perencaan ideal (normative). Perhitungan dengan AHP ini
menggunakan bantuan software expert choice 2000.
Analisis Kelembagaan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap
dan Perikanan Budidaya. Untuk mengkaji keterkaitan/hubungan konsteksual
antar elemen dan sub elemen dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya digunakan metode Interpretative Structural Modelling
(ISM). Elemen sistem pengembangan mencakup pelaku/lembaga yang berperan
dalam pengembangan, kebutuhan untuk pelaksanaan program, kendala
program, tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, dan aktivitas yang dibutuhkan
guna perencanaan tindakan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penggunaan teknik ISM adalah
sebagai berikut (Marimin, 2004):
(1)

Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Hal ini dapat
diperoleh melalui penelitian, brainstroming, dan lain-lain.

(2)

Hubungan konstektual: Sebuah hubungan konstektual antar elemen


dibangun, tergantung pada tujuan dari permodelan.

(3)

Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction


matrix/SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap
elemen hubungan yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk
mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang
dipertimbangkan adalah:
V : hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya.
A : hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya.
X : hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya).
O : menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.

58

(4)

Pembuatan matriks reachability (reachability matrix/RM): Sebuah RM yang


dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah
matriks biner. Aturan-aturan konversi berikut menerapkan:

Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan


Eji = 0 dalam RM;

Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan


Eji = 1 dalam RM;

Jika hubungan Ei terhadapa Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0


dan Eji = 0 dalam RM;

RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect


reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, maka Eik = 1.
(5)

Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam


level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat
diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: reachability set (Ri),
adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei,
dan antecedent set (Ai), adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana
elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri =
Ri Ai, adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya
elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasiiterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk
level-level

berikutnya

dengan

menggunakan

aturan

yang

sama.

Selanjutnya, seluruh elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level


yang berbeda.
(6)

Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-lemen dalam level


yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian
besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan
terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan
digraph.

(7)

Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph


sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan langsung, dan
level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
digraph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua
komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.

(8)

Pembangkitan Interpretative structural modelling: ISM dibangkitkan dengan


memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh

59

sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemenelemen sistem dan alur hubungannya.
3.5

Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah

yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan


sistem operasional yang efektif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pendekatan sistem ini meliputi analisis kebutuhan, formulasi permasalahan dan
identifikasi sistem. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi
perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin terorganisir, adanya
penggunaan model matematika, berfikir secara kuantitatif, optimasi dan dapat
diaplikasikan dengan teknik simulasi serta dapat direkayasa dengan bantuan
komputer. Pendekatan sistem menggunakan abstraksi keadaan nyata ataupun
penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah.
3.5.1 Analisis kebutuhan
Dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya melibatkan berbagai pihak atau pelaku, baik yang secara langsung
maupun yang tidak langsung terkait dalam sistem. Masing-masing pelaku atau
lembaga

memiliki

kebutuhan.

Analisis

kebutuhan

masing-masing

pihak

merupakan permulaan pengkajian dalam sistem. Dalam tahap ini dicari secara
selektif apa saja yang dibutuhkan dalam analisis sistem. Sistem integrasi
pengembangan

perikanan

tangkap

dan

perikanan

budidaya

dalam

operasionalnya harus diupayakan dapat memenuhi kebutuhan pelaku yang


terlibat secara optimal. Keterkaitan kebutuhan antar pelaku diantaranya
menyangkut

permodalan,

teknologi,

pemasaran,

sarana

prasarana,

dan

kebijakan.
Pada tahap analisis kebutuhan dapat ditentukan komponen-komponen atau
pelaku yang berpengaruh dan berperan dalam sistem atau sub sistem.
Komponen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan
tujuannya masing-masing dan saling berintegrasi satu sama lain, serta
berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada. Dari analisis kebutuhan,
komponen-komponen yang berpengaruh adalah nelayan, pembudidaya ikan,
investor, pengusaha, pemerintah, konsumen, lembaga keuangan (bank) dan
lembaga pendidikan.

60

Para pelaku yang terlibat dalam integrasi pengembangan perikanan


tangkap dan perikanan budidaya adalah:
(1) Nelayan
Merupakan kelompok masyarakat yang mata pencaharian utamanya mencari
ikan. Nelayan terdiri dari kelompok pemilik kapal atau perahu maupun
nelayan pekerja yang tidak mempunyai perahu. Nelayan merupakan pelaku
utama dalam perikanan tangkap dan akan terkena dampak langsung apabila
ada permasalahan dalam sistem perikanan tangkap.
(2) Pembudidaya ikan
Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan usaha pembudidayaan
atau pembesaran ikan.
(3) Investor
Merupakan

kelompok

masyarakat

yang

melakukan

investasi

atau

penanaman modal untuk usaha perikanan budidaya


(4) Pengusaha
Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan usaha perikanan tangkap
dan perikanan budidaya.
(5) Pemerintah; yaitu lembaga otoritas lokal (Pemerintah Kabupaten Lampung
Selatan, Pemerintah Propinsi Lampung) maupun Pemerintah Pusat yang
mempunyai tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(6) Lembaga Keuangan atau Perbankan; merupakan institusi keuangan baik
berupa bank atau lembaga keuangan lainnya yang dapat berperan sebagai
pemberi dana untuk keperluan investasi.
(7) Pembeli (konsumen ikan); adalah masyarakat yang melakukan transaksi
pembelian ikan. Konsumen terbagi menjadi konsumen rumah tangga dan
konsumen industri pengolahan ikan. Konsumen berperan penting dalam
pengembangan produksi ikan. Peningkatan jumlah konsumen akan memacu
peningkatan produksi ikan.
(8) Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan (riset), sebagai lembaga yang
melakukan kegiatan penelitian.
Pada tahap analisis kebutuhan dapat ditentukan pelaku-pelaku atau
elemen-elemen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem ataupun sub
sistem. Elemen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai
dengan tujuannya masing-masing dan saling berinteraksi satu sama lain serta

61

berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada (Eriyatno, 2003 dan


Marimin, 2004).
Pelaku yang terlibat dalam sistem integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya mencakup nelayan, pembudidaya ikan,
konsumen, lembaga keuangan atau perbankan, instansi pemerintah terutama
pihak perikanan dan instansi terkait lainnya di daerah dan di pusat. Analisis
kebutuhan dari masing-masing elemen tersebut adalah sebagai berikut:
(1)

(2)

(3)

Nelayan

Produktivitas nelayan meningkat.

Tersedianya sarana dan prasarana penangkapan.

Tersedianya modal berusaha.

Harga jual ikan layak dan stabil.

Permintaan terhadap hasil perikanan kontinyu.

Penguasaan teknologi yang baik.

Kesejahteraan keluarga meningkat.

Pembudidaya ikan

Tersedianya sarana dan prasarana budidaya.

Tersedianya modal berusaha.

Harga jual ikan tinggi atau wajar.

Permintaan terhadap hasil budidaya kontinyu.

Pemasaran terjamin.

Produktivitas meningkat.

Kesejahteraan meningkat.

Pengusaha

Pasokan bahan baku terjamin, harga rendah dan mutu baik.

Pemasaran produk terjamin dengan harga menguntungkan.

Tersedianya modal usaha dengan persyaratan peminjaman yang saling


menguntungkan.

(4)

Pedagang atau Bakul

Mutu produk sesuai standar atau selera konsumen dengan harga


rendah.

Biaya produksi dan biaya transaksi rendah.

Harga jual menguntungkan dan permintaan konsumen tinggi.

Pasokan produk terjamin dari segi jumlah maupun waktu.

62

(5)

(6)

Konsumen

Mutu produk sesuai selera konsumen dengan harga terendah.

Diversifikasi produk.

Lembaga Pembiayaan usaha

Manajemen dan proposal agroindustri hasil laut yang layak.

Resiko penyaluran kredit kecil dan pengembalian kredit yang terjamin.

Bunga kredit atau bagi hasil usaha menguntungkan dan jumlah


nasabah meningkat.

(7)

Instansi Pemerintah

Bertambahnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pengusaha


perikanan.

(8)

(9)

Tidak terjadinya pencemaran lingkungan.

Meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan bagi PAD.

Investor

Keuntungan tinggi.

Jenis komoditas yang ekonomis tinggi.

Tersedianya modal yang memadai untuk kegiatan perikanan tangkap.

Tersedianya modal yang cukup untuk kegiatan budidaya.

Lembaga Pendidikan

Tingkat suku bunga yang representatif dan pembiayaan yang


menguntungkan.

Peningkatan jumlah nasabah.

Pengembalian kredit lancar.

Resiko penyaluran kredit kecil.

3.5.2 Formulasi permasalahan


Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan
berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhan akibat adanya
keterbatasan sumberdaya. Untuk melakukan pemecahan masalah maka
berbagai kesenjangan yang ada perlu diformulasikan sehingga mencapai taraf
defenitif.
Keberhasilan dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan

budidaya

memerlukan

perencanaan

yang

baik,

pengalaman,

pengetahuan serta intuisi yang tepat dari pengambil keputusan. Sinergi

63

kepentingan antar pelaku dalam sistem diharapkan akan mengoptimalkan


pencapaian tujuan dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, yaitu pemanfaatan secara optimal sumber daya untuk
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi para pelaku, seperti peningkatan
daya saing, keuntungan usaha, pendapatan daerah, lapangan kerja, dan
konsumsi ikan.
Permasalahan yang paling mendasar dalam integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah menjaga kontinuitas bahan
baku, dalam hal ini jenis, volume, dan mutu ikan hasil tangkapan dan hasil
budidaya. Volume hasil tangkapan berfluktuatif dengan mutu yang juga tidak
konsisten, sementara budidaya selalu menginginkan kapasitas produksinya
konstan dengan mutu yang prima, sehingga diperoleh harga jual yang tinggi.
Kurangnya kemampuan SDM dalam mengadopsi teknologi budidaya ikan
menyebabkan produk mempunyai nilai tambah relatif kecil dengan pangsa pasar
yang relatif terbatas di pasar domestik. Sementara itu, kemampuan penanganan
produk sesuai dengan standar mutu internasional juga masih rendah. Hal ini
sering memperlemah daya saing produk di pasar internasional.
Keterbatasan mutu SDM juga memperlemah proses manajerial untuk
mengelola usaha secara profesional, sehingga memperlemah kemampuan untuk
mengakses modal untuk pengembangan usaha. Hal lain yan terkait adalah
lemahnya kemampuan mempresentasikan potensi bisnis perikanan budidaya di
hadapan investor atau pemodal untuk menghilangkan persepsi bahwa bisnis
perikanan budidaya beresiko tinggi.
Kurangnya dukungan yang memadai dalam penyediaan infrastruktur untuk
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, salah satu
penyebabnya adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku,
sehingga akan memperlemah struktur perikanan budidaya.
3.5.3 Identifikasi sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataanpernyataan kebutuhan komponen aktor atau pelaku dalam sistem dengan
permasalahan-permasalahan yang telah diformulasikan. Identifikasi sistem dapat
digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram input-output.
Dalam diagram sebab akibat digambarkan hubungan antar komponen sistem
yang terkait (Gambar 10). Melalui diagram sebab akibat sebagai suatu tahapan

64

dala konsepsualisasi sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan


perikanan budidaya dapat ditunjukkan prediksi dan hipotesis tentang dinamika
dan perilaku sistem.

Gambar 10.

Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perikanan


tangkap berbasis budidaya.

Tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan


budidaya dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas SDM, permodalan,
teknologi, sarana dan prasarana dan potensi perikanan budidaya yang
berkesinambungan. Sebaliknya, berkembangnya perikanan budidaya laut akan
memberi manfaat balik untuk pemenuhan kebutuhan para pelaku, baik pelaku
usaha budidaya laut, maupun pemerintah. Kendala-kendala yang menyertai
dalam proses tersebut harus dipecah secara menyeluruh.

65

Alternatif pemecahan masalah dalam integrasi pengembangan perikanan


tangkap dan perikanan budidaya diantaranya wilayah mampu mengidentifikasi
secara baik potensi yang dimiliki dan mampu membuat prioritas dalam
pencapaian tujuan. Penetapan sistem integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya sebagai suatu sistem tertutup memberikan
fasilitas adanya mekanisme pengendalian atau kontrol terhadap timbulnya suatu
output sistem yang tidak dikehendaki. Visualisasi diagram input-output sistem
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya disajikan
pada Gambar 11.

SISTEM INTEGRASI
PENGEMBANGAN PERIKANAN
TANGKAP DAN PERIKANAN
BUDIDAYA

MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


DAN PERIKANAN BUDIDAYA

Gambar 11.

Diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan


tangkap dan perikanan budidaya.

66

Diagram input-output menggambarkan masukan (input) dan luaran (output)


dari model yang dikembangkan. Input terdiri dari dua golongan, yaitu yang
berasal dari luar sistem (eksogen) atau input eksternal dan overt input yang
berasal dari dalam sistem (endogen) atau input internal. Input eksternal
merupakan masukan yang mempengaruhi sistem, akan tetapi tidak dipengaruhi
oleh sistem. Dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan

budidaya

yang

termasuk

jenis

input

ini

adalah

globalisasi

perekonomian, populasi penduduk, nilai tukar uang, dan otonomi daerah.


Input internal yang berasal dari dalam sistem ini merupakan peubah yang
sangat perlu bagi sistem untuk melaksanakan fungsi yang dikehendaki. Input
internal yang berasal dari dalam sistem ini terdiri dari input yang terkendali dan
input yang tidak terkendali. Input internal tak terkendali dalam sistem ini adalah
potensi perikanan tangkap, potensi perikanan budidaya, fluktuasi harga, dan
permintaan pasar. Input yang terkendali dapat bervariasi selama pengoperasian
sistem untuk menghasilkan kinerja sistem yang dikehendaki atau untuk
menghasilkan output yang dikehendaki. Peran input ini sangat penting dalam
mengubah kinerja sistem selama pengoperasian. Termasuk ke dalam jenis input
ini adalah wilayah budidaya laut, teknologi penangkapan ikan, teknologi budidaya
laut, modal usaha, serta upah dan nelayan.
Output terdiri dari dua, yaitu output yang dikehendaki dan output tak
dikehendaki. Output yang dikehendaki merupakan respon dari sistem terhadap
kebutuhan yang telah ditetapkan secara spesifik dalam analisis kebutuhan. Dan
output yang tidak dikehendaki yang merupakan hasil sampingan atau dampak
yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang dikehendaki. Output sistem
yang dikehendaki adalah peningkatan volume produksi, peningkatan volume
ekspor, peningkatan PAD dan PDB, peningkatan konsumsi ikan, peningkatan
kesempatan kerja, peningkatan jumlah unit usaha, meratanya distribusi
pendapatan masyarakat, dan berkembangnya lembaga pendukung.
Sedangkan output yang tidak dikehendaki merupakan kebalikannya.
Manajemen pengendali merupakan faktor pengendalian terhadap pengoperasian
sistem

dalam

menghasilkan

keluaran

yang

dikehendaki

dan

berusaha

meminimumkan output tidak dikehendaki dengan input terkendali.


3.6

Konfigurasi Model
Sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan

budidaya dirancang dalam suatu program komputer yang dinamakan CAP-

67

AQUADEV.

Paket

program

dirancang

dengan

menggunakan

bahasa

pemograman Visual Basic dan bahasa C yang terdiri dari tiga sistem utama, yaitu
sistem manajemen dialog, sistem manajemen basis data, dan sistem manajemen
basis model. Konfigurasi model sistem penunjang keputusan (SPK) disajikan
pada Gambar 12.

Gambar 12.

Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan integrasi


pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

3.6.1 Sistem manajemen dialog


Sistem manajemen dialog merupakan rancangan pengaturan interaksi
antara model (program komputer) dengan pengguna (user) yang memuat input
dari pengguna berupa parameter, data dari pilihan skenario dan keluaran yang
diberikan dalam tabel atau pernyataan yang mudah dipahami.
Dialog dengan pengguna dipandu dengan adanya pilihan atau pertanyaanpertanyaan yang hanya memerlukan jawaban-jawaban singkat. Input dari
pengguna dapat berupa angka, pertanyaan-pertanyaan, atau berupa skenario.
Output yang diberikan oleh program komputer berupa keterangan, tabel, atau
grafik yang mudah dipahami.

68

3.6.2 Sistem manajemen basis data


Dalam suatu analisis, data merupakan komponen yang mutlak ada. Oleh
karena itu, data harus dikelola dan dikendalikan dalam suatu sistem manajemen
basis data. Pemeliharaan data ini dilakukan melalui fasilitas menu data,
menampilkan, menghapus dan mengganti data. Dalam konfigurasi paket
program yang akan dikembangkan dalam sistem diantaranya adalah data
komoditas, data alat tangkap, data struktur pembiayaan, data strategi dan data
kelembagaan.
3.6.3 Sistem manajemen basis model
Sistem manajemen basis model terdiri dari tujuh sub model utama, yaitu
sub model potensi, sub model kesesuaian lahan, sub model pemilihan alat
tangkap, sub model komoditas, sub model kelayakan, sub model strategi, dan
sub model kelembagaan. Masing-masing sub model tersebut sebagai sub-sub
sistem yang pada akhirnya membentuk sistem integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sistem manajemen basis model
umumnya menggunakan teknik-teknik pada Ilmu Manajemen (Management
Science) yang definisinya adalah aplikasi dari pendekatan ilmiah untuk
mendapatkan solusi pada persoalan manajemen dalam rangka membantu para
manajer untuk merumuskan keputusan yang lebih baik (Tailor dalam Eriyatno
dan Fadjar, 2007)

3.6.4 Sistem pengelolaan terpusat


Sistem pengelolaan terpusat adalah koordinasi dan pengendalian dari
operasi perangkat linak dan sistem pengambilan keputusan secara menyeluruh.
Sistem ini menerima masukan dari ketiga sub-sistem lainnya dalam bentuk baku
serta mengarahkan keluaran sub-sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku
pula.
3.7. Model CAP-AQUADEV
Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di
Teluk Lampung direkayasa melalui model CAP-AQUADEV ditujukan untuk
membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan pemerintah daerah
kabupaten atau kota maupun para praktisi usaha yang bergerak dalam perikanan
tangkap dan perikanan budidaya serta stakeholder lainnya. Penggunaan model
CAP-AQUADEV didisain secara fleksibel, artinya model CAP-AQUADEV tidak

69

hanya dapat digunakan oleh Pemda Kabupaten atau Propinsi Lampung, tetapi
dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin
dipecahkan.
Hasil verifikasi model CAP-AQUADEV di Kabupaten Lampung Selatan
disajikan berurutan, yaitu: (1) sub model potensi SDI, (2) sub model kesesuaian
lahan, (3) sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan, (4) sub model
pemilihan komoditas potensial, (5) sub model kelayakan, (6) sub model strategi,
dan (7) sub model kelembagaan.

4
4.1

HASIL

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Letak geografis dan topografis


Secara geografis Kabupaten Lampung Selatan terletak pada posisi antara
0

105 105045 Bujur Timur dan 5015 60 Lintang Selatan. Batas-batas wilayah
Kabupaten Lampung Selatan adalah:2

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Timur.

Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda.

Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa.

Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus.


Wilayah laut dan pesisir Kabupaten Lampung Selatan meliputi sebagian

besar dari Teluk Lampung (3.865 km2) dengan panjang garis pantai 140 km di
Teluk Lampung dan 45 km di Pesisir Timur sampai muara Way Sekampung
sebagai batas wilayah dengan Kabupaten Lampung Timur. Tidak kurang dari 51
pulau kecil terdapat di Kabupaten Lampung Selatan, baik berpenghuni maupun
tidak, berukuran kecil maupun besar yakni mulai dari 1 ha hingga 6.000 ha
(Wiryawan et al, 2002)
Pesisir Kabupaten Lampung Selatan membentang dari muara Way
Sekampung di Kecamatan Sragi hingga Desa Bawang di Kecamatan Punduh
Pidada. Pesisir Kabupaten Lampung Selatan terletak di bagian utara dari Teluk
Lampung, sehingga ekosistem di daerah ini dipengaruhi oleh laut dan gunung.
Keuntungan yang didapat dengan lokasi seperti ini adalah di daerah pantai
terdapat sumber-sumber air tanah atau akuifer produktivitas tinggi sehingga
keberadaannya harus dijaga agar tetap dapat memberikan suplai yang cukup
untuk aktivitas masyarakat dan industri di daerah tersebut.
Pesisir dan laut Kabupaten Lampung Selatan termasuk pulau-pulau kecil
yang menyebar mempunyai potensi yang sangat beraneka ragam mulai dari
pasir besi, ikan laut, tambak udang, mineral, ekosistem mangrove, terumbu
karang, padang lamun, flora fauna lainnya serta pariwisata. Dengan batimetrinya
yang relatif dangkal, daerah ini mempunyai karakteristik yang sangat berbeda
antara daerah satu dengan daerah lainnya, kemudian antara satu sel dengan sel
lainnya. Dengan mengetahui potensi sumberdaya yang menonjol di daerah ini
dan selanjutnya isu-isu yang timbul maka dapat ditentukan arahan-arahan

71

pengembangan

yang

bisa

dilakukan

dan

ditentukan

sebagai

acuan

pegembangannya ke depan.
Pantai Kabupaten Lampung Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan
Teluk

Lampung.

Pantai

Timur

yang

hampir

berorientasi

utara-selatan

mempunyai tipologi pantai berupa alluvium dengan endapan marin dan dengan
relief yang datar dimana lerengnya bervariasi antara 0-3% dan elevasi 1 10 m.
Pantai yang datar ini hanya terdapat pada zona kurang dari 3 km. Pantai yang
terletak di Teluk Lampung terdiri dari dua bagian, yakni antara Tanjung Tua
(ujung paling selatan) ke arah barat laut sampai dengan Bandar Lampung.
Pantai yang satu lagi adalah dari Bandar Lampung ke Selat Legundi.
Menurut Wiryawan et al (2002), bahwa tipologi pantai antara Tanjung Tua
dan Kalianda umumnya berupa volkanik dengan lereng bawah volkan cukup
tertoreh, tuf dan lava intermedier. Reliefnya berupa pegunungan volkan dan
bergunung dengan lereng 8-15%.

Antara Kalianda dan Bandar Lampung,

sebagian besar tipologi pantai berupa alluvium dengan endapan marin dimana
reliefnya datar dengan lereng 0-3% dan elevasi 1-10 m. Pada pantai antara
Bandar Lampung dengan Selat Legundi, pantainya terjal dan berlekak-lekuk
dengan tipologi pantai perbukitan

sangat tertoreh, tuf dan lava intermedier,

lereng curam sampai sangat curam antara 30-75%. Diantara pantai yang terjal
ini, terdapat areal-areal yang sempit berupa alluvium dengan endapan marin
yang datar dengan lereng 0-3%.
Dasar perairan pesisir Kabupaten Lampung Selatan yang terletak di Pantai
Timur Lampung yang mempunyai lereng yang landai dan dangkal. Pantai yang
terletak di Teluk Lampung mempunyai lereng dasar perairan yang relatif curam,
kecuali disekitar pantai Bandar Lampung dimana lereng dasar perairannya lebih
landai. Garis kedalaman 20 m terdapat pada jarak antara 100-500 m dari garis
pantai.
Tipe pasang surut di perairan Teluk Lampung Selatan adalah tipe pasut
campuran dominasi pasut tunggal (Wyrtki, 1961). Berdasarkan peramalan pasut
yang dibuat oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL tahun 2000, indek F di
Panjang adalah 1,7. Hal ini berarti tipe pasutnya adalah campuran dominasi
pasut tunggal. Kisaran pasutnya bervariasi antara 0,4 m (saat pasang perbani)
sampai dengan 1,40 meter (saat pasang purnama). Hasil pengukuran di Pasut
selama 3 hari di Kuala Sekampung memperlihatkan kisaran Pasut rata-rata
adalah 1,47 m. Di pantai Bandar Agung dan Berundung kisaran pasut rata-rata

72

145 cm, sedangkan di Pantai Pematang Pasir kisaran pasut 140 cm. Dengan
demikian kisaran pasut rata-rata adalah 144,25 cm.
Kekuatan arus di perairan laut bervariasi antara 4,5 - 9,7 cm/detik atau ratarata 6,05 cm/detik. Arah arus merambat ke selatan atau barat daya dan
menyusur pantai. Ketinggian gelombang perairan di sepanjang pantai timur
hingga Tulang Bawang relatif kecil, yaitu 10-20 cm dengan gelombang rata-rata
1 gelombang/detik.
Suhu perairan di pantai berkisar antara 280 -29,30C atau rata-rata 28,60C.
Sedangkan salinitas perairan berkisar antara 33-33,5 atau rata-rata 33,12.
Wilayah Lampung Selatan yang pesisirnya merupakan habitat alami terumbu
karang meliputi perairan Teluk Lampung dan Selat Sunda. Berdasarkan
Wiryawan et al (2002) diketahui bahwa kondisi terumbu karang telah mengalami
gangguan akibat penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak dan
bahan kimia. Hal ini terlihat dari proporsi karang mati di perairan Rangai telah
mencapai 30.4% di kedalaman 10 meter. Namun demikian proporsi karang hidup
masih di atas 50% dan kondisi ini hampir sama untuk wilayah Padang Cermin,
Kalianda, Way Muli dan Bakauheni.
Terumbu karang di Teluk Lampung umumnya dari jenis karang tepi dengan
bentangan berkisar 20 m sampai 120 m dari bibir pantai sampai kedalaman 1720 m. Kebanyakan terumbu karang di perairan laut Lampung Selatan adalah
jenis fringing reefs, dengan luasan relatif 20-60 m. Pertumbuhan karang berhenti
pada kedalaman 10-17 m. Sejumlah terumbu karang tipe petch reefs tumbuh
dengan baik di sisi barat Teluk Lampung. Pendataan oleh CRMP (1998),
terdapat sekitar 213 jenis karang keras yang berada di Selat Sunda (Kepulauan
Krakatau, Teluk Lampung, Kalianda), sekalipun keanekaragaman jenis rata-rata
per lokasi agak rendah.
Ekosistem mangrove dibentuk oleh komunitas hutan bakau, terdapat di
pesisir dekat muara sungai dan banyak dipengaruhi oleh pasang surut, air sungai
dan pantai. Tumbuhan mangrove di Kabupaten Lampung Selatan sebagian
besar didominasi oleh Api-api (Avicenia alba) dan Excoecaria agallocha. Selain
terdapat mangrove sejati juga terdapat mangrove semu yaitu dari jenis Avicenia
marina dan Nypa fruticans. Konsesi Avicenia marina tingkat semai banyak
terdapat di habitat kurang mantap seperti pantai timur yang telah banyak
dikonversi menjadi tambak udang. Di lokasi Way Sekampung-Bakauheni areal
hutan mangrove 840 ha, yang bervegetasi 140 ha. Sebagian areal merupakan

73

hutan pendidikan berdasarkan Nota Kesepahaman antara Kepala Kanwil


Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Lampung dengan Rektor
Universitas Lampung. Di Desa Durian Kecamatan Padang Cermin, komunitas
mangrove terdiri dari beberapa spesies (multispesies) yang didominasi oleh
spesies Rhizophora mucronata. INP berkisar antara 236 hingga 249 dengan
kerapatan berkisar antara 188 ind/ha hingga 530 ind/ha. Tingkat pertumbuhan
pohon di kawasan ini adalah sapihan, tihang dan pohon. Potensi tihang dan
pohon masing-masing bernilai 212 dan 278 m3/ha. Ketebalan mangrove antara 1
dan 1,5 km. Di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin tipe vegetasi konsesi
dengan jenis Rhizhophora mucronata sebagai jenis yang dominan dan memiliki
INP sebesar 300. Kerapatan individu di daerah ini sebesar 900 ind/ha, dan
dengan potensi

tihang sebesar 754,7 m3/ha. Komunitas mangrove memiliki

ketebalan sekitar 4 km. Pada umumnya hamparan tambak berbatasan langsung


dengan laut, dan hanya di beberapa lokasi kecil (100x50 m) ditemui semaian
mangrove jenis bakau (Rhizhophora mucronata). Mangrove jenis Api-api
(Avicenia marina) yang tumbuh secara alami pada lahan hasil sedimentasi.
Wilayah laut Lampung Selatan yang memiliki persyaratan cukup baik bagi
pertumbuhan vegetasi lamun adalah di wilayah Padang Cermin, dimana kondisi
perairannya yang relatif bersih, dasar berpasir dan dangkal sehingga memiliki
penetrasi cahaya matahari yang baik sepanjang tahun. Jenis padang lamun yang
terbentuk adalah komunitas tunggal yang ditempati oleh jenis Thalassia
hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis dan Cymodocea serrulata.
Ekosistem padang lamun di Padang Cermin merupakan wilayah penghasil udang
rebon dan secara alami telah berperan penting untuk perkembangbiakan
berbagai biota laut. Penyebaran ekosistem padang lamun di Padang Cermin
merupakan asosiasi dari formasi ekosistem mangrove, dengan terumbu karang.
Indikasi ini telah membentuk rangkaian sistem ekologi yang telah mendukung
keberadaan dan kelangsungan berbagai produk perikanan, terutama perikanan
tangkap.

74

4.1.2 Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2005 adalah
1.142.435 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 558.012 jiwa dan perempuan
557.423 jiwa (Lampung Selatan dalam angka, 2006). Pertumbuhan penduduk
sejak tahun 2000 sampai tahun 2005 menunjukkan peningkatan sebesar 43.641
jiwa dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 0,99%. Proyeksi penduduk
Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata
tersebut, pada tahun 2007 diperkirakan sebanyak 1.188.352 jiwa atau 373,6
jiwa/km2.
Kecamatan Natar merupakan kecamatan dengan penduduk paling padat
dengan kepadatan 750,54 jiwa/km2. Sedangkan Kecamatan Punduh Pidada
merupakan kecamatan dengan kepadatan yang paling rendah yaitu 107,70
jiwa/km2 (Tabel 6).
Tabel 6. Kondisi kependudukan Kabupaten Lampung Selatan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Kecamatan
Padang Cermin
Punduh Pidada
Kedondong
Way Lima
Gedung Tataan
Negeri Katon
Tegineneng
Natar
Jati Agung
Tanjung bintang
Katibung
Merbau mataram
Sodomulyo
Candipuro
Kalianda
Rajabasa
Palas
Seragi
Penengahan
Ketapang
Jumlah

Jumlah penduduk (jiwa)


Laki-laki
Perempuan Total
37.703
34.797
72.500
12.644
11.501
24.145
26.286
25.069
51.355
13.815
13.287
27.102
36.875
35.972
72.847
27.689
28.496
54.185
23.229
22.152
45.381
70.557
68.836
139.393
42.450
39.119
81.569
47.682
42.898
90.580
36.234
34.373
70.607
21.439
20.455
41.894
34.114
33.645
67.759
23.224
22.095
45.319
34.081
32.899
66.980
10.716
10.013
20.729
24.234
23.220
47.454
14.646
13.877
28.523
26.854
26.505
53.359
20.540
20.214
40.754
585.012
557.423
1.142.435

Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

Kepadatan
jiwa/km2
228,25
107,70
391,69
271,48
750,54
354,87
300,02
652,07
495,95
388,69
317,61
367,68
420,92
535,12
414,99
206,48
276,88
348,8
280,67
375,27
359,17

75

Jumlah penduduk dirinci menurut kelompok umur di kecamatan Pesisir,


dianalisa

berdasarkan

pendekatan

perhitungan

dengan

membandingkan

prosentase kelompok umur penduduk wilayah kabupaten, terhadap masingmasing jumlah penduduk kecamatan pesisir, ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Banyaknya penduduk usia sekolah di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung


Selatan tahun 2007
No.

Kegiatan

Umur (Th)
0-4

5-9

10-14

15-19

Penengahan

6.018

5.970

6.435

6.130

2.

Rajabasa

2.338

2.319

2.449

2.381

3.

Kalianda

7.555

7.495

8.077

7.696

4.

Padang Cermin

8.178

8.112

8.743

8.330

5.

Punduh pidada

2.723

2.701

2.911

2.774

Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

4.1.3 Kondisi perikanan


Kabupaten Lampung Selatan mempunyai SDI yang cukup besar sehingga
dapat menjadi modal dasar usaha untuk meningkatkan produksi perikanan.
Sumberdaya ikan tersebut terdapat di Perairan Timur Lampung Selatan, Teluk
Lampung, perairan payau dan tawar yang menyebar hampir di semua kecamatan
yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan evaluasi data pada
Dinas Perikanan dan Kelautan, diperkirakan Potensi Perikanan Tangkap yang
dapat dieksploitasi hingga batas potensi lestari sebesar 96.000 ton. Bila
dibandingkan dengan tingkat pemanfaatannya, maka data tersebut di atas masih
menunjukkan bahwa potensi SDI masih memberikan peluang besar untuk
diusahakan.
Selain potensi sumberdaya alam, Kabupaten Lampung Selatan didukung
pula oleh beberapa lembaga yang konsern di bidang kelautan maupun perikanan
antara lain lembaga pendidikan dan pengembangan seperti BBL, UNILA, dan
SMK. Disamping itu juga memiliki 1 unit PPI (Pusat Pendaratan Ikan), 6 unit
Tempat Pelelangan Ikan (TPI), 1 unit BBI Hias (Balai Benih Ikan Hias) Natar dan
1 unit BBI Palas, serta juga didukung oleh adanya UPR.

76

Kegiatan perikanan di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari kegiatan


penangkapan di laut, penangkapan di perairan umum, budidaya laut, budidaya
tambak atau air payau, budidaya kolam dan budidaya sawah dengan volume
produksi pada tahun 2007 adalah 27.025,05 ton. Kegiatan penangkapan ikan di
laut memberikan kontribusi terbesar, yaitu sebesar 23.202,50 ton atau 85,85%
dari keseluruhan produksi perikanan. Kemudian diikuti oleh kegiatan budidaya air
payau/tambak dan budidaya kolam masing-masing sebesar 2.788 ton dan
805,20 ton (Tabel 8). Hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan
terdiri dari berbagai jenis ikan konsumsi, udang, cumi-cumi, kerang-kerangan,
ikan hias dan hewan lunak lainnya. Ikan konsumsi yang dominan tertangkap
yaitu teri, layang, tongkol, kembung, selar, peperek, cakalang, kue dan belanak.
Selain itu, jenis ikan konsumsi dalam persentase kecil yaitu manyung, kakap,
cucut, kuro, senangin, tenggiri, tuna, udang windu, udang putih, ubur-ubur dan
rajungan.
Tabel 8. Gambaran potensi, pemanfaatan dan produksi perikanan dari berbagai
kegiatan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007
No

Kegiatan

Potensi (ha)

Penangkapan di Laut

MSY=97.485 Ton

Pemanfaatan
(ha)
24.856,25 Ton

Penangkapan
Perairan Umum
Budidaya Laut

di

3.460

0,43

74,00

4.750

370,00

144,00

Air

4.625

4.050,00

2.788,00

Budidaya
Tambak/Payau
Budidaya Kolam

1.550

1.008,00

805,20

Budidaya Sawah

24.000

175,00

11,35

3
4

Jumlah

Produksi
(Ton)
23.202,50

27.025,05

Sumber: Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka ,2007


Sedangkan

perkembangan

dari

pemanfaatan

potensi

perikanan

di

Kabupaten Lampung Selatan, dapat di lihat pada Tabel 9, dan perkembangan


produksi perikanan disajikan pada Tabel 10.

77

Tabel 9. Perkembangan pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Lampung


Selatan tahun 2006-2007
No.

Kegiatan perikanan

Perikanan tangkap

2.

Budidaya laut

3.

Tambak

4.

Perairan umum

5.

Budidaya
(kolam)
Mina padi

6.

air

tawar

Pemanfaatan (Ton)

Naik/Turun

2006

2007

Selisih

(%)

379

370

-9

2,37

2.781

4.050

1.269

45,63

50

991

1008

17

70

991

175

-816

82,34

Sumber: Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

Tabel 10. Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan


tahun 2006-2007
Produksi (Ton)
No.

Kegiatan perikanan

Perikanan tangkap

2.

Budidaya laut

3.

Tambak

4.

Perairan umum

5.

Budidaya
(kolam)
Mina padi

6.

air

tawar

Naik/Turun

2006

2007

Selisih

(%)

22.499,92

23.202,50

702,58

3,12

28,00

144,00

116,00

414,28

2.884,00

2.788,00

-96,00

3,33

72,40

74,00

1,60

2,21

752,42

602,20

-147.22

19,56

11,35

752,42

741,07

6500,29

Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007


Perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan didominasi oleh
budidaya air payau atau tambak udang. Tambak udang yang tersebar di
Kecamatan Padang Cermin, Punduh Pidada, Kalianda, Rajabasa, Penengahan,
Palas dan Sidomulyo, berupa Tambak Inti Rakyat dan Pertambakan Rakyat.
Sedangkan benih udang untuk kegiatan tambak hampir seluruhnya diperoleh dari
pembenihan udang di Kalianda dan Rajabasa yang berjumlah 100 unit
pembenihan (hatchery). Pada tahun 1999, produksi backyard hatchery adalah
sebesar 720.500.000 ekor, meningkat 4,27% dari tahun 1998. produksi benur
tersebut belum termasuk produksi hasil PT. Central Pertiwi Bahari dan PT. Biru

78

Laut Khatulistiwa

yang menghasilkan

benur rata-rata tahunan sebesar

3.200.000.000 ekor (Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, 1999).


Banyaknya lahan hutan mangrove yang dikonversi dan sistem pembuangan
tambak yang tidak optimal, merupakan permasalahan lingkungan utama dalam
usaha pertambakan di Lampung Selatan. Selain usaha budidaya tambak,
terdapat juga usaha budidaya mutiara di Teluk Lampung (lebih dari 5.000 ha)
yang diusahakan oleh dua perusahaan besar, yaitu PT. Kyoko Shinju dengan
produksi kerang mutiara masing-masing 140.000 dan 400.000 buah per tahun.
Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan
No.
Lokasi
1.
Kalianda (Teluk Betung, Pulau
Sebuku, Pulau Sebesi)

2.

Padang Cermin
(P. Legundi, P. Seuncal, Tanjung
Putus,
Sidodadi,
Tembiki,
Bawang, Puhawang, Kelagian).

Potensi Area (ha)


739,5
200,0
50,0
50,0
50,0
3.260,5
250,0
50,0
50,0
50,0

Komoditas
Mutiara
Rumput laut
Kakap
Kerapu
Beronang
Mutiara
Rumput laut
Kakap
Kerapu
Beronang

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung ,2007

Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RPT) yang berdomisili di Kabupaten


Lampung Selatan tahun 1999 mencapai 14.557 RTP (Tabel 12). Jumlah ini terdiri
dari RTP perikanan tangkap (3.642 RTP), RTP budidaya laut (442 RTP), RTP
budidaya air payau atau tambak (3.427 RTP), RTP pembenihan benur (162
RTP), RTP budidaya air tawar atau kolam (2.002 RTP), RTP mina padi (108
RTP), RTP pembenihan air tawar (121 RTP),RTP pengolahan (527 RTP) dan
RTP pemanenan (2.018 RTP). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1998),
jumlah RTP perikanan di Kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan
pada tiap jenis usaha perikanan.
Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam perikanan tangkap tahun 1999
sebanyak 6.605 tenaga kerja, dan merupakan jumlah tenaga kerja yang terbesar
dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan lainnya.

79

Tabel 12. Perkembangan RTP perikanan dan penyerapan tenaga


perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998 1999
No.

RTP

Kegiatan

kerja

Tenaga Kerja

1998

1999

1998

1999

3.606

3.642

1,00

6.530

6.605

1,15

2.

Perikanan
Tangkap
Budidaya laut

419

442

5,49

1.260

1.314

4,29

3.

Tambak

3.279

3.427

4,51

3.984

4.031

1,18

4.

Perairan umum

70

74

5,71

1.438

1.498

4,17

5.

Budidaya air tawar

1.907

2.002

4,98

2.430

2.762

13,17

6.

Mina padi

96

108

12,50

826

864

4,60

1.

Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, 2000

4.2

Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang penting di

Kabupaten Lampung Selatan karena kontribusinya yang cukup besar terhadap


PDRB. Di Teluk Lampung pada tahun 1999 produksi perikanan tangkap telah
mencapai 24.856,25 ton. Kegiatan perikanan tangkap menghasilkan berbagai
jenis ikan konsumsi, udang, cumi, kerang-kerangan, ikan hias dan hewan lunak
lainnya. Ikan-ikan pelagis besar, seperti tongkol (Euthynnus spp), madidihang
(Thunnus albacore) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) terdapat di lapisan atas
permukaan agak jauh dari pantai. Sedangkan ikan pelagis kecil, seperti tembang
(Sardinella fimbriata) dan kembung (Rastreflinger spp) ditemukan bergerombol di
perairan dekat pantai. Ikan-ikan demersal, seperti manyung (Tachyurus spp), pari
(Trigonidae), gulamah (Scaencae), serta berbagai jenis udang (Peneaus spp)
yang banyak tertangkap di dasar laut yang relatif dangkal dan berlumpur. Ikanikan hias dan ikan-ikan karang, seperti kerapu (Epinephelus spp) lebih sering
ditemukan di kawasan terumbu karang. Cumi-cumi (Loligo spp) dan teri
(Stolephorus spp) biasa tertangkap oleh nelayan bagan karena senang
berkumpul di sekitar cahaya yang dinyalakan pada malam hari. Sedangkan
sumberdaya lain, seperti rumput laut, biasanya dikumpulkan oleh masyarakat
dengan tangan langsung di pantai.

80

4.2.1 Produksi perikanan


Perkembangan produksi ikan di Kabupaten Lampung Selatan selama
periode 2002-2006 disajikan pada Gambar 13.

30000

Jumlah (Ton)

25000
20000
15000
10000
5000
0
2002

2003

2004

2005

2006

Tahun

Gambar 13 Perkembangan produksi ikan Kabupaten Lampung Selatan selama


kurun waktu 2002-2006.
Berdasarkan data produksi ikan dapat diketahui bahwa produksi ikan
selama kurun waktu lima tahun tersebut terus mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 2006 sebesar 28.382,5
ton dan produksi terendah dicapai pada tahun 2002 sebesar 14.160 ton.

4.2.2 Perkembangan jumlah alat tangkap


Berbagai jenis alat tangkap (fishing gears) yang dioperasikan oleh nelayan
di Kabupaten Lampung Selatan sesuai dengan kebiasaan, keterampilan yang
dimiliki, kemampuan modal, dan serta musim, serta jenisjenis ikan yang
ditangkap disajikan pada Tabel 13. Nelayan mengoperasikan alat tangkap
menggunakan armada kapal motor dan motor tempel, tetapi sebagian besar
nelayan masih menggunakan perahu tanpa motor yang terbuat dari kayu.

81

Tabel 13.

Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan


tahun 2006.

No

Jenis Alat Tangkap

Jumlah (Unit)

Payang

245

Pukat Pantai

124

Jaring insang hanyut

Jaring insang tetap

319

Bagan perahu

267

Bagan tancap

220

Rawai hanyut selain rawai tuna

191

Rawai tetap

407

Pancing lain

2.159

10

Sero

173

11

Bubu

484

12

Perangkap lain

60

87

Sumber: Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)

4.2.3 Kapal penangkap ikan


Kapal penangkap ikan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari
perahu tanpa motor, perahu dengan motor tempel, dan kapal motor.
Perkembangan jumlah perahu atau kapal penangkapan ikan selama tahun 20022006 di Kabupaten Lampung Selatan disajikan pada Gambar 14. Daerah operasi
penangkapan oleh nelayan Kabupaten Lampung Selatan adalah perairan Teluk
Lampung, perairan Pesisir Timur Lampung dan Selat Sunda.

Jumlah Perahu (Unit)

800
700
600
500
400
300
200
100
0
2002

2003

2004

2005

2006

Tahun
Tanpa Motor

Motor Tempel

Kapal Motor

Gambar 14. Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 2002-2006.

82

Gambar 15 Daerah penangkapan ikan di Teluk Lampung

4.3 Perikanan Budidaya


Perkembangan produksi perikanan budidaya khususnya budidaya laut
selama kurun waktu 2002-2006 di Kabupaten Lampung Selatan cenderung
mengalami peningkatan seperti disajikan pada Tabel 14, demikian juga untuk
perkembangan RTP budidaya laut dari tahun 2002 mengalami peningkatan
seperti disajikan pada Tabel 15.
Tabel 14. Perkembangan produksi budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006

Produksi (ton)
232,7
302,5
1.399,0
820,5
1.366,2

83

Tabel 15. Perkembangan RTP budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan


Tahun

Jumlah RTP

2002

172

2003

223

2004

232

2005

234

2006

264

Jenis ikan yang dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan adalah


ikan kerapu dan rumput laut. Perkembangan jumlah benih yang telah ditanam
untuk kegiatan budidaya laut disajikan pada Tabel 16, sedangkan untuk
perkembangan produksi dari kerapu dan rumput laut disajikan pada Tabel 17.

Tabel 16. Perkembangan jumlah benih yang ditanam pada budidaya laut di
Kabupaten Lampung Selatan
Tahun

Jumlah (Ekor/Tangkai)
Kerapu Bebek

Kerapu Macan

Rumput Laut

2002

122.000

198.000

5.300

2003

253.000

259.000

16.900

2004

374.000

171.000

136.700

2005

450.000

271.000

925.000

2006

496.000

739.000

106.200

Tabel 17. Perkembangan produksi kerapu dan rumput laut pada budidaya laut di
Kabupaten Lampung Selatan
Tahun

Produksi (Ton)
Kerapu Bebek

Kerapu Macan

Rumput Laut

2002

135,8

33,0

63,9

2003

67,0

87,3

148,2

2004

55,0

142,0

1.202,0

2005

123,0

264,5

433,0

2006

82,7

221,7

1.061,8

84

4.4

Model CAP-AQUADEV

4.4.1 Potensi sumberdaya ikan


Sub model potensi SDI menggunakan metode survei deskriptif dengan
menganalisis hubungan catch per unit effort (CPUE). Hasil perhitungan dan
perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007 disajikan pada Tabel 18
dan Gambar 16.
Tabel 18. Perhitungan CPUE selama tahun 2001-2007
Tahun

Cacth (Ton)

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

1,015.00
719.20
1,510.20
1,956.70
1,560.00
1,163.30
1,265.90

Effort (Trip)

Y/f (Ton/Trip)

24,700.00
18,460.00
31,515.00
18,400.00
33,600.00
32,900.00
33,800.00

0.04
0.04
0.05
0.11
0.05
0.04
0.04

Gambar 16. Perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007.

Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 16, CPUE ikan di perairan Lampung


Selatan pada periode 2001-2007 cenderung berfluktuasi dengan trend negatif,
yaitu mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2004, namun pada tahun
2005 mengalami penurunan dan stabil hingga 2007.

85

(1)

Status Pemanfaatan Ikan Demersal


Ikan demersal yang tertangkap di Teluk Lampung terdiri dari ikan manyung

(Tachyurus spp), pari (Trigonidae), gulamah (Scaencae), serta berbagai jenis


udang (Peneaus spp), alat tangkap yang digunakan nelayan yaitu payang,
cantrang, dogol, pancing, bubu dan trap lainnya. Jenis- jenis alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan demersal seperti pada Tabel 19, berikut:

Tabel 19. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Lampung
Selatan.
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Payang

cantrang

Dogol

Pancing

Bubu

Trap

140
209
211
221
250
245
248

85
99
113
127
141
155
169

47
72
85
107
123
132
122

512
743
812
916
2.165
2.159
1.851

46
86
142
131
320
484
421

95
74
90
109
131
187
361

1.524

889

688

9.158

1.630

1.047

Jumlah

Dari hasil observasi terlihat produksi atau hasil tangkapan ikan demersal
terendah 3.382.80 ton pada tahun 2001 dan tertinggi 5.213.40 ton pada tahun
2006. Kenaikan produksi ini kemungkuinan terkait dengan penurunan produksi
dari alat tangkap cantrang dan dogol yang merupakan alat tangkap utama yang
digunakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan.
Pada tahun 2006 terjadi penurunan trip atau hari operasi alat tangkap
cantrang dan dogol yang signifikan sehinga menaikkan produksi alat tangkap
payang yang merupakan alat tangkap sejenis.

Tabel 20. Catch, Effort dan CPUE ikan demersal


Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Cacth
3,382.80
4,231.60
4,246.70
4,586.00
4,834.00
5,213.40
4,770.30

Effort (x)
14,700
15,025
22,535
21,740
20,359
19,600
10,680

Y/f (y)
0.23
0.28
0.19
0.21
0.24
0.27
0.45

86

Mean
17805.57143
0.265891636
Stdev
4391.983487
0.085663496
intercept (a)
0.554453634
Slop (b)
-1.62063E-05
Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 0,5545 1.62063E-05x
Fungsi Produksi P( f ) = 0,5545 f 1.62063E-05 f 2
Msy=-0.25xa2/b
4742.280693
f MSY
17106.13983

Catch (ton/tahun)

MSY SDI Demersal


4800
4700
4600
4500
4400
4300
4200
4100
4000

MSY

Series1

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

Effort (trip/tahun)

Gambar 17. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung

Cacth/ effort (ton)

Fungsi CPUE SDI Demersal


0.40
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00

MSY
Series1

y = -2E-05x + 0.55
R2 = 1

5000

10000

15000

Linear (Series1)

20000

25000

Effort (trip)

Gambar. 18 Tren produksi dan effort ikan demersal di Teluk Lampung


Dari Tabel 19 diketahui bahwa MSY ikan demersal di Teluk Lampung
4742.280 ton/ tahun dengan effort optimum 17106 trip per tahun. Berdasarkan
nilai MSY tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan
demersal di Teluk Lampung sudah mengalami eksploitasi penuh (Fully
exploitated) mulai tahun 2002 sampai tahun 2004, dengan tingkat pemanfaatan

87

lebih dari 80% dari nilai MSY atau melebihi JTB. Pada tahun 2005 sampai tahun
2007 pemanfaatan sumberdaya ikan demersal Teluk Lampung lebih dari 100%,
hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal mengalami tangkapan
lebih (over fishing), seperti terlihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung

(2)

Tahun

Produksi

MSY

Tk. Manfaat (%)

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

3,382.80
4,231.60
4,246.70
4,586.00
4,834.00
5,213.40
4,770.30

4742.281
4742.281
4742.281
4742.281
4742.281
4742.281
4742.281

71.33
89.23
89.55
96.70
101.93
109.93
100.59

Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil


Ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan teluk Lampung terdiri dari

ikan peperek, kembung, tenggiri, ikan ekor kuning, japuh, ikan kurisi dan layur.
Jenis alat tangkap yang digunakan terdiri daripukat pantai, pukat cincin, jarring
insang, jarring klitik, rawai dan pancing tonda, selengkapnya seperti terlihat pada
tebel berikut :
Tabel 22. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten
Lampung Selatan
Jenis Alat Tangkap

Tahun

Jumlah

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Pukat Pantai

93

108

95

95

130

124

261

906

Pukat Cincin

47

62

54

45

50

47

42

347

Jaring insang hanyut

72

74

105

65

70

60

265

711

Jaring lingkar

86

89

51

46

48

55

50

425

Jaring Klitik

12

14

27

30

35

26

152

190

154

238

230

336

319

320

1787

Rawai Tuna

95

85

79

52

69

89

88

557

Rawai Hanyut

92

128

198

201

188

191

190

1188

138

152

312

289

387

427

479

2184

72

69

62

70

53

48

69

443

Jaring insang tetap

Rawai tetap
Pancing tonda

Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan pelagis


kecil di Kabupaten Lampung Selatan terendah pada tahun 2002 yaitu 719,2 ton
sedangkan tertinggi pada tahun 2004 sebesar 1.956,7 ton. Kenaikan produksi

88

atau hasil tangkapan yang signifikan ini terkait dengan kenaikan jumlah alat
tangkap yang cukup besar. Pada tahun 2002 terjadi penurunan hasil tangkapan
ikan pelagis kecil, hal ini terkait dengan penurunan jumlah effort terhadap ikan
pelagis kecil di Teluk Lampung. Pada tahun 2003 terjadi kenaikan effort yang
signifikan dari 18.460 trip pada tahun 2002 menjadi 31.515 trip, kenaikan jumlah
trip tersebut berpengaruh pada kenaikan jumlah hasil tangkapan ikan pelagis
yang signifikan juga.
Tahun 2005 sampai 2007 terjadi penurunan produksi atau penangkapan
ikan pelagis walaupun jumlah effort yang berlangsung di Teluk Lampung
mengalami pertambahan. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa sumberdaya
perikanan pelagis kecil di Teluk Lampung telah mengalami penurunan bahkan
mungkin sudah mengalami full eksploitsi atau over fishing.
Tabel 23. Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis kecil
Tahun
Cacth
Effort (x)
Y/f (y)
2001 1,015.00
24,700.00
0.04
2002
719.20
18,460.00
0.04
2003 1,510.20
31,515.00
0.05
2004 1,956.70
18,400.00
0.11
2005 1,560.00
33,600.00
0.05
2006 1,163.30
32,900.00
0.04
2007 1,265.90
33,800.00
0.04
Mean
27625
0.050508
Stdev
7005.265282
0.025043
intercept (a)
0.104612
Slop (b)
-2E-06
Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 0.105- 2E-06X
Fungsi Produksi P( f ) = 0.105 f- 2E-06 f2
Msy=-0.25xa2/b
1396.931
f MSY
26707.01

89

Catch (ton/tahun)

MSY Ikan Pelagis


1420
1400
1380
1360
1340
1320
1300
1280
1260
1240

MSY

Series1

10000

20000

30000

40000

Effort (trip/tahun)

Gambar 19. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk
Lampung

Cacth/Effort (ton)

Fungsi CPUE SDI Pelagis


0.08
0.07
0.06
0.05

MSY
Series1

0.04
0.03
0.02
0.01
-

Linear (Series1)

y = -2E-06x + 0.105
R2 = 1

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

40,000

Effort (trip)

Gambar 20. Tren produksi dan effort ikan pelagis di Teluk Lampung
Dari Tabel 24. diketahui MSY ikan pelagis kecil di Teluk Lampung 1396,931
ton per tahun, dengan effort optimum 26707 trip per tahun. Produksi ikan pelagis
pada tahun 2001 dan 2002 masih di bawah nilai MSY atau tingkat
pemanfaatannya baru 70%. Pada tahun 2003 terjadi peningkatan upaya atau
effort terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil yang meyebabkan terjadinya
penigkatan produksi atau hasil tangkapan yang signifikan bahkan melebihi dari
nilai MSY.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung
sudah mengalami tangkap lebih atau over fishing mulai tahun 2003 sampai tahun
2005, dengan tingkat pemanfaatan mencapai lebih dari100%. Pada tahun 2006
dan 2007 terjadi penurunan produksi atau hasil tangkapan dibandingkan dengan
tahun 2004 atau tahun 2005, sedangkan effort yang berlangsung jumlahnya

90

relatif sama. Penurunan produksi ini semakin menegaskan bahwa sumberdaya


ikan pelagis kecil di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing. Sesuai hasil
penelitian Diantari dan Efendi (2005) yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan
kembung sudah mengalami full eksploitasi.
Tabel 24. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

(3)

Produksi
(ton)
1,015.00
719.20
1,510.20
1,956.70
1,560.00
1,163.30
1,265.90

MSY (ton)

Tk.pemanfaatan (%)

1396.931
1396.931
1396.931
1396.931
1396.931
1396.931
1396.931

72.66
51.48
108.11
140.07
111.67
83.28
90.62

Status Pemanfaatan Krustacea


Jenis krustacea yang tertangkap di perairan Kabupaten Lampung Selatan

terdiri dari udang, lobster, rajungan dan jenis kepiting lainnya, sedangkan jenis
alat tangkap yang digunakan adalah pukat udang, tramel net, dan sero. Alat
tangkap krustacea umumnya mengalami penurunan jumlahnya dari tahun 2001
sampai tahun 2004 dan meningkat kembali tahun 2005 sampai dengan tahun
2007. Jenis alat tangkap yang paling banyak adalah sero, seperti tergambarkan
pada tabel 25.
Tabel 25. Jenis dan jumlah alat tangkap crustacea
Selatan

di Kabupaten Lampung

No.

Tahun

Pukat Udang

Tramel net

Sero

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah

17
17
15
13
14
14
16
106

35
23
18
56
37
26
21
216

726
876
864
1,139
550
895
995
6,045

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan hasil tangkapan atau produksi


krustacea di Kabupaten Lampung Selatan tertinggi pada tahun 2004

yaitu

400,70 ton dan terendah pada tahun 2003 yaitu 28,40 ton. Kenaikan produksi
atau hasil tangkapan ini terkait dengan peningkatan jumlah effort yang dilakukan,

91

penurunan hasil tangkapan yang terjadi pada tahun 2004 sampai 2007, dari
400,70 ton menjadi 72,60 ton juga diikuti dengan penurunan

effort yang

signifikan yaitu dari 6720 menjadi 1267 trip.


Pola hubungan antara produksi dan effort krustacea di perairan Lampung
Selatan berbanding terbalik dengan tren menurun, dimana produksi atau hasil
tangkapan perikanan krustacea semakin turun seiring dengan peningkatan effort
yang dilakukan. Tingkat hubungan atau korelasi antara produksi dengan effort
sangat erat yang ditandai dengan nilai koefisien korelasi 1 (satu), seperti pada
gambar 19.
Tabel 26. Catch, effort dan MSY crustacea
Tahun
Cacth
Effort (x)
Y/f (y)
2001
287.00
5,775.00
0.05
2002
32.50
1,864.00
0.02
2003
28.40
229.00
0.12
2004
400.70
6,720.00
0.06
2005
256.20
5,376.00
0.05
2006
145.80
4,873.00
0.03
2007
72.60
1,267.00
0.06
Mean
3729.143
0.055094
Stdev
2547.653
0.033942
intercept (a)
0.075678
Slop (b)
-5.5E-06
Hubungan effort dan CPUE f(x) = 0.076 -5.5E-06X
Fungsi Produksi f(x) =0.076f - 5.5E-06f2
Msy=-0.25xa2/b
259.3875
f MSY
6855.025

MSY SD Crustacea

Catch (ton/tahun)

300.00
MSY

250.00
200.00

Series1

150.00
100.00
50.00
0.00
-

2,000

4,000

6,000

8,000

Effort (trip/tahun)

Gambar 21. Kurva Produksi Lestari sumberdaya crustacea di Teluk Lampung

92

Cacth/ effort (ton)

Fungsi CPUE SD Crustacea


0.08
0.07
0.06
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0.00

Series1
y = -6E-06x + 0.076
R2 = 1

1000

2000

3000

4000

5000

6000

MSY

7000

Linear (Series1)

8000

Effort (trip)

Gambar 22. Tren produksi dan effort crustacea di Teluk Lampung


Nilai MSY perikanan krustacea di Kabupaten Lampung Selatan adalah
259,3875 ton/ tahun, effort optimum 6855 trip. Dari data hasil tangkapan
krustacea di Teluk Lampung menunjukkan bahwa produksi atau hasil tangkapan
pada tahun 2001 dan tahun 2004 telah melampaui MSY atau mengalami over
fishing. Kemungkinan peningkatan produksi atau hasil tangkapan tersebut terkait
dengan peningkatan aktivitas penangkapan masing- masing jenis alat tangkap.
Pada tahun 2005 sampai tahun 2007 terjadi penurunan produksi, pada tahun
tersebut juga terjadi penurunan effort atau aktifitas penangkapan terhadap
krustacea di Teluk Lampung. Kondisi ini sesuai dengan hasil perhitungan tingkat
pemanfaatan sumberdaya krustacea di Teluk Lampung yang menunjukkan pada
tahun 2001 dan 2004 tingkat pemanfaatan krustcea mencapai 110,65% dan
154,48% yang berarti melampaui potensi yang tersedia (over fishing).
Pada tahun 2005

tingkat pemanfaatan krustacea di Teluk Lampung

mencapai 98,77% yang berarti sama dengan potensi yang tersedia atau full
ekploitated. Sedangkan pada tahun- tahun berikutnya tingkat pemanfaatan
krustacea mengalami penurunan yang signifikan, kemungkinan hal ini sangat
terkait dengan penurunan effort yang dilakukan pada tahun- tahun tersebut.
Tabel 27. Tingkat pemanfaatan crustacea
Tahun

Produksi

MSY

Tk.Manfaat (%)

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

287.00
32.50
28.40
400.70
256.20
145.80
72.60

259.3875
259.3875
259.3875
259.3875
259.3875
259.3875
259.3875

110.65
12.53
10.95
154.48
98.77
56.21
27.99

93

(4)

Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya


Jenis ikan lainnya merupakan jenis ikan yang tertangkap dengan alat

tangkap yang tidak spesifik atau tidak mempunyai target spesifik, seperti bagan
dan alat tangkap lain. Jenis ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan teri dan
udang rebon atau ikan- ikan kecil yang lainnya. Alat tangkap yang digunakan
dalam penangkapan ikan lainnya terdiri dari bagan perahu, bagan tancap, jaring
angkat dan alat lainnya.
Alat tangkap ikan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan paling banyak
bagan tancap sebanyak 1819 buah dan yang paling sedikit alat tangkap lainnya
dengan jumlah 783 buah. Pengoperasian alat tangkap ini umumnya statis pada
suatu tempat dan menggunakan bantuan lampu untuk menarik ikan atau udang
berkumpul di bawah lampu.
Tabel 28. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan lainnya di Teluk Lampung
No.
1
2
3
4
5
6
7

Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah

Bagan
Perahu
115.00
122.00
115.00
138.00
243.00
267.00
233.00
1,233.00

Bagan Tancap
292.00
280.00
286.00
292.00
235.00
220.00
214.00
1,819.00

Jaring Angkat
Lain
192.00
152.00
105.00
110.00
149.00
156.00
135.00
999.00

Alat Lainnya
137.00
132.00
130.00
126.00
95.00
74.00
89.00
783.00

Tabel 29. Catch, efort dan MSY ikan lainnya di Teluk Lampung
Tahun Cacth
Effort (x)
Y/f (y)
2001 2,691.70
17,250.00
0.16
2002 3,262.90
35,420.00
0.09
2003 2,188.50
19,445.00
0.11
2004 4,162.20
22,080.00
0.19
2005 5,822.50
48,600.00
0.12
2006 6,400.10
53,421.00
0.12
2007 2,449.90
37,740.00
0.06
Mean
33422.28571
0.121963
Stdev
14367.20739
0.040481
intercept (a)
0.163956
Slop (b)
-1.3E-06
Hubungan Effort dan CPUE f(x) =0.164- 1.3E-06X
Fungsi Produksi f(x) =0.164f 1,3E-06f2
Msy=-0.25xa2/b
5348.723
f MSY
65245.75

94

MSY Ikan Lainnya


6000
Catch (ton/tahun)

5000
4000
Series1

3000
2000
1000
0
0

20,000

40,000

60,000

80,000

Effort (trip)

Gambar 23. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung

Cacth/ effort (ton)

Fungsi CPUE SDI Lainnya


0.16
0.14
0.12
0.10
0.08
0.06
0.04
0.02
-

MSY
y = -1E-06x + 0.164
R2 = 1

Series1
Linear (Series1)

10,000. 20,000. 30,000. 40,000. 50,000. 60,000. 70,000.


00
00
00
00
00
00
00
Effort (trip)

Gambar 24. Tren produksi dan effort ikan lainnya di Teluk Lampung
Nilai MSY ikan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan adalah 5348,723
ton/ tahun dngan effort optimum 65246 trip. Dari data hasil tangkapan ikan
lainnya di Teluk Lampung menunjukkan bahwa produksi atau hasil tangkapan
berfluktuasi dan cendeung meningkat mulai tahun 2001 sampai tahun 2007,
bahkan pada tahun 2005- 2006 produksi ikan lainnya telah melampaui nilai Msy
atau mengalami over fishing. Peningkatan produksi atau hasil tangkapan tersebut
terkait dengan peningkatan aktifitas penangkapan masing- masing jenis alat
tangkap.
Pada tahun 2005 dan 2006 terjadi peningkatan upaya penangkapan ikan
lain di Kabupaten Lampung Selatan yang signifikan sehungga berpengaruh
terhadap produksinya yang melebihi MSY (over fishing). Tahun 2007 produksi
atau hasil tangkapan ikan jenis lainnya di Teluk Lampung mengalami penurunan
yang signifikan, sekitar 60% dari produksi tahun 2006, pada tahun tersebut juga
terjadi penurunan effort tetapi sekitar 30% dari effort tahun 2006. Kondisi pada

95

tahun 2007 mengindikasikan terjadinya penurunan sumberdaya ikan lainnya di


perairan Teluk Lampung. Hal ini berarti walaupun dalam perhitungan tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya hanya 45,8%, tetapi effort yang dilakukan
tidak

dapat

serta

merta

ditingkatkan

karena

indikasi

lainnya

(CPUE)

menunjukkan tren yang menurun. Bisa juga tingkat pemanfaatn ikan lainnya
tahun 2007 tersebut merupakan kondisi terkini sumberdaya ikan lainnya di Teluk
Lampung hanya tinggal 45,8% saja.
Tabel 30. Tingkat pemanfaatan perikanan lainnya di Teluk Lampung
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Produksi
2,691.70
3,262.90
2,188.50
4,162.20
5,822.50
6,400.10
2,449.90

MSY
5348.723
5348.723
5348.723
5348.723
5348.723
5348.723
5348.723

Tk.manfaat(%)
50.32
61.00
40.92
77.82
108.86
119.66
45.80

4.4.2 Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba jaring apung (KJA)


Sub model kesesuaian lahan untuk pengembangan perikanan budidaya
dilakukan dengan penilaian kelayakan terhadap kriteria kesesuaian. Potensi
lahan untuk pengembangan budidaya laut dengan KJA di perairan Kabupaten
Lampung Selatan tersebar dari pesisir pantai Kecamatan Kalianda sampai ke
Kecamatan Padang Cermin. Beberapa kawasan/lokasi tersebut sudah terdapat
kegiatan pembudidayaan ikan dengan KJA, seperti: Tarahan, Teluk Hurun dan
Tanjung Putus. Tanjung Putus adalah lokasi dengan kegiatan pembudidayaan
ikan dengan KJA terpadat. Kendala dan potensi permasalahan di lokasi-lokasi
tersebut berbeda satu sama lain, untuk itu perlu disusun kriteria yang dapat
dijadikan indikator untuk menilai secara total aspek-aspek terkait pengembangan
usaha KJA sehingga dapat ditentukan kelayakannya.

96

1 0 5 0 0 '

1 0 5 1 0 '

1 0 5 2 0 '

1 05 4 0 '

1 0 5 5 0 '
#

B a n d a r L# a m p u n g
4

J a b#u n g

P a n #ja n g

K i lo m e te r

T a ra# h a n

P a#la s
540'

540'

P a d a n g# C e rn a n

A s a#h a n

530'

530'

1 0 5 3 0 '

S im p a n g# K a lia n d a
K a lia n d a #
K e ta #p a n g
G a y# a m

550'

550'

B a tu #B a la k
B a k a #u h e n i

1 0 5 0 0 '

600'

600'

7
P E TA L O K A S I P E N E L IT I A N
TE LU K LA M P U NG

1 0 5 1 0 '

1 0 5 2 0 '

Keterangan gambar :

1 0 5 3 0 '

1 05 4 0 '

1 0 5 5 0 '

; lokasi alternatif pengembangan budidaya laut

Gambar 25. Peta sebaran alternatif lokasi pengembangan perikanan budidaya di


Teluk Lampung
Hasil penilaian kelayakan terhadap 3 (tiga) kategori kriteria kesesuaian
seperti tampilkan pada Tabel 31 dan secara rinci matrik penilaian kelayakan
ditampilkan pada Lampiran 9.
Tabel 31. Hasil penilaian kelayakan kesesuaian lahan
No.

Alternatif Lokasi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kalianda
Tarahan
Teluk Hurun
Ringgung
Pulau Puhawang
Tanjung Putus
Pulau Sebesi

Nilai per Kategori


I
II
III
92
48
67
86
54
69
70
66
67
86
60
71
82
90
81
94
90
83
120
66
80

Nilai Total

Keterangan

67
69
67
71
81
83
80

Kurang Layak
Kurang Layak
Kurang Layak
Kurang Layak
Layak
Layak
Layak

Nilai per kategori untuk setiap alternatif lokasi dihitung dengan mengalikan
bobot dengan skor. Dari hasil penilaian kelayakan terhadap kriteria kesesuaian
lahan untuk pengembangan perikanan budidaya di KJA sebagai salah satu
kegiatan perikanan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan
terlihat bahwa lokasi yang layak adalah Pulau Puhawang, Tanjung Putus dan
Pulau Sebesi sedangkan 4 (empat) lokasi lainnya kurang layak, yaitu: Kalianda,
Tarahan, Teluk Hurun dan Ringgung.

97

Perairan Pulau Sebesi dengan nilai 120 adalah lokasi dengan nilai tertinggi
untuk kriteria I (terdiri atas: aspek biofisik dan aseanografi perairan). Sedangkan
Teluk Hurun memiliki nilai terendah untuk kriteria I. Untuk kriteria II (yang terdiri
atas: kedalaman, keterlindungan dan substrat) lokasi yang memiliki nilai tertinggi
adalah Pulau Puhawang dan Tanjung Putus, sedangkan terendah adalah
Kalianda. Sedangkan untuk kriteria III (yang terdiri atas: aspek sosial ekonomi
dan budaya) lokasi yang memiliki nilai tertinggi adalah Pulau Puhawang dan
yang terendah adalah Kalianda dan Teluk Hurun.
Hasil analisis tersebut sesuai dengan hasil pemantauan BBPBL Lampung
kualitas air di 6 lokasi yang tersebar di Teluk Lampung seperti ditampilkan pada
Gambar 26 dan Gambar 27.

70
60
50
40
30
20
10
0

DO
Suhu
pH
Sal

Ka
lia
nd
a

Ta
ra
ha
n

Hu
ru
n

gg
un
g
Ri
n

Pu
ha
w

T.

an
g

TOM

Pu
tu
s

Nilai

DO (ppm), Suhu (0C), pH, Sal (ppt) & TOM (ppm)

Lokasi

Gambar 26.

Grafik parameter DO, suhu, pH, salinitas dan TOM di beberapa


lokasi budidaya di Teluk Lampung.

Terlihat bahwa 4 (empat) parameter yaitu DO, pH, salinitas dan suhu dari 5
(lima) parameter di atas memiliki nilai yang relatif sama antar lokasi pengamatan.
Hanya nilai total organic metter (TOM) yang berbeda antar lokasi pengamanatan
yaitu Ringgung memiliki nilai TOM terendah yaitu 15 ppm dan Hurun memiliki
TOM tertinggi yaitu 65 ppm.

98

0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0

DIN

Ka
l ia
nd
a

Ta
ra
ha
n

Hu
ru
n

gg
un
g
Ri
n

Pu
ha
w

T.

an
g

PO4

Pu
tu
s

Konsentrasi (ppm)

DIN dan Orto-PO4

Lokasi

Gambar 27. Grafik parameter kelarutan senyawa nitrogen (DIN) dan total bahan
organik (TOM) di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung.
Dari 3 lokasi yang layak untuk pengembangan budiadya laut dengan KJA di
Kabupaten

Lampung

Selatan,

hanya

direkomendasikan

(dua)

lokasi

diantaranya yang dapat ditetapkan sebagai lokasi budidaya KJA, karena Pulau
Sebesi telah ditetapkan sebagai Marine Protected Area (MPA) sehingga kegiatan
yang diperbolehkan dikawasan tersebut sangat terbatas. Disarankan perairan
Pulau

Sebesi

dapat

dijadikan

sebagai

lokasi

pengembangan

kegiatan

pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya yang dapat


dikemas ramah lingkungan dan tidak mengganggu fungsi lokasi sebagai MPA.
4.4.3 Pemilihan teknologi penangkapan ikan
Sub

model

pemilihan

teknologi

penangkapan

ikan

yang

layak

dikembangkan menggunakan metode OWA. Berdasarkan data dari Laporan


Tahunan Propinsi Lampung (2007) dipilih empat alternatif alat tangkap yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi alat tangkap ideal yang
mampu mendukung perkembangan sektor perikanan tangkap berbasis budidaya
di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan jumlah perkembangan alat tangkap
selama kurun waktu 5 tahun. Perkembangan jumlah alat tangkap menurut jenis
alat tangkap yang ada di Kabupaten Lampung Selatan selama periode tahun
2002-2006 dapat dilihat pada Tabel 32.

99

Tabel 32. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan


selama kurun waktu 2002-2006
Tahun

Bubu

Jaring Insang

Pancing

Sero

2002
2003
2004
2005
2006

0
142
131
320
484

354
420
378
406
379

743
812
916
2.165
2.159

82
98
90
165
173

Sumber : Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)


Pemilihan teknologi penangkapan ikan didasarkan pada kriteria yang
disusun untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan, yaitu (1) selektivitas tinggi,
(2) tidak destruktif terhadap habitat, (3) tidak membahayakan nelayan (operator),
(4) menghasilkan ikan yang bermutu baik, (5) produk tidak membahayakan
konsumen, (6) minimum hasil tangkapan yang terbuang, (7) dampak minimum
terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, dan (8) tidak menangkap
spesies yang dilindungi. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat
kepentingan untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan disajikan pada Tabel
33. Dari hasil analsis diketahui bahwa teknologi penangkapan ikan terpilih untuk
dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan adalah alat tangkap bubu (Tabel
35) yang mempunyai bobot atau skala tinggi.
Tabel 33. Bobot kriteria pemilihan teknologi penangkapan ikan
No.

Kriteria

Agregat

1.

Selektivitas tinggi

Sangat Tinggi

2.

Tidak destruktif terhadap habitat

Sangat Tinggi

3.

Tidak membahayakan nelayan

Tinggi

4.

Menghasilkan ikan yang bermutu baik

Tinggi

5.

Produk tidak membahayakan konsumen

Tinggi

6.

Minimum hasil tangkapan yang terbuang

Tinggi

7.

Dampak minimum terhadap keanekaragaman


sumber daya hayati
Tidak menangkap spesies yang dilindungi

8.

Sangat tinggi
Tinggi

100

Tabel 34. Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Kabupaten Lampung
Selatan
No.

Jenis Alat Tangkap

Skala

1.

Bubu (traps)

Tinggi

2.

Jaring insang (gillnet)

Rendah

3.

Pancing (lines)

Sedang

4.

Sero

Sedang

Hariyanto et al (2009), menyatakan bahwa alat tangkap bubu yang


dimodifikasi merupakan alat yang ramah lingkungan dan cocok bagi perairan
Teluk Lampung, alat bubu yang dimodifikasi dengan ditambahkan umpan
menghasilkan tangkapan yang lebih banyak dari bubu biasa (Thomas et al, 2005)
4.4.4 Pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya
Sub model pemilihan dirancang untuk membantu pengguna dalam
menentukan komoditas potensial yang diunggulkan. Sub model pemilihan
menggunakan metode independent preference evaluation (IPE) dengan kaidah
fuzzy group decision making (FGDM), yang dirancang untuk menentukan
prioritas alternatif berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan bobot
masing-masing kriteria. Prioritas ini dinilai secara fuzzy oleh para pengambil
keputusan untuk kemudian diagregasi menjadi urutan atau prioritas alternatif.
Mengingat komoditas perikanan tangkap beragam jenisnya, sedangkan
komoditas yang dapat dibudidayakan dari hasil perikanan tangkap jenisnya
terbatas sehingga diperlukan pentahapan dalam proses pemilihan produk
unggulan agar lebih fokus. Dalam sistem budidaya laut, komoditas perikanan
akan menjadi bahan baku bagi kegiatan budidaya laut sehingga jumlah dan
kontinuitas menjadi faktor yang sangat penting bagi keberlanjutan budidaya yang
dikembangkan. Dengan demikian, tahap awal penentuan produk unggulan
adalah menentukan prioritas komoditas potensialnya. Selain jumlah dan
kontinuitas, kriteria lain dalam pemilihan prioritas komoditas potensial yang juga
akan mempengaruhi keberlangsungan budidaya laut adalah mutu dan nilai
ekonomis komoditas, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi budidaya
ikan. Dari proses pemilihan komoditas dipilih empat jenis komoditas potensial
yang unggul untuk dibudidayakan yaitu ikan kerapu bebek, kerapu lumpur,
kerapu tikus dan kakap putih.

101

Untuk menentapkan produk unggulan budidaya laut pada suatu wilayah


harus memenuhi berbagai kriteria agar budidaya laut tersebut mampu
memberikan manfaat sebesar-besarnya, selain bagi pelaku usaha budidaya, juga
bagi pelaku atau sektor lain, serta bagi pembangunan wilayah setempat.
Terdapat delapan kriteria untuk menetukan produk unggulan budidaya. Kriteria
pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan ditentukan oleh pakar dan
pembobotannya ditentukan melalui metode OWA.
Pemilihan komoditas potensial yang akan dibudidayakan di Kabupaten
Lampung Selatan ditentukan berdasarkan delapan kriteria, yaitu (1) kelayakan
komoditas, (2) ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi, (3) nilai ekonomis,
(4) peluang pasar, (5) penyerapan tenaga kerja, dan (6) dampak ganda terhadap
sektor lain, (7) dampak terhadap lingkungan, dan (8) kondisi budidaya laut saat
ini. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk
pemilihan komoditas potensial dengan menggunakan metode OWA disajikan
pada Tabel 35.
Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di
Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan Laporan Tahunan Propinsi Lampung
selama 5 tahun terakhir adalah kerapu, rajungan, udang putih, dan udang yang
lainnya (Tabel 36).
Tabel 35. Bobot kriteria pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap
berbasis budidaya laut
No.

Kriteria

Agregat

1.

Kelayakan komoditas

Sedang

2.

Ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi

Tinggi

3.

Nilai ekonomis

Tinggi

4.

Peluang pasar

Tinggi

5.

Penyerapan tenaga kerja

Tinggi

6.

Dampak ganda terhadap sektor lain

Sangat Tinggi

7.

Dampak terhadap lingkungan

Sangat Tinggi

8.

Kondisi budidaya laut sekarang

Tinggi

102

Tabel 36. Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di


Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006
Tahun

Kerapu

2002

51,5

2003

59,4

262,9

39,8

223,1

2004

9,2

193,1

1.545,9

240,5

2005

18,0

210,6

1.018,6

803,4

2006

4,2

142,9

915,4

422,8

Rajungan

Udang Putih

Udang Lain

Sumber : Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)


Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas potensial
yang akan dikembangkan dengan sistem budidaya laut, maka diperoleh hasil
bahwa komoditas potensial yang dapat diunggulkan Kabupaten Lampung
Selatan adalah ikan kerapu (Tabel 37).
Tabel 37. Skala prioritas komoditas potensial terpilih Kabupaten Lampung
Selatan
No.
Jenis Komoditas
Skala
1.

Kerapu (Ephinephelus sp)

2.

Rajungan

Rendah

3.

Udang putih

Sedang

4.

Udang lain

Sedang

4.4.5

Tinggi

Kelayakan investasi
Komoditas yang dapat dibudidayakan, ditangkap dan dibudidayakan serta

ditebar kembali dalam rangka pengembangan perikanan tangkap berbasis


budidaya di pesisir dan perairan pantai Kabupaten Lampung Selatan perlu
diketahui kelayakan usahanya yaitu dengan menghitung parameter kelayakan
investasi.
Sub model kelayakan ini mengintegrasikan berbagai operasi dalam
penentuan kriteria kelayakan seperti NPV, Net B/C dan IRR. Selain itu, sub
model ini juga telah dilengkapi dengan operasi untuk perkiraan arus uang,
analisis sensifitas, optimasi peubah kritis dan perencanaan produksi, sehingga
operasi-operasi yang cukup rumit untuk mengantisipasi resiko-resiko kelayakan
dapat dilakukan dengan cepat. Kriteria yang digunakan adalah NPV, Net B/C,
dan IRR. Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha adalah dengan cara

103

membandingkan masing-masing nilai dengan batas-batas kelayakan, yaitu: NPV


> 0; Net B/C > 1, dan IRR > 8%. Hasil kelayakan usaha disajikan pada Tabel 38.
Tabel 38. Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan
No.
A.
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Komoditas/Alat
IRR
Tangkap
Komoditas Perikanan Budidaya
Vaname Sederhana
2.61
Vaname Semi Intensif
6.01
Vaname Intensif
8.91
Windu Sederhana
3.18
Windu Semi Intensif
5.45
Windu Intensif
2.83
Rumput Lut
Kerapu Macan
Bandeng
Justifikasi Kelayakan
>0,14

B.

Komoditas Perikanan Tangkap

10
11
12
13

Pancing Rawai
Pancing Ulur
Jaring Lingkar
Jaring Insang
Justifikasi Kelayakan

26.84 %
20.41 %
25.85 %
39.69 %
> 14 %

NPV df 15 %

B/C

PBP

40.061.075,16
325.740.152,44
889.587.773,06
49.458.712,27
294.335.390,45
270.771.212,94
376.141.242,95
436.475.352,97
94.888.117,18
>0

1.46
1.6
1.49
1.66
1.85
1.44
3.19
2.17
1.35
> 1,00

1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
< 3 thn

42.197.079
34.818.970
279.075
38.773.513
>0

1,24
1,12
1,288
1,63
> 1,00

2,5
2,7
2,53
< 3 thn

Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha perikanan


tangkap

dan pembudidayaan ikan masih layak untuk diusahakan, karena

berdasarkan hasil analisis finansial dengan discount rate 15% menunjukkan nilai
NPV positif, Net B/C lebih besar dari satu, dan IRR diatas tingkat suku bunga
yang wajar (Lampiran 12 Lampiran 24).
4.4.6 Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya
Dengan menggunakan teknik AHP pada sub model strategi, hirarki untuk
pemilihan alternatif strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya terdiri atas fokus, faktor, tujuan dan alternatif dapat
ditentukan prioritasnya. Elemen faktor penting yang mempengaruhi integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah (1) SDI, (2)
potensi lahan budidaya laut, (3) SDM, (4) teknologi, (5) permodalan, (6) pasar,
(7) kebijakan pemerintah, (8) sarana dan prasarana; (9) informasi, dan (10)

104

kelembagaan. Elemen tujuan yang hendak dicapai adalah (1) peningkatan


produksi ikan, (2) perluasan lapangan kerja, (3) perluasan kesempatan berusaha,
(4) peningkatan pendapatan daerah, (5) peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan
(6) peningkatan konsumsi ikan. Untuk pencapaian tujuan tersebut alternatif
strategi yang ditawarkan adalah (1) optimalisasi perikanan tangkap, (2)
optimalisasi perikanan budidaya, dan (3) pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya.
Hasil analisis pakar menunjukkan (Gambar 24) bahwa faktor informasi
(0,1329), sarana dan prasarana (0,1295), kelembagaan (0,1246), kebijakan
pemerintah (0,1157) dan pasar (0,0987) masing-masing menempati urutan 1, 2,
3, 4 dan 5, artinya faktor tersebut merupakan faktor determinatif dalam integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Mengingat masih
rendahnya pengetahuan dan pemahaman stakeholders tentang integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya khususnya untuk
alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, maka
penyampaian informasi yang tepat dan memadai menjadi faktor terpenting.

STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP


DAN PERIKANAN BUDIDAYA

Gambar 28. Hasil analisis strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap


dan perikanan budidaya.
Analisis AHP tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan skala prioritasnya,
tujuan yang hendaknya menjadi prioritas tujuan integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah peningkatan produksi ikan

105

(0,2927), peningkatan pendapatan nelayan (0,2016), peningkatan pertumbuhan


ekonomi (0,1841), perluasan kesempatan berusaha (0,1232) dan perluasan
lapangan kerja (0,1013). Tujuan untuk peningkatan produksi ikan sebagai
prioritas pertama integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya mengindikasikan bahwa secara umum pengembangan jenis perikanan
tangkap berbasis budidaya mampu meningkatkan produksi ikan dari sektor
budidaya laut untuk mendukung produksi dari sektor perikanan tangkap,
sehingga permintaan ikan akan tetap terpenuhi secara kontinue karena ditunjang
oleh adanya supplai benih dari kegiatan budidaya laut untuk ditebar. Peningkatan
produksi ikan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan
nelayan dan pembudidaya di Kabupaten Lampung Selatan.

Jadwiga (2008), menyatakan bahwa AHP dan analisa kelayakan usaha


sangat baik digunakan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam
menentukan jenis perlakuan terhadap lingkungan budidaya . Selain itu model atau
software

sudah

lazim

digunakan

dalam

penentuan

prioritas

untuk

memaksimalkan keuntungan atau efisiensi dari dua kegiatan perikanan atau lebih
yang berlangsung pada waktu atau lokasi yang sama (Morten et al, 2009).
Seperti penelitian Pascoe and Mardle (2001), yang menyatakan bahwa untuk
memaksimalkan keuntungan ekonomi dan menjagakestabilan pekerja dilakukan
analisis menggunakan bioekonomi model
Pada hirarki penentuan alternatif strategi diperoleh hasil bahwa prioritas
alternatif strategi yang dibutuhkan untuk integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya adalah pengembangan perikanan tangkap
bersisi perikanan budidaya (0,4685), selanjutnya diikuti oleh optimalisasi
perikanan budidaya (0,3434) dan optimalisasi perikanan tangkap (0,1880).
Menurut pakar pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya
adalah alternatif strategi yang berada pada prioritas pertama dalam integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten
Lampung Selatan. Hal ini dimungkinkan karena kondisi sumberdaya perikanan
tangkap yang sudah menurun dan ketersediaan lokasi potensial untuk budidaya
laut. Untuk dapat melaksanakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya memerlukan upaya yang lebih besar terutama dalam hal
pengorganisasian, pembuatan aturan dan pembinaan pelaksanaanya. Karena
dalam

106

Pakar atau key person memilih pengembangan perikanan tangkap berbasis


budidaya sebagai alternatif pertama dalam rangka integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan.
Alternatif Kedua dan Ketiga secara berurutan adalah optimalisasi perikanan
budidaya dan optimalisasi perikanan tangkap. Hal ini sesuai dengan hasil analisis
terhadap kesesuaian lahan untuk budidaya dan kajian terhadap sumberdaya ikan
di perairan Lampung Selatan. Untuk optimalisasi pengembangan perikanan
budidaya dari 7 (tujuh) alternatif lokasi yang dianalisis hanya 2 (dua) diantaranya
yang dinyatakan layak. Kedua lokasi tersebut adalah lokasi yang sudah terdapat
kegiatan perikanan budidaya dengan Karamba Jaring Apung, sehingga
optimalisasi perikanan budidaya yang perlu dilaksanakan lebih banyak pada
penataan dan pengendalian lingkungan budidaya. Demikian juga dengan
sumberdaya perikanan di perairan Lampung Selatan telah menunjukkan indikasi
fully exploited sampai dengan over expolitasi, hanya kelompok pelagis oseanik
kecil dan ikan demersal yang berada pada kedalaman > 200 m yang masih
mungkin ditingkatkan upaya penangkapannya. Sehingga untuk optimalisasi
perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan lebih bersifat pada
pengendalian upaya penangkapan dan peningkatan armada dan alat tangkap
untuk mencapai perairan yang lebih jauh ke arah lautan lepas atau keluar dari
perairan Teluk Lampung.
Implementasi perikanan tangkap berbasis budidaya dengan kegiatan
penebaran benih ikan sebagai kegiatan utamanya dapat menjadi salah satu
upaya pengendalian tekanan terhadap sumberdaya perikanan dan mewujudkan
keberlanjutan usaha penangkapan ikan di perairan Kabupaten Lampung Selatan.
Kegiatan perikanan budidaya baik oleh unit kerja pemerintah maupun oleh
swasta dan perbenihan rakyat atau UPR mendukung penyediaan benih ikan
yang akan ditebar. Dalam hal pemanfaatanya perlu ditetapkan aturan
penangkapan di lokasi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
Lokasi yang dapat disarankan sebagai lokasi pengembangan perikanan
tangkap berbasis budidaya adalah perairan Pulau Sebesi. Karena secara biofisik
perairan ini sesuai untuk pengembangan perikanan budidaya akan tetapi dengan
adanya status kawasan ini sebagai kawasan perlindungan laut maka hanya
kegiatan tertentu yang tidak mempengaruhi fungsi perlindungannya atau ramah
lingkungan yang dapat dikembangkan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis
budidaya adalah salah satu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan

107

ramah lingkungan karena tidak ada intervensi yang intensif terhadap sumberdaya
dan kualitas lingkungan seperti halnya perikanan tangkap dan perikanan
budidaya pada umumnya.
4.4.7 Kelembagaan
Sub model kelembagaan dirancang dengan metode ISM dan digunakan
untuk melakukan identifikasi struktur elemen atau unsur dalam sistem. Analisis
dilakukan

terhadap

elemen

pengguna

yang

terpengaruh

dari

integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen kebutuhan


untuk pelaksanaan program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, elemen perubahan yang mungkin terjadi dari
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen
tujuan dari program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya, elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, elemen aktivitas integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, dan elemen pelaku integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
1.

Elemen Pengguna yang terpengaruh dari Integrasi Pengembangan


Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pengguna

terdiri dari 5 sub elemen, dapat digambarkan dalam bentuk hirarki yang terbagi
dalam 3 level (Gambar 27) dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik driver
power-dependence (Gambar 28).

Gambar 29. Hirarki elemen sektor pengguna yang terpengaruh dari integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

108

Hirarki pada Gambar 29 menempatkan elemen pengguna pembudidaya


(E2), pengusaha (E3), dan eksportir (E4) pada level 1. Pedagang alat-alat
perikanan pada level 2 dan nelayan pada level 3. Elemen kunci dari elemen
pengguna adalah nelayan dan pembudidaya, hal ini berarti elemen pengguna
tersebut akan mendorong pengguna yang lain.

(1)

(2)

4
DRIVER POWER
3
0

2 2

(3)
3 (5)

4 (4)

0
DEPENDENCE

Gambar 30. Grafik driver power dependence untuk elemen pengguna yang
terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.
Keterangan:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Nelayan
Pembudidaya
Pengusaha
Eksportir
Pedagang alat-alat perikanan
Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik griver power-dependence

untuk elemen pengguna (Gambar 30) menunjukkan bahwa nelayan (E1)


menempati sektor IV (independent) dan memiliki nilai driver power (DP) yang
tertinggi (5). Hal ini berarti nelayan (E1) merupakan peubah bebas dan dalam hal
ini berarti memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar untuk
mempengaruhi pengguna lain, juga sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi
pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya, namun punya sedikit
ketergantungan terhadap program.

109

Sub elemen pembudidaya (E2) dan pengusaha (E3) memiliki daya


dorong yang juga kuat, serta bersifat linkage (sektor III) yang berarti saling
berpengaruh dengan sub elemen yang lain. Eksportir (E4) dan pedagang alatalat perikanan (E5) merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah
terikat atau dependent) yang berarti pengguna tersebut berdaya dorong rendah
dan dipengaruhi oleh sub elemen yang lain. Hal ini juga dapat diartikan bahwa
pengguna tersebut bersifat dependent atau bergantung pada pengguna yang
lain.
2.

Elemen Kebutuhan untuk Pelaksanaan Integrasi Pengembangan


Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Sub elemen yang menyusun hirarki kebutuhan untuk pelaksanaan program

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terdiri dari


tujuh sub elemen, dengan hasil analisis ISM terbagi dalam empat level (Gambar
31).
Sub elemen stabilitas politik merupakan elemen yang menempati level 1.
Hasil tersebut memberi pengertian bahwa stabilitas politik merupakan kebutuhan
yang harus terpenuhi untuk mendorong integrasi perkembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai
pilar utama yang menjamin keberlangsungan perikanan tangkap berbasis
budidaya.
Level 2 terdiri dari sub elemen kemudahan birokrasi (E2), permodalan (E5),
dan pemasrana yang terjamin (E7) merupakan jenis kebutuhan lanjutan yang
dibutuhkan

bagi

perkembangan

perikanan

tangkap

berbasis

budidaya.

Kebutuhan berikutnya adalah ketersediaan lahan budidaya (E3) dan teknologi


tepat guna (E6) yang berada pada level 3. Pemenuhan kebutuhan penting yang
juga harus diperhitungkan adalah suasana kondusif dan aman (E1).

110

Gambar 31. Hirarki elemen kebutuhan yang terpengaruh dari integrasi


pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Hasil pengelompokkan elemen kebutuhan dalam grafik dependence driver
power (Gambar 32) menunjukkan bahwa suasana kondusif dan aman (E1)
berada dalam peubah bebas (sektor independent), hasil ini menunjukkan bahwa
peubah tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, tetapi memiliki
sedikit ketergantungan terhadap pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya.

7
6
(5)

DRIVER POWER

(1) 4
0

33

(2, 7)

(3, 6)
4

(4)
5

2
1
0
DEPENDENCE

Gambar 32.

Grafik driver power dependence untuk elemen kebutuhan untuk


integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya.

111

Sub elemen kemudahan birokrasi (E2), ketersediaan lahan budidaya (E3),


stabilitas politik dan moneter (E4), permodalan (E5), teknologi tepat guna (E6),
dan pemasaran yang terjamin (E7) yang berada dalam sektor III (linkage)
menunjukkan bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dorong yang besar dan
akan saling mempengaruhi dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya.
3. Elemen Kendala dalam Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap
dan Perikanan Budidaya
Hirarki elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya disusun dari lima sub elemen yang terbagi dalam empat
level (Gambar 33) dan pengelompokkan dalam grafik driver power dependence
disajikan pada Gambar 34.

Gambar 33. Hirarki elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan


tangkap dan perikanan budidaya.
Keterbatasan modal (E1) merupakan sub elemen dari elemen kendala yang
menempati level 1 yang sekaligus merupakan elemen kunci, artinya sub elemen
ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dalam posisinya sebagai elemen
kunci, penyelesaian kendala ini akan mendorong penyelesaian kendala lain yang
dapat menghambat upaya integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.

112

(1)

DRIVER POWER
3
0

(4)

2 2
(3, 4)

3 (2)

0
DEPENDENCE

Gambar 34. Grafik driver power dependence kendala dalam integrasi


pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Apabila kendala keterbatasan modal ini dapat diatasi, maka kendala yang
berada pada level 2 diharapkan juga dapat diselesaikan, karena penyelesaiaan
masalah tersebut banyak diantaranya terkait dengan kebutuhan modal.
Sub elemen kendala yang memiliki daya dorong kuat dan saling
mempengaruhi terhadap elemen yang lain adalah keterbatasan modal (E1) yang
berada dalam sektor III (linkage), sehingga diperlukan kehati-hatian menangani
masalah tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent) terdapat
kendala keterbatasan sarana dan prasarana (E2), yang berarti kendala tersebut
memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh sub elemen yang
lain.
4.

Elemen
Perubahan
yang
mungkin
terjadi
dari
Integrasi
Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen perubahan yang mungkin terjadi

terdiri dari 7 sub elemen yang terbagi dalam 3 level (Gambar 35) dan
digambarkan dalam bentuk grafik driver power dependence pada Gambar 36.

113

Gambar 35. Hirarki elemen perubahan yang mungkin terjadi dari integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Sub elemen yang menjadi elemen kunci pada elemen perubahan adalah
peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2) yang berada pada level 2
dan memiliki nilai DP tertinggi (5). Dalam posisinya sebagai variabel penentu,
penyelesaian perubahan ini akan mendorong penyelesaian perubahan lain yang
dapat menghambat upaya integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya. Apabila perubahan peningkatan pendapatan nelayan
pembudidaya bisa diatasi, maka perubahan sub elemen lainnya yang berada
pada level 1, 2, dan 3 diharapkan juga bisa berjalan dengan baik.

7
6
5

(2)

(3)

33

4 (6)

DRIVER POWER
(4, 7)
0

2
1
0
DEPENDENCE

(1, 5)
5

114

Gambar 36. Grafik driver power dependence elemen perubahan yang mungkin
terjadi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.
Berdasarkan plot pada grafik driver power dependence (Gambar 34) terlihat
bahwa keterjaminan pasar produk budidaya (E4) dan penataan ruang laut (E7)
berada dalam sektor IV (peubah bebas atau independent), yang berarti bahwa
peubah ini mempunyai daya dorong kuat dengan nilai DP tinggi, tetapi memiliki
sedikit ketergantungan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya di
kawasan ini.
Sub elemen perubahan yang memiliki daya dorong kuat dan saling
mempengaruhi terhadap sub elemen lain adalah peningkatan jumlah nelayan
pembudidaya (E1), peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2),
peningkatan PAD (E3), dan peningkatan investasi yang berada dalam sektor III
(linkage),

sehingga

diperlukan

prinsip

kehati-hatian

dalam

menangani

perubahan-perubahan tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent)


terdapat perubahan pengembangan wilayah (E6) yang berarti perubahan
tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh elemen
yang lain.

5.

Elemen Tujuan dari Program Integrasi Pengembangan Perikanan


Tangkap dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tujuan terdiri dari 6 sub elemen

yang terbagi dalam 4 level (Gambar 37). Sub elemen tujuan yang menjadi
elemen kunci adalah peningkatan investasi (E5), karena memiliki nilai DP
tertinggi (6) dan berada pada level 1. Keberhasilan pencapaian tujuan tersebut
akan mendorong peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya
(E1) yang juga berada pada level 1, peningkatan PAD (E2) dan pengembangan
daerah (E3) pada level 2, optimalisasi potensi SDI (E6), serta sub elemen pada
level 4 yaitu keterjaminan pasar produk budidaya.

115

Gambar 37. Hirarki elemen tujuan dari program integrasi pengembangan


perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Jika dilihat dari hubungan driver power dependence elemen tujuan yang
diplotkan (Gambar 38), maka peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan
pembudidaya (E1), peningkatan PAD (E2), dan peningkatan investasi (E5)
bersifat linkage atau berada pada sektor III, yang berarti saling berpengaruh
dengan sub elemen lain.
Pengembangan daerah (E3) merupakan sub elemen yang berada di sektor
II (peubah terikat atau dependent) yang berarti tujuan tersebut berdaya dorong
rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila
tujuan di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya tujuan di sub
elemen di sektor II ini.

DRIVER POWER

(5)

(1)

(2)
(6)

(4)
3
0

3
2

(3)

1
0
DEPENDENCE

Gambar 38. Grafik driver power dependence elemen tujuan integrasi


pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

116

6.

Elemen Keberhasilan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap


dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen keberhasilan

terdiri dari 8 sub elemen dan digambarkan dalam diagram model struktural dari
elemen keberhasilan (Gambar 39) dimana elemen keberhasilan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terbagi dalam 4
level.

Gambar 39 Hirarki elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan


tangkap dan perikanan budidaya.
Adapun sub elemen yang menjadi variabel penentu yang mempengaruhi
secara signifikan adalah peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2)
pada level 3 dengan nilai tertinggi DP (8). Hasil tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan keberhasilan yang
memiliki peran lebih besar daripada keberhasilan lain dalam integrasi
engembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sub elemen tersebut
juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberhasilan
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keberhasilan peningkatan
pendapatan nelayan akan mendorong keberhasilan lain yang berada pada level
1, 2, dan 4 sebagai keberhasilan langsung dalam kegiatan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

117

DRIVER POWER

(2)

(5)

(7)

(6)
(1)

5
(4)
4
0

3
(8)

(3)

2
1
0
DEPENDENCE

Gambar 40. Grafik


driver
power
dependence
keberhasilan
integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Hasil klasifikasi yang digambarkan dalam grafik driver power dependence
elemen keberhasilan (Gambar 40) menunjukkan bahwa sub elemen penurunan
angka kemiskinan dan pengangguran (E1), peningkatan pendapatan nelayan
pembudidaya (E2), peningkatan harga ikan (E4), peningkatan volume dan nilai
produksi (E5), dan peningkatan pangsa pasar (E6), peningkatan investasi (E7)
yang berada pada sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub-sub elemen
tersebut memiliki daya dukung yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Peningkatan PAD dan PNBP (E3) berada dalam sektor peubah tidak bebas
atau dependent (sektor II). Dengan posisi tersebut berarti sub elemen tersebut
mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah
lainnya.
7.

Elemen Aktivitas Yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan


Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Elemen

aktivitas

yang

dibutuhkan

dalam

integrasi

pengembangan

perikanan tangkap dan perikanan budidaya disusun dari 6 sub elemen dengan
hirarki yang terbagi dalam 4 level (Gambar 41).

118

Gambar 41. Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
Hirarki pada Gambar 39 menempatkan aktivitas koordinasi antar sektor
(E1) pada level 1, yang sekaligus menempatkan elemen tersebut sebagai
elemen kunci pada struktur elemen aktivitas yang akan mendorong aktivitas yang
lain. Perumusan Perda (E2) dan kemudahan akses terhadap teknologi dan
informasi (E4) merupakan sub elemen pada level 2 yang perlu mendapat
perhatian karena aktivitas tersebut akan mendorong sub elemen aktivitas pada
level berikutnya.

(1)

6
(5)

5
DRIVER POWER

(2)

(6)

(4)
(3)

3
0

2
1
0
DEPENDENCE

Gambar 42. Grafik driver power dependence aktivitas yang dibutuhkan guna
perencanaan tindakan dalam pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya.

119

Berdasarkan

plot

grafik

dependence

driver

power

(Gambar

42)

menunjukkan sub elemen sosialisasi kelayakan perikanan budidaya (E6) berada


pada sektor IV yang berarti merupakan peubah bebas (independent) dan
memiliki kekuatan penggerak lebih besar dari sub elemen lain.
Perumusan Perda (E2), menciptakan iklim kondusif (E3), kemudahan akses
terhadap teknologi dan informasi (E4), serta monitoring dan pengelolaan
perikanan budidaya (E5) berada di sektor III, yang berarti sub-sub elemen
tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar dan merupakan subsub elemen yang saling terikat dengan sub elemen yang lain (linkage) dalam
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

8.

Elemen Pelaku Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan


Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pelaku

integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang terdiri


dari 10 sub elemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hirarki (Gambar 43)
dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik dependence driver power
(Gambar 44).

Gambar 43. Hirarki elemen pelaku pengembangan perikanan tangkap berbasis


budidaya.

120

(7)
DRIVER POWER

10

(10)

(3)

(1, 2)

(4)

(5, 6, 8, 9)

6
5
0

4 4 5

10

3
2
1
0
DEPENDENCE

Gambar 44. Grafik driver dependence power pelaku integraasi pengembangan


perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Dari Gambar 43 diketahui bahwa elemen pelaku pengembangan terbagi
dalam 3 level. Sub elemen yang menjadi pelaku yang berada dalam level 1
adalah nelayan (E1), pembudidaya (E2), Pemkab (E4), Pemprov (E5), Pempus
(E6), camat (E8), dan lurah (E9).
Adapun sub elemen yang menjadi elemen kunci dari elemen pelaku
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah
nelayan (E1), pembudidaya (E2), dan masyarakat (E10), yaitu pada level 1 (E1
dan E2) dan level 2 (E10). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan (E1) dan
pembudidaya (E2) merupakan pelaku yang memiliki peran lebih besar dari
pelaku lain . Peran nelayan dan pembudidaya tersebut menunjukkan tindakan
yang dilakukan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan yang besar bagi
pelaksanaan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian
tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik dependence driver power
(Gambar 44) menunjukkan bahwa elemen nelayan, pembudidaya, Pemkab,
Pemprov, Pempus, camat, dan lurah menempati sektor III (linkage), yang berarti
pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang besar
dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hal
ini karena nelayan dan pembudidaya memiliki nilai driver power tertinggi,

121

sehingga dapat menjadi pendorong yang sangat kuat bagi elemen-elemen yang
lain.
Elemen bank (E3), perguruan tinggi (E7) dan masyarakat (E10) menempati
sektor IV (independent) dan nilai DP yang cukup tinggi (E3 dan E7) dan tinggi
(E10). Hal ini berarti bank, perguruan tinggi dan masyarakat memiliki peran yang
besar

untuk

mempengaruhi

pelaku

yang

lain

dalam

rangka

integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

9.

Elemen Tolok Ukur Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan


Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis dengan ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian

tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya


terdiri dari 6 sub elemen yang terbagi dalam 5 level (Gambar 45).

Gambar 45. Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

122

(5)

(1)

DRIVER POWER

(2)
(6)

(4)
3

(3)

1
0
DEPENDENCE

Gambar 46. Grafik driver dependence power untuk pencapaian tujuan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Pada level 1 terdapat sub elemen peningkatan PAD (E2) (Gambar 45).
Pada level 2 terdapat peningkatan harga ikan (E5). Level 3 diduduki oleh sub
elemen peningkatan investasi (E3), sedangkan pada level 4 terdapat sub elemen
peningkatan

jumlah

dan

pendapatan

nelayan

pembudidaya

(E1)

dan

pengembangan daerah (E4). Peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan


pembudidaya menempati level 4 dan merupakan elemen kunci sebagai tolok
ukur dalam pencapaian tujuan dari integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya. Hal ini sejalan dengan prioritas tujuan dari integrasi
pengembangan

perikanan

tangkap

dan

perikanan

budidaya

yang

diidentifikasikan sebelumnya, yaitu meningkatkan pendapatan nelayan.


Jika dilihat dari hubungan dependence driver power yang diplot pada
Gambar 46, maka sub elemen keterjaminan pasar (E4) dan peningkatan jumlah
dan pendapatan nelayan pembudidaya (E1) berada dalam sektor IV (peubah
bebas atau independent). hasil tersebut mengindikasikan bahwa sub-sub elemen
tersebut

mempunyai

kekuatan

pendorong

yang

besar

dalam

integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.


Sub elemen peningkatan PAD (E2), peningkatan investasi (E3), dan
peningkatan harga ikan (E6) memiliki daya dorong yang kuat, serta bersifat
linkage (sektor III) yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen lain.
Pengembangan daerah merupakan sub elemen yang berada di sektor II
(peubah terikat atau dependent) yang berarti tolok ukur tersebut berdaya dorong

123

rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila
tolok ukur di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya sub elemen
di sektor II ini.

PEMBAHASAN

Integrasi pengembangan perikanan budidaya dan perikanan tangkap di


Kabupaten Teluk Lampung terdiri atas 3 (tiga) alternatif program kegiatan yaitu
program optimalisasi panangkapan ikan, program optimalisasi pembudidayaan
ikan dan pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya.
Berikut akan dijelaskan hasil analisis seperti telah diuraikan pada Bab 4.
5.1

Kondisi Perikanan Tangkap


Dengan potensi (supply capacity) yang besar dan permintaan terhadap

produk dan jasa kelautan dan perikanan yang terus meningkat, maka sektor
kelautan dan perikanan berpeluang tinggi untuk menjadi salah satu soko guru
(prime mover) perekonomian nasional. Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten
Lampung Selatan dari segi produksi ikan selama tahun 2002-2006 cenderung
mengalami peningkatan (Gambar 14). Perkembangan jumlah perahu atau kapal
penangkap ikan masih didominasi oleh perahu tanpa motor (Gambar 14), hal ini
menunjukkan bahwa perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Lampung
Selatan merupakan perikanan skala kecil, dengan alat tangkap dominan pada
tahun 2006 adalah pancing dan bubu (Tabel 32).
Alat tangkap ini menjadi populer di kalangan nelayan karena mudah
dioperasikan dan murah biayanya. Dilihat dari aspek peralatan tangkap
sebagian besar nelayan masih mempergunakan jenis peralatan yang sederhana
dengan daerah penangkapan masih di sekitar perairan pantai dan dekat dengan
tempat tinggal nelayan. Berbagai kendala penyebab kondisi sederhananya
armada dan alat tangkap yang keseluruhannya berpangkal dari ketidakmampuan
nelayan dalam memperoleh modal kerja dan masih rendahnya pengetahuan dan
keterampilan sumber daya manusia dari masyarakat nelayan, sehingga orientasi
kegiatan kenelayanan masih bersifat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sumberdaya perikanan tangkap yang terdapat diperairan Kabupaten
Lampung Selatan hampir sama dengan perairan di wilayah pengelolaan
perikanan (WPP) 572 lainnya, yaitu jenis ikan pelagis kecil yang bersifat neritik
yaitu kelompok ikan yang menggerombol dan bergerak relatif tidak jauh dari
pantai, ikan demersal dan udang serta ikan pelagis besar yang memiliki sifat
highly migratory.

125

Memperhatikan komposisi alat tangkap yang beroperasi di perairan


Kabupaten Lampung Selatan maka dapat dikatakan bahwa sumberdaya ikan
pelagis kecil, ikan demersal dan udang pada kedalaman < 100 m sudah
termanfaatkan

bahkan

mendekati

over

eksploitasi,

sedangkan

potensi

sumberdaya ikan pelagis kecil oseanik hampir belum termanfaatkan. Hal ini
mengingat kemampuan dan daya jelajah armada yang dioperasikan belum
mampu menjangkau ke perairan samudera yang lebih jauh ke tengah.
Pengembangan perikanan tangkap di Lampung Selatan dapat dilakukan
dengan melakukan modernisasi alat tangkap yang dominan dipergunakan oleh
nelayan, yaitu bubu. Modernisasi bubu dapat dilakukan dengan pembuatan
kontruksi bubu dari besi dengan penambahan umpan. Dengan peningkatan
teknologi bubu ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas nelayan. Sesuai
dengan penelitian Tomas (2004) bahwa penangkapan menggunakan bubu besi
dengan umpan menghasilkan tangkapan yang lebih banyak daripada bubu dari
bambu tanpa umpan. Peningkatan teknologi alat tangkap bubu ini sesuai dengan
kondisi sumberdaya krustasea yang baru termanfaatkan sebesar 27,99% pada
tahun 2007 (Tabel 27).
Pengembangan

perikanan

tangkap

juga

dapat

dilakukan

dengan

pengembangan alat tangkap bagan sebagai alat tangkap yang mempunyai target
ikan lainnya (seperti teri). Bagan yang perlu dikembangkan adalah bagan perahu,
hal ini terkait target penangkapan yang merupakan jenis ikan yang bergerombol
dan berpindah-pindah sesuai perubahan pasang surut dan arus air laut. Hal ini
sesuai dengan potensi ikan lainnya di Teluk Lampung yang sampai tahun 2007
masih termanfaatkan 45,8% (Tabel 30).
Sedangkan untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan pesisir
diperlukan

upaya

penambahan

stok

melalui

kegiatan

penebaran

dan

pembatasan aktivitas penangkapan seperti: pembatasan musim penangkapan,


alat tangkap, lokasi dan atau penetapan kuota.
Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80% dari
stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited),
eksploitasi lebih (over exploited) bahkan sudah ada yang menunjukkan
kepunahan (collaps) (Mora et al, 2009). Kondisi ini juga terjadi pada perairan
Teluk Lampung, yang diindikasikan dengan penurunan catch per unit effort
(CPUE),sesuai pendapat Atmaja dan Nugroho (2006) yang menyatakan bahwa
penurunan CPUE mengindikasikan penurunan biomassa seperti yang terjadi

126

pada perikanan cantrang di Tegal (Ernawati dan Sumiyono,2009) perikanan


pukat cincin di Kalimantan Barat (Hariati et al.,2009) dan ikan pelagis di Selat
Sunda (Atmaja dan Nugroho, 2005; Amri, 2008).
Penurunan potensi sumberdaya dapat diketahui dengan beberapa indikasi
yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, ukuran ikan yang
tertangkap semakin kecil- kecil dan hilangnya beberapa jenis ikan endemik
(Hartoto, 2000; Worm,2006; Mateus and Estupinan, 2002). McPhie

dan

Campana (2009), menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad
dapat untuk menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh
ikan sebagai indikasi status suatu sumberdaya. Untuk menjaga kelestarian dan
keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi
pengelolaan yang tepat dan komprehensip serta terintegrasi.
5.2

Perikanan Budidaya
Hingga saat ini tingkat pemanfaatan usaha perikanan budidaya masih

sangat rendah, padahal luas perairan yang sesuai untuk kegiatan budidaya
sangat luas, sehingga peluang pengembangan usaha perikanan budidaya di
tanah

air

masih

sangat

besar.

Khususnya

di

perairan

laut,

peluang

pengembangan masih sangat terbuka di mana Indonesia memiliki perairan laut


yang potensial (sesuai) untuk usaha budidaya laut terluas di dunia. Berdasarkan
pada perhitungan sekitar 5 (lima) km dari garis pantai ke arah laut, maka potensi
luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut
diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya tersebut
terbentang dari ujung barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia.
Pengembangan perikanan budidaya di Indonesia ke depan harus dilakukan
dengan memperhatikan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF),
antara lain dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: kelestarian lingkungan
SDA, pengembangannya dilakukan secara berkelanjutan, keamanan pangan
(food safety), tidak memodifikasi genetik biota (genetic modified organism),
ecolabelling, dan traceability.
Kabupaten Lampung Selatan memiliki potensi lahan yang merupakan
peluang untuk mengembangkan kegiatan budidaya laut, yaitu di Kalianda,
Tarahan, Hanura/Teluk Hurun, Ringgung, Tanjung Putus, Puhawang dan Pulau
Sebesi. Pemanfaatan lahan budidaya laut masih kecil bila dibandingkan dengan
potensi yang tersedia. Dari lahan yang tersedia untuk kegiatan budidaya laut di

127

Kabupaten Lampung Selatan yaitu seluas 18.775 ha, hanya 1,9 % (370 ha) yang
telah digunakan untuk kegiatan budidaya laut.
Kegiatan budidaya perikanan laut (mariculture) dengan beberapa jenis ikan
yang bernilai ekonomis tinggi di Kabupaten Lampung Selatan telah berkembang
pada beberapa lokasi. Kegiatan budidaya laut seperti ikan Kerapu (Epinephalus
spp) dan kerang mutiara sudah mulai dikembangkan melalui proyek budidaya
laut yang dirintis oleh BPPL Lampung Selatan. Ada beberapa unit keramba jaring
apung (KJA) yang dikelola oleh pengusaha perikanan di dalam skala usaha
besar. Sedangkan untuk masyarakat umum masih terbatas pada pemeliharaan
ikan dalam jaring tancap (keramba) yang dipasang di sekitar perairan pantai,
umumnya terdapat disamping rumah-rumah panggung nelayan, ikan yang
dipelihara adalah kerapu bebek dan kerapu macan. Usaha keramba ini telah
berjalan cukup lama namun perkembangannya sangat lambat hal dapat
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) keterbatasan keterampilan dalam
hal penggunaan teknologi; (2) sulitnya mendapat benih dan pakan; (3) masih
rendahnya motivasi; dan (4) kurangnya modal untuk usaha.
Lokasi budidaya laut untuk proses pembesaran jenis ikan ekonomis penting
berupa keramba yang terbuat dari kayu dan jaring nylon sudah sangat
berkembang. Nelayan yang berumah di pinggir-pinggir pantai, umumnya
memanfaatkan

lahan

perairan

pantai

sebagai

tempat

keramba.

Usaha

pembesaran ikan tersebut merupakan suatu cara untuk menabung uang bagi
keluarga nelayan di daerah ini. Kegiatan budidaya laut yang berkembang dan
diusahakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan dengan cara sederhana
yaitu menggunakan keramba untuk membesarkan benih ikan karang yang
bernilai ekonomi penting seperti kerapu.
Perkembangan produksi budidaya di Lampung Selatan memiliki trend yang
positif (naik), walaupun berfluktuasi setiap tahunnya (Tabel 10). Perkembangan
produksi budidaya laut ini juga diikuti oleh perkembangan RTP budidaya laut
yang jumlahnya juga mengalami kenaikan (Tabel 12). Jenis ikan yang
dibudidayakan di lampung Selatan masih didominasi oleh kerapu, yaitu kerapu
bebek dan kerapu macan, di mana dari tahun 2002-2006 jumlah benih yang
ditanam semakin bertambah (Tabel 16). Di samping itu berkembang pula usaha
budidaya rumput laut.
Namun kegiatan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan yang ada dan
berkembang bukanlah penebaran benih ikan, melainkan kegiatan budidaya laut

128

dalam keramba jaring apung, yaitu benih-benih dibesarkan di lahan-lahan yang


berpotensi untuk kegiatan budidaya laut dalam keramba jaring apung.
Sejalan dengan hal itu, di bidang perikanan budidaya diperlukan adanya
kesadaran baru dari masyarakat dan stakeholder, untuk memposisikan pola pikir
dan persepsinya, agar perikanan budidaya memiliki peran penting dalam
perekonomian nasional. Untuk itu, masyarakat dan stakeholder perikanan
budidaya, harus mampu memperluas cakupan komponen kegiatan usaha
perikanan budidaya dari hulu sampai ke hilir, sehingga aktivitas ekonomi
perikanan budidaya mencakup pula berbagai kegiatan manufaktur dan jasa yang
berhubungan langsung dengan kegiatan bisnis perikanan budidaya. Dengan kata
lain, kegiatan perikanan budidaya harus mencakup pula kegiatan industri sarana
produksi, pengolahan dan pemasaran hasil dalam suatu kesisteman yang
tangguh. Dalam kerangka itu dipandang perlu melakukan revitalisasi perikanan
budidaya sebagai upaya percepatan pembangunan perikanan.
Kegiatan

pengembangan

budidaya

laut

masih

memerlukan

suatu

perubahan budaya dari pelaku perikanan. Hal ini karena kegiatan budidaya
merupakan kegiatan kultivasi yang membutuhkan perhatian, waktu yang lebih
lama, input yang banyak, dan biaya yang lebih mahal. Di sisi lain ketidaktentuan
hasil panen merupakan kendala yang mungkin terjadi.
Pengembangan perikanan budidaya berjalan sangat lambat dikarenakan
adanya berbagai permasalahan yang dihadapi, diantaranya:
(1)

Kendala lingkungan: sumber daya lahan yang terbatas atau sulit


dikembangkan untuk budidaya, terbatasnya jumlah dan kualitas air yang
tersedia, dan bencana alam, seperti banjir dan tsunami.

(2)

Kendala sosial ekonomi dan budaya: terbatasnya sarana dan prasarana


produksi, fluktuasi harga produk perikanan yang dihasilkan sehingga
menyulitkan perencanaan bisnis khususnya dalam membuat prediksi biaya
hasil (output) produksi, dan masih rendahnya kualitas SDM perikanan.

(3)

Kendala

kelembagaan:

keterbatasan

pelayanan

penyuluhan

oleh

pemerintah, organisasi petani ikan belum berkembang dengan baik oleh


karena kualitas SDM masih sangat rendah, dan masih lemahnya dukungan
dari lembaga keuangan bank dan non bank dalam hal dukungan
permodalan dan pengembangan usaha.
(4)

Kendala

teknologi:

penyediaan

teknologi

pembenihan

yang

belum

sepenuhnya memadai karena belum terpecahkannya masalah transportasi

129

benih, terbatasnya penyediaan pakan buatan, rendahnya penguasaan


teknik pembasmian penyakit di tingkat petani, belum adanya tata ruang
pengembangan budidaya laut, belum tercukupinya pasokan benih dan
sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan, serta belum
terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit.

5.3

Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Perikanan Budidaya


Pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya dilakukan

dalam rangka menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan guna


kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian sumberdaya perikanan itu
sendiri dan lingkungan adalah salah satu alternatif program pengembangan
perikanan yang sangat mengintegrasikan antara kegiatan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.
Kegiatan ini masih tergolong baru untuk diaplikasi di perairan laut, selama
ini konsep ini diterapkan pada perairan umum di darat seperti: waduk dan
rawa/situ. Secara sederhana kegiatan ini terdiri atas: (1) penetapan lokasi dan
batas-batasnya, (2) pengorganisasian masyarakat yang terlibat (organsisasi dan
aturan), (3) penyusunan rencana kerja, (4) penebaran, (5) pengawasan, (6)
pemanenan dan (7) pemungutan iuran untuk dana penebaran kembali.
Benih ikan yang akan ditebar di lokasi pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya di laut adalah jenis ikan yang non migratori, memiliki
pertumbuhan cepat, teknologi perbenihan telah dikuasi dan memiliki nilai
ekonomis penting, seperti: beberapa jenis ikan kerapu, kakap putih dan udang.
Lokasi penebaran ditetapkan dengan jelas batas dan wilayahnya. Lokasi
yang telah ditetapkan untuk dikelola dan ditebari ikan selanjutnya ditetapkan
secara adat (kearifan lokal) serta disosialisasikan secara luas kepada
masyarakat sekitar untuk menghindari gangguan dari aktivitas lain.
Selama masa pemeliharaan atau dari penebaran sampai panen anggota
kelompok secara bergantian mengawasai lokasi tersebut dari berbagai macam
gangguan dan melakukan berbagai upaya untuk perbaikan kualitas lingkungan
seperti transplantasi karang dan pembuatan terumbu karang buatan.
Beberapa lokasi dapat dikembangkan sebagai lokasi pengembangan
perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya, diantaranya Pulau Sebesi.
Secara biofisik perairan ini sangat sesuai dan berpotensi untuk pengembangan
perikanan budidaya laut, akan tetapi karena perairan tersebut sebelumnya telah

130

ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut (marine protected area) maka


kegiatan yang bisa dikembangkan pada kawasan tersebut adalah kegiatan
pemanfaatan terbatas, diantaranya perikanan tangkap berbasis perikanan
budidaya.
5.4

Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap


dan Perikanan Budidaya
Setiap daerah memiliki keragaman potensi dan sistem nilai dalam

mengelola kekayaan SDA yang dimilikinya. Agar SDA tersebut dapat


memberikan manfaat yang berkesinambungan, diperlukan kebijakan publik yang
dirumuskan berdasarkan pendekatan sistem, yang dimulai dengan kemampuan
dalam melakukan identifikasi potensi dan permasalahan lokal, serta dipadukan
dengan perkembangan wilayah sekitar, regional maupun global. Pengelolaan
wilayah bertumpu pada sumber daya lokal (local based resources) diyakini
mampu memberikan manfaat pembangunan perikanan tangkap berbasis
budidaya secara berkelanjutan. Namun demikian, dinamika globalisasi dan
perubahan situasional yang semakin cepat membutuhkan keputusan yang
mempertimbangkan seluruh aspek (holistic), berorientasi pada tujuan yang jelas
(cybernetics) dan dapat diaplikasikan (effective) (Eriyatno, 1999).

5.4.1 Sub model potensi


Potensi SDI di Lampung Selatan menunjukkan bahwa CPUE cenderung
negatif, hal ini menunjukkan bahwa SDI sudah mengalami penurunan sehingga
perlu strategi pengelolaan yang tepat agar dapat mempertahankan atau bahkan
memulihkan sumberdaya yang ada.
Peningkatan pemanfaatan SDI dengan penambahan jumlah armada
penangkapan harus dilakukan dengan hati- hati. Berdasarkan data jumlah
armada penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan yang semakin
meningkat dengan pertambahan rata- rata tiap tahun 303 kapal per tahun,
sementara itu peningkatan CPUE rata rata tiap tahun hanya 0,5 ton.
Dikawatirkan jika penambahan kapal yang beroperasi di Kabupaten Lampung
selatan tidak di batasi atau direncanakan dengan baik dapat mengakibatkan
CPUE di daerah tersebut akan tetap bahkan dapat mengalami penurunan.

131

Jumlah Unit Penangkap


Ikan

Perkembangan Jumlah Kapal di Kabupaten Lampung Selatan


5000
4000
3000

effort

2000

Linear (effort)

y = 309.2x - 615697

1000
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun

Gambar 47. Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan.


Sifat laut yang open akses memungkinkan sumberdaya ikan yang ada di
Teluk Lampung bergerak ke perairan lainnya di luar Teluk dan tertangkap
nelayan di luar Teluk, sejalan dengan itu juga kemungkinan adanya nelayan dari
luar wilayah Teluk Lampung yang melakukan penangkapan ikan di dalam teluk,
juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan potensi sumber daya ikan di
perairan tersebut. Kemungkinan adanya kegiatan penangkapan ikan di wilayah
Teluk Lampung oleh nelayan dari luar sangat dimungkinkan karena secara
umum potensi perikanan tangkap di wilayah perairan propinsi Lampung
mengalami penurunan termasuk perikanan tangkap laut (Ditjen Perikanan
Tangkap, 2008); seperti terlihat pada gambar berikut :
CPUE Perikanan Tangkap Laut Prop. Lampung
25
CPUE (ton)

20
15

CPUE

10

Linear (CPUE)

5
0
2000

2002

2004

2006

2008

Tahun

Gambar 48. Tren produksi dan effort perikanan tangkap Provinsi Lampung .
Penurunan potensi sumber daya perikanan tangkap yang diindikasikan
dengan penurunan hasil tangkapan per unit alat tangkap (catch per unit effort)
merupakan fenomena dunia perikanan nasional bahkan internasional. Untuk

132

menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap perlu


dilakukan suatu program terpadu dan berkelanjutan. Salah satunya adalah
dengan melakukan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya,
dengan system ini ketersediaan dan kelestarian sumberdaya dapat di
pertahankan karena tujuan dari system ini selain meningkatkan produksi
(pembesaran) dan kesejahteraan masyarakat juga untuk melakukan pengkayaan
stok (restoking).

(1)

Status Pemanfaatan Ikan Demersal


Hasil perhitungan terhadap nilai maximum sustainable yield (MSY)

sumberdaya perikanan demersal adalah 4742,281 ton per tahun dengan effort
optimum 17106 trip per tahun, seperti pada Gambar 15. Sedangkan tingkat
pemanfaatan SDI demersal di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing
sejak tahun 2004 sampai tahun 2007 atau sudah melebihi dari MSY (Tabel 21).
Kondisi ini berkaitan dengan peningkatan effort terhadap sumberdaya ikan
demersal yang beroperasi di perairan Teluk Lampung mulai tahun 2001 (14.700
trip) dan mencapai puncaknya pada tahun 2003 (22.535 trip) dengan tingkat
pemanfaatan atau produksi 89,55% dari potensi SDI demersal.
Tingkat eksploitasi SDI demersal sudah mencapai jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) yaitu 80% dari nilai MSY, jadi sebenarnya mulai tahun 2003
tingkat pemanfaatan SDI demersal Teluk Lampung sudah mencapai eksploitasi
penuh (fully exploitated). Sementara

aktifitas penangkapan terus berjalan

meskipun dengan effort yang menurun, jumlah effort terendah pada tahun 2007
yaitu 10.680 trip . Penurunan effort kemungkinan terkait dengan penurunan
potensi atau ketersediaan sumberdaya ikan yang sudah mengalami over fishing.
Penurunan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung juga diketahui dari tren
CPUE ikan demersal yang menurun dari tahun 2001 sampai tahun 2007.
(2)

Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil


Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya ikan pelagis di Teluk Lampung

terus mengalami peningkatan dari tahun 2001 sampai tahun 2007, yang
terindikasi dari kenaikan jumlah effort atau trip penangkapan. Hasil analisa
potensi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa nilai MSY adalah
1396.931 ton per tahun dengan effort optimum 26707 trip per tahun, seperti
Gambar 17.

133

Berdasarkan nilai maximum sustainable yield, tingkat pemanfaatan


sumberdaya ikan pelagis Teluk Lampung mengalami over fishing pada tahun
2003 sampai tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2006 dan tahun 2007 status
sumberdaya ikan pelagis mengalami perbaikan menjadi fully exploited atau fully
operational, seperti pada Tabel 24.
Penurunan sumberdaya ikan pelagis pada tahun 2003 kemungkinan sangat
erat hubungannya dengan peningkatan effort yang terjadi pada tahun tersebut.
Pada tahun 2002 effort yang dilakukan di Teluk Lampung sebesar 18.600 trip
dan pada tahun 2003 berlangsung 32515 trip atau terjadi peningkatan effort
hamper 100%. Kondisi ini sebanding dengan hasil tangkapan atau produksi yang
dihasilkan dari 719,2 ton pada tahun 2002 menjadi 1510,2 ton.
Jumlah produksi tahun 2003 tersebut sudah melebihi nilai MSY (1396.931
ton) atau tingkat pemanfaatan SDI pelagis 108% dari potensi yang ada.
Sedangkan pada tahun 2004 terjadi penurunan effort terhadap ikan pelagis tatapi
produksinya tetap meningkat dan melebihi nilai MSY demikian juga pada tahun
2005. Pada tahun 2006 sampai tahun 2007 tingkat pemanfaatan sumberdaya
ikan pelagis di Teluk Lampung lebih rendah dari nilai MSY (85 90%) tetapi
kondisi ini tidak menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis tersebut sudah
mengalami pemulihan.
Hasil perhitungan CPUE ikan pelagis pada tahun 2006 dan 2007 lebih kecil
dari nilai CPUE tahun 2005, kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi sumber
daya ikan pelagis di Teluk Lampung sudah mengalami penurunan. Sesuai
pernyataan Hatoto (2000), bahwa salah satu indikasi yang menunjukkan
sumberdaya

perikanan

sudah

mengalami

penurunan

adalah

terjadinya

penurunan produksi per satuan usaha/effort (CPUE).


(3)

Status Pemanfaatan Krustacea


Produksi krustacea di Teluk Lampung sampai dengan tahun 2007 paling

tinggi sama dengan nilai MSY (259,388 ton per tahun) dengan effort optimum
6855 trip per tahun, seperti terlihat pada Gambar 19.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya krustacea mencapai kondisi over fising
(100%) pada tahun 2001 kemudian turun pada tahun 2002 dan 2003. Sementara
pada tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami over exploted atau mencapai lebih
100% dari potensi yang ada, sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 mengalami
mengalami penurunan pemanfaatan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya
krustacea hanya 30%.

134

Penurunan produksi sumberdaya perikanan krustacea pada tahun 2007


lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah effort yang dilakukan di Teluk Lampung.
Effort atau upaya penangkapan yang dilakukan pada tahun 2007 sebesar 1267
trip atau 30% dari effort optimum. Dari hasil analisa tersebut, pemanfaatan
sumberdaya krustacea di Teluk Lampung masih dapat ditingkatkan dengan
menambah effort atau upaya penangkapan sebesar 60%. Kondisi ini didukung
data CPUE krustacea tahun 2007 yang menunjukkan peningkatan atau lebih
tinggi dari tahun 2006.
(4)

Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya


Sumberdaya ikan lain terdiri dari ikan teri dan ikan jenis lain yang

tertangkap menggunakan alat tangkap bagan. Nilai MSY ikan jenis lainnya di
Teluk Lampung adalah 5348,72 ton per tahun dengan effort optimum 65245,75.
Hasil analisa pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung seperti
pada Gambar 21. Pada tahun 2007 pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di
Teluk Lampung masih di bawah nilai MSY yaitu 45% dari potensi sumberdaya
yang ada. Sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung sebenarnya sudah pernah
mengalami tangkapan lebih (over fishing) yitu pada tahun 2005 dan 2006, pada
tahun- tahun tersebut produksinya melebihi nilai MSY (120%).
Hasil analisa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan jenis lain di Teluk
Lampung menunjukkan bahwa potensi sumberdaya tersebut sudah mengalami
penurunan yang diindikasikan dengan penurunan CPUE. Seperti yang terjadi
pada tahun 2007 walaupun tingkat pemanfaatannya 30% dari potensi yang ada,
tetapi dengan melihat nilai CPUE yang lebih kecil dari tahun 2006 menunjukkan
bahwa sudah terjadi penurunan potensi sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan penambahan effort atau upaya penangkapan. Upaya yang perlu
dilakukan untuk mempertahankan sumberdaya ikan lain di Teluk Lampung
adalah dengan tidak menambah effort atau dilakukan pembatasan jumlah alat
tangkap dan frekuensi penangkapan atau trip.
Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80% dari
stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited),
eksploitasi lebih (over exploited) bahkan sudah ada yang menunjukkan
kepunahan (collaps) (Mora

et al, 2009). Kondisi ini dapat diketahui dengan

beberapa indikasi yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun,
ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil-kecil dan hilangnya beberapa jenis
ikan endemik (Hartoto, 2000; Worm,2006). McPhie

dan Campana (2009),

135

menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad dapat untuk
menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh ikan sebagai
indikasi

status

suatu

sumberdaya.

Untuk

menjaga

kelestarian

dan

keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi


pengelolaan yang tepat dan komprehensip dengan strategi pembangunan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Strategi pengembangan potensi daerah akan sangat tergantung pada
strategi pembangunan ekonomi yang dianut daerah. Dalam mengambangkan
potensi daerah tidak boleh dilupakan perlunya membangun yang sifatnya
berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang dilaksanakan di
daerah tidak boleh sampai menguras SDA dan merusak lingkungan. Fungsi
lingkungan dalam pembangunan harus tetap dipertahankan karena berfungsi
sebagai sumber bahan baku untuk industri, sebagai pengolah limbah alami
(natural assimilator) dan sebagai sumber kesenangan dan kenyamanan hidup.
Dalam hal ini pemerintah daerah harus tetap bertindak sebagai pengewas dalam
pembangunan, sehingga pembangunan yang terjadi di daerah tidak akan
merusak SDA dan lingkungan.
Seperti diketahui bahwa stock ikan di suatu perairan secara alami
dipengaruhi

oleh

pertumbuhan

(growth),

kematian

alami

(mortality),

penangkapan (catching) dan penambahan (restocking). Dari keempat faktor


tersebut penangkapan (catchment) yang dilakukan oleh manusia merupakan
yang paling berpengaruh terhadap kondisi stock ikan di suatu wilyah perairan.
Untuk itu perlu dilakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap pemanfaatan
sumber daya perikanan tangkap untuk menjamin kelestariannya.
Kegiatan penangkapan dengan teknologi modern yang dilakukan dengan
tidak memperhatikan kelestarian atau keberlanjutan dari sumber daya dapat
berakibat fatal, salah satunya terjadi lebih tangkap (over fishing) untuk jenis
sumber daya ikan tertentu.
Menyadari banyak sumber daya akuatik yang sudah mengalami lebih
tangkap

dan

bahwa

kapasitas

penangkapan

yang

ada

dewasa

ini

membahayakan konsevasi dan pemanfaatan yang rasional sumber daya, maka


pengubahan teknologi yang bertujuan pada peningkatan lebih lanjut kapasitas
penangkapan umumnya dipandang tidak diinginkan. Sebagai gantinya suatu
pendekatan bersifat kehati-hatian pada pengubahan teknologi yang ditujukan
untuk:

136

1. Meningkatkan konservasi dan kelestarian jangka panjang sumber daya


perikanan
2. Mencegah kerusakan yang takterbalikkan atau yang tidak bisa diterima oleh
lingkungan;
3. Meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh dari penangkapan
4. Meningkatkan keselamatan dan kondisi kerja para karyawan perikanan
Teknologi perikanan yang berbeda mempunyai efek yang berlainan
terhadap

ekosisitem,

komunitas

penangkapan

dan

keselamatan

para

penggunanya. Sebagai contoh, lebih tangkap yang terjadi pada sumber daya
akuatik adalah hasil dari efisiensi teknologi penemuan dan penangkapan ikan.
Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang bersifat kehati-hatian dalam
pengembangan teknologi perikanan guna menghindari perubahan mendadak
yang tidak direncanakan terhadap tekanan penangkapan. Termasuk dalam
memperkenalkan atau mengaplikasikan suatu alat atau teknologi baru, juga
harus menggunakan pendekatan kehati-hatian karena suatu teknologi perikanan
akan menghasilkan efek samping terhadap lingkungan dan spesies non-target.
Tujuan dari pengelolaan stok ikan adalah menjamin kelestarian dan
keberlanjutan dari sumber daya ikan sehinga dapat dimanfaatkan oleh generasi
berikutnya. Pengelolaan sumber daya tersebut dengan : close season fishing
(pelarangan

penangkapan

ikan

pada

musim

tertentu),

close

area

(penutupan/pelarangan penangkapan ikan pada daerah tertentu), pembatasan


alat tangkap, dan sistem quota penangkapan.
(5)

Close season fishing


Pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan dapat dilakukan

dengan memberlakukan sistem close season fishing atau penutupan/ pelarangan


aktifitas penangkapan pada musim tertentu. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan
siklus hidup dari ikan, karena pada musim tersebut ikan yang menjadi target
penangkapan dalam kondisi siap memijah atau masih dalam tahap pertumbuhan
yang masih memungkinkan ikan untuk tumbuh lebih besar atau ikan belum
mencapai ukuran ideal untuk ditangkap. Pada saat penutupan daerah
penangkapan perlu dilakukan pengawasan yang ketat dengan melibatkan
masyarakat di sekitar perairan Teluk Lampung atau Kelompok Pengawas
Masyarakat (POKWASMAS) apabila di sekitar Teluk sudah terbentuk kelompok
pengawas. Namun apabila belum ada kelompok pengawas masyarakat,

137

kelompok nelayan yang ada juga dapat difungsikan sebagai pengawas agar
penutupan pada musim tertentu lebih efektif dan efisien.
(6)

Close area (penutupan daerah dari operasi penangkapan)


Cara pengendalian eksploitasi sumber daya perikanan dapat dilakukan

dengan cara penutupan suatu wilayah atau daerah perairan tertentu. Close area
ini biasa diberlakukan pada daerah perairan yang merupakan daerah pemijahan
atau daerah asuhan/ tempat mencari makan anak- anak ikan, seperti daerah
perairan hutan mangrove dan padang lamun. Pelarangan penangkapan ikan di
daerah ekosistem tersebut secara langsung dapat mencegah kepunahan jenis
sumber daya ikan, karena proses regenerasi tetap dapat berlangsung.
Penutupan daerah tertentu ini diharapkan dapat memberikan peluang bagi
spesies ikan tertentu untuk berkembang biak secara alami tanpa diganggu oleh
aktivitas penangkapan. Melakukan pemijahan sesuai dengan sifat alamiahnya,
tumbuh dengan baik dengan memanfaatkan makanan yang ada disekitarnya.
Penutupan daerah penangkapan dimungkinkan juga memberikan peluang bagi
biota laut lainnya dapat tumbuh dengan subur dalam suatu ekosistem sehingga
proses siklus hidup berjalan secara alamiah.

(7)

Pembatasan alat tangkap


Tekanan eksploitasi daerah penangkapan di wilayah perairan Indonesia

tidak sama antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Pada suatu daerah
produksi perikanan masih tinggi/produktif, sedang di daerah yang lain telah
mengalami penurunan produksi. Salah

satu faktor yang menyebabkan

penurunan produksi tangkap suatu daerah perairan adalah meningkatnya atau


tingginya armada penangkapan di daerah tersebut. Untuk daerah-daerah tertentu
yang sudah mengalami penurunan produksi dapat diberlakukan pembatasan
jumlah armada penangkapan untuk menghindari terjadinya tangkap berlebih
terhadap sumber daya perikanan. Pembatasan alat tangkap harus juga
disesuaikan dengan jumlah dan jenis stok yang ada dalam suatu perairan
dengan kata lain bahwa jumlah dan jenis stok yang ada juga harus dihitung
berdasarkan analisis yang tepat untuk menghindari pengambilan keputusan yang
salah. Apabila stok ikan demersal yang sudah mulai menurun pembatasan alat
tangkap harus diarahkan pada alat tangkap ikan demersal, demikian halnya ikan

138

pelagik kecil yang sudah mulai berkurang pembatasan alat tangkap dilakukan
pada alat tangkap yang tujuan penangkapannya pada ikan-ikan pelagik kecil.
Hal ini seperti yang dilakukan pemerintah dalam pembatasan alat tangkap yang
boleh dioperasikan di laut Jawa.

(8)

Sistem quota penangkapan


Cara lainnya untuk mengendalikan atau melakukan pengelolaan stok

sumberdaya perikanan tangkap adalah dengan memberlakukan sistem quota


dalam

penangkapan

ikan.

Sistem

quota

ini

untuk

membatasi

jumlah

penangkapan yang diperbolehkan untuk suatu jenis ikan atau dalam suatu
wilayah perairan

tertentu. Jumlah quota dapat ditentukan dengan analisis

pendugaan stok dalam wilayah tersebut untuk setiap jenis ikan. Sehingga jumlah
dan jenis hasil tangkapan yang diperbolehkan dapat dihitung berdasarkan
pendugaan stok yang ada. Pembatasan jumlah hasil tangkapan ini akan sulit
dilakukan tanpa dilandasai kesadaran yang kuat oleh para nelayan yang ada
disekitar perairan tersebut, mengingat tidak adanya pengawasan yang dilakukan
secara terus menerus. Disamping itu, pembatasan jumlah penangkapan ini akan
berdampak pada jumlah alat tangkap yang dipergunakan di wilayah tertentu dan
jumlah nelayan yang akan melakukan operasi penangkapan. Dengan sistem ini
dapat menjamin tidak terjadi over fishing sumber daya perikanan di suatu wilayah
perairan tersebut, juga proses rekruitmen dan regenerasi dapat tetap
berlangsung secara alamiah dan berkesinambungan.
5.4.2 Sub model kesesuaian lahan
Berdasarkan kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan,
maka pengembangan sistem perikanan tangkap berbasis budidaya laut
membutuhkan kajian kesesuaian lahan, yaitu yang sesuai untuk fungsi dan
peruntukkan budidaya laut yang akan dikembangkan.
Potensi sumber daya lahan pengembangan kawasan perikanan budidaya
dihitung berdasarkan pada ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan

usaha

budidaya.

Pemahaman

terhadap

potensi

lahan

pengembangan budidaya penting untuk dilakukan dalam rangka proses


penentuan

perencanaan

dan

pengembangan

budidaya,

yang

meliputi:

perencanaan desain, tata letak, teknologi yang akan dikembangkan, komoditas

139

yang diusahakan, target produksi, dan kebutuhan sarana dan prasarana yang
akan dibangun.
Salah satu tahapan dari pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya adalah pemilihan lokasi (site selection). Pemilihan lokasi ini mencakup
informasi tentang kondisi biofisik, sosial ekonomi masyarakat dan status sumber
daya ikan endemik. Analisis kesesuaian lahan merupakan tahapan penting
dalam pemilihan lokasi pengembangan agar sesuai dengan kebutuhan jenis ikan
yang akan dikembangkan sehingga meningkatkan keberhasilan proses budidaya
dan pengkayaan stok ikan di lokasi tersebut. Sesuai dengan tahapan dari
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheseries)
antara lain pemilihan lokasi (site selection), pemilihan jenis (species selection)
dan penentuan ukuran ikan (stocking size); De Silva et al (2006).
Kajian kesesuaian lahan atau upaya perencanaan penggunaan lahan
sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui optimasi daya dukung dan
manfaat lahan berdasarkan kondisi lahan, potensi, dan sumber daya yang
berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan yang lainnya yang
menghendaki agar daerah tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan
(ruang kegiatan) di masa yang akan datang. Keadaan ini menunjukkan suatu
proses analisis yang menghasilkan optimasi pemanfaatan lahan dan dapat
dijadikan masukan untuk proses penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Menurut Sitorus (2004), manfaat yang mendasar dari evaluasi sumber daya
lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu
serta

memprediksi

konsekuensi-konsekuensi

nilai

ekonominya.

Prinsip

memprediksi untuk menghasilkan nilai ekonomi wilayah di masa yang akan


datang adalah prinsip perencanaan tata ruang.
Ketersediaan sumber daya lahan sebagai ruang dimanapun selalu terbatas.
Bila pemanfaatan sumber daya lahan tidak distur dan direncanakan dengan baik,
maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat sumber daya lahan,
dan lebih jauh lagi akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup. Nilai
ekonomis yang diharapkan bagi pengembangan wilayah tidak akan tercapai dan
yang akan terjadi malah kerusakan lingkungan (baik renewable maupun nonrenewable) yang justru akan menjadi cost yang never ending.
Sebaliknya bila ada pengaturan dalam bentuk rencana tata ruang melalui
optimasi

kegiatan

pemanfaatan

SDA

dan

buatan

yang

ada

dengan

memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah, dan memprediksi

140

pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang akan tercapai sinergi
antar berbagai jenis kegiatan pengelolaan SDA, dengan fungsi lokasi, kualitas
lingkungan, dan estetika wilayah. Menurut Djakapermana dan Djumantri (2002),
pemanfaatan ruang wilayah yang berbasis mengoptimasikan pemanfaatan SDA,
buatan dan lingkungan mempunyai tujuan agar terjadi pengembangan wilayah
yang terus berlanjut secara berkesinambungan.
Sumber daya lahan perikanan budidaya yang masih sangat luas dan belum
sepenuhnya dimanfaatkan, sudah seharusnya dapat dijadikan modal dasar, di
samping perlu perumusan strategi yang jitu terhadap setiap aspek yang
mempengaruhi

usaha

perikanan

budidaya,

untuk

terus

dibangun

dan

dikembangkan, utamanya guna membangun daya saing dalam menghadapi era


pasar global dan industrialisasi, serta tuntutan pengelolaan sumberdaya
perikanan yang lebih bertanggung jawab.
budidaya

ke

depan

harus

mampu

Untuk itu, pengembangan perikanan


mendayagunakan

besarnya

potensi

sumberdaya lahan budidaya untuk dapat mendorong dan menghidupkan


kegiatan produksi yang berkelanjutan dan berbasis ekonomi rakyat, mendorong
dan meningkatkan perolehan devisa negara dari aktivitas ekspor hasil perikanan
budidaya, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat di pedesaan.
Terkait dengan proses desentralisasi ekonomi, perlu mempersiapkan dan
melaksanakan

strategi

pembangunan

perikanan

budidaya

yang

mampu

menggerakkan masyarakat pembudidaya ikan di seluruh daerah, agar secara


serempak mampu menjadikan potensi sumber daya lahan yang ada menjadi
kegiatan ekonomi yang bertumbuh dan didukung dengan upaya penumbuhan
prakarsa dan jiwa wirausaha, serta peningkatan kemampuan berusaha di
kalangan masyarakat pembudidaya ikan di daerah.
5.4.3 Sub model pemilihan
Sejak diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan
Daerah, setiap daerah semakin dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi
potensi dan nilai ekonomi yang dimiliki, serta mampu mengelola sumber daya
perikanan dan kelautan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Keragamanan kondisi tiap daerah dalam hal sosio kultural tiap
masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim, serta
heterogenitas ketersediaan SDA menyebabkan pengembangan perikanan tidak
dapat dilakukan secara terpusat. Implikasi dari kondisi tersebut adalah bahwa

141

setiap daerah seharusnya mengembangkan komoditas perikanan sesuai dengan


kondisi dan potensi yang dimilikinya.
Keragaman kondisi biofisik wilayah laut yang begitu tinggi berimplikasi
kepada kesesuaian untuk budidaya komoditas perikanan berbeda dari satu
wilayah ke wilayah lainnya. Oleh karena itu pembangunan perikanan tangkap
berbasis budidaya tidak mungkin dilakukan seragam. Akan lebih tepat dan benar
bila pembangunan perikanan tangkap berbasis budidaya berdasarkan kepada
pendekatan wilayah sesuai dengan alat tangkap dan komoditas unggulan yang
dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan.
(1) Teknologi Penangkapan Ikan
Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang sesuai dengan alat
tangkap terpilih dari proses pemilihan alat tangkap ideal yang dilakukan yaitu alat
tangkap bubu (Tabel 35). Peranan teknologi penangkapan sangat menentukan
keberhasilan dalam memperoleh hasil tangkapan dengan kualitas ikan yang baik.
Teknologi penangkapan dari berbagai alat tangkap yang digunakan haruslah
sudah dipertimbangkan bahwa disain dan konstruksi alat tangkap telah
memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan,
sehingga kelestarian sumber daya akan tetap terpelihara dengan baik. Sehingga
hal

penting

berikutnya

yang

perlu

diperhatikan

dalam

perencanaan

pengembangan perikanan tangkap adalah alat tangkap yang relevan dengan


komoditas unggulan dan kondisi wilayah.
Pola pemilihan dan pembinaan teknologi penangkapan ikan yang
menyesuaikan dengan komoditas potensial, yaitu bubu yang merupakan alat
tangkap terpilih dengan bobot tinggi, hal ini sesuai dengan jenis komoditas
unggulan perikanan tangkap yang akan dikembangkan atau dibudidayakan yaitu
ikan kerapu.
(2)

Komoditas Potensial
Implementasi sub model pemilihan komoditas potensial diperlukan agar

pengembangan dapat difokuskan pada komoditas potensialnya, sehingga dapat


direncanakan jenis budidaya laut yang tepat bagi komoditas tersebut dan
menghasilkan produk unggulan yang bersifat kompetitif dan strategis, artinya
selain memberikan peningkatan nilai tambah (added value), juga memberikan
nilai manfaat (benefit added) sebesar-besarnya.

142

Komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya berdasarkan


kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas potensial adalah ikan kerapu.
Ikan kerapu mendapatkan bobot tinggi, hal ini berarti jenis ikan tersebut dapat
dijadikan komoditas unggulan perikanan tangkap berbasis budidaya di Lampung
Selatan (Tabel 37).
Pengembangan komoditas potensial ditetapkan untuk lebih memacu
kegiatan budidaya komoditas yang memiliki kriteria: bernilai ekonomis tinggi,
teknologi budidaya yang dapat diterapkan telah tersedia, permintaan luar negeri
dan lokal tinggi, serta dapat dibudidayakan dan dikembangkan secara massal.

5.4.4 Sub model kelayakan


Hasil analisis kelayakan finansial finansial menunjukkan bahwa usaha
perikanan tangkap berbasis budidaya memberikan prospek kelayakan finansial.
Hasil ini penting diketahui oleh investor dan lembaga keuangan sebagai
penyedia modal yang selama ini mempersepsikan bisnis perikanan sebagai
bisnis dengan resiko tinggi.
Pengembangan usaha ditetapkan sebagai pendekatan kebijakan dengan
maksud agar seluruh usaha perikanan budidaya yang dilakukan oleh masyarakat
pembudidaya ikan secara konsisten menggunakan prinsip-prinsip bisnis yang
profesional, sehingga setiap usaha perikanan budidaya akan menguntungkan,
dapat berdaya saing dan berkelanjutan. Di samping itu, melalui pendekatan
pengembangan usaha juga diharapkan dapat terbangun suatu kemitraan usaha
yang saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi. Oleh
karena itu, antar pelaku usaha perikanan budidaya sangat diharapkan terjadinya
saling berbagi peluang usaha (win-win opportunity) untuk membangun dan
mengembangkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi
usaha. Sebaliknya, dalam pengembangan usaha perikanan budidaya sangat
dihindari munculnya gejala untuk menang sendiri dan saling menghancurkan.
Dalam kaitan itu, maka pendekatan pengembangan usaha perikanan budidaya
akan dilakukan melalui 3 pola pengembangan, yaitu: (1) pola swadaya, (2) pola
unit pelayanan pengembangan (UPP), dan (3) pola kemitraan inti-plasma.
Pola swadaya diarahkan bagi masyarakat pembudidaya yang secara
mandiri memiliki kemampuan teknis dan permodalan untuk membangun dan
mengembangkan kawasan usaha perikanan budidaya. Bagi masyarakat
pembudidaya ikan yang termasuk dalam kategori pola swadaya ini, maka

143

diharapkan untuk dapat membangun kerjasama kemitraan antar pembudidaya


sejenis guna memperkuat daya saingnya.
Pola

UPP

dikembangkan

dalam

rangka

membantu

masyarakat

pembudidaya ikan skala kecil agar memiliki kemampuan teknis dan permodalan,
sehingga dapat meningkatkan daya saingnya. Dalam kaitan itu, maka bagi
masyarakat pembudidaya ikan skala kecil diarahkan untuk dapat bergabung
dalam wadah kelompok pembudidaya ikan (POKDAKAN). Sebagai wadah
pembinaan dan pelayanan pengembangan usaha POKDAKAN, maka pada
setiap kabupaten atau kota agar dibentuk UPP perikanan budidaya.
Pola kemitraan inti plasma diarahkan bagi usaha pembudidayaan ikan
skala besar yang mengembangkan kawasan usaha perikanan budidaya dengan
luas hamparan atau volume usahaPola kemitraan inti plasma ini dimaksudkan
untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui hubungan yang saling
ketergantungan dan saling menguntungkan antara inti dan plasma. Dengan
demikian, usaha perikanan budidaya skala besar akan mendapat dukungan dari
usaha perikanan budidaya skala rakyat dalam kemitraan usaha yang saling
menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi.

5.4.5 Sub model strategi


Strategi pengembangan merupakan tindakan yang bersifat incremental
(senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut
pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pemakai (stakeholders atau
masyarakat) di masa depan. Dengan demikian, strategi pengembangan hampir
selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi.
Oleh karena itu, di dalam strategi pengembangan, pemerintah harus dapat
memastikan bahwa semua potensi daerah yang ada diarahkan bagi kepentingan
mensejahterakan masyarakat. Di samping itu, terjadinya akselerasi pemanfaatan
potensi daerah harus tetap mempertimbangkan perubahan pola msyarakat, dan
hal ini memerlukan kompetensi inti (core competencies). Pemerintah daerah
nampaknya harus mencari kompetensi inti ini sehingga pemanfaatan potensi
daerah dapat tercapai sesuai arah dan strategi pengembangannya, mengingat
tidak mudah untuk mengetahui potensi daerah.
Melalui analisis yang merupakan implementasi dari sub model strategi
teridentifikasi faktor-faktor determinatif yang mempengaruhi pengembangan
perikanan tangkap berbasis budidaya, prioritas tujuan yang hendak dicapai dan

144

alternatif strategi yang harus dijalankan untuk pencapaian tujuan tersebut.


Prioritas utama alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya adalah optimalisasi dalam pemanfaatan potensi SDI dan budidaya laut,
diikuti dengan memperkuat perikanan tangkap dan budidaya yang ada. Prioritas
keputusan ini dapat dipahami bahwa pemanfaatan secara optimal dan lestari
potensi SDI dan budidaya laut merupakan upaya mendayagunakan sumber daya
perikanan dengan memperhitungkan potensi dan daya dukung wilayah perairan
untuk mendapatkan keuntungan tanpa merusak lingkungan dan kelangsungan
jenis hayati lainnya.
(1) Optimalisasi Perikanan Budidaya
Hasil analisis kesesuaian lokasi perikanan budidaya menunjukkan bahwa
terdapat dua lokasi pengembangan perikanan budidaya yang dinyatakan layak
yaitu Pulau Puhawang dan Pulau Tanjung Putus. Kedua lokasi tersebut adalah
lokasi yang sudah terdapat kegiatan perikanan budidaya dengan Karamba Jaring
Apung, sehingga optimalisasi perikanan budidaya yang perlu dilaksanakan lebih
banyak

pada

penataan

dan

pengendalian

lingkungan

budidaya.

Pada

perkembanganya pembudidaya di lokasi ini banyak yang mengalami kegagalan


usaha akibat adanya kematian dan penurunan pertumbuhan ikan yang dipelihara.
Kematian dan penurunan pertumbuhan ikan yang dipelihara pada suatu lokasi
dapat disebabkan oleh serangan hama-penyakit ikan dan penurunan mutu
lingkungan budidaya. Serangan hama-penyakit ikan akan meningkat seiring
dengan penurunan mutu lingkungan budidaya. Penurunan mutu lingkungan
budidaya dapat disebabkan oleh aktivitas lain disekitar lokasi budidaya dan dari
limbah kegiatan budidaya itu sendiri yaitu dari sisa pakan, sisa metabolisme ikan,
limbah obat ikan dan bahan kimia yang digunakan serta limbah domestik
pembudidaya yang tinggal dan menjaga KJA.
Untuk itu optimalisasi pengembangan perikanan budidaya di kedua lokasi
yang dinyatakan layak di atas adalah pengaturan tata letak dan jarak antar unit
KJA serta pengendalian lingkungan budidaya. Pengaturan tata letak dan jaraka
antar unit KJA sangat ditentukan oleh pola arus dan kedalaman perairan.
Sedangkan

pengendalian

lingkungan

budidaya

dapat

dilakukan

dengan

meningkatkan efektivitas dan efisiensi pakan, penggunaan obat ikan dan bahan
kimia yang tepat dan benar, serta pengelolaan limbah domestik pembudidaya
yang tinggal dan menjaga KJA.

145

(2) Optimalisasi Perikanan Tangkap


Optimalisasi perikanan tangkap di perairan Lampung Selatan lebih
diarahkan pada pengendalian kegiatan penangkapan. Hal ini mengingat
sumberdaya perikanan di perairan Lampung Selatan telah menunjukkan indikasi
fully exploited sampai dengan over fishing,

hanya kelompok pelagis oseanik

kecil dan ikan demersal yang berada pada kedalaman > 200 m yang masih
mungkin ditingkatkan upaya penangkapannya. Sehingga untuk optimalisasi
perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan lebih bersifat pada
pengendalian upaya penangkapan dan peningkatan armada dan alat tangkap
untuk mencapai perairan yang lebih jauh ke arah lautan lepas atau keluar dari
perairan Teluk Lampung.
Upaya pengendalian penangkapan yang dapat dilakukan diantaranya
melalui pengatuan alat tangkap, lokasi dan waktu penangkapan serta penetapan
kuota. Disamping itu dengan implementasi perikanan tangkap berbasis budidaya
maka ketersediaan stok pada lokasi tersebut dapat dikendalikan dan kegiatan
penangkapan sesuai aturan yang disepakati dapat berkelanjutan.
(3) Mendorong pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun,
sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumsi masyarakat ke
arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil
penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan
semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas
lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan
membesarkan anak.
Kecenderungan menurunnya peran perikanan tangkap dan tersedianya
sumber daya budidaya perikanan yang cukup besar merupakan alasan untuk
lebih mengembangkan perikanan budidaya. Guna mengatasi keadaan ini, maka
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya laut merupakan alternatif
yang cukup memberikan harapan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis
budidaya berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di
masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun.
Di samping itu pula, peran pemerintah untuk memberikan prioritas kepada
kegiatan budidaya perikanan laut untuk dikembangkan, serta menjaga kestabilan
dan keberlanjutan produksi ikan dari kegiatan penangkapan. Dengan begitu,

146

maka produksi budidaya di masa mendatang diproyeksikan akan meningkat


dengan harapan agar produksi penangkapan tidak mengalami penurunan.
Pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya penting untuk
diperhatikan karena kegiatan budidaya ikan lebih terjamin keberlanjutannya, di
mana penangkapan ikan dapat dikembangkan dengan dukungan utama dari
budidaya laut. Sesuai penelitian Baer et al (2007) bahwa penebaran ikan dapat
meningkatkan hasil tangkapan ( catch per unit effort/ CPUE), juga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat yang sustainable (Hariyanto et al, 2009)

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendorong perkembangan


perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dilakukan melalui: (1) peningkatan
produktivitas, (2) mengurangi atau menghapus sebab-sebab ekonomi biaya
tinggi, (3) menentukan batas konsumsi maksimal yang layak, (4) peningkatan
PAD, (5) memperbaiki kualitas SDM, (6) mempertahankan fungsi lingkungan,
dan (7) kerjasama antar daerah.

(1) Peningkatan produktivitas


Meningkatkan produktivitas bagi kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya)
dengan cara menggunakan input tertentu untuk menghasilkan lebih banyak
output. Syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa daerah (pemerintah
bersama seluruh warga masyarakat) harus selalu berusaha untuk
meningkatkan jumlah masukan (input) yang berkualitas yang digunakan
dalam setiap kegiatan. Tidak ada artinya kalau input yang digunakan hanya
bertambah tetapi dalam kuantitas saja dan tidak dalam kualitas.

(2) Mengurangi sebab-sebab ekonomi biaya tinggi


Ekonomi biaya tinggi, adanya pungutan resmi atau tidak resmi, terjadi dalam
setiap kegiatan; tidak hanya dalam bidang produksi dan distribusi perikanan,
tetapi juga dalam bidang konsumsi maupun pelayanan apa saja. Pegawai
pemerintah daerah harus terdiri dari orang-orang yang rela berkorban dalam
pelayanan, namun demikian harus pula diimbangi dengan jaminan hidup
layak agar tidak melakukan pelanggaran.
(3) Menentukan batas konsumsi maksimal yang layak
Sifat konsumtif dan materialistis yang dialami setiap masyarakat Indonesia
membuat masyarakat kita tidak pernah mengetahui batas kecukupannya,

147

sehingga semua orang bekerja keras dan berlomba untuk memenuhi semua
kebutuhannya. Padahal kita tahu bahwa macam dan jumlah kebutuhan itu
tidak ada batasnya; sedangkan alat pemuas kebutuhan justru terbatas.
(4) Peningakatan PAD
Tidak dapat diingkari bahwa modal dan dana sangat penting bagi berhasilnya pengembangan potensi suatu daerah. Namun bukan berarti tanpa
modal kita lalu tidak dapat memanfaatkan potensi daerah sama sekali. Perlu
disadari pula bahwa sesungguhnya modal atau dana lebih merupakan faktor
pelengkap dan akibat dari pembangunan serta bukan merupakan sebab dari
pembangunan. Dengan demikian tidak perlu dikhawatirkan bahwa suatu
daerah akan menjadi miskin karena PAD nya kecil atau sedikit.
(5) Memperbaiki kualitas SDM
Yang dimaksud disini adalah SDM yang produktif, efisien dan bermoral.
Harus ada kemauan yang kuat dari manusia di daerah yang bersangkutan
untuk membangun, yang akan mendorong masyarakat untuk bekerja keras
dan mau berkorban dan mau melayani.
(6) Mempertahankan fungsi lingkungan
Lingkungan sebagai sumber bahan mentah yang akan diolah di semua
sektor kegiatan, sebagai sumber kesenangan dan rekreasi, serta sebagai
tempat asimilasi limbah secara alami harus terus dipertahankan kualitas
maupun kuantitasnya demi adanya pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development).
(7) Kerjasama antar daerah
Kerjasama antar daerah harus terus digalang demi meningkatkan efisiensi.
Dengan kerjasama daerah diharapkan akan terjadi spesialisasi antar daerah,
sehingga efisiensi dapat ditingkatkan bagi semua pihak yang bekerjasama.
Kerjasama ini dapat dalam bentuk perdagangan ataupun tukar-menukar
tenaga ahli, atau kerjasama bentuk lainnya.

5.4.6 Sub model kelembagaan


Implementasi sub model kelembagaan yang berfungsi dalam proses
identifikasi dan strukturisasi elemen-elemen dalam sistem yang dibutuhkan untuk
merevitalisasi perikanan tangkap berbasis budidaya menunjukkan elemen kunci
dari pengguna, kebutuhan, kendala, perubahan, tujuan, keberhasilan, aktivitas,
pelaku, dan tolok ukur pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.

148

Dari alternatif integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan


budidaya yang direkomendasikan dari penelitian ini, perikanan tangkap berbasis
budidaya

adalah

alternatif

yang

perlu

kelembagaannya.

Kegiatan

perikanan

diintensifkan
tangkap

penanganan

berbasis

budidaya

aspek
pada

prinsipnya adalah mengelompokkan masyarakat penangkap ikan pada suatu


perairan untuk bersama-sama menyepakati aturan (Saphakdy et. al., 2009) dan
pelaksanaan kegiatan sampai pengawasan pelaksanaan aturan di wilayah atau
lokasi kegiatan tersebut. Untuk itu nelayan dan pembudidaya serta masyarakat
yang terlibat dan terkait perlu mendapat informasi dan pemahaman yang cukup
tentang kegiatan tersebut. Penyebarluasan informasi untuk masyarakat sekitar
lokasi perikanan tangkap berbasis budidaya perlu dilakukan untuk meminimalisir
konflik dengan kegiatan lain yang memanfaatkan perairan sekitar lokasi
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Di Jepang kelembagaan
yang tumbuh adalah asosiasi ataupun koperasi nelayan

6
6.1

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

(1)

Potensi sumberdaya perikanan Lampung Selatan sudah mengalami


penurunan hal ini terlihat dari CPUE yang cenderung negatif. Semua
kelompok ikan yaitu ikan demersal, ikan pelagis kecil, crustacea,
sumberdaya ikan lainnya pernah mencapai tingkat pemanfaatan yang
sudah melebihi JTB bahkan MSY atau disebut over fishing.

(2)

Kawasan budidaya di Pulau Puhawang dan Tanjung Putus dapat


direkomendasikan sebagai lokasi pengembangan perikanan budidaya laut
dengan

karamba

jaring

apung

(KJA).

Memperhatikan

kondisi

pemanfaatannya saat ini maka pengaturan tata letak unit KJA dan
pengendalian kualitas lingkungan budidaya adalah kegiatan yang perlu
dilakukan dalam rangka optimalisasi pengembangan perikanan budidaya di
Lampung Selatan.
(3)

Berdasarkan analisis kelayakan finansial usaha perikanan tangkap dan


perikanan budidaya layak untuk dikembangkan sesuai dengan kriteria
kelayakan finansial yang meliputi NPV, Net B/C dan IRR.

(4)

Berdasarkan analisis strategi diketahui pengembangan perikanan tangkap


berbasis

budidaya

merupakan

alternatif

pertama

untuk

integrasi

pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung


Selatan. Faktor determinatif dalam pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya adalah informasi mengenai kegiatan budidaya laut,
sarana

dan prasarana yang menunjang

pengembangan perikanan

budidaya laut dan kelembagaan. Tujuan pengembangan perikanan tangkap


berbasis budidaya harus diarahkan pada peningkatan produksi ikan,
peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
(5)

Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan


budidaya di Lampung Selatan diarahkan pada pengembangan komoditas
kerapu dan pengembangan alat tangkap bubu untuk memanfaatkan
komoditas potensial tersebut. Untuk itu dukungan kegiatan budidaya dalam
kegiatan ini adalah penyediaan benih kerapu yang akan ditebar dari
kegiatan perbenihan.

150

(6)

Pelaku yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong
pengembangan adalah nelayan, pembudidaya, dan masyarakat. Untuk
pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur
kunci adalah peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya.
Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam
pengembangan adalah koordinasi antar sektor. Peningkatan pendapatan
nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dalam keberhasilan
pengembangan.

Peningkatan

pendapatan

nelayan

pembudidaya

merupakan elemen kunci dari elemen perubahan. Kemudahan birokrasi


merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi untuk
mendorong integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya.
(7)

Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang


direkayasa melalui model CAP-AQUADEV berbasis komputer membantu
peningkatan efisiensi mekanisme pengambilan keputusan, sehingga dapat
dengan cepat mengantisipasi dinamika perubahan informasi. Model CAPAQUADEV mampu mengakomodasi kebutuhan pengambil keputusan untuk
membantu mengidentifikasi permasalahan yang hendak dikelompokkan,
mengidentifikasi dan membuat prioritas komoditas, teknologi penangkapan
ikan, strategi atau permasalahan lain yang hendak difokuskan, membantu
dalam analisis finansial beserta aspek kelembagaan.

6.2

Saran
Hal-hal yang perlu diperhatikan dari penelitian ini adalah:

(1)

Diperlukan suatu kajian komprehensif mengenai sistem pembiayaan usaha


berbasis sumberdaya alam berdaya saing tinggi dan bersifat strategis.

(2)

Diperlukan kebijakan yang jelas untuk mendukung pengembangan


perikanan tangkap berbasis budidaya bernilai tambah tinggi, mengingat
besarnya multiplier effect yang ditimbulkan. Terkait hal tersebut juga
diperlukan pembinaan kepada masyarakat secara terus menerus terhadap
penerapan teknologi perbenihan komoditas yang akan ditebar dan inovasi
teknologi perbenihan komoditas yang belum bisa dipijahkan secara buatan.

(3)

Untuk mengatasi berbagai keterbatasan dalam model sistem pengambilan


keputusan

CAP-AQUADEV

ini,

diperlukan

pengembangan

seperti

memasukkan komponen manajemen berbasis pengetahuan (knowledge


based management).

DAFTAR PUSTAKA

Agustedi. 2000. Rancang Bangun Model Perencanaan dan Pembinaan


Agroindustri Hasil Laut Orientasi ekspor dengan Pendekatan Wilayah.
(Disertasi). Bogor: IPB. 203 hlm.
Amri, K. 2008. Analisis Hubungan Kondisi Oseanografi Dengan Fluktuasi Hasil
Tangkapan Ikan Pelagis di Selat Sunda. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol.14 No.1. halaman 55 - 65. Pusat Riset Perikanan Tangkap.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Atmaja, B.S. and Nugroho, D. 2005. Geographical Distribution And Status of
Scads Population in The Water of the southern Part of sunda Shelf.
Indonesian Fisheries Research Journal. Vol.11 No.1. Page 1-7. Pusat Riset
Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Atmaja, B.S. and Nugroho, D. 2005. Interaksi Antara Biomassa dengan Upaya
Penangkapan: Studi Kasus Perikanan Pukat Cincin di Pekalongan dan
Juana. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.12 No.1. halaman 57 - 68.
Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Baer, K., J. Blasel and M. Diekmann.2007. Benefits of repeated stocking with
adult, hatchery-reared brown trout, Salmo trutta, to recreational fisheries?.
Fisheries Management and Ecology Volume 14 Issue 1, Pages 51 59.
Fisheries Research Station Baden-Wrttemberg, Langenargen, Lake
Constance, Germany.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. 2009. Dukungan Riset Bagi
Pelaksanaan Pemacuan Sumberdaya Ikan Di Indonesia. Forum Nasional
Pemacuan Stok Indonesia. Purwakarta.
Badrudin,M., Priono, B., dan Amin,E. M. 1991. Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Barani HM. 2005. Model Pengelolaan Perikanan di Wilayah Padat Tangkap:
Kasus Perairan Laut Sulawesi Selatan Bagian Selatan. [Ringkasan
Disertasi]. Bogor: IPB. 26 hlm.
Bell Johann D., Bartley Devin M., Lorenzen Kai, Loneragan Neil R., 2006.
Restocking and stock enhancement of coastal fisheries: potential, problems
and progress. Fisheries Research 80. 1-8 Scince Direct www.
sciencedirect.com
Brandt. 1984. Fishing Catching Methods of the Word (3rd edition). England:
Fishing News Books Ltd. 418 pp.
Cholic F., Jagatraya GA., Poernomo RP., Jauzi A. 2005. Akuakultur Tumpuan
Harapan Masa Depan Bangsa. PT. Viktoria Kreasi Mandiri. Jakarta. 415
hlm.

152

Coastal Resources Management Project 1998; Increasing Conservation and


sustainable Use of Coastal Resources
Cooper, E.L. (1969) Growth of Wild and Hatchery Strains of Brook Trout in
Trans. of American Fisheries Society; Vol.90, No.4, pp424438
Dahuri, R. 2001. Prospek dan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Makalah
Seminar. Universitas Pekalongan. Pekalongan.
Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pengembangan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: IPB. 233 hlm.
Dahuri R. 2004. Kebijakan Pakan Udang atau Ikan dan Penanganan
Permasalahan Antibiotika Pada Budidaya. Pidato Sambutan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Dalam Acara Pembukaan
Temu Nasional. Jakarta.
Dent, J.B., and M.J. Blackie. 1979. Systems simulation in Agriculture.Applied
Science Publishers, London, England.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Strategi Nasional Implementasi
Code of Conduct for Responsible Fisheries. Jakarta. 107 hlm
Departemen Kelautan dan Perikanan.
2006.
Pedoman Pembentukan
Kelembagaan Operasional dan Pemeliharaan Prasarana Budidaya.
Jakarta. 47 hlm.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Pola Pembiayaan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah Alat Tangkap Jaring Lingkar (Purse Seine). Jakarta.
70 hlm.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil
Pancing Ulur Berumpon. Jakarta. 61 hlm.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil
Pancing Rawai. Jakarta. 58 hlm.
De Silva S.S., Amarasinghe U.S., Nguyen T.T.T. 2006. Better Practice
Approaches for Culture Based Fisheries Depelovment in Asia. ACIAR.
Australia. 96 pp.
Diantari. R. dan Efendi. E. 2005. Pengkajian Potensi dan Musim Penangkapan
Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Teluk Lampung.Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2001. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung.
Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Potensi Perikanan Tangkap Indonesia.
Ditjen Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2002. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung.

153

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2003. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 115 hlm.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2003. Rencana Tata Ruang
Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka, Laporan Akhir, CV GEBE
Consultan, Lampung. 145 hlm.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2004. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 274 hlm.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2005. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 115 hlm.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2006. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 114 hlm.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2007. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung.
Direktorat Jenderal Urusan Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil.
2000.
Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Pesisir Lampung Untuk Kegiatan Usaha
Masyarakat. Bogor. 150 hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2002. Statistik Perikanan Budidaya.
Dirjen Perikanan Tangkap. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2001
2006. Jakarta. 136 hlm.
Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Edisi Satu. Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. 167 hlm.
Dwiponggo. 1983. Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia. Laporan
Penelitian Perikanan Laut nomor-2. BPPL. Jakarta.
Effendi. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya.
Ernawati, T dan Sumiyono,B. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan
Cantrang yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal Sari, Kota
Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.15 No.1. halaman 69
77. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan efektivitas Manajemen.
Bogor: IPB Press. 147 hlm.
Eriyatno dan Sofyar Fadjar. 2007. Ilmu Riset Kebijakan. Metode Penelitian untuk
Pascasarjana, IPB Press. 79 hlm.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. 259 hlm.
Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Isu, Sintesis dan Gagasan.

154

PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. 185 hlm.


[FAO] Food Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible
Fisheries. Rome Italy. 41 pp.
[FAO] Food Agriculture Organization. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis.
Jakarta. 438 hlm.
[FAO] Food Agriculture Organization. 2002. The State of World Fisheries and
Aquaculture. Rome: FAO Fisheries Department. 142 pp.
Giyatmi. 2005. Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian
Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Propinsi Jawa Tengah.
[Disertasi]. Bogor: IPB. 225 hlm.
Gulland, J.A. 1986. A Manual of Methods for Fish Stock Assessment. F A O.
Roma.
Hariati, T., Chodriyah, U., dan Taufik, M. 2009. Perikanan Pukat Cincin di
Pemangkat, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
Vol.15 No.1. halaman 79 - 91. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Hariyanto, Tri, Baskoro, MS, Haluan, J., Iskandar, BH, 2009, Pengembangan
Teknologi Penangkapan Ikan Berbasis Komoditas Potensial di Teluk
Lampung, Jurnal Saintek Perikanan Volume 4 No 2 Tahun 2008, FPIK,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Hariyanto, Tri, Baskoro, MS, Haluan, J., Iskandar, BH, 2009, Analisis Integrasi
Pengembangan Perikanan tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus
di Lampung Selatan), Jurnal Pusat Riset Perikanan Tangkap Tahun 2009,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan
Hartoto I. D. 2000. An Overview of Some Limnological Parameters and
Management Status of Fishery Reserves in Central Kalimantan. Pusat
Penelitian Limnologi-LIPI.Kompleks LIPI Cibinong.
Jadwiga Ziolkowska. 2008. Evaluation of Agri-environmental Measures.
International Journal of Rural Management, Vol. 4, No. 1-2, 1-24.
Humboldt University of Berlin.
Jorgensen J. V and Thompson P. M. 2007. Culture-base Fhiseries in Bangladesh
A socio-economic perrspective. FAO. Rome. 41 hlm.
Kitojo Wetengere. 2009. Socio-economic factors critical for adoption of fish
farming technology: The case of selected villages in Eastern Tanzania.
International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 1 (3), pp. 028 - 037,
August 2009 2009 Academic Journals. Institute of Social Work (ISW),
P.O. Box 3375, Dar es Salaam, Tanzania.
Lampung Selatan Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Lampung Selatan
Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. 2007, Dinas

155

Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. Bamdar Lampung.


Lewy. P and Nielsen A. 2003. Modelling stochastic fish stock dynamics using
Markov Chain Monte Carlo. ICES Journal of Marine Science: Journal du
Conseil 2003 60(4):743-752. Danish Institute for Fisheries Research,
Charlottenlund Slot 2920 Charlottenlund, Denmark.
Lorenzen K. 1995. Population Dynamic and Management of Culture Based
Fisheries. Fisheries management and Ecology. London UK. 61-73 pp.
Mateus, L. A. de F. and Estupin, G. M. B. 2002. FISH STOCK ASSESSMENT
OF PIRAPUTANGA Brycon Microlepis IN THE CUIAB RIVER BASIN,
PANTANAL OF MATO GROSSO, BRAZIL. Brazilian Journal of
Biology.Vol.62 No.1
McPHIE R. P.1 AND S. E. CAMPANA. 2009. Reproductive characteristics and
population decline of four species of skate (Rajidae) off the eastern coast
of Canada. Journal of Fish Biology Volume 75 Issue 1, Pages 223 246.
The Fisheries Society of the British Isles.
Manetsch dan Park. 1974. System Analysis and Simulation with Application to
Economic and Social System. Michigan: Michigan State University. 145
hlm.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta: Grasindo. 197 hlm.
Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manjerial. IPB
Press. Grasindo. Jakarta.
Masyarakat Perikanan Nusantara. 2006. 60 Tahun Perikanan Indonesia. PT.
Victoria Kreasi Mandiri. 365 hlm.
Minch dan Burns. 1983. Conceptual Design of Decision Support System Utilizing
Management Science Models. IEEE Transaction of System, Man and
Cybernetics.
Monintja D. 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dalam Bidang Perikanan
Tangkap. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 156
hlm.
Mora C, Myers RA, Coll M, Libralato S, Pitcher TJ, U. Sumaila6, Dirk Zeller6, Reg
Watson6, Kevin J. Gaston7, Boris Worm2. 2009. Management
Effectiveness
of
the
World's
Marine
Fisheries.
PLoS.
Journal.pbio.1000131.
Morten D. Skogen, Mette Eknes, Lars C. Asplin and Anne D. Sandvik.2009.
Modelling the environmental effects of fish farming in a Norwegian fjord.
Institute of Marine Research, Pb.1870, N-5817 Bergen, Norway.
Mulyadi S. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafido Persada. Jakarta. 223
hlm.
Naamin, Widodo,J., dan Sadhotomo,S. 1991. Potensi dan Penyebaran Ikan Laut

156

di Perairan Indonesia.
Oceanologi LIPI. Jakarta.

Ditjenkan

Puslitbang

Perikanan-

Puslitbang

Nikijuluw, Victor PH, 2002, Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Pusat


pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka
Cidesindo
Nurdjana ML, A Sudrajat, E Harris, BE Priyono, IBM Suastika, T Trimulyantoro,
Sudiharno, IS Djunaedah, A Purnomo, E Danakusumah, K Sugama, T
Permadi, S Siregar, R Eliza, dan Sudaryanto. 1998. Potensi Lahan
Pengembangan Budidaya Pantai dan Laut Indonesia. Proyek
Pengembangan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta:
Ditjen Perikanan, Departemen Pertanian.
Nurhakim, S. 2007.
Buku Wilayah Pengelolaan Perikanan. Pusat Riset
Perikanan Tangkap BRKP.
Pascoe S, and Mardle S. 2001. Bioeconomic model, fisheries management,
multi-objective modelling, goal programming, Common Fisheries Policy.
European Review of Agriculture Economics Vol 28 (2) pp.161-185. Centre
for the Economics and Management of Aquatic Resources (CEMARE),
Southsea, UK.
Pressman TE. 1992. A Synthesis of System Inquiry and Easthern Mode of
Inquiry. Journal System Research (9): hlm 47-65.
Pusar Riset Perikanan Tangkap DKP. 2007. Wilayah Pengelolaan Perikanan
Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan: Informasi Dasar
Pemanfaatan Berkelanjutan. 47 hlm.
Romimohtarto K., Juana S. 2005. Biologi Laut Ilmu Pengentahuan Tentang
Biota Laut. Cetakan Kedua. Djambatan. Jakarta. 540 hlm.
Royce WF. 1996. Introduction to The Practice of Fisheries Science. Revised
Edition. Academic Press Inc. USA. 448 hlm.
Saaty. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Terjemahan.
Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. 268 hlm.
Saphakdy, B., Phomsouvanh, A., Davy, B., Nguyen, T.T.T. and De Silva, S.S.
2009. Contrasting Community Management and Revenue Sharing
Practices of Culture-Based Fisheries in Lao PDR. NACA. Aquaculture Asia
Magazine Volume XIV No. 3, July - September 2009
Satria A., Umbari A., Fauzi A., Purbayanto A., Sutarto E., Muchsin I., Muflikhati I.,
Karim M., Saad S., Oktariza W., dan Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi
Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo. 210 hlm.
Simatupang, 1995. Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Nelayan Dan Kaitannya
Dengan Teknologi, Kelembagaan Dan Kebijaksanaan Pemerintah. Makalah
seminar nasional PERHEPI di Cisarua, Bogor
Thomas. 2004. Analisa Komparasi Bubu Dasar Dalam Rangka Peningkatan
Pendapatan Nelayan di Pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung, Bali.
Tesisi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Turban. 1988. Decision Support and Expert System. New York: Mc Millan
Publishing Company. 936 hlm.

157

Uki, N. 2006. Stock Enhancement of the Japanese scallops Patinopecten


yessoensis in Hokkaido. Fisheries Research 80. 62-66. Scince Direct www.
sciencedirect.com
Universitas Nusa Cendana dan Dinas Perindustrian NTT. 2006. Analisis
Komoditas Unggulan dan Peluang Usaha (Budidaya Ikan Kerapu).
Kupang.Nusa Tenggaa Timur.
Valbo-Jorgensen J. dan Thompson P. M. 2007. Culture-based Fisheris in
Bangladesh: A sosio-economic perspective. FAO Fisheries Technical Paper
No. 499. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roma.
41 p.
Wahyudi, Wiryawan Budy, Handoko A.S. 1998.Penyelidikan Geologi Lingkungan
Pesisir Lampung, Technical Report, Proyek Pesisir.
Widodo, J.,Sadhotomo, B., dan Merta, I.G.S. 1999. Sumberdaya Perikanan
Pelagis Kecil dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di
Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Wiryawan B, Marsden, Bill, Susanto H Adi, Mahi, A Kabul, Ahmad, Marizal,
Poespitasari, H, 2002. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung,
Kerjasama Pemerintah Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir PKSPL,
Institut Pertanian Bogor.
Worm B., Barbier B.E., Beaumont N., Duffy E. J., Folke C., Halpern S. B., Jeremy
B. C. Jackson, Heike K. Lotze, Micheli F., Palumbi R. S., Sala E., Kimberley
A. Selkoe., John J. Stachowicz, Reg Watson. 2006. Impacts of Biodiversity
Loss on Ocean Ecosystem Services.SCIENCE VOL 314 3 NOVEMBER
2006. Canada.
Wyrtki, K., 1961. Physical oceanography of the southeast Asian waters.
University of California, NAGA Report, No. 2, 195 pp.
Eriyatno (2003)

Cooper (1969)
Ernst (1988)
Hartris Widodo, J, Djamali, A, Aziz, KA, Priyono, B.E, Tampubolon, G.H, Naamin,
N, Nurhakim, S, Mertha, IGS, Uktolseja, J.C.B, Amarullah, M.H, Susanto, K,
Sumiono, B, Boer, M, Mubarak, H. 1996. Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian
Stok Sumber Daya Ikan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
ari dan Eriyatno 2003
Simatupang, 1995
Dent dan Blackie 1979
Oxman 1985
Rauch Hindin 1988
Martin dan Oxman 1988
Hadisenjaya, 1995
Laporan Tahunan Propinsi Lampung, 2007
CRMP, 1998
Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007

158

Lampiran 1 Produksi ikan demersal, jumlah unit penangkapan dan trip operasi
penangkapan ikan di Teluk Lampung
Payang
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Produksi Per Alat


Tangkap
3,382.80
4,231.60

4,246.70
4,586.00
4,834.00
5,213.40
4,970.30

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
14,700.00
140.00

209.00
211.00
221.00
250.00
245.00
248.00

15,025.00
22,535.00
21,740.00
20,359.00
19,600.00

10,680.00

cantrang
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Produksi Per Alat


Tangkap
1,314.00

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
8,925.00
85.00

1,533.00

99.00

10,412.00

1,752.00

113.00

11,899.00

1,971.00

127.00

13,386.00

2,190.00

141.00

14,873.00

1,752.00

155.00

16,360.00

1,463.00

169.00

17,847.00

Dogol
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7
Pancing
No.

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Produksi Per Alat


Tangkap
303.50
227.90

234.70
308.70
234.70
190.70
116.70
Produksi Per Alat
Tangkap
218.30
331.10

1,729.00
2,511.00
3,696.00
4,191.20
3,141.40

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
4,230.00
47.00

72.00
85.00
107.00
123.00
132.00
122.00

4,011.00
4,137.00
5,034.00
5,370.00
6,045.00

6,254.00

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
89,600.00
512.00

743.00
812.00
916.00
2,165.00
2,159.00
1,851.00

92,612.00
263,909.00
146,560.00

346,400.00
345,440.00
443,640.00

159

Bubu
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Produksi Per Alat


Tangkap
21.20

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
5,520.00
46.00

123.86

86.00

11,653.00

367.20

142.00
131.00
320.00
484.00
421.00

35,804.00

370.50
459.70
681.40
522.20

15,720.00

38,400.00
58,080.00
56,076.00

Trap
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Produksi Per Alat


Tangkap
64.20
17.10

47.80
69.60
150.00
340.60
664.10

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
11,400.00
95.00

74.00
90.00
109.00
131.00
187.00
361.00

6,340.00
7,543.00
18,645.00
26,897.00
35,740.00
43,320.00

Lampiran 2 Produksi ikan demersal, trip produksi dan CPUE yang sudah
distandarisasikan di Teluk Lampung

160

Produksi
No. Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Trip
No. Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

CPUE
No. Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Standarisasi
No. Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Payang

cantrang

Dogol

Pancing

Bubu

Trap

3,382.80

1,314.00

303.50

218.30

21.20

64.20

4,231.60

1,533.00

227.90

331.10

123.86

17.10

4,246.70
4,586.00
4,834.00
5,213.40
4,770.30

1,752.00

234.70
308.70
234.70
190.70
116.70

1,729.00

367.20

2,511.00

370.50

3,696.00

459.70

47.80
69.60
150.00

4,191.20

681.40

340.60

3,141.40

522.20

664.10

Payang

1,971.00
2,190.00
1,752.00
1,463.00

cantrang

Dogol

Pancing

Bubu

Trap

14,700

8,925

4,230

89,600

5,520

11,400

15,025
22,535
21,740
20,359

10,412

4,011
4,137
5,034
5,370

92,612
263,909

11,653

19,600

16,360

10,680

17,847

Payang

11,899
13,386
14,873

cantrang

146,560

15,720

346,400

38,400

6,340
7,543
18,645
26,897

6,045

345,440

58,080

35,740

6,254

443,640

56,076

43,320

Dogol

Pancing

35,804

Bubu

Trap

0.230

0.147

0.072

0.002

0.004

0.006

0.282

0.147

0.057

0.004

0.011

0.003

0.188

0.147

0.057

0.007

0.010

0.006

0.211

0.147

0.061

0.017

0.024

0.004

0.237

0.147

0.044

0.011

0.012

0.006

0.266

0.107

0.032

0.012

0.012

0.010

0.447

0.082

0.019

0.007

0.009

0.015

Payang

cantrang

Dogol

Pancing

Bubu

Trap

1.00

0.64

0.31

0.01

0.02

0.02

1.00

0.52

0.20

0.01

0.04

0.01

1.00

0.78

0.30

0.03

0.05

0.03

1.00

0.70

0.29

0.08

0.11

0.02

1.00

0.62

0.18

0.04

0.05

0.02

1.00

0.40

0.12

0.05

0.04

0.04

1.00

0.18

0.04

0.02

0.02

0.03

161

Trip standar
No. Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Payang

cantrang

Dogol

14,700.00

5,710.00

1,318.86

948.63

92.12

278.98

15,025.00

5,443.17

809.20

1,175.63

439.79

60.72

22,535.00

9,296.94

1,245.43

9,174.89

1,948.54

253.65

21,740.00

9,343.55

1,463.40

11,903.43

1,756.36

329.94

20,359.00

9,223.46

988.47

15,566.17

1,936.08

631.74

19,600.00

6,586.72

716.94

15,757.00

2,561.75

1,280.50

10,680.00

3,275.44

261.27

7,033.13

1,169.13

1,486.82

Bubu

Trap

CPUE Standart
No. Tahun Payang

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

cantrang

Dogol

Pancing

Pancing

Bubu

Trap

0.23

0.23

0.23

0.23

0.23

0.23

0.28

0.28

0.28

0.28

0.28

0.28

0.19

0.19

0.19

0.19

0.19

0.19

0.21

0.21

0.21

0.21

0.21

0.21

0.24

0.24

0.24

0.24

0.24

0.24

0.27

0.27

0.27

0.27

0.27

0.27

0.45

0.45

0.45

0.45

0.45

0.45

Lampiran 3 Produksi ikan pelagis, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung

Produksi
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

824.80

2,534.30

Jaring
insang
hanyut
303.50

935.20

397.10

1,015.00

370.80

260.50

314.20

51.70

1,816.90

4,909.00

227.90

1,084.20

195.30

719.20

265.67

384.70

317.00

102.45

1,394.80
998.00
1,025.74

2,286.40
1,239.10
1,235.70
1,030.60
986.70

234.70
308.70
234.70
190.70
116.70

352.20
343.70
392.40
410.80
345.30

22.70
50.80
64.80
66.30
43.20

1,510.20
1,956.70
1,560.00
1,163.30
1,265.90

146.80

475.60

758.50

153.20

47.90
57.80
65.20
56.90

476.20

614.60

137.80

428.60

964.10

77.70

331.20

984.80

54.00

310.50

1,000.50

79.00

Pukat
Pantai

1,024.70
1,074.70

Pukat
Cincin

Jaring
lingkar

Jaring
Klitik

Jaring
insang tetap

Rawai
Tuna

Rawai
Hanyut

Rawai
tetap

Pancing
tonda

Trip
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

26040

5640

Jaring
insang
hanyut
8640

32412
24752
11400
15600
14880
62040

8716
4358
5400
6227
5820
4975

8579
13900
22400
21100
18000
59940

Pukat
Pantai

Pukat
Cincin

Jaring
lingkar

Jaring
Klitik

Jaring
insang tetap

Rawai
Tuna

Rawai
Hanyut

Rawai
tetap

Pancing
tonda

13330

1860

24700

16625

16100

24150

5600

13465
8950
9673
9534
8672
5768

2269
228
324
624
917
950

18460
31515
18400
33600
32900
33800

13462

31290
23114

27410
38269

9993

25728

33120

8960

24064

30960

6224

24448

37528

5543

25634

57500

9643

10257

6656
7595
6846
9045

9876

CPUE
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

0.03

0.45

Jaring
insang
hanyut
0.04

0.07

0.21

0.04

0.02

0.02

0.01

0.01

0.06

0.56

0.03

0.08

0.09

0.04

0.02

0.01

0.01

0.01

0.06

0.52

0.02

0.04

0.10

0.05

0.01

0.02

0.02

0.02

0.09

0.23

0.01

0.04

0.16

0.11

0.01

0.02

0.02

0.02

0.07

0.20

0.01

0.04

0.10

0.05

0.01

0.02

0.03

0.01

0.07

0.18

0.01

0.05

0.07

0.04

0.01

0.01

0.03

0.01

0.02

0.20

0.00

0.06

0.05

0.04

0.01

0.01

0.02

0.01

Pukat
Pantai

Pukat
Cincin

Jaring
lingkar

Jaring
Klitik

Jaring
insang tetap

Rawai
Tuna

Rawai
Hanyut

Rawai
tetap

Pancing
tonda

Standarisasi
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

0.77

10.93

Jaring
insang
hanyut
0.85

1.71

5.20

1.00

0.54

0.39

0.32

0.22

1.44

14.46

0.68

2.07

2.21

1.00

0.51

0.32

0.30

0.27

1.18

10.95

0.35

0.82

2.08

1.00

0.30

0.43

0.41

0.32

0.82

2.16

0.13

0.33

1.47

1.00

0.07

0.17

0.17

0.14

1.42

4.27

0.24

0.89

2.24

1.00

0.16

0.38

0.67

0.27

1.95

5.01

0.30

1.34

2.04

1.00

0.27

0.38

0.74

0.28

0.46

5.30

0.05

1.60

1.21

1.00

0.17

0.32

0.46

0.22

Pukat
Pantai

Pukat
Cincin

Jaring
lingkar

Jaring
Klitik

Jaring
insang tetap

Rawai
Tuna

Rawai
Hanyut

Rawai
tetap

Pancing
tonda

Trip Standarisasi

No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

20,071.49

61,672.13

Jaring
insang
hanyut
7,385.67

46,635.11

126,001.31

5,849.60

29,106.82

47,712.82

4,897.74

7,349.74

473.71

31,515.00

3,063.44

9,924.87

15,828.45

3,196.99

9,384.78

11,651.99

2,902.89

3,232.01

477.70

18,400.00

450.43

4,477.99

5,779.44

1,295.81

22,092.86

26,615.08

5,055.08

8,451.69

1,395.69

33,600.00

1,244.92

9,231.38

20,765.23

1,673.54

28,980.17

29,147.03

5,393.30

11,618.09

1,875.07

32,900.00

1,843.96

9,366.87

27,851.73

1,527.21

28,694.89

26,345.26

3,115.93

9,219.64

1,153.46

33,800.00

1,519.25

8,290.47

26,713.72

2,109.33

Rawai
Tuna

Rawai
Hanyut

Pukat
Pantai

Pukat
Cincin

Jaring
lingkar

Jaring
Klitik

22,758.07

9,663.42

27,828.60

5,012.84

Jaring
insang tetap

Rawai
Tuna

Rawai
Hanyut

Rawai
tetap

Pancing
tonda

24,700.00

9,023.41

6,339.26

7,646.05

1,258.12

18,460.00

6,819.06

9,874.25

8,136.57

2,629.63

CPUE Standart
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

0.04

0.04

Jaring
insang
hanyut
0.04

0.04

0.04

0.05

0.05

0.11
0.05

Pukat
Pantai

Pukat
Cincin

Jaring
lingkar

Jaring
Klitik

Jaring
insang tetap

Rawai
tetap

Pancing
tonda

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.11

0.11

0.11

0.11

0.11

0.11

0.11

0.11

0.11

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.05

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

0.04

165

Lampiran 4 Produksi ikan pelagis, trip produksi dan CPUE yang sudah
Distandarisasikan di Teluk Lampung

Pukat Pantai
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
824.80
26,040.00
93.00
1,816.90

1,394.80
998.00
1,025.74
1,024.70
1,074.70

108.00
95.00
95.00
130.00
124.00
261.00

32,412.00
24,752.00
11,400.00
15,600.00
14,880.00
62,040.00

Pukat Cincin
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
2,534.30
5,640.00
47.00
4,909.00

2,286.40
1,239.10
1,235.70
1,030.60
986.70

62.00
54.00
45.00
50.00
47.00
42.00

8,716.00
4,358.00
5,400.00
6,227.00
5,820.00
4,975.00

Jaring insang hanyut


No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
1,143.50
8,640.00
72.00
1,106.80

1,079.80
1,808.90
1,520.35
1,231.80
4,927.20

74.00
105.00
65.00
70.00
60.00
265.00

8,579.00
13,900.00
22,400.00
21,100.00
18,000.00
59,940.00

Jaring lingkar
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
935.20
13,330.00
86.00
1,084.20

352.20
343.70
392.40
410.80
345.30

89.00
51.00
46.00
48.00
55.00
50.00

13,465.00
8,950.00
9,673.00
9,534.00
8,672.00
5,768.00

166

Jaring Klitik
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
397.10
1,860.00
12.00
195.30

22.70
50.80
64.80
66.30
43.20

14.00
8.00
27.00
30.00
35.00
26.00

2,269.00
228.00
324.00
624.00
917.00
950.00

Jaring insang tetap


No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
1,015.00
24,700.00
190.00
719.20

1,510.20
1,956.70
1,560.00
1,163.30
1,265.90

154.00
238.00
230.00
336.00
319.00
320.00

18,460.00
31,515.00
18,400.00
33,600.00
32,900.00
33,800.00

Rawai Tuna
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
370.80
16,625.00
95.00
265.67

85.00

13,462.00

146.80

79.00

10,257.00

47.90
57.80
65.20
56.90

52.00
69.00
89.00
88.00

6,656.00
7,595.00
6,846.00
9,045.00

Rawai Hanyut
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
260.50
16,100.00
92.00

31,290.00
23,114.00

331.20

128.00
198.00
201.00
188.00
191.00

310.50

190.00

25,634.00

384.70

475.60
476.20
428.60

25,728.00

24,064.00
24,448.00

167

Rawai tetap
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
314.20
24,150
138
317.00

758.50
614.60
964.10
984.80
1,000.50

152
312
289
387
427
479.00

27410
38,269
33,120

30,960
37,528
57,500

Pancing tonda
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Produksi Per Alat
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
Tangkap
tangkap
tangkap
51.70
5,600.00
72.00
102.45

69.00

9,876.00

153.20

9,993.00

77.70

62.00
70.00
53.00

6,224.00

54.00

48.00

5,543.00

79.00

69.00

9,643.00

137.80

8,960.00

Lampiran 5 Produksi crustacea, jumlah unit penangkapan dan trip operasi


penangkapan ikan di Teluk Lampung

168

Pukat Udang
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Produksi Per Alat
Penangkapan per
tangkap
Tangkap
alat tangkap

132.80
129.40
102.80
97.90
63.60
78.30
68.20

17.00
17.00
15.00
13.00
14.00
14
16

4,760.00
4,831.00
4,692.00
5,728.00
4,629.00
3,754.00
4,185.00

Tramel net
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Produksi Per Alat
Penangkapan per
tangkap
Tangkap
alat tangkap
287.00
5,775.00
35.00
32.50

28.40
400.70
256.20
145.80
72.60

23.00
18.00
56.00
37.00
26.00
21.00

1,864.00
229.00
6,720.00
5,376.00
4,873.00
1,267.00

Sero
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Produksi Per Alat
Penangkapan per
tangkap
Tangkap
alat tangkap
1,337.00
27,050.00
726.00

916.20

876.00
864.00

30,215.00
21,854.00

959.30

1,139.00

19,854.00

501.20

550.00

16,600.00

460.20

895.00

18,672.00

654.80

995.00

17,498.00

1,139.00

Lampiran 6 Produksi crustacea, trip produksi dan CPUE yang sudah


distandarisasikan di Teluk Lampung

169

Produksi
No.
Tahun

1
2
3
4
5
6
7

Trip
No.

1
2
3
4
5
6
7
CPUE
No.

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Standarisasi
No.
Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Pukat Udang

132.80
129.40
102.80
97.90
63.60
78.30
68.20

Pukat Udang

4,760.00
4,831.00
4,692.00
5,728.00
4,629.00
3,754.00
4,185.00

Pukat Udang

Tramel net

Sero

287.00

1,337.00

32.50

1,139.00

28.40
400.70
256.20
145.80
72.60

916.20

Tramel net

959.30
501.20
460.20
654.80

Sero

5,775.00

27,050.00

1,864.00
229.00
6,720.00
5,376.00
4,873.00
1,267.00

30,215.00
21,854.00

Tramel net

19,854.00

16,600.00
18,672.00
17,498.00

Sero

0.03

0.05

0.05

0.03

0.02

0.04

0.02

0.12

0.04

0.02

0.06

0.05

0.01

0.05

0.03

0.02

0.03

0.02

0.02

0.06

0.04

Pukat Udang

Tramel net

Sero

0.56

1.00

0.99

1.54

1.00

2.16

0.18

1.00

0.34

0.29

1.00

0.81

0.29

1.00

0.63

0.70

1.00

0.82

0.28

1.00

0.65

170

Trip Standarisasi
No.
Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

CPUE Standarisasi
No.
Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Lampiran 7

Pukat Udang

Tramel net

Sero

2,672.20

5,775.00

26,903.05

7,421.59

1,864.00

65,326.03

828.92

229.00

7,387.67

1,641.85

6,720.00

16,088.09

1,334.56

5,376.00

10,516.98

2,616.98

4,873.00

15,381.03

1,190.21

1,267.00

11,427.43

Pukat Udang

Tramel net

Sero

0.05

0.05

0.05

0.02

0.02

0.02

0.12

0.12

0.12

0.06

0.06

0.06

0.05

0.05

0.05

0.03

0.03

0.03

0.06

0.06

0.06

Produksi ikan lainnya, jumlah unit penangkapan dan trip operasi


penangkapan ikan di Teluk Lampung

171

Alat Lainya
No.

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
107.40
1,840.00
137.00

Produksi Per
Alat Tangkap

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

92.70

87.20
78.20
73.90
58.00
46.10

132.00
130.00
126.00
95.00
74.00
89.00

1,364.00
1,254.00
1,137.00
1,038.00
1,367.00
1,076.00

Jaring Angkat Lain


No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
179.10
37,320.00
192.00

Produksi Per
Alat Tangkap

89.20

152.00

30,151.00

41.40
56.90
89.30
105.10
97.90

105.00
110.00
149.00
156.00
135.00

17,263.00
16,853.00
24,741.00
30,543.00
29,547.00

Bagan Tancap
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
2,895.70
61,320.00
292.00

Produksi Per
Alat Tangkap

62,610.00
65,548.00

1,445.80

280.00
286.00
292.00
235.00
220.00

1,256.50

214.00

37,976.00

2,658.30

2,872.30
3,654.50
2,609.80

46,720.00

40,500.00
39,600.00

Bagan Perahu
No.

Tahun

1
2
3
4
5
6
7

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Lampiran 8

Jumlah Unit
Trip Produksi per alat
Penangkapan per alat
tangkap
tangkap
2,691.70
17,250.00
115.00

Produksi Per
Alat Tangkap

3,262.90

2,188.50
4,162.20
5,822.50
6,400.10
2,449.90

122.00
115.00
138.00
243.00
267.00
233.00

35,420.00
19,445.00
22,080.00

48,600.00
53,421.00
37,740.00

Produksi ikan lainnya, trip produksi dan CPUE yang sudah


distandarisasikan di Teluk Lampung

172

Produksi
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Bagan Perahu

Bagan Tancap

2,691.70

2,895.70

Jaring Angkat
Lain
179.10

3,262.90

2,658.30

89.20

92.70

2,188.50

2,872.30

4,162.20

3,654.50

5,822.50

2,609.80

6,400.10

1,445.80

2,449.90

1,256.50

41.40
56.90
89.30
105.10
97.90

87.20
78.20
73.90
58.00
46.10

Bagan Perahu

Bagan Tancap

Alat Lainya
107.40

Trip
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Jaring Angkat
Lain
37,320

Alat Lainya

17,250

61,320

35,420
19,445

62,610
65,548

22,080

46,720

48,600

40,500

53,421

39,600

37,740

37,976

Bagan Perahu

Bagan Tancap

0.16

0.05

Jaring Angkat
Lain
0.00

0.09

0.04

0.00

0.07

0.11

0.04

0.00

0.07

0.19

0.08

0.00

0.07

0.12

0.06

0.00

0.07

0.12

0.04

0.00

0.04

0.06

0.03

0.00

0.04

Bagan Perahu

Bagan Tancap

1.00

0.30

Jaring Angkat
Lain
0.03

1.00

0.46

0.03

1.00

0.39

0.02

1.00

0.41

0.02

1.00

0.54

0.03

1.00

0.30

0.03

1.00

0.51

0.05

30,151

17,263
16,853
24,741
30,543
29,547

1,840

1,364
1,254
1,137
1,038
1,367
1,076

CPUE
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Alat Lainya
0.06

Standarisasi
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Alat Lainya

0.37
0.74
0.62
0.36
0.59
0.35
0.66

173

Trip standarisasi
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

17,250.00

Jaring Angkat
Lain
18,557.35
1,147.78

35,420.00

28,856.84

968.30

1,006.29

19,445.00

25,520.62

367.84

774.78

22,080.00

19,386.71

301.85

414.84

48,600.00

21,783.82

745.38

616.84

53,421.00

12,067.95

877.26

484.12

37,740.00

19,356.02

1,508.12

710.16

Bagan Perahu

Bagan Tancap

Bagan Perahu

Bagan Tancap

Alat Lainya
688.28

CPUE Standart
No.

1
2
3
4
5
6
7

Tahun

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007

Lampiran 9

0.16

Jaring Angkat
Lain
0.16
0.16

0.09

0.09

0.09

0.09

0.11

0.11

0.11

0.11

0.19

0.19

0.19

0.19

0.12

0.12

0.12

0.12

0.12

0.12

0.12

0.12

0.06

0.06

0.06

0.06

Alat Lainya
0.16

Analisis Keseuaian Lokasi Budidaya Laut dengan Karamba Jaring


Apung

174

Kategori

Kisaran Bobot
Optimum
(%)

Kategori 1
0

Suhu ( C)

Salinitas (ppt)

Skor

Skor per Stasiun

Bobot x Skor per Stasiun

40
28 - 30

20 - 30

10

10

30

30

30

30

30

30

30

30

30

30

20

20

20

20

45

45

30

30

30

15

15

15

3
2

3
2

1
DO (ppm)

8 - 10

15

3
2

1
DIN (ppm)

nihil

2
1

2
TOM (ppm)

< 25

nihil

1
3
1

15

tidak ada

15

2
1

3
2

1
tidak ada

3
2

3
2

2
1

3
2

Alga blooms

1
Polusi

3
2

1
20 - 40

2
Arus (cm/dt)

2
1

1
Ortho-P04

2
1

3
2

1
Organisme pathogen tidak ada

3
2

3
2

3
2

1
Pergantian air

cepat

10

3
2

3
2

1
Jumlah

100

Nilai Kategori 1
Kategori 2

30

Kedalaman (m)

10 - 20

40

3
2

terlindung

40

2
1
pasir
campur
pecahan
karang

20

1
Nilai Kategori 2

100

2
1

3
2

Jumlah

10

10

15

15

15

10

15

15

15

15

15

10

45

45

30

30

30

15

15

45

45

30

30

30

30

15

15

15

15

10

10

10

10

15

15

10

10

10

10

10

30

30

30

20

20

20

20

92

Substrat

0
5

230 215 175 215 205 235 300

2
Keterlindungan

0
5

1
3

2
1

86

70

86

82

94

120 120 120

80

80

80

80

120

120 120

120

0
0
0

80

40

40

40

60

60

60

60

40

40

20

160 180 220 200 300 300 220


48

54

66

60

90

90

66

175

Kategori

Kisaran
Optimum

Bobot
(%)

Kategori 3
Aspek Legal

Skor

Skor per Stasiun


1

Bobot x Skor per Stasiun

Sesuai RUTRD

20

3
2

1
Kemudahan akses

Mudah

20

3
2

3
2

1
Konflik

Tidak ada

20

3
2

Aman

20

60

60

60

60

40

40

40

Dekat

20

40

40

40

20

20

20

60

40

40

40

40

40

40

60

60

60
0

40

40

40

20

60

40

40

40

40

40

0
0

0
60

1
2
100

0
0
1

3
2

3
2

Akses dengan pasar

1
Keamanan

30

2
1

0
0
0
0
0
0 20
201 222 223 224 245 389 187

Nilai Kategori 3
Total Nilai
((1+2+3)/ 300*100)

60

67

67

67

74

117 56

67

69

68

71

82

100 81

Kelayakan

KL

KL

KL

KL

Keterangan
1. Kalianda
2. Tarahan
3. Teluk Hurun
4. Ringgung
5. Pulau Puhawang
6. Tanjung Putus
7. Pulau Sebesi
80 - 100

= layak (L)

50 - 79

= kurang layak (KL)

< 50

= tidak layak (TL)

176

Lampiran 10 Pemilihan teknologi penangkapan ikan


Alternatif ada 4, yaitu:
(1) Bubu
(2) Jaring insang
(3) Pancing
(4) Sero
Kriteria ada 8, yaitu:
(1) Selektivitas tinggi (K1).
(2) Tidak destruktif terhadap habitat (K2).
(3) Tidak membahayakan nelayan (K3).
(4) Menghasilkan ikan yang bermutu baik (K4).
(5) Produk tidak membahayakan konsumen (K5).
(6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang (K6).
(7) Dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati (K7).
(8) Tidak menangkap spesies yang dilindungi (K8).
Skala penilaian ada 7, yaitu:
(1) P = Perfect atau Paling Tinggi
(2) ST = Sangat Tinggi
(3) T

= Tinggi

(4) S = Sedang
(5) R = Rendah
(6) SR = Sangat Rendah
(7) PR = Paling Rendah
Tingkat kriteria:
Kriteria 1 (K1) = ST
Kriteria 2 (K2) = ST
Kriteria 3 (K3) = T
Kriteria 4 (K4) = T
Kriteria 5 (K5) = T
Kriteria 6 (K6) = T
Kriteria 7 (K7) = ST
Kriteria 8 (K8) = T

177

Pakar ada 4, yaitu:


1. (P1)
2. (P2)
3. (P3)
4. (P4)

Pakar

Pakar
1

Pakar
2

Pakar
3

Pakar
4

Alternatif
Alt 1
Alt 2
Alt 3
Alt 4
Alt 1
Alt 2
Alt 3
Alt 4
Alt 1
Alt 2
Alt 3
Alt 4
Alt 1
Alt 2
Alt 3
Alt 4

K1
ST
R
S
T
ST
S
T
S
T
S
S
S
ST
R
T
R

K2
T
S
ST
S
ST
R
T
S
T
R
T
T
T
R
T
S

K3
T
T
T
T
T
T
S
T
T
S
S
T
T
S
S
S

Kriteria Penilaian
K4
K5
K6
T
T
ST
R
T
R
S
T
T
S
T
S
ST
ST
T
R
S
R
T
T
T
S
T
T
T
T
T
R
S
R
S
S
T
S
S
S
T
ST
T
R
S
R
T
S
T
S
T
T

K7
T
S
ST
T
S
R
T
S
T
R
T
S
T
R
T
S

K8
ST
R
T
S
T
R
T
S
T
R
T
R
T
S
T
S

Penilaian alternatif 1 : Bubu


Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar

Alternatif

Pakar 1

Kriteria Penilaian
K1

K2

K3

K4

K5

K6

K7

K8

Alt 1

ST

ST

ST

Pakar 2

Alt 1

ST

ST

ST

ST

Pakar 3

Alt 1

Pakar 4

Alt 1

ST

ST

178

(a) Proses agregasi pada kriteria:


V11

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [SR v ST, SR v T, R v T, R v T, R v T, R v ST, SR v T , R v ST]
= min [ST, T, T, T, T, ST, T, ST]
= min T

V21

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [SR v ST, SR v ST, R v T, R v ST, R v ST, R v T, SR v S , R v T]
= min [ST, ST, T, ST, ST, T, S, T]
= min S

V31

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [SR v T, SR v T, R v T, R v T, R v T, R v T, SR v T , R v T]
= min [T, T, T, T, T, T, T, T]
= min T

V41

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [SR v ST, SR v T, R v T, R v T, R v ST, R v T, SR v T , R v T]
= min [ST, T, T, T, ST, T, T, T]
= min T

Hasil agregasi kriteria didapatkan: T, S, T, T

(b) Proses agregasi pada pakar:


Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
q 1

Qk = Int 1 + (k *
)
r

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P


Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj bj]
j=1,2,,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j


xj = T, S, T, T; sehingga bj = T, T, T, S
V1 = max [R v T, S v T, ST v T, P v S]
= max [T, T, T, S]
=T
Sehingga nilai akhir alternatif satu adalah T (tinggi)

179

Penilaian alternatif 2 : Jaring insang


Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar

Alternatif

Pakar 1

Kriteria Penilaian
K1

K2

K3

K4

K5

K6

K7

K8

Alt 2

Pakar 2

Alt 2

Pakar 3

Alt 2

Pakar 4

Alt 2

(a) Proses agregasi pada kriteria:


V12

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [SR v R, SR v S, R v T, R v R, R v T, R v R, SR v S , R v R]
= min [R, S, T, R, T, R, S, R]
= min R

V22

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min[SR v S, SR v R, R v T, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v R]
= min [S, R, T, R, S, R, R, R]
= min R

V32

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [SR v S, SR v R, R v S, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v R]
= min [S, R, S, R, S, R, R, R]
= min R

V42

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min[SR v R, SR v R, R v S, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v S]
= min [R, R, S, R, S, R, R, S]
= min R

Hasil agregasi kriteria didapatkan: R, R, R, R,

(b) Proses agregasi pada pakar:


Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
q 1

Qk = Int 1 + (k *
)
r

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P


Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj bj]
j=1,2,,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

180

xj = R, R, R, R; sehingga bj = R, R, R, R
V1 = max [R v R, S v R, ST v R, P v R]
= max [R, R, R, R]
=R
Sehingga nilai akhir alternatif dua adalah R (rendah)

Penilaian alternatif 3 : Pancing


Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar

Alternatif

Pakar 1

Kriteria Penilaian
K1

K2

K3

K4

K5

K6

K7

K8

Alt 3

ST

ST

Pakar 2

Alt 3

Pakar 3

Alt 3

Pakar 4

Alt 3

(a) Proses agregasi pada kriteria:


V13 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v S, SR v ST, R v T, R v S, R v T, R v T, SR v ST , R v T]
= min [S, ST, T, S, T, T, ST, T]
= min S
V23 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[SR v T, SR v T, R v S, R v T, R v T, R v T, SR v T , R v T]
= min [T, T, S, T, T, T, T, T]
= min S
V33 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[SR v S, SR v T, R v S, R v S, R v S, R v T, SR v T , R v T]
= min [S, T, S, S, S, T, T, T]
= min S
V43 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v T, SR v T, R v S, R v T, R v S, R v T, SR v T , R v T]
= min [T, T, S, T, S, T, T, T]
= min S
Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, S, S, S
(b) Proses agregasi pada pakar:

181

Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:


q 1

Qk = Int 1 + (k *
)
r

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P


Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj bj]
j=1,2,,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j


xj = S, S, S, S; sehingga bj = S, S, S, S
V1 = max [R v S, S v S, ST v S, P v S]
= max [S, S, S, S]
=S
Sehingga nilai akhir alternatif tiga adalah S (sedang)

Penilaian alternatif 4 : Sero


Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar

Alternatif

Pakar 1

Kriteria Penilaian
K1

K2

K3

K4

K5

K6

K7

K8

Alt 4

Pakar 2

Alt 4

Pakar 3

Alt 4

Pakar 4

Alt 4

(a) Proses agregasi pada kriteria:


V14 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v T, SR v S, R v T, R v S, R v T, R v S, SR v T , R v S]
= min [T, S, T, S, T, S, T, S]
= min S
V24 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v S, SR v S, R v T, R v S, R v T, R v T, SR v S , R v S]
= min [S, S, T, S, T, T, S, S]
= min S
V34 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v S, SR v T, R v T, R v S, R v S, R v S, SR v S , R v R]
= min [S, T, T, S, S, S, S, R]
= min R

182

V44 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [SR v R, SR v S, R v S, R v S, R v T, R v T, SR v S , R v S]
= min [R, S, S, S, T, T, S, S]
= min R
Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, S, R, R

(b) Proses agregasi pada pakar:


Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
q 1

Qk = Int 1 + (k *
)
r

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P


Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj bj]
j=1,2,,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j


xj = S, S, R, R; sehingga bj = R, R, S, S
V1 = max [R v R, S v R, ST v S, P v S]
= max [R, R, S, S]
=S
Sehingga nilai akhir alternatif empat adalah S (sedang)

Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut:


Bobot Nilai = R, S, ST, P
Negasi Bobot Kriteria = SR, SR, R, R, R, R, SR, R
Hasil agregrasi kriteria:
- alternatif 1 = T, S, T, T
- alternatif 2 = R, R, R, R
- alternatif 3 = S, S, S, S
- alternatif 4 = S, S, R, R
Hasil agregrasi pakar:
- alternatif 1 = T
- alternatif 2 = R
- alternatif 3 = S
- alternatif 4 = S

183

Lampiran 11. Pemilihan Komoditas Potensial


Alternatif ada 4, yaitu:
(1) Kerapu
(2) Rajungan
(3) Udang Putih
(4) Udang lain
Kriteria ada 6, yaitu:
(1) Kelayakan komoditas (K1).
(2) Ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi (K2).
(3) Nilai ekonomis (K3).
(4) Peluang pasar (K4).
(5) Penyerapan tenaga kerja (K5).
(6) Dampak ganda terhadap sektor lain (K6).
(7) Dampak terhadap lingkungan (K7).
(8) Kondisi budidaya laut saat ini (K8).
Skala penilaian ada 7, yaitu:
(1) P = Perfect atau Paling Tinggi
(2) ST = Sangat Tinggi
(3) T

= Tinggi

(4) S = Sedang
(5) R = Rendah
(6) SR = Sangat Rendah
(7) PR = Paling Rendah
Tingkat kriteria:
Kriteria 1 (K1) = T
Kriteria 2 (K2) = T
Kriteria 3 (K3) = ST
Kriteria 4 (K4) = T
Kriteria 5 (K5) = T
Kriteria 6 (K6) = ST
Kriteria 7 (K7) = P
Kriteria 8 (K8) = T

184

Pakar ada 4, yaitu:


1. (P1)
2. (P2)
3. (P3)
4. (P4)

Pakar

Pakar
1

Pakar
2

Pakar
3

Pakar
4

Alternatif
Alt 1
Alt 2
Alt 3
Alt 4
Alt 1
Alt 2
Alt 3
Alt 4
Alt 1
Alt 2
Alt 3
Alt 4
Alt 1
Alt 2
Alt 3
Alt 4

K1
ST
T
T
T
ST
ST
ST
T
ST
T
ST
T
T
T
T
T

K2
T
S
T
ST
T
S
T
S
T
R
S
R
T
S
S
S

K3
ST
T
ST
ST
ST
ST
ST
T
ST
T
T
T
T
T
T
T

Kriteria Penilaian
K4
K5
K6
ST
T
ST
T
T
T
ST
T
T
T
S
T
ST
S
T
ST
R
S
T
R
S
T
R
S
ST
T
T
T
R
S
ST
S
T
T
S
S
T
S
T
T
R
S
T
S
T
T
S
S

K7
T
T
S
S
T
T
R
S
T
S
T
S
T
S
S
S

K8
P
R
S
S
ST
S
S
S
ST
S
T
S
ST
S
T
S

Penilaian alternatif 1 : Kerapu


Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar

Alternatif

Pakar 1

Kriteria Penilaian
K1

K2

K3

K4

K5

K6

K7

K8

Alt 1

ST

ST

ST

ST

Pakar 2

Alt 1

ST

ST

ST

ST

Pakar 3

Alt 1

ST

ST

ST

ST

Pakar 4

Alt 1

ST

185

(a) Proses agregasi pada kriteria:


V11

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v ST, PR v T, R v P]
= min [ST, T, ST, ST, T, ST, T, P]
= min T

V21

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v S, SR v T, PR v T, R v ST]
= min [ST, T, ST, ST, S, T, T, ST]
= min S

V31

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v T, PR v T, R v ST]
= min [ST, T, ST, ST, T, T, T, ST]
= min T

V41

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min[R v T, R v T, SR v T, R v T, R v S, SR v T, PR v T, R v ST]
= min [T, T, T, T, S, T, T, ST]
= min S

Hasil agregasi kriteria didapatkan: T, S, T, S

(b) Proses agregasi pada pakar:


Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
q 1

Qk = Int 1 + (k *
)
r

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P


Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj bj]
j=1,2,,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j


xj = T, S, T, S; sehingga bj = T, T, S, S
V1 = max [R v T, S v T, ST v S, P v S]
= max [T, T, S, S]
=T
Sehingga nilai akhir alternatif satu adalah T (tinggi)

186

Penilaian alternatif 2 : Rajungan


Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar

Alternatif

Pakar 1

Kriteria Penilaian
K1

K2

K3

K4

K5

K6

K7

K8

Alt 2

Pakar 2

Alt 2

ST

ST

ST

Pakar 3

Alt 2

Pakar 4

Alt 2

(a) Proses agregasi pada kriteria:


V12

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v T, SR v T, PR v T, R v R]
= min [T, S, T, T, T, T, T, R]
= min R

V22

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [R v ST, R v S, SR v ST, R v ST, R v R, SR v S, PR v T, R v S]
= min [ST, S, ST, ST, R, S, T, S]
= min R

V32

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [R v T, R v R, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, R, T, T, R, S, S, S]
= min R

V42

= min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, S, T, T, R, S, S, S]
= min R

Hasil agregasi kriteria didapatkan: R, R, R, R

(b) Proses agregasi pada pakar:


Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
q 1

Qk = Int 1 + (k *
)
r

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P


Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj bj]
j=1,2,,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j

187

xj = R, R, R, R; sehingga bj = R, R, R, R
V1 = max [R v R, S v R, ST v R, P v R]
= max [R, R, R, R]
=R
Sehingga nilai akhir alternatif dua adalah R (rendah)

Penilaian alternatif 3 : Udang Putih


Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar

Alternatif

Pakar 1

Kriteria Penilaian
K1

K2

K3

K4

K5

K6

K7

K8

Alt 3

ST

ST

Pakar 2

Alt 3

ST

ST

Pakar 3

Alt 3

ST

ST

Pakar 4

Alt 3

(a) Proses agregasi pada kriteria:


V13 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v T, PR v S, R v S]
= min [T, T, ST, ST, T, T, S, S]
= min S
V23 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[R v ST, R v T, SR v T, R v T, R v T, SR v ST, PR v T, R v ST]
= min [ST, T, ST, T, R, S, R, S]
= min R
V33 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v ST, R v S, SR v T, R v ST, R v S, SR v T, PR v T, R v T]
= min [ST, S, T, ST, S, T, T, T]
= min S
V43 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v S, SR v T, PR v S, R v T]
= min [T, S, T, T, S, T, S, T]
= min S
Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, R, S, S

188

(b) Proses agregasi pada pakar:


Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
q 1

Qk = Int 1 + (k *
)
r

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P


Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj bj]
j=1,2,,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j


xj = S, R, S, S; sehingga bj = S, S, S, R
V1 = max [R v S, S v S, ST v S, P v R]
= max [S, S, S, R]
=S
Sehingga nilai akhir alternatif tiga adalah S (sedang)

Penilaian alternatif 4 : Udang lain


Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar

Kriteria Penilaian

Alternatif

Pakar 1

Alt 4

K1
T

K2
ST

K3

K4

K5

K6

K7

K8

ST

Pakar 2

Alt 4

Pakar 3

Alt 4

Pakar 4

Alt 4

(a) Proses agregasi pada kriteria:


V14 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v ST, SR v ST, R v T, R v S, SR v T, PR v S, R v S]
= min [T, ST, ST, T, S, T, S, S]
= min S
V24 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, S, T, T, R, S, S, S]
= min R
V34 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v R, SR v T, R v T, R v S, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, R, T, T, S, S, S, S]
= min R

189

V44 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]


= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v S, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, S, T, T, S, S, S, S]
= min S
Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, R, R, S

(b) Proses agregasi pada pakar:


Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
q 1

Qk = Int 1 + (k *
)
r

Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P


Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj bj]
j=1,2,,m

bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j


xj = S, R, R, S; sehingga bj = S, S, R, R
V1 = max [R v S, S v S, ST v R, P v R]
= max [S, S, R, R]
=S
Sehingga nilai akhir alternatif empat adalah S (sedang)

Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut:


Bobot Nilai = R, S, ST, P
Negasi Bobot Kriteria = R, R, SR, R, R, SR, PR, R
Hasil agregrasi kriteria:
- alternatif 1 = T, S, T, S
- alternatif 2 = R, R, R, R
- alternatif 3 = S, R, S, S
- alternatif 4 = S, R, R, S
Hasil agregrasi pakar:
- alternatif 1 = T
- alternatif 2 = R
- alternatif 3 = S
- alternatif 4 = S

Lampiran 12 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Sederhana


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I
1
2
3
4

Investasi
Perbaikan Tambak
Pompa
Kincir
Peralatan Tambak

1.00 Unit
1.00 Unit
1.00 Paket

2,500,000.00
2,000,000.00
500,000.00

Jumlah
II
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Modal Kerja
Benih
Pakan
Kapur
Pupuk
Saponin
Probiotik
Desinfektan
Solar
Tenaga Kerja
Biaya Panen
Jumlah

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja
Jumlah

2,500,000.00
2,000,000.00
500,000.00
5,000,000.00

50,000.00
466.67
500.00
50.00
50.00
27.00
50.00
1.00
6.00
1.00

ekor
kg
kg
kg
kg
kg
kg
Paket
Paket
Paket

25.00
10,000.00
500.00
3,500.00
2,500.00
50,000.00
11,000.00
500,000.00
700,000.00
583,333.33

1,250,000.00
4,666,666.67
250,000.00
175,000.00
125,000.00
1,350,000.00
550,000.00
500,000.00
4,200,000.00
583,333.33
13,650,000.00

5,000,000.00
13,650,000.00
18,650,000.00

No.
IV
1
2
a
b

Uraian
Rugi - Laba
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Modal Kerja
Penyusutan

Volume

Satuan

583.33 kg

Harga

38,000.00

22,166,666.67

14,275,000.00

Keuntungan

7,891,666.67

Per tahun
Rugi-Laba Tahunan
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Keuntungan

13,650,000.00
625,000.00

Jumlah

V
1
2
3

Nilai
0

157,833,333.33

1166.67 kg

38000

44,333,333.3
28,550,000.00
15,783,333.33

44,333,333.3
28,550,000.00
15,783,333.33

44,333,333.3
28,550,000.00
15,783,333.33

44,333,333.3
28,550,000.00
15,783,333.33

1.00

2.00

3.00

4.00

18,680,000.00
44,333,333.33

44,333,333.33

44,333,333.33

44,333,333.33

62,983,333.33

44,333,333.33

44,333,333.33

44,333,333.33

5,000,000.00
28,550,000.00
33,550,000.00

28,550,000.00
28,550,000.00

28,550,000.00
28,550,000.00

28,550,000.00
28,550,000.00

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A
B Pengeluaran
1 Investasi
2 Biaya Operasional
Jumlah B

No.

Uraian

Volume

Satuan

Harga

Nilai
0

1
29,433,333.33

2
15,783,333.33

3
15,783,333.33

4
15,783,333.33

29,433,333.33

45,216,666.67

61,000,000.00

29,433,333.33

45,216,666.67

61,000,000.00

76,783,333.33

44,333,333.33
0.87
38,550,724.64

44,333,333.33
0.67
33,522,369.25

44,333,333.33
0.66
29,149,886.30

44,333,333.33
0.57
25,347,727.22

5,000,000.00
1.00
5,000,000.00

28,550,000.00
0.87
24,826,086.96

28,550,000.00
0.76
21,587,901.70

28,550,000.00
0.66
18,772,088.44

28,550,000.00
0.57
16,323,555.16

Net Cashflow

(5,000,000.00)

13,724,637.68

11,934,467.55

10,377,797.87

9,024,172.06

NVP df 15 %

40,061,075.16

C Balance
D Saldo Awal

E Saldo Akhir
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow

B Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow

Net B/C Ratio


PBP
IRR

1.46
Tahun Ke

1.00
2.61

Lampiran 13 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Semi Intensif


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I
1
2
3
4

Investasi
Perbaikan Tambak
Pompa
Kincir
Peralatan Tambak

1.00
1.00
1.00
1.00

Unit
Unit
Paket
Paket

2,500,000.00
2,000,000.00
12,000,000.00
500,000.00

Jumlah
II
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Modal Kerja
Benih
Pakan
Kapur
Pupuk
Saponin
Probiotik
Desinfektan
Solar
Tenaga Kerja
Biaya Panen
Jumlah

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja
Jumlah

2,500,000.00
2,000,000.00
12,000,000.00
500,000.00
17,000,000.00

400,000.00
5,600.00
500.00
50.00
50.00
137.00
50.00
1.00
6.00
1.00

ekor
kg
kg
kg
kg
kg
kg
Paket
Paket
Paket

25.00
10,000.00
500.00
3,500.00
2,500.00
50,000.00
11,000.00
3,500,000.00
1,400,000.00
4,000,000.00

10,000,000.00
56,000,000.00
250,000.00
175,000.00
125,000.00
6,850,000.00
550,000.00
3,500,000.00
8,400,000.00
4,000,000.00
89,850,000.00

17,000,000.00
89,850,000.00
106,850,000.00

No.
IV
1
2
a
b

Uraian
Rugi - Laba
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Modal Kerja
Penyusutan

Volume

Satuan

4,000.00 kg

Harga

38,000.00

304,000,000.00
183,950,000.00
120,050,000.00

304,000,000.00
183,950,000.00
120,050,000.00

304,000,000.00
183,950,000.00
120,050,000.00

304,000,000.00
183,950,000.00
120,050,000.00

1.00

2.00

3.00

4.00

106,850,000.00
304,000,000.00

304,000,000.00

304,000,000.00

304,000,000.00

410,850,000.00

304,000,000.00

304,000,000.00

304,000,000.00

17,000,000.00
183,950,000.00
200,950,000.00

183,950,000.00
183,950,000.00

183,950,000.00
183,950,000.00

183,950,000.00
183,950,000.00

152,000,000.00
89,850,000.00
2,125,000.00

Jumlah

91,975,000.00

Keuntungan

60,025,000.00

Per tahun
V
1
2
3

Nilai
0

Rugi-Laba Tahunan
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Keuntungan

120,050,000.00

8,000.00 kg

38,000.00

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A
B Pengeluaran
1 Investasi
2 Biaya Operasional
Jumlah B

No.

Uraian

Volume

Satuan

Harga

Nilai
0

1
209,900,000.00

2
120,050,000.00

3
120,050,000.00

4
120,050,000.00

209,900,000.00

329,950,000.00

450,000,000.00

209,900,000.00

329,950,000.00

450,000,000.00

570,050,000.00

304,000,000.00
0.87
264,347,826.09

304,000,000.00
0.76
229,867,674.86

304,000,000.00
0.66
199,884,934.66

304,000,000.00
0.57
173,812,986.66

17,000,000.00
1.00
17,000,000.00

183,950,000.00
0.87
159,956,521.74

183,950,000.00
0.76
139,092,627.60

183,950,000.00
0.66
120,950,110.96

183,950,000.00
0.57
105,174,009.53

Net Cashflow

(17,000,000.00)

104,391,304.35

90,775,047.26

78,934,823.70

68,638,977.13

NVP df 15 %

325,740,152.44

C Balance
D Saldo Awal

E Saldo Akhir
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow

B Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow

Net B/C Ratio


PBP
IRR

1,6
Tahun Ke

1.00
6.01

Lampiran 14 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Intensif


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I
1
2
3
4

Investasi
Perbaikan Tambak
Pompa
Kincir
Peralatan Tambak

1.00
1.00
1.00
1.00

Unit
Unit
Paket
Paket

2,500,000.00
4,000,000.00
24,000,000.00
500,000.00

Jumlah
II
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Modal Kerja
Benih
Pakan
Kapur
Pupuk
Saponin
Probiotik
Desinfektan
Solar
Tenaga Kerja
Biaya Panen
Jumlah

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja
Jumlah

2,500,000.00
4,000,000.00
24,000,000.00
500,000.00
31,000,000.00

1,500,000.00
22,500.00
500.00
50.00
50.00
190.00
50.00
1.00
6.00
1.00

ekor
kg
kg
kg
kg
kg
kg
Paket
Paket
Paket

25.00
10,000.00
500.00
3,500.00
2,500.00
50,000.00
11,000.00
7,500,000.00
2,800,000.00
12,500,000.00

37,500,000.00
225,000,000.00
250,000.00
175,000.00
125,000.00
9,500,000.00
550,000.00
7,500,000.00
16,800,000.00
12,500,000.00
309,900,000.00

31,000,000.00
309,900,000.00
340,900,000.00

No.
IV
1
2
a
b

V
1
2
3

Uraian
Rugi - Laba
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Modal Kerja
Penyusutan

Volume

Satuan

12,500.00 kg

Harga

38,000.00

Nilai
0

475,000,000.00
309,900,000.00
3,875,000.00

Jumlah

313,775,000.00

Keuntungan

161,225,000.00

Per tahun

322,450,000.00

Rugi-Laba Tahunan
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Keuntungan

25,000.00 kg

38,000.00

950,000,000.00
627,550,000.00
322,450,000.00

950,000,000.00
627,550,000.00
322,450,000.00

950,000,000.00
627,550,000.00
322,450,000.00

950,000,000.00
627,550,000.00
322,450,000.00

1.00

2.00

3.00

4.00

340,900,000.00
950,000,000.00

950,000,000.00

950,000,000.00

950,000,000.00

1,290,900,000.00

950,000,000.00

950,000,000.00

950,000,000.00

31,000,000.00
627,550,000.00

627,550,000.00

627,550,000.00

627,550,000.00

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A
B Pengeluaran
1 Investasi
2 Biaya Operasional

No.

Uraian

Volume

Satuan

Harga

Nilai
0

1
658,550,000.00

2
627,550,000.00

3
627,550,000.00

4
627,550,000.00

632,350,000.00

322,450,000.00

322,450,000.00

322,450,000.00

632,350,000.00

954,800,000.00

1,277,250,000.00

632,350,000.00

954,800,000.00

1,277,250,000.00

1,599,700,000.00

950,000,000.00
0.87
826,086,956.52

950,000,000.00
0.76
718,336,483.93

950,000,000.00
0.66
624,640,420.81

950,000,000.00
0.57
543,165,583.31

31,000,000.00
1.00
31,000,000.00

627,550,000.00
0.87
545,695,652.17

627,550,000.00
0.76
474,517,958.41

627,550,000.00
0.66
412,624,311.66

627,550,000.00
0.57
358,803,749.27

Net Cashflow

(31,000,000.00)

280,391,304.35

243,818,525.52

212,016,109.15

184,361,834.04

NVP df 15 %

889,587,773.06

Jumlah B
C Balance
D Saldo Awal

E Saldo Akhir
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow

B Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow

Net B/C Ratio


PBP
IRR

1.49
Tahun Ke

1.00
8.91

Lampiran 15 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Sederhana


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I
1
2
3
4

Investasi
Perbaikan Tambak
Pompa
Kincir
Peralatan Tambak

1.00
1.00
1.00

Unit
Unit
Paket
Paket

2,500,000.00
2,000,000.00
500,000.00

Jumlah
II
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Modal Kerja
Benih
Pakan
Kapur
Pupuk
Saponin
Probiotik
Desinfektan
Solar
Tenaga Kerja
Biaya Panen
Jumlah

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja
Jumlah

2,500,000.00
2,000,000.00
500,000.00
5,000,000.00

25,000.00
350.00
500.00
50.00
50.00
27.00
50.00
1.00
6.00
1.00

ekor
kg
kg
kg
kg
kg
kg
Paket
Paket
Paket

25.00
10,000.00
500.00
3,500.00
2,500.00
50,000.00
11,000.00
500,000.00
700,000.00
437,500.00

625,000.00
3,500,000.00
250,000.00
175,000.00
125,000.00
1,350,000.00
550,000.00
500,000.00
4,200,000.00
437,500.00
11,712,500.00

5,000,000.00
11,712,500.00
16,712,500.00

No.

IV
1
2
a
b

Uraian

Rugi - Laba
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Modal Kerja
Penyusutan

Volume

Satuan

437.50 kg

Harga

50,000.00

21,875,000.00

12,337,500.00

Keuntungan

9,537,500.00

Per tahun
Rugi-Laba Tahunan
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Keuntungan

11,712,500.00
625,000.00

Jumlah

V
1
2
3

Nilai
0

19,075,000.00

875.00 kg

50,000.00

43,750,000.00
24,675,000.00
19,075,000.00

43,750,000.00
24,675,000.00
19,075,000.00

43,750,000.00
24,675,000.00
19,075,000.00

43,750,000.00
24,675,000.00
19,075,000.00

1.00

2.00

3.00

4.00

16,712,500.00
43,750,000.00

43,750,000.00

43,750,000.00

43,750,000.00

60,462,500.00

43,750,000.00

43,750,000.00

43,750,000.00

5,000,000.00
24,675,000.00
29,675,000.00

24,675,000.00
24,675,000.00

24,675,000.00
24,675,000.00

24,675,000.00
24,675,000.00

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A
B Pengeluaran
1 Investasi
2 Biaya Operasional
Jumlah B

No.

Uraian

Volume

Satuan

Harga

Nilai
0

1
30,787,500.00

2
19,075,000.00

3
19,075,000.00

4
19,075,000.00

30,787,500.00

49,862,500.00

68,937,500.00

30,787,500.00

49,862,500.00

68,937,500.00

88,012,500.00

43,750,000.00
0.87
38,043,478.26

43,750,000.00
0.76
33,081,285.44

43,750,000.00
0.66
28,766,335.17

43,750,000.00
0.57
25,014,204.49

5,000,000.00
1.00
5,000,000.00

627,550,000.00
0.87
21,456,521.74

627,550,000.00
0.76
18,657,844.99

627,550,000.00
0.66
16,224,213.04

627,550,000.00
0.57
14,108,011.34

Net Cashflow

(5,000,000.00)

16,586,956.52

14,423,440.45

12,542,122.13

10,906,193.16

NVP df 15 %

49,458,712.27

C Balance
D Saldo Awal

E Saldo Akhir
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow

B Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow

Net B/C Ratio


PBP
IRR

1.66
Tahun Ke

1.00
3.18

Lampiran 16 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Semi Intensif


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I
1
2
3
4

Investasi
Perbaikan Tambak
Pompa
Kincir
Peralatan Tambak

1.00
1.00
1.00
1.00

Unit
Unit
Paket
Paket

2,500,000.00
2,000,000.00
12,000,000.00
500,000.00

Jumlah
II
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Modal Kerja
Benih
Pakan
Kapur
Pupuk
Saponin
Probiotik
Desinfektan
Solar
Tenaga Kerja
Biaya Panen
Jumlah

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja
Jumlah

2,500,000.00
2,000,000.00
12,000,000.00
500,000.00
17,000,000.00

150,000.00
3,150.00
500.00
50.00
50.00
137.00
50.00
1.00
6.00
1.00

ekor
kg
kg
kg
kg
kg
kg
Paket
Paket
Paket

25.00
10,000.00
500.00
3,500.00
2,500.00
50,000.00
11,000.00
2,000,000.00
1,400,000.00
2,250,000.00

3,750,000.00
31,500,000.00
250,000.00
175,000.00
125,000.00
6,850,000.00
550,000.00
2,000,000.00
8,400,000.00
2,250,000.00
55,850,000.00

17,000,000.00
55,850,000.00
72,850,000.00

IV
1
2
a
b

Rugi - Laba
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Modal Kerja
Penyusutan

2,250.00 kg

50,000.00

55,850,000.00
2,125,000.00

Jumlah

57,975,000.00

Keuntungan

54,525,000.00

Per tahun
V
1
2
3

112,500,000.00

Rugi-Laba Tahunan
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Keuntungan

109,050,000.00

4,500.00 kg

50,000.00

225,000,000.00
115,950,000.00
109,050,000.00

225,000,000.00
115,950,000.00
109,050,000.00

225,000,000.00
115,950,000.00
109,050,000.00

225,000,000.00
115,950,000.00
109,050,000.00

1.00

2.00

3.00

4.00

72,850,000.00
225,000,000.00

225,000,000.00

225,000,000.00

225,000,000.00

297,850,000.00

225,000,000.00

225,000,000.00

225,000,000.00

B Pengeluaran
1 Investasi
2 Biaya Operasional
Jumlah B

17,000,000.00
115,950,000.00
132,950,000.00

115,950,000.00
115,950,000.00

115,950,000.00
115,950,000.00

115,950,000.00
115,950,000.00

C Balance

164,900,000.00

109,050,000.00

109,050,000.00

109,050,000.00

164,900,000.00

273,950,000.00

383,000,000.00

273,950,000.00

383,000,000.00

492,050,000.00

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A

D Saldo Awal
E Saldo Akhir

164,900,000.00

VII Analisis Finansial


A Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow

225,000,000.00
0.87
195,652,173.91

225,000,000.00
0.76
170,132,325.14

225,000,000.00
0.66
147,941,152.30

225,000,000.00
0.57
128,644,480.26

17,000,000.00
1.00
17,000,000.00

115,950,000.00
0.87
100,826,086.96

114,950,000.00
0.76
87,674,858.22

115,950,000.00
0.66
76,239,007.15

115,950,000.00
0.57
66,294,788.83

Net Cashflow

(17,000,000.00)

94,826,086.96

82,457,466.92

71,702,145.15

62,349,691.43

NVP df 15 %

294,335,390.45

B Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow

Net B/C Ratio


PBP
IRR

1.85
Tahun Ke

1.00
5.45

Lampiran 17 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Intensif


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I
1
2
3
4

Investasi
Perbaikan Tambak
Pompa
Kincir
Peralatan Tambak

1.00
1.00
1.00
1.00

Unit
Unit
Paket
Paket

2,500,000.00
4,000,000.00
24,000,000.00
500,000.00

Jumlah
II
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Modal Kerja
Benih
Pakan
Kapur
Pupuk
Saponin
Probiotik
Desinfektan
Solar
Tenaga Kerja
Biaya Panen
Jumlah

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja
Jumlah

2,500,000.00
4,000,000.00
24,000,000.00
500,000.00
31,000,000.00

250,000.00
5,625.00
500.00
50.00
50.00
190.00
50.00
1.00
6.00
1.00

ekor
kg
kg
kg
kg
kg
kg
Paket
Paket
Paket

25.00
10,000.00
500.00
3,500.00
2,500.00
50,000.00
11,000.00
6,500,000.00
2,800,000.00
3,125,000.00

6,250,000.00
56,250,000.00
250,000.00
175,000.00
125,000.00
9,500,000.00
550,000.00
6,500,000.00
16,800,000.00
3,125,000.00
99,525,000.00

31,000,000.00
99,525,000.00
130,525,000.00

No.
IV
1
2
a
b

Uraian
Rugi - Laba
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Modal Kerja
Penyusutan

Volume

Satuan

3,125.00 kg

Harga

50,000.00

312,500,000.00
206,800,000.00
105,700,000.00

312,500,000.00
206,800,000.00
105,700,000.00

312,500,000.00
206,800,000.00
105,700,000.00

312,500,000.00
206,800,000.00
105,700,000.00

1.00

2.00

3.00

4.00

130,525,000.00
312,500,000.00

312,500,000.00

312,500,000.00

312,500,000.00

443,025,000.00

312,500,000.00

312,500,000.00

312,500,000.00

31,000,000.00
206,800,000.00
237,800,000.00

206,800,000.00
206,800,000.00

206,800,000.00
206,800,000.00

206,800,000.00
206,800,000.00

156,250,000.00

103,400,000.00

Keuntungan

52,850,000.00

Per tahun
Rugi-Laba Tahunan
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Keuntungan

99,525,000.00
3,875,000.00

Jumlah

V
1
2
3

Nilai
0

105,700,000.00

6,250.00 kg

50,000.00

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A
B Pengeluaran
1 Investasi
2 Biaya Operasional
Jumlah B

No.

Uraian

Volume

Satuan

Harga

Nilai
0

1
205,225,000.00

2
105,700,000.00

3
105,700,000.00

4
105,700,000.00

205,225,000.00

310,925,000.00

416,625,000.00

205,225,000.00

310,925,000.00

416,625,000.00

522,325,000.00

312,500,000.00
0.87
271,739,130.43

312,500,000.00
0.76
236,294,896.03

312,500,000.00
0.66
205,473,822.63

312,500,000.00
0.57
178,672,889.25

31,000,000.00
1.00
31,000,000.00

206,800,000.00
0.87
179,826,086.96

206,800,000.00
0.76
156,370,510.40

206,800,000.00
0.66
135,974,356.87

206,800,000.00
0.57
118,238,571.19

Net Cashflow

(31,000,000.00)

91,913,043.48

79,924,385.63

69,499,465.77

60,434,318.06

NVP df 15 %

270,771,212.94

C Balance
D Saldo Awal

E Saldo Akhir
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow

B Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow

Net B/C Ratio


PBP
IRR

1.44
Tahun Ke

1.00
2.83

Lampiran 18 Analisis Finansial Budidaya Rumput Laut


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I
1
2
3
4
5
6
7
8

Investasi
Para-para
Jukung
Peralatan Budidaya
Jangkar
Bambu
Tali PE Jangkar
Tali PE Rentang
Tali PE D 15

15.00
5.00
5.00
20.00
40.00
30.00
165.00
100.00

Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit

125,000.00
1,250,000.00
200,000.00
50,000.00
10,000.00
20,000.00
20,500.00
20,000.00

Jumlah

II
1
2
3
4

Modal Kerja
Bibit
Tenaga Kerja Tetap
Tenaga Kerja Tidak Teta
Biaya lain
Jumlah

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja
Jumlah

1,875,000.00
6,250,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
400,000.00
600,000.00
3,382,500.00
2,000,000.00
16,507,500.00

3,000.00
10.00
5.00
1.00

kg
orang
orang
paket

1,500.00
425,000.00
325,000.00
3,139,200.00

4,500,000.00
4,250,000.00
1,625,000.00
3,139,200.00
13,514,200.00

16,507,500.00
13,514,200.00
30,021,700.00

No.
IV
1
2
a
b

Uraian
Rugi - Laba
Hasil Produksi
Biaya-biaya
Modal Kerja
Penyusutan

Volume

Satuan

12,000.00 kg

Harga

4,000.00

192,000,000.00
54,468,750.00
137,531,250.00

192,000,000.00
54,468,750.00
137,531,250.00

192,000,000.00
54,468,750.00
137,531,250.00

192,000,000.00
54,468,750.00
137,531,250.00

1.00

2.00

3.00

4.00

30,021,700.00
192,000,000.00

192,000,000.00

192,000,000.00

192,000,000.00

222,021,700.00

192,000,000.00

192,000,000.00

192,000,000.00

16,507,500.00
54,468,750.00
70,976,250.00

54,468,750.00
54,468,750.00

54,468,750.00
54,468,750.00

54,468,750.00
54,468,750.00

48,000,000.00
13,514,200.00
117,187.50

Jumlah

13,631,387.50

Keuntungan

34,368,612.50

Per tahun
V
1
2
3

Nilai
0

Rugi-Laba Tahunan
Hasil Produksi
Biaya Operasional
Keuntungan

137,474,450.00

48,000.00 kg

4,000.00

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A
B Pengeluaran
1 Investasi
2 Biaya Operasional
Jumlah B

Uraian

Volume

Satuan

Harga

Nilai
0

1
151,045,450.00

2
137,531,250.00

3
137,531,250.00

4
137,531,250.00

151,045,450.00

288,576,700.00

426,107,950.00

151,045,450.00

288,576,700.00

426,107,950.00

563,639,200.00

192,000,000.00
0.87
166,956,521.74

192,000,000.00
0.76
145,179,584.12

192,000,000.00
0.66
126,243,116.63

192,000,000.00
0.57
109,776,623.15

16,507,500.00
1.00
16,507,500.00

54,468,750.00
0.87
47,364,130.43

54,468,750.00
0.76
41,186,200.38

54,468,750.00
0.66
35,814,087.29

54,468,750.00
0.57
31,142,684.60

Net Cashflow

(16,507,500.00)

119,592,391.30

103,993,383.74

90,429,029.34

78,633,938.56

NVP df 15 %

376,141,242.95

Balance
Saldo Awal

Saldo Akhir
Analisis Finansial
Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow

Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow

Net B/C Ratio


PBP

3.19
Tahun Ke

1.00

Lampiran 19 Analisis Finansial Budidaya Kerapu Macan


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I Investasi
1 Pembuatan Kolam

1.00 Unit

20,000,000.00

Jumlah

II
1
2
3

Modal Kerja
Benih
Pakan
Biaya Lain

20,000,000.00
20,000,000.00

8,300.00 ekor
21,600.00 kg
1.00 paket

3,000.00
2,500.00
15,780,000.00

Jumlah

24,900,000.00
54,000,000.00
15,780,000.00
94,680,000.00

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja

20,000,000.00
94,680,000.00

Jumlah
IV Rugi - Laba
1 Hasil Produksi
2 Biaya-biaya
Benih
Pakan
Penyusutan
Jumlah

114,680,000.00

2,697.50 kg
8,300.00 ekor
21,600.00 kg

70,000.00

188,825,000.00

3,000.00
2,500.00

24,900,000.00
54,000,000.00
3,333,333.33
82,233,333.33

No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga

Keuntungan

106,591,666.67

Per tahun

159,887,500.00

V Rugi-Laba Tahunan
1 Hasil Produksi
4,046.25
2 Biaya-biaya
Benih
12,450.00
Pakan
32,400.00
Kapur
Tenaga Kerja
Penyusutan
Biaya Modal
Jumlah
Keuntungan

kg
ekor
kg
kg
orang
Tahun

70,000.00

283,237,500.00

283,237,500.00

283,237,500.00

283,237,500.00

3,000.00
2,500.00
-

37,350,000.00
81,000,000.00
5,000,000.00
123,350,000.00
159,887,500.00

37,350,000.00
81,000,000.00
5,000,000.00
123,350,000.00
159,887,500.00

37,350,000.00
81,000,000.00
5,000,000.00
123,350,000.00
159,887,500.00

37,350,000.00
81,000,000.00
5,000,000.00
123,350,000.00
159,887,500.00

114,680,000.00
283,237,500.00

283,237,500.00

283,237,500.00

283,237,500.00

397,917,500.00

283,237,500.00

283,237,500.00

283,237,500.00

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A

No.

Uraian

Volume

Satuan

Harga

Nilai
0

B Pengeluaran
1 Investasi
Benih
Pakan
Tenaga Kerja
Penyusutan
Biaya Modal
Jumlah B
C Balance
D Saldo Awal

20,000,000.00
37,350,000.00
81,000,000.00
5,000,000.00
-

37,350,000.00
81,000,000.00
5,000,000.00
-

37,350,000.00
81,000,000.00
5,000,000.00
-

37,350,000.00
81,000,000.00
5,000,000.00
-

143,350,000.00

123,350,000.00

123,350,000.00

123,350,000.00

254,567,500.00

159,887,500.00

159,887,500.00

159,887,500.00

254,567,500.00

414,455,000.00

574,342,500.00

254,567,500.00

414,455,000.00

574,342,500.00

734,230,000.00

283,237,500.00
0.87
246,293,478.26

283,237,500.00
0.76
214,168,241.97

283,237,500.00
0.66
186,233,253.88

283,237,500.00
0.57
161,941,959.90

123,350,000.00
0.87
107,260,869.57
139,032,608.70

123,350,000.00
0.76
93,270,321.36
120,897,920.60

123,350,000.00
0.66
81,104,627.27
105,128,626.61

123,350,000.00
0.57
70,525,762.84
91,416,197.05

E Saldo Akhir

VII Analisis Finansial


A Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow
B Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow
Net Cashflow
NVP df 15 %
Net B/C Ratio
PBP

Tahun Ke

20,000,000.00
1.00
20,000,000.00
(20,000,000.00)
436,475,352.97
2.17
1.00

Lampiran 20 Analisis Finansial Budidaya Bandeng


No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

I Investasi
1 Pembuatan Kolam

1.00 Unit

15,000,000.00

Jumlah
II
1
2
3

Modal Kerja
Benih
Pakan
Biaya Lain

16,000.00 ekor
8,320.00 kg
1.00 paket

600.00
4,000.00
8,576,000.00

9,600,000.00
33,280,000.00
8,576,000.00
51,456,000.00

III Jumlah Modal


1 Investasi
2 Modal Kerja

15,000,000.00
51,456,000.00

Jumlah

Per tahun

15,000,000.00
15,000,000.00

Jumlah

IV Rugi - Laba
1 Hasil Produksi
2 Biaya-biaya
Benih
Pakan
Penyusutan
Jumlah
Keuntungan

66,456,000.00

6,400.00 kg
16,000.00 ekor
8,320.00 kg

10,000.00

64,000,000.00

600.00
4,000.00

9,600,000.00
33,280,000.00
1,875,000.00
44,755,000.00
19,245,000.00
38,490,000.00

No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

V Rugi-Laba Tahunan
1 Hasil Produksi
12,800.00
2 Biaya-biaya
Benih
32,000.00
Pakan
16,640.00
Kapur
Tenaga Kerja
Penyusutan
Biaya Modal
Jumlah
Keuntungan

kg
ekor
kg
kg
orang
Tahun

10,000.00

128,000,000.00

128,000,000.00

128,000,000.00

128,000,000.00

600.00
4,000.00
-

19,200,000.00
66,560,000.00
3,750,000.00
89,510,000.00
38,490,000.00

19,200,000.00
66,560,000.00
3,750,000.00
89,510,000.00
38,490,000.00

19,200,000.00
66,560,000.00
3,750,000.00
89,510,000.00
38,490,000.00

19,200,000.00
66,560,000.00
3,750,000.00
89,510,000.00
38,490,000.00

66,456,000.00
128,000,000.00

128,000,000.00

128,000,000.00

128,000,000.00

194,456,000.00

128,000,000.00

128,000,000.00

128,000,000.00

15,000,000.00
19,200,000.00
66,560,000.00
3,750,000.00
-

19,200,000.00
66,560,000.00
3,750,000.00
-

19,200,000.00
66,560,000.00
3,750,000.00
-

19,200,000.00
66,560,000.00
3,750,000.00
-

VI Cash Flow
A. Pemasukan
1 Modal Awal
2 Hasil Penjualan
Jumlah A
B Pengeluaran
1 Investasi
Benih
Pakan
Tenaga Kerja
Penyusutan
Biaya Modal

No.

Uraian

Volume

Satuan

Nilai

Harga
0

Jumlah B

104,510,000.00

89,510,000.00

89,510,000.00

89,510,000.00

89,946,000.00

38,490,000.00

38,490,000.00

38,490,000.00

89,946,000.00

128,436,000.00

166,926,000.00

89,946,000.00

128,436,000.00

166,926,000.00

205,416,000.00

128,000,000.00
0.87
111,304,347.83

128,000,000.00
0.76
96,786,389.41

128,000,000.00
0.66
84,162,077.75

128,000,000.00
0.57
73,184,415.44

15,000,000.00
1.00
15,000,000.00

89,510,000.00
0.87
77,834,782.61

89,510,000.00
0.76
67,682,419.66

89,510,000.00
0.66
58,854,277.96

89,510,000.00
0.57
51,177,633.01

Net Cashflow

(15,000,000.00)

33,469,565.22

29,103,969.75

25,307,799.79

22,006,782.42

NVP df 15 %
Net B/C Ratio
PBP

94,888,117.18
1.35
1.00

C Balance
D Saldo Awal

E Saldo Akhir
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow
df 15 %
Net Cash Inflow

B Cash Outflow
Investasi
df 15 %
Net Cash Outflow

Tahun Ke

217

Lampiran 21 Analisis Finansial Pancing Rawai

No.

Uraian

Tahun
0

A. Arus Masuk
1. Total Penjualan
2. Kredit
- Investasi
- Modal Kerja

81,000,000
23,520,000

3. Modal Sendiri
- Investasi
- Modal Kerja

54,000,000
15,680,000

4. Nilai Sisa Proyek


Total Arus Masuk
Arus Masuk untuk Menghitung IRR
B. Arus Kas Keluar
1. Biaya Investasi
2. Biaya Variabel/operasional
3. Angsuran Pokok
4. Angsuran Bunga
5. Pajak
6. Biaya Pemasaran/Distribusi
Total Arus Keluar
Arus Keluar untuk Menghitung IRR
C. Arus Bersih (NFC)

174,200,000
-

135,000,000
39,200,000

174,200,000
174,200,000
-

332,100,000

332,100,000

332,100,000

332,100,000
292,900,000

332,100,000
332,100,000

48,000,000
380,100,000
380,100,000

196,000,000
34,840,000
12,712,233
4,978,165
12,000,000
260,530,398
212,978,165

235,200,000
34,840,000
7,834,633
5,709,805
12,000,000
295,584,438
252,909,805

235,200,000
34,840,000
2,957,033
6,441,445
12,000,000
291,438,478
253,641,445

71,569,602

36,515,562

88,661,522

D. Cash Flow Untuk Menghitung IRR


Discount Factor (14%)
Present Value

(174,200,000)
1.0000
(174,200,000)

79,921,835
0.8772
70,106,873

79,190,195
0.7695
60,934,284

126,458,555
0.6750
85,355,923

E. Cummulative

(174,200,000)

(104,093,127)

(43,158,844)

42,197,079

F. Analisis Kelayakan Usaha


NPV (14%) (Rp)
IRR
Net B/C
PBP

42,197,079
26.84 %
1.24
2.5 Tahun

218

Lampiran 22 Analisis Finansial Pancing Ulur


No.

Uraian

Tahun
0

550,800,000

550,800,000

550,800,000

293,093,000
-

550,800,000
480,307,000

550,800,000
550,800,000

73,000,000
623,800,000
623,800,000

B. Arus Kas Keluar


1. Biaya Investasi
222,600,000
2. Biaya Variabel/operasional
70,493,000
3. Angsuran Pokok
4. Angsuran Bunga
5. Pajak
Total Arus Keluar
293,093,000
Arus Keluar untuk Menghitung IRR 293,093,000

352,465,000
58,618,600
21,377,852
6,699,622
439,161,074
359,164,622

442,958,000
58,618,600
13,171,248
7,930,613
502,678,461
430,888,613

422,958,000
58,618,600
4,964,644
9,161,603
495,702,847
432,119,603

C. Arus Bersih (NFC)

111,638,926

48,121,539

128,097,153

121,142,378
0.8772
106,265,244

119,911,387
0.7695
92,267,919

191,680,397
0.6750
129,378,808

(186,827,756)

(94,559,838)

34,818,970

A. Arus Masuk
1. Total Penjualan
2. Kredit
- Investasi
- Modal Kerja
3. Modal Sendiri
- Investasi
- Modal Kerja
4. Nilai Sisa Proyek
Total Arus Masuk
Arus Masuk untuk Menghitung IR

133,560,000
42,295,800

89,040,000
28,197,200

D. Cash Flow Untuk Menghitung IRR (293,093,000)


Discount Factor (14%)
1.0000
Present Value
(293,093,000)
E. Cummulative
F. Analisis Kelayakan Usaha
NPV (14%) (Rp)
IRR
Net B/C
PBP

(293,093,000)

34,818,970
20.41 %
1.12
2.7 Tahun

Lampiran 23 Analisis Finansial Jaring Lingkar


Tahun
No.
1
2
3
4

Uraian
Pendapatan
Dana Modal Sendiri
Kredit Investasi
Kredit Modal Kerja
Jumlah

5 Biaya Investasi Kapal Mini Purse-Saine


6 Modal Kerja
Jumlah

290,791
828,840
51,872
989,304

Arus Masuk Bersih


Arus Kas Masuk untuk Perhitungan IRR
(989,304)
Discount Factor dengan Bunga 18%
1.00000
Nilai Sekarang Arus Kas Bersih (Present Value (989,304)
Saldo untuk Perhitungan PBP
NPV
IRR per tahun dengan Bunga 18% th
Net Benefit Cost Ratio

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

1,050,000

52,500

52,500

52,500

52,500

52,500

52,500

52,500

52,500

52,500

56,000
525,000
129,500
122,132
3,814
114,536
1,003,483

56,000
525,000
129,500
110,853
5,506
114,536
993,895

56,000
525,000
129,500
99,573
7,198
114,536
984,308

56,000
525,000
129,500
88,294
8,890
114,536
974,720

56,000
525,000
129,500
77,014
10,582
114,536
965,132

56,000
525,000
129,500
65,735
12,274
114,536
955,545

56,000
525,000
129,500
54,455
13,966
114,536
945,887

56,000
525,000
129,500
43,178
15,658
114,536
938,370

56,000
525,000
129,500
31,898
17,350
114,536
928,782

56,105
281,494
0.71818
202,185
(404,524)

35,892
279,802
0.60863
170,296
(124,822)

75,280
278,110
0.51579
143,446
153,288

84,868
276,418
0.43711
120,825
419,864

94
274,726
0.37043
101,787
395,551

104,043
273,034
0.31393
85,712
374,802

113,630
271,342
0.28660
72,187
357,055

123,218
269,650
0.22646
60,794
341,838

895,200
74,104
989,304

7 Bonus Hasil Tangkapan


8 Biaya Operasi
- Biaya SDM melaut dan uang lauk pauk
- Uang lauk pauk
9 Bagian ABK 50%
10 Pembayaran Bunga
11 Pembayaran Pajak
12 Pembayaran Angsuran
Jumlah
13
14
15
16
17

279,075
25.85 %
1.288

46,517
283,186
0.84746
239,988
(686,118)

Lampiran 24 Analisis Finansial Jaring Insang


No

Uraian

18,480,000
42,700,000
420,000

123,669,000

123,669,000

123,669,000

123,669,000

123,669,000

61,600,000
-

123,669,000
123,669,000

123,669,000
123,669,000

123,669,000
123,669,000

123,669,000
123,669,000

123,669,000
123,669,000

91,047,600
21,770,000
4,971,313
2,331,313
120,120,226
93,378,913

91,047,600
21,350,000
1,734,688
2,816,807
116,949,094
93,864,497

91,047,600

91,047,600

91,047,600

3,077,010
94,124,610
94,124,610

3,077,010
94,124,610
94,124,610

3,077,010
94,124,610
94,124,610

3 Total cashflow

3,548,774

6,719,906

29,544,390

29,544,390

29,544,390

4 Kumulatif Cashflow

3,548,774

10,268,680

39,813,070

69,357,460

98,901,850

30,290,087

29,804,593

29,544,390

29,544,390

29,544,390

1 Inflow
a. Pendapatan
b. Dana Sendiri
c. Kredit Investasi
d. Kredit Modal Kerja
e. Nilai Sisa
Jumlah
Inflow untuk IRR
2 Outflow
a. Biaya Investasi
b. Biaya Modal Kerja
c. Biaya Operasional
d. Angsuran Pokok
e. Biaya Bunga Bank
f. Pajak 15 %
Jumlah
Outflow untuk IRR

5 Cashflow untuk IRR


NPV DF 15 %
Net B/C ratio DF 15 %
IRR
PBP Usaha (tahun)
PBP Kredit (tahun)

60,540,000
569,048

61,109,048
61,109,048

(61,109,048)
38,773,513
1.63
39.69 %
2.53
1.46

221

Lampiran 25. Analisis Kelembagaan dengan ISM


A.
B.
1
2
3
4
5

Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : PENGGUNA


Tentukan Sub Elemennya :
Nelayan
Pembudidaya
Pengusaha
Eksportir
Pedagang alat-alat perikanan

Rachability Matrix
jenis
Eij
A
0
O
0
V
1
X
1

Eji
1
0
0
1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL


SELF INTERACTION MATRIX) awal
1
2
3
4
5
1
X
V
V
V
2
X
V
X
3
X
O
4
O
5
D.RM (Reachability Matrix)
1
2
3
4
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
3
0
1
1
1
4
0
0
1
1
5
0
1
0
0

5
1
1
0
0
1

E. Check Transitivity rule


contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
E.RM (Reachability Matrix) Final
1
2
3
4
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
3
0
1
1
1
4
0
0
1
1
5
0
1
0
0

5
1
1
0
0
1

222

D
L

2
3

DP

4
1

4
1

3
2

4
1

R
5
5
3
2
2

1
1
2
3
3

SIM Final
F. Revisi SS
2
3
1
V
V
1
A
2
3
4
5

4
A
A
A

5
V
A
X
V

D
Power Dependence
e
G. Matrik Driver
Data x
y
1
2
5
2
4
5
3
4
3
4
4
2
5
3
2
m model struk
ktural
H. Diagram

223

A.
B.

Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : KEBUTUHAN


Tentukan Sub Elemennya :
Suasana kondusif dan aman
Kemudahan birokrasi
Ketersediaan lahan budidaya
stabilitas politik dan moneter
Permodalan
Teknologi tepat guna
Pemasaran yang terjamin

1
2
3
4
5
6
7

Rachability Matrix
jenis
Eij
A
0
O
0
V
1
X
1

Eji
1
0
0
1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX)


awal
1
2
3
4
5
6
7
1
A
V
V
O
O
X
2
A
X
O
X
X
3
O
X
X
O
4
X
A
X
5
V
X
6
O
7
D. Check Transitivity rule
contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
E.RM (Reachability Matrix) Final
1
2
3
4
1
1
0
1
1
2
1
1
0
1
3
0
1
1
0
4
0
1
0
1
5
0
0
1
1
6
0
1
1
1
7
1
1
0
1
D
L

3
4

5
2

4
3

6
1

0
0
1
1
1
0
1

0
1
1
0
1
1
0

1
1
0
1
1
0
1

4
2

4
3

5
2

224

DP

R
4
5
4
4
5
4
5

2
1
2
2
1
1
1

F. Revisi SS
SIM Final
1
2
3
1
A
V
2
A
3
4
5
6
7

4
V
X
O

5
O
O
X
X

G.
G Matrik Driiver Power Dependence
D
Data x
y
1
3
4
2
5
5
3
4
4
4
6
4
5
4
5
6
4
4
7
5
5
H. Diagram model
m
strukttural

6
O
X
X
A
V

7
X
X
O
X
X
O

225

A.
B.
1
2
3
4
5

Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : KENDALA


Tentukan Sub Elemennya :
Keterbatasan modal
Keterbatasan sarana dan prasarana
Rendahnya kualitas SDM
Hambatan birokrasi
Kestabilan harga

Rachability Matrix
jenis
Eij
A
0
O
0
V
1
X
1

Eji
1
0
0
1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF


INTERACTION MATRIX) awal
1
2
3
4
5
1
X
V
A
X
2
A
O
O
3
O
O
4
O
5
D.RM (Reachability Matrix)
1
2
3
1
1
1
1
2
1
1
0
3
0
1
1
4
1
0
0
5
1
0
0

5
0
0
0
1
0

1
0
0
0
1

E. Check Transitivity rule


contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
F. RM (Reachability Matrix) Final
1
2
3
4
1
1
1
1
0
2
1
1
0
0
3
0
1
1
0
4
1
0
0
1
5
1
0
0
0
D
L
DP

4
2
R

3
1

2
3

1
4

5
1
0
0
0
1
2
2

226

4
2
2
2
2

1
2
2
2
2

G. Revisi SSIM Final


1
2
3
1
V
V
2
A
3
4
5

4
A
A
A

5
V
A
X
V

H. Matrik Driiver Power Dependence


D
Data
1
2
3
4
5
I.

y
4
3
2
1
2

4
2
2
2
2

Diagram
D
mod
del struktural

227

A.
B.
1
2
3
4
5
6
7

Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : PERUBAHAN


Tentukan Sub Elemennya :
Peningkatan jumlah nelayan pembudidaya
Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya
Peningkatan PAD
Keterjaminan pasar produk budidaya
Peningkatan investasi
Pengembangan wilayah
Penataan ruang laut

Rachability Matrix
jenis
Eij
A
0
O
0
V
1
X
1

Eji
1
0
0
1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF


INTERACTION MATRIX) awal
1
2
3
4
5
6
1
X
V
O
A
X
2
X
X
V
O
3
X
V
O
4
V
O
5
V
6
7
D.RM (Reachability Matrix)
1
2
3
1
1
1
1
2
1
1
1
3
0
1
1
4
0
1
1
5
1
0
0
6
1
0
0
7
1
0
0

5
0
1
1
1
0
0
0

6
0
1
1
1
1
0
1

7
A
O
O
O
X
X

7
1
0
0
0
1
1
1

0
0
0
0
1
1
1

E. Check Transitivity rule


contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
F.RM (Reachability Matrix) Final
1
2
3
4
1
1
1
1
0
2
1
1
1
1
3
0
1
1
1

6
0
1
1

7
1
0
0

0
0
0

228

4
5
6
7

0
1
1
1

1
0
0
0

1
0
0
0

1
0
0
0

1
1
0
1

0
1
1
1

0
1
1
1

D
L

5
1

4
2

4
2

3
3

5
1

4
2

3
3

DP

R
4
5
4
4
4
3
4

2
1
2
2
2
3
2

G. Revisi SSIM Final


1
2
3
1
V
V
2
A
3
4
5
6
7

4
A
A
A

5
V
A
X
V

H. Matrik Driver Power Dependence


Data
1
2
3
4
5
6
7

y
5
4
4
3
5
4
3

4
5
4
4
4
3
4

I. Diagram model struktural

6
V
X
V
V
V

7
V
A
X
V
X
A

229

A.
B.
1
2
3
4
5
6

Tenttukan Eleme
en Yang ingin
n dikaji : TUJ
JUAN
Tentukan Sub Ele
emennya :
Penin
ngkatan jumla
ah dan penda
apatan nelaya
an
Penin
ngkatan PAD
Peng
gembangan daerah
Keterrjaminan pasa
ar produk perrikanan budid
daya
Penin
ngkatan invesstasi
Optim
malisasi poten
nsi SDI

Rachability Matrix
jenis
Eij
A
0
O
0
V
1
X
1

Eji
1
0
0
1

C. Membua
at tabel SSIM (STRUCTUR
RAL SELF
INTERACTIION MATRIX) awal
1
2
3
4
5
1
X
V
A
X
2
V
A
X
3
O
X
4
A
5
6

6
X
O
O
O
X

230

D.RM (Reachability Matrix)


1
2
3
4
1
1
1
1
0
2
1
1
1
0
3
0
0
1
0
4
1
1
0
1
5
1
1
1
1
6
1
0
0
0

6
1
1
1
0
1
1

1
0
0
0
1
1

E. Check Transitivity rule


contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
F.RM (Reachability Matrix) Final
1
2
3
4
1
1
1
1
0
2
1
1
1
0
3
0
0
1
0
4
1
1
0
1
5
1
1
1
1
6
1
0
0
0
D
L

5
1

4
2

G. Revisi SSIM Final


1
2
3
1
V
V
2
A
3
4
5
6

4
2

2
4

4
A
A
A

6
1
1
1
0
1
1

1
0
0
0
1
1

5
1

3
3

5
V
A
X
V

H. Matrik Driver Power Dependence


Data x
y
1
5
5
2
4
4
3
4
2
4
2
3
5
5
6
6
3
3

6
V
X
V
V
V

V
A
X
V
X
A

V
A
X
V
X
A
X

V
A
X
V
X
A
X
X

A
A
A
A
A
A
A
A
A

A
A
A
A
A
A
A
A
A
A

V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V

231

F. Diagram model
m
struktural

A.
B.
1
2
3
4
5
6
7
8

en Yang ingin
n dikaji :
Tenttukan Eleme
KEBERHASILAN
emennya :
Tentukan Sub Ele
Penu
urunan angka kemiskinan dan
d pengangguran
Penin
ngkatan pend
dapatan nelayyan pembudid
daya
Penin
ngkatan PAD dan PNBP
Penin
ngkatan harga
a ikan
Penin
ngkatan nilai dan volume produksi
p
Penin
ngkatan pang
gsa pasar
Penin
ngkatan invesstasi
Kebe
erlanjutan bud
didaya dan SD
DI

Rachability Matrix
jenis
Eij
A
0
O
0
V
1
X
1

Eji
1
0
0
1

C. Membua
at tabel SSIM (STRUCTUR
RAL SELF IN
NTERACTION
N MATRIX)

232

awal
1
1
2
3
4
5
6
7
8

V
X

X
X
A

X
V
A
A

D.RM (Reachability Matrix)


1
2
3
4
1
1
0
1
1
2
1
1
1
1
3
0
1
1
0
4
1
1
0
1
5
1
0
1
1
6
1
1
1
1
7
1
1
1
1
8
0
0
0
0

X
X
X
X
X

6
1
1
0
0
1
1
0
1

7
1
1
1
1
1
1
1
0

X
X
A
A
V
X

O
V
O
O
X
O
O

8
1
1
0
0
1
1
1
0

0
1
0
0
1
0
0
1

C. Check Transitivity rule


contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
D.RM (Reachability Matrix) Final
1
2
3
4
1
1
0
1
1
2
1
1
1
1
3
0
1
1
0
4
1
1
0
1
5
1
0
1
1
6
1
1
1
1
7
1
1
1
1
8
0
0
0
0
D
L

6
2

5
3

6
2

6
2

6
1
1
0
0
1
1
0
1
5
3

7
1
1
1
1
1
1
1
0
7
1

1
1
0
0
1
1
1
0
5
3

8
0
1
0
0
1
0
0
1
3
4

233

DP

R
6
8
3
4
7
7
6
2

3
1
5
4
2
2
3
6

E. Revisi SSIM Final


1
2
3
1
V
V
2
A
3
4
5
6
7
8

4
A
A
A

5
V
A
X
V

F. Matrik Driver Power Dependence


Data x
y
1
6
6
2
5
8
3
6
3
4
6
4
5
5
7
6
7
7
7
5
6
8
3
2

F. Diagram model struktural

6
V
X
V
V
V

7
V
A
X
V
X
A

8
V
A
X
V
X
A
X

V
A
X
V
X
A
X
X

A
A
A
A
A
A
A
A
A

A
A
A
A
A
A
A
A
A
A

V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V

234

A.
B.
1
2
3
4
5
6

Tenttukan Eleme
en Yang ingin
n dikaji : AKT
TIVITAS
Tentukan Sub Ele
emennya :
Koord
dinasi antar sektor
s
Perumusan perda
a
m kondusif dan
n aman
Mencciptakan iklim
Kemu
udahan aksess terhadap teknologi dan in
nformasi
Monitoring dan pe
engelolaan pe
erikanan budid
daya
alisasi kelayakan perikanan budidaya
Sosia

Rachability Matrix
Eij
jenis
0
A
0
O
1
V
1
X

Eji
1
0
0
1

C. Membua
at tabel SSIM (STRUCTUR
RAL SELF
INTERACTIION MATRIX) awal
1
2
3
4
5
6
1
X
X
X
X
X
2
X
A
V
X
3
O
O
A
4
X
X
5
O
6

D.RM (Reac
chability Mattrix)
4
1
2
3
1
1
1
1
1

6
1

235

2
3
4
5
6

1
1
1
1
1

1
1
0
1
1

1
1
0
1
0

1
0
1
1
1

1
0
1
1
0

0
0
1
0
1

C. Check Transitivity rule


contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
D.RM (Reachability Matrix) Final
1
2
3
4
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
3
1
1
1
0
4
1
0
0
1
5
1
1
1
1
6
1
1
0
1
D
L

6
1

5
2

E. Revisi SSIM Final


1
2
3
1
V
V
2
A
3
4
5
6

4
3

5
2

4
A
A
A

y
6
5
4
5
4
3

6
5
3
4
5
4

F. Diagram model struktural

1
0
0
1
0
1

4
3

3
4

5
V
A
X
V

F. Matrik Driver Power Dependence


Data
1
2
3
4
5
6

6
1
1
0
1
1
0

6
V
X
V
V
V

V
A
X
V
X
A

V
A
X
V
X
A
X

V
A
X
V
X
A
X
X

A
A
A
A
A
A
A
A
A

A
A
A
A
A
A
A
A
A
A

V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V

236

A.
B.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tenttukan Eleme
en Yang ingin
n dikaji : PEL
LAKU
Tentukan Sub Ele
emennya :
Nelayyan
Pemb
budidaya
Bankk (lembaga ke
euangan)
Pemkkab
Pemp
prop
Pemp
pus
Perguruan tinggi
at
Cama
Lurah
h
Masy
yarakat sekita
ar

Rachability Matrix
jenis
Eij
A
0
O
0
V
1
X
1

Eji
1
0
0
1

C. Membua
at tabel SSIM (STRUCTUR
RAL SELF IN
NTERACTION
N MATRIX) aw
wal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
X
X
X
X
X
X
X
1
X
X

237

2
3
4
5
6
7
8
9
10

X
V

D.RM (Reachability Matrix)


1
2
3
1
1
1
1
2
1
1
1
3
1
1
1
4
1
1
1
5
1
1
0
6
1
1
0
7
1
1
0
8
1
1
0
9
1
1
0
10
1
1
1

X
V
X

X
V
X
X

5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

6
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

X
O
A
A
A

7
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

X
V
X
X
X
V

8
1
1
0
0
0
0
1
0
0
1

X
V
X
X
X
V
X

9
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

X
X
A
A
A
X
A
A

10
1
1
1
0
0
0
1
0
0
1

C. Check Transitivity rule


contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
D.RM (Reachability Matrix)
Final
1
2
3
1
1
1
1
2
1
1
1
3
1
1
1
4
1
1
1
5
1
1
0
6
1
1
0
7
1
1
0
8
1
1
0
9
1
1
0
10
1
1
1
D
L

10
1

10
1

E. Revisi SSIM Final


1
2
3
1
V
V

5
2

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1
1
0
0
0
0
1
0
0
1

8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

10
1

10
1

10
1

4
3

10
1

10
1

4
A

5
V

6
V

7
V

8
V

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

9
V

10
A

238

2
3
4
5
6
7
8
9
10

A
A

A
X
V

X
V
V
V

A
X
V
X
A

A
X
V
X
A
X

A
X
V
X
A
X
X

A
A
A
A
A
A
A
A

F. Matrik Driver Power Dependence


D
Data x
y
1
10
10
2
10
10
3
5
9
4
10
8
5
10
7
6
10
7
7
4
9
8
10
7
9
10
7
10
5
10
F. Diagram model
m
struktural

A.
B.
1

Tenttukan Eleme
en Yang ingin
n dikaji : TOL
LOK UKUR
Tentukan Sub Ele
emennya :
Penin
ngkatan jumla
ah dan penda
apatan nelaya
an pembudida
aya

A
A
A
A
A
A
A
A
A

V
V
V
V
V
V
V
V
V
V

239

2
3
4
5
6

Peningkatan PAD
Peningkatan investasi
Keterjaminan pasar
Pengembangan daerah
Peningkatan harga ikan

Rachability Matrix
jenis
Eij
A
0
O
0
V
1
X
1

Eji
1
0
0
1

C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF


INTERACTION MATRIX) awal
1
2
3
4
5
1
V
V
X
V
2
X
A
A
3
O
V
4
O
5
6
D.RM (Reachability Matrix)
1
2
3
4
1
1
1
1
1
2
0
1
1
0
3
0
1
1
0
4
1
1
0
1
5
0
1
0
0
6
1
1
1
0

6
X
X
X
V
A

6
1
0
1
0
1
1

1
1
1
1
0
1

E. Check Transitivity rule


contoh
1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1
2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1
keterangan
1. yang dicek yang hanya nilainya 0
2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
F.RM (Reachability Matrix) Final
1
2
3
4
1
1
1
1
1
2
0
1
1
0
3
0
1
1
0
4
1
1
0
1
5
0
1
0
0
6
1
1
1
0
D
L

3
4

6
1

4
3

2
5

6
1
0
1
0
1
1

1
1
1
1
0
1

4
3

5
2

240

G. Revisi SSIM Final


1
2
3
1
V
V
2
A
3
4
5
6

4
A
A
A

5
V
A
X
V

H. Matrik Driiver Power Dependence


D
Data x
y
1
3
6
2
6
3
3
4
4
4
2
4
5
4
2
6
5
5
I.

Diagram
D
mod
del struktural

6
V
X
V
V
V

241

Lampiran 26. Gambar Dokumentasi Penelitian

1. Pelaksanaan Penelitian

a) Pengambilan data kualitas air

b) Pencatatan koordinat lokasi


pengambilan data

c) Wawancara dengan pembudidaya ikan

d) Wawancara dengan nelayan

242

2. Lokasi Penelitian (Teluk Lampung)

243

3. Aktifitas Budidaya Laut di Teluk Lampung

a) Karamba Jaring Apung untuk budidaya


ikan Cobia

b) Ikan Cobia yang dibudidayakan di KJA

c) Karamba Jaring Apung untuk budidaya


ikan Kerapu

d) Ikan Kerapu yang dibudidayakan di


KJA

244

4. Aktifitas Perikanan Tangkap di Teluk Lampung

a) Penangkapan ikan dengan Bagan kapal

b) Penangkapan ikan dengan Purse


seine

c) Penangkapan ikan dengan bagan tancap

d) Penangkapan dengan pancing

245

5. Jenis Alat Tangkap di Teluk Lampung

a) Bubu dari besi (Pengembangan


Teknologi)

b) Bubu dari bambu (tradiional)

c) Tombak

d) Pancig (pool and line)

246

e) Bagan

f) Jaring insang (gill net)

g) Tramel Net

h) Purse Seine

247

6. Produk Perikanan Budidaya di Teluk Lampung

a) Produk Pembenihan

b) Ikan Cobia hasil budidaya KJA

c) Ikan kerapu hasil budidaya KJA

d) Ikan kerapu hasil KJA

248

7. Produk Perikanan Tangkap

a) Rajungan / hasil tangkapan alat bubu

b) Ikan hasil tangkapan di Teluk


Lampung

c) Udang hasil tangkapan trammel net

c) Jenis- jenis ikan hasil tangkapan di


Teluk Lampung

249

8. Aktifitas Pemasaran Hasil Perikanan di Lokasi Penelitian

a) Pemasaran ikan di pasar ikan

b) Pembelian dan pengangkutan ikan


oleh tengkulak

c) Persiapan pelelangan ikan di TPI

d) Proses pelelangan ikan di TPI

250

Lampiran 27. Ilustrasi Program Cap-Aquadev

Home
Selamat Datang
Status Log in

Menu
SDI

Cap-Aquadev adalah software instan untuk


penunjang pengambilan keputusan (decission
support system) dalam pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya pada suatu
wilayah.
TH

Kesesuaian Lahan
Pemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas
Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan

In Put Data

Menu
SDI
Kesesuaian Lahan
Pemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas
Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan

Produksi
Pelagis
Demersal
Crustacea
Ikan Lainnya
Trip per Tahun
Pelagis
Demersal
Crustacea
Ikan Lainnya

CPUE

Pelagis
Demersal
Crustacea
Ikan Lainnya

MSY

Pelagis
Demersal
Crustacea
Ikan Lainnya

251

In Put Data Lokasi

Menu
SDI
Kesesuaian Lahan
Pemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas
Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan

Faktor Utama
Suhu
Salinitas
DO
TOM
Orthoposfat
Arus
Poluasi
Alga Bloom
Organisme Patogen
Faktor Pendukung
Kedalaman
Keterlindungan
Substrat
Faktor Tambahan
Aspek Legal
Kemudahan Akses
Konflik
Keamanan
Akses dengan Pasar

Hasil
No

Lokasi

Utama

In Put Data Lokasi

Menu
SDI
Kesesuaian Lahan
Pemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas
Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan

Tidak destruktif
Tidak membahayakan
nelayan
Menghaslkan ikan
bermutu
Produk tidak
membahayakan
konsumen
Hasil Tangkapan
terbuang minimum
Dampak terhadap
keaneka ragaman
sumberdaya hayati
minimum
Tidak menangkap
spesies yang dilindungi

Nilai per
Faktor

Nilai
Total

Ket

Nilai
Total

Ket

dst

Hasil
No

Lokasi

Nilai per
Faktor
Utama

dst

252

Menu
SDI
Kesesuaian Lahan
Pemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas
Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan

Menu
SDI
Kesesuaian Lahan
Pemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas
Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan

Input Data

Hasil

Kelayakan komoditas
Ketersediaan dan
kemudahan teknologi
Nilai ekonomis
Peluang pasar
Penyerapan tenaga
kerja
Dampak ganda thd
sektor lain
Dampak terhadap
lingkungan

No

Input Data

Nilai Total

Ket

Hasil
No

Per Jenis Alat


Tangkap dan
Komoditas
Budidaya
Jumlah Modal
Investasi
Modal Kerja
Rugi Laba
Hasil Produksi
Biaya
Operasional
xzc

JenisAlat
Tangkap

Alat Tangkap/
Komoditas

NPV

IRR

B/ C

253

Menu

Input Data

SDI

Hasil

Kesesuaian Lahan
Pemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas
Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan

Perbandingan
Berpasangan
Fokus
Faktor
Tujuan
Alternatif

Input Data

Hasil

Menu
SDI
Kesesuaian Lahan
Pemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas
Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan

Pengguna
Kebutuhan
Kendala
Perubahan
Tujuan
Keberhasilan
Aktivitas yang
Dibutuhkan
Pelaku
Tolok Ukur

Elemen Prioritas dari


setiap elemen

You might also like