You are on page 1of 19

JURNAL AKUNTANSI, MANAJEMEN BISNIS DAN

SEKTOR PUBLIK (JAMBSP)

ISSN 1829 9857

MEMAHAMI PARADIGMA PENELITIAN N0N-POSITIVISME DAN


IMPLIKASINYA DALAM PENELITIAN AKUNTANSI

Ikhsan Budi Riharjo


iksanbd@gmail.com
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ASTRACT
Non positivism research paradigm emphasizes on social-reality comprehension which
regard the reality has multiple characteristics, complicated, apparent, dynamic,
constructed and holistic so that the truth of result findings contain a nature of relativity.
The qualitative research findings are obtained based on the paradigm that is used. The
orientation of non-positivism paradigm as reflected in epistemology, ontology and
methodology can be divided into three catagories, that are: interpretive paradigm,
critical paradigm and post modernism paradigm. Interpretive paradigm research views
that social reality is consciously and actively built own by the person, and every person
have a potential to give what signification to do. The observation of social reality cannot
be generalized just like positivism paradigm. Research on accounting with interpretive
paradigm shows an exhilarating development that colors paradigm diversity that can be
used on research on accounting. Accounting researches that has been done in this
paradigm are as follow: Jervis et al (1995); Granlund (2003); Ludigdo (2006); Rahayu,
Ludigdo dan Affandy (2007); Yudi, Sukoharsono dan Affandy (2008); Sopanah (2009);
Niswatin, Rosidi dan Irianto (2009); Riduwan (2008); Riduwan (2009); dan Chariri dan
Nugroho (2009). Accounting researches that has been done by using critical paradigm
try to explain that practical and theory of accounting can develop continuously
compatible to the ones creativity who aims to do critic, transformation, recovery,
emancipation, disassembling towards phenomena to be researched in order to have a
better understanding. In Indonesia, research on accounting with critical paradigm has
been done by Mulawarman (2007) who aims to formulate the form of syariah cash flow
report completely. While post modernism that is comprehended as all kind of reflection of
critics on modern paradigm and critics on metaphysic in general. Post modernism is not
to find and to prove the truth, but to find problematic and perspective meaning.
Modernists rationality who chase after grand theory and its explanation, is rejected by
the postmodernists and they replace it with differences, opposites, paradox, and enigma.
Postmodernism accounting research has been done by Triyuwono (2007) by using
sufistics analysis Manunggaling Kawulo-Gusti as a tool. While Riduwan et al (2009)
using critical-postmodernism paradigm which is done based on assumptions and beliefs
of critical theory in looking at social reality.
128

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

Key words : non-positivism paradigm, interpretive paradigm, critical paradigm and post
modernism paradigm

PENDAHULUAN
Paradigma penelitian, khususnya dalam ilmu sosial merupakan rerangka berfikir yang
menjelaskan cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial. Paradigma penelitian
penjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah penelitian, dan kriteria
pengujian yang digunakan sebagai dasar dalam menjawab masalah penelitian. Secara
ekstrim paradigma penelitian dapat dibedakan kedalam paradigma positivisme dan
paradigma non-positivisme. Kedua paradigma tersebut dalam penelitian sering disederhanakan menjadi paradigma kuantitatif dan kualitatif, walaupun kenyataannya terdapat
penelitian kualitatif yang berlandaskan pada paradigma positivisme. Penelitian kuantitatif
umumnya dipahami sebagai penelitian yang menekankan pada pengujian teori-teori
melalui pengukuran variabel-variabel penelitian, kemudian menganalisis data dengan
pendekatan statistik yang umumnya bertujuan untuk menguji hipotesis.
Paradigma positivisme sering disebut sebagai paradigma kuantitatif karena semua
datanya diukur dalam angka yang dapat dihitung, kemudian dianalisis dengan pendekatan
statistik. Paradigma positivisme memandang pengetahuan sebagai pernyataan mengenai
keyakinan atau fakta yang dapat diuji secara empiris, dapat dikonfirmasi atau dapat
ditolak. Muhadjir (2000:13) menjelaskan bahwa tujuan penelitian yang berlandaskan
filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang
berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Positivisme menuntut agar penelitian itu
bebas nilai (value free). Mereka mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi
atau hukum yang keberlakukaannya bebas waktu dan tempat.
Penelitian kualitatif (paradigma non-positivisme) menekankan pada memahaman
terhadap realitas sosial. Pendekatan ini memandang realitas tersebut bersifat ganda, rumit,
semu, dinamis, dikonstruksikan dan holistik, sehingga kebenaran temuan penelitian
mengandung sifat relatif (Santana 2010). Model penelitian kualitatif sangat beragam,
karena penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuannya diperoleh berdasarkan
paradigma yang digunakan. Orientasi paradigma sebagaimana tercermin dalam epistemologi, ontologi, dan metodologi dapat dibedakan kedalam tiga kelompok, yaitu: paradigma
interpretif, paradigma kritis, dan paradigma posmodernisme.
Paradigma Interpretif dan Perkembangan Penelitian Akuntansi
Paradigma penelitian interpretif berpandangan bahwa realitas sosial secara sadar dan
secara aktif dibangun sendiri oleh individu, setiap individu mempunyai potensi memberi
makna apa yang dilakukan. Ralitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi
mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

129

orang yang melakukannya. Oleh karena itu, suatu realitas yang diamati oleh seseorang
tidak bisa digeneralisasi seperti halnya pada paradigma positivisme. Menurut Geertz
(dalam Muhadjir 2000:119) tidak ada social fact yang menunggu observasi kita, yang ada
adalah kesiapan peneliti untuk memberi makna atas observasinya.
Menurut Burrel dan Morgan (1979:28), inti dari paradigma interpretif adalah memahami
bentuk fundamental dari dunia sosial pada tingkat pengamatan sosial dan tingkat
pengalaman subjektif seseorang yang bersifat nominalis, antipositivis, voluntarisme dan
ideografis. Paradigma ini adalah produk langsung dari tradisi pemikir sosial aliran idealis
Jerman. Ahli teori dalam paradigma ini adalah Dilthey, Weber, Husserl, dan Schultz yang
berlandaskan pada Teori Kant. Metode penelitian dalam paradigma interpretif adalah:
Etnografi, Etnometodologi, Fenomenologi, Hermeneutik dan Interaksi Simbolik.
Etnografi
Etnografi adalah salah satu jenis metode penelitian yang dianggap sebagai dasar ilmu
antropologi (Muhadjir 2000:129). Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu
kebudayaan, dengan tujuan utama memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai
dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak
dengan cara-cara yang berbeda. Untuk menemukan prinsip-prinsip tersembunyi dari
pandangan hidup yang lain, peneliti harus menjadi murid. Inti etnografi adalah upaya
memperlihatkan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita
pahami. Beberapa makna terekpresikan secara langsung dalam bahasa, atau secara tidak
langsung melalui kata dan perbuatan. Sistem makna merupakan kebudayaan mereka, dan
etnografi selalu mengimplementasikan teori kebudayaan.
Dalam penelitian etnografi, metode utama yang digunakan adalah observasi partisipatif
(terbatas). Metode observasi partisipatif merupakan metode yang lain, yang sangat
berbeda dengan model observasi yang ada. Sasarannya adalah orang atau pelaku, oleh
karena itu, keterlibatannya dengan sasaran yang diteliti terwujud dalam hubunganhubungan sosial dan emosional. Untuk itu, diperlukan metode dan upaya agar apa yang
diinginkan dalam pengamatan yang terlibat akan sampai pada tujuan. Atkinson dan
Hammersley dalam Denzim dan Lincoln (2009:317) menjelaskan bahwa semua
penelitian sosial merupakan semacam observasi partisipan, karena kita tidak dapat
meneliti realitas sosial tanpa menjadi bagian dari realitas itu sendiri. Baik etnografi
maupun observasi partisipan merupakan bidang keilmuan yang menekankan paradigma
interpretif terhadap berbagai keunikan manusia yang bertolak belakang dengan
paradigma positivisme.
Secara praktis, istilah etnografi biasanya mengacu pada bentuk-bentuk penelitian sosial
dengan sejumlah ciri khas sebagai berikut: Atkinson dan Hammersley (dalam Denzim
dan Lincoln 2009:316)

130

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

a. Lebih menekankan upaya eksplorasi terhadap hakekat/sifat dasar fenomena sosial


tertentu, bukan melakukan pengujian hipotesis atas fenomena tersebut.
b. Lebih suka bekerja dengan data tak terstruktur, atau dengan kata lain, data yang belum
dirumuskan dalam bentuk kode sebagai seperangkat katagori yang masih menerima
peluang bagi analisis tertentu.
c. Penelitian terhadap sejumlah kecil kasus, mungkin hanya satu kasus secara detail.
d. Menganalisis data yang meliputi intrepretasi makna dan fungsi berbagai tindakan
manusia secara eksplisit sebagai sebuah produk yang secara umum mengambil
bentuk-bentuk deskripsi dan penjelasan verbal tanpa harus terlalu banyak
memanfaatkan analisis kuantitatif dan statistik.
Etnometodologi
Banyak orang yang menyangka kata etnometodologi adalah suatu metodologi baru dari
etnologi. Padahal ini merupakan dua hal yang tidak ada hubungannya. Etnologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang jenis-jenis atau karakteristik etnis. Sementara menurut
asal kata, etnometodologi berasal dari bahasa Yunani ethnos yang berarti orang (etnis),
methodos yang berarti metoda dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah
etnometodologi adalah sebuah studi atau ilmu tentang metoda yang digunakan orang
awam (etnis) untuk menciptakan perasaan keteraturan sosial (social order) di dalam
situasi di mana mereka berinterasksi (Raho 2007:151).
Tokoh pemrakarsa pendekatan etnometodologi adalah Harold Garfinkel (1950-an) namun
baru disadari oleh profesi-profesi lain setelah akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970an (Poloma 1994:281). Etnometodologi menyangkut studi mengenai kegiatan manusia
sehari-hari khususnya yang terkait dengan aspek-aspek interaksi sosial yang diambil
begitu saja (taken for granted) (Poloma 1994: 284). Etnometodologi Grafinkel ditujukan
untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan common-sense (akal
sehat). Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya
diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti
bersama.
Etnometodologi sebagaimana halnya dengan interaksionisme simbolik merupakan aliran
pemikiran dalam paradigma interpretif (Burrel and Morgan 1979:235). Lahirnya
etnometodologi diawali dengan munculnya teori-teori sosiologi dimana Grafinkel sebagai
pemrakarsa banyak belajar pada para tokoh sosiologi. Oleh karenanya sangat mungkin
pemikiran etnometodologi dipengaruhi oleh pemikiran seperti Alfred Schutz tokoh
fenomenologi, pemikiran interaksionisme-simbolik dan pemikiran Goffman tokoh
dramaturgi.
Munculnya etnometodologi Grafinkel tidak lepas dari pengaruh Alfred Schutz, ahli
fenomenologi yang juga sebagai guru Grafinkel. Harus diakui bahwa banyak konsep
etnometodologi yang diambil dari Fenomenologi Schutz (Raho 2007). Fenomenologi

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

131

Schutz menekankan pentingnya studi tentang bagaimana interaksi menciptakan dan


mempertahankan realitas sosial tertentu. Penekanan pada hakekat dunia yang diterima
begitu saja (taken for granted), dan tentang pentingnya dunia kehidupan sehari-hari
dalam mempertahankan perasaan aktor tentang realitas sosial, merupakan konsep
fenomenologi yang diadopsi oleh etnometodologi.
Dalam Etnometodologi juga dikenal istilah dramaturgi yaitu bagaimana aktor
memanipulasi gerak isyarat untuk menciptakan kesan di sebuah panggung pertunjukkan
(Raho 2007:154). Etnometodologi bukan pada manajemen kesan individu-individu,
melainkan bagaimana aktor-aktor menciptakan perasaan akan realitas yang sama.
Etnometodologi memusatkan perhatian pada teknik-teknik interaksi, bukan untuk
menciptakan kesan-kesan sebagaimana dramaturgi Goffman, melainkan bagaimana
teknik-teknik tersebut bisa mempertahankan suatu perasaan akan realitas sosial.
Fenomenologi
Asumsi dasar dari fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak
lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data,
menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. Sutrisno dan Hanafi (2004:3)
menjelaskan apabila ditinjau dari prinsip dasar yang dikembangkan dalam paradigma
interpretif, prinsip dasar dalam membaca fenomena, adalah:
a. Individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada dilingkungannya berdasarkan
makna sesuatu tersebut pada dirinya;
b. Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu
lain; dan
c. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif
yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya.
Ada dua pendekatan dalam penelitian fenomenologi yaitu: fenomenologi hermeneutik
dan empiris, fenomenologi transendetal atau psikologi Van Manen (dalam Creswell
1997). Pandangan Hermeneutik berkaitan dengan menginteprestasikan dan memahami
hasil pemikiran manusia yang memberikan ciri pada dunia sosial dan kultural. Dilthey
menyatakan bahwa salah satu hal utama dalam suatu metode pemahaman untuk
pandangan ini adalah penelitian tentang tampilan kehidupan empiris-institusi, situasi
masa lampau, bahasa lainnya yang mencerminkan kehidupan inti dari penciptanya.
Penelitian tentang penciptaan sosial ini dilihat sebagai hal utama untuk memahami dunia
dari pikiran obyektif.
Pandangan Fenomenologi Transendental banyak mendapatkan kontribusi dari Husserl
dimana pada penelitian-penelitian awalnya, menyatakan bahwa sains sangat ditentukan
oleh karakter intensionalitas. Husserl mencoba untuk meneliti dengan menggunakan
analisis kesadaran, dimana dia mengesampingkan realitas dan mencoba menembus
berbagai tingkatan fenomena, atau bisa dikatakan bahwa dia mencoba untuk

132

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

mengaplikasikan fenomenologi. Menurut Husserl, pengetahuan adalah hal yang paling


natural di dunia secara pandangan pre-filosofis atau bisa diasumsikan sebagai misteri.
Dalam analisisnya, dia berusaha mencari bukti utama yang absolut seperti fenomena,
dalam bentuk utuh, jelas dan tidak perlu suatu penjelasan mengenai bentuknya. Namun
akhirnya, dia mencoba untuk mengatasi masalah ini dengan mengadakan interaksi antar
individu untuk memunculkan ego transendental sehingga terdapat komunitas intersubyektif, yang pada gilirannya akan membentuk suatu dunia obyektifitas.
Hermeneutik
Selain fenomenologi, hermeneutik merupakan metode yang menjadi dasar sangat penting
dan mewarnai penelitian kualitatif dengan paradigma interpretif. Smith (dalam Sutopo
2002: 26) menyatakan hermeneutik mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh
makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Artinya kita melakukan interpretasi
atas interpretasi yang telah dilakukan oleh pribadi atau kelompok manusia terhadap
situasi mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pola pikir fenomenologi yang melihat
makna dari pandangan subyek yang dikaji. Setiap peristiwa atau karya memiliki makna
dari interpretasi para pelaku atau pembuatnya. Karya atau peristiwa yang merupakan
interpretasi atas sesuatu tersebut selanjutnya menghadapi pembaca atau pengamatnya,
dan ditangkap dengan interpretasi pula.
Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, jika
dikaitkan dengan strukturalisme termasuk strukturalisme semantik. Adapun logika
hermeneutik termasuk logika linguistik semantik. Pemaknaan hermeneutik konvensional
berdasar sumber tunggal. Sumber tunggal yang linguistik adalah struktur bahasa, adapun
yang sosial adalah struktur sosial (Muhadjir 2000:315)
Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik adalah salah satu model pendekatan penelitian yang berusaha
mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksi simbolik adalah
fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga
memanfaatkan fenomenologi, interaksi simbolik memiliki paradigma penelitian
tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih
mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan
aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih
banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh
peneliti budaya dan bahkan penelitian dibidang ilmu-ilmu yang lain.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia yang terpantul dalam
komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi sebuah
komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi antar warga setempat.
Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya
tugas peneliti menemukan makna tersebut.

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

133

Muhadjir (2007:190) menjelaskan konsep interaksi simbolik bertolak dari setidaknya


tujuh proposisi dasar yaitu: pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik
yang menggejala. Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam
interaksi sosial. Ketiga, bahwa masyarakat manusia itu merupakan proses yang
berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, prilaku
manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas
maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatik.
Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Keenam, perilaku manusia
itu wajar dan konstruktif kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu digunakan
metode introspeksi simpathetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap
makna.
Selanjutnya prinsip metodologi dalam interaksi simbolik juga dijelaskan oleh Muhadjir
(2007:192). Prinsip metodologi yang pertama adalah, simbol dan interaksi itu menyatu,
tak cukup jika merekam fakta, kita harus mencari yang lebih jauh, yaitu mencari konteks
sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya. Prinsip kedua, karena simbol dan makna
itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subyek perlu dapat ditangkap. Prinsip ketiga
adalah, peneliti harus mengkaitkan antara simbol dengan jati diri dengan lingkungan dan
hubungan sosial. Prinsip keempat, hendaknya direkam situasi yang menggambarkan
simbol dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensualnya saja. Prinsip kelima,
metode-metode yang digunakan hendaknya mampu merefleksikan bentuk perilaku dan
prosesnya. Prinsip keenam, metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna
dibalik interaksi. Dan prinsip ketujuh mengemukakan bahwa sensitizing (yaitu sekedar
mengarahkan pemikiran) itu yang cocok dengan interaksionosme simbolik, dan ketika
mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi lebih operasional, menjadi scientific
concepts (yaitu konsep yang lebih definitif).
Asumsi-asumsi dalam Paradigma Interpretif
Asumsi-asumsi dominan dalam paradigma interpretif menurut Chua (1986):
a. Keyakinan tentang pengetahuan.
1) Menggali penjelasan ilmiah atas human itention. Kecukupan data digali melalui
kriteria konsistensi logis, interpretasi subjektif dan persesuaian dengan
interpretasi common sense si aktor.
2) Etnografi, studi kasus dan observasi partisipan menjadi cara penggalian. Aktor
diteliti dalam kehidupannya sehari-hari.
b. Keyakinan tentang realitas fisik dan sosial.
1) Realitas sosial muncul, dihasilkan secara subjektif dan melalui interaksi manusia.
2) Semua tindakan memiliki makna dan intensi yang saling mendukung secara
retrospektif dan berpijak dalam praktik sosial dan historis.
3) Asumsi ada aturan sosial. Konflik dimediasi oleh skema umum tentang makna
sosial.

134

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

c. Hubungan antara praktik dan teori.


Teori hanya untuk menjelaskan tindakan dan memahami bagaimana aturan sosial
diproduksi dan direproduksi.
Soetriono dan Hanafie (2004:3) juga menjelaskan bahwa prinsip dasar yang
dikembangkan dalam paradigma interpretif, disusun berdasarkan asumsi bahwa setiap
individu bisa melihat dirinya sendiri sebagaimana dia melihat orang lain. Individu juga
tidak pasif, artinya memiliki kemampuan membaca situasi yang melingkupi hidupnya.
Pola interaksi yang dikembangkan oleh individu dalam aktivitas sosialnya terutama
ditentukan oleh bagaimana individu tersebut menafsirkan situasi yang melingkupi
hidupnya.
Paradigma Interpretif dalam Penelitian Akuntansi
Harus diakui bahwa paradigma positivisme dalam penelitian akuntansi secara mainstream
masih mendominasi, namun pada beberapa tahun terakhir penelitian akuntansi dengan
paradigma interpretif menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, yang
mewarnai keragaman paradigma yang dapat digunakan dalam penelitian akuntansi.
Penelitian dengan paradigma interpretif antara lain dilakukan oleh Jervis et al (1995)
yang melakukan penelitian terhadap perusahaan kecil yang dimiliki secara pribadi dengan
paradigma interpretif dengan metode etnometodologi. Model yang mereka gunakan
dinamakan ethnoaccounting untuk menangkap realitas bisnis, dengan demikian diperoleh
praktik yang berguna secara aktual dan bagaimana praktik tersebut dapat digunakan oleh
perusahan kecil. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa para pemilik lebih banyak
menggunakan judgement disamping standar akuntansi yang ada. Penelitian lainnya yang
menggunakan paradigma dan metode yang sama dilakukan oleh Granlund (2003), hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa perilaku individu sangat berperan penting dan
krusial dalam proses setelah merger dan akuisisi. Faktor eksternal diluar aktor seperti
tujuan yang ambigu, konflik budaya, dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan
tidak mempengaruhi proses pembentukan pranata baru tersebut.
Di Indonesia, beberapa contoh penelitian akuntansi dengan paradigma interpretif
dilakukan oleh Ludigdo (2006) yang menggunakan metode etnometodologi dalam
memahami praktik etika di kantor akuntan publik. Penelitian paradigma interpretif
dengan metode fenomenologi juga mengalami perkembangan yang berarti. Penelitian
fenomenologi di Indonesia antara lain dilakukan oleh: Rahayu, Ludigdo dan Affandy
(2007) yang mengeksplorasi pemahaman atas fenomena penganggaran daerah, sedangkan
tujuan penelitinnya adalah memahami perilaku aparatur dalam proses penyusunan
anggaran daerah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Provinsi Jambi;
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Yudi, Sukoharsono dan Affandy (2008) yang
mengeksplorasi pemahaman atas implementasi pengendalian akuntansi sektor publik
yang diterapkan di kota Pusako, khususnya yang berkaitan dengan efektifitas
pengendalian akuntansi sektor publik; dan Sopanah (2009) menjelaskan fenomena

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

135

partisipasi yang terjadi dalam proses penyusunan APBD di Pemerintah Kota Malang;
Sedangkan penelitian yang dilakukan Niswatin, Rosidi dan Irianto (2009) menggunakan
studi fenomenologi atas refleksi kinerja manajemen perbankan syariah dalam perspektif
amanah.
Penelitian paradigma interpretif dengan metode hermeneutik dilakukan oleh Riduwan
(2008) yang mengungkapkan kandungan informasi laba akuntansi berdasarkan
interpretasi tentang realitas yang direpresentasikan oleh laba akuntansi. Tujuan
penelitiannya adalah: (1) memperoleh bukti empiris tentang kesimetrisan interpretasi laba
akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan. Sebagai simbol yang digunakan dalam
komunikasi, laba yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi seharusnya dimaknai secara
sama, karena hanya dengan demikian komunikasi menjadi efektif; (2) memperoleh bukti
empiris tentang pemahaman akuntan dan non-akuntan terhadap konsep laba yang
digunakan dalam rerangka konseptual akuntansi. Pihak-pihak yang berkepentingan
dengan informasi laba diasumsikan telah memahami konsep laba yang dianut dalam
akuntansi ini, karena hanya dengan demikian mereka tidak menginterpretasikan laba
akuntansi berdasarkan persepsinya masing-masing. Hasil penelitian ini menunjukkan
fakta bahwa laba akuntansi diinterpretasikan secara berbeda oleh komunitas akuntan dan
non-akuntan.
Penelitian akuntansi dengan interpretif dengan metode hermeneutik lainnya juga
dilakukan oleh Riduwan (2009). Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab serta tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah akuntan, investor,
kreditor, dan pemeriksa pajak memaknai praktik manajemen laba yang dilakukan oleh
para manajer? (2) bagaimakah pendapat, sikap atau tanggapan akuntan, investor, kreditor,
dan pemeriksa pajak atas praktik manajemen laba tersebut?
Hasil penelitian Riduwan (2009) menunjukkan bahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan
dalam penelitian ini masih kontroversial, sesuai dengan perspektif masing-masing
informan penelitian. Para akuntan (akuntan pendidik, akuntan manajemen, dan akuntan
publik) maupun pemeriksa pajak, menyatakan bahwa manajemen laba tidak dapat
disamakan dengan manipulasi laba, dan bukan pula perilaku koruptif, sepanjang
dilakukan dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum. Sedangkan penasihat
investasi dan analis kredit yang menjadi sasaran dan menghadapi dampak langsung
maupun tidak langsung dari praktik manajemen laba, menyatakan bahwa manajemen laba
tidak berbeda dengan tindakan memanipulasi laba. Praktik manajemen laba merupakan
refleksi dari perilaku koruptif yang termotivasi oleh pikiran-pikiran yang terkorupsi. Para
pelaku manajemen laba maupun pihak yang mengatakan bahwa manajemen laba bukan
perilaku koruptif, mereka pandang sebagai pihak-pihak yang telah mendistorsi makna
kata manajemen dari makna luhur menjadi makna yang berkonotasi buruk. Dalam
pandangan penasihat investasi dan analis kredit, manajemen laba merupakan praktik yang

136

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

tidak dapat diterima, karena mendistorsi informasi keuangan, dan menjadikan laporan
keuangan berpihak pada kepentingan manajer.
Penelitian paradigma interpretif dengan pendekatan semiotik dilakukan oleh Chariri dan
Nugroho (2006), yang menganalisis retorika yang digunakan manajemen dalam
pelaksanaan sustainability reporting, dan berusaha menjawab pertanyaan bagaimana dan
mengapa suatu perusahaan mengungkapkan informasi corporate social responsibility
(CSR) dalam laporan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan perusahaan (Aneka
Tambang/Antam) mengungkapkan informasi CSR dalam bentuk cerita retorik untuk
membentuk image positif bahwa Antam menjalankan kegiatan bisnisnya dengan tetap
menaruh perhatian pada isu sosial dan lingkungan. Hal ini dilakukan untuk
mengendalikan stakeholders sebagai audien sekaligus untuk memperoleh legitimasi dari
stakeholdersnya. Dari analisis semiotik dapat disimpulkan bahwa ada beberapa alasan
mengapa Antam mengungkapkan dan melaporkan pelaksanaan sustainability secara
terpisah dari laporan tahunan. Alasan-alasan tersebut di antaranya sustainabilty report
sebagai alat komunikasi manajemen, Sustainability report sebagai cerita retorik Antam,
untuk memperoleh image baik dari stakeholder dan untuk memperoleh legitimasi dari
stakeholder.

PARADIGMA KRITIS DAN PERKEMBANGAN KRITIS AKUNTANSI


Teori kritis merupakan sekumpulan asumsi, konsep, proposisi-proposisi yang diyakini
oleh seseorang atau sekelompok orang dan digunakan sebagai dasar untuk mengenali,
menganalisis, dan menilai sesuatu (realitas). Sebagai dasar dalam mengemukakan opini
dan kritik tentang realitas. Aliran kritis sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu
paradigma, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana
atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham
tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo-Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme,
Partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara. Muhadjir (2000:199) menjelaskan lima model teori kritis yang dikembangkan oleh berbagai cabang ilmu,
yaitu: teori kritis Freirian, teori kritis dalam studi Sosiologi, teori kritis Habermas,
realisme metaphisik, dan teori kritis yang lain seperti Hermeneutik, Ethnography, dan
Feminisme.
Melalui pendekatan kritis kita akan melihat suatu teori itu bukan saja terletak pada upaya
menempatkan ideologi sebagai bentuk pemikiran akan tetapi juga akan mencoba
mengkaji. Muhadjir (2000:196) mengetengahkan bahwa pandangannya tentang teori
kritis berpijak dari pendapat Patti Lather, di mana pendekatan teori kritis termasuk
pendekatan era pospositif, yang mencari makna di balik yang empiri, dan menolak value
free.

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

137

Critical theory mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial yang lebih adil. Dua
asumsi dasar yang menjadi landasan, yaitu: pertama, ilmu sosial bukan sekedar
memahami ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi sumber daya,
melainkan berupaya untuk membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam
kehidupan; kedua, pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral untuk mengkritik
status quo dan membangun masyarakat yang lebih adil (Muhadjir 2000:197).
Dilihat dari segi ontologis, paradigma kritis sama dengan post-positivisme yang menilai
objek atau realitas secara kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar
oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini secara metodologis
paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran
realitas yang hakiki. Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dengan realitas
yang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, karena itu, aliran ini
lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan,
karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan
kebenaran tentang suatu hal.
Asumsi-asumsi dalam Paradigma Kritis
Asumsi-asumsi dominan dalam paradigma kritis menurut Chua (1986):
a. Kriteria untuk memutuskan teori adalah sementara dan terbatas dalam konteks.
Biasanya menggunakan studi historis riset etnografis dan studi kasus.
b. Keyakinan tentang realitas fisik dan sosial. Manusia mempunyai potensi dalam
dirinya yang diasingkan (dicegah dari kekawatiran yang penuh) melalui pembatasan
mekanisme. Obyek-obyek yang dapat dipahami melalui sebuah studi tentang
perubahan dan perkembangan historis obyek tersebut dalam sebuah totalitas
hubungan.
1) Realitas empiris dikarakteristikan melalui tujuan, hubungan riil yang diubah dan
diproduksi kembali berdasarkan interpretasi subyektif.
2) Perhatian manusia, rasionalitas dan keagenan diterima, namun hal ini dianalisis
secara kritis berdasarkan sebuah keyakinan bahwa idologi dan kesadaran itu
adalah palsu.
3) Konflik yang mendasar adalah penyakit masyarakat. Konflik timbul karena
adanya ketidak adilan dan idologi dalam ilmu sosial, ekonomi dan politik
mangaburkan dimensi kreatif manusia
c. Hubungan antara praktik dan teori.
Teori memiliki suatu pemaksaan kritis yaitu pengidentifikasian dan penggantian
praktik-praktik dominasi dan idologi.
Paradigma Kritis dalam Penelitian Akuntansi
Penelitian akuntansi berbasis paradigma kritis berusaha untuk menjelaskan bahwa teori
dan praktik akuntansi dapat berkembang terus sesuai dengan kreatifitas peneliti dalam
akuntansi yang bertujuan melakukan kritik, transformasi, pemulihan, emansipasi,

138

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

pembongkaran terhadap suatu fenomena yang diteliti agar dipahami lebih baik. Penelitian
akuntansi kritis merupakan suatu proses pengungkapan praktik akuntansi melampaui
penampakan di permukaan yang menurut pandangan peneliti didominasi oleh ilusi
(Efferin et al 2004: 27). Teori dan praktik akuntansi juga diciptakan oleh manusia sebagai
penguasa yang memanipulasi, mengkondisikan, dan mencuci-otak (brain-wash) orang
lain agar memahami atau menginterpretasikan akuntansi sesuai dengan interpretasi yang
diinginkan oleh yang berkuasa. Melalui paradigma kritis, diharapkan ilmu-ilmu sosial
khusunya akuntansi akan terus berkembang berani menentang hegemoni kapitalisme.
Penelitian akuntansi kritis diharapkan dapat memperjuangkan ide peneliti yang ingin
membawa perubahan substansial, yang didukung dengan pemahaman yang diperoleh
peneliti tentang fenomena akuntansi berdasarkan fakta di lapangan, dilengkapi dengan
analisis dan pendapat berdasarkan keyakinan pribadi, dengan didukung oleh argumentasi
yang memadahi.
Penelitian akuntansi dengan paradigma kritis dilakukan oleh Mulawarman (2007) yang
bertujuan merumuskan bentuk Laporan Arus Kas Syariah secara utuh. Metodologi yang
digunakan adalah metodologi Hiperstrukturalisme Islam Terintegrasi (HIT) yang
diperluas. Metodologi HIT dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme dan
postrukturalisme sekaligus melampaui (hyper) keduanya dalam kerangka Teknosistem
yang dipayungi nilai-nilai Islam.

PARADIGMA POSMODERNISME
DAN PERKEMBANGAN PENELITIAN AKUNTANSI
Istilah posmodernisme dipahami sebagai segala bentuk refleksi kritis atas paradigma
modern dan atas metafisika pada umumnya. Konsep posmo pertama kali muncul di
lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur,
sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan
ruang. Istilah posmodern pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun
1930-an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Prancis dan
Amerika Latin. Jean-Francois Lyotard dikenal sebagai tokoh yang pertama kali
mengenalkan konsep Posmodernisme dalam filsafat. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Posmodernnya berkembang
setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme,
runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian Auschwitch
yang tak terfahami secara rasional.
Muhadjir (2000:236) menjelaskan benang merah pola fikir era modern adalah yang
rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis, yaitu: dominannya
rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: paradigma positivisme membuat
generalisasi dari frekuensi dan variansi, paradigma interpretif membuat kesimpulan

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

139

generatif dari esensi; paradigma positivis menguji kebenaran dengan uji validitas,
paradigma interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori
kritis masih mengejar grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu
pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan
mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh
fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237)
berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas
pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal,
dan heterarkhik, tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan
mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan
problematis; logika yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996),
logika discovery menurut Muhadjir (1997), atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernis yang mengejar grand theory dan jabarannya, ditolak oleh
posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites),
paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern
merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi
baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk
mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah Postpositivistik FenomenologikInterpretif Logik dan Etik, misalnya berupa model Interpretif Geertz, Grounded
Research, Ethnografik-Etnometodologik, Paradigma Naturalistik, Interaksionisme
Simbolik dan Model Kontruktivist. Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi,
kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis,
sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang
kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya
in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang
benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar
berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun
masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi
terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan
diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan
banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya
mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia.
Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala
yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk
menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis
atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari
innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta

140

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran
keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia
berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana
temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil
rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansi kebenarannya
pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial,
imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah
imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash
Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan
rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika
masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun
menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya
(Muhadjir 2000).
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama,
temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti
listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia,
umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf
latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced
research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer,
satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti
sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Bagaimana posmodernisme bekerja? Dalam memandang sebuah realitas pikiran
digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan
oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial, kebenaran sama
dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Posmodernisme
mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak
menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal
(pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Posmodernisme adalah pandangan dunia yang
menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, posmodernisme mengatakan bahwa
tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam
persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Salah satu dari elemen
utama dari posmodernisme adalah constructedness of reality and hence the inaccessibility
of the Real. Posmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas)
adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain.
Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan
mengkonstruk identitas diri.
Adian (2006) menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan barat modern. Sikap
kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang
menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

141

modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang


dinamakan postmodernisme. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi
diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana
sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat
konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi
gaya hidup. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini
adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan
otonom.
Menurut Hardiman (2002) modernitas yang kita alami sekarang adalah suatu modernitas
yang terdistorsi. Artinya, ada sebuah konsep normatif mengenai modernitas yang
kemudian secara faktual disimpangkan oleh tendensi-tendensi historis tertentu yaitu
kapitalisme, sehingga modernitas yang ada adalah modernitas kapitalis. Habermas
selanjutnya ingin menemukan bagaimana modernisasi merupakan proses rasionalisasi
dengan paradigma tunggal dengan mempertahankan rasionalisasi kebudayaan,
masyarakat dan kepribadian dengan rasionalisasi komunikatif. Kalau rasionalisasi
berjalan sesuai dengan isi normatifnya, modernisasi akan menjamin integrasi
kebudayaan, masyarakat dan sosialisasi.
Dalam bidang akuntansi penyatuan teori dan/atau praktik yang dianggap dualistik atau
dikotomis dalam Paradigma posmodernisme memfokuskan pada dunia modern (seperti:
akal dan intuisi, agama dan ilmu, ilmu dan etika, bentuk dan substansi, egoistik dan
altruistik, kompetisif dan kooperasif, dan lain-lain) ke dalam jaringan sinergis. Dengan
demikian posmodernisme bersifat mutually inclusive dan holistik. Pendekatan ini juga
membahas akuntansi dalam konteks sosial di lingkungan yang hybrid, siklikal, interseksi
dan turbulen. Akuntansi Posmodern bersumber pada pemahaman kemajemukan
metodologi untuk mencerahkan akuntansi dalam fenomena politik, sosial, budaya dan
teknologi informasi.
Penelitian akuntansi dengan paradigma postmodernisme dilakukan oleh Triyuwono
(2007) yang mencoba untuk memberikan kontribusi dalam bentuk rumusan nilai-tambah
syariah (Shariah value-added). Dari hasil studi ini diharapkan menjadi tambahan
pengkayaan bagi teori akuntansi syariah. Di samping itu juga diharapkan bahwa
accounting setter dapat mempertimbangkan konsep ini untuk diaplikasikan pada bank
syariah di Indonesia.
Pendekatan penelitian yang digunakan Triyuwono (2007) adalah kualitatif posmodern,
studi ini menggunakan alat analisis filsafat sufistik Manunggaling Kawulo-Gusti. Tentu
saja dalam studi ini tidak membicarakan konsep manunggaling Kawulo-Gusti dalam
pengertian jalan mistik kepada Tuhan, tetapi sebaliknya direduksi dalam bentuk
pengertian konsep dasar filsafat kemanunggalan. Pada tataran ilmiah, Manunggaling
Kawulo-Gusti ini pada dasarnya adalah melakukan upaya sinergi, atau penggabungan,

142

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

atau perpaduan antara dua hal atau lebih yang berbeda. Upaya penggunaan Manunggaling
Kawulo-Gusti ini semata-mata dilakukan karena konsep tersebut adalah sesuai dengan
sunnatullah, baik dalam pengertian ayat-ayat qauliyyah maupun ayat-ayat kauniyyah.
Dengan menggunakan konsep tersebut diharapkan bahwa formulasi nilai-tambah syariah
tetap selaras dengan tujuan akuntansi syariah yang ingin membangkitkan kesadaran
keTuhanan para penggunanya.
Hasil penelitian Triyuwono (2007) merumuskan bahwa nilai-tambah syariah meliputi
nilai-tambah ekonomi, nilai-tambah mental, dan nilai-tambah spiritual di mana cara
perolehan, pemrosesan, dan pendistribusiannya dilakukan secara halal. Bentuk nilaitambah semacam ini memang lebih kompleks jika dibandingkan dengan nilai-tambah
ekonomi yang modern. Oleh karena itu, studi syariah ini terus tetap dibutuhkan.
Penelitian akuntansi lainnya dengan paradigma postmodernisme dilakukan oleh Riduwan
et al (2009) tujuan penelitiannya adalah (1) memahami penafsiran akuntan dan nonakuntan atas laba akuntansi dan (2) melakukan pencarian makna (semiotika) secara
dekonstruktif atas penafsiran laba akuntansi untuk mengungkap realitas yang tersembunyi
di balik penafsiran tersebut. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma kritis-posmodern (critical-postmodern paradigm) yang dilakukan berdasarkan
asumsi-asumsi dan keyakinan dari teori kritis (critical theory) dalam memandang realitas
sosial.
Penelitian yang dilakukan Riduwan ini berpijak pada asumsi, pola pikir atau keyakinan
berikut: (1) praktik akuntansi (khususnya akuntansi keuangan) bukanlah sesuatu yang
bersifat given, atau ada seperti apa adanya, tetapi diciptakan oleh pihak yang memiliki
kuasa, yaitu akuntan. Akuntan memiliki kuasa untuk menciptakan praktik akuntansi dan
mengarahkan pihak lain untuk menjalankan dan memahami praktik akuntansi seperti
yang diinginkan. (2) teori dan praktik akuntansi sarat dengan nilai, dan karenanya,
netralitas dan objektivitas yang dilekatkan sebagai karakteristik kualitatif informasi
akuntansi dapat memunculkan mitos (ilusi) di masyarakat tentang netralitas dan
objektivitas informasi akuntansi. (3) tindakan praksis yang dilakukan oleh individu
(akuntan dan non-akuntan) sering terdorong oleh keadaan yang tidak dikenalinya. Banyak
hal yang mereka lakukan didasari oleh kesadaran semu, dan kesadaran semu tersebut
menjadi abadi melalui ideologi, hegemoni, reifikasi, kuasa, dan metafisika kehadiran. (4)
teori yang mendorong praktik akuntansi berjalan di atas kesadaran semu harus disikapi
secara kritis, dan dipandang perlu adanya pemikiran untuk perubahan.

PENUTUP
Berbagai paradigma penelitian non-positivisme memberikan ruang yang begitu luas
dalam melakukan kajian di bidang akuntansi. Perkembangan penelitian akuntansi dalam

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

143

berbagai paradigma tersebut, diharapkan dapat mendorong perkembangan teori dan


praktik akuntansi sesuai dengan kreatifitas peneliti, yang bertujuan melakukan kritik dan
transformasi terhadap fenomena yang diteliti.
Penelitian dengan paradigma posivisme kuantitatif lebih tepat digunakan pada
permasalahan yang sudah jelas, data yang terukur dan penelitian dimaksudkan untuk
menguji hipotesis (untuk menguji teori). Penelitian kuantitatif dimaksudkan untuk
membuat generalisasi, sedangkan paradigma non positivisme dimaksudkan untuk
memahami realitas sosial secara mendalam. Oleh karena itu, perbedaan paradigma
tersebut tidak perlu dipertentangkan dalam penelitian akuntansi, yang perlu diperhatikan
adalah kesesuaian tujuan penelitian dengan paradigma yang akan digunakan untuk
menjawab tujuan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Burrel, G. dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis.
New York: Ashgate Publishing Company.
Chariri, Anis. dan Nugroho, Firman Aji. 2006. Retorika dalam Pelaporan Corporate
Social Responsibility: Analisis Semiotik atau Sustainability Reporting PT. Aneka
Tambang. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang.
Creswell, John. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design, second edition, Sage
Publication Inc, New Delhi India.
Cua, Wai Fong. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting
Review. LXI(4): 601-632.
Denzim K., Norman dan Lincoln S., Yvonna. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Efferin, K., S.H. Darmadji dan Y. Tan. 2004. Metode Penelitian Akuntansi: Sebuah
Pendekatan Praktis. Edisi 1. Banyumedia Publishing. Malang
Granlund, Markus. 2003. Management accounting system integration in corporate
mergers: A case study. Accounting, Auditing & Accountability Journal. 16(2):
208-243.

144

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

Hardiman, F.Budi. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Pustaka Filsafat.


Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Jarvis, Robin, J. Curran, J. Kitching and G.Lightfoot. 1995 Ethno-Accounting in Small
Firms: Some Preliminary Considerations, Occasional Paper Series. Kingston
Business School, Kingston University.
Ludigdo, Unti. 2006. Strukturasi Praktik Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Studi
Interpretif. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.
Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake
Sarasin.
_____________. 2007. Metodologi Keilmuan: Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed. Edisi V Revisi. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Mulawarman, Aji Dedi. 2007. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah Berbasis
Maisyah: Diangkat dari Habitus Bisnis Muslim Indonesia. Simposium Nasional
Akuntansi X. Makasar.
Niswatin. Rosidi dan Irianto, Gugus. 2009. Refleksi Kinerja Manajemen Perbankan
Syariah dalam Perspektif Amanah: Sebuah Studi Fenomenologis. Simposium
Nasional Akuntansi XII. Palembang.
Poloma, M. Margaret. 1994. Sosiologi Kontemporer. Diterjemahkan dari Contemporary
Sociological Theory. Third Edition. Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Penerbit Prestasi Pustaka
Publisher.
Rahayu, Sri. Ludigdo, Unti dan Affandy Didied. 2007. Studi Fenomenologi Terhadap
Proses Penyusunan Anggaran daerah Bukti Empiris dari Satuan Kerja Perangkat
Daerah di Provinsi Jambi. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar.
Riduwan, Akhmad. 2008. Realitas Referensial Laba Akuntansi Sebagai Refleksi
Kandungan Informasi: Studi Interpretif-Kritis Dari Komunitas Akuntan dan NonAkuntan. Simposium Nasional Akuntansi XI. Pontianak.
_______________. 2009. Etika dan Perilaku Koruptif dalam Praktik Manajemen Laba:
Studi Hermeneutik-Kritis. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang.

Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme Dan Implikasinya (Ikhsan Budi Riharjo)

145

Riduwan, Akhmad. Triyuwono, Iwan. Irianto, Gugus dan Ludigdo, Unti. 2009. Semiotika
Laba Akuntansi: Studi Kritikal-Posmodernis Derridean. Simposium Nasional
Akuntansi XII. Palembang.
Santana K., Septiawan. 2010. Menulis Ilmiah: Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi
Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soetriono dan Hanafie Rita. 2004. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Jember:
Penerbit Universitas Jember.
Sopanah. 2009. Studi Fenomenologis: Menguak Partisipasi Masyarakat dalam Proses
Penyusunan APBD. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang.
Spradley, J.P. 1997. Metoda Etnografi. Diterjemahkan dari The Ethnographic Interview.
Jogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana.
Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Pertama. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Triyuwono, Iwan. 2007. Mengangkat Sing Liyan Untuk Formulasi Nilai Tambah
Syariah. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar.
Yudi. Sukoharsono, Eko ganis dan Affandy Didied. 2008. Studi Fenomenologis Terhadap
Pelaksanaan Pengendalian Akuntansi Sektor Publik pada Satuan Kerja Pengelola
Keuangan Daerah kota Pusako di Provinsi Jambi dalam Pemahaman
Functionalism Structural Parsons. Simposium Nasional Akuntansi XI. Pontianak.

146

JAMBSP Vol. 8 No. 1 Oktober 2011: 128 146

You might also like