Professional Documents
Culture Documents
Memahami Paradigma Penelitian N0N-Positivisme Dan Implikasinya Dalam Penelitian Akuntansi
Memahami Paradigma Penelitian N0N-Positivisme Dan Implikasinya Dalam Penelitian Akuntansi
ASTRACT
Non positivism research paradigm emphasizes on social-reality comprehension which
regard the reality has multiple characteristics, complicated, apparent, dynamic,
constructed and holistic so that the truth of result findings contain a nature of relativity.
The qualitative research findings are obtained based on the paradigm that is used. The
orientation of non-positivism paradigm as reflected in epistemology, ontology and
methodology can be divided into three catagories, that are: interpretive paradigm,
critical paradigm and post modernism paradigm. Interpretive paradigm research views
that social reality is consciously and actively built own by the person, and every person
have a potential to give what signification to do. The observation of social reality cannot
be generalized just like positivism paradigm. Research on accounting with interpretive
paradigm shows an exhilarating development that colors paradigm diversity that can be
used on research on accounting. Accounting researches that has been done in this
paradigm are as follow: Jervis et al (1995); Granlund (2003); Ludigdo (2006); Rahayu,
Ludigdo dan Affandy (2007); Yudi, Sukoharsono dan Affandy (2008); Sopanah (2009);
Niswatin, Rosidi dan Irianto (2009); Riduwan (2008); Riduwan (2009); dan Chariri dan
Nugroho (2009). Accounting researches that has been done by using critical paradigm
try to explain that practical and theory of accounting can develop continuously
compatible to the ones creativity who aims to do critic, transformation, recovery,
emancipation, disassembling towards phenomena to be researched in order to have a
better understanding. In Indonesia, research on accounting with critical paradigm has
been done by Mulawarman (2007) who aims to formulate the form of syariah cash flow
report completely. While post modernism that is comprehended as all kind of reflection of
critics on modern paradigm and critics on metaphysic in general. Post modernism is not
to find and to prove the truth, but to find problematic and perspective meaning.
Modernists rationality who chase after grand theory and its explanation, is rejected by
the postmodernists and they replace it with differences, opposites, paradox, and enigma.
Postmodernism accounting research has been done by Triyuwono (2007) by using
sufistics analysis Manunggaling Kawulo-Gusti as a tool. While Riduwan et al (2009)
using critical-postmodernism paradigm which is done based on assumptions and beliefs
of critical theory in looking at social reality.
128
Key words : non-positivism paradigm, interpretive paradigm, critical paradigm and post
modernism paradigm
PENDAHULUAN
Paradigma penelitian, khususnya dalam ilmu sosial merupakan rerangka berfikir yang
menjelaskan cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial. Paradigma penelitian
penjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah penelitian, dan kriteria
pengujian yang digunakan sebagai dasar dalam menjawab masalah penelitian. Secara
ekstrim paradigma penelitian dapat dibedakan kedalam paradigma positivisme dan
paradigma non-positivisme. Kedua paradigma tersebut dalam penelitian sering disederhanakan menjadi paradigma kuantitatif dan kualitatif, walaupun kenyataannya terdapat
penelitian kualitatif yang berlandaskan pada paradigma positivisme. Penelitian kuantitatif
umumnya dipahami sebagai penelitian yang menekankan pada pengujian teori-teori
melalui pengukuran variabel-variabel penelitian, kemudian menganalisis data dengan
pendekatan statistik yang umumnya bertujuan untuk menguji hipotesis.
Paradigma positivisme sering disebut sebagai paradigma kuantitatif karena semua
datanya diukur dalam angka yang dapat dihitung, kemudian dianalisis dengan pendekatan
statistik. Paradigma positivisme memandang pengetahuan sebagai pernyataan mengenai
keyakinan atau fakta yang dapat diuji secara empiris, dapat dikonfirmasi atau dapat
ditolak. Muhadjir (2000:13) menjelaskan bahwa tujuan penelitian yang berlandaskan
filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang
berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Positivisme menuntut agar penelitian itu
bebas nilai (value free). Mereka mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi
atau hukum yang keberlakukaannya bebas waktu dan tempat.
Penelitian kualitatif (paradigma non-positivisme) menekankan pada memahaman
terhadap realitas sosial. Pendekatan ini memandang realitas tersebut bersifat ganda, rumit,
semu, dinamis, dikonstruksikan dan holistik, sehingga kebenaran temuan penelitian
mengandung sifat relatif (Santana 2010). Model penelitian kualitatif sangat beragam,
karena penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuannya diperoleh berdasarkan
paradigma yang digunakan. Orientasi paradigma sebagaimana tercermin dalam epistemologi, ontologi, dan metodologi dapat dibedakan kedalam tiga kelompok, yaitu: paradigma
interpretif, paradigma kritis, dan paradigma posmodernisme.
Paradigma Interpretif dan Perkembangan Penelitian Akuntansi
Paradigma penelitian interpretif berpandangan bahwa realitas sosial secara sadar dan
secara aktif dibangun sendiri oleh individu, setiap individu mempunyai potensi memberi
makna apa yang dilakukan. Ralitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi
mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada
129
orang yang melakukannya. Oleh karena itu, suatu realitas yang diamati oleh seseorang
tidak bisa digeneralisasi seperti halnya pada paradigma positivisme. Menurut Geertz
(dalam Muhadjir 2000:119) tidak ada social fact yang menunggu observasi kita, yang ada
adalah kesiapan peneliti untuk memberi makna atas observasinya.
Menurut Burrel dan Morgan (1979:28), inti dari paradigma interpretif adalah memahami
bentuk fundamental dari dunia sosial pada tingkat pengamatan sosial dan tingkat
pengalaman subjektif seseorang yang bersifat nominalis, antipositivis, voluntarisme dan
ideografis. Paradigma ini adalah produk langsung dari tradisi pemikir sosial aliran idealis
Jerman. Ahli teori dalam paradigma ini adalah Dilthey, Weber, Husserl, dan Schultz yang
berlandaskan pada Teori Kant. Metode penelitian dalam paradigma interpretif adalah:
Etnografi, Etnometodologi, Fenomenologi, Hermeneutik dan Interaksi Simbolik.
Etnografi
Etnografi adalah salah satu jenis metode penelitian yang dianggap sebagai dasar ilmu
antropologi (Muhadjir 2000:129). Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu
kebudayaan, dengan tujuan utama memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai
dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak
dengan cara-cara yang berbeda. Untuk menemukan prinsip-prinsip tersembunyi dari
pandangan hidup yang lain, peneliti harus menjadi murid. Inti etnografi adalah upaya
memperlihatkan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita
pahami. Beberapa makna terekpresikan secara langsung dalam bahasa, atau secara tidak
langsung melalui kata dan perbuatan. Sistem makna merupakan kebudayaan mereka, dan
etnografi selalu mengimplementasikan teori kebudayaan.
Dalam penelitian etnografi, metode utama yang digunakan adalah observasi partisipatif
(terbatas). Metode observasi partisipatif merupakan metode yang lain, yang sangat
berbeda dengan model observasi yang ada. Sasarannya adalah orang atau pelaku, oleh
karena itu, keterlibatannya dengan sasaran yang diteliti terwujud dalam hubunganhubungan sosial dan emosional. Untuk itu, diperlukan metode dan upaya agar apa yang
diinginkan dalam pengamatan yang terlibat akan sampai pada tujuan. Atkinson dan
Hammersley dalam Denzim dan Lincoln (2009:317) menjelaskan bahwa semua
penelitian sosial merupakan semacam observasi partisipan, karena kita tidak dapat
meneliti realitas sosial tanpa menjadi bagian dari realitas itu sendiri. Baik etnografi
maupun observasi partisipan merupakan bidang keilmuan yang menekankan paradigma
interpretif terhadap berbagai keunikan manusia yang bertolak belakang dengan
paradigma positivisme.
Secara praktis, istilah etnografi biasanya mengacu pada bentuk-bentuk penelitian sosial
dengan sejumlah ciri khas sebagai berikut: Atkinson dan Hammersley (dalam Denzim
dan Lincoln 2009:316)
130
131
132
133
134
135
partisipasi yang terjadi dalam proses penyusunan APBD di Pemerintah Kota Malang;
Sedangkan penelitian yang dilakukan Niswatin, Rosidi dan Irianto (2009) menggunakan
studi fenomenologi atas refleksi kinerja manajemen perbankan syariah dalam perspektif
amanah.
Penelitian paradigma interpretif dengan metode hermeneutik dilakukan oleh Riduwan
(2008) yang mengungkapkan kandungan informasi laba akuntansi berdasarkan
interpretasi tentang realitas yang direpresentasikan oleh laba akuntansi. Tujuan
penelitiannya adalah: (1) memperoleh bukti empiris tentang kesimetrisan interpretasi laba
akuntansi oleh akuntan dan non-akuntan. Sebagai simbol yang digunakan dalam
komunikasi, laba yang dicantumkan dalam laporan laba-rugi seharusnya dimaknai secara
sama, karena hanya dengan demikian komunikasi menjadi efektif; (2) memperoleh bukti
empiris tentang pemahaman akuntan dan non-akuntan terhadap konsep laba yang
digunakan dalam rerangka konseptual akuntansi. Pihak-pihak yang berkepentingan
dengan informasi laba diasumsikan telah memahami konsep laba yang dianut dalam
akuntansi ini, karena hanya dengan demikian mereka tidak menginterpretasikan laba
akuntansi berdasarkan persepsinya masing-masing. Hasil penelitian ini menunjukkan
fakta bahwa laba akuntansi diinterpretasikan secara berbeda oleh komunitas akuntan dan
non-akuntan.
Penelitian akuntansi dengan interpretif dengan metode hermeneutik lainnya juga
dilakukan oleh Riduwan (2009). Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab serta tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah akuntan, investor,
kreditor, dan pemeriksa pajak memaknai praktik manajemen laba yang dilakukan oleh
para manajer? (2) bagaimakah pendapat, sikap atau tanggapan akuntan, investor, kreditor,
dan pemeriksa pajak atas praktik manajemen laba tersebut?
Hasil penelitian Riduwan (2009) menunjukkan bahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan
dalam penelitian ini masih kontroversial, sesuai dengan perspektif masing-masing
informan penelitian. Para akuntan (akuntan pendidik, akuntan manajemen, dan akuntan
publik) maupun pemeriksa pajak, menyatakan bahwa manajemen laba tidak dapat
disamakan dengan manipulasi laba, dan bukan pula perilaku koruptif, sepanjang
dilakukan dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum. Sedangkan penasihat
investasi dan analis kredit yang menjadi sasaran dan menghadapi dampak langsung
maupun tidak langsung dari praktik manajemen laba, menyatakan bahwa manajemen laba
tidak berbeda dengan tindakan memanipulasi laba. Praktik manajemen laba merupakan
refleksi dari perilaku koruptif yang termotivasi oleh pikiran-pikiran yang terkorupsi. Para
pelaku manajemen laba maupun pihak yang mengatakan bahwa manajemen laba bukan
perilaku koruptif, mereka pandang sebagai pihak-pihak yang telah mendistorsi makna
kata manajemen dari makna luhur menjadi makna yang berkonotasi buruk. Dalam
pandangan penasihat investasi dan analis kredit, manajemen laba merupakan praktik yang
136
tidak dapat diterima, karena mendistorsi informasi keuangan, dan menjadikan laporan
keuangan berpihak pada kepentingan manajer.
Penelitian paradigma interpretif dengan pendekatan semiotik dilakukan oleh Chariri dan
Nugroho (2006), yang menganalisis retorika yang digunakan manajemen dalam
pelaksanaan sustainability reporting, dan berusaha menjawab pertanyaan bagaimana dan
mengapa suatu perusahaan mengungkapkan informasi corporate social responsibility
(CSR) dalam laporan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan perusahaan (Aneka
Tambang/Antam) mengungkapkan informasi CSR dalam bentuk cerita retorik untuk
membentuk image positif bahwa Antam menjalankan kegiatan bisnisnya dengan tetap
menaruh perhatian pada isu sosial dan lingkungan. Hal ini dilakukan untuk
mengendalikan stakeholders sebagai audien sekaligus untuk memperoleh legitimasi dari
stakeholdersnya. Dari analisis semiotik dapat disimpulkan bahwa ada beberapa alasan
mengapa Antam mengungkapkan dan melaporkan pelaksanaan sustainability secara
terpisah dari laporan tahunan. Alasan-alasan tersebut di antaranya sustainabilty report
sebagai alat komunikasi manajemen, Sustainability report sebagai cerita retorik Antam,
untuk memperoleh image baik dari stakeholder dan untuk memperoleh legitimasi dari
stakeholder.
137
Critical theory mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial yang lebih adil. Dua
asumsi dasar yang menjadi landasan, yaitu: pertama, ilmu sosial bukan sekedar
memahami ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi sumber daya,
melainkan berupaya untuk membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam
kehidupan; kedua, pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral untuk mengkritik
status quo dan membangun masyarakat yang lebih adil (Muhadjir 2000:197).
Dilihat dari segi ontologis, paradigma kritis sama dengan post-positivisme yang menilai
objek atau realitas secara kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar
oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini secara metodologis
paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran
realitas yang hakiki. Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dengan realitas
yang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, karena itu, aliran ini
lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan,
karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan
kebenaran tentang suatu hal.
Asumsi-asumsi dalam Paradigma Kritis
Asumsi-asumsi dominan dalam paradigma kritis menurut Chua (1986):
a. Kriteria untuk memutuskan teori adalah sementara dan terbatas dalam konteks.
Biasanya menggunakan studi historis riset etnografis dan studi kasus.
b. Keyakinan tentang realitas fisik dan sosial. Manusia mempunyai potensi dalam
dirinya yang diasingkan (dicegah dari kekawatiran yang penuh) melalui pembatasan
mekanisme. Obyek-obyek yang dapat dipahami melalui sebuah studi tentang
perubahan dan perkembangan historis obyek tersebut dalam sebuah totalitas
hubungan.
1) Realitas empiris dikarakteristikan melalui tujuan, hubungan riil yang diubah dan
diproduksi kembali berdasarkan interpretasi subyektif.
2) Perhatian manusia, rasionalitas dan keagenan diterima, namun hal ini dianalisis
secara kritis berdasarkan sebuah keyakinan bahwa idologi dan kesadaran itu
adalah palsu.
3) Konflik yang mendasar adalah penyakit masyarakat. Konflik timbul karena
adanya ketidak adilan dan idologi dalam ilmu sosial, ekonomi dan politik
mangaburkan dimensi kreatif manusia
c. Hubungan antara praktik dan teori.
Teori memiliki suatu pemaksaan kritis yaitu pengidentifikasian dan penggantian
praktik-praktik dominasi dan idologi.
Paradigma Kritis dalam Penelitian Akuntansi
Penelitian akuntansi berbasis paradigma kritis berusaha untuk menjelaskan bahwa teori
dan praktik akuntansi dapat berkembang terus sesuai dengan kreatifitas peneliti dalam
akuntansi yang bertujuan melakukan kritik, transformasi, pemulihan, emansipasi,
138
pembongkaran terhadap suatu fenomena yang diteliti agar dipahami lebih baik. Penelitian
akuntansi kritis merupakan suatu proses pengungkapan praktik akuntansi melampaui
penampakan di permukaan yang menurut pandangan peneliti didominasi oleh ilusi
(Efferin et al 2004: 27). Teori dan praktik akuntansi juga diciptakan oleh manusia sebagai
penguasa yang memanipulasi, mengkondisikan, dan mencuci-otak (brain-wash) orang
lain agar memahami atau menginterpretasikan akuntansi sesuai dengan interpretasi yang
diinginkan oleh yang berkuasa. Melalui paradigma kritis, diharapkan ilmu-ilmu sosial
khusunya akuntansi akan terus berkembang berani menentang hegemoni kapitalisme.
Penelitian akuntansi kritis diharapkan dapat memperjuangkan ide peneliti yang ingin
membawa perubahan substansial, yang didukung dengan pemahaman yang diperoleh
peneliti tentang fenomena akuntansi berdasarkan fakta di lapangan, dilengkapi dengan
analisis dan pendapat berdasarkan keyakinan pribadi, dengan didukung oleh argumentasi
yang memadahi.
Penelitian akuntansi dengan paradigma kritis dilakukan oleh Mulawarman (2007) yang
bertujuan merumuskan bentuk Laporan Arus Kas Syariah secara utuh. Metodologi yang
digunakan adalah metodologi Hiperstrukturalisme Islam Terintegrasi (HIT) yang
diperluas. Metodologi HIT dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme dan
postrukturalisme sekaligus melampaui (hyper) keduanya dalam kerangka Teknosistem
yang dipayungi nilai-nilai Islam.
PARADIGMA POSMODERNISME
DAN PERKEMBANGAN PENELITIAN AKUNTANSI
Istilah posmodernisme dipahami sebagai segala bentuk refleksi kritis atas paradigma
modern dan atas metafisika pada umumnya. Konsep posmo pertama kali muncul di
lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur,
sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbolik dari konstruksi dan
ruang. Istilah posmodern pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun
1930-an untuk menyebut gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Prancis dan
Amerika Latin. Jean-Francois Lyotard dikenal sebagai tokoh yang pertama kali
mengenalkan konsep Posmodernisme dalam filsafat. Kerangka pemikirannya menggabungkan antara Marxis dan Psikoanalisis Freud. Pemikiran Posmodernnya berkembang
setelah melihat kenyataan sejarah hilangnya daya pikat seperti perjuangan sosialisme,
runtuhnya komunisme, melihat gagalnya modernitas, kejadian-kejadian Auschwitch
yang tak terfahami secara rasional.
Muhadjir (2000:236) menjelaskan benang merah pola fikir era modern adalah yang
rasionalistik, yang fungsionalis, yang interpretif, dan yang teori kritis, yaitu: dominannya
rasionalitas. Dalam komparasi dapat dijumpai: paradigma positivisme membuat
generalisasi dari frekuensi dan variansi, paradigma interpretif membuat kesimpulan
139
generatif dari esensi; paradigma positivis menguji kebenaran dengan uji validitas,
paradigma interpretif menguji thuthworiness lewat triangulasi. Tradisi ilmu sampai teori
kritis masih mengejar grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu
pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan
mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh
fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237)
berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas
pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal,
dan heterarkhik, tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Bukan
mencari dan membuktikan kebenaran, melainkan mencari makna perspektif dan
problematis; logika yang digunakan adalah logika unstandard menurut Borghert (1996),
logika discovery menurut Muhadjir (1997), atau logika inquiry menurut Conrad (1993).
Rasionalitas modernis yang mengejar grand theory dan jabarannya, ditolak oleh
posmo. Posmo menggantinya dengan perbedaan (differences), pertentangan (opposites),
paradoks, dan penuh misteri (enigma). Dalam pola pikir era modern, kontradiksi intern
merupakan indikator lemahnya suatu konsep atau teori. Dalam era posmo kontradiksi
baik intern maupun ekstern menjadi suatu pola fikir yang dapat diterima. Untuk
mengembangkan pola fikir spesifik posmo adalah Postpositivistik FenomenologikInterpretif Logik dan Etik, misalnya berupa model Interpretif Geertz, Grounded
Research, Ethnografik-Etnometodologik, Paradigma Naturalistik, Interaksionisme
Simbolik dan Model Kontruktivist. Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi,
kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis,
sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang
kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya
in action. In action-nya kemana? Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar. Yang
benar absolut dimana? Bagi sekuler: benar absolut adalah benar universal, benar
berdasarkan keteraturan semesta. Keteraturan semesta sampai millenium ketiga pun
masih banyak yang belum terungkap. Baru saja teramati bagaimana suatu galaksi
terbentuk, baru saja teridentifikasi DNA sebagai intinya gen yang diturunkan, dengan
diketemukannya struktur setiap sesuatu dapat dikembangkan tiruan berupa polimer, dan
banyak lagi. Bagi yang religius, benar absolut hanya diketahui Allah. Manusia berupaya
mengungkap dan memanfaatkan keteraturan semesta untuk kemaslahatan manusia.
Posmo dengan logika dan rasionalitas berupaya untuk in action berkelanjutan. Segala
yang problematis, yang beragam, yang kontradiksi perlu dipecahkan secara cerdas untuk
menemukan jalan menuju kebenaran. Ilmiah, bagi era modern akan bergerak dari tesis
atau ke tesis lain, dan dari teori satu ke teori lain.
Ilmiah, bagi era posmo dengan logic of discovery dan logic of inquiry bergerak dari
innnovation dan invention satu ke innovation dan invention lain. Kebenaran semesta
140
dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu kebenaran keteraturan substantif dan kebenaran
keteraturan esensial. Invensi berbagai keteraturan esensial dapat dikreasikan oleh manusia
berbagai rekayasa teknologi. Hasilnya dapat luar biasa dan tak terduga, sebagaimana
temuan di bidang komputer, temuan DNA, polimer dan lain-lain. Karena itu, inovasi hasil
rekayasa teknologi memang tak tergambarkan sebelumnya, dan substansi kebenarannya
pun memang belum ada. Meskipun demikian bertolak dari invensi-invensi esensial,
imajinasi manusia dapat memprediksikan inovasi masa depan, seperti cerita ilmiah
imajinatif pistol laser dari Prins Barin di planet Mars, pesawat ruang angkasa dari Flash
Gordon, pembiakan lewat sel, ternyata terbukti dapat direalisasikan. Berbeda dengan
rekayasa sosial. Banyak futurolog menampilkan struktur masyarakat atau dinamika
masyarakat masa depan, seperti Toffler, Daniel Bell, Naisbitt, atau lainnya. Meskipun
menggunakan indikator tertentu, tetap saja akan lebih banyak salahnya daripada benarnya
(Muhadjir 2000).
Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu menjadi empat yaitu: pertama,
temuan basic and advanced research yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti
listrik, sinar gamma, struktur polimer, DNA); kedua, temuan fikir cerdas manusia,
umumnya secara deduktif (seperti temuan angka arab, angka 0, sistem desimal, huruf
latin, logika); ketiga, temuan rekayasa teknologi, temuan technological and advanced
research, yang umumnya lewat eksperimen laboratori (seperti temuan televisi, komputer,
satelit, polimer buatan, operasi jantung); dan keempat, temuan rekayasa sosial (seperti
sistem kasta, monarkhi, teori konflik, teori fungsionalisme, teori posmo).
Bagaimana posmodernisme bekerja? Dalam memandang sebuah realitas pikiran
digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan
oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial, kebenaran sama
dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Posmodernisme
mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak
menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal
(pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Posmodernisme adalah pandangan dunia yang
menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, posmodernisme mengatakan bahwa
tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam
persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Salah satu dari elemen
utama dari posmodernisme adalah constructedness of reality and hence the inaccessibility
of the Real. Posmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas)
adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain.
Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan
mengkonstruk identitas diri.
Adian (2006) menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan barat modern. Sikap
kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang
menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap
141
142
atau perpaduan antara dua hal atau lebih yang berbeda. Upaya penggunaan Manunggaling
Kawulo-Gusti ini semata-mata dilakukan karena konsep tersebut adalah sesuai dengan
sunnatullah, baik dalam pengertian ayat-ayat qauliyyah maupun ayat-ayat kauniyyah.
Dengan menggunakan konsep tersebut diharapkan bahwa formulasi nilai-tambah syariah
tetap selaras dengan tujuan akuntansi syariah yang ingin membangkitkan kesadaran
keTuhanan para penggunanya.
Hasil penelitian Triyuwono (2007) merumuskan bahwa nilai-tambah syariah meliputi
nilai-tambah ekonomi, nilai-tambah mental, dan nilai-tambah spiritual di mana cara
perolehan, pemrosesan, dan pendistribusiannya dilakukan secara halal. Bentuk nilaitambah semacam ini memang lebih kompleks jika dibandingkan dengan nilai-tambah
ekonomi yang modern. Oleh karena itu, studi syariah ini terus tetap dibutuhkan.
Penelitian akuntansi lainnya dengan paradigma postmodernisme dilakukan oleh Riduwan
et al (2009) tujuan penelitiannya adalah (1) memahami penafsiran akuntan dan nonakuntan atas laba akuntansi dan (2) melakukan pencarian makna (semiotika) secara
dekonstruktif atas penafsiran laba akuntansi untuk mengungkap realitas yang tersembunyi
di balik penafsiran tersebut. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah
paradigma kritis-posmodern (critical-postmodern paradigm) yang dilakukan berdasarkan
asumsi-asumsi dan keyakinan dari teori kritis (critical theory) dalam memandang realitas
sosial.
Penelitian yang dilakukan Riduwan ini berpijak pada asumsi, pola pikir atau keyakinan
berikut: (1) praktik akuntansi (khususnya akuntansi keuangan) bukanlah sesuatu yang
bersifat given, atau ada seperti apa adanya, tetapi diciptakan oleh pihak yang memiliki
kuasa, yaitu akuntan. Akuntan memiliki kuasa untuk menciptakan praktik akuntansi dan
mengarahkan pihak lain untuk menjalankan dan memahami praktik akuntansi seperti
yang diinginkan. (2) teori dan praktik akuntansi sarat dengan nilai, dan karenanya,
netralitas dan objektivitas yang dilekatkan sebagai karakteristik kualitatif informasi
akuntansi dapat memunculkan mitos (ilusi) di masyarakat tentang netralitas dan
objektivitas informasi akuntansi. (3) tindakan praksis yang dilakukan oleh individu
(akuntan dan non-akuntan) sering terdorong oleh keadaan yang tidak dikenalinya. Banyak
hal yang mereka lakukan didasari oleh kesadaran semu, dan kesadaran semu tersebut
menjadi abadi melalui ideologi, hegemoni, reifikasi, kuasa, dan metafisika kehadiran. (4)
teori yang mendorong praktik akuntansi berjalan di atas kesadaran semu harus disikapi
secara kritis, dan dipandang perlu adanya pemikiran untuk perubahan.
PENUTUP
Berbagai paradigma penelitian non-positivisme memberikan ruang yang begitu luas
dalam melakukan kajian di bidang akuntansi. Perkembangan penelitian akuntansi dalam
143
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Burrel, G. dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis.
New York: Ashgate Publishing Company.
Chariri, Anis. dan Nugroho, Firman Aji. 2006. Retorika dalam Pelaporan Corporate
Social Responsibility: Analisis Semiotik atau Sustainability Reporting PT. Aneka
Tambang. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang.
Creswell, John. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design, second edition, Sage
Publication Inc, New Delhi India.
Cua, Wai Fong. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting
Review. LXI(4): 601-632.
Denzim K., Norman dan Lincoln S., Yvonna. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Efferin, K., S.H. Darmadji dan Y. Tan. 2004. Metode Penelitian Akuntansi: Sebuah
Pendekatan Praktis. Edisi 1. Banyumedia Publishing. Malang
Granlund, Markus. 2003. Management accounting system integration in corporate
mergers: A case study. Accounting, Auditing & Accountability Journal. 16(2):
208-243.
144
145
Riduwan, Akhmad. Triyuwono, Iwan. Irianto, Gugus dan Ludigdo, Unti. 2009. Semiotika
Laba Akuntansi: Studi Kritikal-Posmodernis Derridean. Simposium Nasional
Akuntansi XII. Palembang.
Santana K., Septiawan. 2010. Menulis Ilmiah: Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi
Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soetriono dan Hanafie Rita. 2004. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Jember:
Penerbit Universitas Jember.
Sopanah. 2009. Studi Fenomenologis: Menguak Partisipasi Masyarakat dalam Proses
Penyusunan APBD. Simposium Nasional Akuntansi XII. Palembang.
Spradley, J.P. 1997. Metoda Etnografi. Diterjemahkan dari The Ethnographic Interview.
Jogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana.
Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Pertama. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Triyuwono, Iwan. 2007. Mengangkat Sing Liyan Untuk Formulasi Nilai Tambah
Syariah. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar.
Yudi. Sukoharsono, Eko ganis dan Affandy Didied. 2008. Studi Fenomenologis Terhadap
Pelaksanaan Pengendalian Akuntansi Sektor Publik pada Satuan Kerja Pengelola
Keuangan Daerah kota Pusako di Provinsi Jambi dalam Pemahaman
Functionalism Structural Parsons. Simposium Nasional Akuntansi XI. Pontianak.
146