You are on page 1of 163

A Historiography of Violence and the

Secular State in Indonesia: Tuanku


Imam Bondjol and the Uses of History
JEFFREY HADLER
This essay is a revisionist history of the Padri War and
the place of Tuanku Imam Bondjol in the intellectual
history of the Minangkabau people of West Sumatra,
of the Dutch colonial state, and of Indonesian
nationalism. The Tuanku Imam is an official national
hero from the early nineteenth century, a putative
Wahhabi, and leader of the Padri War, the first
Muslim-against-Muslim jihad in Southeast Asia. The
essay examines the Tuanku Imam in contemporary
sources and then his construction as a serviceable
trope of controlled Islam, Minangkabau patriotism, or
Indonesian nationalism by successive states. Using
memoirs by the Tuanku Imam and his son, Sutan
Caniago, the essay analyzes the Tuankus renunciation
of Wahhabism in the face of matrifocal opposition and
the interplay of three connected texts that serve to
secularize the story of the Padri War.

The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 9711010.
2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228

A Historiography of Violence and the


Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and the Uses of History
JEFFREY HADLER

This essay is a revisionist history of the Padri War and


the place of Tuanku Imam Bondjol in the intellectual
history of the Minangkabau people of West Sumatra, of
the Dutch colonial state, and of Indonesian nationalism.
The Tuanku Imam is an official national hero from the
early nineteenth century, a putative Wahhabi, and leader
of the Padri War, the first Muslim-against-Muslim jihad
in Southeast Asia. The essay examines the Tuanku Imam
in contemporary sources and then his construction as a
serviceable trope of controlled Islam, Minangkabau
patriotism, or Indonesian nationalism by successive
states. Using memoirs by the Tuanku Imam and his son,
Sutan Caniago, the essay analyzes the Tuankus
renunciation of Wahhabism in the face of matrifocal
opposition and the interplay of three connected texts that
serve to secularize the story of the Padri War.

The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 9711010.
2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228

Sebuah Historiografy Tentang Kekerasan


dan Negara Sekuler di Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol dan Penggunaan Sejarah

JEFFREY HADLER

Tulisan ini merupakan versi revisi sejarah


Perang Padri dan tempat Tuanku Imam
Bondjol dalam sejarah intelektual rakyat
Minangkabau di Sumatera Barat, sejarah
jajahan Belanda dan nasionalisme Indonesia.
Tuanku Imam adalah seorang pahlawan
nasional resmi dari awal abad ke sembilan
belas, seseorang yang dianggap beraliran
Wahabi, dan pemimpin Perang Padri, perang
Jihad pertama Muslim melawan Muslim di
Asia Tenggara. Tulisan ini meneliti Tuanku
Imam dalam sumber sumber kontemporer dan
kontruksinya
Islam
dengan
segala
peraturannya, patriotisme Minangkabau atau
nasionalisme Indonesia setelah itu. Dengan
menggunakan memoir tentang Tuankum
Imam dan putranya Sutan Caniago, tulisan ini
menganalisi penyangkalan Tuanku terhadap
aliran
Wahhabi
dalam
menghadapi
perlawanan matrifocal (matrilineal) tiga teks
yang berkaitan yang membuat kesan seakan
Perang Padri seakan perang yang sekuler,
tidak bernuansa agama.

Pada tanggal 6 November 2001, Bank Nasional Indonesia


mengeluarkan uang kertas yang menampilkan gambar Tuanku Imam
Bondjol. Gambar itu terlihat mencolok, dimana seorang pria dengan
wajah garang dan jambang panjang, mengenakan turban, dengan
jubah putih yang terurai di bahu sebelah kirinya. Tuanku Imam
Bondjol adalah sebuah gelar resmi yang diberikan kepada seorang
pria bernama Muhamad Sahab. Ketika kecil ia dipanggil Peto Syarif.
Lahir di daerah Minangkabau di Sumatera Barat sekitar tahun 1772 dan
wafat di luar kota Menado, Sulawesi Utara pada tahun 1854. Tuanku
adalah gelar yang diberikan kepada ulama tingkat tinggi di Sumatera
Barat yang merupakan kekuasaan yang diakui dalam ilmu-ilmu Islam
seperti tauhid, fikih dan tasauf. Sedangkan kata Imam menunjukkan
bahwa beliau adalah seorang pemimpin agama walaupun nama yang
kedua ini biasanya merujuk kepada beberapa karakteristik individual
dari orang orang yang dianggap alim. Paling tidak dari lima puluh
Tuanku yang merupakan generasi berikut dari Tuanku Imam Bondjol,
kita menemukan Tuanku Bujang, Tuanku Kecil, Tuanku Gemuk, Tuanku
Hitam, Tuanku Tua dan lain sebagainya (Sjafnir 1988). Kata Bondjol
merupakan ejaan lama dari kota Bondjol, kota dimana Tuanku Imam
Bondjol membangun bentengnya dan juga tempat dimana pada tahun
1833

hingga

tahun

1837

beliau

memimpin

perang

melawan

pencaplokan Belanda atas Dataran Tinggi Minangkabau. Pada makalah


ini, saya mengikuti konvensi Bahasa Indonesia dan penggunaan ejaan
lama daro kata Bondjol untuk merujuk kepada beliau dan kepada kota
kecil tersebut.
Di Indonesia, Tuanku Imam merupakan pahlawan nasional
resmi dari awal abad kesembilan belas, seorang yang dianggap
pengikut aliran Wahabi, dan pemimpin Perang Padri yang sering
4

digambarkan sebagai perang jihad pertama Muslim melawan Muslim di


Asia Tenggara. Sejak tahun 2002, para cendekiawan telah secara
konsisten menelusuri jejak sejarah kekerasan berbau Islam di Asia
Tenggara kembali pada perang ini dan kepada Tuanku Imam. Michaell
Laffan menunjukkan bahwa gerakan Padri sebagai contoh yang paling
mencolok dari apa yang ia sebut sebagai gerakan aktivis Islam,
kendati ia ragu apakah gerakan ini dapat dianggap sebagai gerakan
Wahabi (Laffan 2003, 399-400). Para cendekiawan yang lainnya tidak
terlalu mempermasalahkan akan Perang Padri tersebut. Pada bulan
September 2004, Merle Ricklefs memberikan kuliah tentang Islam dan
politik di Indonesia yang membuka dengan sebuah rujukan kepada
perayaan dua ratus tahun Perang Padri sebagai perayaan ke 200 tahun
reformis berdarah dan kekerasan Islam di Indonesia. Dan pada tahun
2005, Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta, memberikan perkuliahan
tentang militan Islam, yang mana ia sebutkan:

Kita jangan sampai terpedaya dengan


perkembangan-perkembangan terakhir ini.
Nyatanya, radikalisme di antara orang Islam di
Indonesia bukanlah hal yang baru. Walaupun
Islam di Asia Tenggara secara umum
dipandang sebagai Islam yang damai dan
moderat, akan tetapi sejarah Islam di kawasan
ini menunjukkan bahwa radikalisme di antara
orang Islam, sebagaimana yang akan dibahas
segera, telah hidup selama paling tidak dua
abad, ketika gerakan Padri yang dianggap
gerakan Wahabi di Sumatera Barat pada abad
ke 18 dan ke 19 memaksa orang Islam yang
lainnya di daerah itu untuk tunduk kepada
pemahaman agama Islam mereka. Gerakan
kekerasan ini bertujuan menyebarkan Islam
yang murni seperti yang dipraktikan oleh Nabi
Muhammad dan rekannya. Akan tetapi,

gerakan Padri gagal mendapat dukungan dari


mayoritas orang Islam dan hasilnya gerakan ini
merupakan satu-satunya hal ikhwal dari
radikalisme Muslim di seluruh Asia Tenggara.

Setelah peristiwa 11 September, kaum Muslim dapat


dimaafkan karena memperhatikan uang kertas tersebut, mendengarkan
perkataan dari para sejarahwan Indonesiaini, dan berfikir apakah
negara Indonesia telah warnai oleh pengaruh teror berbau agama.
Gambar Tuanku Imam Bondjol cukup memuakkan bagi para mereka
yang melihatnya yang terbiasa dengan gambar boneka dan orkestra
gong yang menggema seperti halnya beberapa kelompok Islam masa
kini seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam.
Tapi bagi orang Indonesia dan kebanyakan sejarahwan
Indonesia, kemunculan gambar Tuanku Imam Bondjol pada uang
kertas 5000 rupiah tidak mengkhawatirkan dan mengagetkan. Di negeri
Belanda pada tahun 1928, Muhammad Hatta memberikan pidato
polemiknya dalam bahasa Belanda yang berjudul Free Indonesia.
Dalam pidatonya tersebut, Ia mencela Penjajah Belanda karena telah
memaksa kaum jajahannya untuk mempelajari pahlawan-pahlawan
legenda seperti William Tell, Giusepe Mazzini, William of Orange, dan
beberapa yang lainnya sambil meremehkan perjuangan-perjuangan
orang Indonesia dalam melawan pendudukan orang Eropa: Maka
kebanyakan kaum muda Indonesia menyamai tuan-tuannya dan
memanggilnya pahlawan, seperti Diponegoro, Toeankoe Imam, Tengku
Oemar, dan banyak lainnya, ppemberontak, penjarah, penjahat, dan
lainnya (1928, 11). Setelah Hatta, sejak tahun 1945, Sukarno telah
merujuk Tuanku Imam Bondjol sebagai yang pejuang pertama dari tiga
serangkai pahlawan yang berperang melawan penjajahan Belanda:
Tuanku

Imam

Bondjol

dari

Minangkabau

di

Sumatera

Barat,

Diponegoro dari Jawa Tengah dan Teuku Oemar dari Aceh (Soekarno
6

1950). Imam Bondjol kini merupakan sebuah nama jalan yang lazim di
beberapa kota di Indonesia. Universitas Islam Negeri di Sumatera Barat
dinamai Imam Bondjol. Dan pada bulan November 1973, Tuanku Imam
Bondjol secara resmi dijadikan sebagai pahlawan nasional, satu dari
sedikit yang hidup pada masa ketika konsep nasionalisme Indonesia
muncul.
Setelah lengsernya Suharto, ahli sejarah di Indonesia telah
mengalihkan perhatiannya pada tempat dari para pahlawan nasional
dan penciptaan sejarah Indonesia. Kajian-kajian ini bergantung kepada
masa-masa kekerasan di Indonesia dan trauma pembunuhan tahun
1965 dan 1966, kerusuhan tahun 1999. Para cendekiawan juga telah
menganggap peran pahlawan nasional dalam konteks kedaerahan
mereka. Tuanku Imam Bondjol cukup menarik. Kisahnya telah ditulis
oleh penduduk dari sebuah provinsi yang jauh dari pusat pemerintahan
penjajah. Di daerah Minangkabau seringkali berkecamuk kekerasan
dan berseberangan dengan penjajah sementara masyarakat setempat
seringkali

menganggap

mereka

sebagai

bagian

dari

pusat

pemerintahan.
Saya akan secara singkat meninjau Perang Padri dan
menggambarkan masyarakat Minangkabau. Selain sumber-sumber
pada catatan kaki, pemahaman saya terhadap Perang Padri pertama
didasarkan atas memoir Tuanku Imam Bondjol sendiri. Keterangan
tertulis ini, sebagai salah satu sumber terpenting dalam kajian
mengenai Indonesia pada abad ke-19, memiliki sejarah yang cukup
bermakna. Terjemahan dari memoir ini, yang dibuat tahun 1839 muncul
pada awalnya sebagai appendix B pada seorang warga negara
Belanda pemaparan terhadap perang tersebut. Pada tahun 1910an,
versi bahasa Minangkabau dengan tulisan Arab dari memoir ini beredar
luas di Sumatera Barat dan ini digambarkan oleh Ph. Van Ronkel dalam
sebuah artikel pada Indische Gids (1915). Pada tahun 1939, L. Dt. R.

Dihoeloe menggunakan memoir ini dan mewancarai kaum tua untuk


menerbitkan pertama kalinya ringkasan memoir ini dalam bahasa
Melayu. Versi Dihoeloe yang kemudian menjadi sumber kisah tentang
Tuanku Imam Bondjol pada masa-masa berikutnya. Pada tahun 1979,
ahli sejarah Sjafrir Aboe Nain membenahi dan menulis kembali versi
asli dari memoir tersebut, dan menggunakannya dalam tulisannya yang
berjudul Intellectual History of Islam in Minangkabau, 1784-1832.
Transliterasi Sjafrir dari tulisan Naskah Tuanku Imam Bondjol, yang
saat itu

dianggap

sebagai

sebuah

komponen

tambo

(sejarah

tradisional) dari Naali Sutan Caniago, anak Tuanku Imam Bondjol,


tersedia hanya dalam 280 lembar kopinya saja. Hanya pada tahun
2004 transliterasi tersebut secara resmi diterbitkan oleh Pusat Studi
Islam dan Minangkabau di Padang.
Sumber sejarah Minangkabau penting lainnya bagi sejarah
Perang Padri adalah otobiograpi yang ditulis oleh Syekh Jalaluddin,
yang ditulis atas permintaan pemerintahan kolonial pada awal tahun
1820. Jalaludin kemudian diancam oleh kaum Padri dan tulisannya
memberikan sebuah sejarah reformasi Islam pada awal abad ke
delapan belas juga sebagai kritik terhadap kaum Padri dari gerakan
kaum reformis. Sejalan dengan klarifikasi yang ditulias oleh Syekh
Jalaludin, memoir Imam Bondjol berlaku sebagai apa yang mungkin
dianggap otobiography yang pertama dalam Bahasa Melayu. Ini juga
merupakan tulisan yang menampilkan interioritas personal yang jelas
serta resonansi emosional yang dikarenakan ditulis secara simultan
untuk pembaca berbahasa Belanda dan untuk generasi mendatang
Minangkabau, dari perspektif seorang anak desa, dan bukan seorang
pesuruh juga seorang reformis Muslim yang menaruh perhatian
terhadap struktur keluarga dan kehidupan sehari-hari.
Jumlah tulisan dan buku yang ditulis oleh pemerintah kolonial
Belanda dan prajuritnya memberikan sumber tambahan tentang Perang

Padri. Hal in telah disintesiskan dalam monograph Christine Dobbin,


yang berjudul Islamic Revitalization in a Changing Peasan Economy:
Central Sumatera, 1784-1847 (1983). Penelitian Dobbin memang luar
biasa dan bukunya dipuji sebagai kajian yang paling lengkap tentang
jihad

(Keddie

1994,

472).

Perhatian

saya

terhadap

budaya

Minangkabau muncul dari kajian saya sendiri tentang interaksi antara


Islam, budaya matrilineal; dan kolonialisme. (Hadler 2008).

Tulisan ini akan mengangkat beberapa hal, antara lain:

1. Posisi khusus Tuanku Imam Bondjol dalam perang menghasilkan


sebuah hasil yang luas dimana ia berperan penting dan dimana
para ulama lainnya kurang berperan penting.
2. Hasil dan historiography telah dikaitkan dengan usaha-usaha
negara untuk mengkontrol Sumatera Barat dan membatasi potensi
para reformis Islam dalam perang melawan pemerintahan kolonial,
Demokrasi Termpimpin, dan masa Orde Baru. Akan tetapi, hal ini
tidaklah membawa kita ke dalam pengertian yang sembrono akan
militan Islam dan penindasan. Akan tetapi kekhawatiran negara
akan pemberontakan Islam membawa kembali keinginan untuk
kedamaian dan konsiliasi. Perang Padri tidaklah terkenal,
3. Akan tetapi, sosok Tuanku Imam Bondjol tetap menjadi tokoh yang
teguh

dalam

perlawanan

dan

otonomi

lokal

masyarakat

Minangkabau. Menjelang akhir karir militernya, Tuanku Imam


Bondjol menjauhkan dirinya dari aliran Wahabi dan kekerasan antar
sesama anggota, kemudian merubah perang saudara menjadi
perang melawan agresi Belanda. Hidup Tuanku Imam Bondjol dapat
dibaca sebagai sebuah penolakan protonasionalis dari perpecahan

agama demi kepentingan kesatuan anti penjajahan. Dari tahun 1930


hingga tahun 1998 (denga jeda dari tahun 1950 sampai tahun
1957), Indonesia mengalami sejumlah rezim represive yang
mengawasi dengan ketat wacana politik dan secara efektif
mengkontrol penulisan sejarah. Tuanku Imam Bondjol muncul pada
tahun 1930an sebagai sebuah tokoh kunci yang bersejarah dalam
fiksi popular Sumatera. Fiksionasisi dari sejarah tidak hanya
mendapat pengawasan ketat tersebut tapi juga memancing debat
keras hhingga tahun 1960an, ketika penerbitan dari : Tuanku Rao:
Hambali Islamic Teror in the Batak Lands (1816-1833) memaksa
pemikiran ulang kembali akan kisah mengenai Perang Padri dan
kekerasan Tuanku Imam Bondjol.

Tinjauan

Suku Minangkabau terkonsentrasi di Sumatera Barat dan


merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia serta terkenal
di dunia sebagai suku bangsa dengan masyarakat yang matrilineal.
Peggy Sunday (2002) membuat sebuah argumen menarik tentang
kebiasaan masyarakat Minangkabau. Kaum elit menggunakan kata
bahasa

Belanda

matriarchaat

dan

mengklaim

bahwa

dalam

egalitarianisme gender, masyarakat Minangkabau memang merupakan


masyarakat matrilineal. Tentu saja kontradiksi yang tampak antara
Islam dan matrilinealisme telah terbentuk selama dua ratus sejarah
Minangkabau. Masyarakat Minang terus berjuang dalam konflik:
warisan Islam, hak anak, dan hukum tempat tinggal semuanya bersifat

10

patrilineal dan patrilokal, sementara masyarakat Minangkabau terikat


erat dengan rumah rumah adat yang besar yang diwariskan dari
generasi wanita ke generasi yang lainnya, yang ditentukan oleh leluhur
wanita.
Orang Minang yang tinggal di Sumatera Barat memiliki rumah
besar. Rumah tersebut dibagi menjadi tiga area, area yang lebih rendah
yang dekat dengan pintu berfungsi sebagai tempat umum untuk
menerima tamu; daerah di tengah untuk makanan, yang juga dijadikan
tempat tidur untuk anak-anak, gadis dan wanita tua serta area di
belakang, yang merupakan beberapa kamar tidur yang disediakan
untuk kamu wanita menerima suaminya. Ketika seorang gadis menikah,
ia diberi sebuah kamar baru, kamar terbesar yang jauh dari pintu.
Wanita yang lainnya tergeser ke kamar lain. Jika kamar-kamar lainnya
sudah terisi, maka wanita yang paling tua terpaksa harus pindah ke
bagian lain dari rumah yang terletak di ujung. Jika wanita tua itu secara
seksual masih aktif, maka akan dibuatkan kamar baru. Jika tidak, maka
ia harus bergabung dengan wanita tua dan anak kecil di lantai jika
malam tiba. Jika anak-anak kecil itu mencapai pubertas, maka anakanak kecil pria harus pindah dari rumah yang berukuran panjang itu dan
tidur di surau. Ketika mereka tumbuh menjadi remaja pria, maka
mereka harus merantau dan meninggalkan desa untuk mencari
penghasilan di dunia luas, yang disebut dengan rantau. Hanya ketika
ia telah memperoleh nilai sosial tertentu melalui perdagangan atau
pendidikan, maka seorang laki-laki muda diperbolehkan kembali ke
desa sebagai calon mempelai pria potensial bagi anak gadis dari
keluarga lain. Banyak dari perantau Minangkabau ini tidak kembali dari
perjalannya, namun lebih memilih menetap di kota-kota besar diseluruh
Indonesia. Mulai dari Borneo, Semenanjung Malay, dan Sulawesi,
desa-desa dan pemerintahan lokal mulai mengikuti jejak menganut
Islam dan bahkan mengikuti penampilan para pengelana Minangkabau
ini. Dan meskipun mereka memiliki struktur sosial matrilineal, orang
11

Minangkabau pada umumnya dianggap sebagai salah satu kelompok


etnis yang religius (Walapun standard-standard untuk mengukur tingkat
religius dan kemampuan aplikasinya pada unit-unit masyarakatnya
diluar individual sulit untuk ditentukan).
Laporan

awal

abad

keenam

belas

menunjukkan

bahwa

setidaknya seorang Raja Minangkabau telah menganut Islam (Pires


1990, 164), dan seorang berketurunan Portugis yang mendatangi
pegunungan ini pada tahun 1684 melaporkan para haji di kalangan
bangsawan (Dias 1995). Minangkabau hanya mengalami gerakan yang
terorganisir dan bersifat institusional untuk beralih pada Islam pada abad
ketujuh belas ketika sebuah pusat tarekat Sufi (organisasi mistis)
dibentuk di pesisir pantai Ulakan (Amrullah 1929; Suryadi 2001, 2004).
Azra menyatakan bahwa para pemercik reformisme (2004, 145)
pertama kali terpicu pada akhir tahun 1600 ketika para anggota dari
jaringan kerja siswa Ulakan menyaksikan dengan kekecewaan atas
terlalu berlebihannya para rekan mereka dalam memperingati kematian
pendiri tarekat. Pada abad kedelapan belas, permintaan Amerika dan
Eropa atas kopi, merica, dan kayu manis menciptakan suatu ledakan
pada perekonomian pegunungan yang merusak sistem perdagangan
tradisional dan mendatangkan pengaruh-pengaruh intelektual baru
melalui pelabuhan Tiku, yang berjarak dekat dari Ulakan. Desa-desa
terpencil dengan tanah yang tandus mengeruk kekayaan dengan
menanam tanaman baru yang sangat menguntungkan tersebut,
sehingga mengancam pengaruh para petani beras yang menganut
paham tradisional. Banyak para reformis Muslim yang berasal dari desadesa yang mendadak makmur ini (Dobbin 1977). Pada akhir abad
kedelapan

belas,

reformasi

Islam

telah

membawa

tarekat

Naksyabandiyah, Syattariyah, dan Qadiriyyah kepada pegunungan, dan


sekolah Islam yang dikepalai oleh Tuanku nan Tuo menjadi pusat bagi
pergerakan reformis.

12

Syekh Jalaluddin mengingat cerita-cerita ayahnya mengenai


periode sebelum perang saudara pada tahun 1780 dan perubahanperubahan keagamaan yang tengah terjadi di minangkabau (Kratz dan
Amir 2002). Jalaluddin menggambarkan situasi-situasi keagamaan di
Minangkabau pada akhir abad kedelapan belas ketika ayahnya
merupakan seorang reformis Islam dan seorang pendidik. Pada tahun
1780, sekolah-sekolah agama yang terpusat menyebar sepanjang
daerah pegunungan. Para reformis berpindah dari sekolah yang berada
dibawah pengaruh Sufi lama di Ulakan, berjarak dekat dengan kota
pesisir Pariaman, dengan menempuh perjalanan melalui Kamang dan
Rao di daerah pegunungan, dengan singgah sebentar di koto Gadang,
dan akhirnya menetap di Batu tebal dimana pada akhirnya mereka
mendapatkan dukungan yang memadai untuk mempertahankan empat
puluh jemaah yang diperlukan untuk menjalankan shalat Jumat.
Merupakan sebuah kesalahan besar dengan menganggap bahwa
pendidikan agama pada periode pra-Padri, para penduduk Minangkabau
sebelum dijajah sepenuhnya ditempatkan dan dipusatkan pada rumahrumah ibadah di pedesaan. Para cendekia agama menyebarkan
pengalaman dan koneksi pada pusat-pusat keagamaan di mekah,
madinah, dan bahkan Acehdunia pembelajaran Islam pada dasarnya
bersifat kosmopolitan. Para reformis ini mulai menciptakan serangan
kedalam pusat kota. Dan pusat-pusat tarekat yang memegang peranan
penting, khususnya

dengan guru-guru yang berkuasa, telah lama

menarik hati para pengikut.


Pemberian perhatian pada kehidupan pribadi dan perilaku seharihari merupakan pembicaraan yang umum dan berbeda pada dunia
Islam pada akhir abad kedelapan belas (Metcalf 1982). Sepanjang awal
tahun 1700, Islam dan ulama terutama menyoroti pemerintahan dan
kerajaan. Namun, pergerakan-pergerakan baru reformis Islam ini lebih
terlibat dengan kehidupan sehari-hari rakyat; fatwa membahas masalahmasalah kehidupan berkeluarga, pernikahan, dan tata cara yang sesuai
13

agama. Mulai dari Afrika Barat melalui Asia Selatan dan masuk kedalam
dunia Melayu, akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan
belas menghadirkan reformis Muslim lokal dan pergerakan-pergerakan
pembangkitan kembali yang memiliki tujuan yang sama dan retorika
keras yang sama (Hardy 1972, 53; Jones 1994, 18-20; Ahmed 1996, 39;
Vikor 1999).
Namun, meskipun kaum Padri memiliki banyak pembaruan,
mereka lebih mendalam menentang kebiasaan adat lokal; hak waris
matrilineal Minangkabau dan tempat tinggal setelah menikah harus di
pihak wanita yang sangat berlawanan dengan hukum syariah dan tidak
mungkin diabaikan. Telah muncul konsekuensi bagi pembicaraan baru
mengenai kehidupan pribadi ini. Di Indonesia, perhatian pada kehidupan
keluarga dan kehidupan sehari-hari pada akhir abad kedelapan belas
dan awal abad kesembilan belas menandakan apa yang pada awal
abad keduapuluh dikenal sebagai moderen. Pada abad kesembilan
belas, lingkup publi bagi Islam dikembangkan seputar permasalahan
bahwa negara penjajah tidak berbagi (walaupun Belanda, dan, pada
tingkat yang lebih rendah, Inggris memang berupaya mengendalikan
kehidupan pribadi dari rakyat yang dijajahnya). Para muslim tidak
diperkenankan berpolitikdi Hindia Belanda bagian timur, para haji
dilarang bekerja pada pemerintahan sipil kolonialnamun mereka
bersikap politis dalam membahas masalah-masalah sosial. Dari Mekah
pada akhir abad kesembilan belas, Shiekh Ahmad Khatib dari
Minangkabau berkampanye melawan hak waris matrilineal di daerahnya
(Huda 2003). Para muridnya dan pembacanya menjadi inti pergerakan
reformis awal abad kedua puluh. Ketika pada tahun 1910, pemerintah
kolonial mencoba memperkenalkan politik partisipasi nominal pada
pribumi, mereka mengharapkan sebuah proses perlindungan diri yang
panjang. Bagi para ulama, pembelajaran perubahan tidak diperlukan
untuk perilaku yang bertentangan dengan agama, dan menjadi mimpi
buruk bagi pemerintah kolonial, mereka jatuh kedalam lingkungan politik
14

yang sepenuhnya dikembangkan oleh para ulama.


Terjebak dalam gelombang reformasi Islam pada abad kedelapan
belas, Tuanku nan Tuo, seorang reformis moderat dimana ditangannya
kaum Padri di masa mendatang bersatu, mendesak aplikasi hukum
Islam yang lebih ketat, kehadiran yang lebih baik pada shalat Jumat,
pelarangan judi dan mabuk, dan penghentian perampokan dan
perbudakan

yang

tiba

dengan

perdagangan

yang

meningkat.

Perdagangan ini juga menghasilkan kekayaan baru, dan lebih banyak


orang memiliki sarana untuk menjalankan ibadah haji. Hijaz dan Mekah
menjadi penuh dan gempar pada akhir abad kedelapan belas dan awal
abad sembilan belas. Dari dekade akhir abad kedelapan belas, para
Wahabi terlibat dalam kampanye penaklukan di sana, untuk sementara
waktu menempati Mekah pada tahun 1803 dan merebut kota tersebut
dari tahun 1806 sampai 1812. Para pengikut Wahabi menolak
interpretasi tekstual karena inovasi dan permintaan yang bersifat taat
pada cara hidup yang mengikuti Al-Quran dan Hadits. Di Hijaz, kaum
Wahabi membakar buku-buku, menghancurkan kubah, menghancurkan
makam-makam dan situs perjalanan suci, dan menurut seorang
cendekia yang kecewa, mereka juga terlibat dalam sebuah kampanye
pembunuhan dan penjarahan di seluruh Arab (Algar 2002, 20).
Suatu waktu setelah pendudukkan Wahabi pada tahun 1803, tiga
orang haji dari Minangkabau kembali dari Mekah, dimana, menurut
setiap catatan sejarah, mereka telah dipengaruhi oleh ajaran laskar
penakluk itu. Namun, kejadian yang kebetulan bukanlah merupakan
bukti, dan tidak dalam satu catatan Minangkabau apapun yang
ditemukan menyebutkan Wahabisme pada era perang Padri. Meski
demikian, beberapa nasionalis Indonesia berfokus pada penolakan yang
jelas dari Tuanku Imam Bondjol atas ajaran Wahabisme ini dan
merangkul sebuah visi masyarakat Minangkabau yang melibatkan kaum
elit tradisional. Penulis lainnya menyatakan bahwa beliau tidak pernah

15

terlalu puritan, dengan menunjuk pada buku catatan yang disimpan oleh
orang-orang Bonjol yang berisi tulisan Tuanku mengenai peramal (Dawis
dan marzoeki 1951, 65--75). Sebuah teks yang didapatkan di benteng
Bonjol dan sekarang disimpan di ruang baca manuskrip perpustakaan
Universitas

Leiden

menunjukkan

ilustrasi

rumah

tangga

Nabi

Muhammad dan situs-situs suci di Mekah. Ini bukanlah bahan bacaan


yang tentunya disetujui ajaran Wahabi. Di Indonesia saat ini, Imam
Bondjol disamakan dengan seseorang dengan keyakinan religius
mendalam, protonasionalis dan perlawanan anti-kolonial, dan bahkan
patriot Minangkabau. Opini populer ini juga dinyatakan oleh para
cendekia seperti E. B. Kielstra (1887) dan B. Schrieke (1920), yang
menambahkan bahwa Tuanku Imam Bondjol, dan bahkan pergerakan
Padri secara umum, seharusnya tidak dianggap Wahabi. Kaum Padri
mengizinkan para peziarah (yang menjalankan haji) untuk berziarah ke
makam, tanpa berupaya untuk menetapkan suatu hierarki pada
pemerintahan Minagkabau yang terdesentralisasi secara tradisional, dan
mengizinkan

para

muslim

untuk

menghormati

kelahiran

Nabi

Muhammad melalui perayaan Maulid (Pada pernyataan terakhir ini,


Schrieke merujuk pada Jalaluddin, yang tentunya bukan seorang Padri;
lihat Dobbin 1972, 9; Steenbrink 1984, 35-36).
Namun, setiap komentator kontemporer dari Belanda dan Inggris,
dan setiap partisipan dalam perang, tidak ragu untuk mengindikasikan
bahwa pergerakan ini didasari pada ajaran Abdul Wahab. Dalam sebuah
surat tahun 1820 yang ditujukan pada William Marsden, Thomas Raffles
menyatakan bahwa kaum Padri nampaknya menyerupai Wahabi dari
padang pasir. Mereka telah membuktikan bahwa mereka tidak berbelas
kasihan dan tiran; namun peraturan mereka nampaknya diperhitungkan
untuk

direformasi

dan

diperbaiki,

karena

peraturan

mereka

memperkenalkan semacam wewenang yang sangat diinginkan diseluruh


Sumatera (1835, 84). P. J. Veth, dalam pendahuluannya pada catatan
religius dari perang Padri, menghubungkannya dengan Wahabi (Stuers
16

1849, xcix), dan pada sejarah Sumatera pertama yang ditulis dalam
bahasa Melayu, yang ditulis dengan suatu bias anti-padri, pengaruh
Abdul Wahab ditegaskan sebagai fakta (Moeda 1903, 55). Pada tahun
1939, salah satu penulis biografi fanatik Tuanku tanpa ragu akan
menyebut pergerakan Padri sebagai Wahabi (Dihoeloe 1939, 29-30).
Label Wahabi pada awalnya dianggap sebagai sebuah penghinaan,
yang mengindikasikan bahwa ideologi reformis sama sekali tidak asing
dalam konteks Melayu. Saat ini, Wahabisme Padri merupakan masalah
kebanggaan bagi para Muslim reformis Indonesia yang radikal. Tidak
mungkin mengetahui dengan sangat pasti apakah ketiga haji tersebut
secara langsung dipengaruhi oleh Wahabisme ketika tengah berada di
Mekah (Roff 1987, 37-39). Satu hal yang jelas ialah bahwa bagi para
haji yang kembali ini, budaya Minangkabau tradisional tidak dapat
diterima;

matrilineal

dan

rumah

gadang

matrilokal

tidak

dapat

dikompromikan dengan ajaran esensial Islam. Salah seorang haji, yang


dikenal sebagai Haji Miskin, bersekutu dengan para reformis yang lebih
tidak sabar dalam lingkungan Tuanku nan Tuo yang telah mendirikan
desa-desa yang dibentengi, menumbuhkan janggut, memakai jubah dan
turban,

dan

berupaya

menciptakan

kembali

budaya

Arab

di

pengunungan Sumatera Barat. Kombinasi dari reformis lokal dan


semacam pengaruh yang menyerupai Wahabi inilah yang kemudian
dikenal sebagai pergerakan Padri. Pada sebuah penentangan terbuka
dengan kekerasan terhadap kaum pendukung Materi, ektremis kaum
Padri, Tuanku nan Renceh, membunuh bibi dari pihak ibunya (Steijn
Parv 1854, 271-72). Kaum Padri mendeklarasikan jihad melawan kaum
elit matrilineal, dengan membakar rumah gadang dan membunuh para
tokoh pemuka tradisional yang menjunjung tinggi adat dihadapan
perintah agama. Perang Padri ini merupakan serangkaian konflik yang
berlarut-larut, dan negara Padri, yang dipengaruhi oleh tradisi politik
Minangkabau yang bersifat desentralisasi dan demokratis, kekurangan
hierarki

administratif

yang

jelas.

Desentralisasi

kekuasaan

17

memungkinkan semacam peperang gerilya yang tidak mendorong


pertempuran yang klimatis atau tragis. Pada tahun 1815, kaum Padri,
dengan menggunakan skenario pembicaraan damai, membantai rumah
bangsawan Pagaruyung yang berjarak dekat dengan Batu Sangkar (H.
1838, 130). Mereka berbalik melawan Tuanku nan Tuo dan Syekh
Jalaluddin, dengan menyebut mereka Rahib Tuo dan Rajo Kafir (Kratz
dan Amir 2002, 41).
Selama dua puluh tahun, perlawanan sporadis diantara reformis
dan tradisionalis memaksa Sumatera Barat dalam keadaan tidak stabil.
Bertekad untuk merehabilitasi perekonomian Belanda pasca perang
Napoleon (terlebih lagi setelah mundurnya Belgia pada tahun 1830) dan
dengan

teriming-imingi

rumor

emas

dan

kekuasaan

istana

Minangkabau, pada tahun 1821, pemerintah kolonial Belanda kembali


ke pelabuhan Padang, menandatangani perjanjian dengan tradisionalis,
dan mengirimkan pasukan menuju perbukitan. Pada titik inilah dimana
arsip Belanda yang luas mengambil alih catatan sejarah Perang Padri.
Menurut sejarah ini, serangkaian kesepakatan dan penghianatan pada
seluruh pihak yang

berkonflik membubuhkan dua belas tahun

pertempuran yang sulit.

Namun pada tahun 1830, Pihak Belanda

mampu memperkuat kembali pasukan mereka dengan tentara Belanda


dan orang Jawa yang baru memenangkan pertempuran melawan
Diponegoro, dan pada tahun 1832, Belanda telah mengalahkan Bonjol
dan nampaknya menggabungkan Sumatera Barat kedalam jajahannya
yang semakin berkembang. Namun, jatuhnya kaum Padri pada tahun
1833 diikuti oleh penyatuan reformis muslim dan tradisionalis matrilineal
dalam sebuah perlawanan baru terhadap pendudukan asing. Enam
tahun selanjutnya berlangsung peperangan yang ganas, dan pada tahun
1838, Minangkabau dikalahkan, para pemimpin mereka dibunuh atau
diasingkan seperti halnya Tuanku Imam Bondjol. Menurut catatan arsip
dan sejarah yang ada dari Belanda, kemenangan ini dihasilkan dari
masuknya Belanda kedalam kopnflik pada pihak tradisionalis adat
18

matrilineal yang mencegah Sumatera berubah menjadi pos Wahabi


yang

permanen.

Memoar

Tuanku

Imam

Bondjol

mengungkap

kebohongan pada cerita ini.


Ketika para reformis dikalahkan secara militer, argumen-argumen
mereka atas interpretasi yang ketat atas Al-Quran dan Hadits tetap
diyakini di Sumatera Barat. Selama dua abad, para intelektual
Minangkabau telah terpanggil untuk mmebela keberadaan adat
matrilineal dihadapan kritik yang kuat dari para reformis Islam. Dan
meskipun terdapat prediksi secara terus- menerus atas kematian yang
mendekat atas matriarchate Islam mereka, orang-orang Minangkabau
telah berhasil mempertahankan dan memperkuat tradisi yang bersifat
matrilienal mereka. Perang Padri dan kritik reformis atas adat
Minangkabau mendesak para pendukung adat untuk menyatakan dan
mempertahankan legitimasi kepercayaan mereka. Secara paradoks,
neo-Wahabismelah yang memelihara adat matrilineal di Minangkabau;
di Kerala di India bagian Selatan dan negeri sembilan di Malaysia, adat
matrilineal runtuh dibawah serangan yang lebih merusak dari negara
kolonial dan pelopor modernitas awal abad kedua puluh (Peletz, 1988,
1998; Arunima 2003).

Perang (Kata-kata)

Pegunungan Minangkabau, dimana ketiga haji Wahabi kembali,


tidaklah statis. Perkebunan kopi kecil telah menghasilkan kekayaan
individual yang cukup besar, dan pusat-pusat Islam lokal dan tarekat
telah ada, yang membangun sebuah jaringan kerja regional dari
pengaruh religius dan persahabatan. Sebuah sistem jalan setapak yang

19

luas yang menghubungkan desa-desa pegunungan ke pesisir barat dan


ke sungai-sungai yang mengalir dari timur ke Selat Malaka (Asnan
2002). Pasar harian yang berotasi bergantian diantara berbagai kota,
parameternya ditandai oleh jarak dimana seekor lembu yang bermuatan
penuh barang dapat pulang dan pergi pada satu malam. Pasar ini
merupakan sebuah kesempatan untuk menyebarkan berita, untuk
menceritakan cerita-cerita tradisional, dan untuk mendapatkan relasi di
luar desa. Hal ini merupakan prototipe rantausebuah kesempatan bagi
perjaka muda untuk meninggalkan rumah dan mendampingi ibu dan
ayah mereka mengarungi dunia yang lebih luas, meskipun masih
terbatas. Sistem pasar ini merupakan salah satu sarana utama dimana
identitas dan bahasa Minangkabau dipelihara. Dan perampokan yang
merajalelamasalah utama kaum Padritelah mengacaukan sirkuit
tradisional ini.
Catatan asal-usul Tuanku Imam Bondjol menegaskan bahwa
orang tua beliau ialah orang arab atau bahkan orang Maroko (Djaja
1946, 5). Tergantung dari penulisnya, perubahan narasi ini mungkin
telah memperbaiki catatan identitas Tuanku sebagai Muslim (khususnya
karena beliau bukan seorang haji) atau menghilangkan asosiasi Melayu
dan protonasionalisnya (dengan ini menjelaskan sebagai keturunan
Arab, kaum Padri memiliki kecenderungan terhadap kekerasan dan
kebencian terhadap wanita). Dalam memoarnya sendiri dan dalam
catatan Belanda pada periode yang sama, sama sekali tidak disebutkan
nenek moyang asing. Beliau merupakan seorang penduduk desa dari
bukit Alahan panjang di bagian utara pegunungan Minangkabau. Alahan
Panjang merupakan wilayah yang miskin dan gersang, dan anak laki-laki
lokal khususnya didorong untuk bermigrasi keluar dan mencari
kekayaan. Tuanku Imam Bondjol muda menjelajahi jaringan kerja
sekola-sekolah Islam, dengan belajar pada guru-guru yang berbeda
sesuai dengan spesialisasi mereka. Yang terpenting, beliau merupakan
murid dari ayahnya sendiri, Khatib Bayanudian, dan pada akhirnya
20

bergabung dengan surau ayahnya sebagai guru dengan gelar Peto


Syarif.
Sebagai seorang alim muda pada akhir tahun 1790, Tuanku
mengantar pelindungnya, Ketua adat Datuk Bandaharo, ke pusat
reformis yang dipimpin oleh Tuanku nan Tuo. Tuanku dan Datuk
merupakan bagian dari pergerakan reformis disana ketika ketiga orang
yang telah haji kembali, dan Tuanku sangat terinspirasi oleh ajaran yang
menyerupai Wahabi dan cara berpakaian yang mereka pakai dan
panggilan hati mereka untuk kembali pada syariah. Beliau bergabung
dengan Padri, namun beliau tidak dianggap menjadi salah satu yang
kasar dan agresif diantara mereka, terdapat satu kelompok yang dikenal
sebagai Harimau Nan Salapan (Delapan Macan). Dari memoar ini, jelas
bahwa Datuk Bandaharo merupakan penjaga rahasia Tuanku dan
mungkin pemimpinnya. Pada awal tahun 1800, kedua orang ini
membangun benteng Padri di Alahan Panjang untuk membayar jihad
mereka. Kekuatan anti-Padri berkonsentrasi melawan mereka, dan
Datuk Bandaharo diracun dan meninggal. Pada titik inilah Tuanku
merelokasi bentengnya ke dasar Gunung Tajadi di desa Bonjol, yang
kemudian berubah menjadi Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1807.
Perang Padri, sampai ke intervensi Belanda, merupakan perang
saudara yang pahit. Tuanku Imam Bondjol melihat pada kedelapan
Macan, dan khususnya Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh, mengikuti
mereka sebagai contoh dan menjadikan bentengnya sebagai pusat jihad
di daerah utara. Berdasarkan memoar beliau, kita mengetahui bahwa
Tuanku Imam Bondjol mengatur pembakaran desa Koto Gadang dan
memerintahkan Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao untuk membawa
jihad lebih jauh ke utara sampai dataran Batak. Benteng Bonjol menjadi
semakin makmur karena Tuanku Imam Bondjol merampas ternak, kuda,
hasil pertambangan, dan budak-budak selama kampanyenya. Pada titik
ini dalam karir Tuanku, Belanda bergabung didalam pertempuran dan di

21

lembah-lembah utama perlahan mulai mencaplok wilayah Padri. Haji


Miskin telah terbunuh (Tuanku Nan Renceh kemudian meninggal
dikarenakan penyakit), dan tempat kekuasaan Padri beralih menuju
utara, ke Bonjol. Kekuatan tuanku Imam menghasilkan keberhasilan
yang besar dalam mengislamkan Batak bagian selatan dan bahkan
mencapai tepi Danau Toba. Ia membuat kontak dengan para pemimpin
Muslim di Aceh dan berdiri tenang memimpin pergerakan penggugah
yang menyebar di seluruh bagian utara Sumatera. Sementara Belanda
muncul di pusat Minangkabau dan mulai secara langsung melawan
kekuatan Bonjol, Tuanku Imam berada dalam posisi militer yang kuat.
Kavalerinya dan pengetahuannya atas dataran dan pegunungan
tidaktertandingi,

dan

pasukannya

terbukti

mampu

mengalahkan

kekuatan Belanda (Kroef 1962, 151-53; Clarence-Smith 2004, 276).


Kendali atas sawah dan tanah perkebunan, dan juga pertambangan
emas, menjamin makanan dan perbekalan para tentaranya. Namun,
pada memoarnya, tuanku merasa ragu dan merasa perlu untuk
menegaskan kembali fokus perjuangannya. Beliau merenung selama
delapan hari dan kemudian memanggil para penasehatnya untuk
pertimbangan mendalam. Terdapat banyak hukum Quran yang telah
kita abaikan. Bagaimana menurut kita? (Adapun hukum kitabullah
banyaklah nan terlampau dek oleh kita. Itupun bagaimana pikiran kita?)
Para penasehatnya menegaskan, Kita telah mengabaikan banyak
hukum Quran (Banyak lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita) (Imam
Bondjol 2004, 39).
Dengan barang rampasan beliau, Tuanku mendanai empat
pengikutnya, termasuk Tuanku Tambusai dan keponakan matrilinealnya
bernama Fakih Muhammad, mengirim mereka untuk menjalankan haji
untuk memperoleh hukum Allah yang sesungguhnya (kitabullah nan
adil/hukum Kitabullah sebenarnya) di Mekkah (Imam Bonjol 2004, 3940). Tuanku terus berperang secara agresif, membakar desa-desa
musuh, membunuh bangsawan, dan membangun mesjid. Namun sang
22

haji kembali dengan berita yang tidak diharapkan: Mereka melaporkan


bahwa di Mekah, kaum Wahabi telah jatuh dan hukum-hukum yang
dipelajari oleh Haji Miskin tidaklah benar. Didalam teks naskah, Tuanku
Imam Bondjol sekarang membuat perubahan naratif yang luar biasa.
Tuanku

Imam

Bondjol

semakin

berhati-hati

dan

penuh

penyesalan. Beliau segera mengembalikan rampasan perang dan


mengadakan rapat besar yang terdiri atas seluruh Tuanku dan hakim,
basa dan panghulu (pemimpin adat), mendeklarasikan gencatan senjata
dan menjanjikan bahwa beliau tidak akan lagi turut campur dalam
pekerjaan wewenang tradisional. Sementara perselisihan tetap tidak
terselesaikan, rakyat setuju untuk mengikuti hukum adat basandi syarak
syariah sebagai dasar adat.

Dan mereka menerima hukum Al-Quran dan mereka mengikuti


Quran. Sehingga, seluruh barang rampasan perang dikembalikan
kepada para pemiliknya. Dan pada hari Jumat, ketika semua
orang tiba di mesjid, dan mereka belum memulai shalat mereka
kemudian Tuanku Imam, dihadapan seluruh hakim, memperbaiki
beberapa hal sehingga kembali seperti semula. Saya berbicara
kepada seluruh pemimpin adat dan seluruh bangsawan di negara
ini. Dan meskipun lebih banyak musuh akan datang dari segala
penjuru arah daripada memerangi mereka, kamu para pemimpin
adat dan saya akan tinggal dibawah rasa hormat atas satu sama
lain dan perdamaian dan saya tidak akan lagi campur tangan
dalam kehidupan para pemimpin adat di Negari Alahan Panjang.
Sehingga saya mengembalikan segala yang apa buruk dan baik
di nagari ini [konfederasi desa].

Dan terbawalah hanyolai hukum kitabullah dan terpakai kitabullah


23

hanyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dankembali


hanyolai kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dan
sekalian sudah tiba dalam mesjid, antara lagi belum lagi
sembahyang maka beliau Tuanku Imam memulangkan hanyolai
masa itu dan sekalian hakim. Kepada sekalian basa dan
penghulu dengan segala raja-raja dalam nagari ini. Dan jikalau
ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan oleh
basa dan penghulu saya hendak tinggal dituahnya hanyolai dan
tidak lagi saya amoh masuk dalam pekerjaan segala basa dan
penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan memulangkan
saya buruk dan baik nagari ini

Sekarang anda berbicara kepada kami seperti ini Tuanku dan


pada Andalah sekarang harapan kami berlabuh. Anda akan
menggantikan para tetua kami, dan jika dijajah atau ditekan, kami
akan mengadu pada anda dan anda akan menjadi pelindung
kami. Ini merupakan permintaan seluruh pemimpin adat pada
Tuanku Imam. Sehingga mereka mengaplikasikan hukum sesuai
dengan ajaran Quran. Dan para pemimpin adat menggunakan
hukum adat basandi syaraksyariah sebagai dasar adat. Dan
jika ada masalah dengan adat, maka akan dibawa pada para
pemimpin adat. Dan jika terdapat masalah dengan hukum Islam,
maka akan dibawa kehadapan empat ahli Islam. Sehingga,
informasi ini menyebar pada setiap nagari dan luhak dari nagari
Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai [garis depan Mandailing]
sampai ke Agam dan Tanah Datar, sampai 50 Koto dan Lintau.
Dan sehingga sampai hari ini setiap nagari menggunakan divisi
pemerintahan ini.

24

Sungguhpun demikian, kata Tuanku kepada kami, melainkan


Tuanku juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kami
akan ganti ninik mamak oleh kami dan kalau sasak dan
sempitnya pada kami melainkan tempat mengadu juga dan
pemelihara Tuanku juga kepada kami. Itulah permintaan
sekalian basa dan penghulu kepada Tuanku Imam. Dan
kemudian itu terpakailah hukum nan sepanjang kitabullah. Dan
jikalau ada bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu.
Dan jikalau ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan
berempat. Maka masyurlah tiap-tiap nagari dan lukah dan nagari
rao Tambusai lalu pula ke luhak Agam dan luhak Tanah Datar
sampai sekarang kini, lainnya terpakai juga pada tiap-tiap luhak
dan nagari. (Imam Bonjol 2004, 53-55)

Ini merupakan teks yang rumit dan yang bahasanya menyimpang dari
naratif lain yang langsung tanpa basa basi dari naskah Tuanku Imam
Bonjol. Tuanku menulis memoarnya selama berada dalam pengasingan
di ambon dan Manado (lihat gambar 2). Beliau memikirkan pembaca
ganda yaitu pemerintah kolonial Belanda dan generasi Minangkabau,
dengan mengetahui bahwa pihak militer Belanda akan membaca
memoar itu dan anaknya akan membawa memoar tersebut ke Sumatera
Barat. Rapat yang digambarkan di sini merupakan saat transformasi
dalam sejarah Minangkabau. Perang Padri sebagai perang reformasi
Islam

ditinggalkan.

Tuanku

menyerah

dalam

perjuangannya

memurnikan Islam di Minangkabau dan segera meninggalkan rumahnya


dan mesjidnya di Bonjol. Bahasa yang digunakan beliau juga terlalu
ambigu. Beliau pada saat yang bersamaan disanjung dan dicemoooh
oleh para mantan musuhnya.
Dalam memoarnya, kehendak Tuanku Imam untuk melawan
sesama saudara Minangkabaunya hancur ketika beliau mengetahui
25

bahwa ajaran Wahabi tidak dapat dipercaya. Dalam sebuah tindakan


dengan

keberanian

moral

yang

besar,

Tuanku

kepada

publik

mengumumkan ideologinya, menciptakan perbaikan, dan meminta maaf


atas penderitaan yang telah disebabkan perang ini. Dalam memoarnya,
para musuh Imam Bondjol merespon secara kaku, memandang beliau
sebagai

seorang

pelindung.

Namun

masih

terdapat

beberapa

ambiguitas dan bahkan kemarahan dalam bahasa yang digunakan.


Mereka menuntut Tuanku Imam menggantikan para tetua mereka,
orang-orang cenderung terbunuh oleh kaum Padri dalam peperangan
mereka melawanan kekuasaan tradisional. Dan tidak jelas apakah
Tuanku Imam menunjuk pengganti atau secara langsung mengambil
nyawa orang-orang yang ia bunuh. Dalam harapannya akan kedamaian,
Tuanku

menggunakan

istilah

dituahnya.

Ini

merupakan

bentuk

pemberkahan dari pihak bangsawan yang umumnya dilakukan oleh


jenis-jenis bangsawan yang ingin dihilangkan oleh kaum Padri. Tuanku
Imam Bonjol mengembalikan status quo sebelum perang saudara,
dengan membatasi kekuasaan agama pada urusan syariah dan
mengizinkan para pemimpin adat untuk membahas maslaah-masalah
sosial. Beliau menyatankan bahwa adat basandi syaratsyariah akan
bersifat fundamental, bahkan pada pertanyaan-pertanyaan adat sosial.
Bahkan pegawai pemerintah Belanda melaporkan pada tahun 1837
penerimaan yang meluas atas formula ini, Adat barsan di Sarak dan
Sarak barisan di adat, yang menegaskan bahwa baik hukum Islam dan
adat lokal tersusun secara mutual dan interdependen (Francis 1839,
113-14). Imam Bondjol mengklaim semacam kemenangan dalam
akomodasinya dengan para tradisionalis. Padahal kita mengetahui
bahwa

beliau

telah

membubarkan

Padri

sebagai

pergerakan

kebangkitan Muslim dan bahwa beliau akan segera mundur sementara


dari perannya sebagai pemimpin.
Suara pendapat memoar sekarang telah habis; Tuanku imam
ingin berdamai dengan Company (istilah umum untuk pemerinta
26

kolonial Belanda lama setelah pembubaran VOC), beliau lelah hidup


dalam sebuah negara yang kepemimpinannya terbagi (Imam Bonjol
2004, 43). Segera setelah pertemuan dengan para pemimpin lokal,
beliau menghimpun keluarganya dan meninggalkan Bonjol menuju
Alahan Panjang, menyerahkan bentengnya pada tiga pemimpin adat.
Dalam hitungan hari ketiga panghulu ini setuju untuk menyerahkan
Bonjol

pada Belanda dengan catatan bahwa pasukan belanda tidak

akan mengganggu benteng tersebut. Namun, tentara Belanda dan Jawa


segera mengusir penduduk Minangkabau dari Bonjol dan menempati
benteng tersebut, dengan menggunakan rumah Tuanku dan bahkan
mesjid beliau sebagai garnisun. Tuanku Imam mengetahui hal ini dan
mengadakan

rapat

dengan

Komandan

Belanda

Elout.

Dalam

percakapan mereka, Tuanku Imam menawarkan gencatan senjata,


dengan menjelaskan bahwa ia telah berusia enam puluh tahun dan
terlalu letih untuk bertempur. Elout menawarkan pensiun dan menunjuk
Tuanku Mudo, anak didik Tuanku Imam Bondjol, sebagai bupati Alahan
Panjang. Namun perdamaian tidak bertahan lama. Baik kaum Padri dan
tradisionalis murka pada penyalahgunaan benteng dan mesjid oleh
tentara Belanda dan Jawa. Setelah terjadi sebuah insiden penganiyaan
pekerja Minangkabau oleh Belanda dimana seorang pria tertembak,
pekerja Minangkabau tersebut (menurut cerita dalam memoar) lari
mengamuk, membunuh soerang tentara Jawa yang berkemah di dalam
mesjid dan 139 orang Eropa yang bertugas di kota tersebut. Pada 11
Januari, 1833, perang memasuki fase yang baru, yaitu perang
perlawanan bersama

rakyat Minangkabau

terhadap

pendudukan

Belanda.
Tuanku Imam Bondjol kembali lagi menjadi pemimpin militer, dan
memoar tetap sangat terperinci. Beliau seringkali diburu, tinggal di hutan
belantara, terlibat dalam peperangan gerilya melawan Belanda. Tuanku
Imam tidak lagi merupakan seorang revolusioner yang ingin mengubah
masyarakat yang rusak dan mengajarkan agama pada orang-orang
27

senegaranya. Beliau berupaya mengusir penjajah asing, dan beliau


berusaha bertahan. Memoar yang ditulis menggambarkan sebuah
kehidupan yang berganti dari rumah ke rumah, menulis daftar nama
para ibu dan anak yang terbunuh dalam pertempuran, memimpikan harihari yang damai di Alahan Panjang. Tuanku Imam Bondjol bukan lagi
seorang pria yang diberkahi dengan pengabdian dari para pengikut
setianya. Memoarnya menjadi sebuah teks atas keraguan dan
kegentaran. Tuanku Imam Bondjol lelah hidup di hutan dan takut atas
kesejahteraan

keluarganya.

Beliau

menjadi

semakin

bersikap

mendamaikan, dengan berpidato pada para elit tradisional dan


memastikan mereka atas posisi esensial mereka dalam masyarakat
Minangkabau,

menemui

pemerintah

Belanda

dan

berupaya

memenangkan jaminan perlindungan bagi anak-anaknya. Pertempuran


tetap berlangsung sangat mengerikan, namun perlahan, Belanda
memenangkannya dan mengambil alih Bonjol, dengan mengalahkan
perlawanan Minangkabau pada tahun 1837.

Residen Francis dan

pegawai pemerintah Belanda lainnya memutuskan bahwa Tuanku Imam


terlalu berbahaya untuk mengizinkannya tetap tinggal di Sumatera
Barat. Sebagaimana beliau minta, beliau diasingkan ke Jawa, kemudian
ke Ambon, dan pada akhirnya ke Manado, dimana setelah lima tahun
yang penuh dengan sakit-sakitan, pada tahun-tahun terakhirnya, dan
sayangnya (Imam Bonjol 2004, 190), Tuanku Imam meninggal.
Tuanku Imam Bondjol memiliki ilham penyesalan menyangkut
ajaran yang menyerupai wahabi dan kemudian kehidupan kedua yang
menggabungkan peperangan dengan pembicaraan damai. Namun
sebagaimana ditegaskan laporan Belanda, karirnya ditandai oleh
kekerasan yang ekstrim. Pada tahun 1820, reformis moderat jalaluddin
mengutarakan pengalamannya sendiri dalam perang bagi pendengar
bahasa Belanda. Jalaluddin mengeluhkan bahwa memang, tradisionalis
Agam tidak ubahnya seperti perang, tidak mampu membedakan halal
dari haram, dan bersedia menjual ibu dan saudara mereka denga harga
28

yang sesuai. Namun kaum Padri lebih buruk.

Terdapat aspek-aspek yang baik dari Tuanku Padri, mereka


mengatur berdoa dan mendorong berzakat dan berpuasa selama
Ramadan, dan menjalankan haji ketika mereka mampu, dan
memperbaiki

mesjid

dan

tempat-tempat

pemandian,

dan

memakai pakaian yang sesuai, dan memerintahkan orang-orang


untuk mengejar pengetahuan dan berdagang. Tedapat aspekaspek buruk dari Tuanku Padri yang melakukan pembakaran
rumah, yang [tanpa pemerintah adat] menunjuk pemerintahan di
desa, dan membunuh tanpa sebab yang jelas, dimana mereka
membunuh seluruh ulama [yang tidak sepakat dengan mereka],
dan

membunuh

seluruh

intelektual,

menyebut

mereka

pengkhianat, dan menjarah dan merampas, dan mengambil


wanita yang memiliki suami, dan menikahi para wanita yang
memiliki kedudukan yang tidak sesuai tanpa persetujuan mereka,
dan menangkap orang-orang dan menjualnya menjadikannya
budak, dan menjadikan tawanan sebagai gundik, dan menghina
orang-orang

bangsawan,

dan

menghina

para

tetua,

dan

menyebut mereka yang taat sebagai kafir, dan mengutuk mereka.

Adapun yang baik sebalah Tuanku Padri ialah mendirikan


sembahyang dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulan
Ramadan, dan naik haji atas kuasa, dan perbaiki mesjid dan
perbaiki labuh tepian, dan memakai rupa pakaian yang hala, dan
menyuruhkan orang menuntut ilmu, dan berniaga. Adapun
sekalian yang jahat daripada Tuanku Padri menyiar membakar,
dan menyahkan orang dalam kampungnya, dan membunuh
orang dengan tidak hak, yaitu membunuh segala ulama, dan

29

membunuh orang-orang yang berani, dan membunuh orang yang


cerdik cendekiawan, sebab berudu atau khianat, dan merabut
dan merampas, dan mengambil perempuan yang bersuami, dan
menikahkan perempuan yang tidak sekupu dan tidak relanya,
dan menawan orang yang berjual dia, dan bepergundi tawanan,
dan mehinakan orang yang mulia2, dan menghinakan orang
tuha, dan mengatakan kafir orang beriman, dan mencala dia.
(Kratz dan Amir 2002, 49)

Reaksi para orang Eropa terhadap kekerasan kaum Padri ini


akan memberikan implikasi yang luas bagi pengetahuan mengenai
orang Indonesia. William Marsden yang berketurunan Inggris dan
Sumatera yakin bahwa kerajaan Minangkabau merupakan pusat
kebudayaan dunia Melayusebuah tempat dimana Sansekerta dan
budaya

India

pertama

bersentuhan,

menyatu

dalam

kehidupan

masyarakat dan pada akhirnya melepaskan Melayu karena muncul


orang Jawa. Pada essay awal yang sangat berpengaruh, Marsden
merekomendasikan suatu eksplorasi pada kerajaan Minangkabau,
dimana teks-teks asli transmisi Hindu-Melayu mungkin ditemukan, tanpa
dipengaruhi oleh bahasa Arab (Marsden 1807, 218, 223). Gagasan
bahwa Minangkabau merupakan rumah nenek moyang orang-orang
Melayu telah membentuk ilmu bahasa Indonesia, sebagaimana terus
membentuk persepsi diri orang Minangkabau sampai saat ini (Cust
1878, 133; andaya 2000). Karenanya Perang Padri merupakan
ancaman bagi Pagaruyung, istana Minangkabau kuno dan sumber
budaya Melayu (Drakard 1999). Minangkabau diberikan sebuah posisi
khusus dalam strata kultural Indonesia. Essay Marsden menyatakan
Minangkabau sebagai titik kontak India bagi dunia Melayu. Istana
Pagaruyung, kerajaan yang diceritakan di pegunungan Minangkabau,
30

bagi

para

murid

Ilmu

Indonesia

pada

abad

kedelapan

belas

menempatkan orang-orang Melayu pada dasar kultural yang sama


sebagaimana para tetangganya yang lebih Hindu, orang-orang Jawa.
Ketika Raffles melakukan ekspedisinya yag terkenal menuju
pegunungan Padang pada tahun 1818, hipotesis Marsden diuji. Rafles
menempuh perjalanan ke daerah pedalaman dari Padang, mencari
kerajaan legendaris Pageruyong, dan menemukan sebuah reruntuhan
dimana batas-batasnya hanya ditandai oleh pepohonan buah dan
kelapa. Dalam suatu prestasi alkimia arkeologi, Raffles membayangkan
kerajaan ini dari puing-puing dan semak belukar. kota yang dulunya
luas telah tiga kali terbakar, dan peperangan Padri yang terus-menerus
telah meninggalkan benteng Hindu-Melayu yang besar dan tertutup
rumput liar. Didesa suruaso, Raffles dan rombongannya dikawal menuju
kediaman terbaik yang disandang tempat inimenuju istana, sebuah
rumah kayu kecil sekitar tiga puluh kaki, terletak dengan indah di tepi
Sungai Emas (Soongy Amas). Disini kita diperkenalkan pada Tuan
Gadis yang memerintah kota. Reruntuhan ini (atau reruntuhan
khayalan) merupakan bukti dari sjarah yang hebat dan agung dari
melayu, sebuah peradaban yang dahulu menyaingi Jawa dan sekarang
terbukti memburuk. Dan ketika Raffles mengakhiri tangga batu sebuah
mesjid kecil, ia menemukan prasasti Kawi asli [Sansekerta Jawa kuno],
kita mengetahui apa yang harus disalahkan untuk perusakan tragis ini:
Islam. Nekropolis Pagaruyung, situs dari banyak gedung luas sekarang
telah hilang seperti bayangan, dibatasi tanah kering dan sedikit
pepohonan yang patut dimuliakan. Melankolis, mengutip dari Brata
Yudha, Raffles masih dapat melihat istana dari sebuah pohon tebu yang
berdiri, tahta yang digores pada sebuah batu datar besar (Raffles 1830,
358-60).
Misi Raffles menandai permulaan dari penetrasi asing yang
meluas dan terus-menerus kedalam perbukitan Sumatera Barat.

31

Kesedihannya, kegagalannya untuk menemukan kerajaan Hindu-jawa


yang dapat melegitimasi budaya Melayu, akan membuat Islam
Minangkabau dianggap kejam dalam tulisan banyak cendekiwan yang
mengikutinya

menjelajahi

pegunungan.

Dan

persinggahannya

di

serambi mesjid, sebuah pengungkapan bukti asli asal mula Hindu,


dapat berfungsi sebagai sebuah perumpamaan bagi penggalian
syncretic yang kemudian dilakukan oleh para ahli antropologi Indonesia.

Arsip

Kita beralih pada bentuk teks khusus dari Naskah Tuanku imam
Bondjol. Teks ini terdiri atas tiga bagian berbeda. Bagian pertama
berjumlah 190 halaman merupakan memoar Tuanku Imam Imam
Bondjol sendiri, mulai dari masa mudanya sampai kematiannya di
menado, yang dibawa ke Sumatera Barat oleh putra tuanku, Sutan
Saidi, yang menemani beliau dalam pengasingan. Halaman 191-324
merupakan memoar dari putra yang lain, Naali Sutan Caniago, yang
bertempur disisi ayahnya di hutan dan yang diberikan posisi dalam
pemerintah

kolonial

Belanda

sebagai

bagian

dari

persyaratan

penyerahan diri Tuanku. Bagian ketiga, halaman 325-332, berisi menitmenit (proses verbal) dua pertemuan yang diadakan di pegunungan
Minangkabau pada tahun 1865 dan 1875. Banyak kumpulan manuskrip
Melayu berisi bermacam-macam teks dan yang tidak berkaitan
digabungkan

dalam

satu

volume.

Mereka tidak

dibaca

secara

intertekstual. Dalam kasus Naskah Tuanku Imam Bondjol, tepatnya


keterkaitan teks yang memberikan potensi untuk cerita Tuanku.
Akademisi belanda Ph. S. van Ronkel, yang diberikan akses pada
manuskrip pada tahun 1910, ketika manuskrip tersebut berada dibawah
kepemilikan keturunan Tuanku di Lubuk Sikaping, baca bagian ketiga
32

sebagai teks yang berbeda dan terpisah. Dalam sebuah artikel


mengenai Pembentukkan Kode hukum Kami di Pesisir Pantai Barat
Menurut Notasi dalam sebuah Manuskrip Melayu, ia mencatat bahwa
tiga penulis yang berbeda telah menulis bagian-bagian individual (1914,
251). Van Ronkel meringkas bagian ketiga dari Naskah, yang
menggambarkan perhimpunan besar para ahli hukum Belanda, para
pemimpin residensi pemerintahan, dan seluruh pekerja pemerintahan
Minangkabau utama yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia
dengan tepat memandang pertemuan-pertemuan ini sebagai titik
perubahan dalam penggabungan Sumatera Barat kedalam Hindia Timur
Belanda. Dan untuk menghargai signifikansi pertemuan-pertemuan ini,
kita perlu mengulas jenis-jenis campur tangan pemerintah kolonial
Belanda yang diberikan pada masyarakat di wilayah Minangkabau di
antara tahun 1820 dan 1875.
Tahun 1847 mendatangkan cultuurstelsel, sebuah sistem bagi
penanaman kopi secara paksa pada dataran tinggi Sumatera bagian
barat. Dengan sistem ini, belanda menyusun mekanisme untuk
mempertahankan kesatuan manajerial pribumi, termasuk posisi-posisi
Kepala Nagari dan Tuanku Laras, yang pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1823 (Ambler 1988, 49-51). Pihak Belanda memahami bahwa
dengan memanggil administrator regional mereka sebagai Tuanku
akan merendahkan kekuasaan tradisional dan, sampai titik ini, Tuanku
secara ekslusif merupakan gelar Islami. Pada awalnya, Kepala Nagari
bertanggung jawab karena memaksakan pengumpulan dan pengiriman
kopi, menerima sebuah bonus untuk keberhasilannya atau masa
penjara yang cukup lama untuk kegagalan melaksanakan tugas ini
(Colombijn 1998). Pada tahun 1860, posisi yang lebih baru, panghulu
suku rodi, telah diperkenalkan untuk mengatur baik penghimpunan kopi
dan pemenuhan tugas-tugas buruh (Abdullah 1967, 36-37). Pada tahun
1875, para haji secara resmi dilarang bekerja dengan Binnenlandsch
Bestuurpemerintahan sipil kolonialmemperdalam persepsi bahwa
33

pihak belanda bermaksud menyisipkan kaum elit anti-Islam

di

Minangkabau (Hasselt 1882, 61). Ini merupakan periode ketika


Minangkabau secara sarkastis mulai menyebut diri mereka sendiri daun
kopi Melayu, menunjuk pada serpihan semak yang dipanen untuk
mereka jadikan minuman kopi encer (Zed 1983). Ini merupakan periode
yang paling sulit.
Elizabeth Graves mengutip sebuah laporan dari akhir tahun 1860
yang membahas penganiayaan buruh. Orang-orang tidak hanya
terdorong untuk membangun gudang kopi dan gedung pemerintah,
namun juga,

Setiap Tuanku Laras menuntut tempat kediaman dan kantornya


sendiri di dalam pusat wilayah yang digunakan ketika ia harus
berunding dengan petugas Belanda. Lebih buruk lagi, para
petugas lokal, baik Belanda dan Minangkabau, seringkali
menyalahgunakan pajak buruh, dimana pada beberapa kasus
menuntut gaya arsitektur dan dekorasi yang mewah yang
meningkatkan tugas yang memang sudah sulit. (1981, 68)

Pada tahun 2001, anak perempuan dari seorang Tuanku Laras


mengingat persyaratan yang diajukan ayahnyaempat pelayan untuk
melaksanakan tugas buruh dan rumah dengan atap tanduk/mengerucut,
salah satu dari hanya tiga belas yang diizinkan Belanda untuk dibangun
di daerah-daerah tempat hunian baru (Aman 2001, 15, 60). Panghulu,
Kepala, dan Tuanku buatan Belanda ini memperpanjang sistem
penanaman yang dahulu memberikan mereka tujuan dan pembenaran.
Korupsi dari kaum elit adat palsu secara langsung mengarah pada
pemberontakan yang hampir terjadi pada tahun 1897 dan Perlawanan
anti-pajak pada tahun 1908 (Young 1994, 49-83). Namun mereka
34

berhasil melalui tantangan-tantangan ini, dan pemikat-pemikat masa


jabatan mereka sampai sekarang telah membentuk topeng kekuasaan
di Minangkabau.
Ikatan hutang dan perbudakan merupakan hal umum di seluruh
dunia Melayu, dan setiap rumah tangga dapat memiliki budak-budak
pelayan sendiri, orang-orang yang ditangkap melalui razia dan
indentured ke rumah. Kemudian, pada tanggal 1 Januari 1860,
pemerintah Belanda secara resmi menghapus perbudakan di Hindia
(Verker Pistorius 1871, 26-30, 106-11). Pernyataan tersebut tidak
mendorong implementasi langsung. Baru pada tahun 1875 dimana T. H.
Der Kinderen, reforis hukum kolonial, datang ke Minangkabau dari
Batavia, membantai seekor kerbau pada maisng-masing dari ketiga
luhak, dan menyatakan para budak bebas (Kinderen 1875, 1882;
Sanggoeno di Radjo 1919, 93).
Segera

setelah

itu,

masyarakat

elit

Minangkabau

mempergunakan sebuah sarana untuk membedakan kelas dan status


sebuah rumah tangga. Dikembangkanlah sebuah istilah kekeluragaan
baru, seperti kamanakan dibawah lutuik (anak-anak kakak perempuan
dibawah lutut), digunakan untuk menunjuk mantan budak. Keluargakeluarga yang bebas tinggal di rumah gadang di pusat desa, di tempattempat yang dipesan untuk para penduduk asli. Para keluarga budak
dikucilkan, dibatasi pada pinggiran desa, dan pada awalnya dibatasi
hanya pada jenis-jenis rumah tertentu (Verkerk Pistorius 1871).
Pada tahun 1872, Van Harencarspel, yang menggambarkan
dirinya sendiri sebagai sekretaris utama pemerintahan kolonial,
mengajukan regulasi yang mengendalikan pergerakan dan perilaku
domestik untuk seluruh residen non-Eropa dari koloni (Toorn 1894).
Hukum ini menetapkan denda tidak hanya untuk pergerakan dan tempat
kediaman tanpa izin namun juga untuk apa yang dianggap perilaku tidak
pantas dalam rumah gadang. Denda ini diurutkan sesuai dengan
35

pelanggaran yang dilakukan, dan mereka memberikan

kriteria dari

prioritas Belanda.
Pelanggaran-pelanggaran berikut terbukti paling tidak berbahaya
bagi pihak Belanda: pergerakan yang salah dan kesalahan tempat
kediaman dalam sebuah desa menghasilkan penalti hanya mulai dari
satu sampai lima belas rupiah. Seorang wanita dibebani denda yang
sama jika ia tidur dengan seorang pria yang bukan suaminya atau tidur
jauh dari rumahnya selama lebih dari satu malam tanpa izin. Catatan
tambahan memperjelas peraturan ini: Pelanggaran dari larangan ini
timbul jika seorang wanita terlibat dalam berbagai tindakan dengan
seorang pria, namun secara teknis tidak melakukan perzinahan.
Seorang pria juga dapat didenda karena memiliki hubungan rahasia
dengan seorang wanita yang telah menikah. Masuk tanpa izin dan
pembuangan tanpa izin atas barang-barang busuk juga menimbulkan
denda mulai dari satu sampai lima belas rupiah (Toorn 1894, 1-9,
catatan halaman 30).
Denda-denda yang lebih tinggimulai dari enam belas sampai
dua puluh lima rupiahdapat dipungut karena dendam yang disengaja,
pembuatan senjata api atau senapan, atau gagal menjaga rumah
seseorang. Gagal mengawasi anak-anak atau orang gila pun dikenakan
hukuman. Denda yang tertinggi, dua puluh enam sampai enam puluh
rupiah, dikenakan pada orang-orang yang mengadakan pertemuan
dengan tujuan yang salah, menduduki properti orang lain, atau menjual
jimat (yang menjanjikan kekebalan) (Toorn 1894, 15-24).
Sebagian besar larangan ini dengan mudah dilakukansalah
tempat kediaman, menduduki properti orang lain, dan pembuatan
senjata api dengan cepat diselidiki dan dipastikan. Kejahatan lain yang
lebih penuh gairah jauh lebih sulit untuk dibuktikan dan memerlukan
mempertimbangkan kesaksian dan tuntutan. Sementara Minangkabau
telah mencoba menyelesaikan pertikaian tanpa berpaling pada pihak
36

Belanda, perbedaan yang tidak dapat direkonsiliasi membuat sistem


peradilan kolonial menjadi pilihan terakhir sebagai penengah. Sistem
legal baru tentunya berhasil berkat para pengacara pribumi, jaksa, dan
jurusita, jaksa penuntut, dan pembantu kepala sita. Namun orang
Minangkabau kebanyakan juga mulai mempelajari bahasa baru hukum
barat. Buku-buku diterbitkan menjelaskan regulasi-regulasi baru, banyak
sampel surat-surat resmi tambahan dan petisi-petisi (Kinderen 1882;
Pamoentjak 1895; Blommenstein 1903). Pihak Belanda berupaya
mengubah Minangkabau menjadi sebuah budaya hukum dan cukup
berhasilmeskipun upaya-upaya untuk mengatur pernikahan ditentang
ketika dimungkinkan. Pertikaian atas tanah telah mengikat properti
selama beberapa generasi, tidak valid bagi siapapun (Colombijn 1994).
Dibawah kekuasaan Belanda, Minangkabau hidup dengan hukum kolnial
dan diawasi oleh CONSTALBURY.

Denda dipaksakan dan telat membayar berarti harus siap untuk


dipenjara. Sistem colonial yang illegal merupakan sebuah kekacauan
yang dimulai selama Perang Padri, namun dipercepat dan dijadikan
prosedur dalam setiap pertemuan yang dijelaskan pada Naskah Tuanku
Imam Bonjol.
Beberapa

catatan

yang

ada

di

dalam

Naskah

tersebut

menggambarkan sebuah susunan pertemuan di pengadilan pusat di


Bukit Tinggi. Yang pertama adalah pada tanggal 6 April 1865 dan yang
kedua adalah pada tanggal 14 Desember 1875. Kedua pertemuan
tersebut dipimpin oleh Der Kinderen, yang secara tidak resmi disiapkan
untuk

menginvestasikan

uangnya pada perayaan

kurban

tanpa

diyakinkan dahulu bahwa dia akan diterima atas keputusannya.


Pertemuan-pertemuan tersebut dihadiri oleh gubenur Sumatera Barat
JFRS van den Bosshe, penduduk Padang Panjang, HA Steijn Parve;
sebelas penguasa Belanda, 76 Tuanku Laras dan sejumlah kepala suku
37

dan penghulu yang tidak diketahui jumlahnya. Pada pertemuan di tahun


1865, Der Kinderen mendukung pembentukan birokrasi regional dengan
penguasa Belanda yang mengawasi daerah Minangkabau yang
bertugas mengawasi peraturan. Undang-undang tersebut merupakan
kombinasi dari adat local dan hukum Indies dari pemerintah kolonial,
menggemakan keseimbangan antara adat dan syariah yang merupakan
bagian dari pengesahan Tuanku Imam. Satu decade berikutnya, Der
Kinderen mengumpulkan kembali orang-orang dalam sebuah pertemuan
dan mengevaluasi kesuksesan implementasi birokrasi legal di Sumatera
Barat. Hanya pada poin ini, setelah sepuluh tahun propaganda para
pendukung pengesahan, dia mengumumkan penghilangan perbudakan
secara resmi. Seorang pembaca Naskah akan melihat sebuah nama
yang cukup familiar diantara daftar nama Tuanku Laras- anak lelaki
Tuanku Imam Bonjol, Sutan Caniago, yang mewakili Alahan Panjang
pada saat itu.
Pada teks yang terpisah, Van Ronkel (1915) menyimpulkan dua
bagian pertama Naskah Tuanku Imam Bonjol, namun dia gagal untuk
mengenali hubungan intertekstual antara tiga bagian tersebut. Ketika
membaca secara seksama, jelaslah bahwa Naskah tersebut adalah satu
bagian, satu teks yang polyvalent. Bagian pertama, cerita tentang
Tuanku Imam Bonjol adalah cerita tentang perang dan kekalahan. Satu
kemenangan Tuanku Imam Bonjol adalah realisasi keputusannya yang
salah untuk mengikuti kaum Padri. Dia memulai sebuah kampanye
permintaan maaf dan penggantian kerugian yang diabaikan oleh para
elit tradisional dan kalangan militer Belanda. Tuanku Imam juga bukan
seorang martir. Dia mengalah pada saat perang Padri dan dikalahkan
pada saat perang melawan Belanda, namun dia tidak dieksekusi. Tapi
permintaannya untuk mempertahankan tanah kelahirannya ditolak dan
sepanjang hayatnya dia hidup dalam pengasingan di sebuah daerah
pantai berbasis orang-orang Protestan di Sulawesi Utara. Jika orangorang mencari sejarah Indonesia mengenai sosok pembaharu Wahabi,
38

mereka dapat memilih Haji Miskin, Tuanku Nan Renceh atau Tuanku
Rao. JIka mereka ingin mengingat sosok reformis yang moderat tanpa
ada kekerasan, maka Tuanku Nan Tuo atau Syekh Jalaludin adalah
sosok yang tepat. Tapi Tuanku Imam Bonjol dikenal seseorang yang
secara militer telah gagal, yang secara ideologis kecewa, dan bergeser
dari aksi kekerasan ke tulisan yang bersifat perdamaian- kemudian
hanya dihadiahi pengasingan dan nestapa. Bagian kedua dari naskah
sama membingungkannya.
Pada tahun 1865, pada saat dua legal symposium yang pertama,
Naali Sutan Caniago tertangkap sebagai birokrat yang kecewa di dalam
administrasi kolonial. Janjinya sebagai Tuanku Laras sepertinya
merupakan hasil Belanda yang menguasai 30 tahun janji pada ayahnya
(Imam Bonjol 2004, 234). Cerita tentang Sutan Caniago bukan hanya
perang saja, tapi seperti ayahnya juga, yaitu kekecewaan dan
penghinaan. Selama beberapa tahun pengabdian, Sutan Caniago
berbeda pendapat dengan sesama pejabat Minangkabau da penguasa
Belanda. Cerita tersebut menyimpulkan sebuah dialog panjang antara
Sutan Caniago dan pemerintah Belanda, termasuk Tuan Besar
(penduduknya). Selama masa keterpurukan, Sutan Caniago protes dan
mengklaim bahwa dia tidak mendakwa atau bahkan berbicara melainkan
hanya berpetualang mengawasi para buruh (Imam Bonjol, 2004, 257).
Dia telah menjadi lawan yang menentang Tuanku yang tradisional.
Tuanku yang religius dilokalisasi dan dikunjungi oleh para pelajar yang
mencari ilmu pengetahuan. Dia akan berbicara dan tidak bergerak:
suaranya merupakan daerah kekuasaannya. Sutan Caniago tidak
banyak bersuara, bergerak tanpa tujuan, sejenis petualang yang lemah
yang merupakan figure tragis dalam sastra Minangkabau (Hadler 1998,
141). Dia mengkomplain orang-orang yang mandago mandagi (sebuah
istilah kuno yang menyatakan kedurhakaan). Tuan Besar memintanya
untuk menjelaskan istilah tersebut dan Sutan Caniago merespon bahwa
mandago artinya membuat kekacauan di sebuah negeri yang dapat
39

mengacaukan kehidupan manusia. Dan mandagi adalah membuat


perselisihan yang dapat mempengaruhi aliran uang. Pada poin ini,
seorang

datuk

yang

simpati,

pemimpin

adat

berusaha

untuk

memperlihatkan rasa hormatnya pada Sutan Caniago dan ditegur oleh


jaksa, ahli hukum di Minangkabau yang dipengaruhi Belanda.

Jangan memperlihatkan rasa hormat pada Tuanku Sutan dengan


cara apapun. Mengapa kamu melawan pemerintah Belanda
dengan sia-sia, dan jangan mulai mengemis kasih sayang.
Sekarang sudah terlambat untuk mengemis kasih sayang

Sutan Caniago kemudian meminta untuk berbicara secara pribadi


dengan penduduk dan komandannya. Dia mengancam Negara dengan
kemarahan anak-anaknya dan anak-anak saudarinya jika keluhannya
tidak diindahkan. Aku akan menghormatimu dari mulai ujung kaki
hingga ujung kepala jika kamu mengizinkan aku untuk membuat
permintaan berupa catatan. Teks tersebut kemudian menginggalkan
jejak yang tidak terpecahkan: Dan sejak sekarang aku diperbolehkan
untuk tetap berada di luar adat dan permintaan bahwa perintah adat dan
perintah agama bersaksi demi Allah dan Muhammad sehingga
menyimpulkan hal ini pada tahun 1868 di kampong Koto di rumah
Tuanku Laras Bonjol Alahan Panjang. (Imam Bonjol 2004, 264-65).
Tidak ada respon tertulis pada permintaan Sutan Caniago dan
tidak ada cerita resolusi di bagian kedua Naskah. Namun tentu saja teks
itu sendiri adalah jawaban bagi permintaan Sutan Caniago. Tertulis
dalam catatan tersebut bahwa dia meminta. Dan bagian ketiga yang
tidak berhubungan adalah respon pemerintah Belanda pada ikrarnya
untuk hidup di luar tradisi MInangkabau dan di bawah hukum adat dan
hukum kolonial Belanda. Dia telah berhasil menggerakkan sebuah arsip40

bagian kedua Naskah Tuanku Imam Bonjol. Suaranya didengar. Dan


sementara kita menyangka bahwa Sutan Caniago tidak akan pernah
dihilangkan atau berhenti dari posisinya sebagai Tuan Laras setelah
konfrontasi yang terjadi pada tahun 1868, kita tahu dari bagian ketiga
dari Naskah bahwa dia menghadiri pertemuan-pertemuan pada tahun
1865 dan 1875. Naskah Tuanku Imam Bonjol adalah sejarah mengenai
Perang Padri namun juga merupakan sebuah alegori transisi dari
budaya prakolonial dan cikal bakal gerakan radikalisme kaum Islam
militant bagi Negara dan hukum kolonial Belanda. Hal ini bukan hanya
tentang kontrol pemerintah Belanda namun merupakan sebuah jalan
kembali pada sebuah era raja yang lemah dan dewan adapt kosultatif
yang dikenal sebagai sebuah periode yang stabil secara politis sebelum
reformasi Islam pada abad 18 sesudahnya. Naskah Tuanku Imam Bonjol
menggoda idiom deliberatif adapt Minangkabau, kepada demokrasi
tradisional Padang Panjang dan sebuah visi tradisi politik lokal yang
merupakan orang-orang egaliter dan anti kekerasan. Setelah kekacauan
Perang Padri, pemerintah kolonial Belanda telah membangkitkan
kekuatan diskursif yang disebut Jane Drakard (1999) sebagai Kerajaan
Kata pada abad 17, dimana kekuatan teks melebihi kekuatan militer dan
Minangkabau didefinisikan bukan oleh kekuatan militer namun oleh
keberanian retoris di pengadilan.

PRAJURIT

Pada

tahun

1908

Sumatera

Barat

berada

dalam

masa

pemberontakan lagi, dikarenakan adanya pergeseran dari system


kultivasi ke pajak uang. Namun menjelang tahun 1910, Padang Panjang
Minangkabau dipelihara dan diawasi oleh administrasi kolonial Belanda
sebagai tujuan wisata, sebuah padang rumput, danau-danau dan air

41

terjun ala Swis. Buku-buku petunjuk mempromosikan keindahan alam


daerah tersebut namun juga menggambarkan daerah perang Padri,
tempat peperangan yang ditandai oleh beberapa monument besar
(Westeneuk 1913: lihat gambar 3). Bahder Djohan, seorang cendikiawan
Minangkabau yang merupakan doctor di Batavia, menulis monumentmonumen ini dalam jurnal jong Sumatra. Pengembara yang pemikir, dia
katakan, akan melihat menara-menara yang didedikasikan bagi Michiels
dan Raaff dan akan penasaran mengenai peristiwa-peristiwa yang
mereka peringati.

Lihatlah Padang Panjang di Padang Darat, yang memerah


dengan darah yang mengalir dari hati saudara-saudari. Telingamu
akan mendengar tangisan dari jiwa-jiwa yang hilang, yang
terjebak dalam perang sipil. Anda akan mengingat satu moment
khusus, begitu sulit dilupakan, ketika penjajah dari luar negeri
dilengkapi

dengan

menginjakan

kaki

peralatan
di

Padang

peradaban
Panjang

dan

perjuangan,

dimana

bendera

kemenangan kaum Padri melambai ditiup angin sepoi-sepoi, dan


kekacauan

madzab

ini

membangun

kontrol

Eropa

(yang

seringkali dirusak oleh pemberontak local). Sampai hari ini,


kontrol Eropa telah menenggelamkan akarnya secara perlahanlahan ke dalam bumi. (Djohan 1919).

Namun jika Djohan begitu kritis pada Belanda, dia sama kecewanya
dengan kaum Padri:

Pada saat itu juga dunia menyaksikan kerusakan kerajaan


Minangkabau, sebuah kerajaan yang telah bersinar pada masa

42

kejayaannya, sebuah kejayaan yang masih menyilaukan hati


orang-orang Sumatera bagian tengah, meskipun pada saat itu
bintang Minangkabau tenggelam ke benua sejarah dan sampai
sekarang dikenang sebagai surga yang hilang.

Bahder Djohan merupakan mata-mata pemerintah Belanda,


individu yang ideal, seseorang mewakili teori asosiasi, seorang warga
Negara Belanda yang tropis. Dia fasih berbahasa Belanda dan kritiknya
tentang kolonialisme tidaklah bersifat mengancam dan tidak bersifat
radikal, dilakukan di daerah ibukota dan di antara para cendikiawan
Belanda yang sensitif. Karangannya mengenai era kaum Padri
mengambil sumber dari sumber-sumber Belanda dan dia cukup puitis
ketika mencerminkan kegagalan aliran reformasi moderat:

Kami sedang menulis tentang awal abad ke-19. Matahari hampir


terbenam. Sinarnya hampir menghilang menyepuh ujung langit
barat. Di lembah Agam, di negeri Koto Tuo, seorang cedikiawan
agamis berdiri di sebuah mushala. Tuanku Koto Tuo memandangi
langit yang berawan. Apakah gerangan yang muncul di
hadapannya? Apa yang telah dirasakannya, bahwa apakan
sekarang matahari terbenam akan membawa kemakmuran dan
kedamaian bagi negerinya? Apakah yang dia rasakan, bahwa
warna emas di awan memancarkan bara yang sebentar lagi akan
menyalakan semua kelompok dan memperlihatkan mereka pada
sebuah cara berpikir yang disertai petunjuk?
Atau

apakah

dia

sedang

berkontemplasi

dengan

murid

tercintanya, Tuanku Nan Renceh kemudian mengajar di nagari


Kamang? Sudahkah dia merasakan bahwa prilaku muridnya yang
dia

harapkan

akan

menanam

biji-biji

persatuan

atau
43

persaudaraan di antara penduduk Minangkabau telah pergi untuk


menyepuh dendam di antar sanak saudara dan orang-orang
sekaum sekeluarga?
Air mata Tuanku Koto mengalir dan air matanya memecahkan
keheningan Padang Panjang, yang sekarang ditutup oleh
kegelapan.

Bahder Djohan berusaha menulis sebuah kritik mengenai kekerasan dan


apa yang dia lihat sebagai ideology Wahabi kaum Padri yang berbisa.
Haji Miskin dan Tuanku nan renceh bahagia dia adalah pembunuh dan
pengkhianat yang tidak ada tandingannya. Namun Bahder Djohan
menyimpulkan,

Dan tidak seperti mereka yang mengikuti keinginan mereka, ada


seseorang yang menuliskan namanya di hati orang-orang yang
dia cintai. Jadi cerita mengenai perang Indies tidak akan pernah
melupakan nama Tuanku Imam, seorang lelaki jujur dan apa
adanya, dipaksa untuk mengikuti mengayuh perahunya di sebuah
lautan air mata yang dicucurkan oleh orang-orangnya sendiri.

Gambar 3. Monument Perang Padri (Boelhuwer 1841, frontispiece)

Djohan membayangkan Tuanku Imam Bonjol berdiri sendiri di atas bukit


melihat Bonjol.

Dibungkus dengan jubah putihnya, tasbih di tangan kirinya,

44

sementara turbannya memperlihatkan sebuah wajah yang tidak


lagi bersinar, dua bola mata yang memandang jauh sejauh
mereka melihat seolah-olah sedang mencari keberuntungan yang
tidak akan ditemukan kembali.

Pada tahun 1910, ketika Bahder Djohan sedang menulis, menandai


awal mula pergerakan, sebuah pergerakan usia bagi Indonesia, suatu
masa politik radikal ketika nasionalisme belum merupakan tujuan utama
perjuangan melawan colonial Belanda (Shirashi, 1990). Bahder Djohan
adalah bagian dari elit kecil dari penduduk asli yang mengecap
pendidikan tinggi di ibukota. Dia adalah seorang intelek yang merayakan
sains dan modernitas, seorang internasionalis yang juga seorang
pejuang Minangkabau. Bahder Djohan mampu memimpikan sebuah
sejarah Minangkabau yang mana Tuanku Imam Bonjol merupakan
sosok yang mulia dan tragis, seseorang yang mana kekerasan yang
terlihat datang dengan mudah nyatakan merupakan reaksi defensive
dari usaha terakhir. Di Sumatera Barat, figure Imam Bonjol, pada
pergerakan, dibangun sebagai pendahulu ideologis tentang pejuangan
politik modern. Jalan hidup Tuanku Imam Bonjol- penuh dengan konflik,
tragis dan ALEATORY- akan menjadi sebuah perumpamaan bagi para
wanita dan pria pada pergerakan usia.
Pada tahun 1910an dan 1920an, daerah koloni Sumatera Barat
merupakan sebuah dunia yang terbalik. Bagi orang Minangkabau, bukan
hal yang tidak masuk akal untuk mempercayai bahwa hari perhitungan,
yang disebutkan dalam Al-Quran akan datang sebentar lagi. Di desadesa kecil, konflik antara reformis dan pemimpin keagamaan yang
tradisional telah membuktikan keterpecahbelahan: di mesjid-mesjid dan
mushala yang berbeda, para penyebut hari kiamat menunggu Hari
Pembalasan dan perhitungan terakhir. Aliran golongan keagamaan ini
cukup

berpegaruh

bagi

nagari-

kampung

yang

mandiri,

yang
45

komposisinya terdiri dari dari sebuah mushala kecil. Dua dekade


intervensi sosial dan birokratik telah merubah nagari, dan pada tahun
1914 peraturan nagari mengatur ulang kekuasaan lokal secara resmi.
Ketua yang berasal dari orang Belanda yang telah disepakati, penghulu,
mengatur pajak melalui sebuah dewan nagar yang baru. Persetujuan
yang meredakan kepada tradisi dan restorasi tidak membodohi siapapun
(Oki 1977, 82-91). Secara kurang dilihat, perselisihan dogmatis mulai
memecah belah keluarga. Para paman, keponakan, bapak dan anak
dipola untuk saling melawan satu sama lainnya dalam keetiaan mereka
pada kelompok-kelompok ideologis tertentu- tradisionalis, reformis, dan
seterusnya. Dengan dua kekuasaan keagamaan yang terbagi dan
pemimpin

tradisional

yang

jahat,

pilar-pilar

suci

masyarakat

Minangkabau mulai pudar. Ketidakjelasan sosial ini membuat figure


Tuanku Imam Bonjol yang hidupnya merupakan sebuah cerita tentang
kesalahan langkah, kekalahan, dan kekecewaan, menarik dan familiar.
Sumatera Barat cukup tidak biasa bahwa kebanyakan debat
kelompok terjadi di desa-desa kecil, banyak diantaranya dengan media
cetak local. Politik dan Modernitas bukan berasal di ibukota. Sementara
desa-desa kecil, para penduduk kota ditangkap dalam pergerakan dan
pergerakan politik dan kebangkitan sosial. Di kota Padang Panjang, kota
Thawalib yang terkenal dengan aliran modernismenya menjadi loci
sebuah

bentuk

aliran

komunisme

Islam

intelektual.

Pegawai

pemerintahan yang tidak setia di Silungkang bersekutu dengan para


pekerja pertambangan batubara Ombilin dan di akhir tahun 1926,
seorang tokoh komunis muncul di dekat kota industri Sawahlunto
(Nasution 1981, 83-91).
Periode setelah komunis Silungkang menyebabkan peningkatan
penjagaan dan represi Belanda ke Sumatera Barat. Tahun-tahun
dinamis dari pergerakan dan percekcokan intelektual berakhir di Padang
Panjang Minangkabau sebagaimana di bagian-bagian lainnya. Pada

46

tahun 1930 para ulama bersatu dalam sebuah oposisi yang sukses
melawan colonial belanda yang tergabung dalam Ordinasi Guru. Hal ini
merupakan revisi dari hukum yang telah diterapkan di Pulau Jawa dan
Madura sejak tahun 1905, mengisyaratkan calon-calon guru agama
Islam untuk mendapatkan izin dari seorang kepala distrik sebelum
berbicara di hadapan umum (Abdullah 1971, 110-13). Nyatanya, gejolak
aktivitas politik terakhir di Minangkabau pada awal tahun ke 1930an.
Beberapa partai meluncurkan kampanye demonstrasi agresif; dalam
bentuk

kesadaran

para

nasionalis,

para

tokoh

politik

lokal

mempromosikan orang-orang Minangkabau, cap Minangkabau. Tapi


pada tahun 1933, larangan bepergian di sekitar Minangkabau mulai
ditekankan secara tegas. Sebuah jaringan informan polisi membentuk
kecurigaan dan meruntuhkan moral dalam pergerakan. Dan mengikuti
ketentuan suksesnya, menaikan adat local sebagai element di
masyarakat Minangkabau (Abdullah 1971, 176-205; Kahin 1984). Pada
bulan Agustus 1933, pemerintah colonial Belanda menangkap banyak
activis Minangkabau, memadamkan api semangat mereka dalam
melakukan pergerakan di Minangkabau. Sebagaimana Taufik Abdullah
menulis:

Politik ekstensif Minangkabau telah membuatnya menjadi salah


satu daerah berbahaya di mata pemerintah. Pemerintah dengan
semangat menerapkan ukuran represif yang menandai ketentuan
rust en orde (kedamaian dan keamanan). Minangkabau menjadi
satu tes kasus bagi ketentuan garis keras pemerintah. Dari
Pantai Barat Sumatera, menurut sebuah tokoh teori colonial, de
Kat Angelino, kejayaan dimulai. (1971, 195).

Namun pemberontakan Silungkang telah menandai akhir politik

47

Minangkabau.

Mengikuti

pemberontakan

tersebut,

pergerakan

menghubungkan camp pengungsian Boven Digul dan sumpah para


pemuda yang disebut Sumpah Pemuda yang kemudian menjadi
penentuan masa depan Indonesia. Sekolah dan pergerakan telah
mengalami transformasi, menyiapkan mereka ke arah nasionalisme.
Dalam kurun tahun 1920an, sekolah Islam dan Thawalib di Padang
Panjang dan Bukit TInggi telah bisa membiayai dirinya sendiri,
mendapatkan uang melalui penjualan buku yang dterbitkan oleh
penerbit Syekh Muhammad Djamil Djambek, Tsamaratul Ichwan dan
jaringan penjual batik Minangkabau serta distribusinya ke seluruh
daerah Indonesia (Noer 1973, 35-37; Daya 1995, 245-300). Soetan
Mangkoeto, lulusan dari sekolah para reformis ini, berjanji untuk
memberikan donasi sebanyak 10 persen keuntungan bukunya untuk
membantu membangun sekolah di Padang Panjang. Buku ini, Obor
Para Pendakwah Islam Indonesia merupakan sebuah serangan pada
Ordinansi Guru. Di akhir tahun 1920an, kita dapat membaca dominasi
Indonesia pada sumpah pemuda dan nasionalisme pada tulisan-tulisan
lokal:

Anak-anak Indonesia yang meninggalkan atau mengabaikan


Islam, tidak peduli seberapa lantang mereka meneriakkan
penyelamatan bangsa mereka dan tanah air mereka (Indonesia
Raya), mereka tidak akan pernah mencapainya. (Mangkoeto
1929, 43). Dan masa keemasan pergerakan Minangkabau , dua
decade pertama pada abad ke-20, sebuah masa manipol suara
dan visi, tidak akan pernah kembali.

Dengan opresi politik, muncullah larangan penerbitan dan


penyensoran yang meluas (Yamamoto 1995; Maters 1998). Setelah

48

keretakan aktivis sebelumnya mengubah energi mereka ke publikasi


yang tidak akan membuat Kantor Departemen Dalam Negeri gerah.
Industri penerbitan ini terpusat di Sumatera Barat, di Padang dan Bukit
Tinggi, dan di Medan di Sumatera Utara. Mayoritas penulisnya adalah
orang

Minangkabau

atau

Mandailing.

(masyarakat

Batak

yang

merupakan target kampanye Tuanku Imam Bonjol di bagian utara).


Buku-buku yang diterbitkan adalah majalah-majalah berharga murah
yang dinamakan roman pitjisan, yang dicetak bagi para pelanggannya
dalam jumlah yang banyak (biasanya sekitar 3000 kopi) habis terjual.
Booklet ini menemukan jalannya ke banyak perpustakaan yang berada
di nusantara. Dibandingka dengan publikasi yang terbaru, para
pembacanya cukup luas (Oshikawa, 1990, Siegel 1997, Maier 2004).
Hanya sejumlah roman pitjisan yang bertahan di dalam arsip.
Meskipun dicetak dalam jumlah yang sangat banyak, majalah tersebut
tidak dianggap sebagai literature serius dan tidak pantas mendapatkan
posisi yang bagus di antara koleksi permanent. Majalah tersebut dicetak
pada kertas yang berharga murah, satu kopian digilir di antara
sekelompok orang pembaca. Teks yang masih hidup selalu rapuh dan
rusak. Namun sebuah pencarian perpusatakaan Indonesia, Belanda dan
Amerika Serikat telah membuka ratusan kopi roman pitjisan yang
diantaranya 8 teks dari tahun 1930an dan tahun 1940an yang
menyebutkan Tuanku Imam Bonjol (Soubib 1938; dihoeloe 1939;
Darmansyah 1940; Umri 1940; Turie 1941; Souyb 1938-49). Semua
teks menggambarkan Tuanku Imam Bonjol sebagai figur yang terhormat
sekaligus tragis, semuanya menggabungkan sejarah yang telah
diketahui dengan fiksi. Seperti roman pitjisan lainnya, ada sebuah
subteks anti colonial dalam cerita ini. Bukunya Dihoeloe, Cerita dan
Perjuangan Tuanku Imam Bonjol sebagai seorang Pejuang Islam yang
diambil dari Catatan Anak Lelakinya Sutan Caniago berusaha
memotong penemuan sejarah naratif. Namun dalam teks ini, bagian
kritisnya adalah kumpulan elit tradisional dan ulama yang mana Tuanku
49

Imam Bonjol meninggalkan aliran Wahabi dan berusaha untuk


merekonsili Islam dan adapt Minangkabau, yang di sini digambarkan
dalam bahasa Belanda sebagai pertemuan propaganda (Dihoeloe
1939, 12). Bagi para penulis ini, Tuanku Imam Bonjol dianggap sebagai
tokoh nenek moyang alegoriakan kalahnya pertahanan anti colonial,
seseorang yang nasibnya berteman dengan pengasingan dan penjara di
Boven Digoel.
Roman Pitjisan merupakan kesenangan bagi para ahli literature
sejarah. Bahasanya bersifat eksperimental dan insisif serta berbau
politik. Namun mereka mewakili sebuah masa tragis pada sejarah
kalangan intelek Indonesia. Represi pada tahun 1930an memaksa
proses pembuatan fiksi catatan sejarah dan pergerakan tekstual ini
dipelopori oleh para penulis dari Sumatera barat. Para novelis yang
membuat Roman Pitjisan hidup pada masa ktika para novelis sekuler dn
novelis agamis hidup secara tidak eksklusif. Para penulis seperti Hamka
dan Jusuf Souyb telah meperlihatkan bahwa adat dan Islam dapat
berdampingan. Mereka bebas untuk menulis novel atau catatan
keagamaan namun mereka tidak dapat menulis catatan politik langsung
tanpa berjanji pada badan sensor dan ancaman pengasingan.
Ketidakmampuan untuk mengetengahkan isu politik dan sejarah ini
membuat analisis sejarah geografis menjadi stagnan di Sumatera Barat
selama kependudukan Jepang, revolusi dan periode nasional. Masa
setelah revolusi pada tahun 1950an, sebuah masa dinamis dalam
kehidupan politik Indonesia membawa sebuah introspeksi sejarah ke
Sumatera Barat (Asnan 2004). Akhir tahun 1950an, merespon pada
tokoh nasionalis sekuler dan komunis Soekarno pada pemilihan umum
tahun 1955, Sumatera Barat meletus dengan satu peristiwa yang
disebut pemberontakan setengah hati. Orang-orang Minangkabau tidak
punya perut untuk melawan pemerintah pusat bahwa mereka telah
berjuang

untuk

membentuk,

dan

tentara

Indoneisa

telah

menghancurkan pemerintah Revolusi Republik Indonesia (PRRI)


50

dengan ketentraman yang relative (Feith dan Lev 1969; Kahin dan Kahin
1995).
Pada pertengahan tahun 1961, aliran patriotisme Minangkabau
bergejolak. Para tokoh pemisah pmerintahan revolusi yang berjuang
selama tiga tahun melawan pemerintah negeri melakukan protes melaan
alira Jawwa dan aliran Komunisme pemerintah, telah dikalahkan. Orangorang MInangkabau meninggalkan Sumatera Barat ke Jakarta dan
Medan dan tidak pernah kembali. Ini adalah masa rantau cino atau
imigrasi ala orang Cina, ketika orang Minangkabau memberi anak-anak
mereka dengan nama-nama Jawa dan mengeluh bahwa di negeri
mereka di Sumatera, para pemenang (yang Minang) telah pergi
sementara yang tersisa hanya kerbau (kabau). Rumah makan padang di
Jakarta meluas membuat mereka jauh dari kehidupan para leluhurnya
dan meninggalkan kenangan sedihnya.
Tahun 1963 membawa penghinaan baru bagi para orangMinangkabau. Pada buku anehnya Tuanku Rao: Teror Islam Hambali di
Tanah Batak (1816-1833), penulis orang Mandailing Mangaraja
Onggang Parlindungan menulis:

Saudara-saudara dari Minang adalah orang-orang cacat karena


kepercayaan mereka terhadap mitos sejarah. Mitos dinasti
Alexander yang Agus, mitos kerbau jaya, mitos Ibuur, legenda
MInangkabau dan hal-hal lain yang telah ditelan bulat-bulat oleh
saudara-saudara dari Minang. Mereka tidak mampu memilih 2%
fakta sejarah dan menendang 98% ornament mitologis dalam
mitos tersebut. Tanpa sedikitpun usaha, mencari angka-angka
tahunan untuk menghentikan kebingungan yang mendalam.
(1963-679).
Buku tersebut menyajikan sejarah pahit perang Padri dan
51

konversi Batak Mandailing kepada Islam. Parlindungan, seorang muslim


Mandailing

merekapitulasi

kekerasan

Tuanku

Imam

Bonjol

dari

perspektif target jihadnya di bagian utara. Jatuhnya soekarno dan


kehancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) demi saudara-saudara dari
Minangkabau untuk menjawab tantangan Parlindungan. Sejarah
Mingangkabau yang pertama diterbitkan pada tahun 1970 dan terdiri
dari ucapan selamat pada diri sendiri oleh Parlindungan (Mansoer et.al,
1970). Dengan tanggal-tanggal yang dikuatkan dan sebuah bibliographi
yang substansial, para penulisnya menguraikan sejarah etno mitos
MInangkabau dan sejarah politik Sumatera Barat. Tokoh intelek Islam
yang populis, Hamka, menantang Parlindungan dalm bukunya pada
tahun 1974 Tuanku Rao Antara Fakta dan Fantasi (Hamka 1974).
Hamka telah membaca buku tersebut selama dia di penjara pada masa
demokrasi terpimpin Soekarno, dan pada awal tahun 1970an terlibat
dalam sebuah polemik dengan Parlindungan di dalam sebuah Koran
haluan (Padang). Ini adalah debat yang pada akhirnya memperbolehkan
ahli sejarah Minangkabau untuk melepaskan keabsahan roman pitjisan
dan mulai memisahkan sejarah dari fiksi.
Prajurit Tuanku Imam Bonjol ditantang pertama kali oleh
Parlndungan dan kemudian dipertanyakan lagi selama rezim Soeharto.
Pada tahun 1980 drama Wisran Hadi, Imam Bonjol, dipentaskan pada
Dewan Kesenian Jakarta (Hadi 2002). Drama tersebut tidak terhormat
dan menantang imej populer Tuanku Imam Bonjol. Dia digambarkan
sebagai seorang orang yang kikuk dan seorang lelaki yang merasa tidak
nyaman dengan jabatannya sebagai pemimpin agamis, menolak titelnya
sebagai Tuanku Imam dan menyatakan bahwa namaku Peto Syarif!.
Drama tersebut menjadi controversial dan mengstimulus perdebatan
pada tahun 1980 namun tidak disensor. Namun pada tahun 1995 Wisran
Hadi pbersiap untuk mementaskan lagi drama tersebut lagi sebagai
bagian dari perayaan Sumatera pad Festival Istiqlal kedua dan
petingatah HUT RI yang ke -50. Gubernur Sumatera Barat menulis surat
52

pada pemerintah pusat di Jakarta yang meminta bahwa produksi


tersebut dibatalkan karena kekhawatiran adanya kegelisahan dan
kerusuhan. Pertunjukan tersebut diblokir dan drama tersebut dilarang
(Sahrul, 2005). Pemerintahan baru Soeharto

merupakan gema bagi

polisi Belanda pada tahun 1930an ditemukan sebagai catatan sejarah


(Anderson

1983).

Mitologi

Soeharto

sendiri

merupakan

untung

kebohongan sejarah yang tidak mampu memiliki penampilan provinsi


pada ancamannya.
Sementara prajurit Bonjol sebagai figure kekalahan Minangkabau
yang heroic, Tuanku Imam Bonjol seringkali muncul dalam samarab
kekerasan yang revolusioner dan potensial. Pada awal tahun 1930an,
para nasionalis muda menggantungkan potret Tuanku Imam pada pintu
Klub Indonesia di Weltevreden, sebuah korban pergerakan, korban
perubahan zaman dan korban idealismenya sendiri (N. 1931).
Penggunaan retorika terhadap Tuanku Imam Bonjol adalah halus dan
dapat ditemukan pada tulisan filosofis tokoh komunis Indoensia Tan
Malaka, yang merupakan orang Minangkabau dari sebuah desa yang
tidak jauh dari desa Bonjol. DIpenjara pada tahun 1942 hingga 1943, dia
menulis Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika

menyempurnakan

manuskrip pada tahun 1946. Pada bagian akhir buku tersebut, dia
menggambarkan pemerintahan masa depan yang dia sebut tokoh
sosialis Federasi Aslia, Lokasinya ditandai dengan sumbu, di dekat
garis khatulistiwa, yang kurang lebih ditentukan oleh satu baris dari
bonjol ke Malaka (Malaka 1951, 395). Rudolf Mrazek mencatat bahwa
penggunaan desa Bonjol oleh Tan Malaka mencerminkan penampilan
orang Minangkabau dan berarti sebuah tribute bagi perjuangan Tuanku
melawan Belanda (1972, 34). Namun, kata sumbu atau dapat juga
diartikan sebagai sumbu yang menyebabkan pergerakan eksplosif.
Sejalan dengan tribute secara geografis, Tan Malaka berniat untuk
menjelaskan sebuah sumbu eksplosif dan revolusioner melalui sejarah
tuanku Imam Bonjol itu sendiri.
53

Sekarang ada sebuah penerbitan renaisans di Sumatera Barat


dan sebuah dorongan perdebatan sejarah geografis.Pada tahun 2004,
Naskah Tuanku Imam Bonjol diterbitkan di Padang dan drama karya
Wisran Hadi difilmkan di televisi. Kedua teks tersebut menyatakan
peranan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional. Pada tahun
2001 , interview dengan perwakilan dari International Crisi Group , Salafi
Muslin di Jakarta diadakan untuk mengenang sejarah perang Padri,
mengenali Haji Miskin dan Imam Bonjol sebagai pelopor aliran Salaf di
Indonesia. Akan sering dilihat bahwa setelah periode Soeharto banyak
orang akan membaca sejarah Tuanku Imam Bonjol. Namun jelas bahwa
catatan yang dia ambil dari tokoh nasionalis convensional menyatakan
keraguannya.

A Historiography of Violence and the


Secular State in Indonesia: Tuanku
Imam Bondjol and the Uses of History
54

JEFFREY HADLER

This essay is a revisionist history of the Padri War and


the place of Tuanku Imam Bondjol in the intellectual
history of the Minangkabau people of West Sumatra, of
the Dutch colonial state, and of Indonesian nationalism.
The Tuanku Imam is an official national hero from the
early nineteenth century, a putative Wahhabi, and leader
of the Padri War, the first Muslim-against-Muslim jihad
in Southeast Asia. The essay examines the Tuanku Imam
in contemporary sources and then his construction as a
serviceable trope of controlled Islam, Minangkabau
patriotism, or Indonesian nationalism by successive
states. Using memoirs by the Tuanku Imam and his son,
Sutan Caniago, the essay analyzes the Tuankus
renunciation of Wahhabism in the face of matrifocal
opposition and the interplay of three connected texts that
serve to secularize the story of the Padri War.

The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 9711010.
2008 The Association for Asian Studies, Inc. doi:10.1017/S0021911808001228

The Journal of Asian Studies Vol. 67, No. 3 (August) 2008: 9711010.
2008 The Association for Asian Studies, Inc.
doi:10.1017/S0021911808001228

55

A Historiography of Violence and the Secular State in


Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History

JEFFREY HADLER
This essay is a revisionist history of the Padri
War and the place of Tuanku Imam Bondjol in
the intellectual history of the Minangkabau
people of West Sumatra, of the Dutch colonial
state, and of Indonesian nationalism. The
Tuanku Imam is an official national hero from
the early nineteenth century, a putative
Wahhabi, and leader of the Padri War, the first
Muslim-against-Muslim jihad in Southeast Asia.
The essay examines the Tuanku Imam in
contemporary sources and then his
construction as a serviceable trope of controlled
Islam, Minangkabau patriotism, or Indonesian
nationalism by successive states. Using
memoirs by the Tuanku Imam and his son,
Sutan Caniago, the essay analyzes the
Tuankus renunciation of Wahhabism in the face
of matrifocal opposition and the interplay of
three connected texts that serve to secularize
the story of the Padri War.
ON NOVEMBER6, 2001, the Indonesian National Bank issued a
note featuring a portrait of Tuanku Imam Bondjol.1 The image is striking:
1

See Bank Indonesia Regulation no. 3/19/PBI/2001, dated October 26,


2001. The image is based on a picture found in a 1850 text (Stuers 1850,
opposite p. 163).
56

a man with a stern face and long beard, wearing a turban, with a white
robe thrown back over his left shoulder (see figure 1). Tuanku Imam
Bondjol was a formal title given to this man, named Muhamad Sahab
and as a young adult called Peto Syarif, who was born in the
Minangkabau region of West Sumatra around 1772 and died outside the
city of Manado in North Sulawesi in 1854.2 Tuanku was a title given to
high-ranking ulama in West Sumatra who were recognized authorities in
the Islamic sciences of tauhid, fikh, and tasauuf. Imam signifies that he
was a religious leader, although this second name would usually refer to
some individual characteristic of the alim. Of the (at least) fifty Tuanku
who were contemporaries of Tuanku Imam Bondjol, we find Bachelor
Tuanku, Little Tuanku, Fat Tuanku, Black Tuanku, Old Tuanku, and so
forth (Sjafnir 1988). Bondjol is the old spelling of the town of Bonjol,
where the Tuanku Imam established his fortress and from 1833 to 1837
led the fight against Dutch annexation of the Minangkabau highlands. In
this paper, I

follow Indonesian convention and use the old spelling of

Bondjol for the man and Bonjol for the village.


The Tuanku Imam is in Indonesia an official national hero from the
early nineteenth century, a putative Wahhabi, and leader of the Padri
War, which is often described as the first Muslim-against-Muslim jihad in
Southeast Asia.4 Since 2002 scholars have consistently traced the
lineage of Southeast Asian Islamic violence back to this war and to the
Tuanku Imam. Michael Laffan points to the Padri movement as a most
2

His biographies usually claim that he died in 1864 (Dihoeloe 1939, 89).
The revision of the year of his death to 1854 has been argued for by
Sjafnir Aboe Nain (1988, 139 n. 69) and is given as fact by both E. B.
Kielstra (1890, 177) and Dja Endar Moeda (1903, 47).
3
Jeffrey Hadler (hadler@berkeley.edu) is Assistant Professor in the
Department of South and Southeast Asian Studies at the University of
California, Berkeley.
4 On the war as jihad, see Azyumardi Azra (2004, 14647). In the Malay
world, a jihad was more often referred to as a holy war, a Perang
Sabilillah (Kratz and Amir 2002, transliteration 18, 20). The name Padri
has been the cause of much speculation. It is most likely that Padri was
a modification of the word Padre and referred (usually) disdainfully to
priestly zealots of all faiths (Kathirithamby-Wells 1986, 39).
57

striking example of what he cautiously terms Islamic activism,


although he is doubtful that the movement can be considered strictly
Wahhabi (Laffan 2003, 399400). Other scholars are less sober in their
deployment of the Padris. In September 2004, Merle Ricklefs gave a
public lecture on Islam and politics in Indonesia that opened with a
reference to the two-hundredth anniversary of the Padri War as the
bicentenary of violent and bloody Islamic reformism in Indonesia. And in
2005, Azyumardi Azra, head of the State Islamic University in Jakarta,
gave a series of public lectures on Islamic militancy in which he stated,
One should not be misled, however, with these current
developments; in fact, radicalism among Indonesian
Muslims in particular is not new. Even though Southeast
Asian Islam in general has been viewed as moderate and
peaceful Islam, but the history of Islam in the region shows
that radicalism among Muslims, as will be discussed
shortly, has existed for at least two centuries, when the
Wahabi-like Padri movement, in West Sumatra in late 18th
and early 19th [centuries] held sway to force other
Muslims in the area to subscribe to their literal
understanding of Islam. The violent movement aimed at
spreading the pure and pristine Islam as practiced by the
Prophet Muhammad and his companions (the salaf). The
Padri, however, failed to gain support from majority of
Muslims; and, as a result, the Padri movement was the
only precedent of Muslim radicalism throughout Southeast
Asia. (Azra 2005b)

The sensitive postSeptember 11 Islamicist could be forgiven for


noticing the banknote, listening to the remarks of these Indonesianist
historians, and wondering whether the Indonesian state had picked up
58

some slag in the crucible of terror. The portrait of Tuanku Imam Bondjol
is jarring to observers accustomed to the shadow of puppets and the
tintinnabulation of gong orchestras, echoing

little more than modern

thug gangs such as Laskar Jihad and Front Pembela Islam.


But for Indonesians, and most historians of Indonesia, the appearance of
Tuanku Imam Bondjol5 on the 5000 rupiah bill was neither alarming nor
surprising. In the Netherlands in 1928, Mohammad Hatta delivered his
Dutch-language polemic Free Indonesia. In his speech, Hatta berates
the Dutch colonial state for forcing its subjects to learn the heroic
legends of William Tell, Giuseppe Mazzini, Giuseppe Garibaldi, William
of Orange, and others while disparaging the actions of Indonesians who
had opposed European conquest: So too must Indonesian youth parrot
its masters and call its own heroes, like Dipo Negoro, Toeankoe Imam,
Tengkoe Oemar and many others, rebels, insurgents, scoundrels, and so
on (1928, 11).6 Following Hatta, since 1945 Sukarno had referred to
Tuanku Imam Bondjol as the first of a triad of heroic comrades(pahlawan
tiga-sekawan) who had fought against Dutch colonial expansion: the
Tuanku Imam Bondjol of Minangkabau in West Sumatra, Diponegoro
from Central Java, and Teuku Oemar of Aceh (Soekarno 1950; see also
Reid 1979).7 Imam Bonjol is now a common street name in Indonesian
towns. The West Sumatran campus of the State Islamic University is
named after Imam Bondjol. And in November 1973, Tuanku Imam
Bondjol was formally declared a national hero, one of only a handful who
lived before the concept of Indonesian nationalism was on the table
(Schreiner 1997). With the fall of Soeharto, historians of Indonesia have
turned their attention to the place of official national heroes and the
5
6

Figure 1. Tuanku Imam Bondjol on the 5000 rupiah banknote.


Interestingly, the 1972translation uses the wordterrorists for
scoundrels (schurken)impossible today(Hatta 1972, 210).
7 Sukarnos immediate inspiration for his idea of the three heroes was
perhaps not from Hatta but from a 1940 book by the Minangkabau writer
Tamar Djaja (1946). Djajas first three heroes are Bondjol, Diponegoro,
and Oemar, and the book features an introduction by Muhammad Yamin
himself.
59

creation of a collective Sukarnos immediate inspiration for his idea of


the three heroes was perhaps not from Hatta but from a 1940 book by
the Minangkabau writer Tamar Djaja (1946). Djajas first three heroes are
Bondjol, Diponegoro, and Oemar, and the book features an introduction
by Muhammad Yamin himself.
Indonesian memory. These studies have pivoted on moments of
national violence and traumathe massacres of 1965 and 1966, the
riots of 1998 (Zurbuchen 2005; Roosa 2006). Less frequently, scholars
have considered the role of national heroes in their provincial contexts
(Barnard 1997;Schreiner 2002). Tuanku Imam Bondjol is particularly
interesting. His story has been written by the inhabitants of a province far
from the center (of the colony, of the nation). The Minangkabau region
has often been at violent odds with that center, while the people there
have seen themselves, paradoxically, as defining constituents of the
central state(Kahin 1999).
I will briefly review the history of the Padri War and describe
Minangkabau society. In addition to the footnoted sources, my
understanding of the war is based first on the memoir of Tuanku Imam
Bondjol himself. This manuscript, one of the most important sources for
the study of nineteenth-century Indonesia, has itself had an eventful
history. A translated gloss of this memoir, dated 1839, appeared initially
as appendix B in the Dutch residents account of the war.8 In the 1910s,
a full Minangkabau-language Arabic script version was circulating in
West Sumatra and was described by Ph. van Ronkel in an article in the
Indische Gids (1915). In 1939 L. Dt. R. Dihoeloe used the memoir and
interviews with elders to publish the first Malay-language summary of the
8

Memorie van Toewankoe Imam aangaande de komst der Hollanders in


Sumatras binnenlanden en den aldaar door hen gevoerden oorlog
(Memories of Tuanku Imam Concerning the Arrival of the Dutchmen in the
Interior of Sumatra and the War That They Conducted There), dated
September 13, 1839, Ambon (Stuers 1850, 22140). This has been
translated into English (Dobbin 1972).
60

text. Dihoeloes version, uncited and often indirectly, became the source
for most subsequent Indonesian accounts of Tuanku Imam Bondjols life.
In 1979 the historian Sjafnir Aboe Nain recuperated and transliterated
the original full memoir, using it in his Intellectual History of Islam in
Minangkabau, 17841832.9 Sjafnirs transliteration of the text of the
Naskah Tuanku Imam Bondjol, then considered a component of the
tambo (traditional history) of Naali Sutan Caniago, the Tuankus son, had
been available only as a 280-page photocopy of a degraded typescript
(Caniago 1979a). Only in 2004 was the transliteration formally published
by the Center for the Study of Islam and Minangkabau in Padang (Imam
Bonjol 2004).10 The other major Minangkabau source for the history of
the Padri War is the autobiographical note penned by the moderate alim
Syekh Jalaluddin, written at the request the colonial administration in
the late 1820s (Djill-Eddn and De Hollander 1857; Kratz and Amir
2002). Jalaluddin was persecuted by the Padri, and his text provides a
history of Islamic reform in the late eighteenth century as well as a
critique of the Padri from within the reformist movement. Along with this
clarification by Syekh Jalaluddin, Imam Bondjols memoir stands as
9

The manuscript was borrowed from Ali Usman, the Tuankus descendant
and guardian of the family heirlooms in the village of Bonjol, in May 1966
for study and exhibition at the new Adityawarman Museum in Padang. It
was never returned. The manuscript apparently changed hands numerous
times, appearing at the opening of the Imam Bonjol Museum in the late
1970s, exhibitions in Jakarta and Padang, and making a final appearance
at the first Istiqlal Festival in Jakarta in 1991 (interview with Ali Usman
Datuak Buruak, July 2006; see also Haluan 1983). After this final
exhibition, the Naskah was allegedly returned to West Sumatra and has
not been seen since. Rusydi Ramli, a professor at the State Institute of
Islamic Studies in Padang, who was a member of the Istiqlal planning
committee, photocopied the manuscript, and I was able to obtain from
him a degraded copy of what is possibly the last remaining example of
the Naskah Tuanku Imam Bondjol, now deposited in the library at the
University of California, Berkeley. Efforts to locate the original manuscript
are recounted in Suryadi (2006).

10 The typescript, which differs slightly from the 2004 publication, can be
found at the Adityawarman Museum in Padang and the Imam Bonjol
Museum in Bonjol. I have checked the 2004 transliteration against the
photocopy of the original Arabic-script manuscript. Page numbers refer to
the manuscript; this pagination is also reproduced in the margins of the
published transliteration.
61

what might be the first modern Malay autobiography.11 It is a text that


exhibits a clear sense of personal interiority and an emotional resonance
that comes perhaps from being written simultaneously for a Dutch
contemporary audience and for Minangkabau posterity, from the
perspective of a villager, not a courtier, and a Muslim reformist
concerned especially with family structure and everyday life. The scores
of essays and books written by Dutch colonial administrators and
soldiers provide an additional source of information about the war. These
have been synthesized in Christine Dobbins monograph, Islamic
Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784
1847 (1983). Dobbins research is impeccable, and the book has been
praised as the most thorough study of a jihad (Keddie 1994, 472). My
gloss of Minangkabau culture is drawn from my own study of the
historical interactions of Islam, matrifocal customs, and colonialism
(Hadler 2008).

This essay will address the following points:


1. Tuanku Imam Bondjols particular position in the war generated
an extensive archive in which he plays a central role and in which
other leading ulama appear less significant.
2. This archive and historiography have been linked to state efforts
to control West Sumatra and to limit the potency of a reformist
Islamic call for warfare in the Dutch colonial, Guided Democracy,
and New Order periods. However, this does not lead us to a
facile reading of oppression and the stifling of Muslim militancy.
Rather, state fear of Islamic rebellion recapitulated a common
desire for peace and conciliation. The Padri War was deeply
unpopular.
11

Ulrich Kratz (1992) argues that Jalaluddins memoir is idiomatically


novel in his introduction to the transliterated text and in his essay.
62

3. Nevertheless, the figure of Tuanku Imam Bondjol remained a


potent trope of resistance and local autonomy for the
Minangkabau people. Toward the end of his military career,
Tuanku Imam Bondjol distanced himself from Wahhabism and
internecine violence, turning a civil war into a war against Dutch
aggression. The Tuanku Imams life can be read as a
protonationalist rejection of religious divisiveness for the sake of
anticolonial unity. From the 1930s through 1998 (with a break
from 1950 to 1957), Indonesia experienced a series of repressive
regimes that censored political discourse and effectively
controlled the production of history. Tuanku Imam Bondjol
appears in the 1930s as a key novelized historical figure in
Sumatran

popular

circumvented

fiction.

The

censorship

but

fictionalization
also

stifled

of

history
rigorous

historiographical debate until the 1960s, when the publication of


the eccentric Tuanku Rao: Hambali Islamic Terror in the Batak
Lands (18161833) forced a reconsideration of the Padri War
and Tuanku Imam Bondjols violence.

REVIEW

Concentrated in West Sumatra, the Minangkabau are one of the


best known of Indonesias ethnic groups and famous as the worlds
largest matrilineal Muslim society. Peggy Sanday (2002) makes a
compelling argument for following Minangkabau practiceelites use the

63

Dutch word matriarchaatand claims that in its gender egalitarianism,


the society is a true matriarchy. Certainly the seeming contradiction of
Islam and matriliny has shaped the past two hundred years of
Minangkabau history. The society has struggled with a conflict: Islamic
inheritance, child custody, and residence laws are patrilineal and
patrilocal, yet the Minangkabau are affiliated with large clan houses that
are passed down from one generation of women to the next, defined by
a common female ancestor.
Minangkabau people living in West Sumatra have a maternal
longhouse that they call home. The house is ideally divided into three
zones: a lower area nearest the door that serves as a public space for
receiving guests; a middle platform for meals that is also a sleeping area
for children, unmarried girls, and women who are no longer sexually
active; and in the back, a series of small private chambers reserved for
the clan women who still receive their husbands. When a girl is married,
she is assigned the newlyweds chamber, the largest room farthest from
the door. All other women are ratcheted down, moving to new chambers.
If the chambers are all in use, then the most senior woman, pushed to
the end of the row, must decide whether she still needs the privacy of a
bedchamber. If she is still sexually active, then an addition will be built
onto the house. Otherwise, she will join the old women and children on
the floor at night. When they reach puberty, boys are removed from the
longhouse and spend their nights in the surau, a village prayer and
boarding house. When boys reach adulthood, they take part in the
tradition of out-migration, merantau, and leave the village to seek their
fortunes in the expanded world, the rantau. Only when he has attained
some social value through commerce or education will a young man be
welcomed back to the village as a potential groom for the daughter of
another house. Many of these Minangkabau do not return from their
migrations, instead settling in towns throughout Indonesia. Across
Borneo, the Malay Peninsula, and Sulawesi, villages and polities trace
64

their conversion to Islam and even their foundation to the appearance of


Minangkabau travelers. And despite their matrilineal social structure, the
Minangkabau are universally recognized as one of the more pious of
Indonesias ethnic groups (though the standards for measurement of
piety, and its applicability to units of society beyond the individual, are
difficult to establish).
An early sixteenth-century account reported that at least one
Minangkabau king had recently converted to Islam (Pires 1990, 164),
and a Portuguese mestizo who visited the highlands in 1684 reported
hajjis at the royal court (Dias 1995). Minangkabau only experienced the
organized and institutional drive to convert to Islam in the seventeenth
century, when a central Sufi tarekat (mystical association) was
established on the coast at Ulakan (Amrullah 1929; Suryadi 2001, 2004).
Azra claims that the embers of reformism (2004, 145) were first stoked
in the late 1600s, when members of the Ulakan student network
observed with disappointment the overexuberance of their fellows
commemorating

the death of the founder of the tarekat. In the

eighteenth century, American and European demand for coffee, pepper,


and cassia created a boom in the highland economy that disrupted
traditional trading systems and brought new intellectual influences
through the port of Tiku, near Ulakan. Marginal villages with poor soil
became wealthy by planting the new cash crops, threatening the
influence of the traditionalist wet rice farmers. Many of the Muslim
reformists came from these newly rich villages (Dobbin 1977). By the
late

eighteenth

century,

Islamic

reformism

had

followed

the

Naksyabandiyah, Syattariyah, and Qadiriyyah tarekat into the highlands,


and the Islamic school headed by
Tuanku nan Tuo became a center for the reformist movement.
Syekh Jalaluddin remembered his fathers stories of the antebellum
1780s
65

and the religious changes already under way in Minangkabau (Kratz and
Amir
2002). Jalaluddin described the religious conditions in Minangkabau in
the late
eighteenth century, when his father was an Islamic reformist and
educator.
Already in the 1780s, centralizing religious schools were spreading
throughout
the highlands. The reformists moved from the old Sufi-influenced school
at
Ulakan, near the coastal town of Pariaman, traveling through Kamang
and Rao
in the highlands, stopping briefly in Koto Gadang, and finally settling in
Batu
Tebal, where eventually they garnered enough support to maintain the
fortyman
congregation necessary for Friday prayers. It would be a mistake to
imagine that religious education in pre-Padri, precolonial Minangkabau
was
entirely localized and focused on village prayer houses. Religious
scholars advertised
experiences and connections in the religious centers of Mecca, Medina,
and

978 Jeffrey Hadler

66

even Acehthe world of Islamic learning was inherently cosmopolitan.


Reformists
were beginning to make inroads into the heartland. And important
tarekat centers, with particularly potent teachers, had long attracted
supplicants.
An attentiveness to private life and daily behavior was a common and
novel
discourse in the Islamic world in the late eighteenth century (Metcalf
1982).
Through the early 1700s, Islam and the ulama had been primarily
concerned
with states and with kingship. These new reformist Islamic movements
were
more involved with the everyday lives of ordinary people; fatwa
addressed
issues of family life, sex, and appropriate conduct. From West Africa
through
South Asia and into the Malay world, the late eighteenth and early
nineteenth
centuries brought local Muslim reformist and revivalist movements that
shared
common objectives and similar violent rhetoric (Hardy 1972, 53; Jones
1994,
1820; Ahmed 1996, 39; Vikr 1999).
But while the Padris had many contemporaries, they were more

67

profoundly
opposed to local custom; Minangkabau matrilineal inheritance and
matrilocal
residence were affronts to shariah law that were impossible to ignore.
There
were consequences to this new discourse on private life. In Indonesia an
attentiveness
to the family and to daily life in the late eighteenth and nineteenth
centuries
presaged what in the early twentieth century became known as the
moderen. In the nineteenth century, a public sphere for Islam developed
around concerns that the colonial state did not share (although the Dutch
and,
to a lesser extent, the British did attempt to control the private lives of
their subjects).
Muslims were kept out of politicsin the Dutch East Indies, hajji were
barred from serving in the colonial civil administrationbut they were
political
regarding social issues. From Mecca at the end of the nineteenth
century, the
Minangkabau Shiekh Ahmad Khatib railed against matrilineal inheritance
in
his homeland (Huda 2003). His students and readers became the core
of the

68

early twentieth-century reformist movement. When in the 1910s the


colonial
state tried to introduce nominal participatory politics to the natives, they
expected a long tutelary process. For the ulama, no learning curve was
needed
for civil behavior, and to the horror of the government, they plunged into
the
political sphere fully fledged.
Caught up in the wave of eighteenth-century Islamic reformism, Tuanku
nan
Tuo, a moderate reformist around whom the future Padri coalesced,
pushed for a
stricter application of Islamic law, better attendance at Friday prayers, an
end to
gambling and drinking, and a cessation of the brigandry and slaving that
came
with increased trade. That trade also brought new wealth, and more
people
had the means to undertake the hajj pilgrimage. The Hijaz and Mecca
were
tumultuous in the late eighteenth and early nineteenth centuries. From
the
final decade of the eighteenth century, the Wahhabis were involved in a
campaign
of conquest there, temporarily occupying Mecca in 1803 and capturing

69

the city
from 1806 to 1812. Wahhabi adherents reject textual interpretation as
innovation
and demand adherence to a way of life that follows the Quran and the

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 979


authoritative Hadith. In the Hijaz, the Wahhabi burned books,
demolished
domes, destroyed tombs and pilgrimage sites, and, according to one
unimpressed
scholar, engaged in a campaign of killing and plunder all across Arabia
(Algar
2002, 20).
Sometime after the 1803 Wahhabi occupation, three Minangkabau hajji
returned from Mecca, where, according to every written history, they had
been influenced by the teachings of the conquering army. Coincidence is
not
proof, however, and in no Padri Warera Minangkabau text do we find
mention of Wahhabism. However, Indonesian nationalists have focused
on
Tuanku Imam Bondjols apparent renunciation of this Wahhabism and
embracing
of a vision of Minangkabau society that included the traditional elite.
Other

70

authors have claimed that he was never so puritanical, pointing to


notebooks preserved
by the people of Bonjol containing the Tuankus writings on soothsaying
(Dawis and Marzoeki 1951, 6575). A text captured at the Bonjol fort and
now
housed in the manuscript reading room of the Leiden University library
depicts illustrations of the household of the prophet and holy sites in
Mecca.10
This is not Wahhabi-approved reading material. In Indonesia today,
Imam
Bondjol is equated with deep religious faith, protonationalist and
anticolonial
resistance, and even Minangkabau patriotism. Popular opinion echoes
scholars
such as E. B. Kielstra (1887) and B. Schrieke (1920), who asserted that
Tuanku Imam Bondjol, and in fact the Padri movement in general,
should not
be considered Wahhabi. The Padris permitted pilgrimages to gravesites,
did
not attempt to impose a hierarchy on the traditionally decentralized
Minangkabau
polity, and allowed Muslims to honor the birth of the Prophet Muhammad
through the celebration of mawlid (on this final point, Schrieke refers to
Jalaluddin,

71

who was certainly not a Padri; see Dobbin 1972, 9; Steenbrink 1984,
3536).
However, every contemporary Dutch and English commentator, and
every
participant in the war, did not hesitate to indicate that the movement was
rooted in the teachings of Abdul Wahab. In an 1820 letter to William
Marsden, Thomas Raffles claimed that the Padris seem to resemble the
Wahabees
of the desert. They have proved themselves most unrelenting and
tyrannical;
but their rule seems calculated to reform and improve, inasmuch as it
introduces something like authority, so much wanted all over Sumatra
(1835,
84). P. J. Veth, in his introduction to the canonical account of the war,
makes
the Wahhabi connection (Stuers 1849, xcix), and in the first Malaylanguage
history of Sumatra, written with an anti-Padri bias, the influence of Abdul
Wahab is stated as fact (Moeda 1903, 55). By 1939 one of the Tuankus
hagiographers
would, without hesitation, call the Padri movement Wahaby (Dihoeloe
10I thank Michael Laffan for bringing this text, Cod. Or. 1751, to my
attention. Tuanku Imam Bondjols book of realizations (attahqiq), which explains his understanding of

72

the separation of soul and


body, is supposedly in the possession of the family of the late Haji
Chalidi in Lima Koto, Pasaman
(Sjafnir 1988, 134 n. 18).

980 Jeffrey Hadler


1939, 2930). The label Wahhabi was initially deployed as an insult,
suggesting
that reformist ideology was irreconcilably foreign in a Malay context.
Today, Padri
Wahhabism is a matter of pride for radicalized Indonesian reformist
Muslims. It
is impossible to know with any certainly whether the three hajji were
directly
influenced by Wahhabism while in Mecca (Roff 1987, 3739). What is
clear is
that for these returning hajji, traditional Minangkabau culture was
unacceptable;
matriliny and matrilocal longhouses could not be reconciled with the
essential
teachings of Islam. One of the hajji, known as Haji Miskin, allied with
more impatient
reformists in Tuanku nan Tuos circle who established walled villages,
grew

73

beards, wore robes and turbans, and attempted to recreate an Arabian


culture in
highland West Sumatra.11 It is this combination of localized reformism
and
Wahhabi-like influence that became known as the Padri movement. In a
violent affront to Minangkabau matrifocality, the extremist Padri, Tuanku
nan
Renceh, murdered his maternal aunt (Steijn Parv 1854, 27172). The
Padri
declared a jihad against the traditional matrilineal elite, burning
longhouses
(rumah

gadang)

and

killing

traditional

leaders

who

upheld

custom(adat)in
the face of religious commandments. This Padri War was a protracted
series of
conflicts, and the Padri state, influenced by the decentralized and
democratic
traditions of Minangkabau polities, lacked a clear administrative
hierarchy. The
decentralization of authority allowed for a natural sort of guerilla warfare
that
did not encourage climactic or pyrrhic battles. In 1815 the Padris, using a
ruse
of peace talks, slaughtered the royal house of Pagaruyung near
Batusangkar

74

(H. 1838, 130). They turned against the moderate reformists Tuanku nan
Tuo
and Syekh Jalaluddin, calling the men Rahib Tuo (old Christian monk)
and
Rajo Kafir (king of infidels) (Kratz and Amir 2002, 41).
For twenty years, sporadic fighting between reformist and traditionalist
forces destabilized West Sumatra. Eager to rehabilitate the economy of
the
Netherlands in the aftermath of the Napoleonic War (moreover, after the
secession
of Belgium in 1830) and lured by rumors of gold and the power of the
Minangkabau
court, in 1821 the Dutch colonial government returned to the port of
Padang, signed a treaty with the traditionalists, and sent an army into the
hills. It
is at this point that the extensive Dutch archive takes control of the
historiography
of the Padri War. According to this history, a series of treaties and
perceived
betrayals on all sides of the conflict punctuated twelve years of difficult
fighting.
11Upon visiting the highlands in 1818, Thomas Raffles observed, On
entering the country, we were
struck by the costume of the people, which is now any thing but Malay,
the whole being clad according

75

to the custom of the Orang Putis, or Padris, that is to say, in white or


blue, with turbans, and
allowing their beards to grow, in conformity with the ordinances of
Tuanku Pasaman, the religious
reformer. Unaccustomed to wear turbans, and by nature deficient in
beard, these poor people make
but a sorry appearance in their new costume. The women, who are also
clad in white or blue cloth,
do not appear to the best advantage in this new costume; many of them
conceal their heads under a
kind of hood, through which an opening is made sufficient to expose
their eyes and nose alone
(1830, 34950).

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 981


But in 1830, the Dutch were able to reinvigorate their army with Dutch
and Javanese
troops fresh from victories over Diponegoro, and by 1832, the Dutch had
defeated Bonjol and apparently incorporated West Sumatra into their
burgeoning
colony. However, the collapse of the Padri in 1833 was followed by a
unification
of the reformist Muslims and matrilineal traditionalists in a revitalized
resistance to foreign occupation. Six more years of violent warfare

76

ensued, and
by 1838, the Minangkabau were defeated, their leaders killed or, like
Tuanku
Imam Bondjol, exiled. It was, according to the archive and the
authoritative histories,
the Dutch entry into the conflict on the side of the matrilineal adat
traditionalists
that prevented West Sumatra from becoming a permanent Wahhabi
outpost. The memoir of Tuanku Imam Bondjol gives the lie to this
narrative.
While the reformists were defeated militarily, their arguments for a strict
interpretation of the Quran and Hadith remained compelling in West
Sumatra. For two centuries, Minangkabau intellectuals have been
obliged to
defend the maintenance of matrilineal custom in the face of a rigorous
critique
from Islamic reformists. And despite regular predictions of the imminent
demise of their Islamic matriarchate, the Minangkabau people have
managed to defend and strengthen their matrifocal tradition. The Padri
War
and reformist critique of Minangkabau custom forced the supporters of
adat
to articulate and defend the legitimacy of their beliefs. Paradoxically, it
was

77

neo-Wahhabism that preserved matriliny in Minangkabau; in Kerala in


southern
India and Negeri Sembilan in Malaysia, matrilineal custom collapsed
under a
more insidious attack from the colonial state and early twentieth-century
purveyors
of modernity (Peletz, 1988, 1998; Arunima 2003).
WAR (OF WORDS)
The Minangkabau highlands to which the three Wahhabi hajji returned
were not static. Coffee smallholding had generated considerable
individual
wealth, and local Islamic centers and tarekat were already in place,
building a
regional network of religious influence and friendships. An extensive
system of
footpaths connected highland villages to the west coast and to the rivers
that
flowed east to the Straits of Malacca (Asnan 2002). The rotational daily
market
shuttled between the various towns, its parameters marked out by the
distance
that a goods-laden water buffalo could shuffle in an evening. This market
was
an opportunityfor news to be shared, for traditional stories to be told, and
for connections

78

to be made beyond the village. It was a proto-rantaua chance for


young men to leave home and accompany their mothers and fathers
through a
wider, though still circumscribed, world. This market system was one of
the principal
means by whicha regionwide Minangkabau identity and language was
maintained.
And rampant dacoitya chief concern of the Padriswould have
disruptedthese traditional circuits.

982 Jeffrey Hadler


Accounts of Tuanku Imam Bondjols origins have claimed that his
parents
were Arabs or even Moroccans (Djaja 1946, 5). Depending on the writer,
this narrative
move might have improved the Tuankus Muslim credentials (especially
as
he was not a hajji) or diminished his Malay and protonationalist
association (by
explaining as Arabian the Padri propensity for violence and misogyny).12
In his
own memoir and in contemporary Dutch accounts, there is no mention of
foreign ancestors. He was a villager from the valley of Alahan Panjang in
the

79

northern reaches of the Minangkabau highlands. Alahan Panjang is a


poor and
arid region, and local boys were especially encouraged to out-migrate
and seek
their fortunes. The young Tuanku Imam Bondjol traveled the network of
Islamic schools, studying with different teachers according to their
specializations.
He was, above all, a student of his own father, Khatib Bayanudin, and
eventually joined his fathers surau as a teacher with the title Peto Syarif.
As a young alim in the late 1790s, the Tuanku accompanied his patron,
the
traditional chief Datuk Bandaharo, to the reformist center led by Tuanku
nan
Tuo. The Tuanku and Datuk were part of the reformist movement there
when
the three hajji returned, and the Tuanku was deeply inspired by their
Wahhabi-like teachings and fashions and their call for a return to
shariah. He
joined the Padri, but he was not considered to be one of the most violent
and
aggressive of them, a group known as the Harimau nan Salapan (Eight
Tigers).
From his memoir it is clear that Datuk Bandaharo was a confidante of
the

80

Tuanku and perhaps his leader. In the early 1800s, the two men set up a
Padri
fort in Alahan Panjang to wage their jihad. Anti-Padri forces conspired
against
them, and Datuk Bandaharo was poisoned and died. It was at this point
that
the Tuanku relocated his stronghold to the base of Mount Tajadi in the
village
of Bonjol, becoming the Tuanku Imam of Bonjol in 1807.
The Padri War, up through the Dutch intervention, was a bitter civil war.
Tuanku Imam Bondjol looked to the Eight Tigers, and particularly Haji
Miskin
and Tuanku nan Renceh, following their example and making his fort the
northern
base of the jihad. From his memoir we know that Tuanku Imam Bondjol
organized the burning of the village of Koto Gadang and instructed
Tuanku Tambusai
and Tuanku Rao to take the jihad farther north into the Batak lands.
Bonjol,
the fortress, became increasingly wealthy as Tuanku Imam Bondjol
seized cattle,
horses, mines, and slaves during his campaigns. At this point in the
Tuankus
career, the Dutch joined the fight and, in the central valleys, slowly
began annexing

81

Padri territory. Haji Miskin had been killed (Tuanku nan Renceh later dies
of
illness), and the locus of Padri authority shifted north to Bonjol. The
forces of the
Tuanku Imam had great success in converting the southern Batak to
Islam and
even reached the shores of Lake Toba. He was in contact with Muslim
leaders
in Aceh and stood poised to lead a revivalist movement spanning the
entire
12The best example of an early twentieth-century adat polemicist, still
fighting against vestigial
Padri, is Datuk Soetan Maharadja (1917).

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 983


northern half of Sumatra. While the Dutch appeared in the Minangkabau
heartland
and began to directly engage the forces of Bonjol, the Tuanku Imam was
in a
position of military strength. His cavalry and his knowledge of the
highland plains
and mountains were unmatched, and his troops had proven themselves
capable
of defeating Dutch forces (Kroef 1962, 15153; Clarence-Smith 2004,
276).

82

Control of rice fields and croplands, as well as gold mines, guaranteed


his soldiers
food and supplies. However, in his memoir the Tuanku is doubtful and
needs to
reaffirm the focus of his struggle. He contemplates for eight days and
then calls
his advisors to him for deliberation. There are yet many laws of the
Quran that
we have overlooked. What do we think about this? (Adapun hukum
kitabullah
banyaklah nan terlampau dek oleh kita. Itupun bagaimana pikiran kita?).
His
advisors affirm, We have overlooked many of the laws of the Quran
(Banyak
lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita)(Imam Bonjol 2004, 39).
With his spoils, the Tuanku funds four of his followers, including Tuanku
Tambusai and his matrilineal nephew, Fakih Muhammad, sending them
on the
hajj to acquire the true law of Allah (kitabullah nan adil/hukum
Kitabullah sebenarnya)in Mecca (Imam Bonjol 2004, 3940). The Tuanku continues to
wage his
war aggressively, burning enemy villages, killing the nobility, and building
mosques. But the hajji return with unanticipated news: They report that
in

83

Mecca, the Wahhabi have fallen and the laws as studied by Haji Miskin
are
invalid. In the text of the Naskah, Tuanku Imam Bondjol now makes an
extraordinary
narrative shift.
Tuanku Imam Bondjol is chastened and repentant. He immediately
returns
the spoils of war and calls a great meeting of all the Tuanku and hakim
(judges),
basa and panghulu (customary rulers), declaring a truce and promising
that he
will no longer interfere in the work of the traditional authorities. While
discord
remains unsettled, the people agree to follow the law of adat basandi
syarak
shariah as the basis for custom.
And they accepted the law of the Quran and they followed the Quran.
So all the plunder and spoils were returned to their owners. And Friday,
when everyone had arrived at the mosque, and they had yet to start their
prayers then the Tuanku Imam, before all the judges, restored things to
as they had been. Ispeak to all the adat leaders and all the nobles in
this
state. And although more enemies may come from all directions rather
than fighting them you adat leaders and I will live in mutual respect

84

and peace and no longer will I meddle in the lives of the adat leaders
in the state of Alahan Panjang. And so I restore all that is bad and
good in this nagari [village confederacy].
Dan terbawalah hanyolai hukum kitabullah dan terpakai kitabullah
hanyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dan kembali hanyolai
kepada segala yang punya dan pada hari Jumat dan sekalian sudah
tiba dalam mesjid, antara lagi belum lagi sembahyang maka beliau

984 Jeffrey Hadler


Figure 2. Portrait of Tuanku Imam Bondjol (Ridder
de Stuers, 1850).
Tuanku Imam memulangkan hanyolai masa itu dan sekalian hakim.
Kepada sekalian basa dan penghulu dengan segala raja-raja dalam
nagari ini. Dan jikalau ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan
melainkan
lawan oleh basa dan penghulu dan saya hendak tinggal dituahnya
hanyolai dan tidak lagi saya amoh masuk dalam pekerjaan segala basa
dan penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan memulangkan
saya buruk dan baik nagari ini.
Now you speak this way to us, Tuanku, and so it is upon you that our
hopes rest. You will replace our elders, and if oppressed or constrained

85

we will complain but to you and you will be our protector. This was
the request of all the adat leaders to the Tuanku Imam. And so they
applied the law according to the teachings of the Quran. And the adat
leaders used the law of adat basandi syarakshariah as the basis for
custom. And if there was a problem with adat it would be brought to

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 985


the adat leaders. And if there was a problem with Islamic law it would be
brought to the four Islamic authorities. And so word spread to every
nagari and luhak from the nagari of Tuanku Rao and Tuanku Tambusai
[the Mandailing front] to Agam and Tanah Datar, to 50Koto and Lintau.
And so it is that today every nagari uses this division of authority.
Sungguhpun demikian, kata Tuanku kepada kami, melainkan Tuanku
juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kami akan ganti ninik
mamak oleh kami dan kalau sasak dan sempitnya pada kami melainkan
tempat mengadu juga dan pemilihara Tuanku juga kepada kami. Itulah
permintaan sekalian basa dan penghulu kepada Tuanku Imam. Dan
kemudian itu terpakailah hukum nan sepanjang kitabullah. Dan
penghulu
dan andiko memakai hukum adat bersandi syarak. Dan jikalau
ada bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu. Dan jikalau

86

ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan berempat. Maka


mashyurlah tiap-tiap nagari dan luhak dan nagari Rao Tambusai lalu
pula ke luhak Agam dan luhak Tanah Datar sampai ke Luhak Limo
Puluh dan sampai ke nagari Lintau. Demikianlah sampai sekarang
kini, lainyo terpakai juga pada tiap-tiap luhak dan nagari. (Imam
Bonjol 2004, 5355)
This is a complicated passage and one whose language deviates from
the otherwise
straightforward narrative of the Naskah Tuanku Imam Bonjol. The
Tuanku
was writing his memoirs while in exile in Ambon and Manado (see figure
2). He
had in mind the twin audiences of the Dutch colonial state and
Minangkabau
posterity, knowing that the Dutch military would read the memoir and that
his
son would eventually return with it to West Sumatra. The meeting
described
here was a transformational moment in Minangkabau history. The Padri
War
as an Islamic reformist war was abandoned. The Tuanku surrendered in
his
struggle to purify Islam in Minangkabau and soon abandoned his house
and

87

mosque

in

Bonjol.

The

language,

too,

is

ambiguous:

He

is

simultaneously
celebrated and derided by his former enemies.
In his memoir, the Tuanku Imams will to fight his fellow Minangkabau
crumbles
when he learns that Wahhabi teachings have been discredited. In an act
of
great moral bravery, the Tuanku publicly renounces his ideology, makes
reparations,
and apologizes for the suffering that his war has caused. In his memoir,
Imam Bondjols enemies respond formulaically, looking to him as a
patron. But
there remains some ambiguity and even anger in their reported
language.
They demand that the Tuanku Imam replace their elders, people likely
killed
by the Padri in their war against traditional authority. And it is unclear
whether
the Tuanku Imam is to appoint replacements or to personally take the
place
of the people he is responsible for killing. In his wish for peace, the
Tuanku uses
the term dituahnya. This is a form of royal blessing usually delivered by
the
sorts of nobles whom the Padri had hoped to eliminate. The Tuanku

88

Imam

986 Jeffrey Hadler


restores the antebellum status quo, confining religious authority to
matters of
shariah and allowing customary leaders to adjudicate social issues. He
proclaims
that adat basandi syarakshariah will be fundamental, even in
questions of
social custom. In fact, a Dutch administrator would report in 1837 the
widespread
acceptance of the formula, Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di
Adat, which asserts that both Islamic law and local custom are mutually
constituted
and interdependent (Francis 1839, 11314). Imam Bondjol claims a kind
of
victory in his accommodation with the traditionalists. Yetwe know that he
has dismantled
the Padri as a Muslim revivalist movement and that he will soon
withdraw,
temporarily, from his role as leader.
The voice of the memoir is now exhausted; the Tuanku Imam wishes for
peace with the Company (the common term for the Dutch colonial
government

89

long after the dissolution of the VOC), he is tired of living in a state


where the leadership is divided (Imam Bonjol 2004, 43). Soon after the
meeting with the local leaders, he gathers his family and leaves Bonjol
for
Alahan Panjang, turning the fort over to three customary chiefs. Within
days
these three panghulu agree to surrender Bonjol to the Dutch for a
promise
that the Dutch troops will not disturb the fort. However, the Dutch and
Javanese
soldiers soon evict the Minangkabau from Bonjol and occupy the fort,
using the
Tuankus house and even the mosque as a garrison. The Tuanku Imam
learns of
this and calls for a meeting with the Dutch commander Elout. In their
conversation,
the Tuanku Imam offers a truce, explaining that he is sixty years old and
too
tired to fight. Elout recommends retirement and appoints Tuanku Mudo,
Tuanku
Imam Bondjols protg, as regent of Alahan Panjang. But the peace
does not
last. Both the Padris and the traditionalists are furious at the Dutch and
Javanese
abuse of the fort and mosque. After an incident of Dutch mistreatment of

90

Minangkabau workers in which a man is shot, the Minangkabau (in the


words
of the memoir) run amuck, slaughtering the Javanese who were
encamped in
the mosque and 139 Europeans stationed in the town. On January 11,
1833,
the war enters a new phase, that of the unified resistance of
Minangkabau
society to Dutch occupation.
Tuanku Imam Bondjol again becomes a military leader, and the memoir
remains exceptionally detailed. He is often on the run, living in the
woods, engaging
in guerilla warfare with the Dutch. The Tuanku Imam is no longer a
revolutionary,
overturning a corrupt society and bringing religion to his countrymen. He
is attempting to expel a foreign invader, and then he is trying to survive.
The
memoir describes a life shuttling from house to house, listing the names
of
mothers and children killed in the fighting, dreaming of peaceful days in
Alahan Panjang. Tuanku Imam Bondjol is no longer a man blessed with
the certainty
of the zealot. His memoir becomes a text of doubt and trepidation.
Tuanku

91

Imam Bondjol is tired of living in the forest and fears for the welfare of his
family.
He becomes increasingly conciliatory, making speeches to traditional
elites and
assuring them of their essential place in Minangkabau society, meeting
Dutch

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 987


officials and attempting to win guarantees of protection for his children.
The
fighting remains horrific, but slowly, the Dutch gain ground and retake
Bonjol,
defeating the Minangkabau rebellion in 1837. Resident Francis and other
officials
decide that the Tuanku Imam is too subversive a presence to allow him
to
remain in West Sumatra, as he has requested. He is exiled to Java, then
to
Ambon, and eventually to Manado, where, after a final five years of
illness and
pain, at the end of his years, and out of luck (Imam Bonjol 2004, 190),
the
Tuanku Imam dies.
The Tuanku Imam Bondjol had an epiphany of regret regarding
Wahhabilike

92

teaching and then a second life that combined warfare with conciliatory
discourse.
But as the Dutch reports attest, his career was otherwise marked by
extreme violence. In the 1820s, the moderate reformist Jalaluddin
recounted
his own experiences of the war for a Dutch audiance. Jalaluddin
complained
that yes, the traditionalists of Agam were warlike, unable to differentiate
halal
from haram, and willing to sell their mothers and siblings for the right
offer.
But the Padri were worse.
There are good aspects of the Tuanku Padri, they organized prayers and
enforced alms-giving and fasting during Ramadan, and undertook the
hajj as they were able, and repaired mosques and bathing places, and
wore permissible clothes, and commanded people to pursue knowledge,
and commerce. And there are wicked aspects of the Tuanku Padri who
committed arson, who [without customary authority] appointed officials
in the villages, and murdered without cause, that is they murdered all the
ulama[who disagreed with them], and murdered all the courageous
people [who stood up to them], and murdered all the intellectuals,
calling them traitors, and pillaged and looted, and took women who
had husbands, and married women of unequal rank without their

93

consent, and captured people and sold them into slavery, and made
concubines
of their captives, and insulted noble people, and insulted elders,
and called the faithful infidels, and deprecated them.
Adapun

yang

baik

sebalah

Tuanku2

Pedari

ialah

mendirikan

sembahyang
dan mendatangkan zakat dan puasa pada bulan Ramadan, dan
naik haji atas kuasa, dan berbaiki mesjid dan berbaiki labuh tepian,
dan memakai rupa pakaian yang halal, dan menyuruhkan orang
menuntub
ilmu, dan berniaga. Adapun sekalian yang jahat daripada Tuanku
Paderi menyiar membakar, dan menyahkan orang dalam kampungnya,
dan memunuh orang dangan tidak hak, yaitu memunuh segala ulama,
dan memunuh orang yang berani2, dan memunuh orang yang cerdik
cendaki, sebab berudu atau khianat, dan merabut dan merampas, dan
mengambil perempuan yang bersuami, dan menikahkan perempuan
yang tidak sekupu dangan tidak relanya, dan menawan orang dan
berjual dia, dan bepergund tawanan, dan mehinakan orang yang

988 Jeffrey Hadler


mulia2, dan mehinakan orang tuha, dan mengatakan kafir orang
beriman, dan mencala dia. (Kratz and Amir 2002, 49)13

94

The reaction of the Europeans to this Padri violence would have farreaching
implications for Indonesianist scholarship. The British Sumatranist
William
Marsden was convinced that the Minangkabau kingdom was the cultural
heart of
the Malayworlda place where Sanskrit and Indic culture first
toucheddown, civilizing
and ultimately redeeming the Malays as it hadthe Javanese. In an early
influential
essay, Marsden recommended an exploration of the Minangkabau
kingdom,
that the originalHindu-Malay transmission texts might be discovered,
uncorrupted
by Arabic (Marsden 1807, 218, 223). Thisidea that Minangkabau was the
ancestral
home of the Malay peoples shaped early Indonesianist philology, as
itcontinues to
shape Minangkabau self-perception today(Cust 1878, 133; Andaya
2000). The
Padri War was therefore a threat to Pagaruyung, the ancient
Minangkabau palace
and the source of Malay culture (Drakard 1999). Minangkabau was
granted a privileged
position within the cultural strata of Indonesia. Marsdens essay set up

95

Minangkabau
as the Indic contact point for the Malay world. The palace ofPagaruyung,
the fabled kingdom in the Minangkabau highlands, would for the
disciples of
eighteenth-century Indology place the Malay people on the same cultural
plane
as their more overtly Hindu neighbors, the Javanese.
When Raffles made his famous expedition into the Padang highlands in
1818,
Marsdens hypothesis was tested. Raffles traveled inland from Padang,
seeking
out the legendary kingdom of Pageruyong, and found a ruin whose
boundaries
were marked only by fruit and coconut trees. In a feat of archaeological
alchemy,
Raffles conjured up the kingdom from rubble and scrub. The once
extensive
city had been thrice burned, and the ongoing Padri Wars had left the
great
Hindu-Malay stronghold abandoned and weed-clogged. In the village of
Suruaso, Raffles and his entourage were escorted to the best dwelling
which
the place now affordedto the palace, a small planked house about
thirty feet

96

long, beautifully situated on the banks of the Golden River(Soongy


Amas).
Here we were introduced to the Tuan Gadis, or Virgin Queen, who
administered
the country. These ruins (or fantasy of ruins) were proof of the great and
noble
history of the Malays, a civilization that once rivaled the Javanese and
was now
evidently retrograde. And when Raffles upends the stone stairway of a
small
mosque, revealing a real Kawi [old Sanskritic Javanese] inscription, we
know
what is to blame for the tragic degeneration: Islam. The necropolis of
Pagaruyung,
the shadowy site of many an extensive building now no more, is
demarcated
in scorched earth and a few venerable trees. Melancholic, quoting
the Brata Yudha, Raffles could still see the palace in a stand of
sugarcane, the
throne etched in a large flat stone (Raffles 1830, 35860).
13Kratz argues that the manuscript was produced before 1829, and
therefore before 1833 and the
shift from civil war to broad social resistance to the Dutch.

97

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 989


Raffless mission marked the beginning of an extensive and ongoing
foreign
penetration into the hills of West Sumatra. His sadness, his failure to find
the
Hindu-Javanesque kingdom that would legitimate Malay culture, would
demonize
Minangkabau Islam in the writings of many of the scholars who followed
him into the highlands. And his overturned mosque-stoop, an uncovered
and
real proof of Hindu origins, can serve as a parable for the syncretic
excavations
thenceforth undertaken by Indonesianist anthropology.
ARCHIVE
We turn to the peculiar form of the text of the Naskah Tuanku Imam
Bondjol.
The text comprises three distinct sections. The first 190 pages are the
memoir of
Tuanku Imam Bondjol himself, from his youth to his death in Manado,
brought
back to West Sumatra by the Tuankus son, Sutan Saidi, who
accompanied him
into exile. Pages 191324 are the memoir of another son, Naali Sutan
Caniago,

98

who fought alongside his father in the jungle and who was granted a
position
in the Dutch colonial administration as part of the terms of the Tuankus
surrender.
The third section, pages 325332, contains the minutes(Proses
Verbal)ofa
pair of meetings held in the Minangkabau highlands in 1865 and 1875.
Many
Malay manuscript collections contain multiple and unrelated texts bound
into
single volumes. They are not read intertextually. In the case of the
Naskah
Tuanku Imam Bondjol, it is precisely the connectedness of the texts that
gives
the story of the Tuanku such potency.
The Dutch scholar Ph. S. van Ronkel, who was given access to the
manuscript
in the 1910s, when it was in the possession of the Tuankus descendants
in Lubuk
Sikaping, read the third section as a distinct and separate text. In an
article on
The Establishment of Our Penal Code on the West Coast of Sumatra
According
to Notations in a Malay Manuscript, he noted that three different scribes
had

99

written the individual sections (1914, 251). Van Ronkel summarizes the
third
section of the Naskah, describing a major gathering of Dutch legal
experts,
leaders of the residency government, and all the principal Minangkabau
officials
working for the Dutch colonial state. He correctly views the meetings as
a turning
point in the incorporation of West Sumatra into the Netherlands East
Indies. And
in order to appreciate the significance of these meetings, we need to
review the
sorts of intrusions the Dutch colonial state imposed upon civil society in
the Minangkabau
region between the 1820s and 1875.
The year 1847 brought the cultuurstelsel, a system for the forced
cultivation
of coffee, to the highlands of western Sumatra. With this, the Dutch set
up a
mechanism for maintaining a native managerial corps, including the
positions
of kepala nagari and tuanku laras, which were first introduced in 1823
(Ambler 1988, 4951). The Dutch understood that calling their regional
administrators
Tuanku would undermine the potency of the traditional and, until this

100

990 Jeffrey Hadler


point, exclusively Islamic title of Tuanku. Initially, the kepala nagari was
responsible
for enforcing the collection and delivery of coffee, receiving a bonus for
success or considerable jail time for failure (Colombijn 1998). By the
1860s,
a newer position, the panghulu suku rodi, had been introduced to
manage
both coffee collection and the fulfillment of corve duties (Abdullah 1967,
3637). In 1875 hajjis were formally banned from work with the
Binnenlandsch
Bestuurthe colonial civil servicefurthering the perception that the
Dutch
meant to foist an anti-Islamic elite on Minangkabau (Hasselt 1882, 61).
This
was the period when Minangkabau began sarcastically to call
themselves leafcoffee
Malays, in reference to the scraps of harvested bushes from which they
would brew a weak beverage (Zed 1983). It was for most a difficult time.
Elizabeth Graves cites a report from the late 1860s that discusses the
abuse of
corve labor. Not only were people compelled to build coffee
warehouses and

101

government buildings, but also,


Each larashoofd [Tuanku Laras] demanded his own residence and office
in the territorial center for when he had to confer with Dutch officials. To
make matters worse, local officials, both Dutch and Minangkabau, often
misused the corve levies, demanding in some cases extravagant
architectural
styles and decorations which increased the already onerous
task. (1981, 68).
In 2001 the daughter of a Tuanku Laras recalled her fathers perquisites
four servants
performing corve duty anda horned-roof house, one of only thirteen that
the
Dutch permitted to be built in areas of new settlement(Aman 2001, 15,
60). These
Dutch-made panghulu, kepala,andtuanku outlasted the cultivation
system that had
once given them purpose andjustification. The corruption of the false
adat elite
led directly to the near uprising of 1897 and the Anti-Tax Rebellion in
1908
(Young 1994, 4983). Yet they survived these challenges, and the
trappings of
their offices have until the present defined the guise of authority in
Minangkabau.

102

Debt bondage and slavery were common throughout the Malay world,
and
every household could have its attendant slaves, people captured
through
raiding or indentured to the house. Then on January 1, 1860, the Dutch
government
formally abolished slavery in the Indies (Verkerk Pistorius 1871, 2630,
10611).

Such

declarations

did

not

necessitate

immediate

implementation. It
was only in 1875 that T. H. der Kinderen, the colonial law reformer, came
to Minangkabau
from Batavia, slaughtered a buffalo in each of the three principal districts
(luhak), and proclaimed all the slaves to be free (Kinderen 1875, 1882;
Sanggoeno di Radjo 1919, 93).
Immediately, elite Minangkabau society devised a means to recognize
absolutely
the class and status of a household. New kinship terms, such as
kamanakan
dibawah lutuik (sisters children below the knee), were coined to
designate the
former slaves. The free families lived in longhouses at the center of the
village,

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 991

103

in places reserved for the original settlers. Slave families were


segregated,
restricted to the margins of the village, and initially limited to particular
styles
of houses (Verkerk Pistorius 1871).
In 1872, Van Harencarspel, the self-described chief secretary
(secretaris
basar) of the colonial government, drafted regulations controlling
movement
and domestic behavior for all non-European residents of the colony
(Toorn
1894). The laws set fines not only for unauthorized movement and
residence
but also for what was deemed to be inappropriate behavior within the
longhouse.
The fines were tiered according to the offense, and they provide a telling
gauge of
Dutch priorities.
The following offenses were, evidently, least offensive to the Dutch:
Wrongful
movement and wrongfulresidence in a village brought penalties
ofjustone to
fifteen rupiah. Awoman facedthe same fines ifshe slept witha man other
than her
husbandor slept away from her house (roemah tangganja)for more than

104

one night
without permission. The appended notes clarify this: An overstepping of
these
prohibitions occurs ifa woman engages in various acts witha man, but
does not
technicallycommit

adultery.

Aman,

too,could

be

fined

for

havingillicitrelations
with a marriedwoman. Trespassingand the unauthorized disposalofrotten
goods
also garnered fines ofone to fifteen rupiah(Toorn 1894, 19, notes p. 30).
Greater finesfrom sixteen to twenty-five rupiahcould be levied for
intentional
malice, the manufacture of firearms or gunpowder, or failure to guard
ones
house. Failure to watch over children or the insane were likewise
punished. The
largest fines, twenty-six to sixty rupiah, were reserved for people who
wrongfully
called meetings, squatted on anothers property, or sold amulets
(presumably
promising invulnerability) (Toorn 1894, 1524).
Most ofthese prohibitions were easilypolicedwrongful residence,
squatting,
and arms manufacture were quickly investigated and confirmed. Other,
more

105

lustfulcrimes were far more difficult to prove and would have requiredthe
weighingoftestimonyandallegation.
While Minangkabau would have tried to settle disputes
without turningto the Dutch, irreconcilable differences left the colonial
justice system as the arbitrator of last resort. The new legalsystem, of
course, generated
its complement of native lawyers, jaksa and jurusita,attorneys, and
bailiffs.
Butaverage Minangkabau also setout to learn the new language of
Western law.
Books were published explaining the new regulations, many appending
sample
official

letters

and

petitions

(Kinderen

1882;Pamoentjak

1895;

Blommenstein
1903). The Dutchattempt to turn Minangkabau into a litigious culture
largelysucceededalthough efforts to regulate marriage were resisted whenever
possible.14
Landdisputes tied upproperty for generations, intestate(Colombijn 1994).
Under
the Dutch, Minangkabau lived with colonial law and were watched by a
native
14While the Civil Registry (Kantor Catatan Sipil) in Padang lists around
fifteen native women
marrying Europeans (soldiers mostly) every year of the colonial period,

106

none of these women


was explicitly noted as Minangkabau.

992 Jeffrey Hadler


constabulary. Fines were enforced, and failure to pay meant time in
prison. The
colonial legal system was an intrusion that began during the Padri War
but was
accelerated and made procedural in the meetings described in the
Naskah
Tuanku Imam Bondjol.
The minutes included in the Naskah describe a sequence ofmeetingsin
the
centralcourt in Bukittinggi, the first on April 6, 1865, and the second on
December
14, 1875. Both meetings were chaired byDer Kinderen, who was
evidently not prepared
toinvest in ritual buffalo slaughter without first being assured ofa kind
reception
for his pronouncements. The meetings were attended by the governor of
Sumatras westcoast, J. F. R. S. van den Bossche;the resident of the
Padang highlands,
H. A. Steijn Parv; eleven Dutch controllers; seventy-six Tuanku Laras;
and

107

untold numbers of clan heads and panghulu. At the 1865 meeting, Der
Kinderen
advocated for the creation of a regional bureaucracy, with local Dutch
officials
supervising Minangkabau counterparts who would be in charge of
carrying out
the regulations. The law would be a combination of local customary adat
and the
Indies-wide hukum of the colonial government, echoing the balance
between
adat and shariah that was part of the Tuanku Imams legacy. A decade
later, Der
Kinderen reconvened the meeting and evaluated the successful
implementation
of alegal bureaucracy in West Sumatra. It is only at this point, after ten
years of
state legalist propagandizing, that he promulgated the formal end of
slavery.
Areaderofthe Naskah will notice a familiar name among the roster of
Tuanku
LarasImam Bondjols son, Sutan Caniago, represented Alahan
Panjang.
In a separate article, Van Ronkel (1915) summarizes the first two
sections of
the Naskah Tuanku Imam Bondjol, but he fails to acknowledge an

108

intertextual
connection between the three sections. When read cohesively, it is clear
that
the Naskah is a single, polyvalent text. The first section, the narrative of
Tuanku Imam Bondjol, is a story of war and defeat. Tuanku Imam
Bondjols
singular triumph is the realization of his misguided decision to join the
Padris.
He embarks on a campaign of apology and restitution that is largely
ignored by
both the local traditional elite and the Dutch military. Nor is the Tuanku
Imam a martyr. He relents in the Padri War and is defeated in the war
against
the Dutch, but he is not executed. Instead, his request to remain in his
homeland
is denied, and he lives a long life as an exile in what might be considered
a Protestant
beach resort in northern Sulawesi. If people were searching Indonesian
history for unrepentant neo-Wahhabis, then they could choose from Haji
Miskin, Tuanku nan Renceh, or Tuanku Rao. If they wanted to
memorialize nonviolent
and moderate reformists, then Tuanku nan Tuo or Syekh Jalaluddin are
worthy of admiration. Instead, Tuanku Imam Bondjol is remembered
aman

109

who was ultimately a military failure, who was ideologically disillusioned,


and
for whom a shift from violent action to conciliatory discourse was
rewarded
with exile and misery. Section two of the Naskah is equally perplexing.
In 1865, in time for the first ofthe two legal symposia, NaaliSutan
Caniago was
toilingas an unhappy bureaucrat in the colonialadministration. His
appointment

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 993


as Tuanku Laras seems to have been the result ofthe Dutchstate
fulfillinga thirtyyear-old promise to his father(Imam Bondjol 2004, 234). Sutan
Caniagos narrative
is not one of warfare, but, like his fathers, it, too, is one of
disappointment and
humiliation. In years ofservice, Sutan Caniago clashes with corrupt
Minangkabau
colleagues andunresponsive Dutchsuperiors. The narrative concludes
witha long
series of dialogues between Sutan Caniago and Dutchofficials,
includingthe Tuan
Besar(the resident). During a dressing-down, Sutan Caniago protests,
claiming

110

that

he

does

not

proselytize

(mendakwa)or

even

speak

butmerelywanders the
roadways supervising laborers(Imam Bondjol 2004, 257). He has
become a perverse
inversion of a traditional Tuanku. A religious Tuanku would be localized
and visited by students seeking knowledge. He would speak and not
move; his
voice would be the site of his authority. Sutan Caniago is voiceless,
moving aimlessly,
the sortof powerless wanderer who is a tragic figure in Minangkabau
literature(Hadler 1998, 141). He complains of people who mandago mandagi
(an odd
expression that suggests insubordination). The Tuan Besar asks him to
explain the
term, andSutan Caniago responds that mandago is the makingofa
disturbance in
the country [negeri]that interrupts the livelihood of the people And
mandagi is
the makingofdisputes that impede the flow ofmoney. At this point a
sympathetic
datuk,a customaryleader, attempts to show respect for Sutan Caniago
and is reprimanded
by the jaksa, the native law official, in Dutch-inflected Minangkabau:
Do not, now, show respect to Tuanku Sutan in any manner. Why do you

111

pointlessly oppose the Dutch, and dont start begging for mercy. Now
it is too late to beg for mercy.
Jangan, nou, disembah jua Tuanku Sutan pakai apa di no tu. Menagapa
awak sio-sio melawan anak Kompeni, jangan minta ampun jua lai. Tidak
boleh kini lagi minta ampun. (Imam Bondjol 2004, 25960)
Sutan Caniago then requests to speakprivatelywiththe resident andthe
commander.
He threatens the state withthe wrathofhis children andsisters children if
his
grievances are not addressed, saying to the resident, Iwillsalute you
from your
shoes to the tufts of your hair if you permit me to make my request part
of the
written record. The text then seems to trail off, unresolved: And so it
was
from this day forth I was allowed to remain outside of the[true] custom
and
request that the command of [invented colonial] custom and the
command of
the corve bear witness to Lord Allah and Muhammad so concludes this
matter
in the year 1868 in the village of Kampung Koto in the house of Tuanku
Laras
Bonjol Alahan Panjang (Imam Bondjol 2004, 26465).

112

There is no recorded response to Sutan Caniagos plea andno narrative


resolution
in the second section of the Naskah. But, of course, the text itself is the
answer to Sutan Caniagos request. It is the written record that he
demanded.
And the apparently unconnected third section is the response of the
colonial

994 Jeffrey Hadler


state to his pledge for a life livedoutside Minangkabau tradition andunder
the
invented adat of colonial law. He has successfully generated an archive
the
second section of the Naskah Tuanku Imam Bondjol. His voice is heard.
And
while we might suspect that Sutan Caniago would have been removed
or quit
his post as Tuanku Laras after the confrontation in 1868, we know from
the
third section of the Naskah that he attended both law meetings in 1865
and
1875. The Naskah Tuanku Imam Bondjol is the historyofthe Padri War,
but it
is also an allegory of the transition from precolonial custom and the
possibilityof

113

militant Islamic radicalism to a state of discourse and colonial law. This is


not
merelya matter of Dutch control but a return to an era of weak
kingshipand consultative
adat councils that was remembered as a politically stable period before
the Islamic reformism of the later eighteenth century. The Naskah
Tuanku
Imam Bondjol appeals to the deliberative idiom of Minangkabau
adat,tothe traditional
democracy ofthe highlands, and to a vision ofa local political tradition
that was relatively egalitarian and nonviolent. After the turmoil of the
Padri
Wars, the colonial state might have evoked the discursive power of what
Jane
Drakard(1999) has calledthe seventeenth-century kingdom of words, a
time
when textualauthority superceded military power and Minangkabau was
defined
not bymilitarymuscle but by the rhetorical prowess of the court.
TROPE
In 1908 West Sumatra was again in rebellion, in response to the shift
from the
cultivation system to a money tax. But by the 1910s, the Minangkabau
highlands

114

had been pacified and trumpeted by the colonial administration as a


tourist destination,
a tropical Switzerland of meadows, lakes, and waterfalls. Guidebooks
promoted
the natural beauty of the region but also made a point of describing the
sites
of the Padri War, battlefields usually marked with grand monuments
(Westenenk
1913; see figure 3). Bahder Djohan, a Minangkabau intellectual training
to be a
medical doctor in Batavia, wrote of these monuments in the journal
JongSumatra. Thoughtful travelers, he remarks, will notice the towers
dedicated to
Michiels and Raaff and will be curious about what events they
commemorate.
Cast your gaze to the highlands of the Padang-Darat, red with spilled
blood that flowed from the hearts of brothers and sisters. Your ears
will hear again the dejected cries of lost souls, scattered in a civil war.
You will recall a specific moment, so difficult to forget, when combatants
from abroad, equipped with the tools of civilization and struggle, set foot
in the highlands where the victory banners of the Padri fluttered in the
breeze, and upon the ruins of this mazhab established European
control (that has been only occasionally shaken by the rebellions of the

115

local states). Up until today this European control has sunk its roots
firmly into the earth. (Djohan 1919)

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 995


But if Djohan is critical of the Dutch, he is equally unhappy with the
Padris:
At that time too the world witnessed the destruction of the kingdom of
Minangkabau, a kingdom that had long shined gloriously in its greatness,
a greatness that still radiates in the hearts of the people of Central
Sumatra, though at that time the Minangkabau star sank into the ocean
of history, anduntil now is mourned by the people as a lost paradise.
Bahder Djohan was, in the eyes of the colonial state, an ideal subject, a
man
who represented the fruition of the theory of association, a citizen of the
tropical
Netherlands. He was fluent in Dutch and his critique of colonialism was
nonthreatening and nonviolent, conducted in the salons of the capital
and
among sensitive native and Dutch intellectuals. His essay on the Padri
era
cites Dutch sources, and he is poetic when reflecting on the failure
ofmoderate
reformism:

116

We are writing about the beginning of the nineteenth century. The sun
had almost set. His vanishing rays gilded the edges of the western sky.
In the valley of Agam, in the nagari Koto Tuo, a renowned religious
scholar sat up in a prayer house. Tuanku Koto Tuo was observing the
sky as it clouded over. What was it that was appearing in his face?
What had he felt, that the sun now sinking would bring prosperity and
peace to his land? What did he feel, that the gold in the clouds reflected
flames that would soon ignite all groups and show them a way of
thinking
and provide them with direction?
Or was he then contemplating his beloved student, Tuanku Nan Renceh,
then teaching in the nagari Kamang? Had he felt that the conduct of his
student who he had hoped would plant the seeds of unity/brotherhood
among the inhabitants of Minangkabau had gone on to ignite animosity
between

siblings(sanak

saudara)andwithin

families(sekaoem

sekeloearga)?
Tuanku Koto Tuos tears flowed, and his sobs cut into the stillness of
calm
of the highlands, that were now covered in a sheet of darkness
Bahder Djohan goes on to provide a critique of the violence and what he
sees as
the venomous Wahhabi ideology of the Padri. Haji Miskin and Tuanku
nan

117

Renceh are to him traitors and murderers, and unredeemable. But


Bahder
Djohan concludes,
And unlike those who merely follow their passions, there was one who
would inscribe his name in the hearts of the people he loved. So the
history[tambo] of Indies wars will never forget the name of Tuanku
Imam, an honest and straightforward man, forced to join in sailing his
prahu in a sea of tears that were shed by his own people.

996 Jeffrey Hadler


Figure 3. Padri War monument (Boelhouwer 1841, frontispiece).
Djohan imagines Tuanku Imam Bondjol standing alone on the hill
overlooking
Bonjol,
Wrapped in his white robe, in his left hand the string of prayer beads,
while his great turban shaded a face that was no longer shining, two
eyes staring out as far as they could see as though searching for some
luck that would never again be found.
The 1910s, when Bahder Djohan was writing, marked the start of the
pergerakan,an age in motion for Indonesia, a time of radical politics when
nationalism

118

was not yet the obvious goal of anticolonial struggle (Shiraishi 1990).
Bahder
Djohan was part of a small native elite who were receiving a higher
education
in the capital. He was an intellectual who celebrated science and
modernity, an
internationalist who nevertheless was a Minangkabau patriot. Bahder
Djohan
was able to envision a history of Minangkabau in which Tuanku Imam
Bondjol
was noble and tragic, a person for whom the violence that seemed to
come so
easily was in fact a defensive reaction of last resort. In West Sumatra,
the
figure of Imam Bondjol was, in the pergerakan, constructed as the
ideological
ancestor of the modern political struggle. The trajectory of Tuanku Imam
Bondjols lifeconflicted, tragic, and aleatorywould be a parable for the
women and
men of the Age in Motion.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 997


In the 1910s and 1920s, colonial West Sumatra was a world turned
upside

119

down. For Minangkabau it was not unreasonable to believe that the


dayof reckoning,
foretold in the Quran, was imminent. In smaller villages, the conflict
between
reformist and traditionalist religious leaders had proved divisive; in
separate
mosques and prayer houses, doomsayers awaited Judgment Day and
final arbitration.15This religious factionalism was particularly significant for the
nagarithe
Minangkabau autonomous village republics whose ideal composition
included
a single prayer house.16Two decades of social and bureaucratic
intervention had
transformedthe nagari, and in 1914 the NagariOrdinance formally
reorganized
local authority. Dutch-sanctioned headmen, panghulu,administered taxes
through a new nagari council. Its mollifying nod to tradition and
restoration
fooled nobody (Oki 1977, 8291). Less visibly, dogmatic disputes began
to
cleave families. Uncles, nephews, fathers, and sons were set against
one another
in their allegiance to particular ideological groupingstraditionalist,
reformist,

120

and so forth. With both religious authority divided and the traditional
leaders
corrupted, the sacred pillars of Minangkabau society were teetering
precariously.
This social uncertainty made the figure of Tuanku Imam Bondjol, whose
life was
a tale ofmissteps, reversals, and disillusionment, appealing and familiar.
West Sumatra was unusual in that the most factious debates took place
in
small villages, many of them with local printing presses. Politics and
modernity
did not originate in the provincial capital. As villages fractured, so, too,
were the
urban centers caught up in the pergerakan and movements of political
and social
awakening. In the hill town of Padang Panjang, the famous modernist
Thawalib
schools became the loci of a form of intellectualized Islamic communism.
Disaffected
civil servants in Silungkang allied with Ombilin coal mine workers, and in
the final hours of 1926, a communist uprising broke out in the nearby
industrial
town of Sawahlunto (Nasution 1981, 8391).
The period following the communist Silungkang uprising brought
increased

121

Dutch surveillance and repression to West Sumatra. The dynamic years


of movement
and intellectual strife were coming to an end in the Minangkabau
highlands,
as they were in the rest of the Indies. In 1930 the ulama were united
one last time, in successful opposition to the colonial Guru Ordinance.
This
was a revision of a law that had been in place in Java and Madura since
1905,
requiring any would-be Islamic teacher to obtain permission from a
district
chief before speaking publicly (Abdullah 1971, 11013). And in fact,
there was
a final flare of political activity in Minangkabau in the early 1930s. New
parties
On the religious schisms, see Zaim Rais (2001). Literature on the period
has been dominated by
Muhammadiyah-influenced

Minangkabau

(particularly

Hamka

and

Mahmud Yunus), who characterize


the traditionalists as superstitious bumpkins. In pedagogical techniques
and political networks,
the traditionalists were no less sophisticated or modern than the
reformists.
16The nagari comprises five fundamental institutions: It must have a
road(berlebuh), bathing place

122

(bertapian), meeting hall(berbalai), mosque (bermesjid), and field or


square (bergelenggang)
(Sanggoeno di Radjo 1919, 96).

998 Jeffrey Hadler


launched aggressive campaigns of rallies and demonstrations; in the
face of
increased

nationalist

awareness,

local

politics

promoted

Minangkabauness, tjap
Minangkabau. But in 1933, travel restrictions within Minangkabau began
to be
strictly enforced. A network of police informants created suspicion and
undermined
morale within the increasingly circumscribed movement of the
pergerakan.
And following their century-old and successful policy, the Dutch boosted
the power of local adat authorities as a self-suppressing element in
Minangkabau
society (Abdullah 1971, 176205; Kahin 1984). In August, 1933, the
colonial government
arrested many of the Minangkabau activists, snuffing out the last spark
of the movement in Minangkabau. As Taufik Abdullah writes,
The extensive politicization of Minangkabau made it one of the most
dangerous regions in the eyes of the government. The government

123

vigorously
applied the repressive measures which characterized the policy of
rust en orde [peace and security]. Minangkabau became the test case
for
the governments hard-line policies. From the West Coast (of
Sumatra), according to a famous colonial theoretician, de Kat Angelino,
the victory begins. (1971, 195)
It was the Silungkanguprising that had signaledthe endof overt
Minangkabau
politics, however. Following the uprisings, the pergerakan movements,
channeled
through the prison camp Boven Digul and nationalist youth oath
Sumpah
Pemuda, became focused upon a future Indonesia. The schools and
movements
had undergone transformations, preparing them for a shift to
nationalism.
During the 1920s, the Thawalib and Islamic schools in Padang Panjang
and Bukittinggi
had become self-funding, raising money through the sale of books
published
by Syekh Muhammad Djamil Djambeks press, Tsamaratul Ichwan, and
utilizing
established networks of Minangkabau batik traders for sales and

124

distribution
throughout the Indies(Noer 1973, 3537; Daya 1995, 245300). Soetan
Mangkoeto,
a graduate of these reformist schools, promised to donate 10 percent of
the proceeds of his book to help build schools in Padang Panjang. This
book,
Preachers TorchofIndonesianIslam, was an attack on the Guru
Ordinance. By
the late 1920s, we can already read the dominance of Indonesia, of the
Sumpah Pemuda and nationalism, in local writings:
The children of Indonesia who desert or neglect Islam, no matter how
much they might shout about saving their nation and homeland
(Greater Indonesia), they will never attain it. (Mangkoeto 1929, 43)17
17Anak Indonesia jang meninggalkan atau melengahkan agama Islam,
biar bagaimana djoega
dianja berteriak akan mentjari keselamatan bangsa dan tanah air
[Indonesia raja] tentoe tidak
akan tertjapai.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 999


And the heyday of the movements of the Minangkabau pergerakan, the
first two
decades of the twentieth century, a time of manifold voices and visions,

125

would
never return.
With political oppression came restrictions on publishing and widespread
censorship (Yamamoto 1995; Maters 1998). It was in the aftermath of
the crackdown
that the former activists redirected their energy into publications that
would not raise eyebrows in the Office for Native Affairs. This publishing
industry
was centered in West Sumatra, in Padang and Bukittinggi, and in Medan
in
North Sumatra. The majority of the writers were Minangkabau or
Mandailing
(the Batak society that was the target of Tuanku Imam Bondjols northern
campaign).
The books produced were inexpensive magazines called roman pitjisan,
penny dreadfuls, and were printed for subscribers in large print runs
(three thousand
copies was usual) that were always sold out. These booklets found their
way
into the many lending libraries scattered across the archipelago.
Compared to
most contemporary publications, their readership was extremely broad
(Oshikawa
1990; Siegel 1997; Maier 2004).

126

Only a very limited number of the roman pitjisan survive in the archive.
Despite the large number printed, they were not considered to be
serious literature
and worthy of a place in permanent collections. They were printed on
cheap
paper, and a single copy was often circulated among a large group of
readers. Surviving
texts are always brittle and disintegrating. However, a persistent search
of
the libraries in Indonesia, the Netherlands, and the United States has
uncovered
a few hundred extant roman pitjisan, and of these, there are eight texts
from the
1930s and 1940s that feature Tuanku Imam Bondjol (Souib 1938;
Dihoeloe
1939; Darmansjah 1940; Umri 1940; Turie 1941; Souyb 194849). All
texts
portray the Tuanku Imam as a noble and tragic figure, and all freely
blend
known history and fiction. Like most roman pitjisan, there is a very thinly
veiled anticolonial subtext in these stories. Dihoeloes book, The Story
and
Struggle of Tuanku Imam Bondjol as a Hero of Islam: Compiled from the
Notes of His Son the Late Sutan Caniago, tries to hew most closely to
historical

127

narrative conventions. Yet in this text, the critical moment, the gathering
of the
traditional elite and ulama in which Tuanku Imam Bondjol renounces
Wahhabism
and attempts to reconcile Islam and Minangkabau custom, is here
described
in Dutch buzzwords as a Propaganda-Vergadering,a propaganda
meeting
(Dihoeloe 1939, 12). For these authors, Tuanku Imam Bondjol is clearly
established
as an ancestral allegory of defeated anticolonial resistance, one whose
fate their friends, exiled to the prison camp at Boven Digoel, now shared.
The roman pitjisan are delights for literary historians. The language in
them
is experimental and incisive and the politics obnoxious. But they
represent a
tragic turn in Indonesian intellectual history. The 1930s repression forced
the fictionalization
of historical discourse, and this textual movement was spearheaded
by writers from West Sumatra. The novelists who created the roman
pitjisan lived
in a time when secular novelistic and religious lives were not exclusive.
Authors

128

1000 Jeffrey Hadler


such as Hamka and Jusuf Souyb had careers that saw adat and Islam
decompartmentalized.
They were free to write novels or religious tracts, but they could not
produce direct political discourse without the promise of censorship and
threat of
exile.

This

inability

to

address

political

and

historical

issues

unambiguously led to
a stagnation of historiographical analysis in West Sumatra that lasted
through the
Japanese occupation, the revolution, and into the national period. The
postrevolutionary
1950s, a dynamic time in Indonesian political life, brought little historical
introspection to West Sumatra (Asnan 2004). In the late 1950s, in
response to
the victory of Sukarnos secular nationalists and communists in the 1955
elections,
West Sumatra erupted in what has been called a half-hearted rebellion.
Minangkabaus had no stomach for waging war against a central state
that they
had recently fought to create, and Indonesian forces smashed the
Revolutionary
Government of the Republic of Indonesia (PRRI) with relative ease
(Feith and

129

Lev 1969; Kahin and Kahin 1995).


By the middle of 1961, Minangkabau patriotism was ruined. The PRRI
revolutionary
government secessionists, whose three-year struggle against the
national state had been a protest against the central governments
perceived
Javanism and communism, were beaten. Minangkabau people left West
Sumatra for Jakarta and Medan, never to return. This was a time of
rantau
cino, permanent Chinese out-migration, when Minangkabau gave their
children
Javanese names and grumbled that at home in Sumatra, the winners
(yang Minang) have all left, what remains are the water buffalo
(Ka[r]bau).
Jakartas Padang restaurants boomed and migrants from Sumatra,
ethnicity withheld,
fitted themselves into lives far from ancestral highlands and unhappy
memories.
The year 1963 brought another slap to the exhausted Minangkabauists.
In his
wonderfully bizarre Tuanku Rao: Hambali Islamic Terror in the Batak
Lands
(18161833), the Mandailing writer Mangaradja Onggang Parlindungan
scoffs,

130

The Brothers from Minang are severely handicapped due to their belief
in ahistorical myths. The myth of Alexander the Greats dynasty, the myth
of the Victorious Buffalo, the myth of the ur-Mother, the Legend of
Minangkabau
and the like have been swallowed whole by the Brothers from
Minang. They have been incapable of selecting-out the 2% historical
facts
and kicking-out the 98% mythologic ornamentations within those myths.
They have not made the slightest effort to seek out accurate dates and
put an end to the big confusions.
Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena kepertjajaan
mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar
Zulkarnain
Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang,
Tambo Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers
from Minang. Tanpa mereka sanggup selecting-out 2% facta2 sejarah
dan kicking-out 98% mythologic ornamentations dari mythos2 itu.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1001


Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan angka2 tahunan untuk
menghentikan big confusions. (1963, 679)
The book presented a bitter history of the Padri War and the conversion

131

of the
Mandailing Batak to Islam. Parlindungan, a Muslim Mandailing himself,
recapitulated
the violence of Tuanku Imam Bondjol from the perspective of the targets
of his northern jihad. It took the fall of Sukarno and the destruction of the
Indonesian
Communist Party for the brothers from Minangkabau to answer Parlindungans challenge. The first History of Minangkabau was published in
1970
and included a self-congratulatory foreword by Parlindungan himself
(Mansoer
et al., 1970). With corroborated dates and a substantial bibliography, the
authors synthesized the ethnomythical history of Minangkabau and the
political
history of West Sumatra. The great Islamic populist intellectual, Hamka,
directly
challenged Parlindungan in his 1974 book Tuanku Rao between Fact
and
Fantasy (Hamka 1974). Hamka had read the book while in prison during
Sukarnos Guided Democracy, and in the early 1970s engaged in a polemic
with Parlindungan
in the newspaper Haluan (Padang). It was this debate that finally
allowed Minangkabau historians to shake off the legacy of the roman

132

pitjisan
and begin to unpack history from fiction.
The trope of Tuanku Imam Bondjol, first challenged by Parlindungan,
was
again questioned during the Soeharto regime. In 1980 Wisran Hadis
play
Imam Bondjol was staged at the Dewan Kesenian Jakarta (Hadi 2002).
The
play is not reverential, and it challenges the popular image of Imam
Bondjol.
He is depicted as a bumbler and a man uncomfortable with his role as
religious
leader, rejecting the title Tuanku Imam and asserting that my name is
Peto
Syarif! The play was controversial and stimulated debate in 1980 but
was not
censored. However, in 1995 Wisran Hadi prepared to stage the play
again as
part of the West Sumatran celebration of the second Istiqlal Festival and
the fiftieth
anniversary of Indonesian independence. The governor of West Sumatra
wrote to the central government in Jakarta requesting that the production
be cancelled
for fear of inciting unrest. The performance was blocked and the play
was

133

effectively banned (Sahrul 2005). The New Order government of


Soeharto, itself
an echo of the Dutch police state of the 1930s, was invested in the
stifling of historiographical
discourse (Anderson 1983). Soehartos own state mythology was a
skein of historical lies that could not afford to have even a provincial
performance
tugging on its threads.
While the trope of Bondjol as a figure of Minangkabau heroic defeat was
pervasive,
Tuanku Imam Bondjol occasionally appeared in his revolutionary and
potentially violent guise. In the early 1930s, young nationalists hung a
portrait
of the Tuanku Imam on the door of the Indonesian Club in Weltevreden,
a victim of the movement[pergerakan], a victim of the changing times
and
a victim of his own ideals (N. 1931). The most profound rhetorical use of
Imam Bondjol was subtle and can be found in the philosophical writings
of the

1002 Jeffrey Hadler


great Indonesian communist Tan Malaka, himself a Minangkabau from a
village
not far from Bonjol. Imprisoned from 1942 to 1943, he composed

134

Madilog:
Materialisme, Dialektika, Logika, completing the manuscript in 1946. At
the
end of the book, he describes a future polity that he calls the socialist
Federasi-Aslia, Its location is traced by an axis, near the equator, that is
more
or less determined by a line from Bonjol to Malaka (Malaka 1951,
395).18
Rudolf Mrzek notes that Tan Malakas use of the village of Bonjol
reflects his
Minangkabauist outlook and is meant to be a tribute to the Tuankus
struggle
against the Dutch (1972, 34). However, the word sumbu,or axis, can
also be
translated as fuse, suggesting explosive movement. Along with the
geographic
tribute, Tan Malaka intended to describe an explosive and revolutionary
fuse
running through history from Tuanku Imam Bondjol to himself.
Today there is a renaissance of publishing in West Sumatra and a
reinvigorated
drive to historiographical debate. In 2004 the Naskah Tuanku Imam
Bondjol was published in Padang, and Wisran Hadis play was filmed for
television.

135

Both texts complicate the role of the Tuanku Imam as a national hero.
In a 2004 interview with representatives of the International Crisis Group,
a leading Salafi Muslim in Jakarta held forth on the the history of the
Padri
War, acknowledging Haji Miskin and Imam Bondjol as the progenitors of
Salafism
in Indonesia.19 It remains to be seen in the post-Soeharto period how
Indonesians
will read the history of Tuanku Imam Bondjol.20 It is clear, however, that,
banknotes aside, he is being unyoked from conventional nationalist
historiography,
his ambiguity restored.
Acknowledgments
An early draft of this essay was presented at the UCLA-UCB conference
on Islam
and Southeast Asia on May 15, 2006. I thank my fellow participants,
particularly the discussant
for my paper, Sanjay Subrahmanyam, for stimulating comments. A later
version
was presented at the IAIN Imam Bondjol in Padang on July 10, 2006.
Taufik Abdullah,
Yasrul Huda, Rusydi Ramli, and Mestika Zed all read the essay and
offered a productive
critique on the place of Imam Bondjol in West Sumatran history.

136

Yusmarni Djalius and


Suribidari Samad made my 2006 research in West Sumatra possible
and painless. Hendrick
Maier, Amin Sweeney, and Sylvia Tiwon helped me make sense of some
ofthe stickier
Malay passages. Members of the Berkeley Department of South and
Southeast Asian
18Letaknja adalah segaris dengan sumbu, dekat Chatulistiwa, jang kirakira ditentukan oleh garis
Bondjol-Malaka.
19
Personal communication with Sidney Jones, May 15, 2005.
20
In 2007, two important books reopened the debate about the Padri War
and Tuanku Imam Bondjols place in Indonesian history. Parlindungans Tuanku Rao was
reissued by LKiS Yogyakarta in a
facsimile edition. And the Mandailing activist Basyral Hamidy Harahap,
reflecting on Parlindungan,
challenged the nationalist historiography on the Padri War in his book
Greget Tuanku Rao. There
have been anti-Padri screeds and rebuttals in the national press and an
apparently ineffectual
campaign to have Tuanku Imam Bondjols status as a national hero

137

revoked. As this article


was submitted to JAS in 2006, I am unable to address substantively
these new polemics.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1003


Studies Faculty WorkshopVasudha Dalmia, Penny Edwards, Munis
Faruqui, and Alexander
von Rospattall gave useful advice. Finally, I thank Kenneth George
and two
anonymous reviewers for the JAS whose comments considerably
improved this essay.
List of References
ABDULLAH,TAUFIK. 1967. Minangkabau 19001927: Preliminary
Studies in Social
Development. Masters thesis, Cornell University.
. 1971. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatra (1927
1933). Ithaca, N.Y.: Modern Indonesia Project, Cornell University.
AHMED,RAFIUDDIN. 1996. The Bengal Muslims, 18711906: A Quest
for Identity. 2nd ed.
Delhi: Oxford University Press.
ALGAR,HAMID. 2002. Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, N.Y.:
Islamic Publications
International.

138

AMAN,SITTI DJANEWAR BUSTAMI. 2001. Nostalgia Liau Andeh [The


nostalgia of Liau
Andeh]. Jakarta: Balai Pustaka.
AMBLER,JOHN S. 1988. Historical Perspectives on Sawah Cultivation
and the Political
and Economic Context for Irrigation in West Sumatra. Indonesia 46:39
77.
AMRULLAH, H. A. M. K.[Hamka]. 1929. Sedjarah Minangkabau Dengan
Agama Islam
[Islam and Minangkabau history]. Fort de Kock: Tsamaratoel Ichwan.
ANDAYA,LEONARD Y. 2000. Unravelling Minangkabau Ethnicity.
Itinerario 24 (2):
2043.
ANDERSON,BENEDICT. 1983. Old State, New Society: Indonesias
New Order in
Comparative Historical Perspective. Journal of Asian Studies 42 (3):
47796.
ARUNIMA, G. 2003. There Comes Papa: Colonialism and the
Transformation of Matriliny
in Kerala, Malabar, c. 18501940. New Delhi: Orient Longman.
ASNAN,GUSTI. 2002. Transportation on the West Coast of Sumatra in
the Nineteenth
Century. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 158 (4): 72741.
. 2004. Geography, Historiography and Regional Identity: West

139

Sumatra in the
1950s. In Indonesia in Transition: Rethinking Civil Society,Religion,
and
Crisis, ed. Hanneman Samuel and Henk Schulte Nordholt, 12946.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
AZRA,AZYUMARDI. 2004. The Origins of Islamic Reformism in
Southeast Asia: Networks of
Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama in the Seventeenth and
Eighteenth
Centuries. Honolulu: University of Hawaii Press.
. 2005a. Contemporary Islamic Militant Movements: Challenges to
Democracy in
Indonesia. ICIP Journal 2 (2): 113.
. 2005b. Islam in Southeast Asia: Tolerance and Radicalism.
Miegunyah Public
Lecture, University of Melbourne.
BARNARD,TIMOTHYP.

1997.

Local

Heroes

and

National

Consciousness: The Politics of


Historiography in Riau. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde
153 (4):
50926.
BLOMMESTEIN,A.F. VAN. 1903. Peratoeran darisegala hal hakim dan
hoekoeman jang terpakei

140

di dalam segala negri jang menoeroet pemerentahan: Pasisir Barat


Poelou
Pertja [Regulations regarding all judicial matters and laws as used in all
districts
under the administration of Sumatras west coast]. Trans. B. A. Dessouw,
Padang:
Pertjitakan Persarikatan Paul Bumer & Co.

1004 Jeffrey Hadler


BOELHOUWER, J. C. 1841. HerinneringenVan Mijn Verblijf Op
Sumatras Westkust,
Gedurende De Jaren 18311834 [Memories of my stay on Sumatras
west coast
during the years 18311834]. The Hague: De Erven Doorman.
CANIAGO,NAALI SUTAN. 1979a. Naskah Tuanku Imam Bonjol.
Transliterator Syafnir Aboe
Nain. Padang: Panitia Pembangunan Musium Imam Bonjol.
. 1979b. Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain.
Proyek Penerbitan
Buku Bacaan Dan Sastra Indonesia Dan Daerah. Jakarta: Balai
Pustaka/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
CLARENCE-SMITH,WILLIAM G. 2004. Elephants, Horses, and the
Coming of Islam to

141

Northern Sumatra. Indonesia and the Malay World 32 (93): 27184.


COLOMBIJN,FREEK. 1994. Patches of Padang: The History of an
Indonesian Town in the
Twentieth Century and the Use of Urban Space. Leiden: CNWS.
. 1998. A Dutch Polder in the Sumatran Mountains: NineteenthCentury Colonial
Ideals of the West Sumatran Peasant and Landscape. In Environmental
Challenges
in South-East Asia, ed. Victor T King, 5268. Richmond: Curzon.
CUST,ROBERT N. 1878. A Sketch of the Modern Languages of the East
Indies. London:
Trbner & Co.
DARMANSJAH.

1940.

Hoeloebalang

Paderi

(Pengantar

Soerat

Toeankoe Imam Bondjol)


[Paderi warrior (Courier of Toeankoe Imam Bondjol)]. Ed. A. Damhoeri.
Medan:
Kintamani.
DAWISDATOEK MADJOLELO, and AHMAD MARZOEKI. 1951. Tuanku
Imam Bondjol: Perintis
Djalan Ke Kemerdekaan [Tuanku Imam Bondjol: Pioneer on the road to
independence].
Djakarta: Djambatan.
DAYA,BURHANUDDIN. 1995. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam:
Kasus Sumatera

142

Thawalib [The intellectual Islamic revivalist movement: The case of the


Sumatera
Thawalib]. 2nd ed. Yogyakarta: Tiara Wacana.
DIAS,THOMAS. 1995. AMission to the Minangkabau King. Trans. Jane
Drakard. In Witnesses
to Sumatra: A Travellers Anthology, ed. Anthony Reid, 15261. Kuala
Lumpur: Oxford University Press.
DIHOELOE,L.DT. R. 1939. Riwajat Dan Perdjoeangan Toeankoe Imam
Bondjol Sebagai
Pahlawan Islam: Disoesoen Dari Tjatatan2 Poetra Beliau St. Tjaniago
Alm [The
story and struggle of Toeankoe Imam Bondjol as a hero of Islam:
Complied from
the notes of his son the late Sutan Caniago]. Medan: Boekhandel
Islamijah.
DJAJA,TAMAR. 1946. Poesaka Indonesia (Orang-Orang Besar Tanah
Air) [Indonesian
heirlooms (Important people of the homeland)]. Vol. 1. 2nd ed. Boekit
Tinggi:
Penjiaran Ilmoe.
DJILL-EDDN, and J. J. DE HOLLANDER, eds. 1857. Verhaal Van Den
AanvangDer PadriOnlusten Op Sumatra, Door Sjech Djill Eddn [Accountof the origins of
the Padri

143

wars on Sumatra, by Syekh Jalaluddin]. Leiden: Brill.


DJOHAN,BAHDER. 1919. Zaman Paderi [The Padri era]. JongSumatra 2 (1): 10913.
DOBBIN,CHRISTINE. 1972. Tuanku Imam Bondjol (17721864).
Indonesia 13:535.
. 1977. Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise
of the Padri
Movement, 17841830. Indonesia 2:138.
. 1983. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central
Sumatra, 1784
1847. Scandinavian Institute of Asian Studies Monograph Series no. 47.
London:
Curzon.
DRAKARD,JANE. 1999. A Kingdom of Words: Language and Power in
Sumatra. Kuala
Lampor: Oxford University Press.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1005


FEITH,HERBERT,

and

DANIEL,S.LEV.

1969.

The

End

of

the

Indonesian Rebellion. In
Man, State, and Society in Contemporary Southeast Asia, ed. Robert O.
Tilman,
46780. New York: Praeger.
FRANCIS, E. 1839. Korte Beschrijving Van Het Nederlandsch

144

Grondgebied Ter Westkust


Sumatra, 1837 [A short description of the Dutch territory on the west
coast of
Sumatra, 1837]. Tijdschrift voor Nederlandsch Indi 2 (1): 2845, 90
111, [112
30], 13154, 20320, [45658].
GRAVES,ELIZABETH E. 1981. The Minangkabau Response to Dutch
Colonial Rule in the
Nineteenth Century. Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project,
Cornell
University.
H., V. D. 1838. Oorsprong Der Padaries (Eene Secte Op De Westkust
Van Sumatra)
[Origin of the Padaries (A sect on the west coast of Sumatra)]. Tijdschrift
voor
Nederlandsch Indi 1 (1): 11332.
HADI,WISRAN. 2002. Pengakuan [Confession]. In Empat Lakon
Perang Paderi [Four
dramas of the Padri war]. Bandung: Angkasa.
HADLER,JEFFREY. 1998. Home, Fatherhood, Succession: Three
Generations of Amrullahs
in Twentieth-Century Indonesia. Indonesia 65:12354.
. 2008. Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia
through Jihad and

145

Colonialism. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.


HALUAN. 1983. Pemda Sumbar akan Bentuk Team Khusus untuk Teliti
Keabsahan
Sejarah Imam Bonjol [The West Sumatran provincial government will
establish a
special team to study the historical validity of Imam Bonjol]. April 28.
HAMKA,[H. A. M. K. Amrullah]. 1974. Antara Fakta Dan Khayal Tuanku
Rao: Bantahan
Terhadap Tulisan-Tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan Dalam
Bukunya Tuanku Rao [Tuanku Rao between fact and fantasy: A
refutation of
the writings of Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan in his book Tuanku
Rao].
Jakarta: Bulan Bintang.
HARAHAP,BASYRAL HAMIDY. 2007. Greget Tuanku Rao [Tuanku Rao
Furor]. Jakarta:
Komunitas Bambu.
HARDY, P. 1972. The Muslims of British India. Cambridge: Cambridge
University Press.
HASSELT,A.L. VAN. 1882. Volksbeschrijving Van Midden-Sumatra
[Anthropology of
central Sumatra]. Vol. 1 of Midden-Sumatra: Reizen En Onderzoekingen
Der
Sumatra-Expeditie, Uitgerust Door Het Aardrijkskundig Genootschap

146

[Voyage
and exploration of the Sumatra expedition, sponsored by the
Geographical
Society], ed. P. J. Veth. Leiden: Brill.
HATTA,MOHAMMAD. 1928. Indonesi Vrij [Free Indonesia]. The Hague:
Perhimpoenan
Indonesia.
. 1972. Free Indonesia. In Portrait of a Patriot: Selected Writings,
ed. Deliar Noer,
20597. The Hague: Mouton.
HUDA,YASRUL. 2003. Islamic Law versus Adat: Debates about
Inheritance Law and the
Rise of Capitalism in Minangkabau. Masters thesis, Leiden University.
IMAM BONDJOL,TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol.
Transliterator Syafnir Aboe
Nain. Padang: PPIM.
IMAM

BONDJOL,TUANKU,

and

NAALI,SUTANCANIAGO.

1925.

Naskah Tuanku Imam Bondjol


[manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California,
Berkeley. Doe
Library, DS646.15.S76.I43.
JONES,KENNETHW. 1994. Socio-Religious Reform Movements in
British India. Vol. 3of
The New Cambridge History. New Delhi: Cambridge University Press.

147

KAHIN,AUDREY R. 1984. Repression and Regroupment: Religious and


Nationalist
Organizations in West Sumatra in the 1930s. Indonesia 38:3954.

1006 Jeffrey Hadler


. 1999. Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian
Polity,
19261998. Amsterdam: Amsterdam University Press.
KAHIN,AUDREYR., and GEORGEM. KAHIN. 1995. Subversion as
Foreign Policy: The Secret
Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia. New York: New Press.
KATHIRITHAMBY-WELLS, J. 1986. The Origin of the Term Padri: Some
Historical Evidence.
Indonesia Circle 41:39.
KEDDIE,NIKKIR. 1994. The Revolt of Islam, 1700 to 1993: Comparative
Considerations
and Relations to Imperialism. Comparative Studies in Society and
History 36 (3):
46387.
KIELSTRA, E. B. 1887. Onze Kennis Van Sumatras Westkust,
Omstreeks De Helft Der
Achttiende Eeuw [Our knowledge of Sumatras west coast: The latter
half of the
eighteenth century]. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van

148

Nederlandsch
Indi 36:499559.
. 1888. Het Contract Met Bondjol Van Januari 1824 [The treaty
with Bondjol of
January 1824]. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van
Nederlandsch
Indi, 5th ser., 37 (3): 14144.
. 1890. Sumatras Westkust van 18361840 [Sumatras west
coast, 18361840]. Bijdragen
tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch Indi 39:127221,
263348.
KINDEREN,T.H. DER. 1875. Proclamatie van den Heer T. H. der
Kinderen aan de Maleische
Hoofden, Bukittinggi 12 Sawal 1292 (11 November 1875) [Proclamation
of
Mr. T. H. der Kinderen to the Malay leaders, Bukittinggi 12 Sawal 1292].
Betawi:
Pertjetakan Gouwernemen.
. 1882. Formulierboekten gebruike Bij de Toepassing van het
Regelment tot Regeling
van het Regtswezen in het Gouvernement Sumatras Westkust
(Staatsblaad 1874 No.
94b), voor zooveel betreft De Regtspleging bij de Distrikts-en
Magistraats-Geregten,

149

De Landraden en Rapats, benevens De Uitoefening der Policie [Applied


form-book
for the implementation of the regularization of the arrangement of the
law-ways in
the government ofSumatras west coast]. Regering van NederlandschIndi, 2nd ed.
Batavia: Landsdrukkerij.
KRATZ,E.ULRICH.

1992.

Surat

Keterangan

Syekh

Jalaluddin.

Indonesia Circle 57:


3137.
KRATZ,E.ULRICH, and ADRIYETTI AMIR. 2002. Surat Keterangan
Syeikh Jalaluddin Karangan
Fakih Saghir [Letter of clarification of Syeikh Jalaluddin by Fakih Saghir].
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
KROEF,J. M. VAN DER. 1962. Two Forerunners of Modern Indonesian
Independence:
Imam Bondjol and Thomas Matulesia. Australian Journal of Politics and
History
8 (2): 14863.
LAFFAN,MICHAEL. 2003. The Tangled Roots of Islamic Activism in
Southeast Asia.
Cambridge Review of International Affairs 16 (3): 397414.
MAHARADJA,DATUK

SOETAN.

1917.

Perempoean

[Women].

Soenting Melajoe: Soerat

150

chabar perempoean di Alam Minang Kabau, January 26, 12.


MAIER,HENK. 2004. We Are Playing Relatives:A Survey of Malay
Writing. Leiden:
KITLV.
MALAKA,TAN. 1951. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika [Madilog:
Materialism,
dialectic, logic]. Djakarta: Widjaya.
MANGKOETO,S.SOETAN. 1929. Soeloeh Moeballigh Islam Indonesia:
Bergoena boeat
goeroe-goeroe dan Moeballigh Islam Indonesia [Preachers torch of
Indonesian
Islam: Of use to teachers and preachers of Indonesian Islam]. Padang
Pandjang:
Boekhandel M. Thaib bin H. Ahmad.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1007


MANSOER, M. D., et al. 1970. Sejarah Minangkabau [Minangkabau
history]. Jakarta:
Bhratara.
MARSDEN,WILLIAM. 1807. On the Traces of the Hindu Language and
Literature Extant
among the Malays. Asiatic Researches 4:21724.
MATERS,MIRJAM.

1998.

Van

Zachte

Wenk

Tot

Harde

Hand:

Persvrijheid En Persbreidel in

151

Nederlands-Indi, 19061942 [From gentle wink to firm hand: Press


freedom and
press restrictions in the Netherlands Indies, 19061942]. Hilversum:
Verloren.
METCALF,BARBARA. 1982. Islamic Revival in British India: Deoband,
18601900. Princeton,
N.J.: Princeton University Press.
MOEDA,DJA ENDAR. 1903. Riwajat Poelau Sumatra [History of the
island of Sumatra].
Padang: N. Venn. Snelspersdrukkerij Insulinde.
MRZEK,RUDOLF. 1972. Tan Malaka: A Political Personalitys
Structure of Experience.
Indonesia 14:148.
N. 1931. Toeankoe Imam. Indonesia Raja: Madjallah Perhimpoenan
Peladjar-Peladjar
Indonesia, September 2, 28183.
NASUTION,A.MULUK.

1981.

Pemberontakan

Rakyat

Silungkang

Sumatra Barat 1926


1927: Pengalaman Perjuangan dalam Merintis Kemerdekaan [The
rebellion of the
people of Silungkang West Sumatra, 19261927: Experiences of
struggle in
blazing a path to independence]. Jakarta: Mutiara.
NOER,DELIAR. 1973. The Modernist Muslim Movement in Indonesia,

152

19001942. Singapore:
Oxford University Press.
OKI,AKIRA. 1977. Social Change in the West Sumatran Village. Ph.D.
diss., Australian
National University.
OSHIKAWA,NORIAKI. 1990. Patjar Merah Indonesia. In Reading
Southeast Asia: Translation
of Contemporary Japanese Scholarship on Southeast Asia, ed. Takashi
Shiraishi,
939. Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program, Cornell University.
PAMOENTJAK,AD.GR. 1895. Soeatoe Kitab akan dikoendang olih
Djoeroe Sita pada pangadilan
Landraad atau Rapat atau siapa jang mendjalankan pekerdjan seperti
itoe
menoeroet atoeran jang terseboet didalam oendang oendangnja [A text
of use to bailiffs
in the courts of the landraad or meetings or to whomever carries out this
sort of
work in accordance with the rules mentioned in the laws]. Padang: Otto
Buer.
PARLINDUNGAN,MANGARADJA

ONGGANG.

1963.

Pongkinangolngolan Sinambela gelar


Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
18161833

153

[Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Hambali Islamic


terror in the
Batak lands (18161833)]. Jakarta: Penerbit Tandjung Pengharapan.
PELETZ,MICHAELG. 1988. A Share of the Harvest: Kinship, Property,
and Social History
among the Malays of Rembau. Berkeley and Los Angeles: University of
California
Press.
. 1998. The Great Transformation among NegeriSembilan Malays,
with Particular
Reference to Chinese and Minangkabau. In Market Cultures: Society
and Morality
in the New Asian Capitalisms, ed. Robert W. Hefner, 173200. Boulder,
Colo.:
Westview Press.
PIRES,TOME. 1990. The Suma Oriental of Tome Pires, an Account of
the East, from the
Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 15121515, and The
Book of
Francisco Rodrigues, Rutter of a Voyage in the Red Sea, Nautical Rules,
Almanack
and Maps, Written and Drawn in the East before 1515. Ed. Armando
Corteso.
New Delhi: Asian Educational Services.

154

RAFFLES,THOMASSTAMFORD. Memoir of the Life and Public Services


of Sir Thomas Stamford
Raffles, F.R.S. &C. London: John Murray, 1830.

1008 Jeffrey Hadler


. 1835. Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas
Stamford Raffles, F.R.S.
&C. Vol. 2. 2nd ed. London: James Duncan, 1835.
RAIS,ZAIM. 2001. Against Islamic Modernism: The Minangkabau
Traditionalists
Responses to the Modernist Movement. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
RAMLI,RUSYDI. 1989. Hikayat Fakih Saghir Ulamiah Tuanku Samiang
Syekh Jalaluddin
Ahmad Koto Tuo: Suatu Studi Sejarah Pemikiran Islam Dari Teks
Tokoh Gerakan
Padri Awal Abad XIX [The story of Fakih Saghir Ulamiah Tuanku
Samiang Syekh
Jalaluddin Ahmad Koto Tuo: Astudy in Islamic intellectual history based
on the text
of a figure from the Padri movement at the beginning of the nineteenth
century].
Padang: IAIN Imam Bonjol.
REID,ANTHONY. 1979. The Nationalist Quest for an Indonesian Past.
In Perceptions of

155

the Past in Southeast Asia, ed. Anthony Reid and David Marr, 28198.
Singapore:
Heinemann.
RICKLEFS, M. C. 2004. Islamizing Indonesia: Religion and Politics in
Singapores Giant
Neighbour. Singapore: Asian Civilisations Museum.
ROFF,WILLIAM R. 1987. Islamic Movements: One or Many? In Islam
and the Political
Economy of Meaning: Comparative Studies of Muslim Discourse, ed.
William R.
Roff, 3152. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
RONKEL,PH.S. VAN. 1914. De Invoering Van Ons Strafwetboek Ter
Sumatras Westkust
Naar Aanteekeningen in Een Maleisch Handschrift [The establishment
of our
penal code on the west coast of sumatra according to notations in a
Malay manuscript].
Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 46 (16): 24955.
. 1915. Inlandsche Getuigenissen Aangaande Den Padri-Oorlog [A
native account
of the Padri war]. Pts. 1 and 2. De Indische Gids 37 (2): 10991119;
124359.
ROOSA,JOHN. 2006. Pretext for Mass Murder: The September 30th
Movement and Suhar-

156

tos Coup dtat in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press.


SAHRUL, N. 2005. Kontroversial Imam Bonjol. Padang: Garak.
SANDAY,PEGGY REEVES. 2002. Women at the Center: Life in a
Modern Matriarchy. Ithaca,
N.Y.: Cornell University Press.
SANGGOENO DI RADJO,DATOE. 1919. Kitab Tjoerai Paparan Adat
Lembaga Alam Minangkabau
[Weighing the immemorial custom of the people of the Minangkabau
realm].
Transliterator

B.

Dt.

Seri

Maharadja.

Fort

de

Kock:

SnelpersdrukkerijAgam.
SCHREINER,KLAUS H. 1997. The Making of National Heroes: Guided
Democracy to
New Order, 19591992. In Outward Appearances: Dressing State and
Society in
Indonesia, ed. H. S. Nordholt, 25990. Leiden: KITLV.
.

2002.

National

Ancestors:

The

Ritual

Construction

of

Nationhood. In The
Potent Dead: Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia,
ed. Henri
Chambert-Loir and Anthony Reid, 183204. Honolulu: University of
Hawaii Press.
SCHRIEKE, B. 1920. Bijdrage Tot De Bibliografie Van De Huidige
Godsdienstige Beweging

157

Ter Sumatras Westkust [A contribution to the bibliography of the


contemporary
religious movement on Sumatras west coast]. Tijdschrift voor Indische
Taal-,
Land-en Volkenkunde 59 (1920): 249325.
SHIRAISHI,TAKASHI. 1990. An Age in Motion: Popular Radicalism in
Java, 19121926.
Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
SIEGEL,JAMES. 1997. Fetish, Recognition, Revolution. Princeton, N.J.:
Princeton University
Press.
SJAFNIR,ABOE NAIN. 1988. Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual
Islam Di Minangkabau,
17841832 [Intellectual history of Islam in Minangkabau, 17841832].
Padang: Esa.

Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History 1009


SOEKARNO. 1950. Introduction to Sedjarah Peperangan Dipanegara:
Pahlawan Kemerdekaan
Indonesia [History of the Diponegoro war: Hero of Indonesian
independence],
by Muhammad Yamin. 2nd ed. Djakarta: Jajasan Pembangunan.
SOUIB,JOESOEF. 1938. Di Empang Pengepoengan Kota Bondjol
[Behind the fortifications

158

in Bondjol town]. Doenia Pengalaman 1.3, December. Ed. A. M.


Pamoentjak,
Aria Diningrat, and Qasim Ahmad. Medan: Poestaka Islam.
SOUYB,JOESOEF. 194849. Paderi! 3 vols. Tebing Tinggi: Tjerdas.
STEENBRINK,KAREL A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di
Indonesia Abad Ke-19
[Several aspects of Islam in Indonesia in the nineteenth century].
Jakarta: Bulan
Bintang.
STEIJN PARV, H. A. 1854. De Secte Der Padaries (Padries) in De
Bovenlanden Van
Sumatra [The sect of the Padries in the highlands of Sumatra].
Tijdschrift voor
Indische Taal-, Land-en Volkenkunde 2 (3): 24978.
STUERS,H.J.J.L.RIDDER DE. 184950. De Vestiging En Uitbreiding
Der Nederlanders
Ter Westkust Van Sumatra [The establishment and spread of the Dutch
on the west
coast of Sumatra]. Ed. P. J. Veth. Amsterdam: P. N. van Kampen.
SURYADI. 2001. Shaikh Daud of Sunur: Conflict between Reformists
and the Shattriyyah
Sf Order in Rantau Pariaman in the First Half of the Nineteenth
Century. Studia
Islamika 8 (3): 59124.

159

. 2004. Syair Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi Seorang Ulama


Minangkabau
Abad ke-19 [Syair Sunur: The text and context of the Autobiography of
a Minangkabau
ulama of the nineteenth century]. Padang: Citra Budaya Indonesia.
. 2006. Ke Manakah Raibnya Naskah Tuanku Imam Bonjol?
[Where is the vanished
manuscript Tuanku Imam Bonjol?], part 1. Sriwijaya Post, July 30, 21.
http://www.ranah-minang.com/tulisan/328.html.
TEITLER, G. 2004. Het Einde Van De Padrie-Oorlog: Het Beleg En De
Vermeestering Van
Bonjol, 18341837 (Een Bronnenpublicatie) [The end of the Padri war:
The siege
and

subjugation

of

Bonjol,

18341837

(A

source-publication)].

Amsterdam: De
Bataafsche Leeuw.
TOORN,J. L. VAN DER. 1984. Oendang-Oendang Poelisi: Tarsalin
Kadalam Bahasa
Malajoe. [Police laws: Translated into Malay]. 2nd ed. Batawi: Partjitakan
Gouvernement.
TURIE,D.E. MANU. 1941. Angkatan Paderi ke Tanah Batak [Padri forces
in the Batak
lands]. Ed. Djauhari Loebis. Sibolga: Perpoestakaan Kita.
UMRI, D. 1940. Di Samping Keroeboehan Kota Bondjol. [Beside the

160

wreckage of Bondjol
town]. Ed. Tamar Djaja, Aziz Thaib, and Martha. Fort de Kock: Penjiaran
Imoe.
VERKERK PISTORIUS, A. W. P. 1871. Studien over De Inlandsche
Huishouding in De
Padangsche Bovenlanden [Studies on the native households of the
Padang highlands].
Zalt-Bommel: Joh. Noman en Zoon.
VIKR,KNUT S. 1999. Jihad in West Africa: A Global Theme in a
Regional Setting. In
Muslim Diversity: Local Islam in Global Contexts, ed. Leif Manger, 80
101. Richmond:
Routledge/Curzon.
WESTENENK, L. C. 1913. Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen
Days Trip in the
Padang Highlands (the Land of Minang Kabau). Batavia (Weltevreden):
Official
Tourist Bureau.
YAMAMOTO,NOBUTO.

1995.

Colonial

Surveillance

and

Public

Opinion: The Rise and


Decline of Balai Poestakas Press Monitoring. Keio Journal of Politics,
no. 8:71100.
YAMIN,MUHAMMAD.

1950.

Sedjarah

Peperangan

Dipanegara:

Pahlawan Kemerdekaan

161

Indonesia [History of the Diponegoro war: Hero of Indonesian


independence].
2nd ed. Djakarta: Jajasan Pembangunan.

1010 Jeffrey Hadler


YOUNG,KEN. 1994. Islamic Peasants and the State: The 1908 Anti-Tax
Rebellion in West
Sumatra. New Haven, Conn.: Yale Center for International and Area
Studies.
YUNUS,MAHMUD. 1982. Riwayat Hidup Prof. Dr. H. Mahmud Yunus: 10
Pebruari 1899
16 Januari 1982 [The life story of Prof. Dr. H. Mahmud Yunus: 10
February 1899
16 January 1982]. Jakarta: Hidakarya Agung.
ZED,MESTIKA. 1983. Melayu Kopidaun: Eksploitasi Kolonial dalam
Sistim Tanam Paksa
Kopi di Minangkabau Sumatera Barat (18471908) [Leaf-coffee Malays:
Colonial
exploitation in the coffee cultivation system in Minangkabau, West
Sumatra
(18471908)]. S2 thesis, Universitas Indonesia.
ZURBUCHEN,MARY S. 2005. Historical Memory in Contemporary
Indonesia. In Beginning
to Remember: The Past in the Indonesian Present, ed. Mary S.

162

Zurbuchen,
332. Singapore: Singapore University Press.

163

You might also like