You are on page 1of 20

PERAN KEKHAWATIRAN MENDAPAT SANKSI PROFESIONAL

DALAM PROFESIONALISMA DAN INDEPENDENSI AUDITOR:


PENGUJIAN TEORI KOGNITIF SOSIAL
FRANCISCA RENI RETNO ANGGRAINI
Universitas Sanata Dharma
ZAKI BARIDWAN
SUWARDJONO
HARDO BASUKI
Universitas Gadjah Mada
Abstract
Scandals in auditing have deteriorated the credibility of the accounting
profession. The lower law enforcement and concentrated ownership
structure in Indonesia (La Porta et al, 1999; Siregar, 2006) led to auditor to
lower independence. This study uses social cognitive theory in modeling.
Based on social cognitive theory, law enforcement influences auditors
concern to professional sanction. Then, concern to professional sanction is
kognitif which influence to auditors independence. The objectives of this
research are examine the effect of work context to the level of auditors
concern to professional sanction, the role of auditors concern to
professional sanction to his or her professionalism and independence.
Based on scenario-based surveys in Jakarta, Surabaya, Semarang,
Denpasar, Yogyakarta, we got 186 eligible questionnaires (83
questionnaires from auditors working in non big 4 accounting firms and 103
questionnaires from auditors who work in big 4 firms). This study uses
multiple regression analysis and independent sample test.
This study found that work context did not influence the level of auditors
concern to professional sanction but auditors concern to professional
sanction influence his or her independence to auditee. Finally, this research
provides evidence that professionalism and concern to professional sanction
have substitution effect to auditors independence.
Keywords: concern to professional sanction, auditors independence, work
context.

Pendahuluan
Kemunculan berbagai macam skandal antara auditor dan kliennya (teraudit)
menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap profesionalisma auditor. Hal ini
tidak dapat dihindarkan karena posisi auditor yang mengakibatkan ia tidak dapat
bertindak profesional. Di dalam pedoman Komite Nasional Kebijakan Governance
(KNKG, 2006) dikatakan bahwa auditor dipilih dan diangkat oleh RUPS (Rapat Umum
Pemegang Saham) melalui dewan komisaris. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak
didapati RUPS menyerahkan kewenangannya kepada dewan direksi. Dalam kondisi
demikian, dewan direksi memiliki posisi yang lebih kuat untuk mengatur pelaksanaan
audit terhadap laporan keuangan perusahaan. Di sisi auditor, kelangsungan usaha
mungkin juga menjadi pertimbangan ketika menerima penugasan audit. Hal ini
mengakibatkan auditor tidak dapat bertindak profesional sehingga pada gilirannya tidak
dapat bertindak independen. Kasus Enron menunjukkan bukti bahwa auditor tidak
berdaya menghadapi teraudit ketika teraudit dapat memberikan pendapatan yang besar
bagi dirinya (Zeff, 2003).
Munculnya skandal-skandal audit menimbulkan reaksi dari IAI (Ikatan Akuntan
Indonesia), IAPI (Institute Akuntan Publik Indonesia), dan pemerintah untuk mengatur
pekerjaaan akuntan dan auditor. Untuk meningkatkan profesionalisma auditor, IAI dan
IAPI telah membuat kebijakan untuk mengatur kembali proses pendidikan akuntansi di
Indonesia (Akuntan Indonesia, 2012: 8). Kebijkan ini dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan auditor. Di samping itu, Pemerintah Indonesia juga telah
mengesahkan UU Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan Peraturan
Pemerintah Nomor 84 Tahun 2012 tentang Komite Profesi Akuntan Publik. Salah satu
tugas Komite Profesi Akuntan Publik adalah memberikan pertimbangan terhadap
kebijakan pemberdayaan, pembinaan, dan pengawasan akuntan publik dan KAP. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, tata kelola yang baik, dan
keperluan perpajakan.
Kebijakan IAI dan IAPI serta pengesahan dua peraturan di atas diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pekerjaan auditor dan pada akhirnya akan meningkatkan
kepercayaan publik terhadap pasar modal Indonesia. Di sisi lain, kedua peraturan di atas
meningkatkan risiko bagi auditor dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini dapat
menimbulkan kekhawatiran bagi auditor bahwa ia kemungkinan akan mendapat sanksi
profesional ketika keliru dalam memberikan opini audit. Kekhawatiran auditor
mendapat sanksi profesional memungkinkan auditor berhati-hati dalam memberikan

opini. Hal ini akan meningkatkan independensi auditor. Oleh karena itu, kekhawatiran
mendapat sanksi profesional tidak hanya dipengaruhi oleh ada tidaknya peraturan yang
mengatur tetapi juga apakah peraturan tersebut dilaksanakan dengan baik atau tidak.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah kekhawatiran mendapat sanksi
profesional berperan penting dalam peningkatan kinerja auditor.

Penelitian ini

mendasarkan pada teori kognitif sosial (social cognitive theory). Teori kognitif sosial
menyatakan bahwa dalam membuat keputusan individu terdapat tiga elemen yang
saling terkait satu sama lain yaitu perilaku, kognitif, dan lingkungan. Pengembangan
kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat orang tersebut membuat
keputusan. Anggraini et al. (2013) menemukan bahwa pengembangan profesionalisma
auditor dipengaruhi oleh tempat auditor bekerja. Hal ini berarti lingkungan kerja
berpengaruh terhadap kognitif, yang ditunjukkan oleh profesionalisma. Selain itu,
lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap perilaku, yang ditunjukkan oleh
independensi. Penelitian ini mengidentifikasi lingkungan hukum sebagai faktor yang
diduga berpengaruh terhadap pengembangan kognitif dan perilaku seseorang. Berdasar
teori kognitif sosial, kekhawatiran mendapat sanksi profesional merupakan suatu hasil
proses kognitif yang terbentuk dari pengalaman individu dalam mempersepsikan
lingkungan hukum. Pengalaman auditor di dalam suatu lingkungan hukum akan
menimbulkan persepsi dan penilaian terhadap risiko terkena sanksi profesional. Hal ini
akan menimbulkan tingkat kekhawatiran mendapat sanksi profesional.
Penelitian ini menunjukkan bukti empiris bahwa pertama, tidak ada perbedaan
kekhawatiran mendapat sanksi profesional antara auditor yang bekerja di KAP big 4
maupun non big 4. Kedua, terdapat pengaruh kekhawatiran mendapat sanksi profesional
pada independensi auditor. Hal ini berarti mendukung teori kognitif sosial bahwa
kognitif berpengaruh pada perilaku. Ketiga, terdapat efek moderasi kekhawatiran
mendapat sanksi profesional pada hubungan antara profesionalisma dan independensi
auditor. Akan tetapi efek moderasi ini berkebalikan dengan hipotesis karena efek
moderasi bersifat negatif. Hal ini berarti profesionalisma dan kekhawatiran mendapat
sanksi profesional bersifat substitusi dalam meningkatkan independensi auditor. Jika
auditor kurang profesional tetapi ia memiliki tingkat kekhawatiran mendapat sanksi
profesional yang tinggi maka independensinya akan tinggi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada pemerintah dan Komite
Profesi Akuntan Publik mengenai peran penegakan hukum (law enforcement) dalam
meningkatkan kinerja auditor dan akhirnya juga kualitas laporan keuangan. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti terhadap peran pelaksanaan aturan
yang efektif dalam mengubah perilaku auditor menuju ke arah yang lebih baik.

Rerangka Teoretis dan Pengembangan Hipotesis


1. Teori Kognitif Sosial
Teori kognitif sosial dikenalkan oleh Bandura pada tahun 1986 yang merupakan
pengembangan dari teori pembelajaran sosial (social learning theory) yang juga pernah
ditulis oleh Bandura pada tahun 1977 (Bandura, 2001). Menurut teori kognitif sosial,
ada tiga aspek yang saling berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan individu
yaitu kognitif (dan faktor personal lain), lingkungan, serta perilaku. Perilaku independen
dari auditor adalah manifestasi dari proses kognitif yang dilakukan auditor dalam
memproses informasi. Informasi ini tidak hanya berasal dari pengalaman dirinya, tetapi
juga melibatkan konteks sosial tempat auditor berinteraksi dan pengalaman orang lain di
masa lalu. Informasi yang berasal dari konteks sosial dan dari pengalaman orang lain
disebut sebagai informasi sosial (Salancik dan Pfeffer, 1978). Pemrosesan informasi
sosial berkaitan dengan pembelajaran yang dilakukan seseorang selama ia berinteraksi
di dalam suatu lingkungan tertentu. Munculan dari pemrosesan informasi ini akan dapat
digunakan untuk membentuk regulasi diri yang selanjutnya akan membentuk sistem
diri. Munculan dari pemrosesan informasi sosial yang dilakukan dalam interaksinya
dengan lingkungan tempat ia bekerja akan nampak pada perilaku yang ditunjukkan oleh
individu tersebut.
Menurut Bandura (2001), regulasi diri berhubungan dengan kapasitas untuk
mengkoordinasikan proses kognitif, afektif, dan keperilakuan untuk mencapai sasaran
yang telah ditetapkan. Regulasi diri ini akan membentuk efikasi diri yang dapat
digunakan sebagai pedoman bagi seseorang agar dapat melakukan tindakan sesuai
sasaran yang ditetapkan. Kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional merupakan
munculan dari proses kognitif auditor dalam menghadapi risiko mendapat sanksi
profesional. Tinggi rendahnya kekhawatiran akan tergantung pada pengalaman dirinya
atau pengalaman orang lain ketika keliru dalam memberikan pendapat. Kekhawatiran
mendapat sanksi profesional akan berpengaruh pada perilaku auditor yang ditunjukkan
oleh independensi auditor terhadap teraudit.
Karakteristik hukum dan pelaksanaannya juga akan mempengaruhi kinerja
auditor. Penelitian lintas negara menunjukkan bahwa auditor dari KAP big 4 tidak
selalu menunjukkan kualitas audit yang lebih bagus dibandingkan dengan KAP non big

4 (Favere-Marches, 2000; Khurara dan Raman, 2004; Francis dan Wang, 2008; dan
Michas, 2011).

Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat perlindungan

investor akan mempengaruhi perilaku auditor. Francis dan Wang (2008) menemukan
bahwa tingkat perlindungan investor di suatu negara memiliki pengaruh kuat pada
kinerja KAP big 4. KAP big 4 yang beroperasi di negara dengan tingkat perlindungan
investor yang lemah menunjukkan kualitas audit yang tidak lebih bagus dibandingkan
KAP non big 4. Tingkat perlindungan investor yang lemah mengakibatkan teraudit
berani untuk menekan auditor agar memenuhi keinginan dirinya (Fan dan Wong, 2005).
Di sisi lain, auditor juga berani untuk tidak bertindak independen karena risiko litigasi
yang dihadapinya rendah (Francis et al., 2002; Francis dan Wang, 2008). Auditor di
Indonesia kemungkinan juga cenderung untuk bertindak tidak independen karena
menurut La Porta et al., (2006), Indonesia termasuk negara dengan karakteristik tingkat
perlindungan investor yang lemah.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki karakteristik
kepemilikan yang terkonsentrasi (Siregar, 2006). Kepemilikan yang terkonsentrasi
mengakibatkan ekspropriasi dari pemegang saham mayoritas pada pemegang saham
minoritas. Dominasi pemegang saham mayoritas di dalam perusahaan juga ditunjukkan
oleh kurangnya pemisahan yang jelas antara manager dan pemegang saham mayoritas
karena manager juga dijabat oleh pemegang saham mayoritas. Di dalam perusahaan
yang kepemilikannya terkonsentrasi pada keluarga, manager atau direksi dan komisaris
yang bukan independen umumnya berasal atau masih memiliki hubungan keluarga
dengan pemegang saham mayoritas. Dalam kondisi ini, komisaris independen pun
kemungkinan juga tidak dapat berfungsi secara optimal karena dominasi pemegang
saham mayoritas yang sangat kuat. Bahkan berdasarkan penelusuran terhadap hasil
rapat umum pemegang saham (RUPS),

penulis menemukan bahwa RUPS pada

beberapa perusahaan justru melimpahkan wewenang kepada direksi untuk mengangkat,


menghentikan, dan memberi kompensasi pada auditor yang mengaudit laporan
keuangan perusahaan. Dalam situasi seperti ini, auditor akan memiliki posisi yang
sangat lemah ketika mengaudit perusahaan sehingga auditor tidak dapat bertindak
independen dan akhirnya opini yang diberikan tidak objektif.
Berdasar perspektif psikologis, lingkungan hukum akan berpengaruh pada
penilaian seseorang terhadap risiko mendapatkan sanksi. Clarkson et al. (2002)
mengatakan bahwa ketika seseorang melihat adanya efek negatif dari munculan
terhadap suatu tindakan, maka ia akan berhati-hati dalam melakukan tindakan yang

sama di masa depan. Hal ini berarti, munculan negatif dari suatu tindakan yang diambil
akan menurunkan bias kognitif yang terjadi dalam pemrosesan informasi yang
dilakukan oleh auditor. Semakin tinggi risiko mendapatkan sanksi profesional semakin
tinggi kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional dan selanjutnya kekhawatiran
ini akan meningkatkan independensi bagi auditor.

2. Kekhawatiran Mendapat Sanksi Profesional


Setiap organisasi profesi memiliki aturan dan standar untuk mengatur perilaku dan
pekerjaan dari para anggotanya. Demikian juga dengan auditor, dalam melaksanakan
pengauditan ia harus mematuhi norma dan standar pengauditan yang ditetapkan oleh
organisasi profesi akuntan publik (di Indonesia adalah IAPI) maupun aturan dan norma
yang diterapkan di tempat ia bekerja. Pemerintah Indonesia juga telah mengesahkan
Undang-Undang (UU) Nomor 5/2011 tentang Akuntan Publik. UU ini diharapkan dapat
menjadikan payung hukum tertinggi untuk mengatur dan melindungi profesi auditor
swasta dan diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap profesi auditor
Indonesia yang pada gilirannya juga akan mengembangkan pasar modal Indonesia.

Apabila aturan-aturan yang berlaku tersebut dapat dijalankan dengan baik maka
auditor yang melanggar aturan akan terkena sanksi oleh organisasi profesinya atau
pemerintah. Menurut UU Nomor 5 Tahun 2011, ancaman hukuman yang dapat
dijatuhkan pada akuntan publik atau auditor tidak hanya sebatas pada pemberian sanksi
dengan melakukan pembekuan sementara atau pencabutan ijin untuk berpraktik, tetapi
pemerintah juga berwenang untuk menjatuhkan ancaman pidana kepada auditor yang
melakukan pelanggaran etika profesi yang berat.
Melumad dan Thoman (1990) menemukan bahwa adanya ancaman litigasi
memungkinkan auditor memutuskan untuk bekerja dan membuat laporan secara benar
mengenai temuan-temuannya untuk mengurangi prospek terjadinya kerugian di masa
depan. Ancaman litigasi yang tinggi menyebabkan auditor berusaha untuk mengurangi
risiko ini dengan cara meningkatkan kualitas dan perencanaan audit, meningkatkan
ongkos audit, lebih sering mengeluarkan opini dengan modifikasi, dan lebih selektif
memilih klien (Khrishnan dan Khrishnan, 1997). Farmer et al. (1987) menemukan
bahwa ancaman litigasi mengakibatkan auditor menjadi berhati-hati dalam memeriksa
laporan keuangan.

Lingkungan dengan ancaman litigasi yang tinggi mengakibatkan auditor


menjadi lebih bertindak etis dibandingkan lingkungan dengan ancaman litigasi yang
rendah. Negara yang memiliki kode etik profesional yang baik akan menunjukkan
auditor memililiki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi terhadap dilema etis (Douglas et
al., 2001; Dreike dan Moeckel, 1995; Claypool et al., 1990 dikutip oleh Jones et al.,
2003). Adanya kode etik membuat ambiguitas etis berkurang dan akan membantu
auditor dalam mengakui adanya isu etis dan membantu membedakan tindakan yang etis
dan tidak etis. Khrisnan dan Khrisnan (1997) mengatakan bahwa risiko litigasi
merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan auditor dalam memberikan opini
pada laporan keuangan kliennya.
Peran penting dari regulasi dalam meningkatkan independensi auditor
tergantung pada seberapa kuat penegakan hukum (law enforcement) yang dijalankan di
suatu negara. Penegakan hukum yang efektif akan menimbulkan kekhawatiran bagi
auditor mengenai kemungkinan ia akan terkena litigasi jika tidak melakukan
pengauditan dengan baik. Menurut teori kognitif sosial, seseorang akan berperilaku
seperti yang orang lain lakukan ketika perilaku orang lain tersebut memberikan
keuntungan (memberi munculan positif) dan tidak akan melakukan apa yang orang lain
lakukan ketika tindakannya menyebabkan kerugian (memberi munculan negatif). Oleh
karena itu, ketika banyak auditor lain yang mendapat sanksi karena kesalahannya dalam
memberikan opini audit maka auditor tertentu akan berhati-hati dalam menjalankan
tugasnya.
Dalam penelitian ini, kekhawatiran terhadap litigasi didefinisi sebagai persepsi
auditor mengenai risiko yang mungkin akan ia terima ketika ia tidak melakukan
pengauditan sesuai dengan standar pengauditan dan aturan yang berlaku. Penelitian ini
menggunakan dua item pertanyaan untuk mengukur konstruk ini, pertama berkaitan
dengan apakah aturan yang berlaku akan menjadi bahan pertimbangan bagi proses
pengauditan yang dilakukan dan kedua, apakah pengalaman auditor sebelumnya yang
melanggar peraturan dan mendapat sanksi akan membuat ia lebih berhati-hati dalam
melaksanakan pekerjaannya.
3. Kekhawatiran Mendapat Sanksi Profesional dan Konteks Kerja
Menurut teori kognitif sosial, lingkungan akan berpengaruh pada pembentukan kognitif
seseorang. Hasil penelitian Anggraini et al. (2013) menunjukkan bahwa konteks kerja
berpengaruh pada profesionalisma dan independensi auditor. Auditor yang bekerja di
KAP big 4 memiliki profesionalisma dan independensi yang lebih rendah dibandingkan

dengan KAP non big 4. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Gendron et al. (2006)
dan Suddaby et al. (2009). Hasil penelitian-penelitian di atas sejalan dengan
argumentasi dari teori kognitif sosial bahwa lingkungan akan berpengaruh terhadap
kognitif dan perilaku seseorang. Menurut teori kognitif sosial, pengalaman pribadi dan
orang lain akan berpengaruh pada pembentukan efikasi diri. Efikasi diri ini akan
berpengaruh pada regulasi diri. Profesionalisma dan independensi yang lebih rendah
pada auditor di KAP big 4 dibandingkan auditor di KAP non big 4 dapat disebabkan
karena auditor di KAP big 4 lebih berani menghadapi risiko mendapat sanksi
profesional dibandingkan dengan auditor di KAP non big 4. Hal ini dikarenakan auditor
di KAP big 4 mungkin mempersepsikan dirinya tidak akan terkena sanksi profesional
karena KAP big 4 memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menghindarinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Francis et al. (2002), Khurara dan Raman
(2004), Francis dan Wang (2008), dan Michas (2011) menunjukkan bahwa tingkat
proteksi investor pada suatu negara berpengaruh pada kinerja auditor di KAP big 4.
Jeong dan Rho (2004), dengan menggunakan sampel perusahaan-perusahaan di Korea,
menemukan bahwa kualitas audit (yang diproksi dengan akrual diskresioner) antara
KAP big 4 dan non big 4 tidak berbeda. Hwang dan Chang (2010) menemukan bahwa
lingkungan litigasi memiliki pengaruh signifikan pada keputusan auditor.
Indonesia termasuk negara dengan tingkat perlindungan investor yang lemah dan
juga memiliki karakteristik penegakan hukum yang lemah pula (La Porta et al., 2006).
Selain itu, Moore et al. (2006) juga mengatakan bahwa kelompok yang memiliki
kekuasaan yang lebih besar dapat mempengaruhi regulator dalam membuat peraturan.
Di Indonesia, organisasi-organisasi profesi yang ada sebagian besar didominasi oleh
orang atau kelompok yang memiliki pengaruh yang kuat karena mereka sanggup untuk
mendanai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi profesi tersebut. Hal yang
sama juga terjadi di dalam IAPI, anggota organisasi yang memiliki pengaruh yang kuat
adalah auditor-auditor yang berasal dari KAP-KAP besar termasuk KAP big 4. Hal ini
dapat dipahami karena KAP big 4 memiliki jumlah auditor yang banyak dan memiliki
sumber dana yang besar.
Dengan kekuatan politis dari KAP tempat auditor bekerja kemungkinan dapat
menyebabkan auditor menjadi lebih berani untuk tidak tunduk terhadap peraturan.
Ketika auditor berpersepsi bahwa KAP tempat ia bekerja dapat melindungi dirinya dari
pengenaan sanksi akibat kelalaiannya dalam melaksanakan pengauditan dengan benar
maka kekhawatiran mendapat sanksi profesional akan rendah. Auditor di KAP big 4

kemungkinan akan memiliki kepercayaan diri yang lebih besar bahwa ia mampu untuk
menghindari pengenaaan sanksi profesional sehingga kekhawatiran mendapat sanksi
profesional rendah.
Oleh karena itu, konteks kerja diduga berpengaruh pada besarnya kekhawatiran
mendapatkan sanksi profesional ketika auditor tidak melaksanakan pengauditan sesuai
dengan standar. Auditor di KAP big 4 akan merasa lebih berani untuk menghadapi
risiko ini dibandingkan auditor yang bekerja di KAP non big 4 karena merasa memiliki
kemampuan yang lebih besar untuk mengatasi dilema etis yang dihadapi. Jadi,
kekhawatiran auditor di KAP non big 4 akan mendapatkan sanksi profesional lebih
besar dibandingkan auditor di KAP big 4. Oleh karena itu, dapat dirumuskan hipotesis
alternatif sebagai berikut:
H1: Auditor yang bekerja di KAP big 4 memiliki kekhawatiran mendapat sanksi
profesional yang lebih rendah dibandingkan dengan auditor yang bekerja di
KAP non big 4.

4. Kekhawatiran

Mendapat

Sanksi

Profesional,

Profesionalisma

dan

Independensi Auditor
Penelitian mengenai kualitas audit antara KAP big 4 dan non big 4 yang dilakukan
setelah skandal Enron, menunjukkan bahwa auditor di KAP big 4 menjadi lebih berhatihati dalam melaksanakan jasa audit (misalnya Fargher et al., 2001). Hal ini dilakukan
untuk mengembalikan reputasi KAP big 4 setelah reputasi ini sempat dihancurkan oleh
Andersen dalam skandal Enron. Lu (2006) menemukan bahwa adanya penggantian
auditor tidak menurunkan independensi dan kualitas audit pada perioda sesudah muncul
skandal Enron. Rama dan Read (2006) juga menemukan bahwa munculnya SOX Acts
tahun 2002 menyebabkan auditor semakin berhati-hati dalam memberikan jasanya,
terutama ketika ia mendapat tugas pertama kali setelah menggantikan auditor yang
lama.
Hasil penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa setelah skandal-skandal
audit terungkap maka persepsi terhadap risiko yang akan ditanggung ketika auditor
salah dalam memberikan opini semakin besar. Ketika teraudit terbukti melakukan
kecurangan dan auditor tidak mengetahuinya maka bagi auditor, selain sanksi yang akan
diterima, juga reputasinya akan hancur.

Semakin tinggi risiko mendapat sanksi

mengakibatkan KAP menjadi berhati-hati dalam melakukan pengauditan.

Pelaksanaan aturan hukum yang ditetapkan akan berpengaruh pada penentuan


tingkat risiko mendapat sanksi atas pelanggaran terhadap aturan tersebut. Jika auditor
pernah melanggar dan mendapat hukuman atau orang melihat banyak orang yang
melanggar peraturan dan mendapat hukuman maka ia akan berhati-hati dalam
menjalankan pekerjaannya. Seperti yang dikutip oleh Jones et al. (2003), penelitianpenelitian oleh Douglas et al. (2001), Dreike dan Moeckel (1995), Claypool et al.
(1990) memberikan bukti bahwa perilaku seseorang di lingkungan dengan ancaman
litigasi yang tinggi akan bertindak lebih etis dibandingkan dengan perilaku orang yang
berada di lingkungan dengan ancaman litigasi yang rendah. Orang yang berada di
lingkungan dengan ancaman litigasi yang tinggi lebih sensitif terhadap dilema etis
dibandingkan orang yang berada di lingkungan dengan ancaman litigasi yang rendah.
Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa persepsi terhadap risiko yang
mungkin akan dihadapi dapat mempengaruhi seseorang untuk lebih sensitif terhadap
adanya dilema etis dan selanjutnya mereka akan berhati-hati dalam bertindak, terutama
tindakan-tindakan yang mungkin dapat berisiko bagi karir dan reputasinya. Hal ini
berarti peraturan yang dibuat akan berdampak pada perilaku seseorang jika ia memiliki
keyakinan bahwa jika ia melanggar maka kemungkinan besar ia akan mendapat sanksi.
Sebaliknya, jika ia memiliki keyakinan bahwa jika ia melanggar tidak akan mendapat
sanksi maka ia cenderung akan melanggar.
Teori kognitif sosial mengatakan bahwa pengalaman diri sendiri dan orang lain
akan berpengaruh pada kognitif yang dibentuknya. Kognitif ini digunakan untuk
membentuk regulasi diri dan selanjutnya regulasi diri akan membentuk efikasi diri.
Efikasi diri akan digunakan sebagai pedoman dan alat kendali dalam melakukan
tindakan. Kesuksesan yang diperoleh baik oleh diri sendiri maupun orang lain akan
memperkuat efikasi diri dan kegagalan akan melemahkan efikasi diri. Kegagalan dalam
menyelesaikan dilema etis di masa lalu akan mengakibatkan seseorang menghindari
masalah yang sama di masa depan dan apabila harus menghadapi masalah yang sama
maka ia harus menghindari penyelesaian yang di masa lalu mengakibatkan kegagalan.
Kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional di masa depan mengakibatkan ia
berusaha menghindari permasalahan tersebut.
Clarkson et al. (2002) menemukan bahwa bias kognitif dapat diturunkan jika
seseorang dapat merasakan bahwa akibat tindakan yang dilakukan dapat menimbulkan
pengaruh negatif bagi dirinya. Grant et al. (1996), dengan melakukan penelitian
eksperimen, menemukan bahwa regulasi yang dibuat oleh organisasi profesi

mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas audit dan peranan ini
menjadi semakin besar ketika terdapat mekanisme pemberian sanksi yang efektif.
Hasil penelitian Anggraini et al. (2013) menunjukkan bahwa profesionalisma
auditor berpengaruh pada independensinya terhadap teraudit. Profesionalisma
merupakan hasil dari proses pengembangan kognitif yang dialami oleh auditor dalam
suatu lingkungan kerja tertentu. Hal yang sama adalah kekhawatiran mendapat sanksi
profesional. Kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari organisasi profesinya juga
akan menyebabkan auditor berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini
berarti semakin tinggi kekhawatiran auditor akan mendapat sanksi profesional maka ia
akan semakin independen terhadap teraudit. Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan
adalah:
H2: Kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional berpengaruh positif pada
independensinya terhadap teraudit.

Hasil penelitian Anggraini et al. (2013) menunjukkan bahwa konteks kerja


berpengaruh pada profesionalisma dan independensi auditor. Akan tetapi, konteks kerja
tidak memoderasi hubungan profesionalisma dan independensi. Penulis menduga bahwa
kekhawatiran mendapat sanksi profesional dan profesionalisma akan saling menguatkan
untuk meningkatkan independensi auditor. Semakin tinggi kekhawatiran mendapat
sanksi profesional dan semakin tinggi profesionalismanya maka auditor akan semakin
mampu mengatasi dilema etis yang dihadapi dengan bertindak independen terhadap
teraudit.Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan adalah:
H3: Pengaruh positif profesionalisma auditor pada independensinya akan semakin
kuat ketika semakin besar kekawatirannya mendapat sanksi profesional.

METODA PENELITIAN
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian (partisipan) dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja di KAP
big 4 dan KAP non big 4. Metoda penyampelan yang digunakan adalah purposive
sampling karena KAP yang didatangi didasarkan pada alamat yang bisa ditemukan oleh
peneliti. Kuesioner diberikan kepada auditor dengan jabatan partner sampai auditor
yunior pada KAP-KAP yang ada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Denpasar, dan
Yogyakarta.
2. Metoda Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010-2011 dengan metoda survei berbasis skenario.
Dalam skenario yang dibuat, partisipan (dalam hal ini adalah auditor) dihadapkan pada
permasalahan untuk mengikuti keinginan klien mereka, sementara ia dihadapkan pada
aturan yang mengatur pekerjaannya dan apabila ia tidak mentaati maka akan mendapat
sanksi berupa pembekuan ijin berpraktik. Subjek diminta bertindak seolah-olah sebagai
partner di sebuah KAP dan harus membuat keputusan untuk memenuhi keinginan
teraudit atau tidak.
Dengan menggunakan subjek auditor, penelitian terhadap pembuatan keputusan
oleh profesional akan lebih mendekati dengan kondisi yang sebenarnya di dalam praktik
sehingga penelitian ini diharapkan dapat menangkap perilaku profesional dalam
mengatasi dilema etis yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil
oleh profesional akan cenderung didasarkan pada pengalaman mereka selama
melakukan pengauditan.
Skenario yang digunakan berupa kasus yang menunjukkan perbedaan penilaian
antara auditor dan teraudit terhadap estimasi cadangan persediaan yang telah usang.
Auditor internal telah menyetujui estimasi yang dibuat oleh perusahaan kerena
menganggap bahwa estimasi yang dibuat tidak berbeda secara signifikan dengan
estimasi yang dibuat pada tahun yang lalu.

3. Definisi Operasional dari Variabel Penelitian


a. Tingkat independensi (INDP i )
Pengukuran variabel ini sama seperti yang dilakukan oleh Anggraini et al.
(2013) yaitu dengan menggunakan instrumen yang dibuat oleh Rahim (1983)
yang dikenal dengan ROCI-II (The Rahim Organizational Conflict Inventory-II)
dengan modifikasi minor untuk disesuaikan dengan skenario yang diberikan.

Penelitian ini hanya menggunakan item-item untuk mengukur tipe strategi


mendominasi saja (yaitu item nomor 10, 11, 24, 27) karena independensi auditor
lebih banyak terkait dengan pemilihan strategi mendominasi. Skor independensi
diukur dari total nilai skor dari empat pertanyaan yang diajukan. Total skor
independensi ini selanjutnya disebut skor ROCI-II strategi mendominasi.
b. Konteks kerja (BIG4)
Seperti yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2013), konteks kerja merupakan
variabel dummi yang diukur berdasar tempat subjek bekerja. Subjek akan diberi
nilai 0 jika ia bekerja di KAP non big 4 dan jika bekerja di KAP big 4 diberi
angka 1.
c. Kekhawatiran mendapat sanksi profesional (SP i )
Variabel ini diukur dengan menggunakan dua pertanyaan berikut:
1) Aturan pemerintah berupa pembekuan ijin bagi praktik akuntan publik akan
menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengauditan yang saya lakukan.
2) Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, banyak KAP atau akuntan
publik yang dibekukan ijin praktik auditnya, maka saya akan berhati-hati
dalam memberikan opini.
Skor kekhawatiran mendapat sanksi profesional diukur dari total nilai skor dari 2
pertanyaan yang diajukan. Total skor profesionalisma ini selanjutnya disebut
skor sanksi profesional.
d. Profesionalisma (PROFS i )
Seperti yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2013), profesionalisma auditor
diukur dengan menggunakan pengukuran seperti yang digunakan oleh Lui et al.
(2003). Mereka menggunakan pengukuran persyaratan peran profesional dari
Miner (1993). Ada empat dimensi yang membentuk profesionalisma yaitu (1)
meningkatkan pengetahuan, (2) bertindak secara independen, (3) mengakui
status, (4) bersedia membantu, dan (5) menunjukkan komitmen profesional.
Skor profesionalisma diukur dari total nilai skor dari 21 pertanyaan yang
diajukan. Total skor profesionalisma ini selanjutnya disebut skor Miner.
e. Variabel Kontrol
Seperti yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2013), penelitian ini memasukkan
tiga variabel kontrol yaitu:
1) Jabatan auditor (JAB i )

Subjek dibagi menjadi empat level yang dimulai dari partner, manager,
auditor senior, dan auditor yunior. Penilaian dilakukan berdasarkan
peringkat jabatan. Partner yang menduduki jabatan tertinggi diberi nilai 4
sampai auditor yunior yang menduduki jabatan terendah diberi nilai 1.
2) Gender (GND i )
Penelitian ini mengukur variabel gender dengan memberi nilai 1 pada
subyek wanita dan 0 pada subyek pria.
3) Pengalaman (PGLM1 i , PGLM2 i dan UM i )
Pengalaman diukur dengan tiga cara, yaitu lama responden bekerja di KAP
(PGLM1 i ) dan lama responden menjadi auditor (PGLM2 i ).
4) Konteks Kerja (BIGi)
Konteks kerja merupakan variabel dummi, jika auditor bekerja di KAP big
4 diberi angka 1 sedangkan jika tidak diberi angka 0.
4. Model Penelitian dan Metoda Pengujian
Model penelitian beserta metoda pengujiannya adalah sbb.:
a. Pengujian hipotesis 1 dilakukan dengan Uji Beda Sampel Independen
(Independent Sample Test)
Hipotesis 4 terdukung jika rata-rata SP i,BIG 4 < rata-rata SP i,NON BIG 4 .
Keterangan:
SP i,BIG 4 = Kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari auditor yang bekerja di
KAP big 4
SP i,NON BIG 4 = Kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari auditor yang bekerja di
KAP non big 4
b. Pengujian hipotesis 2 dan 3 dilakukan dengan Analisis Regresi Berganda
Model pengujian:
INDP i = 0 + 1 SP i + 4 PROFS i * SP i +Variabel Kontrol+ i
Keterangan:
INDP i = Tingkat Independensi Auditor i
PROFS i = Tingkat Profesionalisma Auditor i
SP i = Kekhawatiran mendapat sanksi profesional
Variabel kontrol meliputi:
JAB i = Jabatan auditor
GND i = Gender

PGLM1 i = Pengalaman di KAP sekarang


PGLM2 i = Pengalaman menjadi auditor
UM i = umur auditor
HASIL
1. Statistik Deskriptif
Penelitian ini menggunakan responden auditor yang bekerja di KAP big 4 maupun non
big 4 yang berada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Denpasar. Khusus
untuk auditor yang bekerja di KAP big 4 hanya diambil dari dua KAP big 4 yang berada
di Jakarta. Penyebaran kuesioner mulai dilakukan pada bulan Januari 2010 sampai Juli
2011. Kuesioner yang disebarkan sebanyak 350 buah dan kuesioner yang kembali dan
diisi dengan lengkap sebanyak 207 buah. Hal ini menunjukkan tingkat respon yang
cukup tinggi yaitu sebesar 59,14%. Kuesioner sebanyak 207 buah tersebut terdiri dari
95 responden dari KAP non big 4 dan 112 responden dari KAP big 4. Statistik
Deskriptif untuk masing-masing variabel yang diuji disajikan di tabel 1.
-Masukkan Tabel 1 di sini2. Hasil Pengujian Hipotesis
a. Hipotesis 1
Hasil pengujian hipotesis 1 disajikan pada tabel 2
-Masukkan Tabel 2 di siniTabel 2 menunjukkan bahwa hipotesis 1 tidak didukung hal ini nampak dari
tidak terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan skor sanksi profesional antara
auditor yang bekerja di KAP big 4 dan auditor yang bekerja di KAP non big 4,
meskipun nilai rata-rata skor sanksi profesional pada auditor yang bekerja di
KAP big 4 lebih rendah dibandingkan auditor di KAP non big 4. Hal ini berarti
tingkat kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari auditor di KAP big 4
lebih rendah dibandingkan dengan KAP non big 4, akan tetapi perbedaan
tersebut tidak signifikan.
b. Hipotesis 2 dan 3
Hasil pengujian hipotesis 2 dan 3 disajikan pada tabel 3
-Masukkan Tabel 3 di siniTabel 3 menunjukkan hasil pengujian regresi berganda dengan dua model
pengujian. Model pertama digunakan untuk membandingkan dengan model
kedua dengan tujuan untuk mengetahui efek moderasi dari variabel
kekhawatiran mendapat sanksi profesional (SP i ) pada hubungan antara

profesionalisma (PROFS i ) dan independensi (INDP i ). Hasil pengujian pengaruh


variabel SP i dan PROFS i secara individual terhadap variabel INDP i
menunjukkan bahwa variabel SP i dan PROFS i berpengaruh signifikan terhadap
variabel INDP i dengan tingkat signifikansi dibawah 1%. Hal ini menunjukkan
bahwa hipotesis 2 didukung. Dengan kata lain, kekhawatiran mendapat sanksi
profesional berpengaruh pada independensi auditor. Hasil pengujian ini
mendukung teori kognitif sosial yaitu lingkungan hukum berpengaruh pada
pembentukan kognitif auditor yang ditunjukkan oleh persepsi terhadap risiko
mendapatkan sanksi profesional. Semakin tinggi risiko mendapat sanksi
profesional maka auditor semakin khawatir akan mendapat sanksi profesional
sehingga ia akan berhati-hati dalam memberikan opini audit atau menjadi
semakin independen.
Tabel 3 menunjukkan bahwa adjusted R2 untuk model tanpa interaksi
lebih kecil dibandingkan model dengan interaksi.

Hal ini berarti variabel

interaksi SP i *PROFS i merupakan faktor penjelas bagi INDP i . Dengan kata lain
kekhawatiran

mendapat

sanksi

profesional

memoderasi

hubungan

profesionalisma dan independensi auditor. Akan tetapi hipotesis 3 tidak


didukung karena variabel interaksi SP i * PROFS i memiliki koefisien bertanda
negatif yang berarti bahwa variabel SP i memperlemah hubungan PROFS i dan
INDP i . Hal ini berarti, ketika kekhawatiran mendapat sanksi profesional tinggi
maka semakin lemah hubungan antara profesionalisma dan independensi
auditor. Kekhawatiran mendapat sanksi profesional merupakan faktor yang
bersifat substitusi bagi profesionalisma. Ketika profesionalisma auditor rendah
tetapi kekhawatiran mendapat sanksi profesional tinggi maka auditor masih
dapat bertindak independen.
Hasil pengujian terhadap pengaruh interaksi SP i * PROFS i memberikan
bukti bahwa ketika auditor tidak atau kurang profesional tetapi berada dalam
lingkungan yang dipersepsikan oleh auditor memiliki risiko tinggi mendapatkan
sanksi profesional maka auditor tidak berani melakukan tindakan yang
mengancam independensinya.

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN KETERBATASAN


Penelitian ini memberi kesimpulan bahwa pertama, kekhawatiran mendapat sanksi
profesional tidak dipengaruhi oleh tempat auditor bekerja. Meskipun kekhawatiran
mendapat sanksi profesional dari auditor di KAP big 4 lebih rendah dibandingkan
auditor di KAP non big 4 tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan.

Kedua,

kekhawatiran mendapat sanksi profesional dan profesionalisma memiliki sifat substitusi


dalam mempengaruhi independensi auditor. Dengan kata lain, ketika salah satu faktor
rendah maka independensi auditor masih dapat dipelihara. Jika auditor tidak profesional
tetapi memiliki kekhawatiran mendapat sanksi profesional yang tinggi maka ia akan
tetap menjaga independensinya karena takut terkena sanksi profesional.
Implikasi penelitian ini adalah pentingnya penegakan hukum bagi peningkatan
kinerja auditor. Auditor di KAP big 4 dan non big 4 terbukti sama-sama memiliki
kekhawatiran mendapat sanksi profesional dan semakin tinggi kekhawatiran mendapat
sanksi profesional maka semakin tinggi independensi auditor. Jika aturan dilaksanakan
secara efektif baik auditor dengan tingkat profesionalisma tinggi, sedang, maupun
rendah akan merasa takut untuk memenuhi keinginan klien (teraudit) yang dapat
mengancam independensinya. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi yang penting
bagi regulator baik pemerintah dan Komite Profesi Akuntan Publik agar serius dalam
menegakkan aturan yang sudah dibuat.
Meskipun hasil penelitian ini memberikan implikasi kebijakan yang penting,
akan tetapi hasil penelitian ini tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan. Pertama,
penggunaan metoda survei berbasis skenario memiliki banyak kelemahan terutama
dalam hal validitas internalnya karena peneliti tidak dapat mengontrol secara ketat
proses pengisian kuesioner yang diberikan kepada subjek. Kedua, jumlah data yang
diperoleh dari penelitian ini tidak proposional antar level jabatan karena sebagian besar
kuesioner diisi oleh auditor yunior dan senior. Hal ini tidak dapat dihindari karena
jumlah auditor yunior dan senior di setiap KAP jauh lebih banyak dibandingkan
manager dan partner. Di samping itu, untuk mendapatkan respon dari partner atau
manager agar tertarik untuk mengisi kuesioner juga sangat susah karena mereka tidak
memiliki banyak waktu luang untuk mengisi kuesioner yang peneliti serahkan kepada
mereka.

REFERENSI
Anggraini, F.R.R., Z. Baridwan; Suwardjono; dan H. Basuki. 2013. Role of Work
Context in the Effectiveness of Auditor Professionalism Development: Case in
Indonesia. Working Paper.
Bandura, A. 2001. Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective. Annual Review
Psychology, 52:1-26.
Clarkson, P. M., Emby, C., dan V. W.-S. Watt. 2002. Debiasing the Outcome Effect:
The Role of Instructions in an Audit Litigation Setting. Auditing: A Journal of
Practice & Theory, 21(2): 7-20.
Fan, J. P. H., dan T. J. Wong 2005. Do External Auditors Perform a Corporate
Governance Role in Emerging Markets? Evidence from East Asia. Journal of
Accounting Research, Vol. 43(1): 35-72.
Fargher, N., M. H. Taylor, dan D. T. Simon 2001. The demand for auditor reputation
across international markets for audit services. The International Journal of
Accounting, 36(4): 407-421.
Farmer, T.A., L.E. Rittenberg, dan G.M. Trompeter. 1987. An Investigation of the
Impact of Economic and Organizational Factors on Auditor Independence.
Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 7 (1): 1-14.
Favere-Marches, M. 2000. Audit Quality in ASEAN. The International Journal of
Accounting 35 (1):121-149.
Francis, J.R. dan D.Wang. 2008. The Joint Effect of Investor Protection and Big 4
Audits on Earnings Quality Around the World. Contemporary Accounting
Research, Vol. 25 (1): 157-191.
Gendron, Y., R. Suddaby, and H. Lam. 2006. An Examination of the Ethical
Commitment of Professional Accountants to Auditor Independence. Journal of
Business Ethics, Vol. 64: 169-193
Grant, J., R. Bricker, dan R. Shiptsova. 1996. Audit Quality and Professional SelfRegulation: A Social Dilema Perspective and Laboratory Investigation.
Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 15 (1): 142-156.
Jones, J., D. W. Massey, dan L. Thorne. 2003. Auditors Ethical Reasoning: Insights
from Past Research and Implications for the Future. Journal of Accounting
Literature 22:45-103.
Khrishnan, J. dan J. Krishnan. 1997. Litigation Risk and Auditor Resignations. The
Accounting Review, Vol. 72 (4): 539-560
Khurana, I. K., dan K. K. Raman. 2004. Litigation Risk and the Financial Reporting
Credibility of Big 4 versus Non-Big 4 Audits: Evidence from Anglo-American
Countries. Accounting Review 79 (2):473-495.
KNKG. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Komite
Nasional Kebijakan Governance.
LaPorta, R., F. Lopez-De-Silanes, dan A. Shleifer. 2006. What Works in Securities
Laws? The Journal of Finance, Vol. 61 (1): 1-32

Li, C. 2009. Does Client Importance Affect Auditor Independence at the Office Level?
Empirical Evidence from Going-Concern Opinions. Contemporary Accounting
Research, Vol. 26 (1): 201-230.
Lu, T. 2006. Does Opinion Shopping Impair Auditor Independence and Audit Quality?
Journal of Accounting Research, 44(3): 561-583.
Lui, S.S., H. Ngo, dan A.W.Tsang. 2003. Socialized to be a Professional: a Study of the
Professionalism of Accountants in Hong Kong. International Journal of Human
Resource Management, Vol. 14 (7): 1192-1205.
Melumad, N. D. dan L. Thoman. 1990. On Auditors and the Courts in an Adverse
Selection Setting. Journal of Accounting Research, Vol. 28 (1): 77-120.
Michas, P. N. 2011. The Importance of Audit Profession Development in Emerging
Market Countries. Accounting Review 86 (5):1731-1764.
Moore, D. A., P. E. Tetlock, L. Tanlu, dan M. H. Bazerman. 2006. Conflicts of Interest
and the Case of Auditor Independence: Moral Seduction and Strategic Issue
Cycling. Academy of Management Review 31 (1):10-29.
NN. 2012. Ikatan Akuntan Indonesia: 55 Tahun Merentang Zaman. Akuntan Indonesia,
Desember: 7-9.
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2012 tentang Komite Profesi Akuntan Publik.
Rama, D. V. dan W. J. Read. 2006. Resignations by the Big 4 and the Market for Audit
Services. Accounting Horizons, 20(2): 97-109.
Salancik, G.R. dan J. Pfeffer. 1978. A Social Information Processing Approach to Job
Attitudes and Task Design. Administrative Science Quarterly, Vol. 23: 224-253.
Siregar, B. 2006. Pemisahan Hak Aliran Kas dan Hak Kontrol dalam Struktur
Kepemilikan Ultimat. Disertasi, Universitas Gadjah Mada. Tidak
dipublikasikan.
Suddaby, R., Y. Gendron, and H. Lam. 2009. The organizational context of
professionalism in accounting. Accounting, Organizations and Society 34 (34):409-427.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik.
Zeff, S.A. 2003. How the U.S. Accounting Profession Got Where It Is Today: Part I.
Accounting Horizon, Vol. 17 (3): 189-205.

LAMPIRAN
Tabel 1.

Statistik Deskriptif

Rata-rata

Minimum

Maksimum

Deviasi
Standar

Big 4

Non-

Big 4

big 4
Kekhawatiran Mendapat 7,99

Non-

Big 4

big 4

Non-

Big

Non-

big 4

big 4

8,29

3,00

2,00

10,00

10,00

1,50

1,38

Sanksi Profesional (SP i )


Independensi (INDP i )

14,00

15,58

7,00

10,00

20,00

20,00

3,04

2,17

Profesio-nalisma

85,09

90,01

58,00

75,00

106,0

108,00

8,33

6,50

(PROFS i )

Tabel 2.

Hasil Pengujian Hipotesis 1 dengan t-Independent Sample Test

Variabel

SP i

Tabel 3.

Kelompok

Rata-rata

BIG 4

7,990

NON-BIG 4

8,289

Uji t (Sign)

-1,408 (0,161)

Hasil Pengujian Hipotesis 2 dan 3 dengan Uji Regresi Berganda


Nilai
Koefisien

Uji t (Sig.)

Adjusted R2

Uji F

0,26

22,644

Model 1 tanpa interaksi SP i dan PROFS i


1

SP i

0,408**

3,312 (0,001)

PROFS i

0,143**

6,281 (0,000)

GENDER i

-0,137*

-2,145 (0,033)

(0,000)

Model 2 dengan interaksi SP i dan PROFS i


1

SP i

3,111**

2,584 (0,011)

PROFS i

0,385**

3,520 (0,001)

SP i * PROFS i

-0,030*

-2,257 (0,25)

GENDER i

-0,131*

-2,068 (0,040)

0,276

18,638
(0,000)

You might also like