You are on page 1of 51

OROFACIAL PAIN

DAFTAR ISI
Daftar Isi... 2
Abstract

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................

1. Understanding orofacial pain


a. Anatomy and physiology of pain
b. Definition and classification of pain
c. Clinical aspect of orofacial pain
d. Category classification of orofacial pain
2. Implementation of pain concept on clinical cases

a. Principles of pain diagnosis


b. Differentiation of odontogenic and non-odontogenic pain
c. Strategic management of orofacial pain
BAB III PERMASALAHAN. 25
Skenario Kasus
BAB IV DISKUSI ...................................................................................................26
A. Pemeriksaan Subyektif
B. Pemeriksaan Obyektif
C. Pemeriksaan Penunjang
D. Differential Diagnosa
E. Diagnosis Kerja
F. Rencana Perawatan
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................48
LAMPIRAN

ABSTRACT
Orofacial Pain is a complaint that around the world affects millions of people on a
daily basis. It constitutes any symptom that occurs from a large number of disorders and
diseases that result in a sensation of discomfort or pain felt in the region of the face, mouth,
nose, ears, eyes, neck, and head.
When a person experiences pain in any other part of the body, often that pain or
discomfort can be tolerated, endured, or ignored to some level until symptoms become bad
enough that the person seeks treatment. When pain occurs in the Orofacial region however, it
often sparks an immediate attention response consisting of a significant level of concern and
worry.
Chronic Orofacial Pain presents very challenging diagnostic problems that are
typically complicated by a variety of psychological and distressing factors, sleep
disturbances, employment and family breakdowns, marriage and relationship difficulties, and
complex medical conditions. Therefore, patients with Orofacial Pain often require
multidisciplinary treatment approaches, whilst a correct diagnosis requires time,
understanding, and listening to the patients chief complaints and their thorough description
of the pain history.
In this report, the scenario will be discussed is a scenario of Orofacial Pain, obtained
from the case of a 38-year-old woman who came with complaints of pain in the upper left
first molar. Pain is felt as a dull pain (soreness / kemeng) of the continuous and sometimes
throbbing. The purpose of this paper is drawn up for students to understand the definition of
orofacial pain, anatomy and physiology of pain, classification, clinical aspects, principles of
diagnosis, management (the management) of orofacial pain.
Keywords: Orofacial pain, non-odontogenic pain, atypical odontalgia, neuropathic pain

BAB I PENDAHULUAN
Orofacial pain mencakup sejumlah masalah klinis yang melibatkan otot pengunyahan
atau sendi temporomandibular. Masalah yang diperoleh dapat mencakup ketidaknyamanan
pada sendi temporomandibular, kejang otot di leher, kepala dan rahang, migrain, cluster atau
sering sakit kepala, atau sakit dengan wajah, gigi atau rahang. Pada skenario, nyeri yang
dirasakan oleh pasien dirasakan sebagai dull pain (pegal/kemeng) yang kontinyu dan kadangkadang berdenyut
Pada laporan ini, skenario yang akan dibahas yaitu pasien merupakan seorang
perempuan 38 tahun yang datang dengan keluhan nyeri pada gigi molar pertama atas kiri.
Keluhan tersebut mulai dirasakan sebagai sebuah ketidaknyamanan ringan terbatas pada area
gigi yang kemudian menyebar ke setengah dari rahang atas dan kadang-kadang ke
mandibula. Kurang lebih enam bulan sebelumnya gigi terasa nyeri sekali saat mengunyah
klanting dan pada waktu itu dinyatakan giginya retak. Oleh dokter giginya lalu dirawat dalam
beberapa kali kunjungan lalu ditambal. Setelah ditambal rasa sakit tidak berhenti dan
menyebar sampai pelipis dan ke bawah telinga kiri. Nyeri tersebut dirasakan sebagai dull
pain(pegal/kemeng) yang kontinyu dan kadang-kadang berdenyut. Kondisi demikian
diperparah oleh kehangatan seperti duduk di samping perapian atau karena paparan sinar
matahari. Keluhan tersebut biasanya hilang selama tidur tetapi akan terasa kembali sekitar
satu jam setelah bangun. Gerakan mengunyah, berbicara, menguap, atau gerak mandibula
tidak banyak berpengaruh. Relasi rahang maloklusi kelas II dengan dimensi vertikal oklusi
yang berkurang dan pergeseran garis tengah rahang bawah ke kanan. Kisaran gerak sendi
temporomandibula
normal
dan
asimtomatik,
palpasi
pada
otot
trapezius
menunjukkan bilateral tenderness. Telah mendapatkan berbagai obat (amoksisilin,
gabapentin, tramadol, nimesulide, ketoprofen, rofecoxib, dan obat anti-inflamasi lainnya)
tetapi hasilnya tidak memuaskan. Hasil rontgen foto dental menunjukkan gigi dengan
tambalan amalgam tanpa kelainan dental dan periapikal yang nyata.
Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami anatomi dan
fisiologi nyeri, definisi dari orofacial pain, klasifikasi, aspek klinis, prinsip diagnosis,
manajemen (penatalaksanaan) dari orofacial pain.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


1.

Understanding Orofacial Pain


a.

Anatomy and Physiology of Pain

Nyeri akut
Nyeri akut adalah respon fisiologis yang memperingatkan kita dari bahaya. Proses Nosisepsi
menggambarkan proses normal rasa sakit dan respons terhadap rangsangan berbahaya atau
berpotensi untuk merusak jaringan normal. Ada empat proses dasar yang terlibat dalam
nosisepsi (McCaffery dan Pasero, 1999). Ini adalah:
Transduksi,
Transmisi
Persepsi
Modulasi

Transduksi
Transduksi rasa sakit dimulai ketika ujung saraf bebas (nociceptors) dari serat C dan serat Adelta neuron aferen primer menanggapi rangsangan berbahaya. Nociceptors terkena
rangsangan berbahaya ketika kerusakan jaringan dan inflamasi terjadi sebagai akibat dari,
misalnya, trauma, pembedahan, peradangan, infeksi dan iskemia. Nociceptors didistribusikan
pada ;
Struktur Somatik (kulit, otot, jaringan ikat, tulang, sendi);
Struktur Viseral (organ viseral seperti hati, saluran gastro-intestinal).
Serat C dan serat A-delta yang terkait dengan kualitas yang berbeda rasa
sakit.

Stimuli berbahaya dan tanggapan


Ada tiga kategori rangsangan berbahaya:
Mekanik (tekanan, pembengkakan, abses, irisan, pertumbuhan tumor);
Thermal (membakar, panas);
Kimia (neurotransmitter rangsang, racun, iskemia, infeksi).

Penyebab stimulasi mungkin internal, seperti tekanan yang diberikan oleh tumor atau
eksternal, misalnya, terbakar. Stimulasi ini menyebabkan pelepasan mediator kimia
berbahaya dari sel-sel yang rusak, termasuk: prostaglandin , bradikinin , serotonin , substansi
P, kalium, histamin. Mediator kimia ini mengaktifkan dan atau sensitivitas nociceptors
terhadap rangsangan berbahaya. Dengan maksud memperbaiki rasa nyeri , pertukaran ion
natrium dan kalium (de-polarisasi dan re-polarisasi) terjadi pada membran sel. Hal ini
menghasilkan suatu potensial aksi dan generasi dari sebuah impuls nyeri..
Transmisi Rasa Nyeri
Penyaluran terjadi dalam tiga tahap. Nyeri impuls ditransmisikan:
dari situs transduksi sepanjang serat nociceptor ke punggung tanduk di
sumsum tulang belakang,
dari sumsum tulang belakang ke otak batang;
melalui hubungan antara korteks, talamus dan tingkat yang lebih tinggi dari
otak.

Serat C dan serat A-delta berakhir di tanduk dorsal sumsum tulang belakang. Ada
celah sinaptik antara akhir terminal serat C dan serat A-delta dan neuron tanduk dorsal
nociceptive (NDHN). Agar impuls rasa sakit yang akan ditransmisikan dalam celah untuk
NDHN sinapsis, neurotransmiter rangsang yang dilepaskan, yang mengikat reseptor khusus
pada NDHN. Neurotransmitter adalah: adenosin trifosfat; glutamat , peptida terkait gen
kalsitonin, bradikinin , oksida nitrous , substansi P.
Impuls nyeri ini kemudian ditransmisikan dari sumsum tulang belakang untuk
membendung otak dan thalamus melalui dua jalur utama meningkat nociceptive. Ini adalah
jalan spinothalamic dan spinoparabrachial . Otak tidak memiliki pusat-pusat rasa sakit diskrit,
jadi ketika impuls tiba di thalamus mereka diarahkan untuk berbagai bidang otak dimana
mereka akan diproses.
Persepsi nyeri
Persepsi nyeri adalah hasil akhir dari aktivitas saraf transmisi rasa sakit dan mana rasa
sakit menjadi pengalaman multi-dimensi sadar. Multidimensional mengalami rasa sakit
memiliki komponen afektif-motivasi, sensorik-diskriminatif, emosi dan perilaku. Ketika
rangsangan menyakitkan ditransmisikan ke batang otak dan thalamus, daerah kortikal
5

multiple diaktifkan dan tanggapan diperoleh. Daerah ini: * sistem retikuler: Hal ini
bertanggung jawab untuk respon otonom dan motor terhadap rasa sakit dan untuk
mengingatkan individu untuk melakukan sesuatu, misalnya, secara otomatis menghapus
tangan ketika menyentuh wajan panas. Ini juga memiliki peran dalam respons afektifmotivasi untuk nyeri seperti melihat dan menilai cedera pada tangannya setelah itu telah
dihapus bentuk wajan panas.
* Korteks somatosensori: Ini adalah terlibat dengan persepsi dan interpretasi dari sensasi. Ini
mengidentifikasi intensitas, jenis dan lokasi sensasi rasa sakit dan sensasi yang berkaitan
dengan pengalaman masa lalu, memori dan aktivitas kognitif. Ini mengidentifikasi sifat
stimulus sebelum memicu respons, misalnya, di mana rasa sakit itu, seberapa kuat itu dan
bagaimana rasanya.
* Sistem limbik: Hal ini bertanggung jawab untuk respon emosi dan perilaku terhadap rasa
sakit misalnya, perhatian, suasana hati, dan motivasi, dan juga dengan pengolahan rasa sakit,
dan pengalaman masa lalu rasa sakit.
Modulasi nyeri
Modulasi nyeri melibatkan transmisi impuls nyeri mengubah atau menghambat di
sumsum tulang belakang. Ini, beberapa jalur yang kompleks yang terlibat dalam modulasi
nyeri disebut jalur bawah nyeri modulatory (DMPP) dan ini dapat menyebabkan baik
peningkatan dalam transmisi impuls nyeri (rangsang) atau penurunan transmisi (resistensi).
penghambatan Descending melibatkan pelepasan neurotransmitter inhibisi yang menghalangi
atau sebagian blok transmisi impuls rasa sakit, dan karena itu menghasilkan analgesia.
Hambat neurotransmitter yang terlibat dalam modulasi nyeri meliputi:
Endogen opioid (enkephalins dan endorfin);
serotonin (5-HT);
norepinephirine (noradrenalin);
gamma-aminobutyric (GABA),
neurotensin;
asetilkolin;
oksitosin.

Modulasi nyeri endogen membantu untuk menjelaskan variasi yang luas dalam
persepsi rasa sakit pada orang yang berbeda sebagai individu menghasilkan jumlah yang
6

berbeda dari neurotransmiter penghambatan. Opioid endogen ditemukan di seluruh sistem


saraf pusat (SSP) dan mencegah pelepasan neurotransmiter beberapa rangsang, misalnya,
substansi P, oleh karena itu, menghambat transmisi impuls nyeri.
Rasa Nyeri Kronis
Sakit kronis dapat menjadi masalah besar bagi sebagian orang dan mempengaruhi
kualitas hidup mereka. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan dalam nosisepsi, cedera atau
sakit dan dapat hasil dari kerusakan SSP saat ini atau masa lalu ke sistem saraf perifer (PNS),,
atau mungkin tidak menyebabkan (Calvino dan Grilo, 2006) organik. Patofisiologi sakit
kronis bahwa mekanisme yang tepat terlibat dalam patofisiologi nyeri kronis yang kompleks
dan tetap tidak jelas. Hal ini diyakini bahwa setelah trauma, perubahan yang cepat dan tempat
jangka panjang dalam SSP terlibat dalam transmisi dan modulasi nyeri (informasi
nociceptive) (Ko dan Zhuo, 2004).
Mekanisme central di sumsum tulang belakang, yang disebut 'wind-up', juga dikenal
sebagai hipersensitivitas atau hyperexcitability, mungkin terjadi. Wind-up terjadi ketika
berulang-ulang, panjang, stimulasi berbahaya menyebabkan neuron tanduk dorsal untuk
mengirimkan meningkatnya jumlah impuls nyeri. Pasien mungkin merasakan sakit dalam
menanggapi rangsangan yang tidak biasanya dikaitkan dengan nyeri, misalnya, sentuh. Ini
allodynia disebut. Pengolahan abnormal ini nyeri di PNS dan SSP bisa mandiri peristiwa
menyakitkan yang asli. Dalam beberapa kasus, misalnya, amputasi, cedera asli mungkin telah
terjadi pada saraf tepi, namun mekanisme yang mendasari nyeri hantu diproduksi baik di PNS
dan SSP
Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik dapat didefinisikan sebagai nyeri dimulai atau disebabkan oleh lesi
primer atau disfungsi dari sistem saraf yang dihasilkan dari;
trauma, misalnya, kompleks sindrom nyeri regional, nyeri pasca operasi
kronis,
infeksi, misalnya, neuralgia pasca-herpes ;
iskemia, misalnya, neuropati, diabetes,
kanker, kimia, misalnya, sebagai akibat dari kemoterapi (Farquhar-Smith,
2007).

Beberapa jenis nyeri neuropatik dapat berkembang ketika pegawai negeri sipil menjadi
korup, menyebabkan serat rasa sakit untuk mengirimkan impuls nyeri berulang kali dan
menjadi semakin sensitif terhadap rangsangan. Neuroplastisitas juga dapat mengembangkan
dan ditandai oleh pertumbuhan abnormal neuronal di PNS dan di tanduk dorsal sumsum
tulang belakang. Tumbuh dapat menghasilkan generasi tambahan dan transmisi impuls nyeri.
Karakteristik nyeri nyeri neuropatik neuropatik jelas berbeda dari rasa sakit nociceptive dan
dideskripsikan sebagai: * pembakaran, * kusam, kesemutan *;; * sakit * seperti sengatan
listrik; ditembak *.
2. Definition and Classification of Pain
Definisi
Definisi

nyeri

adalah

persepsi

somatik

berupa

ketidaknyamanan

yang

mengindikasikan adanya kerusakan jaringan atau potensi/ancaman terhadap kerusakan


jaringan (Tollison dkk., 2002).
Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat, yang hanya
dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang lain, mencakup pola
pikir, aktivitas seseorang secara langsung, dan perubahan hidup seseorang. Nyeri merupakan
tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan telah terjadinya gangguan fisiologikal.
Penyebab Nyeri
1. Trauma
a. Mekanik
Rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan, misalnya
akibat benturan, gesekan, luka dan lain-lain.
b. Thermis
Nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin,
misal karena api dan air.
c. Khemis
Timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau basa kuat
d. d. Elektrik

Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri yang
menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
2. Neoplasma
a. Jinak
b. Ganas
3. Peradangan
Nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau
terjepit oleh pembengkakan. Misalnya abses.
4. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah
5. Trauma psikologis
Klasifikasi nyeri menurut Smith (2009):
1. Nosiseptif
Rasa nyeri yang ditimbulkan karena adanya rangsang dari luar. Besar rasa nyeri sebanding
dengan besar kerusakan yang dialami dan rasa nyeri jenis ini bersifat protektif. Contohnya
terbakar, patah tulang, nyeri somatik atau viseral.
2. Neuropatik
Rasa nyeri yang ditimbulkan karena adanya jejas pada sistem syaraf. Besar rasa nyeri tidak
sebanding dengan besar kerusakan yang terjadi dan rasa nyeri jenis ini tidak memiliki fungsi
protektif. Rasa nyeri jenis ini akan tetap ada walaupun rangsang nosiseptif telah dihilangkan.
Contohnya neuroma, trauma pada akson.
3. Mixed pain
Rasa nyeri yang ditimbulkan oleh rangsang nosiseptif bersamaan dengan adanya jejas pada
sistem syaraf. Contohnya rasa sakit pada kaki dan punggung setelah operasi saraf pada bagian
lumbal, atau pasien dengan sindrom rasa nyeri regional (misalnya pada sistem saraf pusat
atau distrofi gerak refleks) dapat menyebabkan komplikasi rasa nyeri yang bersifat nosiseptif,
misalnya ankilosis sendi dan nyeri myofacial.
4. Idiopatik
Rasa nyeri yang tidak dapat diidentifikasi lesi penyebabnya, dan besarnya tidak sebanding
dengan kerusakan yang dialami.
Klasifikasi Nyeri
1. Menurut Tempat
9

a. Periferal Pain
Superfisial Pain (Nyeri Permukaan)
Deep Pain (Nyeri Dalam)
Reffered Pain (Nyeri Alihan) yaitu nyeri yang dirasakan pada area yang bukan
merupakan sumber nyerinya.
b. Central Pain
Terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat, spinal cord, batang otak, dll.
c. Psychogenic Pain
Nyeri dirasakan tanpa penyebab organik, tetapi akibat dari trauma psikologis.
d. Phantom Pain
Phantom Pain merupakan perasaan pada bagian tubuh yang sudah tak ada lagi,
contohnya pada amputasi. Phantom pain timbul akibat dari stimulasi dendrit yang
berat dibandingkan dengan stimulasi reseptor biasanya. Oleh karena itu, orang
tersebut akan merasa nyeri pada area yang telah diangkat.
e. Radiating Pain
Nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke jaringan sekitar.
2. Menurut Sifat
a. Insidentil : timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang
b. Steady : nyeri timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama
c. Paroxysmal : nyeri dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali dan biasanya
menetap 10 15 menit, lalu menghilang dan kemudian timbul kembali.
d. Intractable Pain : nyeri yang resisten dengan diobati atau dikurangi. Contoh pada
arthritis, pemberian analgetik narkotik merupakan kontraindikasi akibat dari lamanya
penyakit yang dapat mengakibatkan kecanduan.
3. Menurut Berat Ringannya
a. Nyeri ringan : dalam intensitas rendah
b. Nyeri sedang : menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan psikologis
c. Nyeri Berat : dalam intensitas tinggi
4. Menurut Waktu Serangan
Pada tahun 1986, The National Institutes of Health Concencus Conference of Pain
mengkategorikan 3 (tiga) tipe dari nyeri yaitu akut, kronik malignan dan kronik
10

nonmalignan. Nyeri akut timbul akibat dari cedera akut, penyakit atau pembedahan. Nyeri
kronik nonmalignan diasosiasikan dengan cedera jaringan yang tidak progresif atau yang
menyembuh. Nyeri yang berhubungan dengan kanker atau penyakit progresif disebut
Chronic Malignant Pain. Meskipun demikian, biasanya terdapat dua tipe nyeri dalam
prakteknya yaitu akut dan kronis.
a. Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur. Klien yang
mengalami nyeri akut biasanya menunjukkan gejala-gejala antara lain: respirasi
meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat.
b. Nyeri Kronis
Nyeri kronis berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih lama dan klien
sering sulit mengingat sejak kapan nyeri mulai dirasakan.
(Anonim, 2007)
c. Clinical Aspect of Orofacial Pain
Nyeri orofasial memiliki rentang kondisi yang luas dengan manifestasi yang berbeda. Ada
beberapa usaha untuk memberikan klasifikasi yang komprehensif. Namun,

materi ini

memfokuskan pada beberapa yang paling umum dan paling membingungkan dari kondisi
ini. Karena kompleksitas mereka, ditambah makna emosional dan makna psychososial regio
orofacial, diagnostik kerja dan strategi manajemen akan sering memerlukan pendekatan
interdisipliner substansial antara profesi medis, dokter gigi, psikolog dan spesialis nyeri
orofacial. (Lynch et al., 2010).
Nyeri gigi merupakan suatu gejala nyeri yang dapat timbul ketika terkena bermacammacam rangsangan, antara lain: rangsang termis yang ditandai dengan perubahan suhu,
minum minuman yang panas atau dingin; mekanis terjadi melalui masuknya makanan yang
manis dan lengket, ataupun juga elektris yaitu rasa nyeri pada saat gigi dikenai tindakan
perawatan seperti dibor. Selain adanya rangsangan, nyeri juga dapat timbul secara spontan.
Keluhan nyeri yang dikemukakan oleh setiap individu bersifat subyektif yaitu ngilu, nyeri
yang kadang timbul dan berdenyut.
Nyeri merupakan reaksi fisiologis yang ditimbulkan oleh rangsang yang mencapai
nilai ambang rasa nyeri pada reseptor nyeri. Mekanisme nyeri gigi berawal dari rangsang
11

berbahaya yang diubah impuls nyeri sampai persepsi nyeri gigi. Rangsang diterima oleh
email disampaikan ke reseptor di dentin, kemudian rangsang diubah menjadi impuls yang
kemudian disampaikan ke pulpa dan akhirnya sampai di pusat nyeri, tempat nyeri dipersepsi.
Definisi nyeri yang ditetapkan oleh International Association for The Study of Pain adalah
suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, berhubungan dengan
kerusakan jaringan yang telah terjadi atau yang akan terjadi atau digambarkan dengan katakata yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri merupakan mekanisme
pertahanan tubuh; rasa nyeri timbul bila terdapat kerusakan jaringan dan ini akan
menyebabkan penderita bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Nyeri adalah
pengalaman sensoris kompleks yang sering berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri
dianggap sebagai suatu istilah yang berhubungan dengan sensasi yang dibedakan dalam
kualitas, lokasi durasi dan intensitas rangsangnya. Nyeri merupakan pengalaman kompleks
yang meliputi tidak hanya komponen sensorik, tetapi juga melibatkan reaksi motorik atau
respons yang ditimbulkan oleh rangsang yang menimbulkan nyeri, yaitu rangsang berbahaya.
Penderita yang telah kehilangan rasa sakitnya, misalnya setelah mengalami kecelakaan pada
medula spinalis, tak akan mempunyai rasa nyeri.
Nyeri gigi merupakan respons yang ditimbulkan oleh rangsang pada reseptor nyeri di
gigi yang akan diubah menjadi impuls nyeri dan dihantarkan melalui struktur serabut saraf.
Jaringan yang hanya mengandung reseptor nyeri atau nosiseptor memiliki sensitifitas atau
kepekaan terhadap nyeri dengan tingkat kepekaan yang berbeda. Dentin dan pulpa termasuk
jaringan yang peka terhadap nyeri. Nyeri gigi terjadi bila terjadi rangsangan pada nosiseptor.
Nyeri gigi merupakan reaksi fisiologis dan atau patologis yang timbul oleh rangsangan pada
reseptor nyeri dan impulsnya dihantarkan melalui struktur serabut saraf. Para ahli
mengemukakan bahwa rasa nyeri
sukar atau tidak dapat didefinisikan dengan tepat karena sifat nyeri tersebut bersifat
subyektif, misalnya seorang individu mengatakan nyeri pada rangsangan dengan intensitas
kecil, tetapi individu yang lain harus diberikan rangsangan dengan intensitas yang lebih besar
untuk dapat merasakan nyeri.
Berdasarkan timbulnya nyeri terdapat dua rasa nyeri utama yaitu rasa nyeri cepat
(akut) dan lambat (kronis). Nyeri akut timbul kira-kira 0,1 detik setelah diberikan stimulus
nyeri, sedangkan nyeri kronis timbul 1 detik atau lebih dan kemudian bertambah secara
perlahan selama beberapa detik kadangkala beberapa menit. Nyeri gigi ditimbulkan oleh
12

rangsang yang diterima melalui struktur gigi yaitu email, kemudian diteruskan ke dentin,
sampai ke hubungan pulpa-dentin, yang mengandung reseptor nyeri dan akhirnya ke pulpa.
Reseptor nyeri tersebut merupakan nosiseptor yang berasal dari saraf maksilaris dan
mandibularis dan merupakan cabang saraf trigeminal. Rangsang yang diterima akan diubah
menjadi impuls dan dihantarkan menuju susunan saraf pusat rangsang dapat berupa rangsang
kimia, listrik, mekanis maupun termal. Email adalah jaringan yang pertama kali menerima
stimulus rangsangan. Email merupakan jaringan yang sama sekali tidak peka dan rangsang
yang sampai pada daerah tersebut tidak berubah. Rangsang pada email diteruskan ke dentin
bagian luar, kemudian kanalikuli dentin sampai ke reseptor. Rangsang pada serabut saraf
berujung bebas tersebut menimbulkan impuls nyeri yang akan menyebar ke seluruh serabut
saraf.
Cabang saraf maksilaris yang menghantarkan impuls nyeri gigi rahang atas:
1. Saraf alveolaris superior anterior, menghantarakan impuls nyeri dari nyeri gigi anterior.
2. Saraf alveolaris superior media, menghantarkan impuls nyeri gigi dari gigi premolar dan
akar mesiobukal molar pertama.
3. Saraf alveolar superior posterior, menghantarkan impuls nyeri dari gigi molar kecuali akar
mesiobukal molar pertama.
Cabang saraf mandibularis yang menghantarkan impuls nyeri dari gigi rahang bawah
yaitu saraf alveolaris inferior melalui cabang dentalis yang menghantarkan impuls dari
seluruh gigi-gigi rahang bawah. Serabut saraf lebih banyak bercabang pada kamar pulpa
dibandingkan saluran akar, dengan perbandingan 1:3. Percabangan serabut saraf semakin
meningkat pada ujung tanduk pulpa. Reseptor sensorik yang terdapat pada gigi adalah jenis
nosiseptor, yaitu ujung saraf bebas bermielin dan tidak bermielin. Reseptor ini terletak di
predentin, hubungan pulpa-dentin dan subodontoblas. Serabut saraf sensorik yang masuk ke
dalam pulpa merupakan sistem serabut saraf trigeminal yaitu berasal dari ganglion
trigeminalis (ganglion semilunaris Gasseri). Serabut saraf ini dibungkus oleh suatu selubung
yang terdiri dari kumpulan sel Schwann yang berfungsi sebagai nerolema. Sel Schwann
terdiri dari mielin yang merupakan campuran lipid dan protein. Serabut saraf bermielin ini
masuk ke pulpa melalui foramen apikal. Serabut saraf bermielin yang besar terdapat di daerah
kamar pulpa akan bercabang menjadi serabut saraf yang lebih kecil dan menyebar ke arah
koronal dan perifer gigi. Serabut saraf kemudian bercabang di daerah subodontoblas dan
membentuk suatu sistem saraf yang menyerupai suatu anyaman yang disebut plexus of
13

Raschkow. Pada daerah ini, serabut saraf akan melepaskan selubung mielinnya dan berjalan
melalui Zone of Weil. Serabut saraf tersebut akan berjalan mengelilingi prosesus odontoblas
dan berakhir sebagai reseptor pada predentin. Impuls nyeri gigi dihantarkan ke sistem saraf
pusat melalui dua jenis serabut saraf, yaitu serabut saraf tipe A-_ yang bermielin halus
dengan diameter 2-5 m, menghantarkan impuls nyeri dengan kecepatan 12-30 m / det dan
serabut saraf tipe A bermielin yang berdiameter 5-12 m menghantarkan impuls nyeri dengan
kecepatan 30-70 m/det. Serabut saraf lainnya yaitu serabut saraf tipe C yang tidak bermielin
dengan diameter 0,4-1,2 m. Serabut saraf tipe C menghantarkan impuls nyeri dengan
kecepatan 0,5-2 m/det. Kedua serabut saraf ini berakhir pada nukleus spinalis saraf
trigeminal. Impuls nyeri yang mengenai ujung saraf pulpa gigi dihantarkan ke saraf
maksilaris dan mandibularis dari saraf trigeminal. Serabut saraf ini berjalan dari ganglion
Gasseri ke nukleus sensorik dari saraf trigeminal yang terletak pada medulla oblongata dan
meluas ke segmen servikal traktus spinalis. Serabut saraf juga berjalan melalui lemniskus
trigeminalis ke nukleus postero-sentral dari talamus. Talamus merupakan pusat dari seluruh
impuls nyeri kasar yang selanjutnya diproyeksikan datang ke korteks serebri. Impuls nyeri
kasar ini akan diteruskan melalui neuron penghubung korteks serebri. Di tempat ini nyeri
sudah dapat dikenali dengan jelas baik lokasi maupun diskriminasinya serta kualitas nyeri.

Sakit Orofacial adalah alasan utama mengapa banyak pasien mencari saran dokter gigi. Ini
biasanya memiliki sebab lokal. Namun, berbagai penyakit, khususnya saraf, psikogenik dan
gangguan pembuluh darah, dapat menyebabkan orofacial pain.
Causes orofacial pain :
Berbagai orofacial lesi lokal :
a. Gangguan Neurologis:
b. Neuralgia trigeminal
c. Neoplasma ganas yang melibatkan
saraf trigeminal
d. Glossopharyngeal neuralgia
e. Herpes zoster (termasuk pasca-herpetic
neuralgia)
Psikogenik menyebabkan:
14

a. Wajah atipikal rasa sakit dan lainnya oral


gejala
Vascular gangguan:
a. Migrain
b. Migrainous neuralgia
c. Giant cell arteritis
Dirujuk nyeri:
a. Angina, nasofaring, mata dan aural
penyakit
b. Dada penyakit (jarang)
d. Category Classification of Orofacial Pain
Diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya:
1. Rasa sakit yang dikarenakan oleh penyakit local
Misalnya:
a. Gigi dan rahang
b. Sendi temporomandibular dan otot-otot yang berhubungan dengannya
c. Hidung dan sinus paranasal
d. Kelenjar ludah
e. Pembuluh darah; giant-sel arteri
f. Mukosa
g. Lymph node
Pada kelompok ini rasa sakit berhubungan dengan gejala-gejala lain dan
mempunyai sifat khusus, dengan kelainan local yang terlihat jelas baik secara klonos
maupun radiografis, sehingga dapat dilakukan penentuan diagnosa. Perawatan
keadaan local dapat menghilangkan sakit tersebut
(Gayford and Haskell, 1990).
2. Sakit yang berasal dari batang saraf dan arah perjalanan sentralnya
Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yang dapat dibedakan dengan
ada atau tidak adanya tanda-tanda fisik yang tidak normal pada sistem saraf sentral.
15

Jadi, bila rasa sakit berasal dari keadaan yang termasuk kelompok ini, maka untuk
menentukan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan neurologi dengan perhatian
khusus terhadap saraf kranial. Penyebab kelompok ini adalah:
Kelompok I. Tidak ada tanda-tanda fisik yang tidak normal pada sistem saraf sentral
a. Neuralgia trigeminal dan glosoparingeal idiopatik
b. Sindrom migrain
c. Sakit pada wajah atipikal
(Gayford and Haskell, 1990).
Kelompok II. Ada tanda-tanda fisik yang tidak normal pada sistem saraf sentral
Gangguan pada saraf baik karena tekanan, infiltrasi atau penyakit degenerasi dari
sistem saraf sentral baik ekstra maupun intrakranial (Gayford and Haskell, 1990).
3. Sakit yang berasal dari luar wajah
Rasa sakit dapat berasal dari Mata, Jantung, Tulang spinal, Oesopagus. Mata
secara alami merupakan bagian dari wajah, normalnya pasien tidak mengeluh tentang
rasa sakit dari penyakit mata atau telinga, tetapi mengeluh tentang rasa sakit dari
organ yang terserang. Sebaliknya, sakit dari struktur lain biasanya meluas ke telinga
(terutama dari gigi geraham besar bawah dan sendi temporomandibular).
Keadaan seperti ini ditandai dengan kelainan lokal yang berhubungan engan
rasa sakit, tetapi selain itu juga terlohat tanda yang samar ari penyakityang terdapat di
luar wajah yang menimbulkan rasa sakit tersebut (Gayford and Haskell, 1990).
2.

Implementation of Pain Concept On Clinical Cases


a. Principles of pain diagnosis
Sakit, nyeri, atau perasaan tidak nyaman merupakan suatu pengalaman subkjektif
yang dirasakan berbeda pada setiap orang. Menurut IASP (International Association fot
the Study of Pain), nyeri didefinisikan sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan
merupakan pengalaman emosional dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial yang
dijelaskan menurut kerusakan tersebut (Mann dan Carr, 2006)
Sensasi rasa nyeri berasal dari reseptor sakityang disampaikan sepanjang serabut
syaraf spesifik yang disebut nosiseptor. Reseptor sakit terdapat di seluruh tubuh,
16

khususnya pada kulit , permukaan sendi, periosteum (lapisan khusus yang mengelilingi
tulang), dinding arterial, dan berbagai stuktur pada anggota tubuh. Beberapa organ
memiliki sedikit reseptor (usus, otot, dll). Otak tidak memiliki reseptor rasa nyeri, oleh
karena itulah sensitifitas terhadap setiap rangsang nyeri berpotensi ditimbulkan pada otak
(Mann dan Carr, 2006).
Elemen pemeriksaan nyeri pada pasien dapat dilakukan dengan cara:
Observasi : dugaan dari jarak pergerakan (ROM : Range of Motion), kekuatan, dan
sensasi; tes rangsangan, dan evaluasi fungsional dari dasar-dasar pemeriksaan klinis.
Pemeriksaan lebih jauh pada pasien dengan rasa nyeri dipandu oleh riwayat pasien dan
secara langsung dilihat kembali pada temuan klinis dari proses pemeriksaan. Pemeriksaan
yang demikian ditujukan pada kebutuhan spesifik dari setiap pasien (Kanner, 2003).
Observasi pada pasien saat dalam keadaan istirahat dan bergerak adalah kunci dari
pemeriksaan. Catat kondisi postur pasien secara keseluruhan (general posture), postur
pasien berdasarkan bagian-bagiannya, seperti ekstremitas pasien (segmental posture), dan
bagian wajah. Kemiringan tubuh (bagian lateral tubuh bersandar sebagian saat istirahat
atau sedang berjalan) dapat mengindikasikan sakit pada tulang atau persendian pada
ekstremitas bagian bawah, atau penyakit spinal. Ekspresi wajah dapat membantu untuk
menilai sejauh mana rasa sakit yang dialami (bagaimanapun, laporan dari pasien
mengenai intensitasnya yang menetapkan standar). Isyarat visual sangat penting pada
pasien yang lemah secara kognitif dan tidak dapat memberikan deskripsi secara verbal
(Kanner, 2003).
Tes rangsangan merupakan elemen yang sangat membantu dalam menentukan
penyebab nyeri/sakit yang dirasakan. Palpasi otot, tulang-tulang yang menonjol
(persendian, insersi otot), dan gerakan-gerakan spesifik dapat mencari untuk
mengeluarkan atau memperburuk rasa sakit pasien (Kanner, 2003).
Pemeriksaan vital signs, peningkatan laju jantung dan pernafasan adalah salah satu
tanda bahwa pasien mengalami nyeri akut. Tanda-tanda kegelisahan lebih konsisten
terhadap nyeri akut, dimana adanya tanda-tanda depresi lebih berhubungan dengan nyeri
kronis. Adanya hambatan pada otot (splinting) dapat terjadi pada kedua kasus, tetapi lebih
konsisten terhadap nyeri akut (Kanner, 2003).
Ketika pasien merasakan nyeri, sistem yang paling sering terkena adalah
musculoskeletal dan neurovascular. Pembangkit nyeri yang paling sering adalah otot,
17

persendian, dan jaringan synovial (ligament, tendon, bursa) pada tulang belakang dan
ekstremitas. Pada dasarnya, nyeri juga dapat berupa neurogenik atau vascular. Sistem lain
juga butuh pemeriksaan, seperti indikasi yang didapat dari riwayat pasien (Kanner, 2003).
Beberapa tanda yang mengindikasikan nyeri leher dan bahu sehubungan dengan
adanya ketegangan otot antara lain protraksi bahu, peningkatan thoracic kyphosis,
hilangnya lordosis cervical dan ukuran dada yang membesar. Hal tersebut berhubungan
dengan adanya nyeri otot leher, scapula, dan bahu. Adanya local tenderness terhadap
palpasi, terutama pada bagian atas trapezius, levator scapulae, infraspinatus, dan otot
rhomboid juga termasuk indikasi. Jika ada rasa nyeri yang menyebar pada ekstremitas
atas, palpasi pada titik pemicunya akan menghasilkan rasa nyeri tersebut (Kanner, 2003).

b. Differentation of odontogenic and non-odontogenic pain


Nyeri odontogenik adalah nyeri yang berasal dari pulpa gigi, biasanya timbul dari dua
macam jaringan, yakni jaringan pulpa dan jaringan periodontium. Nyeri periodontium
merupakan nyeri dalam stomatik. Penyebab nyeri periodontium bervariasi antara lain
inflamasi peiodontium akibat sebab lokal seperti trauma, beban oklusal yang terlalu berat,
atau ada gigi yang impaksi; atau akibat dari tindakan profilaksis, perawatan endodonsia,
orthodonsia, preparasi mahkota, kontur gigi yang tdaik tepat, atau trauma pembedahan. Juga
bias disebabkan karena abses periodontium akut, eksaserbasi pada abses periodontium
kronnik akibat infeksi, cidera, impaksi makanan, atau resisitensi yang menurun. Dapat pula
diakibatkan oleh penyebaran inflamasi pulpa baik langsung melalui foramen apikalis atau
melalui kanal tambahan. Sebab lain yang mungkin adalah penyebaran dari infeksi gigi
tetangga (perkontinuitataum), atau infeksi tulang. Tanda nyeri periodontium yang biasa
dijupai adalah: 1. Kualitasnya tumpul atau berdenyut; 2. Ada penyebab yang jelas (poket,
abses); 3. Respon terhadap tekanan mekanik adalah proporsional terhadap jumlah tekanan
yang diaplikasikan; 4. Gigi terasa elongasi, dan 5. Anestesi lokal pada daerah periodontium
yang terkena akan meredakan nyeri (Sumawinata, 2003).
Penyebab rasa sakit lokal odontogenik dapat disebabkan karena:

Periodontal abses, dapat menyebabkan sakit dan pembengkakan. Pasien menggambarkan

rasa sakit yang tumpul, berkelanjutan, dan intensitasnya meningkat ketika mengunyah atau
ketika jaringan lunak yang menutupi dipalpasi. Rasa sakit semakin parahketika dilakukan
18

penekanan dari arah vertikal atau horisontal pada gigi. Jika proses inflamasi yang terjadi
belum mengenai pulpa, respon pulpa masih normal pada stimulus termal maupun elektrik.
Pemeriksaan radiograf terlihat sedikt perubahan pada tulang yang mendukung gigi.
Pemeriksaan klinis terlihat nodul, adanya fluktuansi pada pembengkakan tersebut,
peningkatan mobilitas dari gigi, dan adanya purulensi. Probing pada jaringan periodontal
menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien (Bricker dkk., 1994).

(Scully, 1999).

Nyeri dentinal dan nyeri pulpal.


Dentin terbuka, dapat disebabkan karena resesi gingiva dan hilangnya sementum
karena pengaruh kimia dan proses mekanis seperti erosi dan abrasi. Terpaparnya dentin
yang vital dapat menjadi sumber rasa sakit. Stimulus rasa sakit dapat berupa agen
kimiawi dan fisik, dalam jumlah yang cukup dapat perubahan pada pulpa sehingga
mempengaruhi odontoblas dan terjadi perubahan karakteristik pada vaskular sebagai
tanda dari pulpitis tahap awal (Briker, 1994).
Berdasarkan klasifikasi klinis, kondisi pulpa dapat dikategorikan menjadi pulpa sehat,
pulpitis reversibel, pulpitis irreversibel, dan nekrosis pulpa (Prpi-Mehii dan Gali,
2010).
Pada pulpa yang sehat, stimulus panas dan dingin dapat menyebabkan nyeri selama 1
hingga 2 detik. Selain itu, nyeri pulpal dan dentinal juga dapat timbul dengan adanya
kondisi hipersensitivitas dentin, yang timbul karena adanya rangsangan termal, kimiawi,
stimulus osmotik dan taktil yang mengenai dentin yang terbuka sehingga timbul nyeri
yang tajam, kuat, dan bertahan lama (Prpi-Mehii dan Gali, 2010).
Pulpitis reversibel dapat menyebabkan short-term pain pada rangsangan dingin,
namun cepat hilang ketika stimulus dihilangkan. Sedangkan pada pulpitis irreversibel,
nyeri tidak dapat hilang walaupun stimulus penyebab nyeri sudah dihilangkan (PrpiMehii dan Gali, 2010).
19

Nyeri periradikular, biasanya disebabkan oleh adanya penyebaran infeksi dari pulpa
menuju jaringan periapikal, biasanya disertai oleh pulpitis irreversibel. Gejala yang
ditimbulkan merupakan gabungan dari gejala pulpitis irreversibel, yakni sensitivitas pada
gerakan menggigit, nyeri tumpul, persisten, dan nyeri yang berdenyut. Adanya proses
inflamasi yang progresif menuju tulang alveolar, gejala yang terjadi dapat disertai dengan
timbulnya demam, malaise, pembengkakan dan rash (Prpi-Mehii dan Gali, 2010).

Differential diagnosis nyeri odontogenik (Prpi-Mehii dan Gali, 2010)

20

Nyeri non-odontogenik adalah nyeri yang terasa pada gigi tetapi disebabkan oleh
suatu proses ditempat lain, bukan pada gigi (Sumawinata, 2003). Nyeri nonodontogenik dapat
berasal dari kelenjar saliva, sinus, hidung, tenggorokan, kelenjar tiroid, mata, telinga,
esofageal cardiac sphincter dan paru-paru. Menurut Prpi-Mehii dan Gali (2010),
sindrom-sindrom nyeri pada rahang yang dapat menyebabkan sakit pada gigi dapat dibedakan
menjadi akut (neuralgia n. trigemini, cluster headaches, acute otitis media, acute
maxillary sinusitis, cardiogenic jaw-pain, sialolithiasis) dan kronis (TMJ disorders dan nyeri
otot pipi, atypical facial pain, sinusitis alergika, causalgia, postherpetic neuralgia, nyeri
fasial akibat neoplasma maligna).
Macam-macam nyeri odontogenik akut

Penyakit pada sinus paranasal dan nasofaring.Pada sinusitis akut, sebelumnya disertai
rasa dingin yang diikuti dengan rasa sakit lokal dan terasa lunak tetapi tidak terjadi
pembengkakan.

Pada pemeriksaan radiopasitas pada ara sinus, terkadang terjadi peningkatan cairan.

Rasa sakit bisa menjadi semakin parah ketika melakukan perubahan pada posisi
kepala. Pada sinusitis maksilaris, rasa sakit terasa berhubungan dengan gigi molar
atas, yang ketika dilakukan perkusi pada area tersebut terasa lunak. Sakit pada
sinusitis etmoidal dan spenoidal terasa lebih dalam hingga pada pangkal hidung.

Tumor pada sinus dapat juga menyebabkan sakit pada area orofasial jika telah terjadi
infiltrasi hingga ke nervur trigeminus.
(Scully, 1999).

21

(Prpi-Mehii dan Gali, 2010)


c. Strategic management of orofacial pain
Manajemen orofacial pain harus dilihat pada kasus tertentu. Untuk mencapai hasil
pengobatan yang optimal, praktisi harus mengatasi patofisiologi tertentu. Model tradisional
dari manajemen monodisipliner telah terbukti efektif dalam kasus-kasus di mana hubungan
penyebab definitif dan efek dapat ditentukan. Namun sifat yang multifaktorial dari kondisi
ini, dikombinasikan dengan ciri-ciri yang relevan dari nyeri kronis. Menggunakan model
multidisipliner untuk diagnosis dan manajemen mendorong integrasi rencana manajemen
dengan masukan dari semua anggota tim. Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil dengan
membahas perilaku fisik, somatik, psikologis, dan lingkungan (Gramillion, 2001).
Tujuan dari manajemen,

termasuk mengurangi

atau menghilangkan

sakit,

menghentikan proses penyakit bila memungkinkan, menormalkan fungsi, meningkatkan


kualitas hidup, dan mengurangi kebutuhan untuk perawatan jangka panjang. Penerapan
model multidisipliner pertama yang membutuhkan tim untuk sampai pada diagnosis yang
lengkap yang mencakup semua faktor fisik dan psikologis. Tujuan harus ditetapkan mengenai
pengobatan, pendekatan manajemen nyeri, keterlibatan pasien, dan rencana untuk pasien
untuk kembali ke aktivitas hidup sehari-hari. Keberhasilan tergantung pada komunikasi yang
teratur antara para anggota tim (Gramillion, 2001).

22

Anggota tim inti pelayanan klinis untuk diagnosis dan manajemen multidisiplin
orofacial pain adalah dokter gigi, physical therapist, psikolog klinis dan kesehatan, jaringan
konsultan dalam berbagai disiplin ilmu medis. Jaringan konsultan tersebut meliputi
pharmacy, neurology, otolaryngology, rheumatology, internal medicine, neurosurgery, dan
anesthesia (Gramillion, 2001).
Peran anggota tim inti pada diagnosis dan manajemen orofacial pain:
a. Dentist Clinical & Health Psychologist
Evaluasi /diagnosis
Edukasi pasien
Manajemen pharmacologic
Perawatan dental
Occlusal orthosis therapy
Koordinasi konsultasi yang tepat
Interaksi tim
b. Physical Therapist
Evaluasi /diagnosis

Edukasi pasien
Teknis
Rehabilitasi
Interaksi tim
c. Clinical & Health Psychologist
Evaluasi/ tes psikologi
Identifikasi penyebab masalah psikologis
Terapi kognitif dan tingkah laku
Manajemen nyeri dan stress
Interaksi tim

23

BAB III PERMASALAHAN


SKENARIO OROFACIAL PAIN

24

Seorang perempuan 38 tahun dengan keluhan nyeri pada gigi molar pertama
atas kiri. Mulai dirasakan sebagai sebuah ketidaknyamanan ringan terbatas pada
area gigi yang kemudian menyebar ke setengah dari rahang atas dan kadangkadang ke mandibula.kurang lebih enam bulan sebelumnya gigi terasa nyeri
sekali saat mengunyah klanting dan pada waktu itu dinyatakan giginya retak.
Oleh dokter giginya lalu dirawat dalam beberapa kali kunjungan lalu ditambal.
Setelah ditambal rasa sakit tidak berhenti dan menyebar sampai pelipis dan ke
bawah telinga kiri. Nyeri tersebut dirasakan sebagai dull pain (pegal/kemeng)
yang kontinyu dan kadang-kadang berdenyut. Kondisi demikian diperparah oleh
kehangatan seperti duduk di samping perapian atau karena paparan sinar
matahari. Keluhan tersebut biasanya hilang selama tidur tetapi akan terasa
kembali sekitar satu jam setelah bangun. Gerakan mengunyah, berbicara,
menguap, atau gerak mandibula tidak banyak berpengaruh. Relasi rahang
maloklusi kelas II dengan dimensi vertical oklusi yang berkurang dan pergeseran
garis tengah rahang bawah ke kanan. Kisaran gerak sendi temporomandibula
normal dan asimtomatik, palpasi pada otot trapezius menunjukkan bilateral
tenderness. Telah mendapatkan berbagai obat (amoksisilin, gabapentin, tramadol,
nimesulide, ketoprofen, rofecoxib, dan obat anti-inflamasi lainnya) tetapi
hasilnya tidakm emuaskan. Hasil rontgen foto dental menunjukkan gigi dengan
tambalan amalgam tanpa kelainan dental dan periapikal yang nyata

BAB IV DISKUSI
A. PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
KELUHAN UTAMA (CHIEF COMPLAINT)

Keluhan nyeri pada gigi molar pertama atas kiri


25

RIWAYAT PENYAKIT YANG SEDANG DIDERITA (PRESENT ILLNESS)

Kurang lebih 6 bulan lalu nyeri saat mengunyah klanting gigi retak ditambal
masih terasa sakit menyebar ke pelipis dan bawah telinga kiri dull pain
PAST DENTAL HISTORY
Gigi pernah ditambal dengan amalgam. Pasien dirawat dalam beberapa kali
kunjungan sehingga kemungkinan mendapatkan perawatan endodontik.
PAST MEDICAL HISTORY
Pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan berupa amoksisilin, gabapentin, tramadol,
nimesulide, ketoprofen, rofecoxib, dan obat anti-inflamasi lainnya
a. KETOPROFEN
Farmakologi :.
Ketoprofen merupakan suatu antiinflamasi non steroid dengan efek antiinflamasi, analgesik
dan antipiretik. Sebagai anti inflamasi bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin.
Pada pemberian oral kadar puncak dicapai selama 0,52 jam. Waktu paruh eliminasi pada
orang dewasa 3 jam, dan 5 jam pada orang tua. .: Indikasi :.Untuk mengobati gejala-gejala
artritis rematoid, ankilosing spondilitis, gout akut dan osteoartritis serta kontrol nyeri dan
inflamasi akibat operasi ortopedik. .: Kontra Indikasi :.
-

Hipersensitif terhadap ketoprofen, aspirin dan AINS lain.


Gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat

Dosis awal yang dianjurkan : 75 mg 3 kali sehari atau 50 mg 4 kali sehari.


Dosis maksimum 300 mg sehari. Sebaiknya digunakan bersama dengan makanan atau susu.
Injeksi IM :
50100 mg tiap 4 jam. Dosis maksimum 200 mg/hari, tidak lebih dari 3 hari.
.: Efek Samping :.
o

o
o

Mual, muntah, diare, dyspepsia, konstipasi, pusing, sakit kepala, ulkus peptikum
hemoragi perforasi, kemerahan kulit, gangguan fungsi ginjal dan hati, nyeri abdomen,
konfusi ringan, vertigo, oedema, insomnia.
Reaksi hematologi : trombositopenia.
Bronkospasma dan anafilaksis jarang terjadi.

.: Peringatan dan Perhatian :.


26

Hati-hati bila diberikan pada penderita hiperasiditas lambung.


Tidak dianjurkan penggunaan pada wanita hamil dan menyusui.
Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal.
.: Interaksi Obat :.
Pemakaian bersama dengan warfarin, sulfonilurea atau hidantoin dapat
memperpanjang waktu protrombin dan perdarahan gastrointestinal.
Pemakaian bersama dengan metotreksat dilaporkan menimbulkan interaksi berbahaya,
mungkin dengan menghambat sekresi tubular dari metotreksat.
(Anonim, 2010)
b. Vioxx (rofecoxib)
Informasi umum
Vioxx merupakan golongan antiinflamasi nonstreroid yang mengahmbat cyclooxygenase-2
(COX-2). Enzim COX-2 mengontrol konversi asam arachidonic ke dalam prostaglandin E2,
hormone yang memproduksi inflamasi.
Vioxx seringkali digunakan untuk rheumatoid arthritis pada orang dewasa. Sejak tahun 1999,
vioxx telah disahkan untuk pengobatan osteoarthritis, managemen nyeri akut pada orang
dewasa, dan perawatan bagi dysmenorrhea (menstrual pain).
Obat ini ditarik dari pasaran dunia pada tahun 2004 karena ditemukan dapat meningkatkan
resiko serangan jantung pada penggunanya.
Indikasi
Rheumatoid Arthritis
Osteoarthritis
Analgesia/Pain Relief (including Dysmenorrhea)
Efek Samping
d. Infeksi saluran pernafasan atas
e. Sakit kepala
f. Pusing
g. Diare
h. Mual
i. Heartburn
27

j. Hypertension
k. Sakit punggung
l. Kelelahan
m. Infensi saluran urinari
Sebagai tambahan, jarang terjadi tetapi dapat menjadi serius pada pasien yang menggunakan
Vioxx dan atau obat yang berhubungan dengannya dapat juga mengalami masalah pada perut,
seperti perdarahan lambung dan usus, serangan jantung, reaksi alergi dan reaksi pada kulit.
Mekanisme Aksi Obat
Vioxx merupakan obat antiinflamasi nosteroid yang berefek sebagai antiinflamasi, analgesic,
dan antipiretik. Mekanisme aksi Vioxx yaitu penghambatan oada sisntesis
prostaglandin, melalui penghambatan pada cyclooxygenase-2 (COX-2). Pada
konsentrasi terapetik pada manusia, Vioxx tidak menghambat cyclooxygenase-1
(COX-1) isoenzyme.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas. Gangguan ginjal parah
Perhatian Khusus
Kelainan pada hati, hamil dan menyusui. Riwayat penyakit ulser atau perdarahan pada GI.
Lansia atau pasien yang lemah. Pengobatan berkepanjangan, merokok dan alkoholik dapat
meningkatkan perdarahan pada GI. Sakit jantung iskemik.
Adverse Drugs Reaction
Mouth ulcers, chest pain, weight gain, atopic eczema, muscle cramps, diarrhoea, headache,
nausea; upper respiratory tract infection, hypertension, ischaemia, dyspepsia, epigastric
discomfort, heart burn, nausea, sinusitis, back pain, headache, bronchitis, urinary tract
infections.
Potentially Fatal: Renal failure; nephrotoxicity; MI.
c. Tramadol
28

Tramadol merupakan analgesik yang bekerja secara sentral yang mempengaruhi transmisi
impuls nyeri dengan mengubah mekanisme re-uptake monoamine, digunakan untuk
mengatasi nyeri akut maupun kronik seperti nyeri post operatif dan nyeri obstetrik (Jain, et
al., 2003).
Tramadol adalah analgesik opioid sintetik yang bekerja di sentral untuk mengatasi nyeri
sedang hingga berat. Efek analgesik tramadol dihasilkan melalui jalur opioid dengan cara
berikatan dengan reseptor dan jalur non-opioid (efek monoaminergik) dengan cara
menghambat pengambilan norepinefrin dan serotonin (Becker dan Phero, 2005). Opioid
dapat menghambat nyeri lebih kuat daripada AINS dengan mengaktifkan reseptor yang
tersebar di berbagai tempat di otak sehingga sinyal nosiseptif dihambat secara sentral
(Hargreaves dan Hutter, 2002).
Tramadol aman digunakan dalam jangka waktu pendek dengan efek samping utama adalah
pusing, sakit kepala, mual, sedasi, mulut kering, dan berkeringat. Efek samping yang jarang
timbul adalah takikardi, depresi pernapasan, dyspepsia, pusing. Tramadol merupakan obat
dengan kategori C (tidak menyebabkan efek teratogenik dan toksik) pada penggunaan dosis
terapeutik. Secara klinis, tramadol terbukti mempunyai efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan opioid lainnya dalam hal depresi pernapasan, konstipasi, dan bahaya
adiksi (Lewis and Han, 1997).
Menurut Lewis (1997), tramadol bekerja dengan dua macam mekanisme yang saling
memperkuat yaitu:
Berikatan dengan reseptor opioid yang ada di spinal dan otak sehingga menghambat
transmisi sinyal nyeri dari perifer ke otak.
Meningkatkan aktivitas saraf penghambat monoaminergik yang berjalan dari otak ke
spinal sehingga terjadi inhibisi transmisi sinyal nyeri.
d. Nimesulide
Nimesulide termasuk golongan OAINS terbaru yang mampu menghambat
enzim cox - 2, sehingga dapat bekerja lebih efektif dengan efek samping yang sangat
minimal terutama terhadap lambung, hepar dan jantung. Sediaan AINS (anti-inflamasi
non-steroid) yang juga dikenal sebagai COX-inhibitor menghambat aktivitas enzim
29

cyclooxygenase (COX) dalam pembentukan mediator inflamasi prostaglandin, telah


lama digunakan pada pengobatan rematik. Sediaan ini kemudian diperkenalkan dalam
penanggulangan nyeri lainnya termasuk nyeri pasca operasi. Karena sediaan ini
memberikan efek analgetik yang mengatap, AINS kurang berhasil guna bila
digunakan secara tunggal untuk mengatasi nyeri pasca operasi besar (seperti bedah
ortopedi, abdomen atau thorax). Dengan demikian AINS harus dikombinasikan
dengan analgetik opiat (Joris, 1996). Dari penelitian Henrotin dkk (1999) diketahui
bahwa nimesulide pada konsentrasi terapeutik merupakan penghambat yang kuat dari
pembentukan prostaglandin E2 dan interleukin-6.
Nimesulide merupakan AINS untuk berbagai kondisi yang memerlukan
aktivitas anti inflamasi, analgetika, antipiretika seperti OA, reumatik, ekstraartikular,nyeri dan peradangan setelah intervensi bedah dan setelah trauma akut,
dismenore. Kontraindikasi nimesulide jika terdapat ulkus peptikum aktif, insufisiensi
hati berat atau sedang, kelainan fungsi ginjal berat. Hipersensitif. Riwayat ulkus atau
pendarahan GI, gangguan koagulasi berat, hamil trimester 3, menyusui, anak. Efek
samping yang dapat terjadi antara lain ruam, urtikaria, pruritus, eritema, angioedema,
mual, nyeri lambung, nyeri abdomen, diare, konstipasi, somnolen, sakit kepala,
pusing, vertigo, oliguri, edema, hematuri, gagal ginjal, reaksi anafilaktik, dispnea,
asma (Joris, 1996).
e. Amoksisilin
Amoksisilin merupakan anti infeksi yang umum digunakan untuk mengobati
infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif seperti E. coli, P. mirabilis,
Haemophilus influenza, dan Salmonella (Istiantoro dan Gan, 2007; Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Barat, 2006). Golongan obat ini kurang efektif terhadap bakteri Grampositif bukan penghasil penisilinase (Istiantoro dan Gan, 2007). Amoksisilin juga
dapat digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram-positif
(seperti;

Streptococcus

pneumoniae,

enterococci,

nonpenicilinase-producing

Staphylococci, listeria) tetapi walaupun demikian, aminophenisilin, amoksisilin


secara umum tidak dapat digunakan secara sendirian untuk pengobatan yang

30

disebabkan oleh infeksi streprococcus dan staphilococcal (Dinas Kesehatan Provinsi


Jawa Barat, 2006).
Amoksisilin bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin-protein (PBPs Protein binding
penisilins), sehingga menyebabkan penghambatan pada tahapan akhir transpeptidase
sintesis peptidoglikan dalam dinding sel bakteri, akibatnya biosintesis dinding sel
terhambat, dan sel bakteri menjadi pecah (lisis) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Barat, 2006).
Amoksisilin tersedia sebagai kapsul atau tablet berukuran 125, 250 dan 500
mg dan sirup 125 mg / 5 mL. Dosis sehari dapat diberikan lebih kecil daripada
ampisilin karena absorpsinya lebih baik daripada ampisilin, yaitu 3 kali 250-500 mg
sehari (Istiantoro dan Gan, 2007).
Dosis pada anak: Pada umumnya pada anak < 3 bulan: 20-30 mg/kg/hari
terpisah setiap 12 jam; anak >3 bulan dan < 40 kg; dosis antara 20-50 mg/kg/hari
dosis terpisah setiap 8-12 jam. Secara khusus untuk infeksi hidung, tenggorokan,
telinga, saluran kemih dan kulit: ringan sampai sedang: 25 mg/kg/hari terbagi setiap
12 jam atau 20 mg/kg/hari setiap 8 jam. Untuk kondisi gawat: 45 mg/kg/hari setiap 12
jam atau 40 mg/kg/hari setiap 8 jam. Otitis media akut: 80-90 mg/kg/hari setiap 12
jam.Infeksi saluran nafas bawah: 45 mg/kg/hari terbagi setiap 12 jam atau 40
mg/kg/hari setiap 8 jam (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2006).
Dosis pada dewasa umum: Rentang dosis antara 250 500 mg setiap 8 jam
atau 500 875 mg dua kali sehari. Khusus: Infeksi telinga, hidung, tenggorokan,
saluran kemih, kulit: Ringan sampai sedang: 500 mg setiap 12 jam atau 250 mg setiap
8 jam.Berat: 875 mg setiap 12 jam atau 500 mg setiap 8 jam. Infeksi saluran nafas
bawah: 875 mg setiap 12 jam atau 500 mg setiap 8 jam. Endocarditis profilaxis: 2 g
sebelum prosedur operasi. Eradikasi Helicobacter pylori: 1000 mg dua kali sehari,
dikombinasikan dengan satu antibiotik lain dan dengan proton pump inhibitor atau H2
blocker (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2006).
Dosis berdasarkan fungsi ginjal: Dosis 875 mg tidak diberikan pada pasien
dengan : Clcr <30 mL/menit; Clcr 10-30 mL/menit; 250-500mg setiap 12 jam; Clcr

31

<10 mL/menit: 250 500 mg setiap 24 jam (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat,
2006).
Absorpsi obat ini cepat dan sempurna serta tidak dipengaruhi oleh makanan.
Secara luas, amoksisilin terdistribusi dalam seluruh cairan tubuh serta tulang;
penetrasi lemah kedalam sel mata dan menembus selaput otak; konsentrasi tinggi
dalam urin; mampu menembus plasenta; konsentrasi rendah dalam air susu ibu.
Metabolisme secara parsial melalui hepar (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat,
2006).
Amoksisilin kontraindikasi untuk pasien yang hipersensitif terhadap
amoksisilin, penisilin, atau komponen lain dalam obat. Efek samping dari amoksisilin
antara lain (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2006):
d. Susunan Saraf Pusat : Hiperaktif, agitasi, ansietas, insomnia, konfusi, kejang,
perubahan perilaku, pening.
e. Kulit : Acute exanthematous pustulosis, rash, erytema multiform, sindrom stevensjohnson, dermatitis, tixic ephidermal necrolisis, hypersensitif vasculitis, urticaria.
f. GI : Mual, muntah, diare, hemorrhagic colitis, pseudomembranous colitis, hilangnya
warna gigi.
g. Hematologi : Anemia, anemia hemolitik, trombisitopenia, trombositopenia purpura,
eosinophilia, leukopenia, agranulositosi.
h. Hepatic : AST (SGOT) dan ALT (SGPT) meningkat, cholestatic joundice, hepatic
cholestatis, acute cytolitic hepatitis.
i. Renal : Cristalluria

Adapun interaksi amoksisilin dengan obat lain (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat,
2006):
- Dengan Obat Lain :
32

Meningkatkan efek toksik:


1. Disulfiram dan probenezid kemungkinan meningkatkan kadar amoksisilin.
2. Warfarin kemungkinan dapat meningkatkan kadar amoksisilin
3. Secara teori, jika diberikan dengan allopurinol dapat meningkatkan efek ruam
kulit.
Menurunkan efek:
1. Kloramfenikol dan tetrasiklin secara efektif dapat menurunkan kadar amoksisilin
2. Dicurigai amoksisilin juga dapat menurunkan efek obat kontrasepsi oral.
- Dengan Makanan : -

Amoksisilin dapat memberikan pengaruh terhadap (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa


Barat, 2006):
- Terhadap Kehamilan : Faktor risiko : B, Data keamanan penggunaan pada ibu hamil
belum diketahui.
- Terhadap Ibu Menyusui : Karena amoksisilin terdistribusi kedalam ASI (air susu
ibu) maka dikhawatirkan amoksisilin dapat menyebabkan respon hipersensitif untuk bayi,
sehingga monitoring perlu dilakukan selama menggunakan obat ini pada ibu menyusui.
- Terhadap Anak-anak : Data tentang keamanan masih belum diketahui.
- Terhadap Hasil Laboratorium : Berpengaruh terhadap hasil pengukuran :
Hematologi dan hepar.
F Gabapentin
Gabapentin merupakan suatu analog GABA. Gabapentin tidak bekerja pada
reseptor GABA, melainkan berperan dalam metabolisme GABA. Waktu paruh
gabapentin pendek, yakni 5-8 jam. Gabapentin tidak dimetabolisme dan tidak
menginduksi enzim-enzim di hati dan tidak terikat pada protein plasma. Obat ini
33

digunakan sebagai terapi tambahan untuk kejang parsial dan kejang umum tonik
klonik (biasanya dibutuhkan dalam dosis tinggi), dan juga dipakai untuk mengobati
nyeri neuropatik seperti neuralgia pasca herpes (Utama dan Gan, 2007).
Menurut Utama dan Gan (2007), dosis gabapentin (dewasa dan anak > 12
tahun) adalah 900-1800 mg/hari. Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak
kurang dari 12 tahun. Sedangkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal,
dosisnya harus disesuaikan.
Gabapentin dapat menyebabkan beberapa efek samping seperti ataksia,
pusing, sakit kepala, somlonen, dan tremor. Belum ada penelitian tentang keamanan
gabapentin pada wanita hamil, menyusui, anak-anak, dan usia lanjut. Tidak ada
interaksi obat yang bermakna dengan gabapentin. Gabapentin tidak memperngaruhi
obat antiepilepsi lainnya (Utama dan Gan, 2007).

B. PEMERIKSAAN OBJEKTIF
Pemeriksaan ekstraoral:
-

Relasi rahang kelas II

DVO berkurang

Midline RB bergeser ke kanan

Gerak sendi TMJ normal dan asimtomatik

Palpasi otot trapezius bilateral tenderness

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rongen foto menunjukkan tidak adanya kelainan dental dan periapikal yang nyata

D. DIFFERENTIAL DIAGNOSA
A. Atypical Odontalgia
Atypical odontalgia adalah nyeri fasial atipikal yang nyata pada gigi normal.
Diagnosis ini biasanya disadari oleh dokter gigi setelah gagalnya beberapa perawatan yang
34

dilakukan. Nyeri ini biasanya berhubungan dengan prosedur dental atau trauma pada regio
yang dirasa sakit. Walaupun penyebab penyakit ini belum jelas, namun dapat dimungkinkan
penyakit ini terjadi karena mekanisme putusnya saraf afferen yang disebut deafferentasi
(Graff-Radford dan Solberg, 1992).
Digunakan sebagai diagnosis pada pasien dengan nyeri kronis pada gigi dan gingiva
yang disebabkan dari sumber lain dan tidak termasuk dalam kategori diagnosis lainnya
(Greenberg dkk., 2008).
Definisi
Atypical odontalgia adalah nyeri hebat, kronis, dan menetap pada satu atau beberapa
gigi yang normal secara klinis tanpa dijumpai adanya keadaan abnormal pada tes perkusi, tes
thermal, tes elektrik atau radiografi (Biron, 1996; Blasberg dan Greenberg, 1994). Umumnya
terjadi tanda-tanda neuropatik seperti allodynia dan hyperalgesia. Panas, dingin, dan tekanan
tidak mempengaruhi kondisi nyeri atypical odontalgia (Blasberg dan Greenberg, 1994).
Karakteristik atypical odontalgia adalah adanya nyeri setelah tindakan endodontik atau
pencabutan gigi dan menetap pada daerah bekas pencabutan gigi atau meluas ke gigi yang
berdekatan (Alberts, 2009). Nyeri atypical odontalgia biasanya pada gigi dan tulang alveolar
dan tidak mengganggu tidur pasien (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis
dan Secci, 2007). Pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Biasanya nyeri terjadi pada daerah
trauma, tetapi dapat meluas ke daerah yang berdekatan baik secara unilateral maupun
bilateral (Matwychuk, 2004).
Epidemiologi
Insiden atypical odontalgia lebih sering dijumpai pada wanita, khususnya yang
berusia 40 tahun (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007,
Alberts, 2009). Atypical odontalgia bisa mengenai semua umur, kecuali anak-anak
(Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008). Atypical odontalgia lebih sering
mengenai daerah molar dan premolar maksila (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson,
2008; Mellis dan Secci, 2007, Alberts, 2009). Pada sebagian besar pasien atypical odontalgia
tidak dijumpai adanya penyakit atau penyebab lain. Pada sebagian kecil pasien atypical
odontalgia dijumpai gejala yang serius seperti stres dan depresi (EAOM, 2005). Informasi
35

epidemiologi menunjukkan bahwa 3-6% nyeri atypical odontalgia terjadi setelah perawatan
endodonti (Matwychuk, 2004).
Manifestasi klinik
Manifestasi yang utama adalah rasa sakit tumpul (dull) yang konstan tanpa adanya
penyebab yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan klinis maupun laboratoris. Atypical
odontalgia biasa terjadi pada wanita umur 40-50 tahun. Onset rasa sakit dimulai setelah
adanya perawatan dental, seperti bedah mulut, endodontik, atau prosedur restorasi, sedangkan
pada pasien lain onset didahului dengan pengobatan multipel seperti antibiotik,
kortikosteroid, dekongestan, dan antikonvulsan. Pasien akan berusaha mencari perawatan
untuk menghilangkan rasa sakitnya, tetapi hal ini hanya akan menghilangkan rasa sakit untuk
sementara. Rasa nyeri dapat berlangsung pada satu area atau menyebar ke area lainnya, serta
dapat berlangsung secara unilateral, cross-midline, dan dapat melibatkan maksila serta
mandibula. Pasien dengan atypical odontalgia memiliki gambaran radiografis serta
pemeriksaan laboratoris yang normal (Greenberg dkk., 2008).
Etiologi dan patogenesis
Sebuah teori menyatakan bahwa atypical odontalgia merupakan salah satu bentuk dari
phantom-pain pada gigi karena gejalanya timbul setelah dilakukan prosedur perawatan seperti
endodontik atau pencabutan. Atypical odontalgia merupakan jenis rasa nyeri yang bersifat
vaskular, neuropatik, dan berlangsung terus menerus. Beberapa pasien juga dilaporkan
memiliki pengaruh psikogenik terhadap rasa nyeri yang mereka alami, sehingga diduga
etiologi dari atypical odontalgia adalah kombinasi dari neuropatik dan psikogenik
(Greenberg dkk., 2008).
Etiopatogenesis
Atypical odontalgia umumnya terjadi setelah ekstirpasi pulpa, apikoektomi, dan
pencabutan gigi, meskipun demikian atypical odontalgia dapat juga idiopatik (Matwychuk,
2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Alberts, 2009). Trauma wajah dan pemblokan saraf
alveolaris inferior juga ditemukan sebagai penyebab atypical odontalgia. Atypical odontalgia
juga sering diragukan dengan komplikasi paska perawatan normal atau komplikasi dari paska
trauma (Matwychuk, 2004).
36

Patofisiologi atypical odontalgia masih belum jelas, dapat idiopatik, gangguan


kejiwaan, atau gangguan saraf. Teori lain menyatakan terputusnya sistem saraf afferen
(deafferentasi) yaitu hilangnya atau gangguan serabut saraf sensori akibat luka traumatik
yang menyebabkan perubahan pada sistem saraf tepi, saraf pusat, dan saraf otonom
(Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007; Conti, dkk., 2003).
Deafferentasi ini menyebabkan nyeri kronik dan gejala lain seperti paresthesia dan
dysesthesia. Mekanisme lain dari patogenesis nyeri atypical odontalgia adalah sensitisasi
serabut saraf, regenerasi saraf afferent yang berdekatan, aktivasi saraf simpatik afferent,
aktivasi silang afferen, hilangnya mekanisme penghambat dan perubahan phenotypic saraf
afferen (Matwychuk, 2004).
Nyeri atypical odontalgia memiliki mekanisme yang bervariasi, ada yang ringan,
kompleks, dan ada yang tidak jelas. Kerusakan saraf tepi mudah dideteksi. Pada bagian saraf
tulang alveolar yang rusak, hiperaktif saraf menyebabkan terjadinya nyeri yang menetap.
Nyeri sering menetap dengan blok anestesi. Hiperaktivitas CNS dapat menyebabkan nyeri
yang menetap pada gigi. Kerusakan saraf tepi dapat menyebabkan perubahan pada cabang
kedua saraf trigeminal yang bersinaps dengan nosiseptor saraf nyeri. Perubahan terjadi secara
memusat dimana transmisi nyeri terjadi secara terus-menerus ke pusat cortical yang lebih
tinggi (Ganzberg, 1999).
Diagnosa
Diagnosa berdasarkan gejala primer seperti lokasi nyeri dan sifat nyeri, dan
pengeliminasian penyakit lain yang memiliki gejala yang hampir sama dengan atypical
odontalgia. Tes yang mungkin digunakan adalah diagnostic dental x-ray, panoramix, CT
scan, dan MRI. Jika anestesi blok tidak dapat mengurangi nyeri atau memberi hasil yang
meragukan, maka dapat didiagnosa sebagai atypical odontalgia (Melis dkk., 2003). Kriteria
diagnosa atypical odontalgia menurut Graff-Radfort dan Solberg pada tahun 1992 adalah
nyeri pada gigi dan sekitar gigi, nyeri yang terus-menerus dan menetap lebih dari 4 bulan,
tidak diketahui lokasi nyeri, serta nyeri tidak hilang dengan anestesi blok (Matwychuk, 2004;
Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007; Blasberg dan Greenberg, 2003). Pada
tahun 1995, Pertes dkk memperbaharui kriteria tersebut dengan menambahkan kriteria
diagnosa atypical odontalgia yaitu nyeri yang tidak berespon terhadap perawatan gigi
(Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008).
37

Perawatan
Hal yang paling penting diketahui adalah bahwa tindakan dental harus dicegah dalam
perawatan atypical odontalgia. Beberapa literatur menyatakan bahwa perawatan farmakologi
sering berhasil dalam perawatan atypical odontalgia. Beberapa nama-nama obat yang telah
dicoba dan efektif untuk mengontrol nyeri atypical odontalgia antara lain. Gabapentin,
Clonazepam, Baklofen, Aspirin, Phentolamine infusion, Kokain, Doxepin, Monoamine
oxidase inhibitors, Opioid, Suntikan anestesi lokal dan kortikosteroid, Penghambat saraf
simpatik dan parasimpatik, Topical capsaicin, Eutectic mixture of lidocaine dan prilocaine
bases (Mellis dan Secci, 2007).
Obat yang paling efektif adalah trisiklik antidepressan seperti Amitriptilin sendiri atau
kombinasi dengan phenothiazin (Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007).
Hasilnya biasanya baik dan pada banyak pasien dapat menghilangkan rasa nyeri dengan
sempurna. Marbach melaporkan 17 dari 25 kasus atypical odontalgia berhasil dirawat dengan
trisiklik antidepressan. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Brooke, yang mana 50% dari 22
pasien sembuh permanen dengan trisiklik antidepressan (Mellis dan Secci, 2007). Perawatan
di mulai dengan dosis 20-25 mg amitriptilin yang digunakan untuk mengontrol nyeri dan efek
samping. Dosis ini digunakan sampai nyeri membaik, biasanya ditingkatkan sampai 75 mg
per hari, tetapi efek samping yang terjadi dapat mencegah dokter/klinisi meningkatkan dosis.
Penting untuk membicarakan efek samping obat ini kepada pasien. Efek samping amitriptilin
adalah pening, ngantuk berat, sakit kepala, xerostomia, konstipasi, meningkatkan nafsu
makan dan berat badan, nausea, hipotensi, aritmia, takikardia, gelisah, sedasi, dan diare
(Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007). Antidepresan yang lain yang
memiliki efek yang sama adalah imipramin, sedangkan nortriptilin menyebabkan rasa
ngantuk, hipotensi dan arritmia yang tidak seberat pada amitriptilin. Gejala tidak dapat
dikontrol dengan penggunaan tunggal trisiklik antidepressan, tetapi phenothiazin dapat
digunakan untuk pengobatan (Mellis dan Secci, 2007).
Meskipun demikian, perhatian khusus seharusnya diberikan kepada respon pasien
terhadap pengobatan antidepressan karena efek samping termasuk tardive dyskinesia, yang
disebut dengan penyakit extrapyramidal permanen. Kegunaan antidepressan seharusnya
dikurangi pada kasus-kasus yang tidak dapat disembuhkan dan dosisnya seharusnya
dikurangi dan tidak dilanjutkan setelah nyeri terkontrol (Mellis dan Secci, 2007).
38

Atypical odontalgia adalah nyeri hebat, kronis, dan menetap pada satu atau beberapa
gigi yang normal secara klinis tanpa dijumpai adanya keadaan abnormal pada tes perkusi, tes
thermal, tes elektrik atau radiografi (Biron, 1996; Blasberg dan Greenberg, 1994). Pasien
dengan AO memiliki gambaran radiografi dan tes laboratoris klinis yang normal (Greenberg
dan Glick, 2003).
B. Neuralgia Trigeminal
Definisi
Secara harfiah, Neuralgia Trigeminal berarti nyeri pada nervus Trigeminus, yang
menghantarkan rasa nyeri menuju ke wajah. Neuralgia Trigeminal adalah suatu keadaan yang
memengaruhi N.V, nervus kranialis terbesar. Dicirikan dengan suatu nyeri yang muncul
mendadak, berat, seperti sengatan listrik, atau nyeri yang menusuk-nusuk, biasanya pada satu
sisi rahang atau pipi. Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat
pula terserang. Pada kebanyakan penderita, nyeri berkurang saat malam hari, atau pada saat
penderita berbaring (Anurogo, 2008).
Menurut Dewanto dkk. (2007), Neuralgia trigeminal/tic douloureux adalah gangguan
pada saraf trigeminal yang menyebabkan episode nyeri yang terus-menerus seperti tertusuk,
dan tersetrum listrik di daerah wajah yang bersesuaian dengan distribusi cabang saraf, seperti
di daerah bibir, mata, hidung, kulit kepala atas, dahi, rahang atas dan rahang bawah.
Neuralgia trigeminal lebih sering terjadi pada usia muda dan wanita lebih banyak terserang
daripada pria.
Rasa sakit pada neuralgia trigeminal khas yaitu rasa sakit ini hanya sebatas pada lajur
anatomis atau salah satu cabang saraf trigeminus. Kondisi ini agak lebih banyak terjadi pada
wanita dibandingkan dengan pria dan terjadi pada usia diatas umur 40 tahun. Rasa sakit
sangat hebat, dan digambarkan sebagai rasa yang menusuk, menyayat atau merunyak.
Penderita dapat menunjukan daerah pemicu (trigger spot) pada kulit atau di dalam mulut,
sementara penderita lain melaporkan tersenyum, makan atau membasuh muka dapat memicu
timbulnya rasa sakit. Nyeri seperti tikaman , berlangsung singkat , datangnya tiba-tiba dan
berulang yang dirasakan didaerah persarafan satu atau lebih, cabang-cabang dari saraf
trigeminus (N.V). Patogenesis nyeri neuropatik di sistem saraf sentral dan perifer (Lewis,
1998; Greenberg et al, 2008).
39

Pemeriksaan klinis tidak akan menunjukan

suatu abnormalitas kecuali bila ada

trigger spot atau gerak pemicu. Pemeriksaan histologis dari bahan otopsi menunjukan bahwa
neuralgia trigeminal dapat timbul sebagai akibat demielinasi sepanjang pendistribusian saraf
trigeminus (Lewis, 1998).
Penelitian lain menunjukan bahwa penderita mempunyai arteri intrakranial yang
aberan di daerah serebelo-pontin. Jarang sekali didapati penyakit organik yang menyertainya,
tetapi neoplasma nasofaring, antrum maksilaris serta telinga tengah, dan aneurisma kadangkadang dinyatakan mempunyai hubungan dengan penyakit ini dan karena itu harus mendapat
perhatian. Neuralgia trigeminal yang terjadi di bawah umur 40 tahun biasanya disertai
penyakit sistemis, terutama skelerosis multipel atau infeksi HIV (Lewis, 1998).
Neuralgia Trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang
berulang. Disebut Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih
saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Saraf yang cukup besar ini terletak di otak dan
membawa sensasi dari wajah ke otak. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf
Trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal
yang diakibatkan oleh berbagai penyebab. Serangan neuralgia Trigeminal dapat berlangsung
dalam beberapa detik sampai semenit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa
seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup kerap, berat, seperti nyeri
saat kena setrum listrik (Lewis, 1998; Greenberg et al, 2008).
Etiologi
Mekanisme patofisiologis yang mendasari NT belum begitu pasti, walau sudah sangat
banyak penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua teori tentang mekanisme harus
konsisten dengan:
1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang lama.
2. Umumnya ada stimulus 'trigger' yang dibawa melalui aferen berdiameter besar (bukan
serabut nyeri) dan sering melalui divisi saraf kelima diluar divisi untuk nyeri.
3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion gasserian dan/atau akar-akar
saraf sering menghilangkan nyeri.
4. Terjadinya NT pada pasien yang mempunyai kelainan demielinasi sentral (terjadi pada 1%
pasien dengan sklerosis multipel).
Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral dibanding
saraf tepi. Paroksisme nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik adalah sering dapat
40

dikontrol dengan obat-obatan anti kejang (karbamazepin dan fenitoin). Tampaknya sangat
mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukkan suatu cetusan 'aberrant' dari aktivitas
neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan input melalui saraf kelima, berasal dari
sepanjang traktus sentral saraf kelima, atau pada tingkat sinaps sentralnya (Anurogo, 2008).
Berbagai keadaan patologis menunjukkan penyebab yang mungkin pada kelainan ini.
Pada kebanyakan pasien yang dioperasi untuk NT ditemukan adanya kompresi atas nerve
root entry zone' saraf kelima pada batang otak oleh pembuluh darah (45-95% pasien). Hal ini
meningkat sesuai usia karena sekunder terhadap elongasi arteria karena penuaan dan
arteriosklerosis dan mungkin sebagai penyebab pada kebanyakan pasien (Anurogo, 2008).
Otopsi menunjukkan banyak kasus dengan keadaan penekanan vaskuler serupa tidak
menunjukkan gejala saat hidupnya. Kompresi nonvaskuler saraf kelima terjadi pada beberapa
pasien. 1-8% pasien menunjukkan adanya tumor jinak sudut serebelopontin (meningioma,
sista epidermoid, neuroma akustik, AVM) dan kompresi oleh tulang (misal sekunder terhadap
penyakit Paget). Tidak seperti kebanyakan pasien dengan NT, pasien ini sering mempunyai
gejala dan/atau tanda defisit saraf kranial. Penyebab lain yang mungkin, termasuk cedera
perifer saraf kelima (misal karena tindakan dental) atau sklerosis multipel, dan beberapa
tanpa patologi yang jelas (Anurogo, 2008).
Patofosiologi
Neuralgia Trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan sistem
persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi
adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan
seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang
otak. Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada sudut
serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 23% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus yang tidak diketahui sebabnya.
Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa mempunyai penyebab perifer maupun sentral.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun
penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada nukleus/ inti saraf
ini yang menimbulkan produksi ectopic action potential pada saraf Trigeminal. Keadaan ini,
yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur
sensorik yang hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri.
Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang
41

paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus mengakibatkan terjadinya


serangan nyeri (Anurogo, 2008).
Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara sentral
membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang bagaimana multipel sklerosis
bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan adanya demyelinating plaques pada tempat
masuknya saraf, atau pada nukleus sensorik utama nervus trigeminus (Anurogo, 2008).
Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes, dianggap bahwa
lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat terjadinya nyeri. Tentang
mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai waktu cukup lama dikatakan karena
setelah sembuh dan selama masa regenerasi masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri hingga
kurun waktu yang berbeda. Pada orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada
usia lanjut nyeri bisa berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat dan dalam
dosis yang adekuat akan sangat mempersingkat lamanya nyeri ini (Anurogo, 2008).
Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab umum dari
sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang berdenyut, baik dari arteri
maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak kompresi berhubungan dengan gejala klinis
yang timbul. Misalnya, kompresi pada bagian rostral dari nervus trigeminus akan
mengakibatkan neuralgia pada cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya.
Menurut Calvin, sekitar 90% dari neuralgia Trigeminal penyebabnya adalah adanya arteri
"salah tempat" yang melingkari serabut saraf ini pada usia lanjut. Mengapa terjadi
perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan bahwa mungkin sebabnya terletak
pada predisposisi genetik yang ditambah dengan beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok,
pola diet, dan sebagainya. Pembuluh darah yang menekan tidak harus berdiameter besar.
Walaupun hanya kecil, misalnya dengan diameter 50-100 um saja, sudah bisa menimbulkan
neuralgia, hemifacial spasm, tinnitus, ataupun vertigo. Bila dilakukan microvascular
decompression secara benar, keluhan akan hilang (Anurogo, 2008).
Manifestasi Klinis
Karakteristik pasien dengan trigeminal neuralgia adalah adanya episode rasa sakit
yang kuat seperti menusuk selama beberapa detik kemudian hilang sama sekali. Rasa sakit
seperti kejutan listrik dan biasanya terjadi secara unilateral. Cabang nervus maksilaris adalah
cabang yang paling sering terinfeksi (Greenberg dkk., 2008).
42

Rasa sakit pada trigeminal neuralgia diinisasi dengan sentuhan ringan pada zona
trigger pada kulit/mukosa pada area inervasi cabang yang terlibat. Biasanya zona trigger
terletak pada sulkus nasoabial dan sudut mulut. Zona trigger intraoral dapat merancukan
diagnosis karena kemungkinan kelainan dental. Untuk membedakannya, dapat diberikan
makanan tanpa dikunyah atau perabaan pada mukosa sekitar. Bila perabaan pada mukosa
menyebabkan rasa sakit artinya pasien menderita trigeminal neuralgia, sedangkan bila
disebabkan oleh kelainan dental, rasa sakit baru terjadi bila diaplikasikan tekanan pada gigi
yang dicurigai. Setelah timbul rasa sakit akan ada periode refraktori di mana sentuhan pada
zona trigger tidak akan menimbulkan rasa sakit. Rasa sakit dapat timbul bervariasi
jumlahnya, dari sekali atau dua kali perhari sampai beberapa kali permenit (Greenberg dkk.,
2008).
Gejala klinis

Serangan nyeri paroksisimal berlangsung beberapa detik sampai kurang dari 2 menit .

Nyeri dirasakan disepanjang persarafan satu atau lebih cabang N.V.

Awitan nyeri tiba-tiba,berat,tajam seperti tikaman,panas atau seperti kesetrum dan


superfisial .

Alodinia ( rangsangan antara lain : makan,bicara,cuci muka,sikat gigi,kena angin )

Diantara dua serangan tidak ada rasa nyeri atau kalaupun ada hanya berupa nyeri
ringan dan tumpul .

Bentuk serangan pada masing-masing penderita sama (stereotip).


(Lewis, 1998; Greenberg et al, 2008).

Gambaran Klinis Neuralgia Trigeminal


Serangan Trigeminal neuralgia dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai
semenit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara
yang lain merasakan nyeri yang cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik.
Penderita Trigeminal neuralgia yang berat menggambarkan rasa sakitnya seperti ditembak,
kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya. Serangan ini hilang timbul. Bisa
jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun, bisa juga sakit menyerang setiap hari atau
sepanjang Minggu. Lalu, tidak sakit lagi selama beberapa waktu. Trigeminal neuralgia
43

biasanya hanya terasa di satu sisi wajah, tetapi bisa juga menyebar dengan pola yang lebih
luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi wajah dlm waktu bersamaan (Anurogo, 2008).
Klasifikasi
Menurut Anurogo (2008), Neuralgia Trigeminal (NT) dapat dibedakan menjadi:
1. NT Tipikal,
2. NT Atipikal,
3. NT karena Sklerosis Multipel,
4. NT Sekunder,
5. NT Paska Trauma, dan
6. Failed Neuralgia Trigeminal.
Bentuk-bentuk neuralgia ini harus dibedakan dari nyeri wajah idiopatik (atipikal) serta
kelainan lain yang menyebabkan nyeri kranio-fasial.
Pemeriksaan
Kunci diagnosis adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan test neurologis
(misalnya CT scan) tak begitu jelas. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan
terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada
distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya. Beberapa kasus
mulai pada divisi 1 (Anurogo, 2008).
Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek (kurang
dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf Trigeminal, misalnya bagian
rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu dirangsang
(trigger area atau trigger zone). Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau
sudut mulut. Yang unik dari trigger zone ini adalah rangsangannya harus berupa sentuhan
atau tekanan pada kulit atau rambut di daerah tersebut. Rangsang dengan cara lain, misalnya
dengan menggunakan panas, walaupun menyebabkan nyeri pada tempat itu, tidak dapat
memancing terjadinya serangan neuralgi. Pemeriksaan neurologik pada neuralgi Trigeminal
hampir selalu normal. Tidak terdapat gangguan sensorik pada neuralgi Trigeminal murni.
Dilaporkan adanya gangguan sensorik pada neuralgia Trigeminal yang menyertai multiple
sclerosis. Sebaliknya, sekitar 1-2% pasien dengan MS juga menderita neuralgia Trigeminal
yang dalam hal ini bisa bilateral (Anurogo, 2008). Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan
gangguan sensorik berupa hiperalgesia dan alodinia (Dewanto dkk., 2007).
44

Suatu varian neuralgia Trigeminal yang dinamakan tic convulsive ditandai dengan
kontraksi sesisih dari otot muka yang disertai nyeri yang hebat. Keadaan ini perlu dibedakan
dengan gerak otot muka yang bisa menyertai neuralgi biasa, yang dinamakan tic douloureux.
Tic convulsive yang disertai nyeri hebat lebih sering dijumpai di daerah sekitar mata dan lebih
sering dijumpai pada wanita (Anurogo, 2008).
Trigeminal neuralgia belum dapat dipastikan penyebabnya namun 10% kasus
dideteksi adanya patologis seperti tumor, demyelinasi plak pada multiple sclerosis atau
malformasi vaskular dan biasanya dapat didiagnosis dengan Computed Tomography dan MRI
(Greenberg dan Glick, 2003; Sobel et al, 1980; Tash et al, 1989).

E. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis kerja yang paling sesuai dengan skenario yang didapat adalah Atypical
Odontalgia

F. RENCANA PERAWATAN
Penatalaksanaan Atypical Odontalgia :
Pengobatan

atypical

odontalgia

mirip

dengan

kondisi

neuropatik

lainnya.

Antidepresan trisiklik (TCA), digunakan sendiri atau bersama dengan fenotiazin, telah
menunjukan hasil yang baik. Obat ini memiliki kemampuan menghasilkan analgesik pada
dosis rendah.
Efek samping yang tidak diinginkan mengharuskan TCA dititrasi dengan dosis klinis
efektif yang terendah dan dihentikan jika gejala sakit mulai berkurang. Aplikasi topikal
capsaicin untuk jaringan yang sakit juga telah diteliti sebagai pengobatan atypical odontalgia.
Nyeri ini berkurang karena serabut C kehabisan substansi P yang memiliki kemampuan
mengurangi dan merangsang neuron orde kedua untuk menyampaikan sinyal rasa sakit ke
sistem saraf pusat (Matwychuk, 2004).
Menurut Mellis and Secci (2007), atypical odontalgia dapat diberikan obat
amitriptyline dengan dosis 10 mg 1 kali sehari sebelum tidur. Dosis berangsur-angsur
45

meningkat satu bulan kemudian sampai 30 mg dengan peningkatan moderat dan meningkat
menjadi 60 mg (20 mg 3 kali sehari) selama bulan tersebut. Pada saat itu pasien melaporkan
gejala lengkapnya. Dosis dipertahankan stabil selama 30 hari tanpa kambuh rasa sakit. Obat
berangsur-angsur menurun dan kemudian berhenti dalam waktu 3 bulan. Pada 1 dan 3 bulan
follow up pasien tetap asimptomatik.
Pasien dengan athypical odontalgia sulit untuk dirawat dan terkadang membutuhkan
pemberian medikasi untuk mengobati rasa nyeri seperti tricyclic antidepresan, antikonvulsan,
serotonin, dan norepinephrine reuptake inhibitor, opioid, benzodiazepine dan anestetik yang
memiliki target ke mekanisme nyeri neuropatik. Tidak seperti medikasi penghilang nyeri
pada umumnya, medikasi untuk pasien athypical odontalgia juga diperuntukkan bagi pasien
dengan depresi, epilepsi, atau insomnia (Clark, 2006; Melis dkk., 2003).

BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan tanda, gejala, dan pemeriksaan yang ada, kasus pada skenario ini lebih
cenderung sesuai dengan ciri-ciri pada Atypical Odontalgia.
Medikasi amitriptyline tampaknya menjadi perlakuan pilihan dalam pemilihan obat
untuk pengobatan AO. Kepuasan dalam meringankan rasa sakit biasanya dicapai dengan
46

menggunakan obat ini. Yang paling penting aspek pasien AO adalah membuat yang benar
diagnosis, yang pada gilirannya memungkinkan dokter untuk mengambil pendekatan
konservatif dan menghindari yang tidak perlu bahkan kesalahan diganosis.

DAFTAR PUSTAKA

Alberts IL. Idiopathic Orofacial Pain: A Review. The Internet J of Pain 2009; 2(6): 1-8.
Anonim. 2010. Ketoprofen. www.hexpharmjaya.com/page/ketoprofen.aspx. Diakses tanggal
14 Desember 2010
47

Anonim.

2002,

Vioxx

(rofecoxib).
http://www.medilexicon.com/drugs/vioxx.php. diakses tanggal 14
Desember 2010

Anurogo, D., 2008, Neuralgia Trigeminal, diunduh dari


http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080414210025, 11/12/2010
Becker, D.E., Phero, J.C., 2005, Drug Therapy in Dental Practice: Nonopioid and Opioid
Analgesics, Anesth Prog, 52: 104-9
Biron CR. Atypical Odontalgia is often Dismissed as Vivid Imagination During diagnosis.
RDH 1996; 16: 40-4.
Blasberg B, Greenberg MS. Oral Symptoms Without Apparent Physical Abnormality. In:
Lynch Ma, Brightman VJ, Greenberg MS, eds. Burkets Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 9th ed. Philadelphia: JB Lippincott Co., 1994: 374-94.
Blasberg B, Greenberg MS. Orofacial Pain. In: Greenberg MS, Glick M, eds. Burkets Oral
Medicine Diagnosis and Treatment. 10th ed. Hamilton: BC Decker Inc., 2003: 30740.
Clark, G. T., 2006, Persistent Orodental Pain, Athypical Odontalgia, and Phantoom Tooth
Pain: when are They Neuropathic Disorders, J Calif Dent Assoc, 34 (8): 599-609.
Conti PCR, Pertes RA, Heir GM. Orofacial Pain: Basic Mechanisms and Implication for
Successful Management. Pain 2003; 11(1): 1-7.
Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B., Turana, Y., 2007, Panduan Praktis Diagnosis &
Tata Laksana Penyakit Saraf, EGC, Jakarta
Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2006. Informasi Obat: Amoksisilin.


http://www.diskes.jabarprov.go.id/. diunduh 12 Desember 2010.
EAOM. Atypical and Idiopathic Facial Pain. School of Dental Medicine University of
Zagreb 2005.
Graff-Radford SB, Solberg WK. Atypical odontalgia. J Craniomandib Disord. 1992
Fall;6(4):260-5.
Greenberg, M S and Glick, Michael. 2003. Burkets Oral Medicine Diagnosis & Treatment,
10th ed. Newark: BC Decker Inc.
Greenberg, M. S., Glick, M., and Ship, J. A. 2008. Burkets Oral Medicine. Hamilton: BC
Decker Inc. p. 283-4
Greenberg, M. S., Glick, M., and Ship, J. A. 2008. Burkets Oral Medicine. 11th edition. BC
Decker Inc. Ontario
Guyton, AC. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran : Sensasi Somatik; Sensasi Nyeri, Nyeri
Kepala dan Sensasi Suhu. EGC. Jakarta.
Hargreaves, K.M., Hutter, J.W., 2002, Endodontic Pharmacology. Edisi ke-8, Mosby, St.
Louis, 665.
Henrotin, Y.E., Labasse, A.H., Simonis, P.E., Zheng, S.X., Deby, G.P., Famaey, J.P.,
Crielaard, J.M., Reginster, J.Y., 1999, Effects of nimesulide and sodium diclofenac on
interleukin-6, interleukin-8, proteoglycans and prostaglandin E2 production by human
48

articular chondrocytes in vitro. Clin Exp Rheumatol. 17(2):151-60.


Istiantor YH dan Gan VHS. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi, Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. Hal 673, 678.
Jain, S., Arya, V.K., Gopalan, S., Jain, V., 2003, Analgesic Efficacy of Intramuscular Opioids
Versus Epidural Analgesia in Labor, Int. J. Gynecol&Obstest, 83: 19-27.
Joris, J., 1996, Efficacy of nonsteroidal antiinflammatory drugs in postoperative pain, Acta
Anaesthesiol Belg. 47(3):115-23.
Koratkar H, Pederson J. Clinical Feature: Atypical Odontalgia: A Review. J Minnesota Dent
Assoc 2008; 1(87): 1-6.
Lewis, K.S., Han, N.H., 1997, Tramadol: a New Centrally Acting Analgesic, Am J Health
Syst Pharm, 54(6): 643-52.
Lynch ME, Lynch-Ellerington M, Craig K, Peng PWH. 2010. Clinical Pain Management.
USA : John Wiley and Sons
Matwychuk MJ. Diagnostic Challenges of Neuropathic Tooth Pain. J Can Dent Assoc 2004;
70(8): 542-6.
Melis M, Lobo-lobo S, Ceneviz C. Atypical Odontalgia: A Review of the Literature.
Headache 2003; 10: 1060-74.
Mellis M, Secci S. Diagnosis and Treatment of Atypical Odontalgia: A Review of the
Literature and Two Case Reports. J Contemp Dent Pract 2007; 3(8): 81-9.
Melis, M., Lobo, S. L., Ceneviz, C., Athypical Odontalgia: a Review of the Literature,
Headache, 43 (10): 1060-1074.
Melis, M., Secci, S., 2007, Diagnosis and Treatment of Atypical Odontalgia: A Review of the
Literature and Two Case Reports, The Journal of Contemporary Dental Practice, 8
(3): 1-9.
Pertiwi, Arlette S. P. dan Sasmita, Inne S. 2010. Efek klinis Echinacea Terhadap
Pengendalian Rasa Nyeri Gigi pada Anak. Bagian Kedokteran Gigi Anak Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. Bandung
Sobel, D., Norman, D., Yorke, C. H., and Newton, T. H. Radiography of Trigeminal
Neuralgia and Hemifacial Spasm. AJR:135, July 1980
Smith, H. 2009. Current Therapy in Pain. Saunders. Philadelphia. p. 4-5
Tash, R. R., Sze, G., and Leslie, D. R. Trigeminal neuralgia: MR imaging features. Radiology
September 1989 172:767-770
Tollison, C. D., Satterthwaithe, J. R., and Tollison, J. W. 2002. Practical Pain Management.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. p. 189
Utama H dan Gan VHS. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi, Farmakologi dan Terapi. Edisi
5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. Hal 190.
49

50

Pasien 38 th

LAMPIRAN : MAPPING

Riwayat medis

Sign & symptom

pemeriksaan

Penggunaan obat-obatan
amoksisilin, gabapentin,
tramadol, nimesulide,
ketoprofen, rofecoxib, dan obat
anti-inflamasi lainnya

klinis

penunjang
Rontgen foto
menunjukkan tanpa
kelainan dental dan
periapikal yang nyata

Gerakan fungsional mandibula tidak


terganggu
Maloklusi kelas II
VDO berkurang
Midline RB geser ke kanan
TMJ normal
M. trapezius bilateral tenderness

nyeri M1 RA kiri
6 bulan lalu sakit saat
mengunyah

Gigi retak ditambal

Dull pain
Diperparah oleh rangsang
panas
Nyeri hilang saat tidur
nyeri terasa 1 jam setelah
bangun

DD
Trigeminal
Neuralgia

AO
DIAGNOSIS KERJA

AO

Tx : amitriptilyn 20-75 mg + phenothrazines


Treatment psikologi
Topical aplikasi capsaicin

51

You might also like