You are on page 1of 34

KAJIAN ‘HASRAT’1 DALAM DUA NOVEL ASIA2

Sebuah Analisis Psikoanalisa Lacan


Oleh: Rida Wahyuningrum

Abstract

Based on two novels written by Asian writers, Kenzaburo Oe’s novel


entitled The Silent Cry (translated into Jeritan Lirih by Utti Setijawati) and
Jhumpa Lahiri’s The Namesake (translated into Makna Sebuah Nama), this
paper tries to reveal characters of both novels, Takashi and Gogol, to which
the writer sees through Lacanian psychoanalysis. The other major
characters of the novels are also important.In Jeritan Lirih they are
Mitsusaburo, Natsumi, and the dead ones, their great grandfather’s young
brother and their elder brother, called S are also of great contribution to the
description of Takashi’s personality, which is portrayed through concepts
of Lacan’s psychoanalysis. In The Namesake, they are Ashoke, Ashima,
Moushimi, Sonia, and Maxine. This paper is focusing on the desires that
both Takashi and Gogol might have, by observing Takashi’s and Gogol’s
unconsciousness as relevance to both emergence of desires and defense
towards achieving the objects of desires. Lacanian psychoanalysis centers
on the unconsciousness along with the tripartite model: the symbolic, the
imaginary, and the real. Human’s personality can be seen through their
actions and thoughts which are represented in their utterances (read:
language). In this way, Lacanian psychoanalysis takes language as an
important asset in which man is in his capability of revealing the
unconscious state of mind. In line with this, man’s desires have triggered
man to keep up with his living a whole life through. This paper will
hopefully be a kind of a shortcut to provide a small-scale coverage of such
psychoanalysis study upon the novel characters, Takashi and Gogol, within
an ample psychoanalysis field.
Key words: Psikoanalisis Lacan, Kepribadian, Hasrat

1
Istilah hasrat di sini mengacu pada konteks hasrat yang digunakan dalam psikoanalisis Lacan, yaitu salah satu
elemen dalam rangkaian perkembangan tahap individu yang terdiri dari need, demand, dan desire.
2
Dua novel Asia ini adalah Jeritan Lirih dan The Namesake karya dua penulis terkemuka Asia. Novel pertama
adalah buah karya Kenzaburo Oe yang diterjemahkan dari bahasa Jepang Man’en Gannen no Futtoboru ke
dalam bahasa Inggris, The Silent Cry, oleh John Bester, yang kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Utti Setiawati. Novel ini memenangkan penghargaan Hadiah Nobel untuk kategori sastra pada
tahun 1994. Akademi Swedia, panitia Hadiah Nobel Sastra, menyebut Jeritan Lirih sebagai karya matang utama
Oe. Lihat Oe, Kenzaburo. Jeritan Lirih. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. 2004. Novel kedua, The Namesake
ditulis oleh Jhumpa Lahiri (India), seorang pengarang imigran. Ia mengambil tema besar persoalan identitas
melalui tokoh-tokoh dalam novel ini, terutama tokoh Gogol. Meskipun tidak memperoleh penghargaan apa pun,
novel ini sangat menarik karena lebih mirip dengan karya autobiografi Lahiri sendiri yang juga mengalami hal
serupa dengan tokoh dalam novel ini. Lihat Lahiri, Jhumpa. The Namesake. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. 2006.

1
A. Pendahuluan
Contoh karya sastra yang dapat dikategorikan sebagai interpretative literature tampaknya
terwakili oleh dua novel Asia, yaitu karya Kenzaburo Oe (Jepang) yang berjudul Man’en
Gannen no Futtoboru (Jeritan Lirih) dan karya Jhumpa Lahiri (India) yang berjudul The
Namesake. Novel pertama dipuji karena mampu mengurai hubungan manusia di dunia yang
sulit dan menilik secara rinci apa yang dialami para tokohnya. Usaha penyelesaian
permasalahan pribadi tiap tokoh dan permasalahan hubungan antar tokoh yang dihubungkan
dengan permasalahan komunal lingkungan kampung halaman mereka, yaitu di kawasan
lembah di Shikoku, Jepang. Diantaranya, Oe juga menyinggung perubahan budaya yang
terjadi di Jepang dan kemerosotan harga diri di dalam masyarakatnya. Tergambar dalam
novel ini timbulnya benih-benih kemarahan dan pemberontakan akibat ketidakmampuan
berbuat pada kenyataan yang terjadi. Selebihnya, Oe menampilkan kesemuanya itu dalam
ritme dan adonan kata-kata yang rinci memukau dalam menggambarkannya.
Melalui novel kedua, kehidupan keluarga imigran India di AS digambarkan secara apik
dengan gaya mengalir begitu saja. Diceritakan walau sudah tinggal dan menetap sekian lama
di Amerika mereka tetap melakukan ritual sehari-hari yang biasa mereka lakukan di tanah
kelahiran mereka. Novel ini menggambarkan bagaimana orang India beridentitas ganda di
Amerika yang dijuluki ABCD (American Born Confused or Conflicted Deshi).
Para tokoh di dalam dua novel tersebut memiliki karakter yang menarik. Dalam Jeritan
Lirih digambarkanlah secara unik kepribadian mereka masing-masing. Yang menarik dari
karya Oe tersebut adalah caranya menggambarkan emosi dan perasaan masing-masing tokoh
yang begitu rinci meskipun menggunakan bahasa yang sederhana. Pergumulan antara tokoh
mengenai idealisme, perasaan, dan pandangan yang berbeda dikemas begitu memukau dan
memberi efek psikologis bagi pembaca. Tidak tertinggal pula, ramuan apik ala Oe (walau
terkesan ‘kasar’) melaju bersenyawa dengan kenangan, mimpi, idealisme, ketangguhan
bercampur pesimisme, rendah diri, kehilangan, ketidakberdayaan, dan hasrat di antara para
tokoh. Berkenaan dengan hal di atas, tampaknya novel ini kaya akan unsur-unsur psikologis
masalah kepribadian tokoh-tokoh tersebut.
Berbeda dengan Oe, Lahiri lebih mengalir dalam gaya penulisannya. Novel ini sepertinya
dibuat untuk memberikan kenikmatan membaca novel pada para pembacanya. Tak ada
kalimat-kalimat rumit atau metafora-metafora yang berlebihan, semua disajikan dengan gaya
bercerita yang sederhana namun kaya akan detail yang membuat pembacanya merasa sangat
dekat’dengan apa yang diungkap oleh novel ini.

2
Masalah kepribadian merujuk pada apa yang dialami manusia yang berhubungan dengan
masalah psikis yang individual sifatnya dan membedakannya dari individu yang lain.
Dikatakan bahwa kepribadian adalah satu totalitas dari disposisi-diposisi psikis manusia yang
individual dan memberi kemungkinan untuk memberi perbedaan ciri-ciri dengan yang
lainnya. Disposisi adalah kesediaan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu yang
sifatnya konstan dan terarah pada tujuan tertentu. Indivudual adalah setiap manusia
mempunyai kepribadiannya sendiri yang khas dan tidak identik dengan orang lain (Kartono,
2005: 10).
Dalam kesempatan ini, kehadiran tokoh dua novel Asia ini terlihat tak dapat melepaskan
diri dari apa yang terpapar di dalam definisi di atas. Hal ini menyiratkan adanya hubungan
yang erat antara sastra dan masalah-masalah kepribadian. Dengan kata lain, kajian tentang
masalah kepribadian dapat digunakan untuk mendedah kepribadian para tokoh yang ada di
dalam novel. Ada banyak teori yang telah dikemukakan mengenai masalah kepribadian
manusia, antara lain mengenai teori kepribadian psikoanalisis. Selanjutnya, psikoanalisis
dapat digunakan untuk kajian terhadap karya sastra guna mengetahui identitas individu-
individu (para tokoh) yang berada di dalamnya.3
Pengaruh kajian psikoanalisis terhadap studi sastra menunjukkan bahwa teks sastra dapat
didedah melalui mata pisau psikoanalisis. Dalam menulis karya sastra pengarang secara tidak
sadar menghadirkan interaksi para tokoh yang sekaligus membawa permasalahan kejiwaan
mereka. Di sinilah keterkaitan teks sastra dengan kajian psikoanalisis.
Keterkaitan antara psikoanalisis dan kesusasteraan adalah pertama, psikoanalisis adalah
suatu metode interogasi tentang kepribadian manusia yang sepenuhnya didasarkan pada
tindakan mendengarkan pasien. Pemikiran tentang sastra dalam psikoanalisis adalah
ketidaksadaran. Kedua, pertemuan sastra dan psikoanalisis adalah karena dalam
pemikirannya, Freud, menjadikan mimpi-mimpi, fantasme, dan mite sebagai bahan dasar.
Dengan adanya hubungan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
psikoanalisis dengan bahasa, sastra, dan imajinasinya.4

3
Hubungan psikoanalisis dan sastra dijelaskan seperti berikut: “… Psychoanalysis deals with motives, especially
hidden or disguised motives; as such it helps clarify literature on two levels, the level of the writing itself, and
the level of character action within the text. A 'companion' level to the level of writing is the level of reading;
both reading and writing, as they respond to motives not always available to rational thought, can be illumined
by psychoanalytic thought.” lihat http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/psychlit.php

4
Lihat Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga
Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

3
Berbeda dengan Freud, Jacques Lacan tampaknya paling erat menampilkan analisis yang
berkaitan dengan kajian bahasa dan sastra. Paradigma psikoanalisis Lacan memiliki implikasi
yang lebih jauh. Seperti halnya teori poststrukturalisme yang dibangun dengan menemukan
kelemahan-kelemahan strukturalisme, psikoanalisis Lacan dibangun atas dasar kelemahan-
kelemahan teori Freud.5
Ketidaksadaran (unconsciousness) atau nirsadar menempati posisi penting dalam bahasan
psikoanalisis. Menurut Lacan, ranah nirsadar adalah ranah terstruktur layaknya bahasa.
Bahkan, nirsadar hadir bersamaan dengan bahasa. Dengan kata lain, bahasa menunjukkan
alam bawah sadar (unconscious mind) seseorang. Ditegaskan pula bahwa bahasa sebagai
sistem pengungkapan tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang
diekspresikannya. Dalam hal ini Lacan memandang adanya jalinan antara psikoanalisis
dengan linguistik.6 Seperti pendahulunya, Sigmund Freud, Lacan juga menggunakan model
tripatrie, yaitu Yang Simbolik (the symbolic), Yang Imajiner (the imaginary), dan Yang
Nyata (the real). Dinyatakan pula oleh Lacan bahwa yang menggerakkan kehidupan manusia
di dunia ini adalah hasrat yang ada dalam diri mereka.
Dalam novel Jeritan Lirih, tokoh Takashi (Taka) mengalami dinamika kehidupannya
yang tidak lepas dari hasrat dan impian untuk pembuktian diri. Kecemerlangan
penggambaran tokoh Takashi ini digambarkan sedemikian rupa sehingga terasa gejolak
semangat kehidupan yang tak kenal henti tetapi justru ternodai oleh akhir hidup yang
mengenaskan sebagai wujud dari suatu kegagalan dalam meraih ‘misi hidup’.
Posisi Takashi dalam kancah cerita Oe dalam novel amatlah penting, seiring dengan topik
pembahasan dalam penulisan ini. Kepribadian Takashi yang notabene sangat berbeda dengan
kakaknya, Mitsusaburo, mengantar dirinya pada pemenuhan keinginannya yang sangat kuat
untuk memperoleh pengakuan sebagai orang yang sama persis dengan adik kakek buyut,
idolanya. Keinginan atau hasrat seperti itu terlihat sulit untuk dipenuhi.tetapi, meskipun
demikian, tokoh tersebut mengisyaratkan akan simbol kekuatan dan kekuasaan.
Berbeda dengan Takashi, tokoh Gogol mengalami rentang waktu kehidupannya dengan
kekuatan hasratnya untuk menjadi orang yang berbeda. Ia berusaha sedemikian kerasnya
dalam pembuktian dirinya sebagai seorang Gogol Amerika. Walau kultur India mau tak mau
melekat dalam darahnya, Gogol merasa bahwa ia orang Amerika, perilakunya baik dalam
sekolah, mencari hiburan, maupun mencari teman kencan, semua menunjukkan bahwa ia
memang orang Amerika. India hanya dikenal sebagai tanah leluhur lewat makanan, tradisi
5
Ibid.
6
Lihat makalah Parisa Dashtipour yang berjudul Contested Indentities: Using Lacanian Psychoanalysis to
Explore and Develop Social Identity Theory di http://www.discourseunit.com/arcp/7.htm

4
yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dan kunjungannya beberapa kali ke Callcuta.Namun
ia justru menghargai posisi hasratnya dengan ‘mulai membaca’(lihat akhir cerita).
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendedah tokoh Takashi dalam novel Jeritan Lirih dan
tokoh Gogol dalam The Namesake dengan menggunakan teori psikoanalisis Lacan.
Pembahasan berkenaan dengan hasrat sang tokoh dengan analisis nirsadar (arus bawah sadar)
yang merupakan keterkaitan antara kemunculan keinginan dan mekanisme pertahanan untuk
memperoleh obyek dari keinginan.

B. Ketidaksadaran (Unconsciousness)

Kepribadian modernitas mengandalkan sebuah pijakan yang teguh, kukuh, dan tak
tergoyahkan (kemapanan nasionalisme dan humanisme keilmuan Barat yang berdiri di atas
fondasi kesadaran subjek). Dengan kata lain, ego dianggap sebagai sesuatu yang tak
tergoyahkan. Namun dalam perkembanganya peradaban yang dibangun dengan
menyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya menimbulkan riak yang bertentangan
(dehumanisasi).7 Akhirnya, Lacan tampil dengan premise “Ketaksadaranlah yang membentuk
kesadaran”. Ini merupakan tesis terbalik Freud yang terkenal dengan adagiumnya Wo Es war,
Soll Ich Werden (dimana ada Id disitu berpatroli Ego).8

Lacan menolak anggapan Freud tentang berkuasanya ego atas Id. Menurutnya, kontrol
ego atas Id adalah sesuatu yang mustahil. Selanjutnya, Lacan menjelaskan bahwa
ketidaksadaran tidak lebih dari sebuah tatanan simbolik dari tradisi linguistik Saussurian.
Menurutnya, ketidaksadaran sepenuhnya adalah sadar akan bahasa, dan secara khusus ia
terdiri dari struktur bahasa. Bertolak dari hasrat yang senantisa bergolak, Lacan memodifikasi
Saussure. Saussure mendiskusikan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda yang
membentuk tanda (signified). Struktur tanda adalah relasi negasi antara tanda-tanda. Sebuah
tanda menjadi tanda dalam dirinya sendiri karena ia semata-mata bukan tanda yang lain.

7
Mengenai dehumanisasi, Nietsche mencurigai ada sesuatu dibalik rasionalitas yang di puja:” hasrat untuk
berkuasa”. “Tidak ada lagi dasar” teriak Nietzsche. Nietzsche membangunkan kembali hasrat yang selama ini
dikubur dalam-dalam oleh subyek Cartesian (lihat psikoanalisis Sigmund Freud) dan psikoanalisa dikatakan
melemahkan kekuatan pemikiran Barat dan mempercepat terjadinya krisis ego cognito.

8
Menurut Freud, diri manusia tersusun dari tiga dasar diri yaitu Id, Ego, dan Superego. Id adalah naluri bawaan,
ketaksadaran yang chaos, liar, tak terkendali. Ego datang buat mendisiplinkan Id. Prinsip-prinsip kesenangan,
dorongan-dorongan naluri diatur, diseleksi, dikontrol, dengan kata lain direpresi. Disini kesadaran mulai
menjalankan tugasnya dan akhirnya menjamin kesatuan kepribadian. Sedangkan superego berfungsi
menginternalisasikan perintah dan larangan dari dunia luar, diolah, dan kemudian dieksternalisaikan. Mengubah
aturan-aturan yang awalnya asing menjadi seolah berasal dari subyek merupakan tugas utama Superego.

5
Dengan ini Saussure sesungguhnya menegaskan bahwa petanda selalu mengikuti penanda.
Tanpa adanya hubungan keeratan ini maka makna tidak dapat muncul.

Lacan mengatakan bahwa ego atau”Aku” (sesuatu yang dirujuk sebagai ‘diri)
hanyalah ilusi. Ia adalah produk dari hasrat itu sendiri. Hasrat merupakan kodrat manusia
yang selalu berada dalam kekurangan. Ego terbentuk melalui hasrat untuk memiliki identitas.
Bagi Lacan, ego merupakan sesuatu yang imajiner, sebuah kesalahpengenalan.

C. Psikoanalisis Lacan

Menurut Lacan, pengalaman perkembangan manusia ada pada tahap-tahap tertentu yang
dikenal dengan tripartite model: yang nyata (the Real), yang imajiner (the Imaginary), dan
tahap simbolik (the symbolic)9. Lintasan fase-fase tersebut oleh Lacan dipertemukan dengan
konsep kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire).

1. Yang Nyata (the Real)


Kebutuhan (need) secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan secara fisiologis
atau dalam makna lain sebagai kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi. Pada bayi manusia,
kebutuhan-kebutuhan fisiologis, melalui peran orang-orang terdekat terutama ibu akan
senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat lapar bayi memperoleh ASI, ketika
membutuhkan kehangatan bayi mendapat pelukan, dll. Artinya bayi selalu merasakan sesuatu
yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan. Pada fase ini bayi
belum mengenal bahasa dan belum dapat membedakan antara diri dengan yang liyan (yang
lain): bayi masih merasakan bahwa dirinya dan seluruh yang liyan merupakan satu kesatuan.
Fase kebutuhan (need) ini berdiam dalam Yang Nyata yang merupakan “fase sebelum
pikiran”.

2. Yang Imajiner (the Imaginary)


Ketika bayi mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain dirinya meskipun pada
fase awal ini bayi tetaplah belum memiliki konsep tentang yang liyan secara utuh; bayi belum
memiliki kemampuan membedakan secara biner antara diri dan liyan, bayi mulai memasuki
tahapan baru, yakni permintaan (demand). Permintaan adalah sesuatu yang tidak dapat atau
9
lihat Sarup, Madan. 1993. Panduan Pengantar untuk Memahami Poststrukturalisme dan Posmodernisme.
Terjemahan dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism oleh Medhy Aginta Hidayat.
Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. hal. 31-33

6
tidak mungkin terpenuhi. Itulah esensi utama dari permintaan; kembali pada keutuhan. Hal
tersebut tentulah mustahil, karena perlahan keliyanan semakin menunjukkan diri dihadapan
sang bayi. Bayi akhirnya memulai fase Yang Imajiner.
Dalam Yang Imajiner terjadi fase cermin (the mirror stage). Bayi suatu ketika akan
menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh bayi, dikonfrontir
dengan keberadaan yang lain seperti ibu atau pengasuh lainnya. Bayi akan melihat citra
dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah bayi mulai menyadari bahwa
dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain, bahkan ibu. Itulah Individuasi. Tapi bayi
mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang
akhirnya diakui sebagai “aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra
cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal.
Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan individu yang
sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nir-
kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan
menjadi selalu “liyan”, tidak setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.10
Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan alieniasi. Alieniasi dalam
konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu
kalah. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang
menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri.

3. Yang Simbolik (the Symbolic)


Ketika bayi semakin dapat melakukan pembedaan dan proyeksi ide-ide tentang keliyanan,
tataran Yang Simbolik dimulai. Bersamaan dengan itu terjadilah akuisisi bahasa. Yang
Simbolik adalah keberadaan “aku” dalam struktur bahasa. Keadaan dimana aku dinyatakan
melalui bahasa. Hanya saja keberadaan antara Yang Imajiner dan Yang Simbolik tidak
memiliki batas yang jelas. Keduanya saling tumpang tindih. Di dalam tataran inilah hasrat
(desire) berdiam.
Menurut Lacan manusia selalu berada dalam kondisi lack / berkekurangan, dan hanya
hasrat yang dapat memenuhi kekurangan (lackness) tersebut. Hasrat (desire) pada dasarnya

10
Lacan menggunakan istilah kata liyan (other) dalam berbagai bentuk yang berbeda dan ini menyulitkan
penulis untuk memahami makna kata tersebut. Bagi penulis, cara termudah memahami liyan adalah sesuatu
yang selain aku. Tetapi, dalam tahapan cermin liyan dapat menjadi aku. Citra dalam cermin adalah selain aku
yang diperkenalkan sebagai aku. Liyan sebagai aku disebut liyan (huruf o kecil (dari kata ‘other’)) yang
berbeda dengan Liyan (huruf O besar) yang berarti liyan-liyan selain ‘aku’ yang liyan. Liyan (huruf O besar)
dapat berarti ibu, ayah, atau yang lain yang ada di luar liyan. Lihat Benvenuto, Bice dan Roger Kennedy. The
Works of Jacques Lacan: An Introduction. New York: St. Martin’s Press. 1986. hal. 100.

7
merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran simbolik bayi berkeinginan
untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika masuk ke dalam dunia bahasa,
bayi, mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Tetapi,
sebuah penanda tidak serta merta menunjuk petanda tertentu, melainkan penanda yang lain.
Penanda “ibu” tidak semata menunjukkan adanya ibu —sebagai petanda— melainkan secara
berbeda menunjuk adanya yang lain. Hasilnya, identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan
adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandan. Mengenai kekurangan (lack) ,
secara eksistensial manusia dikendalikan oleh pelbagai rasa kehilangan dan kekurangan.
Kehidupan manusia bagai ajang pencarian pemenuhan akan sesuatu yang kurang.
Kekurangan dalam makna yang eksistensial ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau
dapat terpenuhi. Lacan menegaskan bahwa tidak mungkin kembali pada Yang Nyata. Hal ini
sangatlah wajar dengan mengingat sumber rasa kekurangan pada manusia. Sumber
kekurangan adalah kehilangan “kepenuhan” dalam tataran Yang Real, sementara didalamnya
tidak berdiam bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali kepenuhan tersebut. Bahasa
yang muncul setelahnya, tidak dapat menjangkau ruang Yang Real, sehingga manusia dengan
bahasa seperti mengejar “kepenuhan” yang tidak dikenali sama sekali.

D. Hasrat dalam Psikoanalisis Lacan

Apa yang sesungguhnya menggairahkan kehidupan ini? Lacan menjawab dengan yakin:
hasrat.11 Yang pertama-tama harus dipahami ketika berhubungan dengan hasrat adalah hasrat
terhadap Liyan. Liyan senantiasa menopang kekurangan yang tiada akhir. ‘liyan’ muncul
pertama kali di fase imajiner. Ide tentang ‘diri, wujud batin yang ditandai sebagai’Aku’
adalah ‘liyan’. ‘liyan’ adalah bukan ‘aku’ tetapi sekaligus (diaku sebagai)‘aku’. ‘liyan’
menghubungkan kembali keterpisahan dengan Yang Nyata. Sedangkan Liyan (dengan L
besar) adalah phallus atau pusat tatanan simbolik. Ia merupakan tempat dimana semua orang
ingin menuju. Manusia, bagi Lacan, berada diantara perasaan kehilangan dan ke-taksampai-
an. Dari situlah hasrat muncul.

11
Lacan menggunakan istilah jouissance dan membagi hasrat menjadi 4 golongan yaitu:1) Narsistik Pasif,
seseorang berhasrat menjadi obyek cinta (Liyan) orang/sesuatu lain  (hasrat dikagumi, idealisasi orang lain,
atau rekognisi orang lain, 2) Narsistik Aktif, seseorang berhasrat menjadi orang lain. Identifikasi diri pada
orang lain (Liyan) adalah cinta atau devosi pada sesuatu yang lain, 3) Anaklitik Pasif, hasrat memiliki
orang/sesuatu (Liyan) sebagai cara mendapat kepuasan dan 4) Anaklitik Aktif, hasrat ingin dimiliki Liyan
(orang lain atau sesuatu yang lain) sebagai sumber kepuasan liyan. Lihat Rabate, Jean-Michel. The
Cambridge Companion to Lacan. New York: Cambridge University Press. 2003.

8
Manusia adalah makhluk imajiner. segala sesuatu yang membentuk ego idealnya atau
identitasnya selalu dikonstruksi oleh imajinasinya sendiri. Misalnya, konsumerisme semata-
mata digerakan oleh hasrat menjadi apa yang dihasrati oleh orang lain. Itulah sebab
konsumerisme meledak.  Dengan mengkonsumsi secara mengada-ada orang merasa memiliki
identitas yang diperlukan untuk mendapat pengakuan dari liyan.
Ada tiga hal yang harus diingat ketika memahami apa yang dimaksud sebagai hasrat oleh
Lacan. Pertama, hasrat dapat berbentuk hasrat untuk menjadi atau hasrat untuk memiliki.
Hasrat menjadi memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan idetifikasi, sedangkan
hasrat untuk memiliki mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang
bertentangan dengan diri dan orang lain. Kedua, karena hasrat terutama adalah hasrat
terhadap liyan, secara khusus liyan bisa menjadi subyek sekaligus obyek hasrat. Menghasrati
sekaligus dihasrati. Ketiga, ‘Liyan’ mengambil bentuk dalam citra orang lain pada tatanan
imajiner, kode yang membentuk tatanan simbolik, atau subtansi khusus pada Yang Real.
Meskipun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, berdasarkan pandangan Lacan, setidak-
tidaknya  ada dua bentuk utama hasrat, yaitu hasrat .menjadi. (to  be) dan hasrat memiliki (to
have).

1. Hasrat Menjadi
Hasrat menjadi adalah hasrat yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan
identifikasi. Dalam hal ini hasrat menjadi obyek cinta —kekaguman, idealisasi, pemujaan,
penghargaan— Liyan (the  others). Orang merasa  menjadi  obyek  cinta  sang  lain 
(penonton, fans, rakyat), oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra
(image) dirinya sedemikian rupa agar ia tetap dicintai —narcissistic  desire. Inilah,
misalnya,  orang-orang yang memperlihatkan eksistensi  dirinya  lewat  tanda-tanda  dan gaya
hidup: mobil mewah, rumah megah, fashion eksklusif, parfum mahal, dsb.
 
2. Hasrat Memiliki
Hasrat  memiliki.  adalah    hasrat  memiliki  Liyan  (materi, benda, orang, kekuasaan,
posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri. Ia mengambil bentuk pada cara
mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang lain —anaclictic desire. 
Hasrat memiliki. merupakan fondasi masyarakat posmodern, yang dilembagakan  lewat 
sistem  kapitalisme  global. Di dalamnya, orang dikonstruksi secara sosial untuk
.menginginkan. serentetan benda yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di
sini kapitalisme global mengubah  .keinginan.  (want)  menjadi .kebutuhan. (need).  Artinya, 
9
kebutuhan tersebut .diciptakan. Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi
juga .memproduksi kebutuhan dan dorongan hasrat di baliknya, untuk keberlanjutan
produksi.

E. Penanda Utama

Dalam tataran Yang Simbolik, penanda utama adalah penanda pembawa identitas.
Identifikasi subyek pada otoritas penanda utama membangkitkan hasrat menjadi obyek “yang
diinginkan” penanda utama tersebut. Laki-laki, Perempuan, Mahasiswa, Dosen, Intelektual,
Awam, Buruh, Majikan, Kafir, Muslim, dan sebagainya merupakan beberapa diantara
penanda utama.

Identifikasi subyek pada penanda-penanda utama ini mendorongnya untuk menjadi apa
yang diinginkan liyan simbolik tersebut. Seorang laki-laki, misalnya, akan berupaya
melepaskan semua hal yang bakal membuatnya menjadi perempuan. Ia akan bereaksi ketika
ada orang yang mencoba merusak atau menghilangkan penanda itu darinya. Ini begitu
pentingnya sehingga melahirkan rasa aman eksistensial. Rasa identitas yang dibentuk
penanda simbolik membuatnya dapat mengenal dirinya sendiri dan dikenal orang lain. Hasrat
untuk diinginkan oleh liyan simbolik pada giliranya menuntut hasrat untuk
mengidentikasikan diri dengan liyan.

Relasi penandaan yang bekerja pada otoritas tatanan simbolik penanda utama adalah
hubungan paradigmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda
dengan tanda yang lain. Tanda yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-
tanda satu kelas atau satu sistem. Kata “perempuan” mempunyai hubungan paradigmatik
dengan misalnya “cantik”, “lemah-lembut”, dan”feminin”. Interpelasi subyek oleh penanda
utama membangkitkan hasrat mengidentifikasi diri dengan tanda satu kelas atau satu sistem
dalam struktur paradigmatik penanda utama.

Hubungan paradigmatik selanjutnya membawa pada asosiasi mental yang disebut


dengan hubungan metaforik. Hubungan metaforik muncul karena dengan adanya kekuatan
represi suatu penanda diganti dengan penanda baru. Penanda pertama akan berubah menjadi
petanda sejauh penanda pengganti menempati kedudukan penanda terganti dan
merepresentasikanya. Imajinasi asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda

10
mendorong subyek menuju posisi dan mengidentifikas ciri, karakter, status, dan imaji yang
terhubung dengan satu atau lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya.

F. Citraan

Tataran Yang Imajiner adalah tahap dimana diri mulai dibentuk. Artinya, pembentukan
diri yang terlihat di cermin bahwa pada akhirnya semua yang diserap adalah citra. Dalam
kaitannya dengan tataran Yang Simbolik, citra menyiapkan fondasi kokoh di atas mana
tatanan simbolik bekerja dalam diri seseorang. Citra tidak menjadi citra tanpa strukturasi
dunia simbolik didalamnya.

 Jika relasi penandaan yang bekerja pada level tatanan simbolik adalah relasi
paradigmatik, dalam dunia citra pada tatanan imajiner ini adalah hubungan sintagmatik.
Hubungan sintagmatik dimengerti sebagai  hubungan tanda dengan tanda-tanda lainya.
Dalam hubungan sintagmatik orang diajak untuk mengimajinasi ke depan atau memprediksi
apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran sintagmatik bertujuan untuk menciptakan stuktur
dengan jalan mengkombinasikan unsur yang ada. Oleh karena itu identifikasi individu pada
liyan tidak cukup hanya melalui hubungan penandaan yang bersifat paradigmatik saja
melainkan harus disertai juga oleh hubungan sitagmatik. Sehingga, identifikasi simbolik
melalui penanda utama berjalan seiring dan bekerja bersama dengan identifikasi imajiner
melalui citra.

G. Fantasi
Fantasi dalam konsepsi Lacan merujuk pada apa yang tersisa dari represi tatanan
simbolik. Fantasi berada pada tataran Yang Nyata. Ia menyebutnya obyek a. sebuah obyek
yang berharga atau bahan yang terkait dengan Yang Nyata. Dorongan ini tersusun dari yang
real dari tubuh seorang subyek melalu rantai penanda tidak sadar yang dibentuk oleh tuntutan
liyan yang berlangsung simbolik. Hal ini terjadi misalnya ketika kita mengidentifikasikan diri
dengan penanda-penanda utama (laki-laki, perempuan, muslim, dsb) demi strukturasi dan
interpelasi penanda tersebut dan demi kenyaman eksisitensial kita membedah diri kita dan
mematikan bagian-bagianya. Bersamaan dengan itu munculah larangan-larangan yang tak
sesuai dengan kehendak penanda simbolik. Meskipun demikian, kenikmatan yang
dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam berbagai bentuk. Modus-modus hasrat yang

11
direpresi ini tertanam dalam diri subyek membentuk fantasi yang memberikan hasrat
terhadap rasa suka cita.12

H. Pembahasan
1. Hasrat Tokoh Takashi dalam Jeritan Lirih
a. Kekaguman Takashi kepada Adik Kakek Buyutnya
Ketika Descrates mengumandangkan bahwa manusia adalah subyek yang berfikir, posisi
manusia menjadi jelas. Diri atau ego merupakan konsep yang mantap dan stabil. Tetapi,
menurut Lacan, ego adalah (sesuatu yang dirujuk sebagai ‘diri’) hanyalah ilusi. Ego tidak lain
adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa
keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Itulah sebabnya ego atau ‘aku’ tersebut akan
menjadi selalu “liyan”, tidak setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.

Merujuk pada posisi ego menurut Lacan, dalam novel ini, ego Takashi adalah liyan, yaitu
sosok adik kakek buyutnya. Kenangannya terhadap tokoh ini sangatlah intens dan selalu
membayangi dirinya. Ia tidak senang dengan hal-hal yang bersimpangan dengan
pendapatnya mengenai tokoh tersebut, terutama pendapat dan kenangan yang berbeda oleh
Mitsu, kakaknya sendiri. Misalnya, ketika ia mendebat keras Mitsusaburo mengenai
kepribadian adik kakek buyut.

”Kakek buyut membuatku muak, Mitsu.” Kata takashi. “Dia sangat


konservatif, sangat berhati-hati dan penuh perhitungan. Aku Yakin
adik laki-lakinya juga berpendapat sama tentang kakek buyut. Jika
tidak, sudah pasti dia tidak akan melawan kakaknya dengan menjadi
pemimpin para petani. Dia salah seorang yang melawan, yang
punya perkiraan tentang apa yang sedang menjadi tren saat itu.”
(Oe, 2004:80)
Terlebih lagi ketika ia menggarisbawahi betapa kehebatan adik kakek buyut dalam merintis
usahanya untuk memotori sebuah pemberontakan.

“Tapi,” ujar Takashi, terguncang tapi tetap ngotot, “si adik yang
membabat lahan di hutan dan melatih sekelompok anak petani yang
mudah diprovokasi untuk pemberontakan. Metode pelatihannya
pasti berdasarkan pengetahuan tentang hal-hal Barat yang
dibawanya dari Kochi.” (Oe, 2004:81)
12
Obyek a atau fantasi menjadi faktor penting dalam upaya membalik tatanan simbolik menuju ego ideal dan
perubahan tata simbolik baru. Pasien atau yang dianalisis diajak untuk membuat pemisahan antara dirinya
dengan kehendak penanda utama yang tak mampu diadaptasinya, kemudian ia akan melihat kembali apa yang
tersisa oleh represi tatanan simbolik. Dan selanjutnya, ia melihat fantasinya atau obyek a yang tertanam dan
bersembunyi didalam Yang Nyata.

12
Pada tahap kebutuhan (need) dikatakan bahwa seseorang berada dalam tataran Yang
Nyata. Ia adalah sebuah penyatuan dunia yang utuh dengan dunia di luar dirinya. Dalam
tataran ini seseorang tidak mampu membedakan antara dirinya dengan yang lain (liyan),
karena seseorang selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan,
kehilangan dan kekosongan. Hanya saja Yang Nyata ini tidak akan pernah dicapai.

Kebutuhan (need) Takashi akan keinginannya menjadi seorang peimpin dalam sebuah
pemberontakan sebagaimana halnya yang pernah dilakukan oleh adik kakek buyutnya adalah
penggambaran Yang Nyata dari tataran perkembangan kepribadian menurut Lacan.
Kepribadian Takashi tidak pernah utuh seperti yang ia idamkan/hasratkan dalam tataran Yang
Nyata.

Permintaan (demand) Takashi akan identitas bagi dirinya guna memenuhi kebutuhan
(need) tersebut terletak pada tataran Yang Imajiner. Kesadaran sebagai sebuah oknum utuh
terbentuk saat bayi melihat dirinya dalam pantulan cermin. Citra cermin dikenali sebagi
dirinya yang otonom sekaligus membentuk identitas. Hanya saja, pembentukan citra yang
salah pada fase cermin (the mirror stage) merupakan alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan
selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Dalam hal ini liyan selalu mendominasi.
Citra adik kakek buyut dalam diri Takashi merupakan alienasi karena terjadi kesalahan
mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Pada
prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak
utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat
pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.

Lacan berpendapat bahwa manusia selalu berada dalam kondisi lack / berkekurangan, dan
hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan (lackness) tersebut. Momen kehilangan dan
kebutuhan akan identitas memasukkannya pada tataran Yang Simbolik. Lacan mengatakan
bahwa tatanan Yang Simbolik atau bahasa selalu menyimpan momen kehilangan atau
ketiadaan, yang dibutuhkan hanyalah kata-kata ketika obyek yang diinginkan menghilang.
Takashi sebagai subjek dikatakan ia sesuatu yang tidak utuh. Ketidakutuhan ini terlihat dalam
apa-apa yang diucapkannyanya melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapannya. Ini berarti
keterbelahan kepribadian atau ego Takashi adalah akibat keterpisahannya dengan sosok yang
terpantul dalam cermin dalam tataran Yang Imajiner, yaitu adik kakek buyutnya.

Hasrat Takashi ingin menjadi seperti adik kakek buyutnya yang seorang pemberontak
merupakan identifikasi, yaitu suatu cara dimana subyek Takashi diinterpelasi dan

13
subyektifitas-nya diubah oleh diskursus. Saat subyek Takashi terhubung dengan obyek adik
kakaek buyut timbul rasa kagumnya maka ia harus merepresi semua hasrat yang tidak sejalan
dengan ciri, keinginan-keinginan, karakter, dan  segala kualitas yang dikandung obyek
tersebut. Ini menunjukkan identifikasi selalu memberi motivasi pada keinginan (hasrat) untuk
menjadi.

Hasrat Takashi ingin menjadi seperti adik kakek buyutnya yang seorang pemberontak
digambarkan sebagai penanda atau keinginan, maka naluri mengarahkannya untuk mencari
lahan pemberontakan, sebagai obyek atau petanda, namun dengan tidak adanya petanda lahan
pemberontakan seperti yang pernah ada di tahun 1860 ketika adik kakek buyutnya memimpin
pemberontakan, maka naluri mengarahkannya untuk menghimpun anak-anak muda dilatih
sepak bola, sebagai penanda alih yang tidak mempunyai hubungan penandaan di dalamnya.
Pembelokan petanda untuk memimpin pemberontakan yang seharusnya keadaan dimana
seseorang membutuhkan lahan pemberontakan menjadi keadaan dimana seseorang
membutuhkan sekumpulan anak muda berlatih sepak bola sebagai usaha menjaga
keseimbangan dan mengatasi keadaan dan menghilangkan petanda pemberontak. Hubungan
antara penanda-petanda, yaitu pemberontakan-lahan pemberontakan, dan penanda-petanda
alih, yaitu menghimpun sekelompok anak muda-sekumpulan anak muda berlatih sepak bola,
hanya mempunyai hubungan kontekstual yaitu dengan mengumpulkan dan melatih
sekumpulan anak muda sepak bola maka Takashi dapat memperoleh orang-orang yang bisa
dipengaruhinya untuk melakukan pemberontakan dimana ia menjadi pemimpinnya dan
kondisi tersebut merupakan salah satu contoh mekanisme Ego yaitu rasionalisasi dengan
tindakan memberi bayangan bahwa pemenuhan keinginan untuk menjadi pemberontak hanya
bisa dilaksanakan jika seseorang mempunyai sekumpulan orang untuk dipengaruhi melalui
latihan sepak bola untuk melakukan pemberontakan sebagai obyek pemenuhan. Obyek
pemenuhan ini merujuk pada sosok adik kakek buyut yang dikaguminya.

Hubungan penanda pemberontakan dan petanda sekumpulan anak muda berlatih sepak
bola dapat dipahami dalam tataran Yang Imajiner, yaitu melalui hubungan sintagmatik
dengan konsep metonimi. Metonimi muncul sejauh ada satu penanda  utama yang
menyatukan seluruh hubungan penanda yang masih dalam ketidakpastian menjadi satu
keutuhan. Hanya setelah berada di bawah “komando” penanda utama makna yang berada di
alam tak sadar (unconsciousness) naik ke tingkat kesadaran. Singkatnya, metonimi terkait
dengan cara penanda-penanda terhubung dengan penanda lain membentuk rantai penandaan
yang memberikan jalur tempat bekerjanya identifikasi dan hasrat.

14
Tokoh Takashi dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara tertentu untuk
memenuhi hasratnya seperti adik kakek buyutnya dalam memimpin pemberontakan di tahun
1860. Ia melakukan penghimpunan sekelompok anak muda. Kemudian ia menjadikan rumah
utama sebagai markasnya. Selanjutnya, ia membuka lahan untuk melatih para pemuda
bermain sepak bola. Rangkaian cara-cara yang ditempuh sang tokoh merupakan penanda-
penanda yang lain dan mengisyaratkan makna, yaitu: untuk dapat menggerakkan sebuah
pemberontakan ia membutuhkan sebuah lahan pemberontakan. Dalam hal ini Takashi melihat
bahwa Kaisar dan super marketnya telah banyak merugikan bisnis orang lembah dan ia ingin
‘memberontak’ dan ingin menjadi pemimpin pemberontakan itu. Memulai pemberontakan
tidaklah mudah karena masalahnya tidak seperti persis yang dialami oleh adik kakek
buyutnya pada tahun 1860. Ia, Takashi, harus menciptakan ‘masalah’ dengan melihat suasana
yang terjadi di kehidupan lembah tersebut. Jawabannya adalah dominasi bisnis Kaisar dengan
super marketnya. Untuk itu ia harus menyiapkan bala tentaranya. Secara langsung untuk
menyatakan bahwa ia akan memimpin pemberontakan terhadap Kaisar tidaklah mudah, maka
ia ingin mempengaruhi anak-anak muda dengan idenya tersebut. Cara yang digunakan
Takashi adalah melatihnya sepak bola.

Penanda sekumpulan anak muda berlatih sepak bola mengisyaratkan bahwa dalam
kesenangan seperti itu mereka akan mudah dipengaruhi. Ketika mereka terpengaruh mereka
akan menganggap Takashi sebagai pemimpinnya. Itu akan memudahkan langkah-langkah
Takashi untuk melaksanakan pemberontakannya dan pemenuhan akan hasrat menjadi-nya
akan tercapai.

Hubungan penanda pemberontakan dan petanda lahan pemberontakan dapat dipahami


dalam tataran Yang Simbolik, yaitu melalui hubungan paradigmatik dengan konsep metafora.
Hubungan paradigmatik dapat dilihat dari penanda pemberontak/pemberontakan dengan
petanda-petanda lain seperti berani, gagah, berpengaruh, merusak kemapanan, dan berani
mati. Hubungan metaforik muncul karena dengan adanya kekuatan represi suatu penanda
diganti dengan penanda baru. Penanda pertama akan berubah menjadi petanda sejauh
penanda pengganti menempati kedudukan penanda terganti dan merepresentasikanya.
Imajinasi asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju
posisi dan mengidentifikasi ciri, karakter, status, dan citraan yang terhubung dengan satu atau
lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya.

15
Citraan adik kakek buyut Takashi adalah hasil identifikasi dalam tataran Yang Imajiner
yang kemudian mengalami represi. Dalam tataran Yang Simbolik citraan tersebut dialihkan
ke petanda aksi penjarahan super market Kaisar. Jadi aksi penjarahan super market Kaisar
merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh citraan adik kakek buyut bagi
Takashi.

Istilah Kaisar sendiri merupakan metafor yang menyimbolkan penguasa atas penduduk
lembah.

“… setelah perang usai, tanah pemukiman Korea dijual kepada


orang Korea yang kerja paksa di hutan, tapi tak lama kemudian,
salah satu dari mereka mendapatkan monopoli tanah dengan cara
membeli semua lahan dari yang lain. Dia kemudian membangun
dan membangun, dan akhirnya jadilah Kaisar yang kau lihat
sekarang ini.” (Oe, 2004:111)

Sedangkan kata lembah juga mengandung metafor sebagai yang dkuasai karena lembah
posisinya di bawah, tidak seperti menjulangnya gunung. Masyarakat lembah dikenal malas,
suka mabuk-mabukan, dan suka merampok, maka perekonomian cepat dikuasai oleh orang-
orang Korea yang dulunya hanya sebagai pekerja paksa di hutan.

Petanda-petanda lain yang digambarkan dalam novel ini juga bermunculan sebagai yang
menyimbolkan penanda berani, gagah, berpengaruh, merusak kemapanan, dan berani mati.
Penanda berani dan gagah dimunculkan dalam tindakan-tindakan Takashi sebagai petanda
seperti halnya melakukan hubungan seksual dengan kakak iparnya, Natsumi. Berani dalam
diri Takashi ini diartikan ia menantang reaksi kakaknya, Mitsusaburo, yang tentu saja telah
dikenalnya sebagai sosok yang lentur dan acuh.

“Aku mulai menutup pintu karena aku tidak sanggup melihat Taka
melakukannya. Dia menolehkan kepalanya kepadaku dan berkata,
‘Besok, beritahu Mitsu semua yang kau lihat ini.’ Suaranya sangat
nyaring …”. (Oe, 2004:260).
Penanda berpengaruh dimunculkan lewat petanda tindakan Takashi menjadi pemimpin para
pemuda. Menjadi berpengaruh adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, bukan?

“Saudaramu benar-benar seorang pemimpin, Mitsusaburo.” (Oe,


2004:160)

16
Penanda merusak kemapanan ditunjukkan oleh petanda tindakan Takashi dalam
menciptakan suasana tidak tentram di masyarakat lembah mengenai ide menghancurkan
Kaisar dan bisnisnya yaitu dengan menjual rumah gudang dan melakukan penjarahan super
market. Di samping itu petanda lain yaitu dengan meniduri kakak iparnya. Ini artinya ia telah
merusak kemapanan kehidupan rumah tangga Mitsusaburo dan Natsumi dalam masalah seks.
Mitsusaburo sudah merasa bahwa dirinya dan Natsumi sama-sama memahami kehidupan
seksual mereka setelah memperoleh anak yang cacat. Kemudian penanda berani mati
dimunculkan lewat petanda tindakan bunuh diri.

Kekaguman Takashi terhadap adik kakek buyutnya (ada dalam Yang real) melahirkan
suatu hasrat menjadi yang melahirkan perilaku narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat
bagaimana Takashi memperlihatkan eksistensi dirinya lewat gaya hidupnya yang menyamai
sang idola. Dengan demikian penanda utama pemberontak atau pemberontakan melekat erat
dalam ego Takashi yang direpresentasikan melalui petanda-petanda. Petanda-petanda
tersebut ada yang dialihkan sehingga menjadi penanda alih yang akhirnya diikuti oleh
petanda-petanda lain dalam hubungan paradigmatik (ada dalam tataran Yang Simbolik) dan
sintagmatik (ada dalam tataran yang Imajiner) yang terwakili oleh konsep metaforik dan
metonimi.

b. Takashi sebagai Pemberontak


Dalam cerita klasik Huckleberry Finn, dikisahkan Finn yang harus menjadi anggota gang-
nya Tom Sawyer apabila tidak ingin sekolah. Tom Sawyer sebagai pemimpin geng itu
memiliki aturan, ini dan itu dan lainnya yang mengharuskan semua anggotanya harus
menerima dan menyetujuinya. Hal serupa ditunjukkan pula oleh perilaku Takashi yang
berniat menjadi pemimpin anak muda di masyarakat lembah itu.
Hal pertama yang ditunjukkannya adalah sifat kepemimpinan. Hoshio dan Momoko adalah
dua pengikut setianya yang mati-matian membela Takashi, terlebih ketika Mitsusaburo selalu
menyudutkan kewibawaan Takashi.
“Takashi bukan tipe mudah takut, “ sela Hoshio dengan suara
tegang seakan dia tak tahan berdiam diri lebih lama. “Kau tidak bisa
menakut-nakuti Taka, aku melihat betapa acuhnya dia dalam
demonstrasi bulan Juni. Dia sama sekali tidak takut.” (Oe, 2004:29-
30)

Kemudian kemampuannya mempengaruhi masyarakat lembah, terutama para pemuda.

17
Suara tawa gembira dan sorak-sorai terdengar di belakangku.
Didorong hal itu, aku berjalan dengan cepat, napas tersengal akibat
gairah yang berbeda dengan gairah mereka. ‘Ada orang di
sungai’—tapi Takashi sendirilah yang sesungguhnya terperangkap
banjir yang paling berbahaya. Tapi sekarang, insiden ini mungkin
akan membuat dia dan timnya memiliki pengaruh tertentu atas
orang-orang lembah. Paling tidak, itu akan memberinya
kepercayaan diri dan membuatnya merasa bahwa dia sudah
menanamkan akar yang kuat di sana. (Oe, 2004:159)

Akhirnya keberhasilannya menggerakkan orang-orang dalam aksi penjarahan super market


yang menandainya sebagai seorang benar-benar pemimpin ‘pemberontakan’. Dalam hal ini
Takashi memposisikan dirinya sebagai seorang yang sama dengan idolanya, yaitu adik kakek
buyutnya. Seorang pemimpin tentunya harus memiliki orang-orang yang dipimpin, orang-
orang yang bisa ia pengaruhi untuk mobilisasi dengan tujuan tertentu.
Hasrat  memiliki adalah keinginan untuk  memiliki  Liyan  (materi, benda, orang,
kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri (anaclictic desire).
Takashi ingin memiliki kekuasaan sebagai seorang pemimpin, yaitu dengan melakukan
penjarahan super market Kaisar sebagai lambang yang menguasai masyarakat lembah.
Dengan hancurnya atau jatuhnya bisnis Kaisar Takashi yakin ia akan berhasil dengan
posisinya sebagai pemimpin. Ia akan lebih dihormati dan diakui keberadaannya oleh para
anak buahnya. Jadi, penjarahan terhadap supermarket merupakan petanda dari penanda
kekuasaan. Inilah inti dari hasrat untuk memiliki. Untuk itulah Takashi disebut memiliki
hasrat untuk memiliki disamping hasrat untuk menjadi.

c. Pemenuhan Hasrat Takashi


Dalam film The Neverland yang dibintangi oleh Johnny Depp dan Kate Winslet, Johnny
Depp memerankan seorang penulis drama yang berusaha menghadirkan alam fantasi
Neverland-nya Peter Pan secara nyata di hadapan seorang Kate Winslet dan keluarganya
dengan tujuan untuk menghiburnya agar memperingan penyakit yang dideritanya. Dari sini
unsur fantasi itu menjadi begitu penting dalam alam pikiran seseorang.
Dalam novel ini, hasrat Takashi untuk menjadi seperti adik kakek buyutnya
mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Takashi itu merupakan apa yang tersisa dari
represi tataran Yang Simbolik. Karena letak fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka
Takashi tidak akan pernah meraihnya.
Fantasi Takashi tersebut merupakan obyek yang berharga yang bernaung dalam tataran
Yang Nyata. Takashi telah mengalami proses identifikasi pada penanda utama, yaitu adik
18
kakek buyut dan demi struktur dan interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan
eksistensial, ia benar-benar berperilaku layaknya seorang pemimpin pemberontakan, atau
katakanlah, ia berperilaku sebagaimana seorang pemberontak. Ini berarti Takashi rela
mematikan hal-hal yang ada pada dirinya sendiri demi menjaga struktur penanda itu. Tetapi
bersamaan dengan itu terjadi represi atau larangan-larangan yang tak sesuai dengan kehendak
penanda simbolik. Dalam hal ini larangan-larangan atau represi itu muncul dari sikap
bertentangan dari Mitsusaburo dan kekuasaan Kaisar. Meskipun demikian, kenikmatan yang
dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam bentuk yang lain. Kenikmatan yang
dikorbankan Takashi adalah bagaimana ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya dengan
sosok adik kakek buyut melalui tindakan-tindakannya. Dalam satu hal, Takashi begitu
bersemangat melakukan sesuatu yang mirip adik kakek buyutnya.
“… Tampaknya tindakannya dipengaruhi oleh peristiwa 1860. Hari
ini contohnya, dia mulai mengumpulkan anak-anak muda di lembah
untuk berlatih sepak bola, hanya karena dia senang dengan cerita
tentang adik laki-laki kakek buyut yang membabat hutan sebagai
tempat latihan guna menyiapkan para pemuda itu untuk berjuang.”
(Oe, 2004:29)

Hal lainnya misalnya, Takashi sangat tersinggung dengan pendapat Natsumi yang
meremehkan sejarah keluarga Nedokoro, terutama mengenai kisah S dan adik kakek buyut.
Kemarahannya disebabkan ucapan Natsumi yang menyebut legenda tua terhadap cerita
heroik mengenai adik kakek buyut yang memimpin pemberontakan. Ia begitu mengidolakan
adik kakek buyut itu.
“… Bagaimana bisa kau begitu terbawa legenda tua ini, padahal kau
kesakitan dan berdarah?” “Ada juga yang bisa dipelajari dari
legenda,” ujar Takashi kesal. Itulah pertama kalinya dia
menunjukkan sikap pemarahnya pada istriku. (Oe, 2004:81)

Takashi juga sangat tidak setuju dengan pendapat Mitsusaburo yang nengatakan bahwa
adik kakek buyutnya melarikan diri ke Kochi meninggalkan anak buahnya dihukum mati. Ia
berusaha menjaga struktur idolanya itu dan klimaksnya ialah ketika ia harus merasakan
terluka dalam ‘pemberontakan’nya dan menyudahi hidupnya dengan tembakan di kepala.13
Pemenuhan hasrat Takashi memang tidak akan tercapai, tetapi setidaknya ia telah
melakukan tindakan-tindakan yang membawanya pada kenikmatan hidupnya karena telah

13
Dalam film Blood Diamond yang dibintangi oleh Leonardo de Caprio, dikisahkan bahwa de Caprio begitu
terobsesi dengan berlian yang terbesar yang ditemukan di Afrika hingga ia harus mengorbankan uang, tenaga,
bahkan nyawanya. Tetapi ia merasa senang karena fantasinya akan mati diantara ribuan manik-manik berlian
kesampaian.

19
berbuat seperti apa yang telah dilakukan oleh idolanya. Inilah yang disebut pemenuhan hasrat
itu sendiri meskipun tampil dalam bentuk yang lain.
Bunuh diri Takashi sebenarnya merupakan pemenuhan dari hasrat itu sendiri. Dengan
bunuh diri ia merasa lengkap sebagai seorang pemberontak yang sebenarnya. Itu karena
bunuh diri dihadirkan sebagai petanda dari penanda berani mati yang mengikuti penanda
pemberontak dalam hubungan paradigmatik. Jadi bunuh diri dalam novel ini muncul sebagai
unsur metafor yang menyimbolkan pemenuhan hasrat seorang Takashi, yaitu hasrat menjadi
seperti adik kakek buyutnya.

2. Hasrat Tokoh Gogol dalam The Namesake


a. Gogol dan Amerika
Diri atau identitas diri seorang Gogol merupakan konsep imajiner tentang dirinya yang
utuh. Menurut Lacan, ego Gogol adalah liyan, yaitu bukan diri Gogol sebenarnya, melainkan
seorang Gogol Amerika. Tindak laku seperti orang Amerika yang melekat pada dirinya
secara intens membayangi gerak-gerik di kehidupannya dalam ajaran budaya dan agama
Bengali India. Keengganan Gogol menjadi orang India tampak sekali dalam kutipan di bawah
ini:
Ia ngeri membayangkan delapan bulan tanpa kamar sendiri, tanpa
kaset stereo setnya, tanpa teman-teman. Dalam pandangan Gogol,
delapan bulan di Calcutta sama dengan pindah ke sana. (Lahiri,
2006:95)

Ke-Amerikaan Gogol ditunjukkan oleh luapan emosinya yang luar biasa. Pertama, ketika
ia meninggalkan Calcutta dengan kelegaan.
Ia tahu, ibunya akan duduk diam, menatap awan, dalam perjalanan
pulang ke Boston. Tetapi bagi Gogol, rasa sedih yang masih tersisa
dengan cepat berganti menjadi rasa lega. (Lahiri, 2006:104)

Kedua, ketika ia sangat membenci namanya yang tidak menyiratkan identitas dirinya,
sebagai orang India atau orang Amerika, sebagaimana yang dikatakannya “Saya benci nama
Gogol, dan selama ini saya sangat membenci nama itu.” (Lahiri, 2006:121). Sebagai
gantinya, nama Nikhil terasa lebih Amerika baginya karena bisa saja dilafalkan Nick untuk
versi nick-name-nya.
Ketiga, Gogol membenci menjadi India. Sebagai keturunan Bengali ia seharusnya
tertandai dengan karakter Bengalinya. Kenyataannya, dengan terlahir di Amerika membuat
Gogol lebih merasa menjadi Amerika daripada seorang India. Perkembangan dirinya pun

20
diwarnai budaya Amerika. Ia hidup dengan cara Amerika dengan menyukai gaya hidup,
makanan, dan bahkan musik Amerika.
Dalam teori Lacan dikatakan bahwa tahap yang Nyata tidak akan pernah dicapai. Dalam
tataran ini need bertengger dan merupakan sebuah keadaan di mana seseorang tidak mampu
membedakan antara dirinya dengan liyan. Ini dikarenakan seseorang merasa tanpa
kekurangan. Inilah yang dialami Gogol: ia menginginkan (need) menjadi seorang Amerika
dan menjadi Yang Nyata dari tataran perkembangan kepribadian menurut Lacan. Seiring
dengan apa yang dikatakan Lacan mengenai ego, kepribadian atau identitas Gogol tidak
pernah utuh seperti yang ia hasratkan.

Pada gilirannya, tataran Yang Imajiner berperan menyokong permintaan (demand) Gogol
akan identitas yang dihasratkannya sebagai pemenuhan need. Peristiwa dalam fase cermin
yang menjelmakan alieniasi di mana Gogol (bayi) didominasi/kalah oleh liyan. Citra ke-
Amerikaan yang melekat pada diri Gogol merupakan alieniasi karena terjadi kesalahan
mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Pada
prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak
utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat
pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.

Tataran yang bersinggungan dengan kehadiran bahasa adalah tataran Yang Simbolik.
Gogol mengalami momen kehilangan dan kebutuhan akan identitas dan keadaan seperti
itulah ia berada dalam tataran Yang Simbolik. Gogol sebagai subjek dikatakan tidak utuh
melalui apa-apa yang diucapkannya. Ini berarti ego Gogol terbelah karena keterpisahannya
dengan sosok yang terpantul dalam cermin dalam tataran Yang Imajiner, Gogol si orang
Amerika.

Gogol sebagai subjek dinterpelasi dan subjektifitas-nya diubah oleh diskursus. Dalam hal
ini terjadilah identifikasi, yaitu hasrat Gogol ingin menjadi seorang Gogol Amerika. Ia
merepresi segala hasrat yang tidak sejalan dengan Amerikanisme-nya. Dari sinilah proses
identifikasi tersebut selalu memberi motivasi pada hasrat untuk menjadi.
Menurut Lacan, penanda diperlihatkan dalam hasrat Gogol ingin menjadi seorang Gogol
Amerika. Objek atau petanda adalah konsekuensi dari kehadiran sebuah penanda dan di sini
petanda itu tidak ada karena secara fisik Gogol adalah kultur India yang lekat-lekat tak akan
terpisah dari daging kulitnya sebagai keturunan India. Seorang Amerika tidaklah memiliki
struktur fisik sepertinya. Maka yang terjadi adalah pembelokan petanda. Naluri

21
mengarahkannya untuk bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Amerika,
sebagai petanda alih. Dengan demikian, Gogol berada dalam kondisi pemenuhan keinginan
untuk menjadi seorang Gogol Amerika hanya bisa dilaksanakan jika ia berperilaku
sebagaimana orang Amerika sebagai obyek pemenuhan.

Tokoh Gogol dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara tertentu untuk
memenuhi hasratnya untuk menjadi Gogol Amerika. Ia memulai dengan mengganti namanya
dengan Nikhil agar tampak lebih Amerika karena bisa dipendekkan menjadi ‘Nick’. Tentu
saja dengan menyandang nama seperti itu tidak menghalanginya untuk berperilaku atau
bergaul sebagaimana seorang ‘Nick’, misalnya mabuk-mabukan, merokok, seks bebas, dan
lainnya. Puncaknya, ia melakukan hubungan seksual di luar nikah yang tentu saja
membuatnya kehilangan keperjakaannya tanpa ada penyesalan.

Sebagai Nikhil ia kehilangan keperjakaannya pada suatu pesta di


Ezra Stiles, dengan seorang gadis yang memakai rok wol kotak-
kotak, sepatu bot tentara, dan celana ketat kuning mostar. Saat ia
terbangun pada jam tiga pagi, pusing akibat mabuk, si gadis sudah
lenyap dari amar itu, dan ia juga tidak ingat nama gadis itu.
(Lahiri, 2006:125)

Akhirnya, ia memperkuat ke-Amerikaannya dengan samen laven (kumpul kebo) dengan


Maxine dalam waktu yang cukup lama. Sebagian orang Amerika tidak mempermasalahkan
hidup bersama tanpa adanya ikatan pernikahan.

Petanda alih bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Amerika oleh Gogol
akan memberi keleluasaan bagi Gogol untuk meraih hasratnya menjadi orang Amerika.

Hubungan penanda ke-Amerikaan dan petanda bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan
berpikir ala Amerika dapat dipahami dalam tataran Yang Simbolik, yaitu melalui hubungan
paradigmatik dengan konsep metafora.

Citraan Gogol Amerika adalah hasil identifikasi dalam tataran Yang Imajiner yang
kemudian mengalami represi. Dalam tataran Yang Simbolik citraan tersebut dialihkan ke
petanda aksi penggantian nama. Ini merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh
citraan Gogol Amerika bagi Gogol yang India.

Bagi Gogol, istilah atau nama Gogol merupakan metafor yang menyimbolkan
ketidakseriusan, ketidakberuntungan atau keanehan atas pemberian nama bagi orang tua
kepada anaknya.

22
“Aku tidak mengerti. Bisa-bisanya kalian memberiku nama yang
sama dengan nama orang yang begitu aneh! Tidak ada orang yang
menganggapku serius,” kata Gogol.
“Siapa? Siapa yang tidak menganggapmu serius?” tanya ayahnya,
berhenti makan dan menengadah menatapnya. (Lahiri, 2006:119)

Sedangkan bagi ayahnya, Gogol adalah metafor dari keberuntungan dalam hidup. Bagi
Ashoke, ayah Gogol, nama Gogol adalah nama yang sangat bermakna karena hubungannya
dengan penyelamatan nyawanya dalam sebuah kecelakaan kereta api. Ia mengabadikan nama
itu dengan memberikannya pada anaknya agar ia selalu ingat akan kejadian di waktu itu.
Bahkan Ashima, ibu Gogol melambangkan nama Gogol sebagai nyawa anak sekaligus
suaminya (Lahiri, 2006:41). Hanya saja Gogol tidak peduli akan latar belakang pemberian
nama tersebut kepadanya.

Ke-Amerikaan Gogol mengantarnya pada suatu hasrat menjadi yang melahirkan perilaku
narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat cukup jelas dengan gaya hidupnya yang banyak merujuk
pada style menjadi Gogol Amerika. Dengan demikian penanda utama ke-Amerikaan Gogol
ada pada ego Gogol yang direpresentasikan melalui petanda-petanda.

b. Pemenuhan Hasrat Gogol

Dalam novel ini, hasrat Gogol untuk menjadi Gogol Amerika mengantarkannya pada
sebuah fantasi. Fantasi Gogol itu merupakan apa yang tersisa dari represi tataran Yang
Simbolik. Karena letak fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka Gogol tidak akan
pernah meraihnya.

Fantasi Gogol tersebut merupakan obyek yang berharga yang bernaung dalam tataran Yang
Nyata. Gogol telah mengalami proses identifikasi pada penanda utama, yaitu Gogol Amerika
dan demi struktur dan interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan eksistensial, ia benar-
benar berperilaku layaknya seorang Amerika.

Seiring waktu, represi atau larangan-larangan menjadi semakin kuat dan tampaknya
sangat berpengaruh pada ego Gogol. Larangan-larangan tersebut muncul dalam bentuk
berbagai peristiwa di dalam kehidupan Gogol. Pertama, ketika ia membandingkan
kedekatannya dengan keluarga Maxine dengan keluarganya sendiri, ia menemukan bahwa ia
seperti bukan bagian dari keluarga Maxine, sebagaimana yang dirasakannya “… ia menyadari
bahwa rasa terikatnya pada keluarga Maxine merupakan pengkhianatan terhadap keluarganya
sendiri.” (Lahiri, 2006:164) Kemudian disusul dengan peristiwa perselingkuhan istrinya,

23
Moushumi dengan Dimitri membuatnya dapat melihat adanya keanehan dalam kehidupan ke-
Amerikaannya. Ia seperti terlempar jauh dari identitasnya sebagai seorang Amerika karena
tidak bisa menerima perselingkuhan istrinya yang notabene bukan budaya India.

“Siapa Dimitri?” tanya Gogol. “Apa Kau selingkuh?” Kalimat itu


muncul begitu saja, bukan sesuatu yang secara sadar tersusun dalam
pikirannya hingga saat itu. Pertanyaan tersebut hampir terasa lucu
baginya, membakar tenggorokannya. Tetapi begitu ia
melontarkannya, ia langsung tahu. Sikap Moushumi yang penuh
rahasia terasa dingin menusuknya, membuatnya lumpuh, bagai
racun yang dengan cepat menyebar melalui pembuluh darahnya.
(Lahiri, 2006:318)

Dalam fantasi gogol, ada kenikmatan yang dikorbankan yaitu bagaimana ia telah
berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sosok Gogol Amerika melalui tindakan-
tindakannya. Ia mengalami masa-masa ‘menyenangkan’ sebagai sosok Nikhil. Pemenuhan
hasrat Gogol dalam wujud diri Nikhil atau Gogol Amerika adalah ilusi dari ego Gogol karena
ia tidak akan pernah mencapai hasrat dalam tataran Yang Nyata tersebut. Pengalihan atau
pembelokan petanda memperlihatkan upaya untuk mencapai Yang Nyata. Ia berusaha
menjaga struktur idola Gogol Amerika itu dan klimaksnya ia harus ‘terkoyak’ dengan
‘keanehan-keanehan’ dalam konsep ‘ke-Amerikaan’ melalui ketidaknyaman berhubungan
dengan Maxine pada akhirnya, perselingkuhan istrinya, dan kematian ayahnya. Alhasil,
hasrat Gogol untuk menjadi Gogol Amerika memang tidak pernah tercapai.

Kata-kata Gogol “Aku tidak mau menjauh” (Lahiri, 2006:209) diucapkan dengan
penuh keyakinan ketika Maxine mengajaknya pergi ke New Hampshire, keluar dari
kesedihan karena wafatnya Ashoke. Pernyataannya itu mengisyaratkan sebuah pemenuhan
akan hasratnya. Ia memilih memasuki kehidupan India yang dulu pernah tidak disukainya
dan bahkan berusaha ditinggalkannya.

I. Penutup
Hasrat akhirnya menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang. Dalam
psikoanalisis Lacan ia berdiam dalam tataran Yang Simbolik, di mana kehilangan atau
terlepasnya sesuatu yang ideal akibat turut campurnya unsur bahasa. Yang ideal tidak dapat
diraih karena berada di tataran Yang Nyata sehingga dalam tataran Yang Simbolik keinginan
untuk merengkuh yang ideal tadi terbatas pada bahasa.

24
Tokoh Takashi dalam Jeritan Lirih dan tokoh Gogol dalam The Namesake memiliki
hasrat yang masing-masing tidak pernah bisa meraihnya dalam tataran Yang Nyata.
Hasrat tokoh Takashi dan Gogol ini terlihat sebagai dua macam yang terdiri dari hasrat
untuk menjadi dan hasrat untuk memiliki. Kekaguman Takashi terhadap adik kakek buyutnya
melahirkan hasrat untuk menjadi bagi dirinya. Segala perilaku dan dinamika kehidupannya
terpusat pada struktur idolanya. Keengganan Gogol terhadap budaya India mengakibatkan
dirinya tercebur dalam hasratnya menjadi Gogol Amerika.
Sehubungan dengan relasi penanda dan petanda, penanda utama pemberontak atau
pemberontakan melekat erat dalam ego Takashi, sedangkan Gogol ada pada Gogol Amerika
yang direpresentasikan melalui petanda-petanda. Petanda-petanda tersebut ada yang dialihkan
sehingga menjadi penanda alih yang akhirnya diikuti oleh petanda-petanda lain dalam
hubungan paradigmatik dan sintagmatik yang terwakili oleh konsep metaforik dan metonimi.

Hasrat untuk memiliki Takashi adalah kelanjutan dari hasrat untuk menjadi, begitu pula
halnya dengan Gogol. Gogol ingin memiliki apa yang seorang Amerika punya. Hanya saja
keinginannya itu mengalami bentuk represi dan terjadilah pembelokan ke arah perilaku ke-
Amerikaan, seperti mabuk-mabukan dan seks bebas. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh
Takashi. Keinginan Takashi memiliki kekuasaan sebagai seorang pemimpin dengan
melakukan penjarahan super market Kaisar menunjukkan betapa pentingnya posisi Liyan
disamping liyan. Kaisar dan bisnis super market-nya adalah lambang kekuasaan di
masyarakat lembah. Hasrat memilikinya mendorongnya untuk menghancurkan simbol
kekuasaan itu untuk seterusnya dirinya yang akan menjadi simbol kekuasaan akibat dari
keterpenuhannya akan hasrat untuk menjadi. Seperti yang ditegaskan oleh Saussure bahwa
petanda selalu mengikuti penanda. Tanpa adanya hubungan keeratan ini maka makna tidak
dapat muncul. Dengan kata lain, penjarahan terhadap supermarket merupakan petanda dari
penanda kekuasaan.

Tentu saja paparan di atas hanyalah sekedar buah pikir yang sangat terbatas, yaitu hasil
interpretasi penulis atas novel Jeritan Lirih. Ini berarti membuka penafsiran dan pemaknaan
yang berbeda. Yang diharapkan adalah berbagi pandangan mengenai hasil interpretasi
tersebut sehingga akan tercapai pemahaman dan pemaknaan yang lebih bervariasi, lebih
kaya, dan lebih mendalam.

25
Daftar Pustaka
Benvenuto, Bice dan Roger Kennedy. The Works of Jacques Lacan: An Introduction. New
York: St. Martin’s Press. 1986.

Kartono, Kartini. Teori Kepribadian. Jakarta: CV Rajawali. 2005.

Lahiri, Jhumpa. The Namesake (Makna Sebuah Nama). Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. 2006.

Oe, Kenzaburo. Jeritan Lirih. Diterjemahkan dari The Silent Cry (Kodansha International
Ltd., Tokyo dan New York: 1974 terjemahan John Bester dari Man’en Gannen no
Futtoboru (Kodansha Ltd., Tokyo: 1967) oleh Utti Setiawati. Yogyakarta: Penerbit
Jalasutra. 2004.

Rabate, Jean-Michel. The Cambridge Companion to Lacan. New York: Cambridge


University Press. 2003.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme
hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Sarup, Madan. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan


Posmodernisme.Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. 2008.

http://www.discourseunit.com/arcp/7.htm

http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/psychlit.php

26
Biografi Pengarang

1. Kenzaburo Oe

Kenzaburo Oe lahir pada tanggal 31 Januari 1935 di Kita-gun di


desa pegunungan Ose-mura di pulau Shikoku, ujung baratdaya
pantai Jepang. Oe adalah satu-satunya dari keluarga besarnya
yang merantau ke Tokyo pada tahun 1954, sebuah kebiasaan yang
lazim semenjak zaman restorasi Meiji. Seperti layaknya
masyarakat Jepang pada umumnya Oe dan keluarganya hidup
takzim dan setia pada kaisar; namun ketika berusia 10 tahun
pasukan Amerika (Sekutu) mendarat di desanya dan ia mengalami
perubahan sikap terhadap kekaisaran. Perlahan-lahan dunia
idealnya hancur: kekaisaran lenyap dan demokrasi diperkenalkan
di masa-masa akhir kekaisaran. Di rumah ibunya memperkenalkan dia pada novel The
Adventures of Huckleberry Finn dan The Strange Adventurous of Nils Holgerson.
Oe memulai karir kepenulisannya sejak di universitas, mengembangkan gaya
kepenulisannya sendiri yang lebih terpengaruh Barat. Karyanya mencoba masuk ke dalam
perhatian khalayak melalui gaya tuturnya yang lancar dan personal.
Perubahan politik dan sosial, trauma sisa-sisa perang, dan peristiwa keluarga membawa
pengaruh besar pada karya dan wawasan pendirian Oe. Ia pertama kali mendapat perhatian
khalayak pada tahun 1957 atas cerpen Shisha no ogori. Novel pertamanya, Memushiri kouchi
(1958) sangat dupuji kritik, tetapi yang kedua, Warera no jidai (1959) dianggap terlalu sibuk
dengan isu sosial dan kritik politik. Ini karena perhatian Oe pada gerakan Kiri Baru memang
sangat dalam, itu terutama dalam karya non fiksinya.
Ketika berkeluarga Oe mengalami krisis. Putra sulungnya, Hikari, mengalami cacat yang
menyebabkannya gagal berkomunikasi dengan orang lain. Pengalaman Oe sebagai ayah,
suami, hidup dengan anak cacat, hubungan personal, membawa pengaruh lebih besar lagi
pada karya, pandangan, dan pribadinya. Pada sisi pengalaman personal ia menggunakannya
sebagai metafora untuk mengusut masalah budaya yang diwariskan kepada generasi muda
Jepang pasca-perang Dunia Kedua. Trauma dan kemarahan itu kerap dianggap sebagai
penyebab bahasa Oe sering terasa kasar, realis, bila menyangkut tema abnormalitas,
seksualitas, atau marjinalitas. Hal tersebut sangat berbeda dengan kecenderungan tradisi
sastra Jepang yang lembut, ditulis dengan tenang dan sederhana.
27
Tahun 1960-an merupakan awal tahun bagi Oe yang menandai kesuburannya menulis
termasuk menerbitkan nonfiksi. Beberapa karya Oe yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris antara lain: Nip the Buds, Shoot the Kids; A Personal Matter; The Pinch
Runner Memorandum; A Quiet Life; Hiroshima Notes, Teach Us to Outgrow Our Madness
dan Somersault.
Oe memenangkan penghargaan Nobel di tahun 1994 dan ini mendorong dirinya memulai
pencariannya akan bentuk sastra dan kehidupan baru dirinya.

2. Jhumpa Lahiri

Jhumpa Lahiri lahir di London pada tanggal 11 Juli 1967,


dengan nama Nilanjana Sudeshna Lahiri. Ia seorang putri
imigran keturunan Benggali, India. Keluarganya pindah ke
Amerika Serikat ketika ia berumur tiga tahun. Lahiri
menganggap dirinya seorang Amerika dan dibesarkan di
Kingston, Rhode Island. Ayahnya, Amar Lahiri bekerja
sebagai pustakawan di Universitas Rhode Island.
Yang menjadi subjek penceritaan Lahiri adalah
kehidupan imigran India di Amerika. Tulisan-tulisannya
banyak dipengaruhi oleh pandangan Anton Chekov, Andre
Dubus, Mavis Gallant, Allice Munro, Vladimir Nabokov, Leo
Tolstoy, William Trevor, dan Richard Yates. Ia aktif dalam menulis novel, cerita pendek, dan
kumpulan cerita pendek. Interpreter of Maladies (1999) memenangkan Pulitzer Prize untuk
Katagori buku fiksi tahun 2000. Karya itu telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 29 bahasa
serta menjadi bestseller di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Tidak hanya itu, karya
tersebut juga memenangkan Hemingway Award, The New Yorker Debut of the Year,
American Academy of Arts and Leters Addison Mercalf Award, dan menajdi nominasi Los
Angeles Times Book Prize. Karya lainnya adalah Unaccustomed Earth (2008) dan satu-
satunya novel hingga saat ini adalah The Namesake (2003). Sementara itu cerita pendek
karyanya yang berjudul Nobody’s Business (2001) terpilih menjadi cerita pendek terbaik
Amerika tahun 2002, dan disusuk karya-karya lainnya seperti Hell-Heaven (2004), Once In A
Lifetime (2006), dan Year’s End (2007).

28
Lahiri kemudian memperoleh beberapa gelar dari Boston University: MA dalam bahasa
Inggris, MFA dalam Menulis Kreatif, MA dalam Sastra Perbandingan, dan Ph.D. dalam studi
Renaissance. Dia telah mengajar menulis kreatif di Boston University dan Rhode Island
School of Design.
Pada tahun 2001, Lahiri menikahi Alberto Vourvoulias-Bush, seorang jurnalis yang saat
itu Deputi Editor TIME Amerika Latin (dan sekarang Editor Eksekutif El Diario / La Prensa,
harian terbesar New York Spanyol. Lahiri tinggal di Brooklyn, New York bersama suaminya
dan dua anak mereka, Octavio (lahir di tahun 2002) dan Noor (lahir di tahun 2005).

Sinopsis Novel

1. Jeritan Lirih

Mitsusaburo dan Takashi adalah laki-laki yang tersisa dari


keluarga Nedokoro. Keluarga ini cukup terpandang di antara
lainnya di komunitas penduduk lembah di Shikoku karena salah
satunya memiliki sebuah rumah gudang (kura-yashiki ) yang
cukup besar serta menyimpan kenangan keberanian sekaligus
kisah tragis keluarga ini. Keberanian dalam kepemimpinan
pergerakan pemuda yang ikut andil dalam pemberontakan yang
terjadi di tahun 1860 diwakili oleh adik kakek buyut mereka
dengan inisial S sedangkan kisah tragis keluarga ini
memperlihatkan kematian anggota keluarga seperti ibu mereka
dan adik perempuan mereka yang mati karena bunuh diri.
Kisah ini berlatar tahun 1960-an, di mana Mitsusaburo atau dipanggil Mitsu baru saja
bertemu dengan adiknya Takashi atau dipanggil Taka yang baru pulang dari Amerika.
Mereka berdua mengadakan perjalanan menuju kampung halaman mereka yang terletak di
lembah. Tentu saja Mitsu harus meninggalkan pekerjaannya sebagai profesor Bahasa Inggris
di Tokyo dan anaknya (hasil perkawinannya dengan Natsumi) yang mengalami
downsyndrome dan terpaksa dirawat di institusi. Di samping itu, Mitsu juga dihantui
kepergian sahabatnya yang mati bunuh diri (mengecat kepalanya dengan cat merah,
menyumpal anusnya dengan mentimun, dan menggantung dirinya). Lebih buruk lagi,
istrinya, Natsumi adalah seorang peminum alkohol dan sering mabuk sampai matanya merah.

29
Mengenai kenangan akan kampung halaman mereka Mitsu dan Taka memiliki ingatan
dan pendapat yang berbeda. Taka yang masih muda selalu terobsesi dengan adik kakek
buyutnya dengan keberanian dan kegagahannya memimpin pemberontakan para petani yang
terjadi pada tahun 1860. Lain halnya dengan Mitsu. Ia selalu menilai bahwa adik kakek
buyutnya itu telah mengkhianati para pengikutnya dengan bersembunyi. Tetapi, keduanya
sama-sama tidak menerimakan kematian kakak tertua mereka, S. Hanya saja, sekali lagi, cara
pandang mereka berdua berbeda dalam mengenangnya. Taka begitu bersuka cita
menggambarkan kematian S sebagaimana kematian seorang pahlawan, sedangkan Mitsu
percaya S hanyalah korban balas dendam pertikaian dengan penduduk desa orang-orang
Korea, yang akhirnya mati dipukuli hingga jasadnya mengering.
Taka menjual rumah gudang kepada ‘Kaisar’ (seorang pebisnis sukses berkebangsaan
Korea yang dulunya hanyalah budak yang didatangkan sebagai pekerja di desa itu) untuk
dijadikan supermarket, yang mana bisnis seperti ini telah membuat toko-toko kecil di esa itu
menjadi bangkrut. Ternyata, tanpa sepengetahuan Mitsu, Taka juga akan menjual tanah
keluarga. Sekembalinya ke lembah, Taka berkonsentrasi menggerakkan pemuda desa dengan
membentuk kelompok pemuda. Ia mulai dengan latihan sepak bola bagi mereka dan ternyata
Taka cukup menarik simpati mereka. Hoshio dan Momoko adalah contoh pengikut setia Taka
yang meninggalkan kehidupan kota Tokyo hanya untuk tinggal di lembah dengan Taka.
Sayangnya, Mitsu akhirnya mengetahui kelicikan adiknya dan memutuskan untuk tidak
tinggal bersamanya di rumah utama. Mitsu kemudian tinggal di rumah gudang. Yang
mengejutkan, istrinya Natsumi tidak sepihak dengannya dan tetap memilih tinggal di rumah
utama bersama Taka, Momoko, dan Hoshio serta keluarga Jin.
Dalam perkembangannya, Taka menggunakan kelompok pemuda desanya untuk memulai
sebuah pemberontakan melawan sang ‘Kaisar’, yaitu dengan menjarah supermarket dan
membagi-bagi barang jarahan ke penduduk desa. Taka benar-benar menunjukkan
superioritasnya di hadapan pemuda desa dan orang-orang desa pada umumnya hanya karena
ia ingin meniru kepahlawanan adik kakek buyutnya. Betapa ia selalu mengidolakannya di
tiap kata-katanya yang terlontar dari mulutnya dan pada saat yang sama Mitsu selalu
mematahkannya dengan menunjukkan fakta-fakta yang berbeda dalam cerita tentangnya.
Seakan-akan Mitsu tampil sebagai sosok yang selalu melecehkannya dan membuat apa yang
ia banggakan terhadap adik kakek buyutnya itu suatu kenangan yang keliru, dan akhirnya
Taka berkesimpulan bahwa Mitsu begitu membenci dirinya.
Di tengah-tengah pameran akan superioritasnya, Taka ternyata melakukan hubungan
seksual dengan Natsumi yang disambut pula dengan kesadaran Natsumi sendiri ketika
30
melakukannya. Mitsu mengetahui dan diam saja, hingga akhirnya Taka harus menghadapi
kenyataan bahwa penduduk desa akan datang untuk mengadilinya karena telah membunuh
seorang gadis yang menolak ketika akan diperkosanya. Sekali lagi, Mitsu tidak mempercayai
cerita Taka tentang pembunuhan gadis itu. Ia berpikir Taka hanyalah mengarang cerita saja
untuk membuat skenario kematiannya sendiri. Dan di dalam pertentangan antara percaya atau
tidak inilah Taka mengakui sebuah skandal seksual (incest) antara dirinya dan adik
perempuannya ketika tinggal di rumah pamannya saat itu tepat sebelum ia dikirim ke
Amerika. Ia juga berniat memberikan matanya untuk Mitsu agar cacat matanya pulih.
Sayangnya Mitsu menolak dan bahkan ia meragukan kedatangan orang-orang desa itu akan
membunuh Taka.
Begitulah, ketika Taka benar-benar merasa apa yang dikatakannya tak dipercayai oleh
Mitsu dan yakin bahwa Mitsu memang sangat membencinya, ia meninggalkan pesan
bertuliskan ‘Aku mengatakan yang sebenarnya!’ sebelum menembak dirinya sendiri.
Setelah kematian Taka sang ‘Kaisar’ datang dan mulai membongkar rumah gudang.
Ternyata diketemukan adanya ruang rahasia bawah tanah yang dipakai sebagai tempat
persembunyian adik kakek buyut. Si adik kakek buyut melakukan itu sebagai hukuman atas
dirinya sendiri yang gagal memimpin pemberontakan petani di tahun 1860. Ia tidak
melarikan diri tetapi memenjarakan diri sendiri.
Akhirnya, Mitsu kembali ke Tokyo dengan Natsumi yang mengandung anak Taka.
Mereka berniat memulai hidup baru dengan mengambil kembali anak cacat mereka dari
institusi, sedangkan Mitsu kemudian mengambil tawaran pekerjaan sebagai kepala
penerjemah untuk ekspedisi ke Afrika.

2. The Namesake

The Namesake menguak sebuah tema besar persoalan: identitas.


Kehidupan Ashoke dan Ashima dan Gogol dan istrinya
tergambarkan jelas sebagai representasi dua generasi keluarga
Benggali yang bermukin di Amerika Serikat. Rentangan waktu
yang memaku kisah ini membentang sepanjang tiga dekade, sejak
tahun 1968 hingga 2000.

31
Menjelang kelahiran anak pertama pasangan Ashoke dan Ashima Gangali di Amerika
Serikat, urusan memberi nama mengawali sebuah cerita anak imigran India di Amerika.
Sesuai dengan tradisi keluarga, nenek Ashima-lah yang akan memberi nama pada bayi
mereka, karenanya mereka sepakat untuk menunda memberi nama bayi hingga surat sang
nenek yang berada di Calluta datang. Nenek Ashima mengeposkan suratnya sendiri. Surat itu
berisi satu nama bayi laki-laki, satu nama bayi perempuan. Tak seorangpun tahu apa yang
ditulis oleh sang Nenek. Malangnya ketika Ashima sudah melahirkan, surat berisi nama bayi
itu belum mereka terima. Bahkan hingga tiba saat Ashima dan bayinya harus dibawa pulang
ke rumah, surat berisi nama pemberian tersebut tidak pernah datang. Hingga Nenek Ashima
hilang ingatan dan meninggal dunia, surat tersebut tak pernah sampai. Keharusan untuk
memberi nama bayi sebelum pulang oleh petugas catatan sipil di rumah sakit tiba-tiba dalam
benak Ashoke muncul sebuah nama untuk putranya. "Gogol".

Seketika itu juga dicatatlah bayi pasangan Ashoke dan Ashima dengan nama Gogol
Ganguli , nama yang aneh dan tak lazim bagi keluarga Bengali. Sebenarnya bukan tanpa
alasan Ashoke memberi nama Gogol pada anaknya, nama ini dipilihnya karena ada dua hal
bersejarah dalam hidupnya. Pertama, Gogol adalah kependekan dari Nikolai Gogol,
pengarang Rusia yang amat dikaguminya. Kedua, nama itu mengingatkan dirinya akan
sebuah trauma bagi Ashoke yang kelak akan mengubah jalan hidupnya.

Di usianya yang ke 22 Ashoke mengalami kecelakaan kereta api yang menyebabkan


dirinya hampir mati. Tubuhnya yang terhimpit diantara mayat-mayat korban kecelakaan
kereta nyaris tak tertolong jika saja ia tak sedang memegang robekan buku kumpulan cerpen
Nikolai Gogol yang sedang ia baca. Regu penolong menemukan dirinya ketika ia sedang
melambai-lambaikan tangannya bersama robekan buku tersebut. Nyawanya tertolong, walau
kakinya menjadi cacat dan meninggalkan trauma yang dalam pada dirinya. Setelah sembuh
dari sakitnya, Ashoke terinpirasi oleh Nikolai Gogol yang berkelana ke Eropa hinga Palestina
dalam upaya mencari jati diri. Ia pun berkelana menuju Amerika untuk menyembuhkan
trauma akibat kecelakaan yang hampir merengut nyawanya. Keputusannya untuk pergi ke AS
memang mengubah jalan hidupnya. Dan dari sinilah kisah ini mengalir antara Cambridge,
Boston, New York, dan Calcutta. Ashoke menikah dengan Ashima dan memiliki dua orang
anak, Gogol dan Sonia.

Kelak ketika sudah mulai dewasa Gogol membenci namanya. Baginya namanya aneh,
absurd, dan sama sekali bukan nama Amerika apalagi India. Ia tahu bahwa namanya
32
terinspirasi dari nama salah seorang penulis Rusia, namun ia menyesalkan mengapa ayahnya
tidak memberinya nama depan penulis Rusia lain seperti Anton atau Leo. Kekecewaan
terhadap namanya bertambah ketika ia mengetahui riwayat hidup Nikolai Gogol yang
akhirnya depresi dan sakit jiwa hingga meninggalnya. Ketika ayahnya menjelaskan bahwa
dirinya pernah diselamatkan oleh buku karya penulis Rusa itu, cerita itu tak membuat Gogol
menyukai namanya.

Nama Gogol yang dibencinya itu disandangnya sebagai nama panggilan dan nama
resmi di berbagai dokumen penting. Sesaat sebelum memasuki bangku kuliah, atas seijin
orang tuanya, Gogol mengajukan permohonan untuk mengganti nama resminya dari Gogol
menjadi Nikhil. Nama Nikhil ini pernah diberikan ayahnya ketika ia mendaftarkan Gogol ke
TK. Bagi Gogol nama Nikhil lebih terdengar umum karena bisa dipanggil "Nick", nama yang
umum di Amerika. Semenjak itu namanya resmi menjadi Nikhil dan mulailah Gogol
menjalani kehidupannya dengan nama barunya.

Berbagai peristiwa yang dialami Gogol terungkap dalam novel ini, konflik-konflik
bermunculan ketika ia mulai berkencan dengan beberapa teman wanitanya. Selain konflik
batin dengan dirinya sendiri dan pasangannya yang selalu berakhir dengan kegagalan,
hubungan Gogol dan keluarganya juga menjadi jauh hingga akhirnya kematian Ashoke
mendekatkan kembali dirinya dengan keluarganya. Rangkaian peristiwa-peristiwa ini kelak
akan membentuk Gogol, mengubahnya, dan menentukan siapa dirinya sesungguhnya.

Walau tokoh utama dalam novel ini adalah Gogol, kehadiran tokoh-tokoh lain seperti
Ashoke, Ashima, Sonia, Moushomi, dll, disajikan sesuai dengan porsinya masing-masing
sesuai dengan tuntutan cerita. Perpindahan cerita dari satu tokoh ke tokoh lainnya pun tersaji
dengan lancar sehingga tak membingungkan pembacanya. Selain itu kedalaman dalam
mendeskripsikan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel ini baik fisik maupun pikiran mereka,
ditambah infromasi mengenai budaya masyarakat India di Amerika membuat kisah ini
menjadi kaya akan informasi.

Melalui novel ini juga pembaca seakan diajak menyelami kehidupan keluarga imigran
India di AS. Walau sudah tinggal dan menetap sekain lama di Amerika mereka tetap
melakukan ritual sehari-hari yang biasa mereka lakukan di tanah kelahiran mereka, begitu
pula dengan tradisi tahunan yang berlatarkan agama Hindu. Hal-hal tersebut kerap dilakukan
oleh masyarakat Bengali yang lahir di India dan menetap di Amerika seperti halnya Ashoke

33
dan Ashima. Mulai dari pakaian Ashima yang selalu mengenakan sari, memasak makanan
India, pertemuan rutin sesama keluarga Bengali, dll. Dengan demikian, walau mereka sudah
berwarga negara Amerika akar budaya India tetap melekat dalam diri mereka.

Tidak demikian halnya dengan generasi pertama India yang lahir dan besar di
Amerika seperti halnya Gogol. Dalam novel ini Gogol dikatakan sebagai salah satu di antara
banyak orang India beridentitas ganda di Amerika yang dijuluki ABCD (American Born
Confused or Conflicted Deshi). Walau kultur India mau tak mau melekat dalam darahnya,
Gogol merasa bahwa ia orang Amerika, perilakunya baik dalam sekolah, mencari hiburan,
maupun mencari teman kencan, semua menunjukkan bahwa ia memang orang Amerika. India
hanya dikenal sebagai tanah leluhur lewat makanan, tradisi yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya dan kunjungannya beberapa kali ke Callcuta.

Melalui Gogol maka Ashoke dan Ashima melihat bagaimana benturan-benturan


budaya harus mereka hadapi, Gogol yang hidup dalam ke-Amerikaannya selalu menjaga
jarak dari asal-usulnya, untunglah orang tuanya selalu berupaya menjembatani jarak tersebut
sebaik mungkin.

----

34

You might also like