You are on page 1of 12

JURNALTUGASAKHIR

STUDI BIORMEDIASI SAMPAH PASAR DI KOTA MAKASSAR SEBAGAI


BAHAN PEMBUATAN KOMPOS DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA

OLEH:

ERNI OCTAVINA POTUDA


D12110004

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
STUDI BIORMEDIASI SAMPAH PASAR DI KOTA MAKASSAR SEBAGAI
BAHAN PEMBUATAN KOMPOS DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA

AchamadZubair1, IrwanRidwan1 , Erni O. Potuda2

ABSTRACT. Compost is organic matter that has decomposed and used as a planting medium fertilizer and soil
conditioner. There are many techniques of composting , but it has same principle and it is to convert organic
materials that have been considered as trash to process such a way so that compatible to used as media which
functioning to loose soil and fertilizer plants . This study uses an experimental approach-labotratory. The study
was conducted in a laboratory scale, composting markets garbage in Makassar city using cow dung as the
additional material and the addition of an effective microorganism ( EM4 ) as the activator with using takakura
composter . This study seeks the effect of certain variables on other variables in strictly controlled conditions .
The results has obtained is the addition of effective microorganism ( EM4 ) affect the quality of the finished
compost which is relatively better than natural composting . Additional material variations to compost very
influential to the quality of finished compost which the best quality compost contained in the composition or P2
variations is market garbage and cow dung compost quality with 20:39 % C-organic , N - total 1.2 % , C / N
ratio 17:05 , P- total 1.98 % , K - total 1:09 % . This composting method provides an opportunity to develop as
a business , economic value and help the government in reducing waste generation . Markets garbage in
Makassar city, if using composting methods can produce compost of 16 ton /day and earned a profit of
Rp.1.798.224,-/ day with the assumption of a minimum income from the sale of compost is Rp.750 / kg .
Key words : compost bioremediation, markets garbage, effective microorganism (EM4), development prospect

bertujuan untuk konservasi lingkungan,


keselamatan manusia, dan pemberi nilai
ekonomi.
Bioremediasi
merupakan
pengembangan dari bidang bioteknologi
lingkungan dengan memanfaatkan proses
biologi dalam mengendalikan pencemaran
dan cukup menarik. Selain hemat biaya,
dapat juga dilakukan secara in situ
langsung di tempat dan prosesnya alamiah
(Hardiani, dkk. 2011).
Pada prinsipnya, ada beberapa hal
yang
harus
diperhatikan
untuk
mempercepat proses pengomposan, di
antaranya
pemilihan
bioaktivator,
penggunaan komposter, dan pengaturan
terhadap kondisi pengomposan. Aktivator
dalam penelitian ini berupa Effective
microorganism (EM-4).

PENDAHULUAN
Kota Makassar adalah salah satu
kota yang mengalami permasalahan dalam
mengelola sampah pasar. Dari data dinas
kebersihan kota Makassar tahun 2013
volume sampah pasar adalah 686,62
m3/hari. Salah satu jenis sampah yang
dihasilkan akibat kegiatan pasar yang
cukup besar adalah sampah organik. Oleh
karena itu, diperlukan sistem pengolaan
sampah yang baik.
Salah satu pengolaan sampah yaitu
metode kompos, dimana metode tersebut
bertujuan untuk mengurangi volume
sampah atau merubah komposisi dan
bentuk sampah menjadi produk yang
bermanfaat. Pengolahan sampah tersebut
dapat dilakukan langsung pada sumbernya,
pada tempat yang dirancang khusus,
Tempat Pembuangan Sementara (TPS),
atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
(Elvi Yenie,2008). Pada metode kompos
ini juga memanfaatkan mikroorganisme
(bioremediasi)
untuk
mendegradasi
sampah pasar sebagai bahan utama
pembuat kompos. Pengomposan dianggap
sebagai teknologi berkelanjutan karena

METODOLOGIPENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
metode statistic deskriptif, yaitu metode
dengan cara menghitung rata-rata setiap
parameter yang diukur kemudian disajikan

1Dosen,JurusanTeknikSipil,UniversitasHasanuddin,Makassar90245,INDONESIA
2Mahasiswa,JurusanTeknikSipil,UniversitasHasanuddin,Makassar90245,INDONESIA
2

dalam bentuk tabel dan grafik. Selanjutnya


data yang diperoleh dijadikan acuan
terhadap hasil penelitian mengenai
kompos. Eksperimen ini terdiri dari 3
variasi perlakuan dan 1 kontrol dengan 2
kali pengulangan sehingga diperoleh 8 unit
percobaan.
Tabel 1. Skema Variasi Penelitian

Alat:
Ember,
pengaduk kayu,
panci pemasak
air,
botol
penyimpan,
saringan (dari
kain atau kawat
kasa).
Cara
Pembiakan :
1. Panaskan 5 liter air sampai mendidih.
2. Masukkan terasi, bekatul dan molase.
Lalu, aduk dengan pngaduk kayu
sampai merata.
3. Dinginkan sampai adonan mencapai
suhu normal (35-36o C). adonan yang
masih panas akan membunuh bakteri
EM4 yang akan di biakkan. Setelah
dingin, masukkan cairan EM4 dan
aduk sampai rata. Setelah itu, tutup
rapat selama 2 hari.
4. Setelah 3-4 hari bakteri sudah dapat
diambil dan disaring. Lalu, masukkan
ke dalam botol.
5. Simpan botol di dalam ruangan yang
sejuk dan tidak terkena sinar matahari
langsung. Agar bakteri mendapat
kebutuhan oksigen, jangan terlalu rapat
menutup botol atau biarkan terbuka.
Setelah itu, cairan EM4 sudah siap
digunakan untuk membuat pupuk
organik.
A. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap pertama yang dilakukan
yaitu dengan membiakkan bakteri EM4
lalu mengumpulkan sampah sayur yang
berlokasi di pasar terong. Setelah itu,
mencacah sampah sayur menggunakan
gunting hingga berukuran 2 cm. Ukuran
partikel menjadi pertimbangan yang
penting pada tahap ini. Semakin kecil
ukuran partikelnya, maka semakin baik
untuk proses pengomposan. Sebab bakteri
pengurai kompos akan lebih banyak yang
tumbuh sehingga proses pengomposan
akan lebih cepat terjadi. Masing-masing

Keterangan : Perbandingan sampah pasar,


kotoran sapi dan bioaktivator EM4
P0 : 3 kg sampah sayur (kontrol)
P1 : 3 kg sampah sayur + 10 ml EM4
P2 : 3 kg sampah sayur + 0,9 kg
kotoran sapi
P3 : 3 kg sampah sayur + 0.9 kg
kotoran sapi + 10 ml EM4
Cara Pengumpulan Data
Data
Primer,
diperoleh
melalui
pemeriksaan kadar air, suhu dan
karakteristik fisik di lapangan serta
pemeriksaan C-Organik, N-Total, dan rasio
C/N sebelum dan sesudah kompos matang
di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin.
Data Sekunder, diperoleh melalui
penelusuran kepustakaan berupa hasil
penelitian sebelumnya serta artikel-artikel
mengenai pemeriksaan C-Organik, NTotal, rasio C/N, kadar air, suhu dan
karakteristik fisik kompos.
Tahap Persiapan Aktivator
Aktivator yang digunakan dalam
pnelitian ini adalah larutan effective
microorganism 4 yang disingkat EM4,
Pembiakan Bakteri EM4 yaitu :
Bahan:
-

Air Bersih (tidak mengandung kapotit


atau bahan kimia lainnya): 5 liter

Cairan EM4 : 1 liter

Bekatul
: 3 kg
Molase : liter (100 g gula merah
yang dilarutkan dengan air
secukupnya)
Terasi : kg

komposter akan diisi dengan bahan


kompos sampah sayuran seberat 3 kg atau
sebesar 0,017226 m3. Setelah dicacah,
bahan dicampur dengan kotoran sapi
sesuai dengan dosis variasi penelitian yang
telah ditentukan dan aktivator yang
digunakan
yaitu
EM4.
Proses
pencampuran menggunakan sekop kecil.

(memiliki sirkulasi udara yang lancar)


serta terlindung dari sinar matahari.
Pemeriksaan suhu dan karakteristik
fisik dilakukan setiap hari. Sedangkan
untuk pemeriksaan C-organik, N-total,
rasio C/N, dan kadar air dilakukan
sebelum dan sesudah kompos matang di
Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian
Universitas
Hasanuddin.
Pembalikkan dilakukan tiap 2x seminggu
untuk
memberikan
aerasi
dan
menghomogenkan tumpukan kompos.

Dok:jujubandung.wordpress.com1253 6
63Search by image
Gambar 1. Komposter Takakura

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemudian komposter dipersiapkan


dengan menggunakan komposter takakura
seperti pada gambar 3.2. Komposter
terbuat dari keranjang berpori dan plastik
tahan lama yang dilengkapi dengan
penutup. Komposter yang digunakan
memiliki diameter bawah 32 cm dan
diameter atas 26 cm dengan ketinggian 26
cm. Kardus bekas diletakkan pada sisi-sisi
dinding keranjang. Berfungsi untuk
menahan panas, menyerap kelebihan air
dan mencegah kompos keluar dari wadah
(keranjang). Pada Takakura, digunakan
lapisan kardus dengan pertimbangan
bahwa kardus memiliki pori-pori udara
sehingga dapat terjadi sirkulasi udara
didalam keranjang. Bantalan sekam
diletakkan dibawah dan diatas keranjang.
Berfungsi untuk menahan panas, mengatur
kelembapan dan mencegah adanya lalat.
Bantalan sekam dibuat dari kain kasa yang
dijahit berisi sekam padi menyerupai
bantal.
Setelah semuanya siap, bagian
dasar keranjang diisi dengan bantalan
sekam. Lalu bahan kompos yang telah
dicampur diletakkan diatas bantalan sekam
tersebut. Kemudian tumpukan bahan
kompos ditutup dengan bantalan sekam.
Diatasnya dilapisi kain hitam berpori
untuk mencegah lalat bertelur didalam
keranjang. Selain itu, kain hitam berpori
juga
diletakkan
dibawah
penutup
keranjang. Dan setelah semuanya selesai,
keranjang ditutup dengan penutupnya.
Komposter disimpan di tempat yang teduh

Karakteristik Bahan Kompos


Setelah
proses
pengomposan
berlangsung, setiap perlakuan atau variasi
kompos dilakukan uji kandungan terhadap
variasi
kompos
(pengujian
awal).
Bertujuan untuk mengetahui karakteristik
setiap variasi kompos. Hasil yang
didapatkan dari beberapa pengujian dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji karakteristik bahan
kompos

Berdasarkan hasil pengujian awal pada


tabel 2 diperoleh bahwa rasio C/N variasi
P0 sebesar 49.95 dimana komposisi bahan
kompos hanya sampah sayur dengan nilai
C-organik yang tinggi dan N-total yang
rendah, sehingga nilai rasio C/N lebih
tinggi dari variasi lainnya. Pada prinsipnya
bahan organik dengan nilai pH antara 3
dan 11 dapat dikomposkan, pH optimum
berkisar antara 5,5 dan 8 (Susanto,2002).
Maka nilai pH dari setiap variasi
memenuhi persyaratan.
Kadar air yang terdapat di setiap
variasi kompos sangat tinggi, hal ini
disebabkan karena bahan komposisi
kompos adalah sampah sayur yang
memiliki kandungan kadar air yang sangat
tinggi yakni 81.72% - 91.15%.

Hasil pengamatan terhadap suhu


selama proses pengomposan menunjukkan
terjadi peningkatan suhu secara bertahap.
Suhu tertinggi yang dapat dicapai pada tiap
variasi berbeda. Kenaikan suhu pada awal
proses
menandakan
bahwa
proses
pengomposan berjalan dengan baik.

Pengaruh
EM4
dan
Variasi
Tambahan Terhadap Kualitas Kompos
a. Kadar Air
100
80
60

40
20

awal

Pengukuran Suhu

akhir

60
50
40
30
SuhuP0
(C ) 20
10
0

P0

P1

P2

P3

Variasi Kompos

Gambar 2. Grafik perubahan kandungan


kadar air kompos

P1

P2

P3

Waktu (hari)

Dari gambar diatas dapat diketahui


bahwa kandungan kadar air awal
pengomposan pada tiap variasi sangat
tinggi. Penurunan kandungan kadar air
yang sangat tinggi terdapat pada variasi P1
dengan bahan baku sampah sayur
ditambahkan biaktivator EM4 dan variasi
P2 menambahkan kotoran sapi yang
mengakibatkan proses penguraian kompos
lebih cepat yaitu 30 hari pengomposan .
Sedangkan pada variasi P0 bahan
komposisi kompos tidak menggunakan
bioaktivator hanya sampah sayur saja
sehingga proses dekomposisi kompos
sangat lama yaitu 50 hari pengomposan
dan
bahan
dasar
kompos
yang
mengandung
banyak
kadar
air,
mengakibatkan kadar airnya lebih banyak
dibanding dengan variasi yang lain. Pada
grafik tersebut dapat dilihat bahwa
kandungan kadar air setiap variasi
mengalami penurunan sampai mendekati
kadar air kompos matang. Menurut SNI
kadar air maksimum sebesar 50%, semua
variasi kompos memenuhi standar

Gambar 3. Grafik perubahan suhu kompos


Dari grafik diatas terlihat bahwa
variasi P1 dan P3 suhu lebih cepat
meningkat yakni pada hari keempat
dibandingkan dengan variasi P2. Hal ini
disebabkan variasi P1 dan P3 dengan
penambahan
EM-4,
aktivitas
mikroorganisme akan semakin cepat dalam
mendekomposisi bahan kompos, sehingga
tumpukan
menjadi
turun.
Seluruh
tumpukan kompos kemudian mengalami
fase pendinginan dan fase pematangan
yang
ditandai
dengan
penurunan
temperatur dari temperatur puncak menuju
kestabilan. Kematangan kompos terjadi
pada temperatur 26-27oC pada hari ke 30
dan 40. Temperatur ini sama dengan
temperatur tanah dan telah sesuai dengan
persyaratan kompos matang. Rendahnya
suhu kompos disebabkan sedikitnya
volume tumpukan kompos mengingat
penelitian
dilakukan
dalam
skala
laboratorium sehingga panas yang
terakumulasi rendah.
c. Perubahan pH
Selama masa pngomposan, pH diukur
secara periodik yaitu setiap sepuluh hari.
Pada prinsipnya bahan organik dengan
nilai pH antara 3 dan 11 dapat

b. Perubahan Suhu
Pengukuran suhu dilakukan setiap 2
hari untuk mengetahui perubahan yang
terjadi selama proses pengomposan dan
untuk mngukur suhu menggunakan
termometer tanah.
5

dikomposkan, pH optimum berkisar antara


5,5 dan 8 (Susanto,2002). Berdasarkan
tabel 4.3 pH awal yang akan
dikkomposkan masih memenuhi syarat.

mikroorganisme tanah (Hardjowigeno,


1991 dalam Rina Soetopo, 2006).
d. Perubahan Bau, Warna dan Bentuk
Fisik Kompos

15

Tabel 3. Hasil observasi bau,warna dan


bentuk fisik kompos

10
pH (Keasaman)

P0

P1

P2

0
0

P3

10 20 30 40 50
Waktu (hari)

Gambar 4. Grafik perubahan pH

Bau kompos yang terbentuk sesuai


standar SNI adalah berbau menyerupai
tanah, kondisi ini ditemukan pada variasi
atau perlakuan P2 dan P3.
Warna kompos yang baik menyerupai
warna tanah, dalam penelitian ini semua
perlakuan menyerupai warna tanah yaitu
coklat tua. Dalam hal ini memenuhi SNI.
Bentuk fisik kompos yang menyerupai
tanah (halus) hanya terbentuk pada
perlakuan P2 dan P3. Untuk perlakuan P0
(kontrol) dan P1 cendrung kering, pada
proses pengomposan berlangsung kedua
perlakuan lebih basah (becek) sehingga
tidak dilakukan penyiraman. Akan tetapi
hasil akhir pngomposan berdasarkan
penyusutan, P0 dan P1 bentuk fisiknya
adalah kering. Sehingga hanya variasi P2
dan P3 bentuk fisik yang memenuhi SNI
yaitu halus
a. C-Organik

kompos
Dari grafik diatas dapat terlihat bahwa
variasi lain mengalami pH yang basa.
Sedangkan variasi kompos P0 yaitu
kontrol mengalami pH yang netral di awal
proses pengomposan. Berjalannya waktu
pengomposan pH mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan karena aktivitas
mikroorganisme yang menguraikan bahan
organik menjadi asam organik sederhana.
Dari variasi tumpukan kompos di
masing-masing aktivator, pH kompos
matang berada diantara 4-9.Hal ini berarti
sudah sesuai dengan standar Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011 yakni pH
untuk kompos matang antara 4-9. Akan
tetapi pada kompos matang dengan variasi
P1 penambahan activator EM4 dan P3
penambahan aktivator EM4 dan kotoran
sapi, pH tidak memenuhi persyaratan
Permentan yaitu dengan nilai pH yang
sedikit berada di ambang batas sebesar
9.05 dan 9.46.
Variasi P1 dan P3 menggunakan bahan
kompos sampah sayur ditambah dengan
aktivator EM4 dan kotoran sapi dengan
nilai nitrogen yang tinggi sehingga
berpotensi mengandung amonia yang
diproduksi pada saat pengomposan.
Amonia meningkatkan pH karena sifatnya
yang basa. pH yang terlalu basa dapat
menghambat pertumbuhan tanaman dan

40
30
% 20

awal

10
0

akhir
P0

P1

P2

P3

Variasi Kompos

Gambar 5. Grafik perubahan kandungan


C-Organik
Dari gambar 5. terlihat bahwa Corganik mengalami penurunan dari awal
6

pengomposan sampai akhir pengomposan,


ini disebabkan karena C-organik berfungsi
sebagai sumber energi bagi mikroba.
Terlihat dari grafik nilai C-organik
penurunan yang tertinggi pada variasi P2
yakni sebesar 14.48%. Hal ini disebabkan
karena proses dekomposisi yang baik
dimana komposisi variasi P2 adalah
sampah sayur ditambahkan kotoran sapi.
Kotoran sapi mengandung gas metan yang
menghasilkan panas. Kondisi tumpukan
kompos variasi P2 dapat mengisolasi
panas dengan cukup mengakibatkan
kandungan C organik yang ada dalam
setiap bahan kompos dapat terdekomposisi
dengan baik. Sedangkan penurunan yang
terendah pada variasi P0 dimana
komposisi bahan variasi P0 adalah sampah
pasar saja sehingga Semua nilai C-organik
dari setiap variasi sudah memenuhi SNI
yakni 9.80% - 32%.
b. N-Total
1.4
1.2
1
0.8
% 0.6
0.4
0.2
0

awal
P0

penelitiannya yang menyatakan bahwa


nilai nitrogen naik disebabkan proses
dekomposisi oleh mikroorganisme yang
menghasilkan amonia dan nitrogen
terperangkap di dalam tumpukan kompos
karena pori-pori tumpukan kompos yang
sangat kecil sehingga amonia dan nitrogen
yang terlepas ke udara berada dalam
jumlah yang sedikit. Walaupun kenaikan
nitrogen pada variasi P0 sangat meningkat
namun hasil akhir nilai nitrogennya tetap
rendah yakni 0.94%. Kenaikan yang
terendah yaitu pada variasi P3 yakni
sebesar 0,02%. Komposisi bahan variasi
P3 yakni sampah sayur, kotoran sapi dan
ditambahkan dengan bioaktivator EM4
memiliki nilai N-total yang sudah tinggi
yaitu 1.13% sehingga kenaikan nilai Ntotal rendah. Hal ini juga dialami pada
variasi kompos yang lainnya disebabkan
nilai N-total yang sudah tinggi.
Hasil kandungan N-total pada masingmasing variasi dari awal pengomposan
sampai akhir pengomposan mengalami
peningkatan. Peningkatan kandungan Ntotal sudah memenuhi SNI yaitu minimum
0,40%.

akhir
P1

P2

c. Rasio C/N
Rasio C/N merupakan perbandingan
antara unsur karbon dan nitrogen. Rasio
C/N
digunakan
untuk
memenuhi
kebutuhan nutrisi bagi mikroorganisme
untuk melakukan aktivitasnya dalam
merombak substrat. Uji kandungan rasio
C/N
dilakukan
awal
dan
akhir
pengomposan.

P3

Variasi Kompos

Gambar 6. Grafik perubahan kandungan


N-total
Dari gambar 6 terlihat bahwa kenaikan
N-total tertinggi yaitu pada variasi P0
yakni sebesar 0.35%. Komposisi bahan
variasi P0 hanya sampah sayur (kontrol),
dimana nilai penurunan kandungan Corganik lebih rendah dari variasi kompos
yang lainnya dan nilai awal nitrogennya
lebih rendah dari variasi kompos yang
lainnya. Sehingga pada saat proses
dekomposisi
bahan
kompos
oleh
mikroorganisme yang mengubah amonia
menjadi nitrat menyebabkan nilai nitrogen
variasi P0 naik. Hal ini sesuai dengan
pendapat Andhika dkk (2008) dalam

60
50

C /N

40
30
20
10

awal

akhir

0
P0

P1

P2

P3

Variasi Kompos

Gambar 7. Grafik perubahan rasio C/N


Dari gambar diatas dapat diperoleh
bahwa rasio C/N mengalami penurunan
7

selama proses pengomposan. Hal ini


disebabkan karena proses dekomposisi
oleh mikroba dimana terjadi penguraian
karbon yang digunakan mikroba sebagai
sumber energi dan pertumbuhannya.
Sedangkan nitrogen digunakan mikroba
untuk sintesis protein dan pembentukan
sel-sel tubuh. Sehingga didapatkan jumlah
kandungan C-organik yang rendah dan
kandungan Nitrogen yang tinggi, maka
rasio C/N menjadi rendah.
Rasio C/N untuk variasi P0 lebih besar
dibandingkan dengan variasi lainnya.
Variasi P0 sedikit melebihi ambang batas
yakni 20.76 dimana nilai rasio C/N
menurut SNI adalah 10-20. Hal ini
disebabkan bahan penyusun kompos
variasi P0 adalah sampah sayur, tidak
mengandung kotoran sapi dan bioaktivator
EM4. Sedangkan bahan penyusun kompos
variasi P1, P2 dan P3 mengandung kotoran
sapi dan bioaktivator EM4. Hal ini sesuai
dengan Mulyono (2014) dalam bukunya
menyatakan bahwa pada rasio C/N tinggi,
mikroorganisme tidak berkembang dengan
optimal akibat kekurangan nitrogen.
Variasi P0 hanya mengandung nitrogen
yang sedikit yaitu 0.59% sehingga nilai
rasio C/N tinggi.
d. P2O5 dan K2O
Pemeriksaan kandungan P2O5 dan K2O
dilakukan setelah pengomposan berakhir.
Hal ini dilakukan bertujuan untuk
mengetahui kandungan P2O5 dan K2O pada
kompos matang dari variasi kompos yang
terbaik.
Unsur fosfor (P2O5) bagi tumbuhan
berperan untuk mempercepat pertumbuhan
akar pada bibit, serta memperkuat dan
mempercepat pertumbuhan pada tanaman
dewasa. Selain itu, fosfor (P2O5)
bermaanfaat untuk menambah kualitas
pada tanaman biji-bijian dan berpengaruh
pada pembentukan inti sel.
Unsur kalium (K2O) sangat berguna
untuk
mempercepat
pembentukan
karbohidrat dalam tanaman, memperkokoh
tanaman, serta menambah daya tahan
terhadap serangan hama dan penyakit.
Selain itu, unsur kalium sangat berperan

untuk meningkatkan kualitas biji-bijian,


seperti pada bulir padi menjadi mudah
bernas. Pada tanaman umbi-umbian,
kalium bermanfaat untuk mempercepat
pembesaran umbi.
Tabel 4. Kandungan P-total dan K-total

Dari tabel 4.10 pada variasi P2


didapatkan hasil kandungan P2O5 yakni
sebesar 1,98% dan K2O yakni sebesar
1,09%. Dari hasil perbandingan dengan
standar kualitas kompos matang menurut
SNI 19-7030-2004 yakni P2O5 minimum
0.10% dan K2O minimum 0.20%,
kandungan P2O5 kompos matang dan K2O
sudah memenuhi standar
Lama Waktu Pengomposan
Lama waktu pengomposan sampah
dalam analisis ini ditetapkan berdasarkan
penyusutan
berat
sampah
dan
memperhitungkan standar fisik kompos
seperti tekstur yang menyerupai tanah.
Dari hasil penyusutan kompos yang
telah diketahui dan standar fisik kompos
didapatkan lama waktu pengomposan pada
tabel 4.14, terlihat bahwa variasi P0
(kontrol) adalah waktu pengomposan yang
paling lama yakni 50 hari pengomposan
sedangkan waktu pengomposan yang
paling cepat adalah variasi P1 (sampah
sayur ditambah biaktivator EM4) dan P2
(sampah sayur ditambah kotoran sapi).
Akan tetapi jika ditinjau dari fisik kompos,
tekstur variasi P1 dan P0 adalah kering
tidak memenuhi standar SNI yakni halus.
Hal ini disebabkan oleh bahan dasar
variasi P1 dan P0 yang digunakan adalah
sampah sayur tanpa kotoran sapi, sehingga
gas-gas hasil penguraian oleh mikroba
yang terbuang ke udara, misalnya amonia
dan uap air menyebabkan berat bahan
akhir menjadi berkurang dan menjadi
kering. Maka variasi P2 adalah variasi
kompos yang paling cepat proses

pengomposannya
pengomposan.

yakni

30

hari

Analisis Biaya Pengelolaan Kompos


Sampah Pasar Kota Makassar
a) Lokasi

Prospek Pengembangan Sampah Pasar


Sebagai Bahan Pembuatan Kompos.
Tingginya penggunaan kompos oleh
petani menjadikan sampah pasar menjadi
peluang sebagai bahan dasar pembuatan
kompos.
Pembuatan kompos serta variasinya
seperti kotoran sapi dan bioaktivator tidak
memerlukan modal yang besar. Pembuatan
bioaktivator dapat dilakukan sendiri dan
pengumpulan bahan organik dapat
diperoleh dari sampah pasar.
Berdasarkan
data
dari
Dinas
Pertanaman dan Kebersihan tahun 2013
total volume timbulan sampah kota
Makassar sebesar 4.188,26 m3/hari.
Volume sampah pasar kota Makassar
mencapai 686,62 m3/hari.
Sampah sayuran sebesar 45,31% atau
sebanyak 188,28 m3/hari
Sampah buah (kulit buah) sebesar
35,12% atau sebanyak 145,94 m3/hari
Sampah daun kering sebesar 19,57%
atau sebanyak 81,32 m3/hari.
Dalam penelitian ini sampah sayuran
yang digunakan 3 kg, menggunakan
volume keranjang sebesar 0,017226 m3
dan menghasilkan kurang lebih 1,5 kg
pupuk kompos. Dari hasil pengukuran
yang dilakukan diperoleh sampah sayuran
sebesar
188,28
m3/hari
mampu
menghasilkan
188,28 m 3/hari
x 1,5 kg=16394,98
0,017226 m 3

Lokasi pengolahan yang tepat yaitu


luasan yang mencukupi. Direncanakan
lahan untuk bangunan sekitar 28 m yang
terdiri dari bak penampungan berukuran
4x3 m= 12 m, ruang mesin berukuran
2x2 m = 4 m, bak fermentasi berukuran
4x3 m = 12 m, sedangkan luas lahan
yang
digunakan
sebagai
tempat
pengomposan minimum 200 m. Lokasi
sebaiknnya terkena sinar matahari,
tempatnya agak tinggi, mudah untuk jalan
keluar masuk truk. Lokasi pengolahan
dapat rencanakan di TPS, selain karena
posisinya
yang
strategis,
juga
mempermudah kegiatan pengomposan
(Hamidah Nurul, 2013).
b) Perhitungan Biaya Satuan

Asumsi yang digunakan dalam


perhitungan biaya satuan pengelolaan
sampah organik pasar kota Makassar
adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan bahan bakar untuk
penggunaan mesin crusher adalah 1,5
liter/jam atau 12 liter/8jam. Kapasitas
yang dapat ditampung mesin crusher
sebanyak 5.000 kg/hari.
2. Upah tenaga kerja sebesar Rp.
1.900.000,-/bulan @9 personil pekerja
adalah Rp. 205.200.000/tahun.

Operator mesin = 1 orang

Tenaga
pencampuran
bahan/
inkubasi
= 3 orang
Tenaga sortir = 3 orang
Pengemasan = 2 orang
3. Kapasitas 1 kontainer adalah 13 m3
atau
4.550
kg/m3.
Sehingga
membutuhkan kurang lebih 1 buah
kontainer untuk mengangkut sampah
sayuran di pasar. Biaya transportasi 1
buah kontainer Rp.400.000,-/hari.
4. Harga penjualan kompos dengan
menggunakan asumsi pendapatan
minimum
sebesar
Rp.750,-/kg
(Achmad Zubair dkk,2012).

kg/hari atau kurang lebih 16 ton/hari


pupuk kompos. Sebesar 188,28 m3/hari
atau sebanyak 65,89 ton/hari sampah
sayuran akan digunakan sebagai bahan
kompos. Untuk menentukan kapasitas
berat sampah sayur yang dihasilkan per
hari, jumlah volume sampah dikalikan
dengan berat jenis sampah sebersar 350
kg/m3 (Pedoman Implementasi 3R Skala
kota, BLH).

Perhitungan
Penyusutan
Pemeliharaan

Biaya
Investasi,
(Depresiasi),
dan

kompos matang dimana kualitas


terbaik
kompos
terdapat
pada
komposisi atau variasi P2 yaitu sampah
pasar dan kotoran sapi dengan kualitas
kompos C-organik 20.39%, N-Total
1.2%, rasio C/N 17.05, P-Total 1.98%,
K-Total 1.09%. Variasi P0 yaitu
kontrol dan P1 yaitu sampah pasar dan
EM4 tidak dapat dijadikan sebagai
kompos karena bentuk fisik akhir
kompos cenderung kering. Sedangkan
pada variasi P3 yaitu sampah pasar
ditambahkan kotoran sapi dan EM4
kandungan unsur hara makronya dan
bentuk fisik memenuhi standar baku
mutu kompos akan tetapi kandungan
nilai pH diatas ambang batas yakni
sebesar 9.46 cenderung basa.
3. Lama
waktu
pengomposan
berdasarkan penyusutan bahan kompos
dan bentuk fisik kompos matang
didapatkan bahwa variasi maka variasi
P2 ditambahkan kotoran sapi adalah
pengomposan yang paling cepat yakni
30 hari.
4. Sampah pasar di kota Makassar jika
menggunakan metode komposting
dapat menghasilkan kompos sebesar 16
ton/hari dan diperoleh keuntungan
sebesar Rp.1.798.224,-/hari dengan
menggunakan asumsi pendapatan
minimum dari penjualan kompos
Rp.750/kg. Metode kompos ini
memberikan
peluang
untuk
dikembangkan sebagai usah, nilai
ekonomis dan membantu pemerintah
dalam mengurangi timbulan sampah.

Tabel 5. Analisa Biaya Satuan Pengelolaan


Kompos Sampah Pasar Kota
Makassar 2014

Dari hasil analisa di atas


didapatkan total keuntungan bersih per
tahun Rp. 218.783.750,-/tahun atau
Rp.599.408,-/hari dengan penjuan kompos
Rp.750,-/kg dengan bahan baku kompos 5
ton/hari. Sampah pasar di kota Makassar
dengan bahan baku kurang lebih 16
ton/hari mampu menghasilkan keuntungan
sebesar
Rp.656.351.250,-/tahun
atau
Rp.1.798.224,-/hari.
Kompos
yang
berbahan dasar sampah sayur jika
dianalisis dari segi biaya dan waktu
pengomposan sangat berpeluang untuk
dikembangkan sebagai usaha, sebab biaya
yang dikeluarkan tidak terlalu besar dan
sampah sayur yang digunakan diambil dari
sampah pasar yang tidak termanfaatkan
sehingga menambah nilai guna dan nilai
ekonomis. Selain memiliki nilai ekonomis
metode komposting juga dapat mengurangi
volume timbulan sampah yang ada di pasar
khususnya di kota Makassar.

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang


dapat diberikan :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai kandungan mikroorganisme
yang terdapat dalam setiap variasi
kompos yang digunakan.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai kandungan unsur hara mikro
pada hasil kompos matang.
3. Diharapkan
adanya
penelitian
selanjutnya
yang
memvariasikan

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil dan pembahasan
dapat diketahui bahwa :
1. Penambahan effective microorganism
(EM4) berpengaruh terhadap kualitas
kompos matang yang relatif lebih baik
daripada pengkomposan alami.
2. Variasi bahan tambahan pada kompos
sangat berpengaruh terhadap kualitas
10

Pranata, Dedy. 2014. Study Alternatif


Pengelolaan
Sampah
Domestik
Bandara Udara Sultan Hasanuddin.
Jurusan
Teknik
Sipil
Unhas,
Makassar.
Putry, An-nisa Nur. 2013. Pengelolaan
Sampah
Pasar
dan
Prospek
Pengmbangannya. Program Studi
Teknik Lingkungan Unhas, Makassar.
Rizqi Press. 2002. Penerapan Pertanian
Organik. Kanisius : Yogyakarta.
Rukiyati. 2011. Teknik Pengomposan
Efektif Untuk Mengendalikan Sampah
Organik Rumah Tangga. Jurnal
Pertanian.
S, Joseph Christian. 2011. Analisis Sistem
Pengangkutan
Sampah
Kota
Makassar
Dengan
Metode
Penyelesaian
Vehicle
Routing
Problem (VRP). Jurusan Teknik Mesin
Unhas, Makassar.
Soetopo, Rina S., Purwati, Sri. 2006.
Pengaruh Kompos dari Limbah
Lumpur IPAL Industri Kertas
Terhadap Tanaman dan Air Perkolat
Tanah. Berita Selulosa. Vol. 41. No. 1.
Hal 21-29. Balai Besar Pulp dan
Kertas : Bandung.
Soma, Soekmana. 2010. Pengantar Ilmu
Teknik Lingkungan Seri: Pengelolaan
Sampah Perkotaan. IPB Press. Bogor.
Sudradjat, R. 2006. Seri Agritekno:
Mengelola Sampah Kota. Penebar
Swadaya. Bogor.
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Bisnis.
Bandung: CV. AlfaBeta.
Surtikanti, H.K. 2011. Toksikologi
Lingkungan dan Metode Uji Hayati.
Bandung.
Susanto, R. 2002. Pertanian Organik:
Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Penerbit Kansius.
Yogyakarta.
Sutanto, Rachman. Sulistyawati, Endah.,
Mashita, Nusa., Choesin, D.N. 2008.
Pengaruh
Agen
Decomposer
Terhadap
Kualitas
Hasil
Pengomposan
Sampah
Organik
Rumah
Tangga.
Makalah
dipresentasikan
pada
Seminar
Nasional Penelitian Lingkungan di
Universitas Trisakti : Jakarta.

bioaktivator EM4 dalam setiap variasi


kompos.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyeni,2009. Pengolahan Sampah
Organik menjadi Kompos. Jurnal
pertanian
(Online)
( www.tenangjaya.com diakses 15
Maret 2014).
Azwar, Asrul. (1990). Pengantar Ilmu
Kesehatan Lingkungan . Jakarta: Mutiara
Sumber Widya.
Badan Standar Nasional (BSN). 2004.
Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik. SNI 19-7030-2004.
Badan Lingkungan Hidup. Buku
Pedoman Implementasi 3R Skala Kota
Cahaya, Andhika., Nugroho, Adi Dody.
2008. Pembuatan Kompos dengan
Menggunakan Limbah Padat Organik
(Sampah Sayuran dan Ampas Tebu).
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Diponegoro.
Chandra, budiman. 2007. Pengantar
kesehatan
lingkungan.
Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.
Hardiani, dkk. 2011: Bioremediasi Logam
Timbal
(Pb)
dalam
Tanah
Terkontaminasi
Limbah
Sludge
Industri Kertas Proses Deinking.
Jurnal Selulosa, Vol. 1, No. 1, Juni
2011 : 31 41. diakses 8 mei 2014.
Komarayati, Sri., Mustaghfirin., Sofyan,
Kurnia. 2007. Kualitas Arang
Kompos Limbah Industri Kertas
dengan Variasi Penambahan Arang
Serbuk Gergaji. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis Vol. 5. No. 2.
Pusat Penelitian Hasil Hutan : Bogor.
Mulyono. 2014. Membuat Mol dan
Kompos dari Sampah Rumah Tangga.
PT. AgroMedia Pustaka : Jakarta.
Nyoman
P.
Aryantha,dkk.2010.
Kompos.Pusat
Penelitian
Antar
Universitas Ilmu Hayati LPPM-ITB.
Dept. Biologi - FMIPA-ITB.diakses
dari
:
http://www.id.wikipedia.org/wiki/kom
pos.
Peraturan Menteri Pertanian. Pupuk
Organik,
Pupuk
Hayati
dan
Pembenah Tanah. Pertanian Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011.
11

Suwahyono,Untung., Tim penulis PS.


2014. Cara Cepat Buat Kompos dari
Limbah. Penebar Swadaya : Jakarta.
Teti Suryati. 2014. Bijak & Cerdas
Mengolah Sampah/Agro.
Tpasukawinata. 2012. Pengertian &
Definisi Sampah Menurut Para Ahli.
(http://www.tpasukawinata.wordpress.
com/2012/04/26/pengertian-definisisampah-menurut-para ahli.html). Di
unduh pada tanggal 26 Maret 2014.
Unus, Suriawiria. 2002. Pupuk Organik
Kompos dari Sampah, Bioteknologi
Agroindustri. Bandung : Humaniora
Utama Press.

Verawaty, Pipin Tania. 2004. Perbedaan


Penggunaan Berbagai Dosis EM4
Terhadap
Waktu
Terbentuknya
Kompos pada Sampah Kebun. Skripsi.
Yuwono, T. 2006. Kecepatan Dekomposisi
dan Kualitas Kompos Sampah
Organik. Jurnal Inovasi Pertanian
(Vol. 4 No.2).
Zubair, Achmad, dkk. 2012. Studi Potensi
Daur Ulang Sampah di TPA
Tamangapa Kota Makassar. Hasil
Penelitian Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Unhas, Vol. 6:
Desember 2012. Diakses 3
November 2014.

12

You might also like