You are on page 1of 28

AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL

SOCIAL ACCOUNTING AND SYSTEM THINKING

Disusun Oleh:
Abdul Muiz Maulana

115020301111014

Muhammad Hafid Yusuf

135020307111040

M Faruq Fadlurrahman

135020300111058

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016

Social Accounting and System Thinking


Abdul Muiz Maulana
Muhammad Hafid Yusuf
M Faruq Fadlurrahman
Jurusan Akuntansi
Universitas Brawijaya

Abstract

The purpose of this paper is to get to know more about what is social accounting and the
proccess of system thinking of a company. In social accounting, a company can never be
apart of three main part of doing their business which are people, planet and profit or
well known as triple bottom line. it is further explained in this paper that the relation
between a company and the triple bottom line is very tight. Imagine if a company not to
concern in one of the three main part of triple bottom line, we could say that the company
was not doing the business in the right way. Every company in this world must have a
goof way of thinking about the triple bottom line, because it is seen obviously if a
company did not get a support from people part, then the company could not be able
to find a good human resources to survive its business. Second, if a company did not get a
support from planet part or we could say environment, then the company could not
be able sustain longer because environment is the most important thing to explore the
natural resources which must be needed by all sectors of company. And the last if a
company did not get a support from profit part, then the company could not be able to
sustain as well because they do not have a finance power to increase bigger. The
conclusion is all companies in this world should give a reciprocal to those business main
supporters to keep the cycle of social accounting runs properly and to give benefit to all
side, company, living creatures, and environment. We conclude the purpose of the
existence of social accounting is to make a all parts of three bottom line balance.

Pendahuluan
Isu pertanggung jawaban sosial saat ini mulai menjadi perhatian utama banyak
pihak di dunia. Mulai dari pihak internal maupun eksternal menunjukkan kesadarannya
atas kinerja berbasis lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan, terutama
perusahaan yang berada pada sektor privat. Karyawan yang merupakan pihak internal dan
masyarakat sebagai pihak eksternal perusahaan secara langsung maupun tidak langsung
pasti terkena dampak atas proses produksi yang telah dilakukan, dampak tersebut bisa
berupa polusi, kemacetan, masalah kesehatan, dan berbagai isu-isu sosial lainnya.
Ketertarikan atas isu inilah yang membuat banyak perusahaan mulai
mempertimbangkan cara yang baru, kreatif, dan efisien untuk mengatur dan
meminimalkan dampak sosial yang ditimbulkannya. Perusahaan mulai mewajibkan para
supliernya untuk patuh pada standar Environmental Management System (EMS) yang
dikeluarkan oleh International Standardization Organization. (hal 10). Perusahaan juga
mulai mengungkapkan kinerja berbasis sosial yang telah mereka lakukan melalui Laporan
Sustainability, yang dimana menggunakan Global Reporting Initiative sebagai pedoman
penyusunannya.
Pandangan klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya beorientasi
pada kepentingan investor dan kreditur untuk mencapai tingkat laba maksimum telah
bergeser dengan adanya konsep Triple Bottom Line, dimana orientasi perusahaan dalam
mencapai laba maksimum perlu diselaraskan dengan tanggung jawab sosial perusahaan
diarahkan pada keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para
pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum.Perusahaan dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya tidak dapat lepas dari interaksinya dengan
lingkungan sosial, dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan
semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu
perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh
lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi
dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan perkembangan konsep diatas, para akuntan juga mulai
membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan
dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan
guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut
bergeser pula kearah perlunya pelaporan yang memuat pertanggungjawaban sosial
perusahaan (externality) dalam rangka memberikan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap perusahaan.Beberapa contoh penggunaan akuntansi dalam isu


sosial ini misalnya pencatatan dalam bentuk satuan moneter atas modal dan aliran sumber
daya alam, estimasi atas biaya dan dampak lingkungan yang ditimbulkan, pengakuan
pendapatan dari bahan daur ulang, dan contoh-contoh lainnya. Berdasarkan uraian
tersebut dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan
akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap
perluasan tanggung jawab perusahaan.
Beberapa contoh konkrit yang dapat dianggap sebagai informasi externality,
antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang
upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah
lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi
mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan
penting lainnya yang menjadi isu sehubungan dengan externalily adalah mengenai
seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi seluruhnya,
dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang
terjadi antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya tersebut.
Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan, akuntansi berfungsi untuk
memberikan informasi untuk pengambilan keputusan dan pertangungjawaban. Laporan
keuangan hanya difokuskan kepada kepentingan investor dan kreditor sebagai pemakai
utama laporan keuangan. Selama ini perusahaan hanya menyampaikan informasi
mengenai

hasil

operasi keuangan

perusahaan

kepada

pemakai,

tetapi

mengabaikan eksternalitas dari operasi yang dilakukannya, misalnya polusi udara,


pencemaran air, pemutusan hubungan kerja, dan lainnya.
Di Indonesia sendiri, permasalahan akuntansi sosial memang bukanlah hal yang
baru, para pakar akuntansi di Indonesia juga telah melakukan analisis dan studi tentang
kemungkinan penerapan akuntansi sosial di Indonesia (Harahap, 1988). Terdapat dua hal
utama yang menjadi kendala sulitnya penerapan akuntansi sosial di Indonesia, yaitu
lemahnya tekanan sosial yang menghendaki pertanggungjawaban sosial perusahaan,,serta
rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia tentang pentingnya pertanggung jawaban
sosial. Perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat saat ini telah mendorong
perusahaan-perusahaan di Indonesia menuju kearah kesadaran akan pentingnya
pertanggungjawaban sosial, sehingga perlu dianalisis kembali penerapan akuntansi sosial
dalam situasi dan kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini

Pembahasan
Definisi Akuntansi sosial
Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting) sebenarnya bukan merupakan istilah
baku dalam akuntansi. Para pakar akuntansi membuat istilah masing-masing untuk
menggambarkan transaksi antara perusahaan dengan lingkungannnya. Ramanathan
(1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan istilah Social Accounting dan
mendefinisikannya sebagai proses pemilihan variabel-variabel yang menentukan tingkat
prestasi sosial perusahaan baik secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986)
dalam Arief Suadi (1988) menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang
merupakan cabang dari ilmu akuntansi. Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993)
membuat suatu terminologi Socio Economic Accounting (SEA) yang berarti proses
pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak pertukaran antara perusahaan dengan
lingkungannya.
Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar akuntansi di
Indonesia menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial (APS) sebagai
akuntansi yang memerlukan laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban sosial
perusahaan. Hendriksen (1994), menggambarkan akuntansi sosial sebagai suatu
pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya, struktur
pelaporan dan komunikasi informasi kepada pihakpihak yang berkepentingan.
Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut memberikan gambaran tentang hubungan
mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan informasi yang dihasilkan, sehingga
secara kongkrit informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, pada dasarnya definisi yang diberikan oleh
para pakar akuntansi mengenai akuntansi sosial memiliki karakteristik yang sama,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988),
yaitu Akuntansi sosial berkaitan erat dengan masalah : (1) Penilaian dampak sosial dari
kegiatan entitas bisnis, (2) mengukur kegiatan tersebut (3) melaporkan tanggungjawab
sosial perusahaan, dan (4) sistem informasi internal dan eksternal atas penilaian terhadap
sumber-sumber daya perusahaan dan dampaknya secara sosial ekonomi.
Akuntansi Sosial sering juga disebut Akuntansi Lingkungan ataupun Akuntansi
Sosial Ekonomi, oleh Belkoui (2000), yang diterjemahkan Ramanathan, didefinisikan
sebagai proses seleksi variabel-variabel kinerja sosial tingkat perusahaan, ukuran dan

prosedur pengukuran; yang secara sistematis mengembangkan informasi yang bermanfaat


untuk mengevaluasi kinerja sosial perusahaan dan mengkomunikasikan informasi
tersebut kepada kelompok sosial yang tertarik, baik di dalam maupun di luar perusahaan.
Sedangkan menurut Haniffa (2002), Akuntansi sosial mengidentifikasi, menilai dan
mengukur aspek penting dari kegiatan sosial ekonomi perusahaan dan negara dalam
memelihara kualitas hidup masyarakat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkannya.
Kegundahan Gray (1994) tentang memaknai akuntansi sosial dan lingkungan
membawa proses pertumbuhan pemahaman terhadap sub disiplin akuntansi ini. Akuntansi
sosial dan lingkungan (yang kita ketahui juga sebagai akuntansi sosial, akuntansi
lingkungan, corporate social reporting, corporate sosial responsibility reporting, nonfinancial reporting, atausustainability accounting) adalah proses pengkomunikasian efek
sosial dan lingkungan dari tindakan ekonomi organisasi kepada beberapa kelompok
tertentu dalam suatu lingkungan. Akuntansi sosial dan lingkungan biasa digunakan dalam
hubungannya dengan bisnis, walaupun organisasi secara luas, seperti NGO, dan institusi
pemerintahan bahkan institusi pendidikan juga menggunakannya.
Pandangan lebih khusus dan sangat kalkulatif disampaikan oleh Belkaoui (2006:
349). Belkaoui mengartikan akuntansi sosial dan lingkungan sebagai proses untuk
memilih variabel, mengukur, dan menghasilkan pengukuran dari kinerja sosial dalam
tingkatan organisasi; yang secara sistematis mengembangkan informasi yang berguna
untuk evaluasi kinerja sosial organisasi tersebut, dan mengkomunikasikan bahwa
informasi untuk kelompok-kelompok sosial itu adalah suatu hal yang penting, baik untuk
internal maupun eksternal organisasi. Kemudian Zarkasyi (2007: 10) mendefinisikan
akuntansi sosial dan lingkungan adalah suatu usaha untuk mengganti kerugian dengan
pertimbangan bahwa organisasi mempengaruhi, melalui tindakannya, pada lingkungan
eksternal (baik secara positif dan negatif) dan karenanya harus memperhitungkan efekefek sebagai bagian dari keseluruhan akuntansi sebagai tindakannya. Tidak bisa
dipungkiri bahwa akuntansi mempunyai perhatian dalam caranya untuk tidak
membebaskan

manusia

dan

organisasinya

tumbuh

begitu

saja

dengan

tidak

memperdulikan sosial dan lingkungannya.


Secara khusus Hendricksen dan Breda (1992: 10) menggambarkan keprihatinan
organisasi pada isu-isu dalam pandangan mikro-ekonomi akuntansi tidak harus mencakup
semua efek organisasi terhadap masyarakat. Adalah penting biaya polusi terhadap
lingkungan, pengangguran, kondisi kerja yang tidak sehat, dan masalah sosial lainnya

biasanya tidak dilaporkan oleh organisasi, kecuali bahwa biaya tersebut ditanggung
langsung oleh organisasi melalui perpajakan dan regulasi.
Menurut Sahid (2002), ada beberapa pengertian akuntansi lingkungan atau
akuntansi sosial, ada pengertian yang luas dan ada pula pengertian yang sempit. Dalam
pengertian yang luas dalam himpunan istilah lingkungan untuk manajemen (Handry
Satriago), akuntansi lingkungan merupakan proses akunting yang:
a. Mengenali, mencari, dan kemudian mengurangi efek-efek lingkungan negatif dari
pelaksanaan praktik laporan yang konvensional;
b. Mengenali secara terpisah biaya-biaya dan penghasilan yang berhubungan
dengan lingkungan dalam sistem laporan yang konvensional;
c. Mengambil langkah-langkah aktif untuk menyusun inisiatif-inisiatif untuk
memperbaiki efek-efek lingkungan yang timbul dari praktik-praktik pelaporan
konvensional;
d. Merencanakan bentuk-bentuk baru sistem laporan finansial dan non finansial,
sistem informasi dan sistem pengawasan untuk lebih mendukung keputusan
manajemen yang secara lingkungan tidak berbahaya;
e. Mengembangkan bentuk-bentuk baru dalam pengukuran kinerja, pelaporan, dan
f.

penilaian untuk tujuan internal dan eksternal;


Mengenali, menguji, mencari dan memperbaiki area-area dimana kriteria

finansial konvensional dan kriteria lingkungan bertentangan;


g. Mencoba cara-cara dimana sistem berkelanjutan dapat dinilai dan digabungkan
menjadi kebiasaan yang berhubungan dengan organisasi.
Dalam pengertian sempit, sebagaimana dikemukakan dalam Natural Resource
Accounting, salah satu dokumen INTOSAI Working Group on Environtmental
Auditingmenyatakan bahwa akuntansi lingkungan sebagai kompilasi data lingkungan
dalam kerangka kerja akuntansi. (Sahid, 2002)
Dari definisi-definisi tersebut dapat dilihat bahwa akuntansi sosial memberikan
gambaran mengenai interaksi dari aktivitas perusahaan terhadap lingkungan sosialnya.
Akuntansi sosial juga memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengukur dan
mengevaluasi kinerja sosial dari perusahaan.
Dari beberapa pengertian akuntansi sosial di atas maka dapt dismpulkan dari
pengertian akuntansi sosiala adalah mengidentifikasi, mengukur dan melaporkan
hubungan antara bisnis dan lingkungannya. Lingkungan bisnis meliputi sumber daya
alam, komunitas dimasa bisnis tersebut beroperasi, orang-orang yang dipekerjakan,

pelanggan, pesaing, dan perusahaan serta kelompok lain yang berurusan dengan bisnis
tersebut. Prose pelaporan dapat bersifat baik internal maupun eksternal.

Fase-Fase Perkembangan Akuntansi Sosial dan Lingkungan


Fase Pertama Howard Bowen
Howard Bowen (1908-1989) adalah seorang historian ekonom Amerika yang
memberikan inspirasi kemunculan akuntansi sosial dan lingkungan. Bowen mengawali
karirnya di University of Iowa, hingga keposisi the presiden of Grinnell College, the
University of Iowa. Kontribusi Bowen adalah dengan publikasi buku dengan judul Social
Responsibility of Businessmen tahun 1953. Bowen (1953) meletakan dasar konsep ini
dengan mengatakan
It refers to the obligation of businessman to pursue those policies, to make those
decisions, or to follow those lines of action which are desirable in terms of the objectives
and values of our society .
Kemudian

secara

kolektif

dijadikan

landasan

awal

mendefinisikan

tanggungjawab sosial bagi kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang
selaras dengan tujuan (objectives) dan nilai-nilai masyarakat (Society values). Konsep ini
merontokan faham ekonomi yang dengan perngorbanan sekecil-kecilnya untuk
memperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Jadi sudah lama hukum ekonomi yang selalu
kita dengar di sekitar kita ini telah rontok. Jangan lah kita pakai lagi pemahaman hukum
ekonomi ini, berkorban sedikit untuk hasil yang sebesarnya. Nilai-nilai sosial dan
lingkungan harus menjadi tujuan organisasi. Sekalipun masa itu belum sangat berarti
dalam perkembangannya, tetapi American Accounting Association (1971) mencatat
bahwa fase ini mulai bermunculan gagasan, konsep, proposal dan pendekatan untuk
memperkenalkan awal akuntansi sosial dan lingkungan. Asosiasi ini berpandangan bahwa
Non-Financial Measures (atau Pengukuran Non Keuangan) adalah penting untuk
efektivitas operasional organisasi.
Fase Kedua Keith Davis
Menyambung

apa

yang

digagas

oleh

Bowen

(1953),

Davis

(1960)

memperkenalkan tulisnya tentang Can Business Afford to Ignore its Social


Responsibilities? Davis secara tajam berpandangan bahwa tanggungjawab sosial harus

dimiliki oleh organisasi. Businesses' decisions and actions taken for reasons at least
partially beyond the firms direct economic or technical interest (Davis, 1960)
Dengan pernyataan ini Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial
organisasi di luar tanggung jawab ekonomi semata. Argumen Davis menjadi sangat
relevan, karena pada masa tersebut (1960an) pandangan mengenai tanggung jawab sosial
organisasi masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu,
para ekonom klasik memandang para pelaku bisnis itu memiliki tanggung jawab sosial
sebatas penggunaan sumber daya organisasi mereka secara efisien, untuk menghasilkan
barang dan jasa dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Tanggungjawab sosial
mereka sebatas masyarakat dapat membeli dengan harga yang telah diciptakan secara
efisien. Bila hal tersebut berjalan dengan baik maka organisasi akan mendapatkan
keuntungan atas penjualan dan kemudian organisasi akan mampu melakukan tanggung
jawab sosialnya, seperti:
a. Menciptakan lapangan kerja.
b. Memberi kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak.
c. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional.
Para ekonom klasik ini secara kuat berpandangan bahwa memupuk laba
semaksimal mungkin adalah cara klasik mereka dalam berbisnis.
Fase Ketiga US Committee for Economic Development in 1971
Committee for Economic Development (CED) adalah organisasi non-profit dan
non-partisan Amerika yang beranggotakan 200 senior corporate executives dan pemimpin
universitas terkemuka membuat laporan sangat fenomena tahun 1971 berjudul Social
Responsibilities of Business Corporations. Laporan tersebut menggunakan three
concentric circles yaitu
Firstly, the inner circle included basic economic functionsgrowth, products, jobs.
Secondly, the intermediate circle suggested that the economic functions must be exercised
with a sensitive awareness of changing social values and priorities.
And thirdly, the outer circle outlined newly emerging and still amorphous responsibilities
that business should assume to become more actively involved in improving the social
Environment (Carroll, 1991)
Three concentric cicles ini dapat difahami bahwa

1. Inner circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab terdalam)


Pada lingkaran ini organisasi bisnis diharapkan mampu melaksanakan
pertumbuhan ekonomi, menghasilkan barang/ jasa, dan menyediakan aktivitas pekerjaan
kepada masyarakat.
2. Intermediate circle of responsibilities (lingkaran tanggungjawab menengah)
Menunjukkan tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomi sementara
pada saat yang sama memiliki kepekaan kesadaran terhadap perubahan nilai-nilai dan
prioritas-prioritas sosial seperti meningkatnya perhatian terhadap konservasi lingkungan
hidup, hubungan dengan karyawan, meningkatnya ekspektasi konsumen untuk
memperoleh informasi produk yang jelas, serta perlakuan yang adil terhadap karyawan di
tempat bekerja.
3. Outer circle of responsibilities (lingkaran tanggung jawab terluar)
Mencakup kewajiban perusahaan untuk lebih aktif dalam meningkatkan kualitas
lingkungan sosial. Pada tahun 1971 ini ditandai dengan pemahaman yang komprehensif
terhadap akuntansi sosial dan lingkungan dalam kehidupan bisnis, sebagai akibat three
concentric cicles.
Today it is clear that the terms of social contract between society and business are, in
fact, changing in substantial and important ways. Business is being ask to assume
broader responsibilities to society than ever before and to serve a wider range of human
values. Business enterprise, in effect, are being asked to contribute more to the quality of
American life than just supplying quantities of goods and services.
Carroll

(1979)

menjelaskan

komponen-komponen

tanggungjawab

sosial

organisasi bisnis ke dalam empat kategori, yaitu:


1. Economic responsibilities, tanggungjawab sosial pada kategori ini berlandaskan
bahwa motif profit adalah motif utama dalam membangun organisasi bisnis.
Organisasi bisnis pada dasarnya adalah tanggungjawab ekonomi karena lembaga
bisnis terdiri atas aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa bagi
masyarakat yang menguntungkan.
2. Legal responsibilities, tanggungjawab organisasi dalm menjalankan bisnis yaitu
dengan menaati hukum dan peraturan yang berlaku di mana hukum dan peraturan
tersebut pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif.

Tanggungjawab legal ini adalah koridor dan sistem untuk mengatur organisasi
dalam berbisnis.
3. Ethical responsibilities, organisasi diharapkan menjalankan bisnisnya secara etis
dan norma moral masyarakat. Masing-masing pihak dalam menjalankan bisnis
diatur standar, etika, norma agar masing-masing puas dalam berbisnis.
4. Discretionary responsibilities, tanggungjawab ini bersumber pada pandangan
bahwa keberadaan dari organisasi diharapkan memberikan manfaat bagi
masyarakat. Ekspektasi masyarakat tersebut dipenuhi oleh organisasi melalui
berbagai program yang bersifat Filantropis (kedermawanan).
Selain isu mengenai kapasitas organisasi dalam memberikan respons terhadap
tekanan-tekanan sosial yang akan tercermin dari citra organisasi di mata publik,
perkembangan akuntansi sosial pada tahun 1970-an sampai 1980-an juga lingmencatat
adanya kebutuhan baru dari organisasi yang melaksanakan aktivitas pelaporan sosial dan
lingkungan agar aktivitas sosial dan lingkungan yang mereka lakukan terukur. Oleh
karenanya, para peneliti seperti Carroll (1979); Wartick dan Cochran (1985); dan Wood
(1991)

mengembangkan

konsep

yang

disebut

dengan corporate

social

performance (CSP), yang didalamnya mengandung tiga dimensi, yaitu:


1.

Dimensi

kategori

tanggung

jawab

sosial

(ekonomi,

hukum,

etika,

2.
3.

dan discretionary).
Dimensi kemampuan memberikan respons (responsiveness).
Dimensi dalam isu sosial tempat perusahaan terlibat (lingkungan, diskriminasi
pekerja, keamanan produk, keselamatan pekerja dan pemegang saham).
Berkaitan dengan hal tersebut, Wood (1991) mendefinisikan CSP sebagai: a

business organization`s of principle of social responsibilities, process of social


responsiveness, and policies, programs and observable outcomes as they relate to the
firm`s societal relationship.
Sebagaimana dapat dilihat dari definisi CSP tersebut, dampak pelaksanaan
akuntansi sosial dan lingkungan yang dapat diamati (observable outcome) merupakan isu
penting dalam model CSP yang membedakannya dengan konsep akuntansi sosial dan
lingkungan generasi awal. Hal ini sejalan dengan menguatnya tuntutan agar pelaksanaan
akuntansi sosial dan lingkungan dapat memberikan dampak yang terukur serta
memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan organisasi.
Fase Keempat Mandatori Regulasi Perancis Pertama di Dunia

Davis (1960) kemudian mempertegas argumennya dengan statemen tentang iron


law of responsibility yang menjadi fase ini tumbuh sebagai penyemangat kemunculan
akuntansi sosial dan lingkungan. Davis menyatakan bahwa: social responsibility of
businessman need to be commensurate with their social power then the avoidance of
social responsibility leads to gradual erosion of social power.

Argumen-argumen yang

dibangun oleh Davis, menjadi cikal bakal untuk identifikasi kewajiban organisasi bisnis
yang akan mendorong munculnya konsep akuntansi sosial dan lingkungan di era 70-an.
Selain itu, konsepsi Davis mengenai iron law of responsibility menjadi acuan bagi
pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan suatu organisasi. Negara
Amerika lebih dulu mengembangkan tanggungjawab ini, kendatipun regulasi belum
dilaksanakan secara mandatory. Beberapa Negara seperti German dan Eropa Barat
kemudian mengikuti mengadopsi regulasi yang pertama dilakukan oleh Amerika tentang
laporan tanggungjawab sosial (Social Responsibility Reporting) (Preston, et.al 1978).
Perancis adalah Negara yang pertama pada tahun 1977 mewajibkan organisasi bisnis
untuk melaporkan kegiatan tanggungjawab sosialnya.
The only country that actually did introduce legislation requiring corporate social
reporting at this time was France in 1977. The French law mandates a report "composed
of a lengthy list of indicators open to ulterior statistical treatments and multiple
interpretations" and its scope is quite narrow, covering employee issues butno impacts of
business on the social or natural environment "even though preliminary work had
provided for this possibility" (Capron 1997, p.3)
Fase ini membawa perubahan yang sangat mendasar tentang beberapa
persyaratan detail tentang pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan. Kendatipun hal ini
masih terbatas di Perancis, tetapi regulasi ini menjadi dasar kajian beberapa Negara maju
untuk mulai memikirkan tentang implementasi akuntansi sosial dan lingkungan.
Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis
Runtuhnya ekonomi sosialis yang disongsong dengan ekonomi neoliberalisme
yang konservatif pada tahun 1980an mengakibatkan stagnan pengembangan akuntansi
sosial dan lingkungan. Propaganda kedermawanan para pemilik perusahaan besar mulai
mengatur strategi baru untuk extra hati-hati terhadap pengeluaran dana mereka. Para
pemegang saham perusahaan besar mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap
tanggungjawab sosial mereka. Apalagi pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi
dengan kinerja perusahaan-perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM,

General Motors dan Westinghouse di Amerika. Saat bersamaan pula terjadinya skandal
keuangan oleh antara lain Maxwell dan Adir di UK, hal ini berakibat munculnya regulasi
tentang corporate governance yang mengutamakan para pemegang saham. Ini berdampak
ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi bisnis besar dunia.
Sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang ketat,
konsep dan kerangka model akuntansi sosial dan pelaporannya tetap berjalan. Hanya pada
masa ini beberapa konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut
adalah Socially Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan pada umumnya di
UK.
Fase Keenam Balance Scorecard
Fase ini merupakan bentuk kombinasi finansiil dan non-finansiil dalam menilai
kinerja organisasi. Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Schneiderman, yang
kemudian didesain ulang secara komprehensif oleh Kaplan dan Norton (1990). Akuntansi
sosial dan lingkungan mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan Balance
Scorecard. Ke empat perspektif sangat fenomenal tersebut adalah

Financial: encourages the identification of a few relevant high-level financial


measures. In particular, designers were encouraged to choose measures that helped
inform the answer to the question "How do we look to shareholders?"

Customer: encourages the identification of measures that answer the question "How do
customers see us?"

Internal Business Processes: encourages the identification of measures that answer the
question "What must we excel at?"

Learning and Growth: encourages the identification of measures that answer the
question "Can we continue to improve and create value?".
Awal tahun 1990an merupakan booming model pelaporan akuntansi sosial dan
lingkungan dengan memanfaatkan konsep Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar
di Amerika dan Eropa menggunakan konsep ini agar mereka mampu mengekspresikan
kepedulian organisasinya kepada stakeholdernya.

Fase Ketujuh Robert Hugh Gray

Kontribusi Gray (1992) untuk pengembangan akuntansi sosial dan lingkungan


tidak diragukan lagi. Publikasinya telah mewarnai konsep akuntansi sosial dan
lingkungan

hingga

gagasan

accounting

for

sustainability.

Gray

(1993)

mengidentifikasikan warna yang beda terhadap metode akuntansi sustainabilitas. Metode


tersebut adalah
1. Sustainable Cost, metode ini memberikan penekanan pada biaya yang harus
dikeluarkan oleh organisasi pada akhir periode akuntansi, untuk mengembalikan
dampak lingkungan hidup seperti posisi semula.
2. Natural Capital Inventory Accounting, metode ini memberikan perhatian serius
terhadap keberadaan Modal Alam (Natural Capital), sebagai penyertaan yang
selalu ada.
3. Input Output Analysis, metode ini melaporkan arus fisik pemanfaatan material
dan energy dan keluar atas produk dan barang sisa dalam unit.
Pada Fase ini, pemahaman akuntansi sosial dan lingkungan secara khusus
didesain secara quantitative dalam bentuk nilai moneter, sebagaimana melengkapi
akuntansi konvensional selama ini.
Fase Kedelapan John Elkingtons Triple Bottom Line
Elkington (1997) adalah peletak dasar konsep triple bottom line. Konsep ini
memberikan inspirasi lebih serius tentang perluasan akuntansi konvensioanl yang single
bottom line, yaitu keuangan saja. Istilah Triple Bottom Linemenjadi penting saat people,
planet dan profit ditawarkan menjadi konsep akuntansi pertanggungjawaban sosial dan
lingkungan.
1. Profit (Keuntungan perusahaan)
Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang
memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2. People (Kesejahteraan manusia/masyarakat)
Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa
perusahaan mengembangkan program Corporate Social Responsibility seperti pemberian
beasiswa bagi pelajar di sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan,
penguatan kapasitas ekonomi lokal dan bahkan ada perusahaan yang merancang berbagai
skema perlindungan sosial bagi warga setempat.
3. Planet (Keberlanjutan lingkungan hidup)

Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman


hayati. Beberapa program Corporate Social Responsibility yang berpijak pada prinsip ini
biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan
pemukiman dan pengembangan pariwisata.
Triple bottom line dengan triple P dapat disimpulkan bahwa profit sebagai wujud
aspek ekonomi, planet sebagai wujud aspek lingkungan dan people sebagai aspek sosial.
Dan jika dirinci lebih lanjut dari ketiga aspek Tripple Bottom Line, maka ketiga aspek
tersebut dapat diwujudkan dalam kegiatan berikut:
1. Aspek Sosial, misalnya: pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan,penguatan
kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan
sosial, olahraga pemuda, wanita, agama, kebudayaan dan sebagainya.
2. Aspek Ekonomi, misalnya: kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit mikro
kecil dan menegah, agrobisnis, pembukaan lapangan pekerjaan, infrastruktur
ekonomi dan usaha produktif lain.
3. Aspek Lingkungan,misalnya: penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air,
pelestarian alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pegendalian polusi, serta
penggunaan produksi dan energi secara efisien.
Ketiga aspek tersebut tanpa kehadiran aspek spiritual yang implementasinya
dibutuhkan strategi tertentu. Adapun strategi dasar yang dapat digunakan dalam
implementasi akuntansi sosial dan lingkungan tersebut adalah:
1. Penguatan kapasitas (capacity building)
2. Kemitraan (collaboration), dan
3. Penerapan inovasi.
Sedangkan menurut Brodshaw dan Vogel (1981) menyatakan bahwa ada tiga
dimensi dari garis besar ruang lingkup akuntansi sosial dan lingkungan yaitu sebagai
berikut:
1. Corporate philantrophy adalah usaha-usaha amal yang dilakukan oleh suatu
organisasi, dimana usaha-usaha amal ini tidak berhubungan secara langsung
dengan kegiatan normal organisasi.
2. Corporate responsibility adalah usaha-usaha wujud tanggung jawab sosial
organisasi ketika sedang mengejar profitabilitas sebagai tujuan organisasi.
3. Corporate policy adalah berkaitan erat dengan bagaimana hubungan organisasi
dengan pemerintah yang meliputi posisi suatu organisasi dengan adanya berbagai

kebijakan pemerintah yang mempengaruhi baik untuk organisasi atau masyarakat


secara keseluruhan.
Akuntansi sosial dan lingkungan pada fase ini mulai disibukkan dengan model
laporan yang memberikan kategori relasi aktivitas berhubungan dengan masyarakat,
ekonomi dan lingkungan.
Fase Kesembilan Sustainability Reporting
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Elkington (1997), NGO CERES
(Coalition for Environmentally Responsible Economies) dan the United Nations
Environment Programmes (UNEP) mendirikan GRI (Global Reporting Initiative),
organisasi independen yang membangun standar Sustainability Reporting. Guideline GRI
pertama dikeluarkan tahun 1999 (GRI, 1997)
GRI was set up to develop and disseminate globally applicable Sustainability Reporting
Guidelines. It helps organisations and their stakeholders to report on the economic,
environmental, and social dimensions of their activities, products, and services, using six
extra-financial indicators.
The GRI recognises the need for non-financial indicators to measure a company's impact
in terms of sustainable development and also to assess its overall performance, a factor
that contributes to its future profitability.
GRI

mengidentifikasikan

kemasyarakatan,

ekonomi,

(enam)

lingkungan,

extra-indikator

ketenagakerjaan,

hak

keuangan:
asasi

aspek

manusia,

tanggungjawab produk. Hingga sekarang GRI telah mengeluarkan pedoman generasi ke 3


(G3 GRI) pada tahun 2006. Fase ini membawa perkembangan akuntansi sosial dan
lingkungan menjadi lebih baik dan menjadi pola adopsi yang cukup luas. Model
pelaporan GRI G3 ini menginspirasi model pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan
sebagai alternatif pelaporan akuntansi konvensional. Model GRI ini disimpulkan dengan
tanpa kehadiran aspek spiritual, yang banyak ahli dari banyak lintas disiplin ilmu,
mempunyai banyak terobosan pelaporan komprehensif aktivitas bisnis, kendatipun tanpa
aspek spiritual ada di dalamnya.
Fase Kesepuluh Sosio-Spiritualitas Akuntansi
Akuntansi telah memasuki phenomena baru beyond materiality (Sukoharsono,
2008). Akhir tahun 2000, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

memperkenalkan pemahaman akuntansi tidak hanya terbatas pada angka moneter dan
tabel jurnal transaksi ekonomi, tetapi juga memperkenalkan relasi spiritualitas dan
metafisika (Sukoharsono, 2009). Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan
organisasi (kelompok orang) mempunyai tanggungjawab membangun peristiwa-peristiwa
ekonomi, sosial dan lingkungan dalam organisasi nya yang direlasikan dengan holy spirit.
Holy spirit merupakan bentuk berbasis religiusitas dan universalitas. Pada
pembahasan ini lebih diutamakan holy spirit dalam bentuk universalitas yang dapat
dimaknai dengan kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran
transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran. Lima dimensi ini
adalah indikator utama dalam proses pertanggungjawaban individu dan organisasi
disekelilingnya. Sosio-Spiritualitas Akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan
holy spirit dalam mengkreasi dan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap peristiwaperistiwa ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kesatuan organisasi.
Walaupun konvensi akuntansi menggunakan monetary unit dalam pengukuran
dan diskursus kebijakannya, sosio-spiritual akuntansi dibangun dengan memanfaatan
multiple units of measurements untuk menilai kinerja individu dan organisasi. Multiple
units of measurements ini pada dasarnya untuk memberikan assessmen terhadap 5 (lima)
unsur holy spirit: kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran
transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran.
Fase Kesepuluh ini mengajak dunia Akuntansi sadar akan nilai-nilai diatas
materialitas (beyond materiality). Sosio Spiritual Akuntansi hadir untuk mengkodifikasi
kinerja individu dan organisasi pada ke 5 (lima) unsur holy spirit tersebut yang dilaporkan
secara periodik kepada stakeholders.

Tujuan Akuntansi Sosial


Adapun tujuan akuntansi sosial menurut Hendriksen (1994) adalah untuk
memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap
masyarakat dapat di evaluasi. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) juga
menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : (1) mengidentifikasikan dan
mengukur kontribusi sosial neto periodik suatu perusahaan, yang meliputi bukan hanya
manfaat dan biaya sosial yang di internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari

eksternalitas yang mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda, (2) membantu


menentukan apakah strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi
relatifitas sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah
konsisten dengan prioritas sosial yang diberikan secara luas pada satu pihak dan aspirasi
individu pada pihak lain, (3) memberikan dengan cara yang optimal, kepada semua
kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan, program, strategi dan
kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial perusahaan.
Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan diatas dapat dipahami bahwa
akuntansi sosial berperan dan menjalankan fungsinya sebagai bahasa bisnis yang
mengakomodasi masalahmasalah sosial yang dihadapi oleh perusahaan, sehingga pos
pos biaya sosial yang dikeluarkan kepada masyarakat dapat menunjang operasional dan
pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan.

Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan


Tanggung jawab sosial ini erat kaitannya dengan munculnya konsep coorporate
social responsibility (CSR). Secara singkat CSR merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup dari stakeholder. Stakeholder yang dimaksudkan disini
diantaranya adalah karyawan, pembeli, pemilik, pemasok, dan komunitas lokal,
organisasi nirlaba, aktivis, pemerintah, dan media, yang pada dasarnya mempunyai tujuan
yang sama yakni kemakmuran. Dengan demikian, perusahaan sebagai entitas bisnis
hendaknya peduli terhadap akibat sosial dan berusaha mengatasi kerugian lingkungan
sebagai akibat dari aktivitas usaha perusahaan.
Kita ketahui bersama Prinsip perusahaan yang profit ini ingin mendapatkan
keuntungan

yang

sebesar-besarnya

tanpa

memikirkan

lingkungan

sekitarnya.

Sehingga seringkali menyebabkan tindakan yang menjurus menghalalkan segala cara.


Polusi air dan udara, kebisingan suara, keracunan, radiasi, kemacetan lalu lintas, produksi
makanan haram, serta limbah kimia yang bisa mengancam masyarakat dan ekosistem
adalah suatu contoh bentuk dampak negatif (negative externalities) yang dapat timbul
dari keberadaan dan aktivitas perusahaan. Dalam usaha untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi sering kali mengakibatkan perusakan lingkungan, berupa
pencemaran air, penggundulan hutan, pencemaran udara, dan lainnya. Perusahaan
menganggap semua yang dilakukannya sebagai eksternalitas dari usaha meningkatkan
produktivitas dan efisiensi perusahaan. Tapi tindakan perusahaan untuk meningkatkan

produktivitas dan efisiensi tersebut, di satu sisi hanya akan meningkatkan produktivitas
perusahaan, tetapi di sisi lain juga mungkin akan merugikan pihak-pihak yang
berkepentingan, antara lain karyawan, konsumen, dan tentu saja masyarakat.
Keberadaan perusahaan tidak terlepas dari kepentingan berbagai pihak. Investor
berkepentingan terhadap sumber daya yang diinvestasikan di perusahaan. Kreditor
berkepentingan terhadap pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Pemerintah
berkepentingan terhadap kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku agar
kepentingan masyarakat secara umum tidak terganggu (Satyo, 2005). Namun, yang tak
kalah pentingnya adalah pihak-pihak yang selama ini kurang mendapat perhatian, yaitu
karyawan, pemasok, pelanggan, dan masyarakat di sekitar perusahaan. Karyawan perlu
mendapatkan penghasilan dan jaminan sosial yang layak. Bila memungkinkan, karyawan
memerlukan pendidikan dan pelatihan teknis untuk meningkatkan keahlian sehingga
dapat meningkatkan karier di perusahaan. Pemasok berkepentingan terhadap pelunasan
utang dagang. Pelanggan berkepentingan terhadap kualitas produk perusahaan. Terakhir,
masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan berkepentingan terhadap dampak sosial
dan lingkungan yang berasal dari aktivitas perusahaan. Dengan berbagai dampak dari
keberadaan perusahaan ditengah-tengah masyarakat, menyadarkan masyarakat di dunia
bahwa sumber daya alam adalah terbatas dan oleh karenanya pembangunan ekonomi
harus dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan konsekuensi bahwa perusahaan dalam
menjalankan usahanya perlu menggunakan sumberdaya dengan efisien dan memastikan
bahwa sumber daya tersebut tidak habis, sehingga tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi
di masa datang.

Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial dan Lingkungan


Akuntansi pertanggungjawaban sosial merupakan penerapan akuntansi dalam
ilmu sosial, ini menyangkut pengaturan, pengukuran, analisis dan pengungkapan
pengaruh kegiatan ekonomi dan sosial dari kegiatan yang bersifat mikro dan makro pada
kegiatan pemerintah maupun perusahaan. Kegiatan pada tingkat makro bertujuan untuk
mengukur dan mengungkapkan kegiatan ekonomi dan sosial suatu negara, mencakup
akuntansi sosial dan pelaporan akuntansi dalam pembangunan ekonomi. Pada tingkat

mikro bertujuan untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap
lingkungan yang mencakup, financial, managerial social accounting dan social auditing.
Akuntansi pertanggungjawaban sosial juga merupakan alat yang sangat berguna
bagi perusahaan dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan.
Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena
melalui social reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis
sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis.
Adapun Tujuan akuntansi pertanggungjawaban sosial yaitu:
a. Untuk meningkatkan citra perusahaan dan untuk mempertahankan biasanya
secara implisit, asumsi bahwa perilaku perusahaan secara fundamental adalah
baik.
b. Untuk membebaskan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kotrak
sosial diantara organnisasi dan masyarakat. Keberadaan kontrak sosial ini
menuntut dibebaskannya akuntabilitas sosial.
c. Sebagai perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya
memberikan informasi kepada investor.
Teori Yang Mendukung Laporan Pertanggungjawaban Sosial Dan Lingkungan
Teori-teori
Lingkungan

yang

yaitu

Mendukung

Legitimacy

Laporan

theory dan

Pertanggungjawaban

Sosial

Stakeholder Theory.

dan

Legitimacy

theory menjelaskan bahwa organisasi secara kontinu akan beroperasi sesuai dengan batasbatas dan nilai yang diterima oleh masyarakat di sekitar perusahaan dalam usaha untuk
mendapatkan legitimasi. Proses untuk mendapatkan legitimasi berkaitan dengan kontrak
sosial antara yang dibuat oleh perusahaan dengan berbagai pihak dalam masyarakat.
Kinerja perusahaan tidak hanya diukur dengan laba yang dihasilkan oleh perusahaan,
tetapi ukuran kinerja lainnya yang berkaitan dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
Untuk mendapatkan legitimasi perusahaan harus memiliki insentif untuk melakukan
kegiatan sosial yang diharapkan oleh masyarakat di sekitar kegiatan operasional
perusahaan.

Sedangkan Stakeholder merupakan

individu,

sekelompok

manusia,

komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki
hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun
komunitas

dan

masyarakat

dapat

dikatakan

sebagai stakeholder jika

memiliki

karakteristik seperti mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap


perusahaan.

Dengan menggunakan definisi diatas, pemerintah bisa saja dikatakan


sebagaistakeholder bagi perusahaan karena pemerintah mempunyai kepentingan atas
aktivitas perusahaan dan keberadaan perusahaan sebagai salah satu elemen sistem sosial
dalam sebuah negara oleh karena itu, perusahaan tidak bisa mengabaikan eksistensi
pemerintah dalam melakukan operasinya. Hal tersebut berlaku sama bagi komunitas
lokal, karyawan, pemasok, pelanggan, investor dan kreditor yang masing-masing
elemen stakeholder tersebut memiliki kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan sehingga
masing-masing elemen tersebut membuat sebuah hubungan fungsional dengan
perusahaan untuk bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing. Stakeholder sendiri
memiliki bermacam-macam definisi yang kesemuanya memiliki kesamaan. Hanya saja,
fokus dan penekanan yang berbeda memberikan ruang perdebatan mengenai apa
itu stakeholder.

Definisi stakeholder dalam

beberapa

literatur

adalah

sebagai

berikut,Segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang
diangkat,semua yang melandasi suatu pihak menjadi stakeholder adalah ada atau
tidaknya kepentingan darinya yang terkait. Stakeholder bermacam-macam,tergantung
situasi dan kondisi.
Menurut Gaffikin (2008 : 201), ide pertanggungjawaban sosial perusahaan bisnis
sudah ada pada zaman Yunani Klasik. Perusahaan bisnis diharapkan untuk menerapkan
standar yang tinggi mengenai moralitas dalam perdagangan. Pada zaman pertengahan di
Eropa, Gereja mewajibkan industri dan perusahaan bisnis berperilaku sesuai dengan kode
moral Gereja. Isu ini kemudian menjadi hangat di Amerika Serikat pada tahun 1960. Pada
tahun 2000 perhatian serupa diberikan oleh Global Reporting Initiative (GRI), sebagai
bagian dari program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memberikan
pedoman SR yang meliputi tiga elemen, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial yang
selanjutnya direvisi pada tahun 2002 (Satyo, 2005).
Hal lain yang memicu timbulnya pemikiran akuntansi pertanggungjawaban sosial
ini adalah perubahan pandangan manajemen dalam pengelolaan perusahaan. Pandangan
manajemen klasik mengungkapkan bahwa ada satu dan hanya ada satu tanggungjawab
perusahaan, yaitu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya guna menambah nilai
suatu perusahaan. Sebaliknya, pandangan manajemen modern mengungkapkan bahwa
kebijakan perusahaan dibuat dengan mempertimbangkan tanggung jawab sosial
mengingat ketergantungan perusahaan pada lingkungannya yang turut mempunyai andil
dalam pencapaian tujuan perusahaan.Tanggung jawab sosial ini erat kaitannya dengan
munculnya konsep coorporate social responsibility (CSR). Dengan demikian, perusahaan

sebagai entitas bisnis hendaknya peduli terhadap akibat sosial dan berusaha mengatasi
kerugian lingkungan sebagai akibat dari aktivitas usaha perusahaan. Izin sosial dan
legitimasi dari masyarakat menjadi bagian kecil dari usaha untuk meningkatkan kualitas
hidup tersebut. Perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan
legal kepada pemegang saham atau shareholder, tapi juga kewajiban-kewajiban terhadap
pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) yang jangkauannya melebihi
kewajiban-kewajiban di atas.

Pengukuran Akuntansi Sosial


Dalam pertukaran yang terjadi antara perusahaan dan lingkungan sosialnya
terdapat dua dampak yang timbul yaitu dampak positif atau yang disebut juga dengan
manfaat social (Social benefit) dan dampak negatif yang disebut dengan pengorbanan
sosial (Social Cost). Masalah yang timbul adalah bagaimana mengukur kedua dampak
tersebut. Menurut Harahap (1993), masalah pengukuran akuntansi sosial memang rumit,
karena jika dibandingkan dengan transaksi biasa yang langsung dapat dicatat dan
mempengaruhi posisi keuangan, maka dalam akuntansi sosial terlebih dahulu harus
diukur dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Lebih jauh
Harahap (1993) menguraikan beberapa metode yang biasa dipakai dalam pengukuran
Akuntansi sosial yaitu;
a. Menggunakan penilaian dengan menghitung Opportunity cost approach
b. Menggunakan daftar kuesioner
c. Menggunakan hubungan antara kerugian massal dengan permintaan untuk
barangperorangan dalam menghitung kerugian masyarakat
d. Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga
Ansry Zulfikar (1987) dalam Achmad Sonhadji (1989) memberikan beberapa
teknik pengukuran yang dapat dipakai, antara lain;
a. Penilaian pengganti, yaitu jika nilai dari sesuatu tidak dapat langsung ditentukan,
maka dapat mengetimasikannya dengan nilai pengganti.
b. Teknik survey, yaitu mencakup cara-cara untuk mendapatkan informasi dari
kelompok masyarakat tentang pengukuran aktifitas sosial perusahaan.
c. Biaya perbaikan dan pencegahan, yaitu biaya-biaya perbaikan yang dikeluarkan
oleh perusahaan sebuhubungan dengan lingkungan sosialnya.
d. Penilaian dari penilai independen, yaitu memberikan suatu wewnang kepada
pihak luar untuk mengukur aktifitas sosial perusahaan.

e. Putusan pengadilan, yaitu dengan suatu keputusan yang mempunyai kekuatan


hukum
Pelaporan, Pengungkapan (Disclosure) Akuntansi Sosial
Menurut Belkoui (1985) yang dikutip oleh Harahap (1993), pelaporan dalam
akuntansi sosial, berarti memuat informasi yang menyangkut dampak positif atau dampak
negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pelaporan ini menurut Belkoui (1980) dalam
Sawardjono (1991) didasari relevan atau tidaknya informasi tersebut, dan relevansi ini
tergantung pada para pemakai informasi. Menurut Sawardjono (1991), peningkatan
kebutuhan informasi ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang telah
melaporkan tanggungjawab sosialnya. Di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada,
Inggeris, Australia dan Jepang, pelaporan ini sudah merupakan hal yang lazim. Estes
(1976) dalam Achmad Sondhaji (1989) menggambarkan Praktik pelaporan akuntansi
sosial yang terdiri dari :
a. Praktik yang sederhana, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial yang
tidak disertai dengan data kuantitaif, baik satuan uang maupun satuan yang
lainnya.
b. Praktik yang lebih maju, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial dan
disertai dengan data kuantitatif.
c. Praktik yang paling maju, yaitu laporan dalam bentuk kualitatif, perusahaan juga
menyusun laporannya dalam bentuk neraca.
Selanjutnya dengan semakin berkembangnya pasar modal, perusahaanperusahaan melaporkan dan mengungkapkan aktifitas sosial untuk memberikan informasi
kepada pemilik modal, calon investor dan pihak-pihak luar (stakeholders) lainnya yang
juga berkepentingan. Praktik pengungkapan sosial (social disclosure) dalam laporan
tahunan perusahaan telah dilakukan dinegara negara Eropa barat, Amerika Serikat,
Australia, Selandia Baru, Singapura dan Malaysia. Keadaan ini turut mendorong
perusahaanperusahaan untuk mengungkapkan secara sukarela untuk setiap periode
mengenai lingkungan sosialnya, sehingga dapat menunjukkan kepada kepada pihak
pihak yang berkepentingan terhadap laporan tahunan perusahaan yang dapat menjelaskan
kepedulian dan kepekaan sosial suatu entitas bisnis.
Di negara Amerika Serikat praktik pengungkapan sosial ini sudah dimulai sejak
tahun 1970-an dan sampai saat ini FASB telah banyak merekomendasikan secara lebih
spesifik tentang standar pelaporan externalities. Davidson (1993) memberikan contoh

FAS No. 5 yang mengatur tentang penyajian dampak sosial khususnya mengenai dampak
lingkungan. Davidson (1993) seorang direktur yang menangani urusan lingkungan
di Ernst dan Young consulting Washington, mengatakan bahwa saat ini SEC (stock
exchange commission) telah menerapkan review bagi perusahaan-perusahaan yang
mengungkapkan dampak lingkungan dalam laporan tahunan mereka.
Namun demikian, pengungkapan informasi sosial di Amerika Serikat sampai saat
ini masih bersifat kerelaaan (Voluntary disclosure) dan bukan merupakan suatu
kewajiban(Mandatory disclosure), tetapi kecenderungan yang terjadi adalah perusahaan
mengungkapkan aktifitas sosial tersebut untuk mendeskripsikan lebih jauh tentang kiprah
suatu perusahaan dalam menjalankan fungsi fungsi sosialnya.
Penelitianpenelitian yang dilakukan diluar negeri menunjukkan bahwa di
Inggris Ince dan Davut (1997), Tsang dan Eric WK (1998) di Singapura, Hackson dan
Milne (1996) di Selandia Baru, Adam et.al (1997) di enam negara Eropa
(Prancis,Jerman,Swiss,Inggris,dan Belanda) dan penelitian Andrew et.al (1989) di
Malaysia dan Singapura membuktikan pengungkapan sosial perusahaan sudah menjadi
hal yang lazim dilaksanakan dengan penekanan bahwa perusahaan besar lebih banyak
mengungkap informasi sosialnya dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Deegan dan Gordon (1991) dalam Heny dan Murtanto (2001) mengemukakan
bahwa sebagian besar pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan masih
bersifat kualitatif, dan kecenderungan perusahaan mengeungkapkan informasi positif
daripada informasi negatif.

Akuntansi untuk Manfaat dan Biaya Sosial


Dasar bagi kebanyakan teori akuntansi sosial datang dari analisis yang dilakukan
oleh A.C. Pigou terhadap biaya dan manfaat sosial. A.C.Pigou adalah seorang ekonom
neo-klasik yang memperkenalkan pemikiran mengenai biaya dan manfaat sosial kedalam
ekonomi mikro pada tahun 1920. Titik pentingnya adalah bahwa optimalitas-Pareto (titik
dalam ekonomi kesejahteraan dimana adalah mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan
seseorang tanpa mengurangi kesejahteraan dari orang lain) tidak dapat dicapai selama
produk sosial neto dan produk pribadi neto tidak serata.
Suatu analisis yang serupa dapat dibuat dalam hal biaya. Bagi Pigou, biaya sosial
terdiri atas seluruh biaya untuk menghasilkan suatu produk, tanpa mempedulikan siapa

yang membayarnya. Biaya yang di bayarkan oleh produsen disebut sebagai biaya pribadi.
Selisih antara biaya sosial dan biaya pribadi (disebut sebagai biaya sosial yang tidak
dikompensasikan) dan disebabkan oleh banyak faktor.
Menurut Pigou, optimalitas - Pareto hanya dapat dicapai jika manfaat sosial
marginal sama dengan biaya sosial marginal. Perbedaan antara Pigou dengan model
ekonomi tradisional- dimana pendapatan marginal setara dengan biaya marginal- berasal
dari perbedaan antara manfaat sosial dan pribadi dengan biaya sosial dan pribadi.
Dengan demikian, ketika akuntan mengukur manfaat pribadi (pendapatan) dan
biaya pribadi (beban) serta mengabaikan yang lainnya, mereka bersikap konsisten dengan
teori ekonomi tradisional. Gerakan kearah akuntansi sosial, sebagian besar terdiri dari
usaha-usaha untuk memasukkan biaya sosial dan biaya sosial yang tidak terbagi kedalam
model akuntansi.
Berdasarkan analisis Pigou dan gagasan mengenai suatu kontrak sosial,
K.V.Ramanathan (1976) mengembangkan suatu kerangka kerja teoritis untuk akuntansi
atas biaya dan manfaat sosial. Terdapat dua masalah utama dengan pendekatan
Ramanathan. Pertama, untuk menentukan kontribusi neto kepada masyarakat, beberapa
jenis system nilai harus ditentukan. Bagaimana entitas tersebut menentukan apa yang
merupakan kontribusi atau apa yang merupakan kerugian bagi masyarakat?. Beberapa
kerugian seperti polusi secara universal dibenci dan memasukkannya dalam suatu laporan
akuntansi dan dibenarkan dengan relative mudah. Masalah utama kedua berkaitan dengan
pengukuran. Adalah teramat sulit untuk menguantifikasi jumlah pos yang akan
dimasukkan dalam laporan kontribusi neto kepada masyarakat.
Salah satu alasan utama dari lambatnya kemajuan akuntansi sosial adalah
kesulitan dalam mengukur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut terdiri atas tiga
langkah, yaitu:
1. Menentukan apa yang menyusun biaya dan manfaat sosial.
2. Mencoba untuk menguantifikasi seluruh pos yang relevan.
3. Menempatkan nilai moneter pada jumlah akhir.
Cara lain untuk mengidentifikasi asal dari biaya dan manfaat sosial adalah
dengan memeriksa proses distribusi dan produksi perusahaan individual guna
mengidentifikassi bagaimana kerugian dan kontribusi serta menentukan bagaimana hal
itu terjadi. Jika satu bagian dari proses produksidan distribusi diperiksa mungkin

ditemukan produk sampingan yang negative diciptakan bersama-sama dengan produk


yang berguna.
Ketika aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial ditentukan dari
kerugian serta kontribusi tertentu diidentifikasikan, maka dampak pada manusia dapat
dihitung. Untuk mengukur suatu kerugian dibutuhkan informasi mengenai variablevariabel utama, yaitu waktu dan dampak.
1. Waktu
Beberapa peristiwa yang menghasilkan biaya sosial membutuhkan waktu
beberapa tahun untuk menimbulkan suatu akibat. Dalam hal pengukuran, adalah penting
untuk menentukan lamanya waktu tersebut. Dampak jangka panjang sebaiknya diberikan
bobot yang berbeda dengan dampak jangka pendek.
2. Dampak
Orang-orang dapat dipengaruhi secara ekonomi, fisik, psikologis, dan sosial oleh
berbagai kerugian. Untuk mengukur biaya sosial tersebut adalah perlu untuk
mengidentifikasikan kerugian-kerugian tersebut dan menguantifikasikannya.
Biaya-biaya tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kerugian ekonomi, fisik,
psikologis, atau sosial.
1. Kerugian ekonomi
Biaya-biaya ini meliputi tagihan pengobatan dan rumah sakit yang tidak
dikompensasi, hilangnya produktivitas, dan hilangnya pendapatan yang diderita oleh
pekerja. Jelaslah, perhitungan ganda atas hilangnya pendapatan dan produktivitas harus
duhindari.
2. Kerugian fisik
Menghitung nilai dari kehidupan atau kesehatan manusia adalah hal yang sulit
untuk dilakukan, tetapi seringkali dicoba dalam analisis biaya-manfaat yang tradisional.
3. Kerugian psikologis
Kerugian-kerugian ini juga sulit untuk dikuantifikasi dan harus didiskontokan
pada tingkat bunga yang sesuai.
4. Kerugian sosial

Dalam keluarga pekerja, perubahan peran dapat terjadi sebagai akibat dari
penyakit tersebut. keluarga tersebut dapat menjadi begitu trauma sehingga terjadi
perpecahan. Nilai sekarang dari seluruh dampak ini bagaimanapun juga harus dihitung.

Kesimpulan
Kesimpulan dari paper ini adalah bahwa akuntansi sosial ini mengidentifikasi,
mengukur dan melaporkan hubungan antara bisnis dan lingkungannya. Lingkungan bisnis
meliputi sumber daya alam, komunitas dimasa bisnis tersebut beroperasi, orang-orang
yang dipekerjakan, pelanggan, pesaing, dan perusahaan serta kelompok lain yang
berurusan dengan bisnis tersebut. Akuntansi sosial ini sangat berkaitan dengan istilah
triple bottom line yang mana perusahaan harus memiliki kepedulian atas hal-hal
pendukung dalam berbisnis. Selain itu perusahaan harus bisa memahami hubungan
hubungan antara faktor pendukung tersebut terhadap perusahaan agar terjadi
keseimbangan yang di dalam siklus akuntansi sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Siegel, Gary dan Marcony HR 1989 Behavioral Accounting, South-Western
Publishing. Co., Ohio
Gray, Rob. 1993. Accounting for the Environment: The Greening of Accountancy, Part
II. Paul Chapman Publishing Ltd.
Gray, R., Dave Owen and Carol Adams. 1996. Accounting & Accountability: Changes
and Challeges in Corporate Social and Environmental Reporting. Prentice Hall.
Cater, Usry. Cost Accounting, Salemba Empat, Jakrta: 2008.
Sustainability Reporting Guidelines, 2006. Global Reporting Initiative.
Sukoharsono, Eko Ganis. 2011. Green Accounting To Be A Serious Business of
Accounting

Discipline: An Imaginary Neo-Postmodernist Dialogue. The

Plenary Session of the Grand Opening of the Accounting National Symposium


(Simposium Nasional kuntansi SNA) XIV ACEH, INDONESIA 2023 July.
Sukoharsono, Eko Ganis. 2007. Green Accounting in Indonesia: Accountability and
Environmental Issues. The International Journal of Accounting and Business
Society. Vol 15. No. 1
International Feradation of Accountants. 2005. Environmental Management Accounting.

You might also like