Professional Documents
Culture Documents
Social Accounting and System Thinking
Social Accounting and System Thinking
Disusun Oleh:
Abdul Muiz Maulana
115020301111014
135020307111040
M Faruq Fadlurrahman
135020300111058
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
Abstract
The purpose of this paper is to get to know more about what is social accounting and the
proccess of system thinking of a company. In social accounting, a company can never be
apart of three main part of doing their business which are people, planet and profit or
well known as triple bottom line. it is further explained in this paper that the relation
between a company and the triple bottom line is very tight. Imagine if a company not to
concern in one of the three main part of triple bottom line, we could say that the company
was not doing the business in the right way. Every company in this world must have a
goof way of thinking about the triple bottom line, because it is seen obviously if a
company did not get a support from people part, then the company could not be able
to find a good human resources to survive its business. Second, if a company did not get a
support from planet part or we could say environment, then the company could not
be able sustain longer because environment is the most important thing to explore the
natural resources which must be needed by all sectors of company. And the last if a
company did not get a support from profit part, then the company could not be able to
sustain as well because they do not have a finance power to increase bigger. The
conclusion is all companies in this world should give a reciprocal to those business main
supporters to keep the cycle of social accounting runs properly and to give benefit to all
side, company, living creatures, and environment. We conclude the purpose of the
existence of social accounting is to make a all parts of three bottom line balance.
Pendahuluan
Isu pertanggung jawaban sosial saat ini mulai menjadi perhatian utama banyak
pihak di dunia. Mulai dari pihak internal maupun eksternal menunjukkan kesadarannya
atas kinerja berbasis lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan, terutama
perusahaan yang berada pada sektor privat. Karyawan yang merupakan pihak internal dan
masyarakat sebagai pihak eksternal perusahaan secara langsung maupun tidak langsung
pasti terkena dampak atas proses produksi yang telah dilakukan, dampak tersebut bisa
berupa polusi, kemacetan, masalah kesehatan, dan berbagai isu-isu sosial lainnya.
Ketertarikan atas isu inilah yang membuat banyak perusahaan mulai
mempertimbangkan cara yang baru, kreatif, dan efisien untuk mengatur dan
meminimalkan dampak sosial yang ditimbulkannya. Perusahaan mulai mewajibkan para
supliernya untuk patuh pada standar Environmental Management System (EMS) yang
dikeluarkan oleh International Standardization Organization. (hal 10). Perusahaan juga
mulai mengungkapkan kinerja berbasis sosial yang telah mereka lakukan melalui Laporan
Sustainability, yang dimana menggunakan Global Reporting Initiative sebagai pedoman
penyusunannya.
Pandangan klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya beorientasi
pada kepentingan investor dan kreditur untuk mencapai tingkat laba maksimum telah
bergeser dengan adanya konsep Triple Bottom Line, dimana orientasi perusahaan dalam
mencapai laba maksimum perlu diselaraskan dengan tanggung jawab sosial perusahaan
diarahkan pada keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para
pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum.Perusahaan dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya tidak dapat lepas dari interaksinya dengan
lingkungan sosial, dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan
semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu
perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh
lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi
dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan perkembangan konsep diatas, para akuntan juga mulai
membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan
dalam ruang lingkup akuntansi (Hines, 1988), sehingga tujuan utama pelaporan keuangan
guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut
bergeser pula kearah perlunya pelaporan yang memuat pertanggungjawaban sosial
perusahaan (externality) dalam rangka memberikan informasi kepada pihak-pihak yang
hasil
operasi keuangan
perusahaan
kepada
pemakai,
tetapi
Pembahasan
Definisi Akuntansi sosial
Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting) sebenarnya bukan merupakan istilah
baku dalam akuntansi. Para pakar akuntansi membuat istilah masing-masing untuk
menggambarkan transaksi antara perusahaan dengan lingkungannnya. Ramanathan
(1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan istilah Social Accounting dan
mendefinisikannya sebagai proses pemilihan variabel-variabel yang menentukan tingkat
prestasi sosial perusahaan baik secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986)
dalam Arief Suadi (1988) menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang
merupakan cabang dari ilmu akuntansi. Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993)
membuat suatu terminologi Socio Economic Accounting (SEA) yang berarti proses
pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak pertukaran antara perusahaan dengan
lingkungannya.
Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar akuntansi di
Indonesia menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial (APS) sebagai
akuntansi yang memerlukan laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban sosial
perusahaan. Hendriksen (1994), menggambarkan akuntansi sosial sebagai suatu
pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya, struktur
pelaporan dan komunikasi informasi kepada pihakpihak yang berkepentingan.
Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut memberikan gambaran tentang hubungan
mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan informasi yang dihasilkan, sehingga
secara kongkrit informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
Berdasarkan beberapa uraian diatas, pada dasarnya definisi yang diberikan oleh
para pakar akuntansi mengenai akuntansi sosial memiliki karakteristik yang sama,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988),
yaitu Akuntansi sosial berkaitan erat dengan masalah : (1) Penilaian dampak sosial dari
kegiatan entitas bisnis, (2) mengukur kegiatan tersebut (3) melaporkan tanggungjawab
sosial perusahaan, dan (4) sistem informasi internal dan eksternal atas penilaian terhadap
sumber-sumber daya perusahaan dan dampaknya secara sosial ekonomi.
Akuntansi Sosial sering juga disebut Akuntansi Lingkungan ataupun Akuntansi
Sosial Ekonomi, oleh Belkoui (2000), yang diterjemahkan Ramanathan, didefinisikan
sebagai proses seleksi variabel-variabel kinerja sosial tingkat perusahaan, ukuran dan
manusia
dan
organisasinya
tumbuh
begitu
saja
dengan
tidak
biasanya tidak dilaporkan oleh organisasi, kecuali bahwa biaya tersebut ditanggung
langsung oleh organisasi melalui perpajakan dan regulasi.
Menurut Sahid (2002), ada beberapa pengertian akuntansi lingkungan atau
akuntansi sosial, ada pengertian yang luas dan ada pula pengertian yang sempit. Dalam
pengertian yang luas dalam himpunan istilah lingkungan untuk manajemen (Handry
Satriago), akuntansi lingkungan merupakan proses akunting yang:
a. Mengenali, mencari, dan kemudian mengurangi efek-efek lingkungan negatif dari
pelaksanaan praktik laporan yang konvensional;
b. Mengenali secara terpisah biaya-biaya dan penghasilan yang berhubungan
dengan lingkungan dalam sistem laporan yang konvensional;
c. Mengambil langkah-langkah aktif untuk menyusun inisiatif-inisiatif untuk
memperbaiki efek-efek lingkungan yang timbul dari praktik-praktik pelaporan
konvensional;
d. Merencanakan bentuk-bentuk baru sistem laporan finansial dan non finansial,
sistem informasi dan sistem pengawasan untuk lebih mendukung keputusan
manajemen yang secara lingkungan tidak berbahaya;
e. Mengembangkan bentuk-bentuk baru dalam pengukuran kinerja, pelaporan, dan
f.
pelanggan, pesaing, dan perusahaan serta kelompok lain yang berurusan dengan bisnis
tersebut. Prose pelaporan dapat bersifat baik internal maupun eksternal.
secara
kolektif
dijadikan
landasan
awal
mendefinisikan
tanggungjawab sosial bagi kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang
selaras dengan tujuan (objectives) dan nilai-nilai masyarakat (Society values). Konsep ini
merontokan faham ekonomi yang dengan perngorbanan sekecil-kecilnya untuk
memperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Jadi sudah lama hukum ekonomi yang selalu
kita dengar di sekitar kita ini telah rontok. Jangan lah kita pakai lagi pemahaman hukum
ekonomi ini, berkorban sedikit untuk hasil yang sebesarnya. Nilai-nilai sosial dan
lingkungan harus menjadi tujuan organisasi. Sekalipun masa itu belum sangat berarti
dalam perkembangannya, tetapi American Accounting Association (1971) mencatat
bahwa fase ini mulai bermunculan gagasan, konsep, proposal dan pendekatan untuk
memperkenalkan awal akuntansi sosial dan lingkungan. Asosiasi ini berpandangan bahwa
Non-Financial Measures (atau Pengukuran Non Keuangan) adalah penting untuk
efektivitas operasional organisasi.
Fase Kedua Keith Davis
Menyambung
apa
yang
digagas
oleh
Bowen
(1953),
Davis
(1960)
dimiliki oleh organisasi. Businesses' decisions and actions taken for reasons at least
partially beyond the firms direct economic or technical interest (Davis, 1960)
Dengan pernyataan ini Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial
organisasi di luar tanggung jawab ekonomi semata. Argumen Davis menjadi sangat
relevan, karena pada masa tersebut (1960an) pandangan mengenai tanggung jawab sosial
organisasi masih sangat didominasi oleh pemikiran para ekonom klasik. Pada saat itu,
para ekonom klasik memandang para pelaku bisnis itu memiliki tanggung jawab sosial
sebatas penggunaan sumber daya organisasi mereka secara efisien, untuk menghasilkan
barang dan jasa dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Tanggungjawab sosial
mereka sebatas masyarakat dapat membeli dengan harga yang telah diciptakan secara
efisien. Bila hal tersebut berjalan dengan baik maka organisasi akan mendapatkan
keuntungan atas penjualan dan kemudian organisasi akan mampu melakukan tanggung
jawab sosialnya, seperti:
a. Menciptakan lapangan kerja.
b. Memberi kontribusi untuk pemerintahan dengan cara membayar pajak.
c. Menghasilkan barang dengan harga yang rasional.
Para ekonom klasik ini secara kuat berpandangan bahwa memupuk laba
semaksimal mungkin adalah cara klasik mereka dalam berbisnis.
Fase Ketiga US Committee for Economic Development in 1971
Committee for Economic Development (CED) adalah organisasi non-profit dan
non-partisan Amerika yang beranggotakan 200 senior corporate executives dan pemimpin
universitas terkemuka membuat laporan sangat fenomena tahun 1971 berjudul Social
Responsibilities of Business Corporations. Laporan tersebut menggunakan three
concentric circles yaitu
Firstly, the inner circle included basic economic functionsgrowth, products, jobs.
Secondly, the intermediate circle suggested that the economic functions must be exercised
with a sensitive awareness of changing social values and priorities.
And thirdly, the outer circle outlined newly emerging and still amorphous responsibilities
that business should assume to become more actively involved in improving the social
Environment (Carroll, 1991)
Three concentric cicles ini dapat difahami bahwa
(1979)
menjelaskan
komponen-komponen
tanggungjawab
sosial
Tanggungjawab legal ini adalah koridor dan sistem untuk mengatur organisasi
dalam berbisnis.
3. Ethical responsibilities, organisasi diharapkan menjalankan bisnisnya secara etis
dan norma moral masyarakat. Masing-masing pihak dalam menjalankan bisnis
diatur standar, etika, norma agar masing-masing puas dalam berbisnis.
4. Discretionary responsibilities, tanggungjawab ini bersumber pada pandangan
bahwa keberadaan dari organisasi diharapkan memberikan manfaat bagi
masyarakat. Ekspektasi masyarakat tersebut dipenuhi oleh organisasi melalui
berbagai program yang bersifat Filantropis (kedermawanan).
Selain isu mengenai kapasitas organisasi dalam memberikan respons terhadap
tekanan-tekanan sosial yang akan tercermin dari citra organisasi di mata publik,
perkembangan akuntansi sosial pada tahun 1970-an sampai 1980-an juga lingmencatat
adanya kebutuhan baru dari organisasi yang melaksanakan aktivitas pelaporan sosial dan
lingkungan agar aktivitas sosial dan lingkungan yang mereka lakukan terukur. Oleh
karenanya, para peneliti seperti Carroll (1979); Wartick dan Cochran (1985); dan Wood
(1991)
mengembangkan
konsep
yang
disebut
dengan corporate
social
Dimensi
kategori
tanggung
jawab
sosial
(ekonomi,
hukum,
etika,
2.
3.
dan discretionary).
Dimensi kemampuan memberikan respons (responsiveness).
Dimensi dalam isu sosial tempat perusahaan terlibat (lingkungan, diskriminasi
pekerja, keamanan produk, keselamatan pekerja dan pemegang saham).
Berkaitan dengan hal tersebut, Wood (1991) mendefinisikan CSP sebagai: a
Argumen-argumen yang
dibangun oleh Davis, menjadi cikal bakal untuk identifikasi kewajiban organisasi bisnis
yang akan mendorong munculnya konsep akuntansi sosial dan lingkungan di era 70-an.
Selain itu, konsepsi Davis mengenai iron law of responsibility menjadi acuan bagi
pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberadaan suatu organisasi. Negara
Amerika lebih dulu mengembangkan tanggungjawab ini, kendatipun regulasi belum
dilaksanakan secara mandatory. Beberapa Negara seperti German dan Eropa Barat
kemudian mengikuti mengadopsi regulasi yang pertama dilakukan oleh Amerika tentang
laporan tanggungjawab sosial (Social Responsibility Reporting) (Preston, et.al 1978).
Perancis adalah Negara yang pertama pada tahun 1977 mewajibkan organisasi bisnis
untuk melaporkan kegiatan tanggungjawab sosialnya.
The only country that actually did introduce legislation requiring corporate social
reporting at this time was France in 1977. The French law mandates a report "composed
of a lengthy list of indicators open to ulterior statistical treatments and multiple
interpretations" and its scope is quite narrow, covering employee issues butno impacts of
business on the social or natural environment "even though preliminary work had
provided for this possibility" (Capron 1997, p.3)
Fase ini membawa perubahan yang sangat mendasar tentang beberapa
persyaratan detail tentang pelaporan akuntansi sosial dan lingkungan. Kendatipun hal ini
masih terbatas di Perancis, tetapi regulasi ini menjadi dasar kajian beberapa Negara maju
untuk mulai memikirkan tentang implementasi akuntansi sosial dan lingkungan.
Fase Kelima Runtuhnya Ekonomi Sosialis
Runtuhnya ekonomi sosialis yang disongsong dengan ekonomi neoliberalisme
yang konservatif pada tahun 1980an mengakibatkan stagnan pengembangan akuntansi
sosial dan lingkungan. Propaganda kedermawanan para pemilik perusahaan besar mulai
mengatur strategi baru untuk extra hati-hati terhadap pengeluaran dana mereka. Para
pemegang saham perusahaan besar mengencangkan ikat pinggang mereka terhadap
tanggungjawab sosial mereka. Apalagi pada runtuhnya ekonomi sosialis juga dibarengi
dengan kinerja perusahaan-perusahaan besar ternama melorot tajam, seperti IBM,
General Motors dan Westinghouse di Amerika. Saat bersamaan pula terjadinya skandal
keuangan oleh antara lain Maxwell dan Adir di UK, hal ini berakibat munculnya regulasi
tentang corporate governance yang mengutamakan para pemegang saham. Ini berdampak
ketatnya pengendalian keuangan organisasi-organisasi bisnis besar dunia.
Sekalipun masa tersebut terjadi resistan dan pengendalian keuangan yang ketat,
konsep dan kerangka model akuntansi sosial dan pelaporannya tetap berjalan. Hanya pada
masa ini beberapa konsep baru dengan nama baru mulai muncul. Istilah baru tersebut
adalah Socially Responsible Investing (SRI). SRI ini banyak digunakan pada umumnya di
UK.
Fase Keenam Balance Scorecard
Fase ini merupakan bentuk kombinasi finansiil dan non-finansiil dalam menilai
kinerja organisasi. Diperkenalkan pertama kali tahun 1987 oleh Art Schneiderman, yang
kemudian didesain ulang secara komprehensif oleh Kaplan dan Norton (1990). Akuntansi
sosial dan lingkungan mendapatkan tempat tersendiri dalam kemunculan Balance
Scorecard. Ke empat perspektif sangat fenomenal tersebut adalah
Customer: encourages the identification of measures that answer the question "How do
customers see us?"
Internal Business Processes: encourages the identification of measures that answer the
question "What must we excel at?"
Learning and Growth: encourages the identification of measures that answer the
question "Can we continue to improve and create value?".
Awal tahun 1990an merupakan booming model pelaporan akuntansi sosial dan
lingkungan dengan memanfaatkan konsep Balance Scorecard. Banyak perusahaan besar
di Amerika dan Eropa menggunakan konsep ini agar mereka mampu mengekspresikan
kepedulian organisasinya kepada stakeholdernya.
hingga
gagasan
accounting
for
sustainability.
Gray
(1993)
mengidentifikasikan
kemasyarakatan,
ekonomi,
(enam)
lingkungan,
extra-indikator
ketenagakerjaan,
hak
keuangan:
asasi
aspek
manusia,
memperkenalkan pemahaman akuntansi tidak hanya terbatas pada angka moneter dan
tabel jurnal transaksi ekonomi, tetapi juga memperkenalkan relasi spiritualitas dan
metafisika (Sukoharsono, 2009). Spiritualitas dipahami bahwa setiap individu dan
organisasi (kelompok orang) mempunyai tanggungjawab membangun peristiwa-peristiwa
ekonomi, sosial dan lingkungan dalam organisasi nya yang direlasikan dengan holy spirit.
Holy spirit merupakan bentuk berbasis religiusitas dan universalitas. Pada
pembahasan ini lebih diutamakan holy spirit dalam bentuk universalitas yang dapat
dimaknai dengan kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran
transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran. Lima dimensi ini
adalah indikator utama dalam proses pertanggungjawaban individu dan organisasi
disekelilingnya. Sosio-Spiritualitas Akuntansi menjadi penting dalam upaya menanamkan
holy spirit dalam mengkreasi dan melaksanakan pertanggungjawaban terhadap peristiwaperistiwa ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kesatuan organisasi.
Walaupun konvensi akuntansi menggunakan monetary unit dalam pengukuran
dan diskursus kebijakannya, sosio-spiritual akuntansi dibangun dengan memanfaatan
multiple units of measurements untuk menilai kinerja individu dan organisasi. Multiple
units of measurements ini pada dasarnya untuk memberikan assessmen terhadap 5 (lima)
unsur holy spirit: kasih yang tulus (merciful), cinta yang tulus (truthful love), kesadaran
transcendental, mampu melakukan kontemplasi diri, dan kejujuran.
Fase Kesepuluh ini mengajak dunia Akuntansi sadar akan nilai-nilai diatas
materialitas (beyond materiality). Sosio Spiritual Akuntansi hadir untuk mengkodifikasi
kinerja individu dan organisasi pada ke 5 (lima) unsur holy spirit tersebut yang dilaporkan
secara periodik kepada stakeholders.
yang
sebesar-besarnya
tanpa
memikirkan
lingkungan
sekitarnya.
produktivitas dan efisiensi tersebut, di satu sisi hanya akan meningkatkan produktivitas
perusahaan, tetapi di sisi lain juga mungkin akan merugikan pihak-pihak yang
berkepentingan, antara lain karyawan, konsumen, dan tentu saja masyarakat.
Keberadaan perusahaan tidak terlepas dari kepentingan berbagai pihak. Investor
berkepentingan terhadap sumber daya yang diinvestasikan di perusahaan. Kreditor
berkepentingan terhadap pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Pemerintah
berkepentingan terhadap kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku agar
kepentingan masyarakat secara umum tidak terganggu (Satyo, 2005). Namun, yang tak
kalah pentingnya adalah pihak-pihak yang selama ini kurang mendapat perhatian, yaitu
karyawan, pemasok, pelanggan, dan masyarakat di sekitar perusahaan. Karyawan perlu
mendapatkan penghasilan dan jaminan sosial yang layak. Bila memungkinkan, karyawan
memerlukan pendidikan dan pelatihan teknis untuk meningkatkan keahlian sehingga
dapat meningkatkan karier di perusahaan. Pemasok berkepentingan terhadap pelunasan
utang dagang. Pelanggan berkepentingan terhadap kualitas produk perusahaan. Terakhir,
masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan berkepentingan terhadap dampak sosial
dan lingkungan yang berasal dari aktivitas perusahaan. Dengan berbagai dampak dari
keberadaan perusahaan ditengah-tengah masyarakat, menyadarkan masyarakat di dunia
bahwa sumber daya alam adalah terbatas dan oleh karenanya pembangunan ekonomi
harus dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan konsekuensi bahwa perusahaan dalam
menjalankan usahanya perlu menggunakan sumberdaya dengan efisien dan memastikan
bahwa sumber daya tersebut tidak habis, sehingga tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi
di masa datang.
mikro bertujuan untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap
lingkungan yang mencakup, financial, managerial social accounting dan social auditing.
Akuntansi pertanggungjawaban sosial juga merupakan alat yang sangat berguna
bagi perusahaan dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan.
Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena
melalui social reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis
sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis.
Adapun Tujuan akuntansi pertanggungjawaban sosial yaitu:
a. Untuk meningkatkan citra perusahaan dan untuk mempertahankan biasanya
secara implisit, asumsi bahwa perilaku perusahaan secara fundamental adalah
baik.
b. Untuk membebaskan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kotrak
sosial diantara organnisasi dan masyarakat. Keberadaan kontrak sosial ini
menuntut dibebaskannya akuntabilitas sosial.
c. Sebagai perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya
memberikan informasi kepada investor.
Teori Yang Mendukung Laporan Pertanggungjawaban Sosial Dan Lingkungan
Teori-teori
Lingkungan
yang
yaitu
Mendukung
Legitimacy
Laporan
theory dan
Pertanggungjawaban
Sosial
Stakeholder Theory.
dan
Legitimacy
theory menjelaskan bahwa organisasi secara kontinu akan beroperasi sesuai dengan batasbatas dan nilai yang diterima oleh masyarakat di sekitar perusahaan dalam usaha untuk
mendapatkan legitimasi. Proses untuk mendapatkan legitimasi berkaitan dengan kontrak
sosial antara yang dibuat oleh perusahaan dengan berbagai pihak dalam masyarakat.
Kinerja perusahaan tidak hanya diukur dengan laba yang dihasilkan oleh perusahaan,
tetapi ukuran kinerja lainnya yang berkaitan dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
Untuk mendapatkan legitimasi perusahaan harus memiliki insentif untuk melakukan
kegiatan sosial yang diharapkan oleh masyarakat di sekitar kegiatan operasional
perusahaan.
individu,
sekelompok
manusia,
komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki
hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun
komunitas
dan
masyarakat
dapat
dikatakan
memiliki
beberapa
literatur
adalah
sebagai
berikut,Segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang
diangkat,semua yang melandasi suatu pihak menjadi stakeholder adalah ada atau
tidaknya kepentingan darinya yang terkait. Stakeholder bermacam-macam,tergantung
situasi dan kondisi.
Menurut Gaffikin (2008 : 201), ide pertanggungjawaban sosial perusahaan bisnis
sudah ada pada zaman Yunani Klasik. Perusahaan bisnis diharapkan untuk menerapkan
standar yang tinggi mengenai moralitas dalam perdagangan. Pada zaman pertengahan di
Eropa, Gereja mewajibkan industri dan perusahaan bisnis berperilaku sesuai dengan kode
moral Gereja. Isu ini kemudian menjadi hangat di Amerika Serikat pada tahun 1960. Pada
tahun 2000 perhatian serupa diberikan oleh Global Reporting Initiative (GRI), sebagai
bagian dari program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memberikan
pedoman SR yang meliputi tiga elemen, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial yang
selanjutnya direvisi pada tahun 2002 (Satyo, 2005).
Hal lain yang memicu timbulnya pemikiran akuntansi pertanggungjawaban sosial
ini adalah perubahan pandangan manajemen dalam pengelolaan perusahaan. Pandangan
manajemen klasik mengungkapkan bahwa ada satu dan hanya ada satu tanggungjawab
perusahaan, yaitu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya guna menambah nilai
suatu perusahaan. Sebaliknya, pandangan manajemen modern mengungkapkan bahwa
kebijakan perusahaan dibuat dengan mempertimbangkan tanggung jawab sosial
mengingat ketergantungan perusahaan pada lingkungannya yang turut mempunyai andil
dalam pencapaian tujuan perusahaan.Tanggung jawab sosial ini erat kaitannya dengan
munculnya konsep coorporate social responsibility (CSR). Dengan demikian, perusahaan
sebagai entitas bisnis hendaknya peduli terhadap akibat sosial dan berusaha mengatasi
kerugian lingkungan sebagai akibat dari aktivitas usaha perusahaan. Izin sosial dan
legitimasi dari masyarakat menjadi bagian kecil dari usaha untuk meningkatkan kualitas
hidup tersebut. Perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan
legal kepada pemegang saham atau shareholder, tapi juga kewajiban-kewajiban terhadap
pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) yang jangkauannya melebihi
kewajiban-kewajiban di atas.
FAS No. 5 yang mengatur tentang penyajian dampak sosial khususnya mengenai dampak
lingkungan. Davidson (1993) seorang direktur yang menangani urusan lingkungan
di Ernst dan Young consulting Washington, mengatakan bahwa saat ini SEC (stock
exchange commission) telah menerapkan review bagi perusahaan-perusahaan yang
mengungkapkan dampak lingkungan dalam laporan tahunan mereka.
Namun demikian, pengungkapan informasi sosial di Amerika Serikat sampai saat
ini masih bersifat kerelaaan (Voluntary disclosure) dan bukan merupakan suatu
kewajiban(Mandatory disclosure), tetapi kecenderungan yang terjadi adalah perusahaan
mengungkapkan aktifitas sosial tersebut untuk mendeskripsikan lebih jauh tentang kiprah
suatu perusahaan dalam menjalankan fungsi fungsi sosialnya.
Penelitianpenelitian yang dilakukan diluar negeri menunjukkan bahwa di
Inggris Ince dan Davut (1997), Tsang dan Eric WK (1998) di Singapura, Hackson dan
Milne (1996) di Selandia Baru, Adam et.al (1997) di enam negara Eropa
(Prancis,Jerman,Swiss,Inggris,dan Belanda) dan penelitian Andrew et.al (1989) di
Malaysia dan Singapura membuktikan pengungkapan sosial perusahaan sudah menjadi
hal yang lazim dilaksanakan dengan penekanan bahwa perusahaan besar lebih banyak
mengungkap informasi sosialnya dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Deegan dan Gordon (1991) dalam Heny dan Murtanto (2001) mengemukakan
bahwa sebagian besar pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan masih
bersifat kualitatif, dan kecenderungan perusahaan mengeungkapkan informasi positif
daripada informasi negatif.
yang membayarnya. Biaya yang di bayarkan oleh produsen disebut sebagai biaya pribadi.
Selisih antara biaya sosial dan biaya pribadi (disebut sebagai biaya sosial yang tidak
dikompensasikan) dan disebabkan oleh banyak faktor.
Menurut Pigou, optimalitas - Pareto hanya dapat dicapai jika manfaat sosial
marginal sama dengan biaya sosial marginal. Perbedaan antara Pigou dengan model
ekonomi tradisional- dimana pendapatan marginal setara dengan biaya marginal- berasal
dari perbedaan antara manfaat sosial dan pribadi dengan biaya sosial dan pribadi.
Dengan demikian, ketika akuntan mengukur manfaat pribadi (pendapatan) dan
biaya pribadi (beban) serta mengabaikan yang lainnya, mereka bersikap konsisten dengan
teori ekonomi tradisional. Gerakan kearah akuntansi sosial, sebagian besar terdiri dari
usaha-usaha untuk memasukkan biaya sosial dan biaya sosial yang tidak terbagi kedalam
model akuntansi.
Berdasarkan analisis Pigou dan gagasan mengenai suatu kontrak sosial,
K.V.Ramanathan (1976) mengembangkan suatu kerangka kerja teoritis untuk akuntansi
atas biaya dan manfaat sosial. Terdapat dua masalah utama dengan pendekatan
Ramanathan. Pertama, untuk menentukan kontribusi neto kepada masyarakat, beberapa
jenis system nilai harus ditentukan. Bagaimana entitas tersebut menentukan apa yang
merupakan kontribusi atau apa yang merupakan kerugian bagi masyarakat?. Beberapa
kerugian seperti polusi secara universal dibenci dan memasukkannya dalam suatu laporan
akuntansi dan dibenarkan dengan relative mudah. Masalah utama kedua berkaitan dengan
pengukuran. Adalah teramat sulit untuk menguantifikasi jumlah pos yang akan
dimasukkan dalam laporan kontribusi neto kepada masyarakat.
Salah satu alasan utama dari lambatnya kemajuan akuntansi sosial adalah
kesulitan dalam mengukur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut terdiri atas tiga
langkah, yaitu:
1. Menentukan apa yang menyusun biaya dan manfaat sosial.
2. Mencoba untuk menguantifikasi seluruh pos yang relevan.
3. Menempatkan nilai moneter pada jumlah akhir.
Cara lain untuk mengidentifikasi asal dari biaya dan manfaat sosial adalah
dengan memeriksa proses distribusi dan produksi perusahaan individual guna
mengidentifikassi bagaimana kerugian dan kontribusi serta menentukan bagaimana hal
itu terjadi. Jika satu bagian dari proses produksidan distribusi diperiksa mungkin
Dalam keluarga pekerja, perubahan peran dapat terjadi sebagai akibat dari
penyakit tersebut. keluarga tersebut dapat menjadi begitu trauma sehingga terjadi
perpecahan. Nilai sekarang dari seluruh dampak ini bagaimanapun juga harus dihitung.
Kesimpulan
Kesimpulan dari paper ini adalah bahwa akuntansi sosial ini mengidentifikasi,
mengukur dan melaporkan hubungan antara bisnis dan lingkungannya. Lingkungan bisnis
meliputi sumber daya alam, komunitas dimasa bisnis tersebut beroperasi, orang-orang
yang dipekerjakan, pelanggan, pesaing, dan perusahaan serta kelompok lain yang
berurusan dengan bisnis tersebut. Akuntansi sosial ini sangat berkaitan dengan istilah
triple bottom line yang mana perusahaan harus memiliki kepedulian atas hal-hal
pendukung dalam berbisnis. Selain itu perusahaan harus bisa memahami hubungan
hubungan antara faktor pendukung tersebut terhadap perusahaan agar terjadi
keseimbangan yang di dalam siklus akuntansi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Siegel, Gary dan Marcony HR 1989 Behavioral Accounting, South-Western
Publishing. Co., Ohio
Gray, Rob. 1993. Accounting for the Environment: The Greening of Accountancy, Part
II. Paul Chapman Publishing Ltd.
Gray, R., Dave Owen and Carol Adams. 1996. Accounting & Accountability: Changes
and Challeges in Corporate Social and Environmental Reporting. Prentice Hall.
Cater, Usry. Cost Accounting, Salemba Empat, Jakrta: 2008.
Sustainability Reporting Guidelines, 2006. Global Reporting Initiative.
Sukoharsono, Eko Ganis. 2011. Green Accounting To Be A Serious Business of
Accounting