You are on page 1of 16

NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT WAKORUMBA

SELATAN
(TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA)
OLEH
(1) Ulfah Lakaden, (2) Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, M. S, (3) Drs. La Ode
Balawa , M. Hum
ABSTRAK
Folklore was a national heritage and have values that should be developed
and utilized for the life of the present and the future. Folklore also has played a
role as a vehicle for understanding the inheritance of ideas and values that grow in
the community. Those values can be used as a means to strengthen the personality
and identity of the nation, therefore the author took the title "The Social Value of
Culture in Folklore Society South Wakorumba (Review of Sociology of
Literature)."
The problem in this research is "how social and cultural values in the
folklore of South Wakorumba society". The purpose of this study was to
determine the socio-cultural values in the folklore of South Wakorumba society.
This study included field research with qualitative description method. The data
used in this study are excerpts in the stories of the people who live in a society
that is South Wakorumba folklore Tutulano Sabhabhuno sangia Pure-pure, and
Wambona containing social and cultural values. Sources of data in this study is
that people, especially people Muna South Wakorumba which tells the story of the
people Tutulano Sabhabhuno sangia Pure-pure, and Wambona to the researcher.
The data collection technique used is the technique of recording, observation and
interview techniques. The instrument used in this study is a recorder / mobile
phones, cameras, and notebook. Data analysis technique is done by selection,
transcription, translation, data analysis, and make conclusions and suggestions.
Based on the results of the discussion and analysis of the data concluded
bring socio-cultural values in quotations folklore society Wakorumba South a
value of helping in this regard of mutual cooperation, the value of deliberation,
the value of generous and the value of wisdom are the values that formed in the
past and continue to live and applied to the present. These values are constantly
adapted to the times and continues to grow in South Wakorumba society.
Cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional dan mempunyai nilainilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan
masa yang akan datang. Cerita rakyat juga telah ikut berperan sebagai wahana
pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat.
Nilai-nilai tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana dalam
memantapkan kepribadian dan jati diri bangsa, oleh karena itu penulis mengambil
judul Nilai Sosial Budaya dalam Cerita Rakyat Masyarakat Wakorumba Selatan
(Tinjauan Sosiologi Sastra).
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah nilai sosial budaya
dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui nilai sosial budaya dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba
Selatan.
Penelitian ini termasuk penelitian lapangan dengan metode deskripsi
kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kutipan-kutipan dalam
cerita-cerita rakyat yang hidup dalam masyarakat Wakorumba Selatan yaitu cerita
rakyat Tutulano Sabhabhuno Sangia Pure-pure, dan Wambona yang mengandung
nilai sosial budaya. Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna
khususnya masyarakat Wakorumba Selatan yang menuturkan cerita rakyat
Tutulano Sabhabhuno Sangia Pure-pure, dan Wambona kepada peneliti. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah teknik rekam, teknik observasi dan
teknik wawancara. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
recorder/handphone, kamera, dan buku catatan. Teknik analisis datanya dilakukan
dengan cara seleksi, transkripsi, penerjemahan, analisis data, dan membuat
kesimpulan dan saran.
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data disimpulkan bawa nilai
sosial budaya dalam kutipan-kutipan cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan
yaitu nilai tolong menolong dalam hal ini gotong royong, nilai musyawarah, nilai
dermawan dan nilai kebijaksanaan merupakan nilai-nilai yang dibentuk pada masa
lampau dan terus hidup dan diterapkan hingga saat ini. Nilai- nilai ini terusmenerus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan terus berkembang dalam
masyarakat Wakorumba Selatan.
Kata kunci ; Cerita Rakyat, Sosiologi, Sastra.
1. Pendahuluan
2.
Sastra daerah
merupakan bagian dari suatu
kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Salah satu upaya
pengembangan
budaya
daerah saat ini ialah dengan
mengekspresikan
cerita
rakyat sebagai budaya daerah
dalam masyarakat itu sendiri.
Eksistensi
cerita
rakyat
merupakan suatu fenomena
budaya
yang
bersifat
universal dalam kehidupan
masyarakat. Sebagai produk
budaya masyarakat, baik
cerita rakyat maupun puisi
dapat dijumpai hampir di
seluruh tempat di dunia.
Cerita rakyat pada umumnya
tercipta sebagai tanggapan

dan hasil pemikiran sistem


kemasyarakatan.
Sebagai
kekayaan sastra, cerita rakyat
merupakan salah satu unsur
kebudayaan
yang
perlu
dikembangkan
karena
merupakan warisan budaya
nasional dan mempunyai
nilai-nilai
yang
patut
dikembangkan
dan
dimanfaatkan
untuk
kehidupan masa kini dan
masa yang akan datang.
Nilai-nilai yang terkandung
dalam cerita rakyat sebagai
sastra daerah dapat diolah dan
digali. Nilai-nilai tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu sarana dalam
memantapkan kepribadiandan
jati diri bangsa. Selain
memiliki
nilai-nilai

pendidikan yang terkandung


dalam cerita rakyat untuk
memelihara dan menurunkan
buah pikiran suatu suku atau
bangsa, cerita rakyat juga
memiliki nilai-nilai sosial
budaya dengan menekankan
pada unsur moralistik yang
sesuai dengan ide dalam
suatu masyarakat sebagai
sesuatu yang baik dan benar.
Perubahan pola pikir dalam
masyarakat
padat
juga
menjadi faktor bahwa cerita
rakyat
hanya
dipandang
sebagai kisah-kisah yang
tidak masuk akal dan berada
di luar jangkauan akal sehat.
Hal ini tentu menjadi
ancaman terhadap eksistensi
cerita rakyat. Seperti halnya
berbagai tempat di Sulawesi
Tenggara khususnya dalam
masyarakat
Wakorumba
Selatan hingga saat ini masih
dijumpai cerita rakyat yang
mengandung nilai-nilai sosial
budaya yang sangat tinggi
nilainya. Sebagai produk
kultural yang dihasilkan
bertatanan tradisional, pada
prinsipnya
cerita
rakyat
Wakorumba Selatan banyak
memiliki cerita rakyat antara
lain
Tutulano
SabhabhunoSangia
Purepure, Wambona, Ngkaangkaasi, Latai-tai Nsapole
4.
Penelitian ini
mengenai
cerita
rakyat
masyarakat
Wakorumba
Selatan yaitu Wambona, dan
Tutulano Sabhabhuno Purepure. Penulis memilih ke dua
cerita rakyat ini sesuai
dengan pendapat Laurenson

Bhe Wakina-kina Mboro,


Bheka Bhe Wulano,Anahi
Moelu
dan
lain-lainnya.
Cerita tersebut merupakan
cerita rakyat Wakorumba
Selatan yang mengandung
nilai-nilai
yang
sangat
bermanfaat bagi pembaca
maupun pendengarnya. Nilainilai itu cenderung dapat
membentuk pola pikir dan
perilaku serta pertumbuhan
kepribadian.
3.
Cerita rakyat
Tutulano Sabhabhuno Sangia
Pure-pure, dan Wambona
sebagai produk masyarakat
Wakorumba Selatan dapat
memberikan gambaran yang
jelas tentang masyarakat,
sistem nilai atau sistem
budaya yang ada pada
masyarakat sebelumnya dan
hingga
kini
masih
berpengaruh
dalam
kehidupan dan tingkah laku
masyarakat di Kecamatan
Wakorumba Selatan. Nilainilai sosial budaya yang dapat
diambil dalam cerita ini
menarik perhatian untuk
dikaji
sekaligus
untuk
memperkenalkan sastra lisan
masyarakat
Wakorumba
Selatan yang berupa cerita
rakyat kepada masyarakat
luar.
dan
Swingewood
via
Endraswara (2008: 79) bahwa
karya
sastra
sebagai
manisfestasi peristiwa sejarah
dan
keaadaan
sosial
budaya.Ke dua cerita rakyat
ini merupakan bukti sejarah
masyarakat
Wakorumba

Selatan. Sejarah dari cerita


rakyat Tutulano Sabhabhuno
Pure-pure ini adalah sumber
mata air yang sampai saat ini
masih ada dan dikelola oleh
PDAM, dan sejarah dari
cerita rakyat Wambonaini
adalah sungai Wambona.
Sungai ini adalah sungai yang
dilompati oleh Wambona dan
di hulu sungai tumbuh
sebatang pohon jeruk purut
yang sampai saat sekarang
masih tumbuh. Menurut yang
empunya cerita jeruk purut
tersebut berasal dari biji jeruk
yang digunakan Wambona
untuk mencuci rambutnya.
5.
Tutulano Sabhabhuno
Sangia Pure-pure mengisahkan
seorang kepala kampung yang
terkenal
kesaktiannya
bernama
Athesangkaburu, ia memiliki anak
bernama Kilambibito dan Wambona.
Kilambibito merasa dipermalukan
oleh adiknya yaitu Wambona karena
kedudukan suami Wambona lebih
tinggi
dibandingkan
dirinya.
Kilambibito memutuskan untuk pergi
ke Ternate. Setelah tiga tahun
Kilambibito memutuskan untuk
kembali ke kampung halamannya, ia
membawa 40 orang pasukan hadiah
dari
Sultan
Ternate
karena
Kilambibito membantunya melawan
Portugis. Namun karena ia masih
merasa sakit hati terhadap adiknya ia
memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan menuju bukit Labunia
untuk membuat perkampungan baru.
Mereka pun mencari sumber air dan
sampai sekarang masih dikelolah
oleh PDAM. Kilambibito pun diberi
gelar Sangia Pure-pure oleh
masyarakatnya dan kampung yang ia
dirikan dinamai Sangia Pure-pure.

6.
Selanjutnya,
cerita
rakyat
Wambona
mengisahkan
seorang gadis cantik yang bernama
Wambona, banyak lelaki yang ingin
melamarnya, tetapi Wambona selalu
menolak lamaran-lamaran tersebut.
Ayah Wambona akhirnya berinisiatif
untuk mengadakan sayembara untuk
mencarikan jodoh anaknya. Seorang
lelaki
akhirnya
berhasil
memenangkan sayembara tersebut,
namun Wambona menolak untuk
menikah dengan lelaki tersebut
karena disekujur tubuh lelaki itu
dipenuhi oleh kurap. Pada hari
pernikahan, Wambona memilih kabur
dan melompat ke dalam sungai yang
penuh dengan buaya. Sungai yang
dilompati oleh Wambona kini
dinamai sungai Wambona.
7.
Ke dua cerita rakyat
tersebut merupakan sebuah refleksi
sosial budaya yang dapat dikaji. Oleh
karena itu dalam penelitian ini
menggunakan tinjauan sosiologi
sastra dengan asumsi dasar hadirnya
sebuah karya sastra tidak dalam
kekosongan sosial. Sastra sebagai
cermin kehidupan manusia yang
tidak lepas dari akar masyarakatnya.
Sastra merupakan sebuah refleksi
lingkungan sosial budaya yang
merupakan sebuah penjelasan suatu
sejarah dialektik yang dikembangkan
dalam karya sastra. Dalam hal ini,
teks sastra dilihat sebagai sebuah
pantulan zaman karena karya sastra
menjadi saksi zaman. Aspek-aspek
kehidupan sosial budaya akan
memantul penuh ke dalam karya
sastra. Karya sastra memiliki
keterkaitan timbal balik dengan
masyarakatnya
dan
sosiologi
berusaha mencari pertautan antara
sastra dengan kenyataan masyarakat
dalam berbagai dimensi. Aspek

sosiologi yang digunakan adalah


aspek
sosiologi
karya,
yaitu
perspektif teks sastra. Perspektif teks
sastra dengan menganalisis refleksi
kehidupan
masyarakat
dan
sebaliknya. Berdasarkan hal di atas
maka yang menjadi rumusan masalah
dalam
penelitian
ini
adalah
bagaimanakah nilaisosial budaya
dalam cerita rakyat masyarakat
Wakorumba Selatan?.
8. Kajian Pustaka
9. Danandjaja dalam Ismayanti
(2014: 12), sastra lisan adalah
kesusastraan
yang
mencangkup
ekspresi
kesusastraan warga sutu
daerah
yang
disebarkan
secara lisan dari mulut ke
mulut. Sastra lisan pada
umumnya sangat tergantung
pada daya ingat penuturnya.
Tidaklah mengherankan bila
sastra
lisan
mengalami
banyak perubahan maupun
penyimpangan dari yang
semula. Dalam kamus istilah
sastra dijelaskan bahwa sastra
lisan merupakan suatu karya
yang dikarang berdasarkan
standar bahasa kesusastraan
yang disampaikan secara
paralel dari satu orang ke
orang lain dalam bentuk yang
tetap secara lisan. Menurut
Danandjaya dalam Halfian
(2008:13)
cerita
rakyat
merupakan
bagian
dari
folklor lisan yaitu folklor
yang
memang
murni.
Pengertian folklor adalah
sebagian kebudayaan kolektif
macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang
berbeda bahwa dalam bentuk
lisan maupun contoh yang

disertai
dengan
gerakan
isyarat atau alat pembantu
pengingat.
10.
Cerita rakyat biasanya
disampaikan secara lisan oleh tukang
cerita yang menghafal alur ceritanya.
Itulah sebabnya cerita rakyat disebut
sastra lisan. Cerita disampaikan oleh
tukang cerita sambil duduk-duduk di
suatu tempat kepada siapa saja, anakanak dan orang dewasa (Djamaris,
1993:6). Sosiologi sebagai suatu
pendekatan terhadap karya sastra
yang masih mempertimbangkan
karya sastra dan segi-segi sosial
(Wellek dan Warren, 1989) Sosiologi
sastra menurut Damono (1979: 2)
merupakan pendekatan terhadap
karya
sastra
yang
mempertimbangkan
segi-segi
kemasyarakatan.
Menurut
Endraswara (2008b: 87-88) sosiologi
sastra adalah penelitian tentang: (a)
studi ilmiah manusia dan masyarakat
secara objektif, (b) studi lembagalembaga sosial lewat sastra dan
sebaliknya, (c) studi proses sosial,
yaitu bagaimana masyarakat bekerja
dan
bagaimana
masyarakat
melangsungkan
kehidupannya.
Pendekatan
sosiologi
sastra
merefleksikan
nilai-nilai
yang
terkandung di dalam karya sastra.
Hal ini berdasarkan pengertian
bahwa karya sastra akan menyajikan
sejumlah nilai yang berkaitan dengan
keadaan masyarakat. Karya sastra
merefleksikan
bahwa
manusia
memiliki kehidupan masa lampau,
sekarang dan masa mendatang.
Cerita
Rakyat
merefleksikan
kehidupan manusia pada masa
lampau yang menyajikan nilai-nilai
yang berkaitan dengan keadaan
masyarakat pada lampau.Karya
sastra merefleksikan proposisi bahwa

manusia memiliki sisi kehidupan


masa lampau, sekarang dan masa
mendatang. Karya sastra juga dapat
menangkap fakta sejarah masyarakat
masa lampau.
11.
Dari segi nilai budaya
sebagai abstrak mengenai mengenai
masalah dasar dalam kehidupan
manusia yang sangat penting,
kewajiban-kewajiban
tersebut
tercermin dalam moral. Moral adalah
sesuatu yang dianggap sesuai dengan
ide-ide yang umum tentang tindakan
manusia, mana yang baik dan wajar.
Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran
tindakan yang oleh umum diterima
yang meliputi kesatuan sosial atau
lingkungan
tertentu
(Yaqub
1983:14).
12.
Dalam
kewajiban
moral terhadap sesamanya, nilai-nilai
sosial budaya yakni hubungan
manusia dengan sesama manusia
sebagai
berikut;
(1)
Tolong
menolong dalam kebaikan, (2) dapat
dipercaya; perkataan yang diucapkan
dan perbuatan yang dilakukan selalu
dapat dipercaya, (3) tidak aniaya,
bersikap tidak aniaya dan mencegah
penganiaayaan, (4) damai, sikap
damai, (5) dermawan, bersikap
memberi kepada orang lain, (6) adil
terhadap siapapun dan kapanpun, (7)
kebijaksanaan,
tidak
kaku
melaksanakan ketentuan-ketentuan,
(8) pemaaf suka memaafkan orang
lain, (9) musyarawarah, suka
merundingkan masalah, (10) tegang
rasa dalam melakukan tindakan yang
mengenai
orang
lain.(Yaqub
1983:15).
13. Hasil dan Pembahasan
14.
Cerita
rakyat
Tutulano Sabhabhuno Sangia Purepure dan Wambona yang dijadikan
data dalam penelitian ini merupakan

cerita rakyat yang hidup dan


berkembang
dalam
masyarakat
Wakorumba Selatan, Kecamatan
Wakorumba Selatan Kabupaten
Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
Penyebarannya dilakukan secara
lisan, yaitu dari mulut ke mulut.
Cerita rakyat ini biasanya diceritakan
oleh orang-orang tua kepada anakanaknya. Nilai-nilai sosial budaya
dalam Cerita rakyat Tutulano
Sabhabhuno Sangia Pure-pure dan
Wambona adalah sebagai berikut:
1. Nilai Tolong-menolong
15.
Manusia
sebagai
makhluk sosial tidak dapat
hidup sendiri tanpa bantuan
orang lain, sehingga manusia
akan selalu membutuhkan
pertolongan orang lain dalam
hidupnya. Tolong menolong
merupakan nilai budaya yang
sangat
penting
dalam
terciptanya
kehidupan
berbudaya dalam masyarakat.
Dengan
adanya
sikap
tolongmenolong
akan
membuat hubungan sosial
dalam masyarakat terbina
dengan
baik.
Tolong
menolong merupakan nilai
sosial budaya yang termasuk
dalam hubungan manusia
dengan
sesamanya.Tolong
menolong adalah ciri khas
masyarakat
tradisional.
Tolong
menolongakan
menimbulkan sikap saling
membutuhkan antarsesama
manusia.
16.
Dalam
masyarakat
Wakorumba
Selatan
pokadulu merupakan istilah
yang
mewakili
aktivitas
tolong menolong. Dalam
masyarakat
Wakorumba

Selatan
istilah
tolong
menolong dalam hal gotong
royong sangat populer dan
diistilahkan dengan pokadulu
yang
merupakan
sistem
pengerahan tenaga tambahan
dari luar kalangan keluarga
untuk
saling
mengisi
kekurangan tenaga pada
masa-masa
sibuk dalam
aktivitas bercocok tanam,
membangun
rumah,
membangun sarana umum,
dan
membangun
sarana
ibadah.Pokadulu
bahkan
telah menjadi kebiasaan dan
budaya masyarakat yang
diturunkan dari generasi ke
generasi.
Budaya
pokadulupada
masanya
sangat membantu proses
pembangunan dan dapat
mengeratkan perasaan dan
saling
membutuhkan
di
antara sesama. Suatu aktivitas
yang rumit dan kompleks
menjadi lebih ringan untuk
dilaksanakan, karena adanya
saling membantu melalui
sistem pokadulu. (Hamuni,
dkk, 2012 : 2)
17.
Dalam cerita rakyat
Tutulano Sabhabhuno Purepureterdapat nilai tolong
menolong dalam hal gotong
royong yang dapat dilihat
pada kutipan berikut;
18.
Wakutu Kilambibito
norato the Taranate, Sultan
Babulah
nando
no
popaparisa bhe Portugis.
Akhirino
Kilambibito,
nefetangkamo
lalono
natumulumi Sultan Babullah
rampahano
katulumino
Kilambibitomaitu. Tampano

Sultan Babullah nopooli no


girati Portugis maigho we
Taranate.
19.
20.
Pada
saat
Kilambibito
sampai
di
Ternate, Sultan Babullah
yang saat itu menjabat
sebagai Sultan Ternate sedang
berperang melawan Portugis
dari tanah Ternate, akhirnya
Kilambibito
memutuskan
untuk
membantu
Sultan
Babullah. Berkat bantuan
Kilambibito, akhirnya Sultan
Babullah berhasil mengusir
Portugis dari Ternate.
21.
22.
Pada kutipan di atas
menunjukkan bahwa sikap tolong
menolong
pada
masyarakat
Wakorumba Selatan telah ada sejak
zaman dahulu. Sikap gotong royong
ini
sangat
diperlukan
dalam
masyarakat. Dalam kutipan tersebut
menjelaskan berkat tolong menolong
dan kerja sama Sultan Babullah dan
pasukannya serta bantuan dari
Kilambibito mereka dapat mengusir
portugis
dari
tanah
Ternate.
Kilambibito kemudian dihadiahi
seorang gadis cantik yang merupakan
adik Sultan Babullah serta 40 orang
pasukan yang menjadi pengawalnya
untuk meninggalkan Ternate. Hadiah
ini tidak diminta oleh Kilambibito
tetapi Sultan Babullah sendirilah
yang memberikan hadiah ini sebagai
bukti
terima
kasih
kepada
Kilambibito
atas
bantuannya
mengusir Portugis dari tanah Ternate.
Kutipan lain yang menggambarkan
sikap tolong menolong adalah
sebagai berikut :
23.
Pada
iatu,
Kilambibito
notudumo

sabhangkahino,
ambano
kalamo we napakapihiimu
matano
oe.
Meowaamu
seghulu dahu, ane omoramo
kaawu
dahu
anagha
namentoho bhe naeoofa,
bararti naitumo matano oe
kakapihimu.
Dofetingke
kaawu wambano Kilambibito
sabangkahiino ini dokalamo
dokapihi
matano
oe
kapuluughono Kilambibito
nopobhaianda seghulu dahu.
Nompano kaawu dhe kapihi,
ahirino dahu kaowando
nagha
nofentohomu
we
pandano kabhawo, pada aitu
noofamo we tampa anagha.
Dofetingke
kaawu ofano
dahu anagha, sabangkahino
Kilambibito
doaghori
domahiki tampa anagha.
Ghara
nebhisaraghoono
Kilambibito
maitu
nokotughu, we tampa anagha
no
limba
matano
oe
motoindano
sabangkahino
amaitu
dosuli
doforato
Kilambibito masalano oe
kawurando maitu.
24.
Setelah
itu
Kilambibito pun menyuruh
pasukannya untuk mencari
sumber
air. Kilambibito
mengatakan
kepada
pasukannya Pergilah kalian
ke utara mencari mata air,
bawalah seekor anjing, jika
kalian melihat anjing tersebut
berhenti berarti di situlah
mata air berada. Pasukan
Kilambibito pun mencari
sumber mata air yang
dimaksud oleh Kilambibito,
mereka
ditemani
seekor
anjing. Setelah lama mencari,

akhirnya anjing yang dibawa


oleh pasukan Kilambibito
pun berhenti di bawah bukit
dan menggonggong di tempat
tersebut. Mendengar hal itu
pasukan Kilambibito pun
bergegas
menghampiri
tempat tersebut. Ternyata apa
yang
dikatakan
oleh
Kilambibito memang benar
adanya, di tempat tersebut
menyembur mata air yang
sangat jernih para pasukan itu
pun kembali dan melaporkan
hasil pencarian mereka.
25.
Dari petikan di atas
dapat dilihat bahwa pasukan
Kilambibito mencari sumber air
secara bersama-sama. Mereka saling
tolong menolong melaksanakan
pekerjaan itu tanpa mengharapkan
imbalan
apapun,
mereka
melaksanakan pekerjaan berdasarkan
kepentingan bersama. Hasil kerja
keras mereka pun memberikan hasil
yang berupa mata air yang sampai
sekarang masih dipakai oleh
masyarakat Wakorumba Selatan.
26.
Tolong
menolong
dalam
masyarakat
Wakorumba
Selatan telah berlangsung sejak
zaman
dahulu.Pokadulumerupakanadat
istiadat dan juga sebagai modal
sosial
budaya
yang
ada
padamasyarakat adat Wakorumba
Selatan. Kelembagaan gotong royong
bukan saja merupakan elemen
esensial yang bersifat dinamik bagi
terwujudnya
persatuan
atau
solidaritas
masyarakat
adat
Wakorumba Selatan, melainkan juga
sebagai pintu masuk pemberdayaan
masyarakat melalui hubungan sosial
yang terjalin dengan baik di antara

sesama masyarakat Wakorumba


Selatan.
27.
Sejak zaman dahulu
kelompok
masyarakat
Wakorumba Selatan telah
melaksanakan sistem gotong
royong yang biasa disebut
dengan istilah Kadulu.
Kadulu dilakukan oleh kaum
laki-laki,
dan
kaum
perempuan hanya bekerja
dalam
rumah.
Namun
sekarang hal ini telah
berubah. Perempuan tidak
lagi hanya bekerja di dalam
rumah
tetapi
telah
menggantikan peran laki-laki
dalam sistemKadulu.
28.
Sistem kadulu dalam
masyarakat Wakorumba Selatan
hingga dewasa ini masih eksis atau
dipertahankan oleh masyarakat. Hal
ini tampak dalam budaya kadulu di
bidang pertanian berupa pengolahan
kebun dan di bidang sosial
kemasyarakatan
seperti
dalam
kegiatan perkawinan dan pembuatan
kuburan. Serta tampak pula dalam
kegiatan pembangunan desa seperti
pembangunan
masjid
dan
pembersihkan jalan raya, lingkungan
masjid, kantor kecamatan, lapangan
bola dan tempat-tempat umum
lainnya.
29. 2. Nilai Musyawarah
30.
Musyawarahadalah
pembahasan bersama dengan
maksud mencapai keputusan
atau penyelesaian masalah
bersama. Musyawarah atau
biasa disebut Dengkoragho
kafaka merupakan kebiasaan
yang diwariskan secara turuntemurun dalam generasi
masyarakat
Wakorumba
Selatan.Musyawarah

merupakan salah satu nilai


sosial
budaya
yang
terkandung dalam cerita
rakyat
masyarakat
Wakorumba Selatan. Dalam
cerita
rakyat
Tutulano
Sabhabhuno Sangia Purepure
memiliki
nilai
musyawarah yang dapat
dijadikan
panutan
bagi
masyarakatnya dan hingga
kini masih hidup. Kutipan
yang menggambarkan nilai
musyawarah adalah sebagai
berikut;
31.
Saratondo
we
Tondothini, dofentoho deki
sebantara sodamewulegho,
bhe dekapihi tampa so
kaelatehondo.
Dokokafaka
kaawu, Kilambibito bhe
sabangkahino dofopansuru
kakalahando doghulu te
kabhawo
we
wawono
Labunia. Andoa dhopili
tampa amaitu rampahano
tampa aitu nembawo. Ane
namai mie modhaino dhiu
kansuru natiwura.
32.
Sesampainya
di
Tondothini,
mereka
beristirahat untuk sementara
waktu, sambil mencari tempat
yang
bisa
dijadikan
perkampungan baru. Setelah
bermusyawarah
dengan
anggota
pasukannya,
Kilambibito pun melanjutkan
perjalanan menuju bukit di
atas
Labunia.
Mereka
memilih tempat tersebut
karena tempat tersebut berada
di ketinggian, jadi kalau ada
musuh yang datang dapat
dilihat.

33.
Berdasarkan kutipan
di atas dapat diketahui bahwa sejak
zaman dahulu para pemimpin selalu
melibatkan masyarakatnya dalam
pengambilan berbagai keputusan
demi mencapai kepentingan bersama.
Kutipan di atas menggambarkan
Kilambibito
sebagai
pemimpin
pasukan,
selalu
melibatkan
pasukannya dalam memutuskan
suatu perkara. Hasil musyawarah ini
memberikan hasil dan membawa
dampak
yang
baik
sehingga
memberikan keuntungan kepada
seluruh anggota yang terlibat dalam
musyawarah tersebut. Pada akhirnya
berdasarkan
hasil
musyawarah
mereka menemukan tempat yang
dijadikan sebagai perkampungan
baru bagi mereka. Tempat itu pula
sangat strategis karena berada di
ketinggian sehingga musuh yang
datang dapat diketahui lebih dulu.
34.
Dalam cerita rakyat
Wambona juga terdapat nilai
musyawarah. Hal ini terdapat
dalam kutipan berikut;
35.
Rampahano
Wambona
miina
bhe
nemasighono
semiemu,
akhirino
Athesangkaburu
noratoemo fekiri so naerabu
kasukara so nae kapihigho
moghane
so
anano.
Kadadhia
aini
do
pobisaranhe
dekhi
bhe
kakutahi
Wambona
sigahaano deghawa kaawu
kafaka,
maka
Atensangkaburu no ghulu we
tehi, patudguno nae tisa kuli
susu we lo tehi.
36.
Karena tidak ada
satu pun laki-laki
yang
berhasil menarik perhatian
putrinya,
maka

Athesangkaburu
pun
mempunyai inisiatif untuk
mengadakan sayembara guna
mencarikan jodoh anaknya.
Hal ini terlebih dahulu
dibicarakan dengan anggota
keluarga yang lain. Setelah
semua anggota keluarga
setuju dengan usulan ini,
maka pada suatu hari
Athesangkaburu menuju ke
laut, tujuannya adalah untuk
menanam kulit kerang di
dasar laut.
37.
Berdasarkan kutipan
di atas kebiasaan musyawarah tidak
hanya dalam lingkungan masyarakat
namun
berlaku
juga
dalam
lingkungan keluarga. kebiasaan ini
dilaksanakan dalam memutuskan
suatu perkara yang berhubungan
dengan masalah kekeluargaan. Untuk
memutuskan anggota keluarga akan
berkumpul guna membicarakan hal
tersebut. Hal-hal tersebut biasa
mengenai perjodohan, pernihkahan,
perceraian dan hal lainnya mengenai
keluarga. Hal ini tercermin dalam
kutipan di atas yang menggambarkan
Athesangkaburu sebagai kepala
kampung yang memiliki kesaktian
dan kekuasaan juga sebagai kepala
keluarga ketika memutuskan sesuatu
ia masih meminta saran dari anggota
keluarga yang lain.
38.
Nilai
musyawarah
yang terdapat dalam ke dua cerita
rakyat ini masih berlangsung sampai
sekarang. Yang membedakannya
pada masyarakat dalam lingungan
masyarakat
adalah
intensitas
pertemuan antar warga. Dalam
masyarakat Wakorumba Selatan
musyawarah atau Dengkoragho
kafaka dilaksanakan sesuai dengan
keadaan. Biasanya musyawarah akan

dilakukan jika ada hal-hal yang


mendesak sehingga harus segera
dilaksanakan,
terutama
yang
berhubungan dengan pemanfaatan
sumber daya alam.
39. 3. Nilai Dermawan
40.
Dermawan
adalah
salah satu sikap yang
terkandung dalam nilai sosial
budaya yang berhubungan
manusia dan sesamanya.
Dalam cerita rakyat Tutulano
Sabhabhuno Sangia Purepurenilai dermawan dapat
dilihat pada kutipan berikut;
41.
Wakutu Kilambibito
nofealai nasumuli we Loghia,
sultan Babullah nowaagho
Kilambibito fatofulu mie
raeati somangkafie, bheno
foo ghaae bhe kalambe
maigho te Taranate.
42.
Pada saat Kilambibito
hendak pulang ke Loghia,
sultan Babullah memberikan
hadiah berupa 40 orang
pasukan dan menikahkan
Kilambibito dengan seorang
anggota keluarga kerajaan
Ternate.
43.
Kutipan
di
atas
menggambarkan
bahwa,
ketika
hendak pulang ke Lohia Sultan
Babullah memberikan Kilambibito
40
orang
pasukan
dan
menikahkannya dengan seorang
anggota keluarga kerajaan Ternate.
Kutipan tersebut menjelaskan sikap
dermawan yang dimiliki oleh Sultan
Ternate yaitu Sultan Babullah.Hadiah
ini tidak diminta oleh Kilambibito
tetapi Sultan Babullah sendirilah
yang ingin memberikan hadiah
kepada Kilambibito.Sikap dermawan
Sultan Babullah sebagai bukti terima
kasih terhadap Kilambibito yang

telah
membantunya
mengusir
Portugis.
44.
Sikap
Dermawan
dalam
masyarakat
Wakorumba Selatan terlihat
dari dan menonjol dalam pola
kehidupan mereka, seperti
ikut memberikan sumbangan
baik dalam bentuk dana
maupun jasa dalam kegiatan
yang diselenggarakan oleh
masyarakat
Wakorumba
Selatan.
Kegiatan
ini
berhubungan
langsung
dengan kepentingan warga
misalnya untuk menyambut
hari kemerdekaan Negara
Republik
Indonesia.Sumbangan
ini
diberikan
oleh
warga
masyarakat secara ikhlas dan
suka rela guna memeriahkan
kegiatan tersebut.
45. Nilai Kebijaksanaan
46.
Kebijaksanaan dapat
berbentuk keputusan yang
dipikirkan
secara
matang.Nilai Nilai bijaksana
dalam hal ini adalah tidak
kaku melaksanakan setiap
ketentuan-ketentuan
yang
berlaku. Nilai kebijaksanaan
dalam
cerita
rakyat
Wambonadapat dilihat pada
kutipan berikut;
47.
Pidamo
kapodhandhiha
Athesangkaburu
bhe
Athengkoburi, Wambona da
moghae bhe Athengkoburi.
48.
Seperti yang telah
dijanjikanya,
akhirnya
Athesangkaburu pun harus
menikahkan anaknya dengan
Athengkoburi
walaupun
anaknya tidak mau.

49.
Kutipan
di
atas
menggambarkan sikap bijaksana yang
dilakukan oleh ayah Wambona yaitu
Athengkoburi dalam menentukan
pasangan
anaknya.Athengkoburimemgumumka
nsayembara
kepada
semua
masyarakat. Setelah semua laki-laki
dalam kampung berbondong-bondong
ingin
memenangkan
sayembaratersebut
lalumenanglahAthengkoburi. Namun
Wambona menolak menikah dengan
Athengkoburi karena sekujur tubuh
Athengkoburi dipenuhi kurap. Sikap
bijaksana Athesangkaburu terlihat
ketika ia tetap menikahkan anaknya
dengan Athengkoburi yang telah
memenangkan sayembara meskipun
Wambona menolak.
50.
Sikap bijaksana dalam
masyarakat Wakorumba Selatan
terlihat dalam menangani suatu
masalah, seperti seorang warga yang
melanggar adat. Kepala desa ketika
akan memutuskan masalah tersebut
setelah menyelediki kasus tersebut
sampai ke akar permasalahannya.
Kepala Desa akan mendatangkan
semua saksi dan tidak terburu-buru
dalam menjatuhkan sangsi kepada
warga yang telah melakukan
pelanggaran adat tersebut. Ia akan
mengumpulkan semua bukti dan
menjatuhkan hukuman kepada warga
yang bersalah. Dalam menjatuhkan
hukuman
kepala
desa
tidak
memandang siapa pun, jika bersalah
tetap akan dihukum.
51.
Cerita
rakyat
merupakan karya sastra sebagai
warisan budaya nasional dan
mempunyai nilai-nilai yang patut
dikembangkan dan dimanfaatkan
untuk kehidupan masa kini dan masa
yang akan datang. Cerita rakyat

masyarakat Wakorumba Selatan juga


telah ikut berperan sebagai wahana
pemahaman gagasan dan pewarisan
tata nilai yang tumbuh dalam
masyarakat Wakorumba Selatan.
Bahkan cerita rakyat masyarakat
Wakorumba telah lama berperan
sebagai salah satu bentuk komunikasi
antara
masyarakat
Wakorumba
Selatan. Nilai yang dapat dikaji
dalam cerita rakyat masyarakat
Wakorumba Selatan adalah nilai
sosial budaya yang terkandung di
dalamnya.
52.
Pendekatan sosiologi
sastra dari aspek karyasastra
merefleksikan
nilai-nilai
yang
terkandung di dalam karya sastra.
Hal ini berdasarkan pengertian
bahwa karya sastra akan menyajikan
sejumlah nilai yang berkaitan dengan
keadaan masyarakat. Karya sastra
merefleksikan
bahwa
manusia
memiliki kehidupan masa lampau,
sekarang dan masa mendatang.
Cerita
Rakyat
merefleksikan
kehidupan manusia pada masa
lampau yang menyajikan nilai-nilai
yang berkaitan dengan keadaan
masyarakat pada lampau.
53.
Dalam cerita rakyat
masyarakat Wakorumba Selatan
yaitu
cerita
rakyat
Tutulano
Sabhabhuno Sangia Pure-pure, dan
Wambona
sebagai
produk
masyarakat Wakorumba Selatan
dapat memberikan gambaran yang
jelas tentang masyarakat, sistem nilai
atau sistem budaya yang ada pada
masyarakat sebelumnya dan hingga
kini masih berpengaruh dalam
kehidupan
dan
tingkah
laku
masyarakat
di
Kecamatan
Wakorumba Selatan.
54.
Nilai-nilai
sosial
budaya dalam cerita rakyat Tutulano

Sabhabhuno Sangia Pure-pure, dan


Wambonayakni
nilai
tolong
menolong, nilai musyawarah, nilai
dermawan dan nilai kebijaksanaan
yang telah dijelaskan sebelumnya
telah membuktikan bahwa nilai-nilai
sosial budaya tersebut merefleksikan
kehidupan manusia pada masa
lampau yang menyajikan nilai-nilai
yang berkaitan dengan keadaan
masyarakat pada lampau. Hal ini
sejalan dengan pandangan Soekito
dalam Endraswara (2008: 87) bahwa
setiap karya sastra itu mencerminkan
masyarakat dan jamannya.
55. 4. Kesimpulan
56.
Dari
penjabaranpenjabaran
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa nilai sosial
budaya dalam kutipan-kutipan cerita
rakyat
masyarakat
Wakorumba
Selatan yaitu nilai tolong menolong
dalam hal ini gotong royong, nilai
musyawarah, nilai dermawan dan
nilai kebijaksanaan merupakan nilainilai yang dibentuk pada masa
lampau dan terus hidup dan
diterapkan hingga saat ini. Nilai-nilai
ini terus-menerus disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan terus
berkembang
dalam
masyarakat
Wakorumba Selatan.
57.
58.
59.
60. Ucapan Terima Kasih
63.
65.

64. Daftar Pustaka


[1] Damono, Sapardi
Djoko.
1979.
Sosiologi
Sastra:
Sebuah Pengantar

61.
Alhamdulillah, puji
syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah Swt atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penyusunan jurnal ini
dapat diselesaikan. penulis ucapkan
terima kasih kepada kedua orang
tuaku Ayahanda Martinus Roldan
Lakaden dan Ibuhanda Wa Ode
Hanafiah yang telah melahirkan,
merawat, mendidik dengan setulus
hati tanpa mengharap budi serta
membuat penulis menjadi sosok yang
kuat dan tegar sehingga mampu
menghadapi berbagai tantangan dan
halangan. Dengan penuh kerendahan
hati dan rasa ikhlas penulis
menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Prof. Dr. La Ode Sidu
Marafad, M.S selaku pembimbing I
dan Drs. La Ode Balawa, M.Hum
selaku pembimbing II atas segala
bantuan, dan masukan yang telah
diberikan
dan
dengan
sabar
memberikan.
62.
Terima Kasih pula
kepada Prof. Dr. Ir. H. Usman
Rianse, M.Si., selaku Rektor
Universiras Halu Oleo, Ibu Dra. Wa
Ode Sitti Hafsah, M.Si selaku Dekan
Fakultas Ilmu Budaya, dan Bapak
Dr. La Ino, S.Pd., M. Hum selaku
Ketua Program Studi Sastra serta
Bapak dan ibu Dosen Fakultas Ilmu
Budaya pada umumnya dan program
studi
sastra
Indonesia
pada
khususnya yang telah banyak
memberikan bekal pengetahuan
penulis
selama
mengikuti
pendidikan.
Ringkas.
Jakarta:
Depdikbud
66. [2] Danandjaja, James. 2007.
Foklor
Indonesia:
Ilmu
Gosip, Dongeng, dan Lain67. lain. Jakarta:
Grafiti.

68.

69.

70.

71.

72.

[3] Djamaris, Edwar.


1993. Nilai Budaya
dalam
beberapa
Karya
Sastra
Nusantara: Sastra
Daerah di Sumatra .
Jakarta: Depdikbud
[4]
Endraswara,
Suwardi.
2008.
Metodologi
Penelitian
Sastra.
Yogyakarta:
MedPress.
[5] Faruk. 2003.
Pengantar Sosiologi
Sastra
dari
Strukturalisme
Genetik sampai PostModernisme.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
[6] Halfian, Wa Ode.
2008.
Nilai-nilai
Kearifan
Lokal
dalam
Cerita
RakyatMasyarakat
Wakorumba Selatan
di Kabupaten Muna.
Kendari: Universitas
Halu Oleo.
[7] Hamuni, dkk.
2012.
Penguatan
Kelembagaan
Budaya
Gotong
Royong
dalam
Meningkatkan
Pembangunan Desa
di Kabupaten Muna.
Kendari: Universitas
Halu Oleo

73.

74.

75.

76.

77.

78.

[8] Heriani. 1995.


Nilai-nilai
Sosial
Budaya
dalam
Cerita Rakyat Bugis
Di
Kabupaten
Soppeng. Kendari:
Universitas
Halu
Oleo.
[9]
Ismayanti,
Murni. 2014. Nilai
Pendidikan
dalam
Cerita La Meolu dan
Wa
Ode
Kaengufaari.
Kendari: Universitas
Halu Oleo.
[10]
Nurgiantoro,
Burhan. 2005. Sastra
Anak:
Pengantar
Pemahaman
Dunia
Anak.
Yogyakarta:
Gajah
Mada
University Press.
[11]
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2009.
Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan
Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
[12]
Rokhmansyah,
Alfian. 2014. Studi
dan Pengkajian Sastra:
Perkenalan
Awal
Terhadap Ilmu Sastra.
Yogyakarta:
Graha
Ilmu.
[13] Rachman. 1994.
Tinjauan
Terhadap
Nilai-nilai Pancasila
yang
Terkandung

79.

80.

82.

dalam Cerita Rakyat


Masyarakat
Muna.
Kendari: Universitas
Halu Oleo.
[14] Sibarani, Robert.
2012. Kearifan Lokal
Hakikat, Peran dan
Metode Tradisi Lisan.
Jakarta:
Asosiasi
Tradisi Lisan.
[15] Sikki, Muhammad,
dkk. 2007. Struktur
Sastra Lisan Toraja.
Jakarta.
81.
Depdikbud.
[16] Soedjito. 1995.
Aspek Sosial Budaya.

83.

84.

85.

Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya.
[17] Tumbu, La. 1994.
Nilai-nilai Pendidikan
dalam Cerita Rakyat
Wandiu-diu dan O
Ndoke Bhe Kapoluka
di Daerah Muna.
Kendari: Universitas
Halu Oleo.
[18] Wellek, Rene dan
Weren, Austin. 1989.
Teori
Kesusastraan.
Jakarta: PT. Gramedia
[19] Yaqub, Hamzah.
1983. Etika Islam.
Bandung: Diponegoro

86.
87.

88.
89.
90.

You might also like