Professional Documents
Culture Documents
Full of this Indonesian Nattional Hero is Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, as we knew
and usually he was called Ki Hajar Dewantara by Indonesian. Ki Hajar became a hero by the
first Indonesian President, Soekarno, On November 28 1959, he was also one of the founding
fathers of a famous educational institution in his era. He was born on 2nd May and he had a
slogan Tut Wuri Handayani also became Indonesian National Ministry Slogan.
His career began as a writer for few newspaper. He was called one of the best writer at
that time. KHD started to become an activist when one of the largest Indonesian Youth
Organisation (Boedi Utomo)was established in 1908. The peak of his life happened when he
met Douwes Dekker and Dr. Cipto Mangunkusumo( who we knew it in the famous hospital
in Jakarta). Mr. Ki Hajar Dewantara had also was captured and exiled by Netherlander
because write a book titled Als Ik Een Nederlander was which means if i was a dutchman.
In his writing he offended the dutch government who forced people to fund their
independence day celebration.
Perguruan Taman Siswa was established on July 4th 1992 after his cameback from the
exile. This was also the time he intended to change his name. When Indonesia Gain its
independence, Ki Hajar Dewantara was appointed as first education minister. As long as time
ran, Ki Hajar Dewantara died in Yogyakarta on April 26 April 1959 and was buried in Taman
Wijaya Brata. Based on the Decision Letter Indonesia Republic number 305 on 1959 of
years, November 28 1959, KHJs date of birth May 2nd was used as National Education Day.
He also became Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
As that story and biography above, we must know and reply all of the struggle from our
education hero of Indonesia. KHJ was being one of important person and luckiest person
Indonesian have. because of that, we should proud to him and always gave the best to
Indonesia Nation. Lets got better guys.
Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia
diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004: 84), hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang
tidak tertulis juga sudah ditemukan sejak abad ke-19. Sementara itu, pondasi pendirian sastra
Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak
saat itu sastra berkembang sampai saat ini, sastra Indonesia secara umum terbagi oleh
beberapa periode, yaitu angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan
1950, angkatan 1966, dan angkatan 1970sekarang. Di era 2000-an seperti sekarang mulai
dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di dunia cyber atau internet. Berikut akan
dipaparkan satu demi satu penjelasan terkait periodisasi sastra Indonesia.
Angkatan Balai Pustaka (19201933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal
banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat
kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna
keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat.
Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya
berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan
yang tepat bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan
Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi
signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
9.
10.
11.
Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal
pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
12.
pendapat seni untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk
seni.
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan 45 adalah tema tentang
perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat yang
menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui
politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni.
Angkatan 45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal dunia. Selain
itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai menyibukkan diri membuat
skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut membuat Angkatan 45 seolah
kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan 45 berakhir dan digantikan dengan
Angkatan50.
Angkatan 45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini
dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki
gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang
dialami Angkatan 45. Sementara Angkatan 45 yang terbentuk pada saat gencarnya
perjuangan kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan
diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari
fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi
masyarakat karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Angkatan 1950
Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal, lingkungan
kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah satu
alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya jumlah buku
yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai penerbit
utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat
itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar
Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe,dll.
Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang
berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun lantas
hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138).
Hal itulah yang memunculkan istilah sastra majalah pada masa itu. Berikut pendapat
Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya Sumber-Sumber Kegiatan1
1.
2.
3.
Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
4.
Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang
mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
5.
6.
Bunga
Rumah makan,Orang-orang
Sial,
Si
Kabayan dll;
2.
3.
Bakri
4.
1.
2.
3.
4.
5.
Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman
sekarang
6.
Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak
karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra
tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui
pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar
dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang
diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali
memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika
dan absurditas3.
beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yang
dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas
merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka? Pertanyaan itu tidak
terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat
Abu Nawas kepadanya.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: Mungkin
suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke sini
dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan
sekarang?
Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana
Abu Nawas membalas: Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus
menggali, wahai istriku. Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi.
Baginda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu
Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.