You are on page 1of 142

i

SIFAT FUNGSIONAL DAN REOLOGI TEPUNG JAGUNG


NIKSTAMAL SERTA CONTOH APLIKASINYA PADA
PEMBUATAN MAKANAN PENDAMPING ASI

HERLINA MARTA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sifat Fungsional dan Reologi Tepung
Jagung Nikstamal serta Contoh Aplikasinya pada Pembuatan Makanan
Pendamping ASI adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2011

Herlina Marta
NRP F251080021
iii

ABSTRACT

HERLINA MARTA. Functional and Rheological Properties of Nixtamalized


Corn Flour and Its Application on Supplementary Infant Food Production.
Supervised by SUGIYONO and BAMBANG HARYANTO

This study was carried out to evaluate changes in functional and rheological
properties of corn flour treated by nixtamalization and to apply the nixtamalized
corn flour for supplementary infant food production. The corn was nixtamalized
using lime at different concentrations (0%, 0,25% and 0,5%) and cooking times
(0, 5, 10, 15, and 20 min). The lime concentration and cooking time significantly
(p 0,05) affected functional and rheological properties of corn flour. Swelling
volume, solubility, water absorption capacity and gel strength decreased with
increasing lime concentration. Gel strength increased with cooking time up to 10
minutes and decreased with prolonged cooking time. Pasting studies showed that
the peak viscosity, breakdown and setback of corn flour decreased with increasing
lime concentration. Functional and rheological properties of nixtamalized corn
flour were affected by Ca-starch interactions. The increasing of water absorption
capacity increased swelling volume, solubility, gel strength and peak viscosity and
conversely decreased wettability of corn flour. The gel strength had a positive
correlation with setback. The nixtamalized supplementary infant food had macro
nutritions complied with the standard. It had lower water absorption capacity and
higher bulk density than non-nixtamalized supplementary infant food. The
nixtamalized supplementary infant food had protein digestibility of 87,36% (db)
and starch digestibility of 81,07% (db). Sensory acceptabilities of the
nixtamalized supplementary infant food were not significantly different (p 0,05)
from commercial supplementary infant food except smoothness, color and aroma.

Keyword: nixtamalization, corn flour, functional properties, rheological


properties, supplementary infant food
iv

RINGKASAN
HERLINA MARTA. Sifat Fungsional dan Reologi Tepung Jagung Nikstamal
serta Contoh Aplikasinya pada Pembuatan Makanan Pendamping ASI. Dibimbing
oleh: SUGIYONO dan BAMBANG HARYANTO.

Jagung merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai ekonomis serta
mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber
utama karbohidrat dan protein setelah beras. Berdasarkan komposisi kimia dan
kandungan gizinya, jagung mempunyai prospek sebagai bahan pangan dan bahan
baku industri. Jagung dapat diolah menjadi produk setengah jadi yaitu tepung
jagung. Terdapat berbagai metode pembuatan tepung jagung salah satunya adalah
metode nikstamalisasi yaitu pemasakan biji jagung dalam larutan kapur
(umumnya Ca(OH)2) sebelum biji jagung tersebut digiling dan dikeringkan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat
fungsional dan reologi tepung jagung yang disebabkan oleh proses nikstamalisasi.
Tujuan khusus penelitian ini adalah mengetahui pengaruh berbagai kondisi proses
nikstamalisasi terhadap sifat fungsional dan reologi tepung jagung nikstamal yang
dihasilkan serta mengetahui karakteristik kimia, fisik, biologis dan organoleptik
bubur instan MP-ASI yang dibuat dari bahan baku tepung jagung nikstamal.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu: (1) pembuatan tepung jagung
instan dengan metode nikstamalisasi dengan berbagai kombinasi konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang digunakan dalam proses nikstamalisasi dan
(2) aplikasi penggunaan tepung jagung nikstamal dalam pembuatan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) dalam bentuk bubur instan. Penelitian dilakukan
menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu
konsentrasi Ca(OH)2 (0%, 0,25% dan 0,5%) dan lama pemasakan (0, 5, 10, 15
dan 20 menit). Tepung jagung nikstamal yang diaplikasikan dalam pembuatan
bubur instan MP-ASI adalah tepung yang memiliki sifat fungsional dan reologi
yang sesuai untuk pembuatan bubur instan MP-ASI, misalnya memiliki sifat
kekambaan minimum, kekentalan rendah, kapasitas penyerapan air yang baik,
wettability cepat, kelarutan tinggi, kekuatan gel lemah, dan setback rendah.
Interaksi antara perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
menyebabkan perbedaan yang signifikan (p 0,05) terhadap sifat fungsional dan
reologi tepung jagung. Secara umum, terdapat kecenderungan penurunan swelling
volume, kelarutan dan kapasitas penyerapan air tepung jagung dengan semakin
meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2. Sementara densitas kamba dan wettability
tepung jagung cenderung semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
Ca(OH)2 pada lama pemasakan yang sama. Swelling volume, kapasitas
penyerapan air, dan kekuatan gel tepung jagung meningkat hingga perlakuan lama
pemasakan tertentu dan cenderung mengalami penurunan jika pemasakan
diteruskan. Hasil pengukuran reologi menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA)
memperlihatkan bahwa perlakuan nikstamalisasi cenderung menurunkan
viskositas pasta tepung jagung. Viskositas puncak dan breakdown tepung jagung
nikstamal cenderung semakin menurun dengan semakin meningkatnya
konsentrasi Ca(OH)2 dan semakin lamanya pemasakan. Tepung jagung dengan
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% dan tanpa pemasakan memiliki viskositas
pasta dingin dan setback yang paling rendah. Beberapa sifat fungsional dan
v

reologi tepung jagung saling berhubungan satu sama lain. Semakin meningkat
kapasitas penyerapan air maka semakin meningkat pula swelling volume,
kelarutan dan kekuatan gel tepung jagung dan sebaliknya semakin menurun
wettability dan densitas kamba tepung jagung. Viskositas puncak semakin
meningkat dengan semakin meningkatnya swelling volume, kelarutan dan
kapasitas penyerapan air dan semakin menurunnya nilai pH. Setback berkorelasi
positif dengan kekuatan gel. Perbedaan sifat fungsional dan reologi tepung jagung
terutama disebabkan oleh interaksi antara molekul pati dengan ion Ca2+ yang
menyebabkan terjadinya ikatan silang antar molekul pati melalui pembentukan
jembatan kalsium.
Tepung jagung yang digunakan dalam pembuatan bubur instan MP-ASI adalah
tepung jagung nikstamal dengan perlakuan Ca(OH)2 0,25% dan lama pemasakan
15 menit dan tepung jagung non-nikstamal dengan tanpa perlakuan Ca(OH)2 dan
lama pemasakan 15 menit. Bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal
memiliki densitas kamba yang lebih besar, kapasitas penyerapan air dan
kekentalan yang lebih rendah dibandingkan bubur berbahan baku tepung jagung
non-nikstamal. Kandungan zat gizi makro bubur jagung instan MP-ASI yang
dihasilkan telah sesuai dengan persyaratan SNI 01-7111.1-2005. Kandungan gizi
bubur jagung instan MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal antara lain:
energi 420,74 kkal, kadar protein 16,19% bk, kadar lemak 6,70% bk, kadar
karbohidrat 73,92% bk, kadar abu 3,18% bk, serat kasar 0,93% bk dan kadar
kalsium 0,59% bk. Bubur jagung instan berbahan baku tepung nikstamal memiliki
nilai biologis yang cukup baik yaitu daya cerna protein 87,36% dan daya cerna
pati 81,07%. Hasil uji organoleptik menunjukkan nilai rata-rata kesukaan terhadap
produk bubur jagung instan MP-ASI tidak berbeda secara signifikan dengan nilai
rata-rata kesukaan terhadap bubur MP-ASI komersial, kecuali untuk kriteria
warna, aroma dan kehalusan di dalam mulut.

Kata kunci: nikstamalisasi, tepung jagung, sifat fungsional, sifat reologi, makanan
pendamping ASI
vi

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii

SIFAT FUNGSIONAL DAN REOLOGI TEPUNG JAGUNG


NIKSTAMAL SERTA CONTOH APLIKASINYA PADA
PEMBUATAN MAKANAN PENDAMPING ASI

HERLINA MARTA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc.
ix

Judul Tesis : Sifat Fungsional dan Reologi Tepung Jagung Nikstamal serta
Contoh Aplikasinya pada Pembuatan Makanan Pendamping ASI
Nama : Herlina Marta
NRP : F251080021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.Si.


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 1 Februari 2011 Tanggal Lulus:


x

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia
dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih pada penelitian ini adalah Sifat Fungsional dan Reologi Tepung Jagung
Nikstamal serta Contoh Aplikasinya pada Pembuatan Makanan Pendamping ASI.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sugiyono, M. App.Sc. dan
Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.Si. selaku komisi pembimbing yang telah
memberikan saran dan arahan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. selaku
dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.
Terima kasih kepada BPPS Ditjen Dikti dan BPPT atas bantuan dana penelitian.
Kepada ayahanda, ibunda, suami dan anak tercinta, penulis mengucapkan
terima kasih atas doa, dukungan, pengertian, pengorbanan dan kasih sayang yang
telah diberikan selama penulis menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Pangan
IPB. Kepada kerabat yang telah memberikan dukungan dan semangat serta doa,
penulis juga mengucapkan terima kasih.
Kepada semua teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan
Seafast Center, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama
yang baik. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Pangan angkatan
2008, penulis mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan kebersamaan yang
terjalin selama ini. Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2011

Herlina Marta
xi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pasaman, Sumatera Barat pada tanggal 27 Maret 1982
dari ayah Herman dan ibu Syamriati. Penulis merupakan putri pertama dari empat
bersaudara.
Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai mahasiswi di Program Studi
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran
melalui jalur UMPTN. Penulis menyelesaikan kuliah strata 1 pada tahun 2004 dan
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan. Pada tahun 2008, penulis
mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 dengan bantuan beasiswa BPPS
Ditjen Dikti, Depdiknas.
Sejak tahun 2006 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar di
Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran.

DAFTAR ISI
xii

Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3
Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5


Biji Jagung ..................................................................................................... 5
Tepung Jagung ............................................................................................... 7
Pati Jagung ..................................................................................................... 9
Proses Nikstamalisasi .................................................................................. 11
Sifat Fungsional ........................................................................................... 13
Sifat Reologi ................................................................................................ 16
Makanan Pendamping ASI .......................................................................... 17
Pengering Silinder (Drum Dryer) ................................................................ 21

METODOLOGI .................................................................................................... 23
Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................... 23
Bahan dan Alat Penelitian ........................................................................... 23
Metode Penelitian ........................................................................................ 23
Penelitian Tahap I Pembuatan Tepung Jagung Nikstamal ................... 23
Penelitian Tahap II Pembuatan Bubur Jagung Instan MP-ASI ............ 26
Rancangan Percobaan dan Analisis Data .................................................... 27
Prosedur Analisis ......................................................................................... 29
Swelling Volume dan Kelarutan............................................................ 29
Kapasitas Penyerapan Air ..................................................................... 29
Kapasitas Penyerapan Minyak.............................................................. 30
pH ......................................................................................................... 30
Kekuatan Gel ........................................................................................ 30
Densitas Kamba .................................................................................... 31
Wettability............................................................................................. 31
Sifat Reologi Adonan ........................................................................... 31
Kadar Kalsium ...................................................................................... 32
Kadar Air .............................................................................................. 33
Kadar Abu............................................................................................. 33
Kadar Protein ........................................................................................ 34
Kadar Lemak ........................................................................................ 34
Kadar Karbohidrat ................................................................................ 35
Viskositas.............................................................................................. 35
xiii

Uji Seduh .............................................................................................. 36


Waktu Rehidrasi ................................................................................... 36
Daya Cerna Protein in Vitro ................................................................. 36
Daya Cerna Pati in Vitro ...................................................................... 37
Uji Organoleptik ................................................................................... 38

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 40


Sifat Fungsional Tepung Jagung ................................................................. 40
Swelling Volume ................................................................................... 40
Kelarutan .............................................................................................. 45
Kapasitas Penyerapan Air ..................................................................... 47
Kapasitas Penyerapan Minyak.............................................................. 50
pH ......................................................................................................... 52
Kekuatan Gel ........................................................................................ 54
Densitas Kamba .................................................................................... 57
Wettability............................................................................................. 59
Sifat Reologi Tepung Jagung ...................................................................... 62
Viskositas Puncak (Peak Viscosity)...................................................... 62
Viskositas Pasta Panas (Trough Viscosity) dan Breakdown ................. 67
Viskositas Pasta Dingin (Final Viscosity) dan Setback ........................ 70
Karakteristik Bubur Jagung Instan MP-ASI ................................................ 73
Penentuan Formulasi ............................................................................ 73
Kandungan Gizi .................................................................................... 76
Sifat Fisik .............................................................................................. 78
Daya Cerna Protein ............................................................................... 82
Daya Cerna Pati .................................................................................... 84
Sifat Organoleptik................................................................................. 86

SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 90


Simpulan ...................................................................................................... 90
Saran ............................................................................................................ 92

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 92

LAMPIRAN ........................................................................................................ 102

DAFTAR TABEL
xiv

Halaman
1 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan standar nasional Indonesia ................ 9
2 Beberapa sifat amilosa dan amilopektin pada pati normal jagung .................. 10
3 Formulasi bubur jagung instan MP-ASI ......................................................... 26
4 Faktor pengali untuk tiap spindel dan rpm yang digunakan ........................... 35
5 Swelling volume dan kelarutan tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................................... 41
6 Kadar kalsium tepung jagung pada perlakuan lama pemasakan
20 menit dengan berbagai perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 ........................... 41
7 Kadar kalsium tepung jagung pada perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 0,5% dan berbagai lama pemasakan ............................................... 43
8 Kelarutan tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 45
9 Kapasitas penyerapan air tepung jagung pada kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan .................................................... 48
10 Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................................... 51
11 Nilai pH tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 53
12 Kekuatan gel tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 54
13 Densitas kamba tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 58
14 Wettability tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 60
15 Viskositas puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan .................................................... 63
16 Sifat reologi tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan ....................................................................... 67
17 Viskositas pasta dingin dan setback tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................................... 71
18 Komposisi kimia bubur jagung instan MP-ASI dengan dua formulasi
yang berbeda .................................................................................................. 75
19 Kandungan gizi bubur jagung instan MP-ASI ............................................... 76
20 Sifat fisik bubur jagung instan MP-ASI ......................................................... 78
21 Daya cerna protein dan daya cerna pati sampel bubur jagung
instan MP-ASI.............................................................................................. 83
22 Nilai rata-rata hasil uji skoring bubur jagung MP-ASI dan bubur
MP-ASI komersial ......................................................................................... 87
xv

23 Nilai rata-rata hasil uji hedonik MP-ASI bubur jagung instan dan
bubur MP-ASI komersial ............................................................................... 89

DAFTAR GAMBAR

Halaman
xvi

1 Biji jagung dan bagian-bagiannya.................................................................... 5


2 Proses pembuatan tepung jagung nikstamal .................................................. 25
3 Proses pembuatan bubur jagung instan MP-ASI ........................................... 27
4 Hubungan antara swelling volume dengan kapasitas penyerapan air
tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan ............................................................................................. 42
5 Hubungan antara swelling volume dengan kelarutan tepung jagung
pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ........ 47
6 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan kelarutan tepung
jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan ...................................................................................................... 50
7 Hubungan antara pH dengan kekuatan gel tepung jagung pada
kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................. 56
8 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan kekuatan gel tepung
jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan ...................................................................................................... 57
9 Hubungan antara wettability dengan kapasitas penyerapan air tepung
jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan ...................................................................................................... 62
10 Hubungan antara swelling volume dengan viskositas puncak tepung
jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan ...................................................................................................... 65
11 Hubungan antara kelarutan dengan viskositas puncak tepung jagung
pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ........ 65
12 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan viskositas puncak
tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan ............................................................................................. 66
13 Hubungan antara nilai pH dengan viskositas puncak tepung jagung
pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ........ 66
14 Hubungan antara pH dengan breakdown tepung jagung pada
kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................ 69
15 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan breakdown tepung
jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan ...................................................................................................... 70
16 Hubungan antara setback dengan kekuatan gel tepung jagung pada
kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................. 72
17 Hubungan antara setback dengan pH tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan ................................... 73
18 Tepung jagung dengan perlakuan lama pemasakan 15 menit:
(a) penggunaan Ca(OH)2 0,25% dan (b) tanpa penggunaan Ca(OH) ............ 75
xvii

19 Bubur instan MP-ASI berbahan baku: (a) tepung jagung non-nikstamal


dan (b) tepung jagung nikstamal .................................................................... 87

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
xviii

1 Berbagai macam peralatan yang digunakan dalam penelitian ..................... 102


2 Format uji organoleptik MP-ASI bubur jagung instan ................................ 103
3 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap swelling volume tepung jagung dengan metode GLM pada
program SAS ................................................................................................ 104
4 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap kelarutan tepung jagung dengan metode GLM pada program
SAS .............................................................................................................. 105
5 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung dengan metode GLM
pada program SAS ....................................................................................... 106
6 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung dengan metode
GLM pada program SAS ............................................................................. 107
7 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap nilai pH tepung jagung dengan metode GLM pada program
SAS .............................................................................................................. 108
8 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap kekuatan gel tepung jagung dengan metode GLM pada program
SAS .............................................................................................................. 109
9 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap densitas kamba tepung jagung dengan metode GLM pada
program SAS ................................................................................................ 110
10 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap wettability tepung jagung dengan metode GLM pada program
SAS .............................................................................................................. 111
11 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap viskositas puncak tepung jagung dengan metode GLM pada
program SAS ................................................................................................ 112
12 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap viskositas pasta panas tepung jagung dengan metode GLM
pada program SAS ....................................................................................... 113
13 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap breakdown tepung jagung dengan metode GLM pada program
SAS .............................................................................................................. 114
14 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap viskositas pasta dingin tepung jagung dengan metode GLM
pada program SAS ....................................................................................... 116
15 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap setback tepung jagung dengan metode GLM pada program
SAS .............................................................................................................. 117
xix

16 Hasil analisis data terhadap hasil uji skoring MP-ASI bubur jagung
instan dengan menggunakan nonparametric tests dan uji lanjut LSD
pada program SPSS...................................................................................... 118
17 Hasil analisis data terhadap hasil uji hedonik MP-ASI bubur jagung
instan dengan menggunakan nonparametric tests dan uji lanjut LSD
pada program SPSS...................................................................................... 120
18 Analisis ekonomi bubur jagung instan MP-ASI ........................................... 122
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jagung (Zea mays) merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai
ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya
sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras. Berdasarkan
komposisi kimia dan kandungan zat gizinya, jagung mempunyai prospek sebagai
bahan pangan dan bahan baku industri.
Kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan meningkatnya bahan
baku untuk pangan maupun pakan. Di Indonesia, produksi jagung sebagai bahan
pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu. Produksi jagung
nasional selama lima tahun terakhir cenderung meningkat yaitu sebesar
12.523.894 ton pada tahun 2005 hingga 17.041.251 ton pada tahun 2009 dengan
rata-rata kenaikan 7,21 persen per tahun (BPS 2010). Alternatif produk yang
dapat dikembangkan dari jagung mencakup produk olahan segar, produk primer
(beras jagung, tepung, dan pati), produk siap santap (marning, emping), dan
produk instan (beras jagung instan, pati jagung untuk gula, sirup glukosa, sirup
fruktosa, maltosa, sorbitol, bioetanol), sedangkan limbah jagung dapat digunakan
sebagai pakan ternak (Richana dan Suarni 2007).
Untuk memenuhi kebutuhan jagung untuk dikonsumsi langsung, masyarakat
di beberapa daerah membuat tepung jagung dengan peralatan sederhana dengan
menggunakan metode perendaman dan tanpa perendaman. Perendaman dilakukan
dengan tujuan untuk melunakkan endosperm yang bersifat keras (horny
endosperm) sehingga lebih memudahkan pada proses pengolahannya. Beberapa
pabrik pengolahan jagung menghasilkan tepung jagung (40 dan 50 mesh) sebagai
produk samping (10%) disamping grits jagung (8, 12, 16, 24 mesh) sebagai
produk utama yang digunakan sebagai bahan baku snack jagung (Pusat Teknologi
Agroindustri BPPT 2008). Tepung jagung dipilih sebagai langkah awal
diversifikasi jagung karena memiliki beberapa keunggulan antara lain: (i) tepung
jagung lebih luas penggunaannya sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai
macam produk olahan pangan; (ii) penyimpanan tepung lebih mudah dan umur
simpan lebih lama; (iii) adanya defisiensi beberapa zat gizi dapat lebih mudah
2

difortifikasi atau disuplementasi jika dalam bentuk tepung; dan (iv) lebih mudah
bercampur dengan bahan lain (komposit).
Salah satu metode pembuatan tepung jagung adalah melalui proses
nikstamalisasi yaitu proses pemasakan biji jagung dalam larutan kapur biasanya
Ca(OH)2, kemudian dilakukan perendaman dalam larutan yang sama selama
beberapa jam, dilanjutkan dengan pengeringan, pengecilan ukuran dan
pengayakan. Proses ini memiliki beberapa keuntungan antara lain memudahkan
proses pelepasan perikarp dan lembaga, memberikan flavor dan tekstur khas yang
diinginkan (Rooney & Serna-Saldivar 2003; Johnson 2000), meningkatkan aroma
produk olahan, memudahkan proses penggilingan, meningkatkan nilai zat gizi,
dan mengurangi kandungan mikotoksin (Wikipedia 2010).
Informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung sangat bermanfaat
dalam aplikasi untuk mendisain beberapa produk pangan yang cocok dibuat
berdasarkan sifat-sifat tersebut. Beberapa penelitian mengenai sifat fungsional dan
reologi berbagai jenis tepung sudah banyak dilakukan di antaranya sifat
fungsional tepung beras (Kadan et al. 2003), sifat fungsional tepung gandum
(Graybosch et al. 2003), sifat reologi tepung gandum (Halln et al. 2004), sifat
reologi tepung ubi jalar (Chun & Yoo 2006), sifat fungsional tepung sorgum
(Elkhalifa et al. 2005). Begitu juga dengan penelitian mengenai pengaruh
nikstamalisasi terhadap biji, pati maupun tepung jagung juga sudah banyak
dilakukan di antaranya pengaruh nikstamalisasi terhadap sifat termal dan
fisikokimia tepung jagung (Ruiz-Gutirrez et al. 2010), struktur kristalin pati
jagung (Mondragn et al. 2004), difusi kalsium ke dalam biji jagung (Fernndez-
Muoz et al. 2006), kandungan aflatoksin pada biji jagung (Mendz-Albores et al.
2004). Namun, informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung jagung
nikstamal yang mengalami proses pragelatinisasi menggunakan drum dryer masih
terbatas.
Tepung pragelatinisasi atau tepung instan adalah tepung yang telah
mengalami proses pemasakan atau gelatinisasi terlebih dahulu sebelum
dikeringkan agar bersifat mudah terdispersi di dalam air dingin membentuk
suspensi yang stabil. Menurut Linden & Lorient (1995), penerapan tepung
pragelatinisasi untuk produk instan sudah meluas di bidang industri makanan,
3

diantaranya pada tahap preparasi berbagai produk instan seperti saus, flake,
powder food, crackers, snack dan sebagainya. Sifat fungsional yang harus dimiliki
oleh tepung pragelatinisasi adalah kelarutan yang tinggi, sifat dispersi yang baik
dan kemudahan untuk dicerna.
Dalam penelitian ini, tepung jagung nikstamal pragelatinisasi digunakan
sebagai bahan dasar dalam pembuatan makanan pendamping air susu ibu (MP-
ASI) dalam bentuk bubur instan. Aplikasi tepung pragelatinisasi sebagai bahan
dasar pembuatan bubur instan MP-ASI bertujuan untuk memudahkan proses
preparasi bubur tersebut dan kemudahan untuk dicerna oleh bayi. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Mendz-Montealvo et al. (2008), tepung jagung yang
dibuat melalui proses nikstamalisasi memiliki viskositas yang lebih rendah
dibandingkan tepung jagung tanpa proses nikstamalisasi serta menghasilkan gel
yang lebih lunak. Sifat tepung jagung nikstamal ini cocok digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan bubur instan MP-ASI, dimana pada makanan bayi
tidak diinginkan viskositas yang terlalu tinggi agar makanan bayi yang dihasilkan
bebas gumpalan, mudah disuapkan dengan sendok dan mudah ditelan oleh bayi.

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat
fungsional dan reologi tepung jagung yang disebabkan oleh proses nikstamalisasi.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh berbagai kondisi proses nikstamalisasi terhadap sifat
fungsional dan reologi tepung jagung nikstamal yang dihasilkan.
2. Mengetahui karakteristik kimia, fisik, daya cerna dan organoleptik bubur
instan MP-ASI yang dibuat dari bahan baku tepung jagung nikstamal.
4

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menunjang optimalisasi produksi tepung
jagung dan aplikasinya pada produk-produk pangan. Selain itu dengan
mengetahui informasi mengenai sifat fungsional dan reologi tepung jagung
nikstamal diharapkan dapat dipilih produk pangan yang cocok dibuat berdasarkan
sifat-sifat tersebut serta meningkatkan nilai ekonomis jagung sebagai upaya
diversifikasi pangan.
5

TINJA
AUAN PUST
TAKA

B Jagung
Biji
Biji jaagung disebuut kariopsis,, dinding ovvari atau perrikarp menyaatu dengan
k
kulit biji ataau testa, mem
mbentuk dinnding buah. Biji
B jagung terdiri atas tiga
t bagian
u
utama, yaituu (a) perikaarp, berupa lapisan luarr yang tipiss, berfungsi mencegah
e
embrio dari organisme penggangguu dan kehilaangan air; (bb) endosperm
m, sebagai
c
cadangan makanan,
m meencapai 75%
% dari bobott biji yang m
mengandung
g 90% pati
d 10% pro
dan otein, mineraal, minyak, ddan lainnya; dan (c) embbrio (lembagga), sebagai
m
miniatur tannaman yang terdiri atas pplamule, akaar radikal, scutelum, daan koleoptil
(
(Hardman & Gunsoluss 1998). Baagian-bagiann biji jagunng dapat diilihat pada
G
Gambar 1. Selain itu biji
b jagung juga
j mengaandung tip ccap yaitu baagian yang
m
menghubung
gkan biji denngan tongkol (Rooney & Serna-Salddivar 2003).

Gam
mbar 1 Biji jagung dan bbagian-bagiaannya (Subekkti et al. 200
07)

Perikaarp merupakkan lapisan ppembungkuss biji yang berubah ceppat selama


p
proses pembbentukan biji. Pada wakktu kariopsis masih mudda, sel-selnyaa kecil dan
t
tipis, tetapi sel-sel ini berkembang
b seiring denggan bertambbahnya umurr biji. Pada
t
taraf tertentuu lapisan ini membentukk membran yang
y dikenall sebagai kulit biji atau
t
testa/aleuron
n yang secaara morfologi adalah bagian
b endoosperm. Bobbot lapisan
6

aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji. Perikarp merupakan lapisan luar biji
yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10%
protein (Subekti et al. 2007).
Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85%
yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury
endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati endosperm tersusun
dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian besar terdiri atas dua molekul, yaitu
amilosa dan amilopektin, dan sebagian kecil bahan antara (White 2001). Namun
pada beberapa jenis jagung terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan
amilopektin. Sel endosperma memiliki lapisan alueron yang merupakan pembatas
antara endosperma dan bagian kulit.
Terdapat 6 tipe utama biji jagung antara lain dent corn, flint corn, flour
corn, sweet corn, pop corn dan pod corn. Perbedaan utama dari masing-masing
jenis ini berdasarkan kualitas, kuantitas dan susunan komposisi endospermnya.
Masing-masing tipe bervariasi dalam hal warna perikarpnya, yang paling umum
adalah kuning dan yang lainnya warna putih, merah atau biru. Warna biji jagung
tertentu dapat menghasilkan produk-produk khas tertentu seperti blue corn flour
atau blue tortilla chip atau red tortilla chip (Johnson 2000).
Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) diacu dalam Hatorangan (2007),
jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan semi
mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (semi
mutiara), Pioner-2 (semi-mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara) dan lain-lain.
Selain jagung tipe mutiara dan semi mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung
tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn) dan jagung manis (sweet
corn).
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989) diacu dalam Juniawati (2008) jenis
jagung semiflint (semi mutiara) lebih mudah dibuat tepung dibandingkan tepung
mutiara. Hal ini disebabkan jagung semi mutiara mengandung endosperma lunak
yang lebih banyak dibandingkan endosperma kerasnya. Endosperma keras terdiri
dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, sedangkan endosperma lunak
susunan sel-selnya tidak serapat bagian keras.
7

Beberapa cara pemanfaatan biji jagung untuk meningkatkan nilai gunanya


antara lain melalui: (i) proses fraksinasi, yaitu pemisahan jagung menjadi
komponen-komponen fraksinya yang digunakan sebagai ingredien dalam
pembuatan produk pangan dengan cara penggilingan kering maupun penggilingan
basah; (ii) proses konversi, yaitu mengolah lebih lanjut komponen fraksi menjadi
ingredien yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi atau produk olahan
industri, seperti konversi pati secara enzimatis menjadi gula atau fermentasi gula
menjadi etanol, dan (iii) proses refabrikasi, yaitu mengkombinasikan produk-
produk jagung dengan ingredien lain untuk menghasilkan engineered food atau
refabricated food atau produk olahan industri (Johnson 2000).
Kent dan Evers (1994) menjelaskan bahwa biji jagung dapat digunakan
untuk penghasil pati, sirup dan gula, industri minuman keras dan whisky. Produk
hasil penggilingan biji jagung termasuk grits, meal dan tepung (dan produk
turunannya), protein, dan corn steep liquor. Makanan siap santap seperti corn
flakes juga dapat dibuat dari grits jagung.

Tepung Jagung
Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi produk pangan diantaranya
tepung jagung, minyak dan pati jagung. Secara umum terdapat dua metode
pembuatan tepung jagung yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode
basah, biji jagung yang telah disosoh direndam dalam air selama 4 jam lalu dicuci,
ditiriskan dan diproses menjadi tepung menggunakan mesin penepung, sedangkan
pada metode kering biji jagung yang telah disosoh langsung ditepungkan artinya
tanpa perendaman (Suarni 2009). Berdasarkan hasil penelitian Suarni et al.
(2001), penepungan dengan metode basah (perendaman) menghasilkan rendemen
tepung yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode kering (tanpa perendaman),
namun kandungan nutrisi pada penepungan dengan metode kering lebih tinggi.
Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung adalah proses
pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses
pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung
karena kandungan seratnya tinggi sehingga membuat tepung bertekstur kasar.
Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa
8

pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bagian
pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Pada
pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi tepung.
Kandungan zat gizi tepung jagung cukup baik. Berdasarkan hasil penelitian
Suarni (2009), kadar protein tiga varietas jagung (Anoman-1, Srikandi Putih-1,
dan lokal) berkisar 7,54-7,89% pada metode kering dan 6,70-7,24% pada metode
basah. Kadar lemak tepung 2,05-2,38% pada metode kering lebih tinggi
dibandingkan metode basah yang hanya 1,86-2,08%. Kadar lemak yang rendah
akan menguntungkan dari segi penyimpanan karena tepung dapat disimpan lebih
lama. Kadar serat kasar tepung hasil pengolahan kering (1,29-1,89%) lebih tinggi
dibandingkan dengan metode basah (1,05-1,06%). Kadar serat mengalami
penurunan dari biji jagung menjadi tepung. Tepung jagung juga mengandung
serat makanan yang dibutuhkan tubuh, bahkan jagung kuning mengandung beta
karoten (provitamin A) dan jagung merah mengandung unsur Fe.
Mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
disajikan pada Tabel 1. Kriteria fisik mutu tepung (bau, rasa, warna) harus
normal, yaitu bau spesifik jagung, rasa khas jagung, warna sesuai dengan varietas
jagung (putih, kuning), dan secara umum sesuai spesifik bahan aslinya.
Tepung jagung dapat digunakan dalam pembuatan berbagai produk pangan
antara lain roti, muffins, donat, pancake, makanan bayi, biskuit, wafer, sereal
sarapan siap saji dan juga sebagai bahan pengisi dan pengikat dalam produk
olahan daging (Kent & Evers, 1994).
9

Tabel 1 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI)

Kriteria uji Satuan Persyaratan


Bau - Normal
Rasa - Normal
Warna - Normal
Benda asing - Tidak boleh
Serangga - Tidak boleh
Pati lain selain jagung - Tidak boleh
Kehalusan
Lolos 80 mesh % Minimum 70
Lolos 60 mesh % Maksimum 99
Air % (b/b) Maksimum 10
Abu % (b/b) Maksimum 1,50
Silikat % (b/b) Maksimum 0,10
Serat kasar % (b/b) Maksimum 1,50
Derajat asam ml N NaOH/100 g Maksimum 4
Timbal mg/kg Maksimum 1
Tembaga mg/kg Maksimum 10
Seng mg/kg Maksimum 40
Raksa mg/kg Maksimum 0,05
Cemaran arsen mg/kg Maksimum 0,50
Angka lempeng total koloni/g Maksimum 5 x 106
E.coli APM/g Maksimum 10
Kapang koloni/g Maksimum 104
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1993)

Pati Jagung
Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya
masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama pada kandungan protein,
lemak, dan kadar abu. Pada tepung jagung komposisinya masih lengkap
sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses
pencucian.
Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena
mensuplai kebutuhan energi manusia dengan porsi tinggi. Lebih dari 80%
tanaman pangan terdiri dari biji-bijian dan tanaman sumber pati lainnya. Dalam
bentuk aslinya, pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis
pati sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,
karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta
permukaan granulanya (Jobling 2004).
10

Pati merupakan komponen utama biji jagung yaitu sekitar 72-73% dari berat
biji. Karbohidrat lain berada sebagai gula sederhana seperti glukosa, sukrosa dan
fruktosa dengan jumlah yang bervariasi antara 1-3% dari berat biji. Pati jagung
terdiri atas dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa dan
amilopektin ini memengaruhi karakteristik pati jagung. Jumlah amilosa dan
amilopektin bervariasi berdasarkan jenis jagungnya (Shandu et al. 2004).
Terdapat 3 jenis pati jagung alami antara lain: (i) normal starch, (ii) waxy
starch, dan (iii) high amylose starch. Pati normal jagung tipe dent mengandung
amilosa 26-28% dan amilopektin 72-74%; tipe waxy mengandung amilopektin
99% dan amilosa 1%; dan tipe amylomaize mengandung amilopektin 20-50% dan
amilosa 50-80%. Jagung jenis waxy dan amylomaize diproduksi untuk
menghasilkan pati dengan sifat tertentu. Pati normal dan pati termodifikasi dari
jagung jenis waxy diproduksi secara luas karena memiliki viskositas pasta,
stabilitas termal dan stabilitas pH yang tinggi serta sifat-sifat lainnya (Johnson
2000).
Gabungan polimer amilosa dan amilopektin pada suhu rendah akan
menurunkan ikatan air dan secepatnya membentuk gel. Kandungan amilosa yang
tinggi akan membentuk gel yang kokoh (firm) dan gelap (opaque) sebaliknya jika
kandungan amilopektinnya yang tinggi akan menghasilkan gel yang lembut dan
pasta pati yang transparan (Mauro et al. 2003). Beberapa sifat amilosa dan
amilopektin dari pati alami jagung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa sifat amilosa dan amilopektin pada pati normal jagung
Sifat Amilosa Amilopektin
Berat molekul (Dalton) 1-2 x 105 >2 x 107
Tingkat polimerisasi (DPN-jumlah 990 7200
residu glukosa)
Ikatan glikosida Umumnya -D-(1,4) -D-(1,4), -D-(1,6)
Bentuk molekul Linier Bercabang
Kecenderungan untuk teretrogradasi Tinggi Rendah
Lambda max of iodine complex 644 nm 554 nm
Afinitas iodin 20,1 g/100 g 1,1 g/100 g
Sumber: White (2001)
Bentuk granula juga merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung
mempunyai ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen, yaitu untuk
yang kecil 1-7 m dan untuk yang besar 15-20 m. Granula besar berbentuk oval
11

polihedral dengan diameter 6-30 m. Granula pati yang berukuran kecil


mempunyai ketahanan yang lebih rendah terhadap perlakuan panas dan air
dibanding granula yang besar (Singh et al. 2005). Pati jagung memperlihatkan
sifat birefrinjen jika diamati di bawah mikroskop polarisasi. Granula pati
mengandung daerah kristalin dan amorphous (Johnson, 2000).

Proses Nikstamalisasi
Nikstamalisasi merupakan proses tradisional Meksiko yang dikembangkan
oleh peradaban Mesoamerika dan masih digunakan dalam produksi tortila dan
produk-produk pangan lain yang menggunakan jagung sebagai bahan bakunya
(Rooney & Serna-Saldivar 2003). Menurut Wikipedia (2010), nikstamalisasi
merupakan proses penyiapan jagung atau biji-bijian lain, dimana biji direndam
dan dimasak dalam larutan alkali, biasanya larutan kapur dan dilakukan pelepasan
kulit. Lebih jelasnya nikstamalisasi menurut Johnson (2000) adalah metode
pengolahan jagung secara tradisional dengan cara memasak biji jagung dalam
larutan kapur 1% dengan suhu 90-110 0C selama 10-15 menit, kemudian biji
jagung tersebut direndam dalam larutan yang sama selama semalam. Rooney dan
Serna-Saldivar (2003) menjelaskan biji jagung yang telah mengalami proses
nikstamalisasi kemudian dicuci untuk menghilangkan sisa larutan kapur dan
jaringan perikarp kemudian digiling menggunakan stone grinder untuk
menghasilkan adonan yang disebut masa. Masa merupakan bahan baku dalam
pembuatan produk tradisional Meksiko seperti tamales, pozole, atoles, tortillas,
corn chips, tortilla chips dan lain-lain.
Nikstamalisasi terdiri dari 2 tahap yaitu pertama, biji jagung dimasak dalam
larutan alkali (kalsium hidroksida) dan kedua, perendaman biji jagung tersebut
dalam larutan yang sama selama beberapa jam. Pada proses secara tradisional, biji
jagung kemudian dibilas untuk menghilangkan kelebihan kalsium hidroksida
(Fernndez-Muoz et al. 2006). Lamanya pemasakan sangat penting diperhatikan
untuk mendapatkan tekstur optimum yang diinginkan, jika terlalu banyak jumlah
pati yang tergelatinisasi akan menghasilkan tekstur yang lengket, menyebabkan
kesulitan dalam penanganan adonan (Johnson 2000).
12

Proses nikstamalisasi ini memberikan beberapa keuntungan antara lain:


memudahkan proses pelepasan perikarp dan lembaga, meningkatkan gelatinisasi
granula pati, memberikan flavor dan tekstur khas yang diinginkan (Rooney &
Serna-Saldivar 2003; Johnson 2000), meningkatkan aroma, memudahkan proses
penggilingan, meningkatkan nilai zat gizi, dan mengurangi kandungan mikotoksin
(Wikipedia 2010). Dengan adanya beberapa keuntungan dari proses
nikstamalisasi menyebabkan proses ini menjadi tahap pendahuluan yang sangat
penting bagi jagung yang akan mengalami proses pengolahan lebih lanjut menjadi
produk pangan. Proses nikstamalisasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan
metode tradisional ataupun metode industri dalam produksi tortilla, tamales, corn
chips, hominy dan lain-lain.
Perlakuan alkali-panas yang digunakan dalam proses nikstamalisasi dapat
memengaruhi komponen dinding sel yaitu merubah hemiselulosa menjadi gums
yang larut. Perlakuan ini memiliki beberapa fungsi seperti untuk menggelatinisasi
pati, saponifikasi bagian lipid, dan juga untuk melarutkan beberapa protein yang
terdapat di sekitar granula pati. Nikstamalisasi secara khas memengaruhi sifat
reologi dan tekstur produk (Rooney & Serna-Saldivar 2003).
Pemasakan adalah tahapan yang kritis pada proses nikstamalisasi. Banyak
variasi bahan dan proses yang menentukan tingkat pemasakan jagung termasuk
kualitas karakteristik dari jagung, interaksi antara suhu pemasakan, lama
pemasakan, lama perendaman, dan konsentrasi larutan kapur. Selama pemasakan,
ion Ca2+ dibawa oleh air melalui tip cap, lembaga, perikarp, dan sebagian besar
kalsium disimpan/tertahan dalam lembaga (Carillo et al. 2004). Indikator yang
baik untuk pemasakan ini meliputi penyerapan air oleh biji, kemudahan melepas
kulit ari, dan keempukan biji. Brioness-Caballero et al. (2000), melaporkan bahwa
penggunaan Ca(OH)2 dalam proses nikstamalisasi jagung dapat merubah
komposisi kimia dan memperbaiki sifat-sifat fisik serta struktur kristal dari jagung
nikstamal. Penelitian lain melaporkan bahwa keberadaan ion Ca2+ akan berikatan
dengan rantai polimer sehingga akan memberikan kontribusi terhadap daya hantar
panas yang lebih baik (Fernndez-Muoz et al. 2001).
Suhu yang relatif tinggi selama pemasakan biji jagung (85-100 0C) dan nilai
pH sekitar 12, memfasilitasi berbagai transformasi komponen biji (protein, lipid
13

dan pati), diantaranya degradasi perikarp, kehilangan protein yang larut (terutama
albumin dan globulin dengan berat molekul rendah yang terdapat pada lembaga),
gelatinisasi parsial pati (Reguera et al. 2000 diacu dalam Mendz-Motealvo et
al. 2008). Selama penggilingan, terjadi lagi gelatinisasi pati dan transformasi lain
pada komponen biji karena masa merupakan campuran yang terdiri dari polimer
pati (amilosa dan amilopektin) bercampur dengan pati yang mengalami
gelatinisasi parsial dan granula utuh, bagian endosperm dan lipid. Semua
komponen ini membentuk matrik yang heterogen dan kompleks di dalam fase
kontinyu (Gomez et al. 1987 diacu dalam Mendz-Motealvo et al. 2008).
Pengaruh penggunaan larutan alkali telah diteliti oleh Bryant & Hamaker
(1997) pada pati dan tepung jagung. Dilaporkan bahwa pada pH larutan yang
tinggi, Ca(OH)2 akan terionisasi menjadi Ca2+ dan OH-, kemudian membentuk
ikatan silang dengan pati. Interaksi Ca2+ dengan pati akan menstabilkan dinding
granula pati sehingga granula pati akan lebih kuat dan keras. Rodriguez et al.
(1996) menjelaskan lebih lanjut dengan adanya Ca2+ dalam pati akan merusak
ikatan antara pati dengan molekul air dan membentuk ikatan silang dengan
molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati yang juga dinamakan
jembatan kalsium. Fernndez-Muoz et al. (2001) menambahkan bahwa
terbentuknya ikatan silang pada rantai polimer pati ini memberi kontribusi pada
konduktivitas panas yang lebih baik, sifat-sifat fisik, struktur, reologi serta aroma
yang lebih baik.

Sifat Fungsional
Karakterisasi sifat fungsional tepung diperlukan untuk mendapatkan
informasi tentang potensi penggunaannya pada proses pengolahan komersial.
Menurut Sira (2000) karakterisasi sifat fungsional yang penting dapat dilihat
melalui profil gelatinisasinya. Menurut White (2001), sifat fungsional yang umum
dari pati jagung meliputi gelatinisasi, pasting, dan retrogradasi.

Granula pati yang dihasilkan setelah isolasi dari bagian biji jagung sebagian
memiliki sifat kristalin dan oleh karena itu tidak larut dalam air. Pada suhu ruang,
14

granula dapat menyerap air sekitar 30% dari beratnya melalui ikatan hidrogen,
prosesnya bersifat dapat balik (reversible). Perubahan yang bersifat tidak dapat
balik (irreversible) yang utama pada sifat fisik pati tidak terjadi sampai pati
dicampur air dan dipanaskan, proses ini dikenal dengan gelatinisasi. Panas
menghasilkan energi kinetik di dalam granula pati, memutuskan ikatan hidrogen
dan menyebabkan penetrasi air ke dalam granula. Amilosa cenderung lepas dari
granula dan bergabung dengan amilopektin membentuk hidrat, sehingga
menghasilkan pasta yang kental dan jernih. Dari penjelasan di atas gelatinisasi
dapat diartikan sebagai perubahan struktur molekul di dalam granula pati
menyebabkan perubahan yang bersifat tidak dapat balik (irreversible) seperti
granular swelling, native crystalline melting, kehilangan birefrinjen, dan
kelarutan pati.
Menurut Sira (2000), profil gelatinisasi didefinisikan dengan fenomena
sebagai berikut:
1. Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan
meningkatnya suhu, dan sisi yang mengikat H menyerap air lebih banyak
sehingga meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah
kristalisasi dan kehilangan birefrinjen. Pati dengan kadar amilosa tinggi
sulit tergelatinisasi pada suhu di atas 100 0C dan dapat membentuk film
dan serat pangan dengan kelarutan lebih tinggi serta mengalami
pengembangan pada kondisi alkali. Struktur yang heliks dapat
memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan granula.
2. Pembentukan adonan merupakan fenomena yang mengikuti proses
gelatinisasi pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan
granula, keluarnya komponen molekuler dari granula dan pada akhirnya
kekacauan total pada granula.
3. Ikatan H antara gugus OH pada amilosa dalam pati tergelatinisasi selama
pendinginan menghasilkan retrogradasi. Air keluar dari stuktur gel dan
pati menjadi tidak larut. Pati dengan amilopektin tinggi tidak akan
teretrogradasi saat dibekukan.
Proses gelatinisasi secara umum terjadi pada rentang suhu yang sempit,
dimana granula yang berukuran lebih besar tergelatinisasi lebih dahulu, kemudian
15

diikuti oleh granula yang berukuran lebih kecil. Suhu gelatinisasi untuk pati
jagung sekitar 61-72 0C. Karakteristik gelatinisasi pati sangat penting diketahui
dalam pemanfaatan pati. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi gelatinisasi
pati antara lain keberadaan gula, lipid, garam, pH dan protein di dalam sistem
(White 2001).
Istilah pasting seringkali disamakan dengan gelatinisasi. Akan tetapi dua
istilah ini sebenarnya mempunyai arti yang sedikit berbeda. Pasting merupakan
proses dimana pasta pati terbentuk atau fenomena yang terjadi setelah gelatinisasi.
Hal ini melibatkan pembengkakan granula, pelepasan komponen molekular dari
granula dan pada akhirnya mengacaukan struktur granula. Selama pembentukan
pasta pada pati normal jagung, amilosa cenderung lepas ke dalam cairan di
sekitarnya; oleh karena itu pasta pati yang telah dipanaskan terdiri dari granula
yang membengkak tersuspensi dalam air panas yang mengandung molekul
amilosa yang terdispersi di dalamnya. Setelah pendinginan, pasta dapat menjadi
gel atau sol tergantung pada sifat patinya (White 2001).
Pada pasta pati normal jagung yang didinginkan, molekul amilosa
cenderung bergabung kembali. Molekul amilosa berikatan kembali dengan
molekul amilosa lain dan molekul pati pada bagian luar granula, membentuk
struktur kristalin. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi dikenal dengan istilah retrogradasi. Dengan perkataan lain
retrogradasi pati adalah proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati
tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu. Pada
tahap awal, dua atau lebih rantai pati membentuk ikatan sederhana yang dapat
berkembang lebih luas pada suatu bagian secara teratur. Pada akhirnya, jika
kondisi menguntungkan, akan terbentuk struktur kristalin (White 2001).
Lebih lanjut White (2001) menjelaskan bahwa tidak semua pasta pati yang
dimasak mengalami retrogradasi pada tingkat yang sama. Pati yang tidak
mengandung amilosa atau molekul amilosa terlalu pendek kurang memiliki
kecenderungan untuk mengalami kristalisasi kembali. Beberapa pati yang
dimodifikasi secara kimia termasuk pati modifikasi dengan ikatan silang dengan
berbagai bahan kimia seperti fosfat dapat menghambat proses retrogradasi. Pati
normal jagung dan pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi memperlihatkan
16

kecenderungan yang kuat untuk mengalami retrogradasi. Makanan seperti gravies


dan sauces yang dibuat dari pati jagung, memiliki tekstur yang kental.
Menurut Daniel dan Weaver (2000), amilosa merupakan penyebab utama
terjadinya retrogradasi dalam waktu singkat karena molekul amilosa terdiri dari
rantai yang paralel. Retrogradasi dalam waktu lama ditunjukkan pada proses
kristalisasi kembali yang terjadi secara lambat pada bagian luar amilopektin. Chen
(2003) menjelaskan bahwa kecepatan dan jumlah retrogradasi meningkat dengan
meningkatnya jumlah amilosa. Pada pati alami, retrogradasi juga tergantung pada
konsentrasi pati, suhu penyimpanan, pH, suhu proses dan komposisi adonan.
Retrogradasi pada umumnya dipicu oleh konsentrasi pati yang tinggi, suhu
penyimpanan rendah dan pH antara 5 sampai 7. Garam-garam anion dan kation
monovalen dapat memicu retrogradasi pati.

Sifat Reologi
Reologi merupakan ilmu yang mempelajari deformasi dan aliran bahan.
Sifat reologi bahan merupakan informasi penting tentang struktur dan sifatnya
selama pengolahan dan penggunaannya. Menurut Vergnes et al. (2003), aplikasi
pendekatan reologi pada produk-produk serealia pada umumnya mengalami
kesulitan karena:
1. Produk serealia mempunyai formulasi sangat kompleks dengan beberapa
komponen (pati, protein, air, gula, lipid) yang dapat berinteraksi dan
mudah membentuk struktur yang lain, pati terdiri dari dua makromolekul,
amilosa yang linier dan amilopektin bercabang. Hal ini mengakibatkan
multifase, bahan yang secara reologi kompleks.
2. Adonan dari produk serealia mempunyai sifat non-Newtonian tinggi,
dengan tingkat elastisitas tinggi dan sangat sensitif terhadap suhu, kadar
air dan komposisi lain (pati, adanya lipida).
3. Beberapa komponen meskipun dalam jumlah kecil seperti lipida dapat
menyebabkan slip pada dinding dan secara keseluruhan mengubah daya
alir.
17

Sifat reologi tepung dapat dianalisis menggunakan alat Rapid Visco


Analyzer (RVA) (Singh et al. 2003). Beberapa sifat adonan yang dapat dilihat dari
kurva hasil pengukuran menggunakan RVA antara lain:
(1) Suhu awal gelatinisasi atau pasting temperature (PT), yaitu suhu pada saat
kurva mulai naik atau awal terbentuknya viskositas yang menandakan pati
mulai menyerap air
(2) Viskositas puncak atau peak viscosity (PV), yaitu viskositas pada puncak
gelatinisasi atau menunjukkan pati tergelatinisasi
(3) Viskositas pasta panas atau trough viscosity (TV) yaitu viskositas pada
saat suhu dipertahankan 95 0C.
(4) Perubahan viskositas selama pemanasan atau breakdown, yaitu selisih
antara PV dengan TV atau menunjukkan kestabilan viskositas terhadap
panas
(5) Viskositas pasta dingin atau final viscosity (FV) yaitu viskositas pada saat
suhu dipertahankan 50 0C.
(6) Perubahan viskositas selama pendinginan atau setback, yaitu selisih antara
FV dengan TV atau menunjukkan kemampuan untuk meretrogradasi.

Makanan Pendamping ASI


ASI merupakan makanan yang sangat ideal bagi bayi. Namun dengan
bertambahnya umur bayi yang disertai dengan kenaikan berat dan tinggi
badannya, maka kebutuhan akan zat-zat gizi akan bertambah pula. Sehingga suatu
saat jumlah ASI yang diberikan tidak lagi memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bayi.
Pada saat tersebut diperlukan pemberian makanan tambahan yang dapat
mencukupi kebutuhan zat-zat gizi bagi bayi. Makanan tambahan yang dimaksud
biasa disebut makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Berdasarkan definisi dalam SNI 01-7111.1-2005, makanan pendamping ASI
(MP-ASI) adalah makanan bergizi yang diberikan kepada bayi berusia 6 bulan ke
atas atau berdasarkan indikasi medik, sampai anak berusia 24 bulan untuk
mencapai kecukupan gizi. Menurut Hartoyo et al. (2000), makanan bayi
didefinisikan sebagai makanan yang secara tunggal dapat memenuhi kebutuhan
anak, sedangkan makanan sapihan dapat berupa makanan tunggal maupun
18

campuran untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Makanan ini dikenal dengan
istilah makanan pendamping ASI.
Menurut Zakaria (1999), alasan pemberian makanan pendamping ASI
antara lain yaitu: 1) ASI yang dihasilkan mulai tidak mencukupi atau mengalami
penurunan kuantitas sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan dan pertumbuhan
bayi yang semakin meningkat, 2) untuk membiasakan bayi pada berbagai macam
makanan yang bergizi, mudah dicerna dengan berbagai macam rasa, bentuk dan
nilai gizi.
Bubur instan MP-ASI merupakan makanan dengan tekstur yang lunak
sehingga mudah untuk dicerna. Bubur instan adalah salah satu jenis MP-ASI yang
telah diolah sehingga dapat diajikan seketika dengan hanya penambahan air
minum atau cairan lain yang sesuai. Bubur instan MP-ASI jika ditambahkan
cairan haruslah menghasilkan bubur yang halus, bebas gumpalan dan dapat
disuapkan dengan sendok.
Bahan utama dalam pembuatan MP-ASI biasanya dibuat dari salah satu atau
campuran bahan-bahan berikut dan atau turunannya: serealia (misal beras, jagung,
gandum, sorgum, barley, oats, rye, millet, buckwheat), umbi-umbian (misal ubi
jalar, ubi kayu, garut, kentang, gembili), bahan berpati (misal sagu, pati aren),
kacang-kacangan (misal kacang hijau, kacang tanah, kacang tunggak, kacang
merah), biji-bijian yang mengandung minyak (misal kedelai, kacang tanah,
wijen), susu, ikan, daging, unggas, buah dan atau bahan makanan lain yang sesuai.
Selain bahan utama tersebut dapat ditambahkan bahan lain dan turunannya yang
sesuai untuk bayi dan anak berusia 6 sampai 24 bulan seperti minyak, lemak, gula,
madu, sirup gula, garam, sayuran, buah dan rempah (Badan Standardisasi
Nasional 2005).
Bahan utama dalam pembuatan MP-ASI merupakan sumber energi dalam
bentuk karbohidrat sedangkan bahan-bahan lainnya ditambahkan untuk
melengkapi asam amino yang kurang dalam bahan utama dan juga berguna untuk
menaikkan kadar protein dan lemaknya. Perbandingan bahan makanan penyusun
makanan bayi harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan
makanan yang memenuhi kebutuhan gizi bayi (Hermana 1977).
19

Menurut Muhilal et al. (1998), pati sebagai sumber karbohidrat harus diolah
terlebih dahulu agar memudahkan pencernaannya. Lebih lanjut Sunaryo (1985)
menjelaskan bahwa pati yang digunakan dalam pembuatan makanan bayi
berfungsi sebagai bahan pengikat agar pada saat pengeringan selama pengolahan
dapat membentuk struktur bubuk yang kompak.
Susu dikenal sebagai bahan pangan sumber protein hewani yang
mempunyai daya cerna yang tinggi dan kaya akan zat-zat gizi seperti protein,
laktosa, mineral dan vitamin (Fardiaz 1989). Susu skim merupakan produk susu
rendah lemak yang kaya akan protein dan memiliki kandungan laktosa yang
cukup tinggi yaitu 59,20%. Laktosa adalah bentuk karbohidrat utama dalam ASI
dan susu formula. Fungsi laktosa dalam usia pertumbuhan adalah sebagai bahan
pembentuk otak (Packard 1982). Laktosa mempunyai sifat dapat menyerap warna
zat makanan dan aroma sehingga dipakai sebagai pembawa aroma yang umumnya
mempunyai sifat mudah menguap. Selain itu, susu juga mengandung mineral-
mineral seperti K, Ca, Cl, P, Na, Mg dan S yang diperlukan untuk pertumbuhan
bayi. Kalsium dan fosfor diutamakan karena mempunyai nilai gizi yang penting
dan keduanya merupakan bagian dari kasein (Buckle et al. 1985).
Tepung gula yang ditambahkan pada campuran bahan berfungsi
memberikan rasa manis dan meningkatkan energi. Namun, penggunaan tepung
gula ini harus dibatasi karena kadar kemanisan yang tinggi menyebabkan bayi
menjadi cepat kenyang, sehingga konsumsi zat gizi menjadi lebih sedikit. Selain
itu, gula juga dapat berfungsi untuk membentuk susunan, komposisi dan butiran
produk menjadi lebih halus dan lembut (Winarno 2004).
Penggunaan lemak dalam formulasi MP-ASI bertujuan untuk menambah
energi dan memperbaiki rasa. Sumber lemak yang dapat digunakan pada MP-ASI
adalah minyak nabati. Penggunaan minyak nabati untuk pembuatan produk
makanan relatif lebih banyak dibandingkan minyak hewani karena mampu
memberikan efek rasa serta tekstur yang lebih lembut dan lembut (Matz & Matz
1978).
Menurut SNI 01-7111.1-2005, bahan utama dan bahan lain yang terkandung
dalam bubur instan MP-ASI tidak boleh mendapat perlakuan iradiasi dan zat gizi
yang dikandungnya harus dapat mendampingi ASI untuk mencapai kecukupan
20

gizi pada kelompok tersebut. Persyaratan mutu MP-ASI bubuk instan untuk zat
gizi makro antara lain: kandungan protein 8-22%, dan lemak 6-15%. Vitamin
yang wajib ada dalam produk MP-ASI bubuk instan adalah vitamin A, D dan C,
sedangkan mineral yang wajib ada adalah Na, Ca, Fe, Zn dan I (Badan
Standardisasi Nasional 2005).
Jumlah energi dan protein yang dianjurkan untuk bayi dihitung berdasarkan
jumlah energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.
Vitamin merupakan nutrisi penting yang dibutuhkan oleh bayi untuk
pertumbuhan. Menurut Congdon et al. (1995), kekurangan salah satu jenis
vitamin pada bayi dapat menghambat dan menggangu sistem inderawi dan
perkembangan tubuhnya. Menurut Packard (1982), makanan tambahan bayi
biasanya difortifikasi dengan campuran vitamin karena kandungan vitamin ASI
secara umum lebih besar daripada susu formula.
Sifat umum produk MP-ASI adalah padat energi dan padat gizi. Produk
MP-ASI sedapat mungkin memenuhi kebutuhan energi dan gizi bayi. Komponen
gizi yang dibutuhkan bayi antara lain karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral. Makanan bayi tidak boleh bersifat kamba karena akan cepat memberi
rasa kenyang pada bayi. Sifat kamba umumnya terdapat pada bahan sumber
karbohidrat (Astawan 2000). Sifat kamba dapat dihasilkan dari pati yang pada
bahan-bahan digunakan pada formulasi pembuatan bubur instan MP-ASI.
Menurut Zakaria (1999), pembuatan MP-ASI sebaiknya diformulasikan
secara optimum dalam bentuk bahan makanan campuran sehingga diperoleh mutu
yang baik. Penyediaan makanan ini merupakan pilihan beralasan karena mudah
untuk diolah, didistribusikan dan disimpan, lebih terjamin keamanannya dan
berpotensi untuk menjadi wahana fortifikasi zat gizi mikro (vitamin dan mineral).
Muchtadi (1994) menyatakan bahwa pembuatan makanan tambahan bayi
dengan proses pengeringan lebih mudah dan biayanya lebih murah dibandingkan
dengan pengolahan basah. Disamping itu, produk kering akan mempunyai volume
yang lebih kecil, mudah dikemas, ringan dan mudah dipindahkan. Sifat produk
demikian baik untuk produk makanan seperti MP-ASI. Alat pengering yang
digunakan adalah drum dryer.
21

Bubur instan pada penelitian Perdana (2003) dibuat dengan melakukan


instanisasi terlebih dahulu pada komponen penyusun bubur. Instanisasi dapat
dilakukan dengan memasak biji-bijian komponen penyusun yang telah berbentuk
tepung menjadi adonan kental, kemudian adonan dikeringkan dengan
menggunakan drum dryer, hasil pengeringan akan dihancurkan dengan
menggunakan pisau sehingga menghasilkan tepung yang berukuran 60 mesh.
Bahan tepung yang diperoleh telah bersifat instan dan dikemas menjadi bubur
instan.
Hartomo dan Widiatmoko (1993) menyatakan bahwa ada tiga kriteria yang
harus dimiliki bahan makanan agar dapat membentuk produk pangan instan, yaitu
a) sifat hidrofilik, yaitu sifat mudah mengikat air; b) tidak memiliki lapisan gel
yang tidak permeabel sebelum digunakan yang dapat menghambat laju
pembasahan; dan c) rehidrasi produk tidak menghasilkan produk yang
menggumpal dan mengendap.

Pengering Silinder (Drum Dryer)


Pengering silinder merupakan tipe alat pengering yang terdiri dari satu atau
lebih silinder dan terbuat dari logam yang berputar sesuai dengan porosnya pada
posisi horizontal yang dilengkapi dengan pemanasan internal oleh uap air, air atau
media cairan pemanas lainnya. Umpan bubur dan pasta yang dikeringkan pada
permukaan silinder yang dipanaskan oleh uap panas dan berputar perlahan-lahan.
Lapisan yang telah kering dikikis dan dikumpulkan dalam bentuk kerak
(Mujumdar 2000).
Secara umum alat pengering silinder memiliki dua tipe, yaitu silinder
tunggal dan silinder ganda. Pada silinder tunggal, pembentukan film atau lapisan
dilakukan dengan mencelupkan silinder pada bubur atau larutan, sedangkan
silinder ganda didisain dengan dua silinder yang puncaknya paralel dan bahan
yang akan dikeringkan dimasukkan dari bagian atas pada daerah di antara dua
silinder (APV Crepaco 1992). Prinsip kerja alat pengering silinder adalah silinder
berputar dengan tenaga penggerak motor, dipanaskan dari bagian dalam dengan
menggunakan steam. Panas permukaan silinder mencapai suhu 130-140 0C.
Lapisan bahan yang akan dikeringkan disebarkan merata pada permukaan atas
22

silinder. Sebelum mencapai putaran penuh, bahan akan mengering dan dikikis
oleh pisau yang ada di sepanjang permukaan silinder dengan arah melintang.
Produk akhir ditampung di bawah permukaan silinder (Hariyadi et al. 2000).
Menurut Parker (2003), pengering silinder dapat digunakan untuk mengeringkan
bahan berbentuk cair, pasta, pure dan bubur. Susu, bubur kentang dan pasta tomat
merupakan contoh bahan pangan yang menggunakan pengeringan silinder dimana
suhu permukaan yang tinggi menyebabkan bahan kering.
Keuntungan menggunakan alat pengering silinder adalah kecepatan
pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Sedangkan
kekurangannya antara lain adalah pengeringan dengan alat ini hanya dapat
dilakukan pada bahan yang berbentuk cairan, pasta atau bubur yang memiliki
ketahanan terhadap suhu tinggi dalam waktu yang singkat yaitu 2-30 detik
(Mujumdar 2000).
23

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan dari Juli sampai dengan November 2010 di
laboratorium Southeast Asian Food & Agriculture Science & Technology
(SEAFAST) Center IPB dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan utama dalam penelitian ini adalah jagung varietas NK 33 dan
Ca(OH)2 untuk proses nikstamalisasi. Bahan untuk pembuatan bubur instan MP-
ASI adalah susu skim, tepung gula dan minyak sawit. Bahan-bahan kimia untuk
analisis yang digunakan adalah air destilata, enzim -amilase (aktivitas 900
U/mg), buffer Na-fosfat 0,05 M (pH 7), 3,5-dinitrosalisilat, Na-K-tartarat, NaOH,
HCl, larutan multienzim yaitu campuran 1,6 gram tripsin, 3,1 mg kimotripsin, 1,3
mg peptidase per ml, serta bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu seperangkat alat untuk
pembuatan tepung meliputi blender, drum dryer, disc mill serta alat-alat untuk
analisis meliputi rapid visco analyzer (RVA) Tec Master Newport Scientific Pty.
Ltd, Warriewood-Australia, texture analyzer TAXTi2 AAS: Shimadzu tipe AA
7000, viscometer Brookfield Model LVT serial number 207757, spektrofotometer
spectonic 20D+, pH-meter Orion model 210A, penangas air, sentrifus, peralatan
untuk analisis proksimat, peralatan untuk analisis daya cerna pati dan protein, dan
lain-lain. Foto beberapa peralatan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Lampiran 1.

Metode Penelitian

Penelitian Tahap I Pembuatan Tepung Jagung Nikstamal


Pembuatan tepung jagung melalui proses nikstamalisasi dilakukan dengan
menggunakan metode Mondragn et al. (2006) yang dimodifikasi. Modifikasi
yang dilakukan adalah jenis alat pengering yang digunakan. Pembuatan tepung
jagung nikstamal yang dilakukan oleh Mondragn et al. (2006) menggunakan alat
24

pengering oven, sedangkan pada penelitian ini alat pengering yang digunakan
adalah drum dryer. Tahapan pembuatan tepung jagung pada penelitian ini adalah
sebagai berikut: (i) penyortiran biji jagung untuk memisahkan biji jagung yang
cacat, busuk, dan kotoran-kotoran seperti kerikil, (ii) penyosohan biji jagung
untuk menghilangkan perikarp, lembaga dan tip cap biji jagung, (iii) pencucian
dan penirisan biji jagung sosoh sehingga didapatkan biji jagung sosoh yang
bersih, (iv) pemasakan biji jagung sosoh dalam larutan Ca(OH)2. Pemasakan
dilakukan pada suhu 106 0C selama 0, 5, 10, 15 dan 20 menit (sesuai perlakuan).
Konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan adalah 0%, 0,25% dan 0,5% dari berat biji
jagung sosoh (sesuai perlakuan). Volume air yang ditambahkan adalah 3 kali dari
berat biji jagung sosoh, (v) perendaman dalam larutan yang sama (nejayote)
selama 8 jam pada suhu ruang, (vi) penirisan untuk memisahkan biji jagung
nikstamal dengan larutan perendam/nejayote, (vii) pencucian biji jagung
nikstamal dengan air mengalir, (viii) penggilingan biji jagung nikstamal
menggunakan blender. Pada penggilingan ini dilakukan penambahan air sebanyak
2 kali berat awal biji jagung sosoh yang digunakan sehingga diperoleh
slurry/pasta jagung, (ix) pengeringan pasta menggunakan drum dryer. Kondisi
pengeringan yang digunakan adalah tekanan 3 atm, suhu 135 0C dan
kecepatan putar silinder 4 rpm. Hasil pengeringan berbentuk lembaran-lembaran
tipis, (x) penggilingan lembaran-lembaran tipis menggunakan disc mill yang
dilengkapi dengan saringan 60 mesh. Proses pembuatan tepung jagung nikstamal
dapat dilihat pada Gambar 2.
Tepung jagung yang dihasilkan dengan berbagai kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan dianalisis sifat fungsional dan
reologinya. Analisis sifat fungsional yang dilakukan meliputi: swelling volume,
kelarutan, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, pH, kekuatan
gel, densitas kamba dan wettability, sedangkan sifat reologi yang diamati meliputi
viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas pasta dingin, dan
setback.
25

Ca(OH)2 Air
0%; 0,25% dan 0,5% dari berat (900 ml)
jagung sosoh yang digunakan

Pendidihan
(103 0C)

Pemasakan
Jagung sosoh (106 0C selama 0, 5, 10, 15,
bersih (300 g) dan 20 menit)

Perendaman
(8 jam, suhu ruang)

Penirisan Larutan perendam/


nejayote

Biji jagung nikstamal

Pencucian dengan air mengalir

Air Penggilingan
(600 ml) (blender)

Slurry/pasta

Pengeringan
(drum dryer, 3 atm, 135 0C, 4 rpm )

Lembaran-lembaran tipis/flakes

Penggilingan (disc mill)

Penyaringan (60 mesh)

Tepung jagung nikstamal

Gambar 2 Proses pembuatan tepung jagung nikstamal


26

Penelitian Tahap II Pembuatan Bubur Jagung Instan MP-ASI


Tepung jagung yang dihasilkan pada tahap I digunakan sebagai bahan baku
dalam pembuatan bubur instan MP-ASI. Digunakan dua jenis tepung jagung yaitu
tepung jagung nikstamal dan tepung jagung non-nikstamal. Pemilihan tepung
jagung yang akan digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI berdasarkan
tepung jagung nikstamal yang memiliki karakteristik sebagai berikut: sifat
kelarutan yang tinggi, kapasitas penyerapan air dan kekentalan yang rendah,
wettability yang cepat, kekuatan gel yang lemah, kekambaan minimum dan
memiliki sifat organoleptik yang masih dapat diterima. Untuk tepung jagung non-
nikstamal dipilih tepung jagung dengan perlakuan tanpa konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan yang sama dengan tepung jagung nikstamal yang digunakan.
Formulasi MP-ASI yang dibuat pada penelitian ini adalah formulasi dasar
dengan menggunakan bahan-bahan yang merupakan sumber zat gizi makro
(karbohidrat, protein dan lemak) tanpa penambahan zat gizi mikro (vitamin dan
mineral). Pada penelitian dibuat dua macam formulasi bubur jagung instan MP-
ASI. Kedua formulasi ini berbeda dalam hal jumlah masing-masing bahan
penyusunnya (Tabel 3). Oleh karena pada pembuatan bubur MP-ASI ini tidak
ditambahkan zat gizi mikro, maka pemilihan formulasi bubur MP-ASI mengacu
kepada persyaratan zat gizi makro MP-ASI bubuk instan pada SNI 01-7111.1-
2005. Pembuatan bubur jagung instan MP-ASI menggunakan metode
pencampuran kering yaitu dengan mencampurkan semua bahan sedikit demi
sedikit sesuai dengan formulasi. Proses pembuatan bubur jagung instan MP-ASI
dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 3 Formulasi bubur jagung instan MP-ASI


Bahan-Bahan Formulasi 1 Formulasi 2
Tepung jagung (g) 45 40
Susu skim (g) 40 45
Gula halus (g) 10 5
Minyak nabati (g) 5 10

Bubur jagung instan yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat kimia


(kadar proksimat, kadar kalsium dan pH), sifat fisik (densitas kamba, uji seduh,
27

waktu rehidrasi dan kapasitas penyerapan air), daya cerna (protein dan pati), serta
sifat organoleptiknya meliputi uji skoring (sifat kehalusan di dalam mulut,
kemudahan ditelan dan kelengketan di dalam mulut) serta uji hedonik (warna,
aroma, rasa, kekentalan dan penerimaan umum).

Tepung jagung

Pencampuran Minyak sawit

Pencampuran Tepung gula

Pencampuran Susu bubuk skim

Bubur jagung MP-ASI

Gambar 3 Proses pembuatan bubur jagung instan MP-ASI

Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Penelitian tahap I yaitu pembuatan tepung jagung dengan perlakuan
kombinasi konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan dirancang dengan
menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial menggunakan dua faktor.
Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), model aditif linier pada rancangan
percobaan tersebut adalah sebagai berikut:

Yijk= + i + j + ()ij + ijk


Dimana:
28

Yijk = nilai pengamatan pada faktor konsentrasi Ca(OH)2 taraf ke-i


dan faktor lama pemasakan taraf ke-j dan ulangan ke-k
= komponen aditif dari rataan
i = pengaruh utama faktor konsentrasi Ca(OH)2
(0%, 0,25% dan 0,5%)
j = pengaruh utama faktor lama pemasakan
(0 menit, 5 menit, 10 menit, 15 menit dan 20 menit)
()ij = komponen interaksi dari faktor konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan
ijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0,2)

Penentuan pengaruh kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap sifat fungsional dan reologi tepung jagung nikstamal
dilakukan menggunakan metode General Linier Method (GLM) pada program
Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1. Apabila kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan berpengaruh terhadap sifat fungsional
dan reologi tepung jagung nikstamal, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada
program yang sama.
Untuk mengetahui keeratan hubungan antara masing-masing parameter
yang diuji dilakukan analisis korelasi menggunakan metode korelasi Pearson pada
program SPSS versi 17. Menurut Hasan (2008) tingkat keeratan hubungan
antarvariabel dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya (r), dimana:
r = 0, tidak ada korelasi
0 < r 0,20, korelasi sangat rendah/lemah sekali
0,20 < r 0,40, korelasi rendah/lemah
0,40 < r 0,70, korelasi cukup berarti
0,70 < r 0,90, korelasi tinggi/kuat
0,90 < r < 1 korelasi sangat tinggi/kuat sekali
r = 1, korelasi sempurna

Analisis data uji organoleptik bubur jagung instan MP-ASI dilakukan


dengan menggunakan statistik non-parametrik. Metode yang digunakan adalah
29

nonparametric tests (Kruskal-Wallis H) pada program SPSS versi 17. Jika


masing-masing perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
parameter yang diuji, maka dilakukan uji lanjut LSD pada program yang sama.

Prosedur Analisis
Swelling Volume dan Kelarutan (Collado & Corke 1999)
Prinsip pengukuran swelling volume adalah seberapa besar kemampuan
mengembang tepung jagung (ml) setelah dilakukan pemanasan pada suhu dan
waktu tertentu. Satuan dari swelling volume adalah ml/g sampel.
Sampel ditimbang sebanyak 0,35 g basis kering di dalam tabung sentrifus.
Kemudian ditambahkan 12,5 ml air destilata. Sampel divorteks hingga campuran
merata. Selanjutnya dipanaskan dalam waterbath bersuhu 92,5 oC selama 30
menit sambil sesekali diaduk. Kemudian sampel didinginkan dalam air es selama
1 menit. Diamkan campuran selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya sampel
disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Gel yang terbentuk
diukur volumenya dan dinyatakan sebagai swelling volume (ml/g bk). Sedangkan
kelarutan diperoleh dengan cara menuangkan supernatan yang dihasilkan ke
dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dikeringkan pada suhu 110oC
selama semalam.
volume gel
Swelling Volume (ml/g bk) =
berat sampel (bk)

berat supernatan kering


Kelarutan (% bk) = x 100%
berat sampel (bk)

Kapasitas Penyerapan Air (Beuchat 1977)


Tepung jagung ditimbang sebanyak 1 gram di dalam tabung sentrifus
kemudian tambahkan air destilata sebanyak 10 ml dan diaduk menggunakan
vortex mixer selama 30 detik. Sampel kemudian didiamkan pada suhu ruang
selama 30 menit dan disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 30 menit.
Supernatan didekantasi kemudian kapasitas penyerapan air dinyatakan sebagai
persentase berat air yang diserap oleh 1 gram tepung.
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)
30

densitas air x volume air yang digunakan berat supernatan


1 gram tepung bk

Kapasitas Penyerapan Minyak (Beuchat 1977)


Tepung jagung ditimbang sebanyak 1 gram di dalam tabung sentrifus
kemudian tambahkan minyak sebanyak 10 ml dan diaduk menggunakan vortex
mixer selama 30 detik. Sampel kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 30
menit dan disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Supernatan
didekantasi kemudian kapasitas penyerapan minyak dinyatakan sebagai
persentase berat minyak yang diserap oleh 1 gram tepung.

Kapasitas penyerapan minyak (g/g bk)


(densitas minyak x volume minyak yang digunakan) - berat supernatan
=
1 gram tepung (bk)

pH (Metode Potentiometric, AOAC 1995)


Sampel ditimbang sebanyak 1 gram kemudian ditambahkan 20 ml air
destilata. Kemudian campuran tersebut diaduk menggunakan magnetic stirrer
selama 5 menit, lalu ditambahkan 50 ml air destilata dan diaduk hingga homogen.
Sampel dibiarkan selama 1 jam, kemudian ukur pH supernatan.

Kekuatan Gel Menggunakan Texture Analyzer


Untuk menguji kekuatan, dibuat suspensi tepung yaitu 10 gram tepung
dengan 90 ml air kemudian suspensi tersebut dipanaskan dalam penangas air
selama 30 menit sambil diaduk. Setelah itu sampel dituangkan ke dalam wadah
plastik berukuran diameter 5 cm dan tinggi 3 cm lalu didinginkan selama satu
jam. Sampel yang telah didinginkan pada suhu ruang kemudian disimpan di dalam
lemari pendingin selama 24 jam. Selanjutnya gel diukur menggunakan instrumen
Texture Analyzer TAXTi2 AAS: Shimadzu tipe AA 7000 dengan kecepatan 2,0
mm/s untuk jarak 15,0 mm dengan probe tipe silindris.
31

Densitas Kamba (Okaka & Potter 1977)


Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur.
Bahan yang diukur ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan ke dalam
gelas ukur 100 ml. Bagian bawah gelas ukur ditepuk-tepuk beberapa kali hingga
diperoleh volume yang konstan.

Perhitungan:
Berat bahan (g)
Densitas kamba (g/ml)=
Volume bahan (ml)

Wettability metode Wetting Time (Park et al. 2001)


Wettability (waktu basah) didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh
tepung dari sejak tepung dimasukkan ke dalam air hingga semua tepung basah.
Sampel tepung sebanyak 0,4 gram dimasukkan ke dalam 40 ml air destilata dalam
gelas ukur. Daya dispersi dilakukan pada suhu kamar tanpa pengadukan. Waktu
dicatat menggunakan stopwatch.

Sifat Reologi Adonan Menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA)


Analisis terhadap sifat reologi adonan dilakukan dengan menggunakan
RVA Tec Master Newport Scientific Pty. Ltd, Warriewood-Australia. Alat RVA
diatur menggunakan standar 2 yang dimodifikasi dengan basis berat sampel 2 g
dan kadar air 14%. Berat air dan sampel ditimbang bergantung pada kadar air
sampel. Air destilata dimasukkan ke dalam aluminium canister RVA dan
ditimbang dengan berat yang telah ditentukan. Kemudian masukkan sampel yang
telah ditimbang ke dalam canister yang telah berisi air destilata tersebut dan
diaduk menggunakan pengaduk canister hingga sampel tercampur merata.
Canister yang telah berisi sampel dipasang pada alat RVA, kemudian dilakukan
siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan. Sampel
dipanaskan hingga suhu 50 0C dan suhu 50 0C dipertahankan selama 1 menit.
Sampel dipanaskan dari 50 0C hingga 95 0C dengan kecepatan 6 0C/menit, lalu
suhu 95 0C dipertahankan selama 6 menit. Sampel didinginkan hingga suhu 50 0C
dengan kecepatan 6 0C/menit, lalu suhu 50 0C dipertahankan selama 3 menit.
32

Hasil pengukuran dengan alat ini diantaranya adalah viskositas puncak atau
peak viscosity, viskositas pasta panas atau trough viscosity, perubahan viskositas
selama pemanasan atau breakdown, viskositas pasta dingin atau final viscosity dan
perubahan viskositas selama pendinginan atau setback. Viskositas puncak adalah
viskositas pada puncak gelatinisasi atau menunjukkan pati tergelatinisasi.
Breakdown merupakan selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta
panas atau menunjukkan kestabilan viskositas terhadap panas. Setback merupakan
selisih antara viskositas pasta dingin dengan viskositas pasta panas atau
menunjukkan kemampuan untuk meretrogradasi.

Kadar Kalsium (Flame-Atomic Absorption Spectroscopy)


Persiapan Sampel:
Sampel ditimbang langsung ke dalam labu pemanas kapasitas 50 ml (dicatat
berat tepatnya). Pada saat menimbang hindari tercecernya sampel di dinding atas
labu dan di bagian luar labu, kemudian ditambahkan 10 ml asam nitrat (HNO3)
pekat 3 ml dan asam perklorat (HClO4) 60% secara bertahap. Penambahan
dilakukan dalam ruang asam dengan bantuan pipet Mohr dan bulb. Campuran
dipanaskan dengan pemanas listrik dalam ruang asam. Mula-mula sampel akan
berwarna gelap ketika dipanaskan kemudian akan berangsur-angsur menjadi
bening atau transparan. Apabila bagian sampel yang berwarna gelap telah hilang
dan larutan di dalamnya bening, pemanasan dihentikan. Setelah agak dingin,
perlahan-lahan tambahkan air bebas ion sebanyak 10 ml, lalu dipanaskan kembali
sampai tidak ada lagi asap yang keluar. Larutan dipindahkan ke labu takar 100 ml
dengan hati-hati, bilas labu sampel dengan larutan HCl 0.02N dan masukkan air
bilasan ke dalam labu takar, lakukan 3 kali setelah itu tepatkan volume larutan
hingga tanda tera dengan larutan HCl 0.02 N. Larutan disaring dengan kertas
saring, selanjutnya larutan siap digunakan untuk analisis dengan AAS atau
diencerkan lebih lanjut apabila larutan tersebut masih pekat setelah diketahui dari
hasil analisis AAS.
Persiapan Larutan Standar:
Larutan stok Ca konsentrasi 1000 ppm atau 1000 mg/l yang dibeli
perusahaan kimia diencerkan dengan larutan HCl 0.02N sehingga diperoleh serial
33

konsentrasi yang dapat dibaca dengan alat AAS dan mempunyai linieritas (R2)
diatas 0,990. Konsentrasi serial larutan standar berkisar antara 0,1-15 ppm.

Pengukuran dengan AAS-flame


Alat AAS diset sesuai dengan prosedur yang terdapat pada SOP alat dengan
panjang gelombang sesuai denga unsur logam atau mineral yang akan dianalisis.
Pengukuran dilakukan terhadap larutan standar terlebih dahulu, mulai dari
konsentrasi rendah hingga konsentrasi tinggi. Apabila satu serial standar telah
diukur maka larutan sampel diukur. Antara dua pengukuran, aspirasikan air bebas
ion ke dalam alat AAS.

Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)


Sejumlah sampel (kurang lebih 3 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang
telah diketahui bobotnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu
110 0C hingga diperoleh bobot konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan
menggunakan rumus:

Kadar air (wet basis) (%) = x 100%

Kadar air (dry basis) (%) = 100%

Keterangan:
a = bobot cawan dan sampel akhir (g)
b = bobot cawan (g)
c = bobot sampel awal (g)

Kadar Abu (AOAC 1995)


Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600 0C, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang
dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas
nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan
di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 0C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk
34

abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya


ditimbang. Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar abu x 100%

Kadar Protein (AOAC 1995)


Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml
kemudian ditambahkan 1,9 gram K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Sampel
didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan kemudian
didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6
kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu destilasi.
Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2
bagian merah metil 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian biru metilen 0,2% dalam
alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam
di bawah larutan H3BO3, ditambah larutan NaOH-Na2SO3 sebanyak 8-10 ml
kemudian didestilasi dalam labu erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air
dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer
diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai
terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan dengan cara
yang sama. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan rumus:

HC N HC ,
Kadar N (%)

Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6,25)

Kadar Lemak, metode soxhlet (AOAC 1995)


0
Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110 C kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung
ditimbang dalam sebanyak 5 gram lalu dibungkus dengan kertas saring dan
dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana.
Refluks dilakukan minimum selama 5 jam dan pelarut yang ada di dalam
labu lemak kemudian didestilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil
35

ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100 0C hingga beratnya konstan
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak
dilakukan dengan menggunakan rumus:

Kadar lemak (%) = x 100%

Kadar Karbohidrat by difference (AOAC 1995)


Kadar karbohidrat dengan metode by difference merupakan penentuan kadar
karbohidrat bahan makanan secara kasar dimana bukan berdasarkan analisis,
melainkan melalui perhitungan. Kadar karbohidrat tersebut diperoleh berdasarkan
rumus:
Kadar karbohidrat (%) = 100% - %(protein + lemak + abu + air)

Viskositas Menggunakan Viskometer Brookfield


Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer
Brookfield Model LVT serial number 207757. Sampel sebanyak 24 gram
dilarutkan dalam 125 ml air hangat (60 0C) pada suhu kamar dan diaduk selama
1 menit sampai semua bahan terlarut. Sampel dimasukkan ke dalam wadah gelas.
Spindle dikaitkan pada viskometer dan ketinggiannya diatur, lalu spindle
dimasukkan dalam gelas viskometer untuk mengukur sampel. Viskometer
dijalankan dan penunjuk jarum dibuka. Pembacaan dilakukan apabila jarum
penunjuk angka stabil pada kisaran angka yang terdapat dalam instrumen. Nilai
viskositas terukur dalam satuan cP (centiPoise). Nilai viskositas (cP) = angka
pembacaan x faktor pengali (Tabel 4).

Tabel 4 Faktor pengali untuk tiap spindel dan rpm yang digunakan
No. Kecepatan putaran
Spindel 6 12 30 60
1 10 5 2 1
2 50 25 10 5
3 200 100 40 20
4 1000 500 200 100
36

Uji Seduh
Uji seduh mengacu kepada petunjuk penyajian bubur MP-ASI komersial
sebagai kontrol. Sebanyak 24 gram (takaran per saji) sampel ditambahkan dengan
air hangat sebanyak 125 ml ( 60 0C), diaduk merata sehingga terbentuk larutan
bubur yang kental. Takaran per saji setiap formulasi bubur jagung instan MP-ASI
dibuat sama (24 gram) kemudian ditambahkan dengan air hangat, diaduk hingga
kekentalan yang sama dengan bubur MP-ASI komersial. Banyaknya air yang
digunakan untuk memperoleh kekentalan yang sama dengan bubur MP-ASI
komersial merupakan jumlah air yang dibutuhkan untuk penyajiannya.

Waktu Rehidrasi
Sebanyak 24 gram sampel ditambahkan dengan air hangat sebanyak jumlah
yang telah diketahui sebelumnya dari uji seduh, diaduk merata hingga menjadi
bubur yang kental. Waktu rehidrasi dihitung saat sampel mulai diberi air hingga
menjadi bubur.

Daya Cerna Protein in Vitro (Hsu et al. 1977)


Prinsip:
Hsu et al. (1977) menemukan bahwa pH suspensi protein pada menit ke-10
setelah dihidrolisis oleh larutan multienzim (campuran tripsin, kimotripsin dan
peptidase) mempunyai korelasi yang baik dengan daya cerna protein yang
ditetapkan secara biologis menggunakan tikus. Analisis regresi terhadap 23
sampel yang diuji mendapat nilai koefisien korelasi yang tinggi (0,90) antara
daya cerna in vitro dan in vivo. Persamaan regresi yang diperoleh adalah:
Y = 210,464 - 18,103x, dimana Y = daya cerna protein (%) dan x = pH suspensi
sampel protein pada menit ke-10. Sampel protein dalam metode ini dihidrolisis
oleh campuran enzim sehingga ion-ion hidrogen akan dibebaskan dan
menyebabkan penurunan pH suspensi.
Dalam analisis ini digunakan larutan multienzim dalam air destilata:
campuran 1,6 gram tripsin, 3,1 mg kimotripsin, 1,3 mg peptidase per ml. Larutan
multienzim dibuat secukupnya, kemudian diletakkan dalam ice-bath, diatur pH-
nya hingga menjadi 8,0 dengan penambahan HCl atau NaOH 0,1 N.
37

Penentuan daya cerna protein secara in vitro sebagai berikut: sampel


disuspensikan ke dalam air destilata sampai diperoleh konsentrasi 6,25 mg
protein/ml. Sebanyak 50 ml suspensi sampel dimasukkan ke dalam gelas piala,
kemudian diatur pH-nya menjadi 8,0 dengan penambahan HCl atau NaOH 0,1 N.
Sampel diletakkan dalam penangas air bersuhu 37 0C selama 5 menit sambil
diaduk. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan multienzim (saat penambahan enzim
dicatat sebagai waktu ke-0) ke dalam suspensi protein sambil tetap diaduk dalam
penangas air bersuhu 37 0C. Nilai pH suspensi sampel dicatat pada menit ke-10.
Daya cerna protein dihitung dengan rumus:

Y = 210,464 18,103x
Dimana Y = daya cerna protein (%)
x = pH suspensi sampel pada menit ke-10

Daya Cerna Pati in Vitro (Muchtadi et al. 1992)


Prinsip:
Pati dihidrolisis oleh enzim -amilase. Di dalam usus enzim ini mengubah
pati menjadi oligosakarida, maltosa, maltotriosa dan alfa limit dekstrin. Kemudian
maltosa diukur jumlahnya menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan
dengan asam dinitrosalisilat. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase
relatif terhadap terhadap pati murni.
Cara Kerja:
Enzim yang digunakan adalah -amilase (aktivitas 900 U/mg). Enzim ini
dilarutkan dalam buffer fosfat 0,05 M (pH 7) dengan konsentrasi 1 mg/ml.
Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-dinitrosalisilat, 30 g
Na-K-tartarat dan 1,6 NaOH dalam 100 ml air destilata.
Suspensi sampel dibuat sebanyak satu persen dalam air destilata 10 ml
dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90 0C, kemudian
didinginkan. Dari larutan sampel tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung
reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml buffer fosfat 0,1 M
(pH 7). Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya adalah blanko.
Tabung reaksi ditutup dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 15 menit. Larutan
38

sampel dikeluarkan dari dalam penangas air dan ditambahkan 5 ml larutan


-amilase untuk sampel dan ditambahkan 5 ml buffer fosfat untuk blanko sampel.
Inkubasikan lagi pada suhu 37 0C selama 30 menit.
Sebanyak 1 ml sampel hasil inkubasi dipipet ke dalam tabung reaksi
bertutup berisi 2 ml DNS (asam dinitrosalisilat). Larutan sampel dipanaskan pada
suhu 100 0C selama 10 menit, lalu didinginkan dengan air mengalir. Selanjutnya
ke dalam larutan sampel ditambahkan 10 ml air destilata dan dibuat homogen
dengan vortex. Warna merah-oranye yang terbentuk diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 520 nm menggunakan spektrofotometer.
Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva
standar maltosa murni. Kurva standar maltosa murni diperoleh dengan cara
mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat dengan
menggunakan prosedur seperti di atas. Konsentrasi larutan maltosa standar dibuat
sebesar 0-10 mg dalam 10 ml air destilata. Daya cerna pati merupakan
perbandingan relatif antara kadar maltosa sampel dengan kadar maltosa pati
murni.
A-a
Daya cerna pati = x 100%
B-b

Keterangan: A = kadar maltosa sampel


a = kadar maltosa blanko sampel
B = kadar maltosa pati murni
B = kadar maltosa blanko pati murni

Uji Organoleptik
Pengujian secara organoleptik suatu produk makanan merupakan kegiatan
penilaian dengan alat pengindera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan
pendengar. Melalui hasil pengujian organoleptik akan diketahui daya penerimaan
panelis (konsumen) terhadap produk tersebut (Soekarto 1985).
Sampel bubur jagung MP-ASI yang akan diuji organoleptik direhidrasi
terlebih dahulu. Kemudian sampel dihidangkan secara acak dihadapan panelis,
kemudian panelis tersebut diminta untuk mengisi formulir yang telah disediakan
sesuai dengan instruksi yang terdapat pada formulir tersebut. Panelis yang
39

digunakan dalam uji organoleptik ini panelis semi terlatih yang berjumlah 70
orang. Uji organoleptik terhadap bubur jagung instan MP-ASI ini meliputi uji
skoring dan uji kesukaan (hedonik). Uji skoring meliputi sifat kehalusan dalam
mulut, kemudahan ditelan dan kelengketan di dalam mulut. Skala yang digunakan
adalah 1-5. Sedangkan parameter mutu yang diujikan pada uji hedonik adalah
warna, kekentalan, aroma, rasa dan penerimaan umum (overall). Penilaian
dilakukan menggunakan skala hedonik yang menunjukkan tingkat kesukaan
panelis terhadap produk. Skala pengujian hedonik terdiri dari: (7) sangat suka, (6)
suka, (5) agak suka, (4) netral, (3) agak tidak suka, (2) tidak suka, dan (1) sangat
tidak suka. Format uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 2.
40

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fungsional Tepung Jagung


Swelling Volume
Swelling volume dan kelarutan memberikan petunjuk adanya ikatan non-
kovalen antara molekul pati dan seberapa besar kekuatan ikatan tersebut pada
suhu tertentu (Moorthy 2002). Pembengkakan granula dan kelarutan pati terjadi
jika pati dipanaskan dalam air yang berlebih sehingga menyebabkan putusnya
ikatan hidrogen dan gangguan pada struktur kristalin pati. Lebih lanjut gugus
hidroksil amilosa dan amilopektin akan terpapar sehingga molekul air dapat
berikatan dengan gugus hidroksil pati tersebut melalui pembentukan ikatan
hidrogen. Hal ini mengakibatkan meningkatnya pembengkakan granula dan
kelarutan pati (Hoover 2001).
Nilai swelling volume tepung jagung berkisar antara 8,14-9,62 (ml/g bk)
(Tabel 5). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 3 menunjukkan
adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap swelling volume tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan
menunjukkan bahwa interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon swelling volume pada
kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda
(p 0,05).
Swelling volume tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 lebih tinggi
dibandingkan swelling volume tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2.
Swelling volume cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2.
Penurunan nilai swelling volume pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2
disebabkan oleh terbentuknya ikatan silang antara molekul pati melalui
pembentukan jembatan kalsium selama proses nisktamalisasi. Semakin tinggi
konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan maka semakin banyak pula ion Ca2+ yang
berinteraksi dengan molekul pati. Hal ini dapat dilihat dari data kadar kalsium
yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2 (Tabel 6).
Fernandez-Munoz et al. (2001) menjelaskan bahwa peningkatan kadar kalsium
41

pada proses nikstamalisasi disebabkan oleh terikatnya ion-ion Ca2+ pada polimer
amilosa dan amilopektin.

Tabel 5 Swelling volume tepung jagung pada kombinasi perlakuan


konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Swelling volume
Lama pemasakan
Ca(OH)2 (ml/g bk)
0 menit 9,22 0,04 bcd
5 menit 9,29 0,03 bc
0% 10 menit 9,62 0,04 a
15 menit 9,51 0,16 ab
20 menit 9,22 0,12 bcd
0 menit 8,83 0,15 fg
5 menit 9,16 0,19 cde
0,25% 10 menit 9,24 0,04 bcd
15 menit 9,12 0,24 cdef
20 menit 9,06 0,08 cdef
0 menit 8,57 0,15 gh
5 menit 8,84 0,26 efg
0,5% 10 menit 8,95 0,20 def
15 menit 8,43 0,17 h
20 menit 8,14 0,13 i
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Tabel 6 Kadar kalsium tepung jagung pada perlakuan lama pemasakan


20 menit dengan berbagai perlakuan konsentrasi Ca(OH)2

Konsentrasi Kadar kalsium


Ca(OH)2 (%bk)
0% 0,2512 0,0009
0,25% 0,3717 0,0019
0,50% 0,4909 0,0020

Bryan & Hamaker (1997) melaporkan bahwa penggunaan larutan Ca(OH)2


dalam proses nikstamalisasi menyebabkan pH larutan meningkat. Kondisi alkali
ini menyebabkan Ca(OH)2 terionisasi menjadi kation Ca2+ dan anion OH- dimana
kemudian ion Ca2+ akan membentuk ikatan dengan molekul pati. Lebih lanjut
Rodriguez et al. (1996) menjelaskan bahwa dengan adanya Ca2+ dalam pati akan
42

merusak ikatan antara pati dengan molekul air dan membentuk ikatan silang
dengan molekul amilosa dan amilopektin yang ada dalam pati.
Swelling volume tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 meningkat pada
lama pemasakan hingga 10 menit dan kemudian menurun jika pemasakan
diteruskan hingga 20 menit. Hal ini berkaitan dengan kapasitas penyerapan air
tepung jagung tersebut. Kapasitas penyerapan air tepung jagung tanpa perlakuan
Ca(OH)2 meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit, kemudian
menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Swelling volume
dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk mengikat air melalui
pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan hidrogen antara molekul
pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Pembengkakan
granula pati secara cepat yang disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen
intermolekuler pada area daerah amorf terjadi pada suhu di bawah 70 0C (De la
Torre-Gutirrez et al. 2008). Hal ini dapat menjelaskan bahwa semakin tinggi
kapasitas penyerapan air, maka semakin tinggi pula swelling volume tepung
jagung sehingga terdapat korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan swelling
volume tepung jagung (r = 0,865; p 0,01) (Gambar 4).

8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g

8,5
8,4
8,3
8,2
8,1
8
bk)

7,9
7,8 r = 0,865
7,7
7,6
7,5
0 50 100 150
Swelling volume (ml/g bk)

Gambar 4 Hubungan antara swelling volume dengan kapasitas penyerapan air


tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan
43

Swelling volume tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25%,


cenderung meningkat dengan adanya perlakuan pemasakan. Fenomena ini dapat
dijelaskan bahwa pada konsentrasi Ca(OH)2 yang rendah yaitu 0,25%, perlakuan
pemasakan dalam kondisi alkali menyebabkan kerusakan daerah kristalin, matriks
granula mengalami peregangan karena adanya pertukaran proton pada ion kalsium
yang menyebabkan volume granula pati meningkat (Bryant & Hamaker 1997).
Swelling volume tepung jagung perlakuan Ca(OH)2 0,5% cenderung meningkat
pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit, kemudian menurun jika
pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
pada lama pemasakan di atas 10 menit, jumlah ion-ion Ca2+ yang berikatan
dengan molekul pati semakin banyak dan ion-ion Ca2+ ini bertindak untuk
menstabilkan dan meningkatkan kekakuan granula sehingga menurunkan volume
granula (Bryant & Hamaker 1997). Data pengaruh lama pemasakan terhadap
kadar kalsium tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% dapat dilihat
pada Tabel 7.

Tabel 7 Kadar kalsium tepung jagung pada perlakuan konsentrasi Ca(OH)2


0,5% dan berbagai lama pemasakan

Lama pemasakan Kadar kalsium


(menit) (%bk)
0 0,3260 0,0002
5 0,3346 0,0023
10 0,3312 0,0034
15 0,3426 0,0013
20 0,3717 0,0019

Penghambatan pembengkakan granula sebagai hasil dari ikatan silang


berhubungan dengan rapatnya susunan struktur molekul granula pati dan
banyaknya jembatan kalsium intermolekuler yang terbentuk di dalam molekul pati
selama proses ikatan silang. Peningkatan derajat ikatan silang semakin
menurunkan kemampuan granula untuk mengembang dan menurunkan
viskositasnya (Mendez-Montealvo et al. 2006).
Wurzburg et al. (2006) menambahkan bahwa ikatan silang yang terjadi
antar molekul pati dapat memperkuat struktur granula dengan cara memperkuat
44

ikatan hidrogen yang bertanggung jawab mempertahankan keutuhan granula dan


dapat juga digunakan untuk mengatasi sensitifitas granula pati yang membengkak
akibat kondisi pengolahan. Ikatan silang dapat menghambat pembengkakan
granula karena mengikat granula pati pada lokasi acak. Semakin tinggi
konsentrasi senyawa yang ditambahkan maka semakin banyak ikatan silang yang
terbentuk sehingga pembengkakan granula akibat pemanasan dapat semakin
dihambat.
Hasil yang serupa dilaporkan oleh Koo et al. (2010), di mana swelling
0
factor yang diukur pada suhu 70 C menurun secara signifikan dengan
meningkatnya jumlah reagen ikatan silang. Mirmoghtadaie et al. (2009) juga
melaporkan terjadinya penurunan swelling factor pada pati oat ikatan silang
dengan meningkatnya derajat ikatan silang. Hal ini disebabkan bahwa ikatan
silang memperkuat ikatan antara rantai pati, sehingga menyebabkan pati tersebut
resisten terhadap pembengkakan granula.
Perbedaan swelling volume antar masing-masing perlakuan juga
mengindikasikan perbedaan struktur pati. Swelling volume dipengaruhi oleh
kekuatan ikatan jaringan micellar, struktur molekul amilopektin dan kandungan
amilosa (Tang et al. 2005). Menurut Fredriksson et al. (1998) sifat pati selama
gelatinisasi dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Amilopektin
berperan terhadap pengembangan dan sifat adonan pati, sedangkan amilosa
menghambat pengembangan. Granula pati dengan kadar amilopektin tinggi
menghasilkan granula yang lebih mengembang dan viskositas tinggi, sementara
rantai linier amilosa keluar dari granula dan membuat fase kontinyu di luar
granula bersama lipid sehingga menghambat pengembangan dan menghasilkan
viskositas adonan yang semakin rendah. Swelling volume juga meningkat dengan
meningkatnya kandungan amilopektin rantai panjang dan menurunnya kandungan
amilosa (Srichuwong et al. 2005). Menurut Mondragn et al. (2006) perlakuan
pemasakan dalam larutan Ca(OH)2 dapat menghambat leaching amilosa, sehingga
pada penelitian ini diduga kandungan amilosa pada tepung jagung yang diberi
perlakuan pemasakan dalam larutan Ca(OH)2 (nikstamalisasi) lebih tinggi
daripada tepung jagung yang dimasak tanpa larutan Ca(OH)2, sehingga swelling
volume tepung jagung nikstamal lebih rendah.
45

Kelarutan (Solubility)
Nilai kelarutan tepung jagung berkisar antara 25,56-38,60 % bk (Tabel 8).
Hasil analisis data yang disajikan pada Lampiran 4 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap
kelarutan tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan interaksi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya
perbedaan pola respon kelarutan pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
dan lama pemasakan yang berbeda.

Tabel 8 Kelarutan tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi


Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Kelarutan
Lama pemasakan
Ca(OH)2 (% bk)
0 menit 36,59 2,46 abc
5 menit 37,49 1,80 abc
0% 10 menit 38,60 0,89 a
15 menit 38,15 1,77 ab
20 menit 38,13 0,88 ab
0 menit 34,66 1,97 bcd
5 menit 35,96 3,25 abc
0,25% 10 menit 34,06 2,71 cd
15 menit 31,67 1,99 de
20 menit 30,13 1,66 ef
0 menit 32,40 2,09 de
5 menit 31,94 1,45 de
0,5% 10 menit 26,66 4,76 g
15 menit 27,02 1,22 fg
20 menit 25,56 1,95 g
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 memiliki kelarutan yang lebih


tinggi dibandingkan tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2. Kelarutan
cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2 pada lama
pemasakan yang sama. Fenomena yang dapat menjelaskan hal ini adalah terkait
dengan interaksi pati dengan ion Ca2+. Semakin tinggi konsentrasi Ca(OH)2, maka
semakin banyak pula ikatan silang yang terbentuk antara molekul pati melalui
pembentukan jembatan kalsium. Nabeshima & Grossmann (2001) menjelaskan
46

bahwa ikatan silang dapat memperkuat integritas granula sehingga mengurangi


kelarutannya. Sementara pada tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 ikatan
antar molekul pati hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen lemah, sehingga
memiliki kelarutan yang lebih tinggi.
Perlakuan lama pemasakan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan
terhadap nilai kelarutan tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2, sedangkan pada
tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2, kelarutan cenderung menurun dengan
semakin lamanya pemasakan. Semakin lama pemasakan maka semakin banyak
ion-ion Ca2+ yang berinteraksi dengan molekul pati melalui pembentukan
jembatan kalsium intermolekuler sehingga kelarutan tepung jagung semakin
menurun.
Koo et al. (2010) menjelaskan bahwa ikatan silang pada pati dapat
menghambat kelarutan, terdapat kecenderungan penurunan kelarutan dengan
meningkatnya derajat ikatan silang. Hasil yang serupa dilaporkan oleh Kaur et al.
(2006) untuk pati kentang yang dimodifikasi dengan EPI dan POCl3 pada
berbagai konsentrasi. Penurunan kelarutan pati kentang ini diduga karena
peningkatan densitas ikatan silang pada struktur pati sehingga menyebabkan
granula pati kurang mengalami kerusakan (disintegrasi) selama gelatinisasi
(Jyothi et al. 2006).
Pembengkakan granula pati yang berlebihan akan diikuti dengan leaching
molekul amilosa dari dalam granula sebagai akibat ketidakmampuannya menahan
tekanan. Semakin tinggi kemampuan granula untuk mengembang, maka semakin
tinggi pula jumlah amilosa yang keluar dari granula pati. Hal ini menyebabkan
adanya korelasi antara swelling volume dengan kelarutan tepung jagung
(r = 0,765; p 0,01) (Gambar 5).
47

45,00
40,00
35,00

Kelarutan (%)
30,00
25,00
20,00 r = 0,765
15,00
10,00
5,00
0,00
8,00 8,50 9,00 9,50 10,00
Swelling volume (ml/g bk)

Gambar 5 Hubungan antara swelling volume dengan kelarutan tepung


jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan

Kapasitas Penyerapan Air


Kapasitas penyerapan air (KPA) memberikan gambaran jumlah air yang
tersedia untuk gelatinisasi. Kapasitas penyerapan air yang rendah diinginkan
dalam pembuatan bubur (Elkhalifa et al. 2005). Menurut Hodge & Osman (1976),
tepung yang memiliki KPA tinggi memiliki gugus hidrofilik yang lebih banyak.
Lebih lanjut Hoover & Sosulski (1986) menjelaskan bahwa perbedaan KPA bahan
dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pengikatan gugus hidroksil yang
membentuk ikatan hidrogen dan ikatan kovalen antar rantai pati.
Nilai KPA tepung jagung berkisar antara 7,62-8,44 (g/g bk) (Tabel 9). Hasil
analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 5 menunjukkan adanya pengaruh
interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap kapasitas
penyerapan air tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa
interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan
adanya perbedaan pola respon KPA pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda.
48

Tabel 9 Kapasitas penyerapan air tepung jagung pada kombinasi perlakuan


konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Kapasitas Penyerapan
Lama Pemasakan
Ca(OH)2 Air (g/g bk)
0 menit 8,21 0,07 bc
5 menit 8,32 0,10 ab
0% 10 menit 8,44 0,09 a
15 menit 8,25 0,15 b
20 menit 8,27 0,06 b
0 menit 8,17 0,08 bc
5 menit 8,29 0,05 b
0,25% 10 menit 8,24 0,04 b
15 menit 8,06 0,06 cd
20 menit 8,00 0,15 de
0 menit 7,85 0,12 f
5 menit 8,01 0,15 de
10 menit 8,07 0,08 cd
0,5%
15 menit 7,88 0,03 ef
20 menit 7,62 0,11 g
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Kapasitas penyerapan air tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 lebih


tinggi dibandingkan KPA tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2. Kapasitas
penyerapan air cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2.
Kemampuan untuk menyerap air tepung jagung disebabkan karena bagian
amorphous mengalami sedikit pengembangan sehingga beberapa ikatan hidrogen
antara bagian amorphous dan bagian kristalin akan putus kemudian berikatan
dengan hidrogen dari air. Penurunan KPA pada tepung jagung dengan perlakuan
Ca(OH)2, diduga karena ikatan silang yang terbentuk antara gugus hidroksil pati
dengan ion-ion Ca2+ menyebabkan gugus hidroksil yang tersedia untuk berikatan
dengan gugus hidrogen dari air menjadi berkurang. Kamid (2005) menjelaskan
bahwa ikatan yang terbentuk antara ion-ion Ca2+ dengan molekul pati dapat
memperkuat integritas granula pati sehingga menghambat penyerapan air ke
dalam pati jagung. Semakin meningkat konsentrasi Ca(OH)2, maka semakin
banyak pula ikatan silang yang terbentuk antara molekul pati sehingga
menyebabkan kapasitas penyerapan airnya semakin menurun.
49

Kapasitas penyerapan air tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2


cenderung meningkat pada lama pemasakan hingga 10 menit, kemudian menurun
jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Pemasakan biji jagung dapat
meningkatkan gelatinisasi pati dan porositas tepung jagung yang dihasilkan. Pati
yang tergelatinisasi memiliki gugus hidrofilik yang lebih banyak untuk berikatan
dengan air dan porositas tepung juga dapat memfasilitasi penyerapan air, sehingga
semakin lama pemasakan semakin tinggi tingkat gelatinisasi dan porositas tepung
jagung (Ma et al. 2011). Namun pada perlakuan lama pemasakan di atas 10 menit,
KPA tepung jagung cenderung menurun. Perlakuan pemasakan biji jagung yang
lebih lama menyebabkan banyaknya padatan yang leaching ke dalam medium
pemasak sehingga KPA tepung jagung menurun (Njintang & Mbofung 2006).
Selama pemasakan, protein mengalami denaturasi sehingga menyebabkan residu
asam amino yang bersifat hidrofilik terpapar dan berikatan dengan molekul air.
Pembengkakan serat kasar juga dapat meningkatkan kapasitas penyerapan air
tepung jagung (Aguilera et al. 2009).
Kapasitas penyerapan air tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
0,25% cenderung menurun dengan semakin lamanya pemasakan. Hal ini
disebabkan oleh semakin lama pemasakan, maka semakin banyak pula gugus
hidroksil pati yang berikatan dengan ion Ca2+ sehingga ketersediaan gugus
hidroksil untuk berikatan dengan molekul air menjadi terbatas. Kapasitas
penyerapan air tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% cenderung
meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit kemudian menurun
jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Pemasakan biji jagung yang lebih
lama saat proses nikstamalisasi menyebabkan jenuhnya gugus hidroksil pati oleh
ion Ca2+ dan Ca(OH)+ sehingga mengurangi kemampuannya untuk mengikat air
(Sefa-Dedeh 1991 diacu dalam Sefa-Dedeh et al. 2004).
Bryant & Hamaker (1997) menjelaskan bahwa perbedaan KPA tepung
jagung yang diberi perlakuan pemasakan dalam berbagai konsentrasi larutan
Ca(OH)2 dapat disebabkan oleh interaksi antara ion Ca2+ dengan molekul pati.
Pada konsentrasi Ca(OH)2 yang tinggi, terjadi peningkatan kekakuan granula pati
oleh adanya interaksi antara kation divalen Ca2+ yang berikatan secara kuat
dengan molekul pati sehingga menyebabkan kapasitas penyerapan air menurun.
50

Amilosa merupakan rantai lurus yang mempunyai kemampuan menyerap air


lebih rendah dibanding amilopektin yang merupakan rantai bercabang. Hal ini
mengakibatkan semakin tinggi kadar amilosa, semakin rendah kapasitas
penyerapan air pada tepung jagung, demikian juga semakin besar rasio amilosa
dan amilopektin pada tepung jagung akan menghasilkan kapasitas penyerapan air
yang semakin kecil. Proses nikstamalisasi dapat menghambat leaching amilosa
sehingga tepung jagung yang mengalami proses nikstamalisasi (pemasakan dalam
larutan Ca(OH)2) memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan
tepung jagung tanpa perlakuan nikstamalisasi. Hal ini kemungkinan juga dapat
menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya KPA tepung jagung nikstamal.
Peningkatan KPA selalu berhubungan dengan peningkatan kelarutan serta
hilangnya struktur kristalin pati (Gunaratne & Hoover 2002), sehingga
menyebabkan adanya korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan kelarutan
(r = 0,812; p 0,01) (Gambar 6).

600
550
Kelarutan (% bk)

500
450
400
350 r = 0,812
300
250
200
7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)

Gambar 6 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan kelarutan


tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
dan lama pemasakan

Kapasitas Penyerapan Minyak


Kapasitas penyerapan minyak (KPM) yang rendah diperlukan pada produk-
produk yang diproses dengan penggorengan sehingga tidak menyerap minyak
dalam jumlah yang besar. Kapasitas penyerapan minyak pada tepung terutama
51

berkaitan dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau
protein, semakin besar KPM. Hal ini berhubungan dengan mekanisme KPM yang
disebabkan pemerangkapan minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran
hidrofobisitas protein (Voutsinas & Nakai 1983).
Nilai KPM tepung jagung berkisar antara 4,73-5,40 g/g bk (Tabel 10). Hasil
analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 6 menunjukkan adanya pengaruh
interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap KPM
tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa interaksi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya
perbedaan pola respon KPM pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan yang berbeda.

Tabel 10 Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung pada kombinasi


perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Kapasitas Penyerapan
Lama Pemasakan
Ca(OH)2 Minyak (g/g bk)
0 menit 4,84 0,09 bc
5 menit 5,33 0,15 a
0% 10 menit 5,39 0,11 a
15 menit 5,38 0,11 a
20 menit 5,40 0,14 a
0 menit 4,88 0,05 bc
5 menit 4,91 0,10 bc
0,25% 10 menit 4,87 0,04 bc
15 menit 4,90 0,15 bc
20 menit 4,95 0,19 b
0 menit 4,80 0,07 bc
5 menit 4,86 0,05 bc
10 menit 4,80 0,09 bc
0,5%
15 menit 4,73 0,16 c
20 menit 4,76 0,08 bc
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2


lebih rendah dibandingkan tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 pada
perlakuan lama pemasakan yang sama. Berdasarkan hasil uji Duncan, KPM
tepung jagung dengan perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25% tidak berbeda nyata
52

dengan KPM tepung jagung dengan konsentrasi Ca(OH)2 0,5%, namun berbeda
nyata dengan KPM tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2. Tingginya nilai KPM
pada tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 dengan semakin lamanya
pemasakan disebabkan oleh meningkatnya jumlah protein yang terdenaturasi dan
kandungan protein yang memiliki gugus samping non-polar pada sampel tersebut
sehingga meningkatkan KPM tepung jagung.
Pengaruh lama pemasakan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan
terhadap KPM tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2. Kapasitas penyerapan
minyak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 cenderung meningkat dengan
adanya pengaruh pemasakan. Peningkatan KPM berhubungan dengan
meningkatnya sifat hidrofobik protein dan kemampuan pengikatan minyak oleh
rantai samping asam amino non-polar. Perlakuan pemasakan menyebabkan residu
non-polar pada molekul protein terbuka dan dapat berikatan dengan minyak
(Njintang & Mbofung 2006). Pendapat ini didukung oleh Sosulski et al. (1976)
yang menyatakan KPM tergantung kepada ketersediaan gugus asam amino
hidrofobik. Selain itu, perlakuan pemasakan juga menyebabkan peningkatan
porositas tepung jagung sehingga lebih mudah mengikat minyak (Njintang &
Mbofung 2006).
Kapasitas penyerapan minyak suatu bahan diperlukan untuk pengembangan
produk pangan baru berhubungan dengan stabilitas penyimpanan bahan pangan
tersebut (terutama yang berhubungan dengan flavor binding dan ketengikan
oksidatif). Mekanisme penyerapan minyak kemungkinan melalui pemerangkapan
minyak secara fisik yang berhubungan dengan keberadaan gugus non-polar
protein. Kandungan protein dan jenis protein berkonstribusi terhadap sifat
kapasitas penyerapan minyak bahan pangan (Ravi & Sushelamma 2005).
Kapasitas penyerapan minyak tepung juga diperlukan untuk meningkatkan mouth
feel dan menahan flavor (Kinsella 1976).

pH
Nilai pH tepung jagung merupakan salah satu parameter kualitas yang
memengaruhi flavor dan umur simpan produk yang diproses secara
nisktamalisasi. Analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 7 menunjukkan
53

bahwa interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan


menyebabkan adanya perbedaan pola respon nilai pH tepung jagung pada
kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda (p
0,05). Sampel tepung jagung yang diproses tanpa menggunakan larutan Ca(OH)2
memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan sampel yang diproses menggunakan
larutan Ca(OH)2 (Tabel 11).

Tabel 11 Nilai pH tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi


Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Lama
pH
Ca(OH)2 Pemasakan
0 menit 6,48 0,04 g
5 menit 6,47 0,04 g
0% 10 menit 6,49 0,08 g
15 menit 6,48 0,03 g
20 menit 6,48 0,02 g
0 menit 6,85 0,01 f
5 menit 6,88 0,03 ef
0,25% 10 menit 6,93 0,02 def
15 menit 6,98 0,01 de
20 menit 7,00 0,02 d
0 menit 7,61 0,11 c
5 menit 7,75 0,03 b
0,5% 10 menit 7,81 0,01 ab
15 menit 7,88 0,02 a
20 menit 7,91 0,02 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Nilai pH tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 lebih tinggi


dibandingkan pH tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2. Nilai pH cenderung
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2. Hal ini disebabkan oleh
ion-ion Ca2+ dan OH- yang dihasilkan oleh ionisasi Ca(OH)2.
Pengaruh lama pemasakan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan
terhadap pH tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2. Nilai pH tepung jagung
dengan perlakuan Ca(OH)2 cenderung meningkat dengan semakin lamanya
pemasakan. Semakin lama pemasakan maka semakin banyak pula ion-ion hasil
ionisasi Ca(OH)2 yang berikatan dengan molekul pati dan meningkatkan nilai pH.
54

Namun pengaruh lama pemasakan ini tidak terlalu besar memengaruhi pH tepung
jagung jika dibandingkan dengan pengaruh konsentrasi Ca(OH)2.
Studi lain melaporkan bahwa pH tepung jagung beserta produk-produknya
yang diproses secara nikstamalisasi berhubungan erat dengan jumlah Ca(OH)2
yang digunakan dan jumlah pengikatan Ca(OH)2 tersebut selama pemasakan dan
perendaman (Serna-Saldivar 1990). Lebih lanjut Bryant & Hamaker (1997)
menjelaskan meningkatnya nilai pH pada tepung jagung yang diberi perlakuan
Ca(OH)2 menandakan molekul pati mengikat Ca2+. Nilai pH sistem yang tinggi
pada saat pemasakan dan perendaman biji jagung menyebabkan gugus hidroksil
pati mengalami ionisasi dan berinteraksi dengan ion Ca2+ hasil ionisasi Ca(OH)2.
Nilai pH tepung jagung pada penelitian ini berkisar antara 6,47-7,91. Khusus
untuk tepung jagung yang mengalami perlakuan nikstamalisasi (pemasakan dalam
larutan Ca(OH)2) memiliki nilai pH 6,88-7,91. Hasil ini serupa dengan hasil
penelitian Sefa-Dedeh et al. (2004) yang melaporkan pH tepung jagung nikstamal
berkisar antara 7,01-7,88 dan pH tepung jagung nikstamal varietas Meksiko
berkisar antara 6,2-6,9 (Flores-Faras et al. 2000).

Kekuatan Gel
Kekuatan gel menunjukkan besarnya beban yang diberikan pada saat gel
mulai pecah. Nilai kekuatan gel tepung jagung berkisar antara 53,00-104,15 gf
(Tabel 12). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 8 menunjukkan
adanya pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
terhadap kekuatan gel tepung jagung (p 0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan
interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan
adanya perbedaan pola respon kekuatan gel pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda.

Tabel 12 Kekuatan gel tepung jagung pada kombinasi perlakuan


konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
55

Konsentrasi Kekuatan gel


Lama Pemasakan
Ca(OH)2 (gf)
0 menit 60,75 5,02 e
5 menit 101,95 0,07 a
0% 10 menit 104,15 1,48 a
15 menit 91,20 0,85 b
20 menit 77,05 1,20 cd
0 menit 69,60 7,50 d
5 menit 97,50 2,69 ab
0,25% 10 menit 96,45 6,58 ab
15 menit 81,25 2,19 c
20 menit 72,25 1,91 cd
0 menit 43,90 4,53 f
5 menit 77,10 1,22 cd
0,5% 10 menit 72,40 1,70 cd
15 menit 53,00 5,94 e
20 menit 59,40 6,93 e
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Kekuatan gel tepung jagung perlakuan Ca(OH)2 0,5% lebih rendah


dibandingkan kekuatan gel tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 dan kekuatan
gel tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25%. Kekuatan gel tepung
jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 secara umum tidak berbeda secara signifikan
dengan kekuatan gel tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25% kecuali
pada perlakuan tanpa dimasak dan lama pemasakan 15 menit. Hasil ini didukung
oleh hasil penelitian Zobel (1988) diacu dalam Mondrag n et al. (2006) yang
melaporkan bahwa rendahnya kekuatan gel pada pati jagung nikstamal yang
diberi perlakuan pemasakan dalam larutan Ca(OH)2 dengan konsentrasi di atas
0,2% dapat disebabkan oleh ion-ion Ca2+ menghambat kristalisasi kembali
molekul pati selama pendinginan gel sehingga menghasilkan jaringan gel yang
lemah. Stabilisasi jaringan gel berhubungan dengan pengembangan struktur
kristalin karena penggabungan kembali molekul amilosa.
Kekuatan gel tepung jagung pada semua perlakuan Ca(OH)2 cenderung
meningkat pada perlakuan pemasakan hingga 10 menit, kemudian menurun jika
pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Denaturasi protein dan pregelatinisasi pati
yang terjadi selama precooking biji chickpea dapat memfasilitasi pembentukan
jaringan gel tepung chickpea yang kuat (Ma et al. 2011). Perlakuan pemasakan
56

biji jagung di atas 10 menit menyebabkan banyak padatan yang leaching ke dalam
medium pemasakan sehingga jumlah molekul pati yang akan bergabung kembali
pada saat pendinginan menjadi lebih sedikit.
Stabilisasi jaringan gel berhubungan dengan pengembangan struktur
kristalin lokal karena penggabungan kembali molekul amilosa (Mondrag n et al.
2006). Menurut Collado & Corke (1999), peningkatan leaching amilosa akan
meningkatkan kekuatan gel. Oleh karena proses nikstamalisasi dapat menghambat
leaching amilosa, maka tepung jagung yang diberi perlakuan pemasakan dalam
larutan Ca(OH)2 akan menghasilkan gel yang lemah. Lebih lanjut Takashi et al.
(1989) melaporkan bahwa terjadi penurunan kekuatan gel pada pati jagung dan
pati gandum yang dimodifikasi ikatan silang.
Nilai pH tepung jagung juga memengaruhi kekuatan gel yang dihasilkan.
Gambar 7 menunjukkan adanya korelasi negatif antara pH dengan kekuatan gel
tepung jagung (r = -0,610, p 0,01). Semakin tinggi pH tepung jagung yang
dihasilkan, maka akan semakin rendah kekuatan gel adonan jagung. Hasil ini
didukung oleh hasil penelitian Aini (2009) yang menyatakan bahwa kekuatan gel
tepung jagung yang didapat melalui proses fermentasi spontan semakin rendah
dengan meningkatnya nilai pH tepung jagung tersebut.

120
100
Kekuatan gel (gf)

80
60
40 r = -0,610

20
0
6 6,5 7 7,5 8
pH

Gambar 7 Hubungan antara pH dengan kekuatan gel tepung jagung pada


kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Pada pH yang rendah, pati lebih cepat tergelatinisasi dan akan menghasilkan
gel yang kuat. Pada pH rendah yang sangat ekstrim akan menyebabkan hidrolisis
57

pati, dimana bagian amorf granula pati akan dipecah terlebih dahulu sedangkan
bagian kristalin dihidrolisis pada kecepatan yang lebih rendah. Pada penelitian ini
tepung jagung yang digunakan memiliki kisaran pH 6,47 sampai 7,91 sehingga
belum terjadi hidrolisis pati. Menurut Kilara (2006), gel paling lemah terbentuk
pada pH asam yang ekstrim (pH 1-2) dan pH sangat basa (pH > 10), sedangkan
pada pH 12 tidak terbentuk gel.
Kemampuan gel dalam mengikat air dapat memengaruhi kekuatan gel.
Semakin tinggi nilai kekuatan gel berarti semakin tinggi kemampuan gel tersebut
dalam menyerap air. Hal ini dapat dilihat dengan adanya korelasi antara kekuatan
gel dengan kapasitas penyerapan air tepung jagung (r = 0,753; p 0,01) (Gambar
8).

120
100
Kekuatan gel (gf)

80
60
40
r = 0,753
20
0
7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)

Gambar 8 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan kekuatan gel


tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
dan lama pemasakan

Nilai kekuatan gel merupakan parameter tepung jagung yang penting dalam
pembuatan bubur jagung instan MP-ASI. Karakteristik tepung jagung yang
diinginkan dalam pembuatan bubur instan MP-ASI adalah tepung jagung yang
memiliki kemampuan membentuk gel yang lemah.

Densitas Kamba
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan
volume ruang yang ditempati dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas
58

kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan. Perhitungan densitas kamba ini
sangat penting, selain dalam hal konsumsi terutama juga dalam hal pengemasan
dan penyimpanan. Makanan dengan densitas kamba yang tinggi menunjukkan
kepadatan produk ruang yang kecil.
Densitas kamba tepung jagung berkisar antara 0,1375-0,2249 g/ml (Tabel
13). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 9 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap
densitas kamba tepung jagung (p 0,05). Interaksi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon
densitas kamba pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan yang berbeda.

Tabel 13 Densitas kamba tepung jagung pada kombinasi perlakuan


konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Densitas Kamba
Lama Pemasakan
Ca(OH)2 (g/ml)
0 menit 0,2053 0,0040 cd
5 menit 0,1915 0,0018 gh
0% 10 menit 0,1870 0,0020 h
15 menit 0,1533 0,0012 i
20 menit 0,1375 0,0010 j
0 menit 0,2001 0,0033 def
5 menit 0,1982 0,0023 ef
0,25% 10 menit 0,1943 0,0022 fg
15 menit 0,1952 0,0019 fg
20 menit 0,1906 0,0021 gh
0 menit 0,2249 0,0029 a
5 menit 0,2236 0,0025 a
0,5% 10 menit 0,2163 0,0045 b
15 menit 0,2085 0,0036 c
20 menit 0,2032 0,0040 cde
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Nilai densitas kamba tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 lebih rendah
dibandingkan nilai densitas kamba tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2.
Nilai densitas kamba semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2.
Hal ini diduga tingkat gelatinisasi tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 lebih
59

rendah dibandingkan tingkat gelatinisasi tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2.


Fernndez-Mun z et al. (2007) melaporkan bahwa gelatinisasi pati dapat
dihambat oleh ion kalsium dengan cara mendorong terjadinya agregasi dan
interaksi ikatan silang. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu penyebab
besarnya nilai densitas kamba pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2
(nikstamalisasi). Pernyataan ini didukung oleh pendapat Case et al. (1992) yang
menjelaskan bahwa jika gelatinisasi meningkat, volume produk juga meningkat
sehingga nilai densitas kamba menjadi lebih kecil begitu juga sebaliknya.
Densitas kamba tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 semakin menurun
dengan semakin lamanya pemasakan, begitu juga halnya dengan densitas kamba
tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2. Menurunnya nilai densitas kamba pada
tepung jagung disebabkan oleh semakin tingginya tingkat gelatinisasi pati pada
tepung jagung. Densitas kamba tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 menurun
cukup tajam pada lama pemasakan di atas 10 menit sedangkan densitas kamba
tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 tidak terlalu tajam. Pada tepung jagung
dengan perlakuan Ca(OH)2, keberadaan ion-ion Ca2+ dapat menghambat proses
gelatinisasi pati, sehingga penurunan densitas kamba tidak terlalu tajam. Tepung
jagung yang diberi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% dan tanpa pemasakan
memiliki nilai densitas kamba yang paling besar, sedangkan tepung jagung yang
tanpa diberi perlakuan Ca(OH)2 dan lama pemasakan 20 menit memiliki nilai
densitas kamba paling kecil.
Nilai densitas kamba yang kecil berarti bahan tersebut membutuhkan
volume yang besar untuk sejumlah kecil bahan atau dengan perkataan lain
semakin kamba bahan tersebut. Sementara untuk makanan bayi diperlukan bahan
yang tidak kamba atau nilai densitas kamba yang besar.

Wettability
Wettability adalah waktu yang dibutuhkan oleh sampel tepung dalam
menyerap air. Untuk itu kualitas tepung jagung pregelatinisasi yang dihasilkan
salah satunya adalah daya dispersi yang dimilikinya. Semakin besar daya dispersi
bahan pangan, maka bahan pangan tersebut akan semakin mudah larut tanpa harus
dilakukan pengadukan. Menurut Bahrie (2005), faktor-faktor yang memengaruhi
60

daya dispersi suatu bahan pangan adalah porositas, polaritas dan komposisi kimia
bahan.
Barbosa-Canovas & Vega-Mercado (1996) menjelaskan bahwa terdapat
beberapa sifat fungsional dari bahan yang dikeringkan, yaitu 1) wettability,
merupakan kemampuan tepung untuk menyerap air. Sifat ini dipengaruhi oleh
proses aglomerasi, jumlah yang terserap, adanya partikel non-aglomerat;
2) sinkability, merupakan kemampuan tepung untuk tenggelam setelah dibasahi.
Sifat ini dipengaruhi oleh densitas partikel; 3) kelarutan, merupakan kecepatan
untuk melarut atau disebut juga dengan total kelarutan. Sifat ini dipengaruhi oleh
daya pengembangan; 4) dispersibility, merupakan kemampuan tepung untuk
terdistribusi seluruhnya pada air tanpa membentuk gumpalan. Sifat ini
dipengaruhi oleh ukuran partikel dan keberadaan aglomerat.
Nilai wettability tepung jagung berkisar antara 13,25-135,00 detik (Tabel
14). Hasil analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 10 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap
wettability tepung jagung (p 0,05). Interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon wettability pada
kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda.
Wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% jauh lebih
besar dibandingkan wettability tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 dan
wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25%. Semakin
tingginya nilai wettability dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2 dapat
disebabkan oleh interaksi ion Ca2+ dengan molekul pati. Mondrag n et al. (2006)
melaporkan pada konsentrasi Ca(OH)2 yang tinggi, ion-ion Ca2+ cenderung
menumpuk pada permukaan granula pati sehingga menghalangi penyerapan air
oleh granula pati dan menghasilkan nilai wettability yang besar.
Tabel 14 Wettability tepung jagung pada kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Wettability
Lama Pemasakan
Ca(OH)2 (detik)
0 menit 32,75 2,22 f
5 menit 15,75 1,71 h
0%
10 menit 13,25 0,96 h
15 menit 13,50 1,29 h
61

20 menit 13,25 0,96 h


0 menit 38,75 2,22 e
5 menit 15,25 0,50 h
0,25% 10 menit 15,75 0,96 h
15 menit 25,75 2,99 g
20 menit 41,75 2,06 e
0 menit 82,00 4,97 d
5 menit 85,75 5,12 d
0,5% 10 menit 96,25 2,63 c
15 menit 111,00 3,16 b
20 menit 135,00 4,24 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Wettability tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 cenderung menurun


dengan semakin lamanya pemasakan. Hal ini disebabkan oleh perlakuan
pemasakan dapat meningkatkan gelatinisasi pati. Gomez dan Aguilera (1983)
menjelaskan daya dispersi dan indeks penyerapan air bahan dipengaruhi oleh
adanya denaturasi protein, gelatinisasi pati dan pembengkakan serat kasar yang
terjadi selama proses pengolahan. Semakin besar jumlah pati yang tergelatinisasi,
semakin besar pula kemampuan produk untuk menyerap air.
Wettability tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25% cenderung
menurun pada perlakuan lama pemasakan hingga 10 menit kemudian meningkat
jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit, sedangkan wettability tepung jagung
perlakuan konsentrasi 0,5% cenderung meningkat dengan semakin lamanya
pemasakan. Hal ini mengindikasikan semakin lama pemasakan maka semakin
banyak ion-ion Ca2+ yang menghalangi penyerapan air tepung jagung. Tepung
jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 memiliki nilai wettability yang tidak berbeda
secara signifikan dengan tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25%
pada lama pemasakan 5 dan 10 menit, sedangkan pada perlakuan tanpa dimasak
dan lama pemasakan 15 dan 20 menit, nilai wettability tepung jagung yang diberi
perlakuan Ca(OH)2 0,25% lebih tinggi.
Nilai wettability yang besar menunjukkan bahwa tepung jagung tersebut
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbasahi dengan perkataan lain sulit
untuk menyerap air. Semakin besar kapasitas penyerapan air, semakin rendah nilai
62

wettability. Hal ini menyebabkan adanya korelasi negatif antara kapasitas


penyerapan air dengan nilai wettability (r = -0,869; p 0,01) (Gambar 9).

8,6

Kapasitas penyerapan air


8,5
8,4
8,3
8,2

(g/g bk)
8,1
8
7,9
7,8
7,7 r = -0,869
7,6
7,5
0 25 50 75 100 125 150
Wettability (detik)

Gambar 9 Hubungan antara wettability dengan kapasitas penyerapan air


tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
dan lama pemasakan

Sifat Reologi Tepung Jagung


Analisis sifat reologi tepung jagung dilakukan dengan menggunakan alat
Rapid Visco Analyzer (RVA). RVA lebih praktis digunakan karena waktu
pengukuran lebih singkat dan sampel yang diperlukan lebih sedikit. Parameter-
paramater yang dapat diketahui dari viscoamylogram hasil pengukuran
menggunakan RVA antara lain: viskositas puncak, viskositas pasta panas,
breakdown, viskositas pasta dingin dan setback.
Menurut Mondrag n et al. (2006), reologi tepung jagung nikstamal
dipengaruhi oleh ikatan silang yang terbentuk antara molekul pati dan derajat
ikatan silang tersebut tergantung pada konsentrasi kapur dan lama pemasakan
selama proses nikstamalisasi. Lebih lanjut Rodrguez et al. (1996) menjelaskan
perlakuan alkali mendorong terjadinya perubahan struktur pati karena adanya
ikatan silang antara molekul pati melalui pembentukan jembatan kalsium.

Viskositas Puncak (Peak Viscosity)


Viskositas puncak merupakan titik puncak viskositas adonan pada proses
pemanasan atau kondisi dimana granula pati mencapai pengembangan maksimum
63

sehingga selanjutnya akan pecah. Parameter ini dapat digunakan sebagai indikator
kemudahan jika dimasak dan juga menunjukkan kekuatan adonan yang terbentuk
dari gelatinisasi selama pengolahan dalam aplikasi makanan.
Nilai viskositas puncak tepung jagung berkisar antara 372-536 cp (Tabel
15). Analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 11 menunjukkan adanya
pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap
viskositas puncak tepung jagung (p 0,05). Interaksi antara perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon
viskositas puncak pasta tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda.
Viskositas puncak tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% lebih
rendah dibandingkan viskositas puncak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2
dan tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25%. Semakin tinggi
konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan dalam proses nikstamalisasi, maka semakin
rendah viskositas puncak tepung jagung yang dihasilkan. Ikatan silang yang
terbentuk antara ion Ca2+ dengan gugus hidroksil pati memungkinkan terjadinya
penurunan viskositas puncak pada tepung jagung nikstamal. Viskositas puncak
tepung jagung perlakuan Ca(OH)2 0,5% yang lebih rendah dapat dijelaskan
sebagai berikut: pada tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2, molekul amilosa
dan amilopektin pati hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen lemah, sementara
energi kinetik air semakin tinggi yang selanjutnya dapat masuk ke dalam molekul
pati dan granula menjadi membengkak. Pada tepung jagung perlakuan Ca(OH)2,
ikatan yang dimiliki pati tidak hanya ikatan hidrogen lemah, tetapi lebih diperkuat
dengan adanya ikatan silang antara molekul pati dengan ion Ca2+. Hal ini dapat
membatasi pembengkakan granula dan menghasilkan viskositas puncak yang
rendah. Namun viskositas puncak tepung jagung perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
0,25% tidak berbeda nyata dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa
perlakuan Ca(OH)2 kecuali pada lama pemasakan 20 menit.

Tabel 15 Viskositas puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi


Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi
Lama Pemasakan Viskositas puncak
Ca(OH)2
64

0 menit 532 9,19 a


5 menit 536 17,68 a
0% 10 menit 525 9,19 a
15 menit 515 1,41 ab
20 menit 519 32,53 a
0 menit 510 17,68 ab
5 menit 515 12,73 ab
0,25% 10 menit 506 9,19 ab
15 menit 479 4,95 bc
20 menit 443 2,12 dc
0 menit 428 20,51 d
5 menit 439 24,75 d
0,5% 10 menit 452 21,21dc
15 menit 372 23,33 e
20 menit 384 6,36 e
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom
menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%.

Perlakuan lama pemasakan tidak memberikan hasil yang berbeda secara


signifikan terhadap viskositas puncak tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2.
Viskositas puncak tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 semakin menurun
dengan semakin lamanya pemasakan. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak
terbentuk ikatan silang antar molekul pati dengan semakin lama pemasakan,
sehingga menghambat kemampuan granula pati untuk mengembang.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Karim et al. (2007) yang
melaporkan terjadinya penurunan viskositas puncak pada pati yang diberi
perlakuan alkali. Hal ini disebabkan pada pati yang diberi perlakuan alkali, daerah
amorf sebagian besar dirusak oleh perlakuan alkali, sehingga menyebabkan
lemahnya struktur granula. Oleh karena itu, jika gaya geser (shear) diaplikasi
pada pati selama pasting, maka granula tidak dapat mempertahankan kapasitas
pembengkakan maksimum sehingga menurunkan viskositas puncak.
Penurunan viskositas puncak mengindikasikan terjadi pula penurunan
kemampuan untuk mengembang dan polimer yang lepas selama pemanasan
(amylosa leaching). Hal tersebut berdasarkan Newport Scientific (1998) diacu
dalam Beta dan Corke (2001), bahwa viskositas puncak mengindikasikan
kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi positif dengan kualitas produk
akhir yaitu pengembangan volume dan polimer yang lepas. Hal ini sesuai dengan
65

hasil penelitian ini dimana viskositas puncak berkorelasi positif dengan swelling
volume (r= 0,815, p 0,01), kelarutan (r = 0,858; p 0,01) dan kapasitas
penyerapan air (r = 0,851; p 0,01 ). Korelasi positif antara viskositas puncak
dengan swelling volume, kelarutan dan kapasitas penyerapan air dapat dilihat pada
Gambar 10, 11 dan 12.

600

500
Viskositas puncak (cp)

400
r = 0,830
300

200

100

0
8,00 8,50 9,00 9,50 10,00
Swelling volume (ml/g)

Gambar 10 Hubungan antara swelling volume dengan viskositas puncak


tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
dan lama pemasakan

600
Viskositas puncak (cp)

500
400
300 r = 0,815
200
100
0
20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00
Kelarutan (%bk)

Gambar 11 Hubungan antara kelarutan dengan viskositas puncak tepung


jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan
66

600

Viskositas puncak (cp)


500

400

300 r = 0,851

200

100

0
7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)

Gambar 12 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan viskositas


puncak tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan

Semakin tinggi pH, semakin rendah viskositas puncak tepung jagung.


Hubungan antara viskositas puncak dengan pH (r = -0,890, p 0,01) dapat dilihat
pada Gambar 13. Hal ini sesuai dengan penelitian Mestres et al. (1996) dan Aini
(2009) bahwa viskositas maksimum adonan jagung semakin kecil dengan
meningkatnya nilai pH.

600
Viskositas puncak (cp)

550
500
450
400
350 r = -0,890
300
250
200
6,00 6,50 7,00 7,50 8,00
pH

Gambar 13 Hubungan antara nilai pH dengan viskositas puncak tepung


jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan
67

Viskositas Pasta Panas (Trough Viscosity) dan Breakdown


Parameter viskositas pasta panas dan breakdown terkait satu sama lain
karena breakdown merupakan selisih antara viskositas puncak dengan viskositas
pasta panas. Penurunan nilai viskositas pasta panas umumnya diikuti dengan
peningkatan breakdown. Namun demikian, pada kondisi tertentu penurunan
viskositas pasta panas tidak selalu diiringi dengan peningkatan breakdown.
Apabila viskositas pasta panas dan viskositas puncak pasta menurun secara
proporsional maka breakdown akan cenderung tetap.
Viskositas pasta panas merupakan indeks kemudahan pemasakan dan
merefleksikan kelemahan granula dalam mengembang. Breakdown merupakan
nilai penurunan ketika suspensi pati dipanaskan pada suhu 95 0C. Breakdown
menunjukkan stabilitas adonan selama proses pemasakan. Breakdown merupakan
selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta panas. Nilai viskositas
pasta panas dan breakdown tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Viskositas pasta
Lama Pemasakan Breakdown (cp)
Ca(OH)2 panas (cp)
0 menit 98 2,12 g 434 11,31 a
5 menit 139 8,49 cde 397 9,19 b
0% 10 menit 173 4,95 a 352 4,24 cd
15 menit 170 3,54 a 346 4,95 d
20 menit 139 5,66 cde 380 26,87 bc
0 menit 107 3,54 g 403 21,21 b
5 menit 143 7,07 cd 372 5,66 bcd
0,25% 10 menit 158 4,24 b 348 4,95 d
15 menit 139 3,54 cde 341 2,12 d
20 menit 134 0,00 de 309 2,12 e
0 menit 81 1,41 h 347 21,92 d
0,5%
5 menit 132 6,36 ef 307 18,38 e
68

10 menit 150 6,36 cb 303 14,85 e


15 menit 123 4,24 f 249 19,09 f
20 menit 133 0,00 def 251 6,36 f
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%.

Viskositas pasta panas tepung jagung berkisar antara 81-173 cp dan


breakdown tepung jagung berkisar antara 249-434 cp. Analisis ragam yang
disajikan pada Lampiran 12 dan 13 menunjukkan adanya pengaruh interaksi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap viskositas pasta
panas dan breakdown tepung jagung. Interaksi antara perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 dan lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon
viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung pada kombinasi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan yang berbeda.
Secara umum viskositas pasta panas dan breakdown tepung jagung tanpa
perlakuan Ca(OH)2 lebih tinggi dibandingkan viskositas pasta panas dan
breakdown tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2. Breakdown cenderung
menurun dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2. Hal ini mengindikasikan
bahwa perlakuan nikstamalisasi (pemasakan dalam larutan Ca(OH)2) dapat
menyebabkan struktur granula pati lebih stabil terhadap pemasakan dan kurang
memiliki kecenderungan untuk mengalami penurunan viskositas selama
pemasakan dan pengadukan. Stabilitas struktur granula dapat disebabkan adanya
ion-ion Ca2+ yang berikatan dengan molekul pati sehingga meningkatkan
kekuatan ikatan di dalam granula dan dengan demikian menurunkan breakdown
pasta tepung.
Breakdown tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 cenderung menurun
pada lama pemasakan hingga 15 menit dan kemudian sedikit meningkat jika lama
pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Breakdown tepung jagung dengan
perlakuan Ca(OH)2 semakin menurun dengan semakin lamanya pemasakan. Hal
ini disebabkan semakin lama pemasakan maka semakin banyak jembatan kalsium
intermolekuler dan ikatan silang yang terbentuk sehingga meningkatkan kekuatan
antar molekul pati.
69

Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah indeks kemudahan


pemasakan. Gambar 14 menunjukkan adanya korelasi negatif antara pH dan
breakdown tepung jagung (r = -0,788; p 0,01). Semakin besar kapasitas
penyerapan air pada suatu bahan, semakin kuat mengikat air dan hal ini juga
menyebabkan adonan lebih stabil selama pemanasan. Korelasi positif antara
kapasitas penyerapan air dengan breakdown (r = 0,670, p 0,01) dapat dilihat
pada Gambar 15. Hal ini sesuai dengan penelitian Henshaw et al. (1996) bahwa
perbedaan viskositas merupakan variasi penyerapan air.

500
450
Breakdown (cp)

400
350
300
250 r = -0,788
200
150
6 6,5 7 7,5 8
pH

Gambar 14 Hubungan antara pH dengan breakdown tepung jagung pada


kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan

500
450
400
Breakdown (cp)

350
300
250
200
150 r = 0,670
100
50
0
7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6
Kapasitas penyerapan air (g/g bk)
70

Gambar 15 Hubungan antara kapasitas penyerapan air dengan breakdown


tepung jagung pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2
dan lama pemasakan

Viskositas Pasta Dingin (Final Viscosity) dan Setback


Kecenderungan retrogradasi dapat dilihat dari viskositas pasta dingin dan
setback. Selama pendinginan, bergabungnya kembali antar molekul pati terutama
amilosa akan menghasilkan pembentukan struktur gel dan viskositas akan
meningkat ke viskositas pasta dingin. Peningkatan viskositas pada saat
pendinginan menentukan kecenderungan bergabungnya kembali pati yang
merefleksikan kecenderungan produk untuk teretrogradasi (Hagenimana et al.
2006). Namun apabila kecenderungan untuk bergabung kembali tersebut lemah,
ikatan hidrogen akan terbentuk secara lambat.
Setback atau perubahan viskositas selama pendinginan diperoleh dari selisih
antara viskositas pasta dingin dengan viskositas pasta panas. Semakin tinggi nilai
setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk
gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback
menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Hal tersebut
didasarkan pada pengertian retrogradasi yaitu terbentuknya jaringan mikrokristal
dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan
percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta didinginkan (Winarno
2004). Menurut Beta dan Corke (2001), setback dapat digunakan untuk mengukur
kemampuan kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi selama
pendinginan.
Nilai viskositas pasta dingin dan setback tepung jagung berkisar antara 170-
336 cp dan 89-167 cp (Tabel 17). Hasil analisis ragam yang disajikan pada
Lampiran 14 dan 15 menunjukkan adanya pengaruh interaksi perlakuan
konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan terhadap viskositas pasta dingin dan
setback tepung jagung (p 0,05). Interaksi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan
lama pemasakan menyebabkan adanya perbedaan pola respon viskositas pasta
dingin dan setback pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan yang berbeda.
71

Tabel 17 Viskositas pasta dingin dan setback tepung jagung pada kombinasi
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
Konsentrasi Viskositas pasta Setback
Lama Pemasakan
Ca(OH)2 dingin (cp) (cp)
0 menit 224 0,71 i 126 1,41 e
5 menit 299 15,56 cde 160 7,07 ab
0% 10 menit 336 7,07 a 164 2,12 a
15 menit 323 0,71 ab 153 2,83 b
20 menit 273 14,85 fg 134 9,19 de
0 menit 246 1,41 h 140 4,95 d
5 menit 310 8,49 bcd 167 1,41 a
0,25% 10 menit 315 8,49 bc 157 4,24 ab
15 menit 290 3,54 ef 151 0,00 bc
20 menit 268 1,41 g 134 1,41 de
0 menit 170 4,24 j 89 5,66 f
5 menit 271 12,02 g 139 5,66 d
0,5% 10 menit 292 11,31 de 143 4,95 cd
15 menit 248 9,19 h 125 4,95 e
20 menit 257 1,41 gh 124 1,41 e
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%

Viskositas pasta dingin tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 0,5%


lebih rendah dibandingkan viskositas pasta dingin tepung jagung tanpa perlakuan
Ca(OH)2 dan tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 0,25%. Hasil penelitian
ini serupa dengan hasil penelitian Sefa-Dedeh (1991) diacu dalam Sefa-Dedeh et
al. (2004) yang melaporkan terjadinya penurunan viskositas secara drastis pada
hasil pengukuran amilografi pada tepung jagung yang diberi perlakuan kapur.
Penurunan viskositas yang nyata terlihat pada viskositas pasta dingin. Penurunan
viskositas, khususnya selama periode pendinginan kemungkinan dapat disebabkan
oleh jenuhnya gugus hidroksil pati oleh ion Ca2+ dan Ca(OH)+ sehingga mencegah
penggabungan kembali molekul-molekul pati dan menghasilkan viskositas pasta
dingin yang rendah.
Viskositas pasta dingin tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2 cenderung
meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga 15 menit, kemudian menurun
jika pemanasan diteruskan hingga 20 menit. Viskositas pasta dingin tepung
jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 mencapai nilai maksimum pada lama
72

pemasakan 10 menit kemudian menurun jika lama pemasakan diperpanjang


hingga 20 menit.
Setback tepung jagung memiliki pola yang serupa dengan viskositas pasta
dinginnya, dimana tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 0,5% memiliki
setback yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung tanpa perlakuan Ca(OH)2
dan tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 0,25%. Rendahnya nilai setback
pada tepung jagung dengan perlakuan Ca(OH)2 0,5% berkaitan dengan interaksi
molekul pati dengan ion-ion Ca2+. Nadiha et al. (2010) melaporkan bahwa
penurunan setback pada pati jagung yang diberi perlakuan alkali dapat disebabkan
oleh adanya ion-ion yang membatasi kecenderungan molekul pati untuk
bergabung kembali sehingga menyebabkan rendahnya setback.
Setback tepung jagung baik tanpa perlakuan Ca(OH)2 maupun dengan
perlakuan Ca(OH)2 cenderung meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga
10 menit, kemudian menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20 menit. Data
setback ini memiliki keterkaitan dengan kekuatan gel tepung jagung, dimana
semakin tinggi setback suspensi tepung jagung, maka semakin kuat pula gel yang
dihasilkan (r = 0,916; p 0,01) (Gambar 16).

120
100
Kekuatan gel (gf)

80
60
40 r = 0,916
20
0
70 90 110 130 150 170 190
Setback (cp)

Gambar 16 Hubungan antara setback dengan kekuatan gel tepung jagung


pada kombinasi perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama
pemasakan
73

Semakin tinggi pH tepung jagung, kecenderungan terjadinya retrogradasi


semakin lambat. Hal ini menyebabkan adanya korelasi antara nilai pH dengan
setback tepung jagung (r = -0,505; p 0,01) (Gambar 17). Hasil ini didukung oleh
penelitian Aini (2009) yang melaporkan bahwa setback tepung jagung yang diberi
perlakuan fermentasi spontan menurun dengan meningkatnya nilai pH tepung
jagung.

180

160
Setback (cp)

140

120
r = -0,505
100

80
6 6,5 7 7,5 8
pH

Gambar 17 Hubungan antara setback dengan pH tepung jagung pada kombinasi


perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan

Pada saat gelatinisasi, amilosa keluar dari granula pati dan dapat
membentuk kompleks amilosa-lemak. Pembentukan kompleks ini juga dapat
mengurangi kecenderungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan
teretrogradasi sehingga menghambat kecepatan pengerasan selama pemanasan
(Singh et al. 2006). Penurunan setback penting untuk karakteristik tepung yang
akan digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI (Muyonga et al. 2001).

Karakteristik Bubur Jagung Instan MP-ASI


Penentuan Formulasi
Formulasi MP-ASI yang dibuat pada penelitian ini adalah formulasi dasar
dengan menggunakan bahan-bahan yang merupakan sumber zat gizi makro
(karbohidrat, protein dan lemak) tanpa penambahan zat gizi mikro (vitamin dan
mineral). Perbedaan pada kedua formulasi adalah jumlah masing-masing bahan
74

penyusun yang ditambahkan. Oleh karena pada pembuatan bubur MP-ASI ini
tidak ditambahkan zat gizi mikro maka pemilihan formulasi bubur MP-ASI
mengacu kepada kandungan zat gizi makronya. Formulasi bubur jagung MP-ASI
yang akan dipilih adalah formulasi yang telah memenuhi persyaratan zat gizi
makro MP-ASI bubuk instan berdasarkan SNI 01-7111.1-2005. Kandungan zat
gizi makro (untuk 100 gram produk) MP-ASI bubuk instan berdasarkan SNI 01-
7111.1-2005 adalah protein sebesar 8-22 gram, lemak sebesar 6-15 gram dan
energi minimal 400 kilokalori.
Sumber karbohidrat utama yang digunakan dalam pembuatan bubur jagung
MP-ASI adalah tepung jagung yang diperoleh pada penelitian tahap I. Tepung
jagung yang digunakan pada pembuatan bubur MP-ASI ini adalah tepung jagung
dengan perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25% dengan lama pemasakan 15 menit
dan tepung jagung tanpa perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dengan lama pemasakan
15 menit (Gambar 18). Secara visual tidak terlihat perbedaan antara kedua jenis
tepung tersebut. Pemilihan tepung jagung nikstamal dengan perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 0,25% dan lama pemasakan 15 menit dalam pembuatan bubur MP-ASI
dikarenakan tepung jagung tersebut memiliki kapasitas penyerapan air, kekuatan
gel dan kekentalan yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung nikstamal pada
perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,25% dan lama pemasakan 5 dan 10 menit.
Tepung jagung dengan lama pemasakan 20 menit tidak sesuai digunakan di dalam
pembuatan bubur MP-ASI karena memiliki wettability yang lebih tinggi dan
menghasilkan aroma yang tidak diinginkan. Tepung jagung perlakuan konsentrasi
Ca(OH)2 0,5% sulit terdispersi di dalam air dingin ditandai dengan nilai
wettabilitynya yang tinggi yaitu berkisar antara 82-135 detik, sehingga tidak
sesuai digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI. Namun pada tahap penentuan
formulasi hanya digunakan tepung jagung nikstamal (konsentrasi Ca(OH)2 0,25%
dan lama pemasakan 15 menit).
Bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan bubur jagung MP-ASI
adalah susu bubuk skim sebagai sumber protein, minyak kelapa sawit sebagai
sumber lemak, dan gula bubuk untuk memberikan rasa manis. Produk bubur
jagung MP-ASI dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan secara merata karena
bahan yang digunakan sudah dalam bentuk matang.
75

(a) (b)

Gambar 18 Tepung jagung dengan perlakuan lama pemasakan 15 menit:


(a) penggunaan Ca(OH)2 0,25% dan (b) tanpa penggunaan
Ca(OH)

Kandungan gizi kedua formulasi bubur jagung MP-ASI dapat dilihat pada
Tabel 18. Berdasarkan kandungan energi, protein, lemak, dan abu dari kedua
formulasi bubur tersebut, maka bubur jagung MP-ASI formulasi 2 telah
memenuhi persyaratan SNI 01-7111.1-2005, sedangkan bubur jagung MP-ASI
formulasi 1, kandungan lemaknya lebih rendah (4,49% bk) dari kandungan lemak
yang dipersyaratkan dalam SNI 01-7111.1-2005 (6-15%).
Tabel 18 Komposisi kimia bubur jagung instan MP-ASI dengan dua formulasi
yang berbeda
Komposisi kimia Formulasi 1 Formulasi 2
Kadar karbohidrat (%bk) 79,02 0,34 73,92 0,28
Kadar protein (%bk) 13,69 0,02 16,19 0,04
Kadar lemak (%bk) 4,49 0,05 6,70 0,21
Kadar abu (%bk) 2,81 0,31 3,18 0,04
Kadar serat kasar (%bk) 0,91 0,13 0,93 0,04

Dengan bertambahnya susu skim yang digunakan dalam formulasi maka


semakin tinggi kadar protein dan kadar abu bubur jagung MP-ASI. Disamping itu,
penggunaan minyak sawit juga dapat meningkatkan kandungan lemak bubur
jagung MP-ASI.
76

Kandungan Gizi
Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi dua jenis
sampel bubur MP-ASI yang masing-masing dibuat dengan bahan baku tepung
jagung nikstamal dan tepung jagung non-nikstamal. Sebelumnya sudah ditentukan
bahwa bubur MP-ASI formulasi 2 telah memenuhi persyaratan kandungan gizi
MP-ASI bubuk instan menurut SNI 01-7111.1-2005, maka kedua jenis bubur
jagung ini dibuat menggunakan formulasi 2. Perbedaan dari kedua sampel bubur
MP-ASI ini hanyalah penggunaan bahan baku jenis tepung jagung yang berbeda
yaitu tepung jagung yang diproses tanpa perlakuan nikstamalisasi dan tepung
jagung yang diproses dengan perlakuan nikstamalisasi. Pada tahap penentuan
formulasi, tepung jagung yang digunakan dalam pembuatan bubur MP-ASI adalah
tepung jagung nikstamal, sehingga analisis proksimat untuk sampel ini tidak
dilakukan lagi karena sudah didapat data pada tahap penentuan formulasi, hanya
dilakukan analisis kadar kalsium. Pada sampel bubur MP-ASI berbahan baku
tepung jagung non-nikstamal dilakukan analisis proksimat dan kadar kalsium.
Kandungan gizi hasil analisis proksimat dan kadar kalsium bubur jagung MP-ASI
dan bubur MP-ASI komersial dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Kandungan gizi bubur jagung instan MP-ASI


Komposisi Bubur jagung Bubur jagung Bubur Persyaratan SNI
Kimia non-nikstamal nikstamal komersial 01-7111.1-2005
Protein (%bk) 15,53 0,38 16,19 0,04 14,58* 8-22
Lemak (%bk) 6,63 0,35 6,70 0,21 6,25* 6-15
Karbohidrat (%bk) 74,20 0,29 73,92 0,28 70,83* -
Abu (%bk) 3,06 0,20 3,18 0,04 - maks 3,5
Serat kasar (%bk) 0,93 0,06 0,93 0,04 - -
Kalsium (%) 0,57 0,005 0,59 0,002 - min 0,2
Energi (kkal) 418,59 420,74 397,89
Keterangan: * Pembacaaan di label kemasan

Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Produk bubur jagung MP-ASI
yang dihasilkan pada penelitian ini dibandingkan dengan bubur MP-ASI
komersial yang diperuntukkan untuk bayi berusia enam bulan ke atas.
77

Kadar protein pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 15,53% (bk)
untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nisktamal dan 16,19% (bk) untuk
bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal. Kandungan protein pada kedua
sampel bubur jagung MP-ASI ini lebih tinggi dibandingkan kandungan protein
pada bubur MP-ASI komersial yaitu 14,58% (bk). Persyaratan SNI 01-
7111.1.2005 mengenai kandungan protein MP-ASI bubuk instan adalah minimal
8% dan maksimal 22%. Oleh karena itu kandungan protein pada kedua sampel
bubur jagung MP-ASI ini telah sesuai dengan standar.
Kadar lemak pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 6,63% (bk)
untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nikstamal dan 6,70% (bk) untuk
bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal. Kandungan lemak kedua sampel
bubur jagung MP-ASI ini sudah sesuai dengan persyaratan SNI 01-7111.1.2005
mengenai kandungan lemak MP-ASI bubuk instan yaitu minimal 6% dan
maksimal 15%. Jika dibandingkan dengan kandungan lemak bubur MP-ASI
komersial, maka kandungan lemak kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih
tinggi.
Kadar karbohidrat pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI adalah 74,20%
(bk) untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nisktamal dan 73,92% (bk)
untuk bubur berbahan baku tepung jagung nisktamal, sedangkan kandungan
karbohidrat bubur MP-ASI komersial lebih rendah yaitu 70,83% (bk). Begitu juga
dengan kandungan energi untuk kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih tinggi
dibandingkan kandungan energi bubur MP-ASI komersial. Bubur MP-ASI
berbahan baku tepung jagung nikstamal memiliki kandungan zat gizi yang lebih
tinggi (420,74 kkal) dibandingkan bubur berbahan baku tepung jagung non-
nikstamal (418,59).
Kadar kalsium bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal
(0,59% bk) lebih tinggi dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung
jagung non-nikstamal (0,57% bk). Lebih tingginya kadar kalsium pada sampel
bubur jagung MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal ini disebabkan
karena proses pembuatan tepung jagung nikstamal melibatkan proses
nikstamalisasi yaitu pemasakan dan perendaman biji jagung dalam larutan
Ca(OH)2. Selama proses nikstamalisasi, terjadi interaksi antara molekul pati
78

dengan ion Ca2+ dimana ion Ca2+ tersebut berikatan dengan gugus hidroksil pati.
Hal ini menyebabkan kadar kalsium sampel bubur MP-ASI berbahan baku tepung
jagung nikstamal lebih tinggi. Kalsium merupakan mineral, sehingga tingginya
kadar kalsium pada bubur jagung MP-ASI juga memengaruhi kadar abu sampel.
Semakin tinggi kadar kalsium bubur jagung MP-ASI, maka semakin tinggi pula
kadar abunya. Baik kadar kalsium maupun kadar abu kedua bubur jagung MP-
ASI telah memenuhi persyaratan kadar kalsium dan kadar abu MP-ASI pada SNI
01-7111.1.2005. Tingginya kandungan kalsium pada kedua bubur jagung MP-ASI
tersebut dikarenakan penggunaan susu skim yang memiliki kandungan kalsium
yang tinggi. Kadar kalsium dan kadar abu yang dipersyaratkan SNI 01-
7111.1.2005 untuk MP-ASI bubuk instan adalah minimal 0,2% untuk kadar
kalsium dan maksimal 3,5% untuk kadar abu.

Sifat Fisik
Sifat fisik suatu bahan pangan erat kaitannya dengan proses pengolahannya
dan merupakan faktor penentu dalam proses selanjutnya seperti pengemasan,
penyajian dan umur simpan. Sifat fisik yang dianalisis antara lain: densitas
kamba, uji seduh, waktu rehidrasi dan kapasitas penyerapan air. Data hasil analisis
sifat fisik kedua sampel bubur jagung MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Sifat fisik bubur jagung instan MP-ASI


Bubur jagung Bubur jagung Bubur
Sifat Fisik
non-nikstamal nikstamal komersial
Densitas kamba (g/ml) 0,34 0,41 0,52
Uji seduh (ml) 65 51 125
Waktu rehidrasi (detik) 20 23 58
Kapasitas penyerapan air (%) 2,76 2,6 4,06
pH 7,03 7,09 7,05

Densitas Kamba
Selain dinyatakan dengan kandungan protein, lemak dan energi, tingkat
kepadatan gizi suatu produk makanan, terutama makanan bayi dapat dinyatakan
pula dengan nilai densitas kamba. Densitas kamba yang kecil berarti bahan
tersebut membutuhkan volume yang besar untuk sejumlah kecil bahan. Menurut
Hofvander & Underwood (1987) untuk kepentingan konsumsi balita dibutuhkan
79

jenis produk pangan yang memiliki kekambaan minimum, sebab makanan yang
kamba tidak cocok untuk balita mengingat kapasitas perutnya yang masih
terbatas. Selain itu, semakin kecil nilai densitas kamba akan semakin sedikit pula
kandungan gizi yang akan diterima oleh bayi. Bahan pangan yang kamba akan
membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan yang densitas
kambanya besar untuk berat bahan yang sama.
Nilai densitas kamba produk bubur MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 20.
Nilai densitas kamba untuk bubur berbahan baku tepung jagung non-nikstamal
lebih kecil dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal.
Hal ini disebabkan tepung jagung non-nikstamal memiliki nilai densitas kamba
yang lebih kecil dibandingkan nilai densitas kamba tepung jagung nikstamal,
sehingga bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal lebih padat gizi
dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-nikstamal.
Namun jika dibandingkan dengan nilai densitas kamba bubur MP-ASI komersial,
kedua sampel bubur jagung MP-ASI ini memiliki nilai densitas kamba yang lebih
kecil.
Hasil penelitian lain menunjukkan nilai densitas kamba makanan bayi dari
campuran tepung terigu dan dekstrin pati garut sebesar 0,3-0,4 g/ml (Susanty
2002), bubur bayi dari campuran tepung kecambah dengan tepung beras 0,31-0,35
g/ml (Fatmawati 2004), sedangkan Mirdhayati (2004) menyatakan kisaran
densitas kamba sebesar 0,45-0,67 untuk makanan bayi berbahan baku tepung
garut. Jika dibandingkan dengan ketiga hasil penelitian di atas, maka nilai densitas
kamba bubur bayi yang dihasilkan tidak jauh berbeda.
Menurut Wirakartakusumah et al. (1992), adanya perbedaan nilai densitas
kamba ini sangat dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk partikel, gaya tarik menarik
antar partikel bubuk dan penyebaran partikel. Perubahan dari sifat bulk dapat
menyebabkan perubahan pada sifat-sifat produk berbentuk bubuk. Nilai densitas
kamba dari makanan berbentuk bubuk umumnya antara 0,3-0,8 g/ml.
Apabila suatu MP-ASI memiliki nilai densitas kamba yang tinggi tetapi
daya serap airnya pun tinggi maka MP-ASI tersebut kurang baik untuk bayi
karena MP-ASI akan menyerap air banyak sehingga pada tahap penyajiannya,
80

volume MP-ASI akan meningkat setelah diberi air dan ada kemungkinan bubur
yang disajikan tidak habis termakan.

Uji Seduh dan Waktu Rehidrasi


Uji seduh merupakan gambaran dari rasio rehidrasi antara jumlah air yang
ditambahkan dengan jumlah bahan makanan setiap penyajian. Uji ini dilakukan
dengan cara menambahkan air pada bubur MP-ASI yang masih berbentuk bubuk
sampai diperoleh kekentalan bubur yang relatif sama dengan bubur MP-ASI
komersial. Untuk mengetahui kekentalan bubur MP-ASI komersial maka
dilakukan pengukuran viskositas menggunakan viskometer Brookfield. Viskositas
bubur MP-ASI komersial diukur setelah bubur tersebut direhidrasi yaitu dengan
mencampurkan 24 gram bubuk MP-ASI komersial dengan 125 ml air hangat
(60 0C) kemudian diaduk hingga diperoleh kekentalan yang merata. Dari
pengukuran tersebut diperoleh kekentalan bubur MP-ASI komersial adalah 12.085
cp, nilai viskositas ini dijadikan acuan untuk menentukan jumlah air yang
diperlukan untuk merehidrasi kedua sampel bubur jagung MP-ASI. Berat produk
yang digunakan dalam uji seduh ini adalah 24 gram yang merupakan takaran
produk bubur MP-ASI komersial untuk sekali penyajian.
Jumlah air yang ditambahkan saat rehidrasi ini sangat ditentukan oleh
komponen penyusun produk. Sifat kapasitas penyerapan air menentukan jumlah
air yang ditambahkan. Hal ini dibuktikan dengan pengujian sifat kapasitas
penyerapan air masing-masing bubur. Dimana kapasitas penyerapan air yang
rendah memerlukan jumlah air yang sedikit untuk proses rehidrasi.
Jumlah air yang ditambahkan pada bubur jagung MP-ASI dan bubur MP-
ASI komersial per saji dapat dilihat pada Tabel 20. Jumlah air yang ditambahkan
pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI lebih sedikit dibandingkan jumlah air
yang ditambahkan pada bubur MP-ASI komersial. Penambahan air untuk
merehidrasi bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal juga lebih
sedikit dibandingkan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-nikstamal,
sehingga pada kekentalan yang sama volume menjadi lebih kecil. Volume kecil
ini sangat baik bagi makanan bayi karena bayi menjadi tidak cepat kenyang dan
asupan gizinya terpenuhi. Jumlah air yang ditambahkan untuk membentuk bubur
81

MP-ASI tidak boleh terlalu banyak karena dapat menyebabkan perut bayi menjadi
kembung dan kenyang sebelum kebutuhan energinya tercukupi.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Mirdhayati (2004), jumlah air
yang ditambahkan untuk merehidrasi 24 gram bubur garut instan MP-ASI tanpa
penambahan dekstrin adalah sebesar 75 ml atau lebih besar jika dibandingkan
dengan hasil penelitian ini.
Uji waktu rehidrasi dilakukan pada saat produk MP-ASI berbentuk bubuk,
kemudian dilakukan penambahan air dengan jumlah yang didapat pada uji seduh
untuk masing-masing bubur MP-ASI sehingga produk menjadi bubur dengan
kekentalan yang merata. Waktu rehidrasi yang diharapkan pada produk instan
adalah yang lebih singkat sehingga mempermudah proses penyajiannya. Namun
ukuran dan sebaran partikel bubuk, proses pencampuran bahan dan komposisi
bahan penyusun dapat memengaruhi lama penyerapan air. Waktu rehidrasi dapat
ditingkatkan dengan pengadukan. Waktu rehidrasi kedua sampel bubur jagung
MP-ASI lebih singkat dibandingkan waktu rehidrasi bubur MP-ASI komersial
(Tabel 20).

Kapasitas Penyerapan Air


Kapasitas penyerapan air dapat dijadikan pedoman dalam proses rehidrasi
produk instan berbentuk bubuk, karena kapasitas penyerapan air yang tinggi
memerlukan jumlah air yang lebih banyak untuk proses rehidrasinya. Sifat yang
diharapkan dari kapasitas penyerapan air untuk makanan bubur bayi adalah nilai
kapasitas penyerapan air yang rendah karena jika jumlah air yang diperlukan lebih
banyak untuk merehidrasi produk dapat menyebabkan bayi cepat kenyang.
Menurut Hutton dan Campbell (1981), kapasitas penyerapan air suatu bahan
dipengaruhi oleh komponen-komponen penyusunnya seperti protein dan
karbohidrat. Molekul karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam
hingga tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan molekul protein. Selain itu,
beberapa faktor lain yang berpengaruh adalah kemampuan grup-grup polar seperti
karboksil, hidroksil, amina dan sulfidril pada protein untuk menyerap air.
82

Kemampuan molekul protein untuk menyerap untuk menyerap air terutama


berlangsung pada sisi polar asam amino.
Kapasitas penyerapan air dinyatakan dengan banyaknya air yang diserap
tiap gram bahan. Besarnya nilai kapasitas penyerapan air dari kedua formula
bubur bayi dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal memiliki kapasitas
penyerapan air yang lebih rendah (2,60 g/g) dibandingkan bubur bayi berbahan
baku tepung jagung non-nikstamal (2,76 g/g). Hal ini dapat disebabkan karena
tepung jagung nikstamal yang digunakan sebagai bahan baku memiliki kapasitas
penyerapan air yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung non-nikstamal.
Proses nikstamalisasi menyebabkan ion Ca2+ berikatan dengan gugus hidroksil
pati, sehingga mengurangi kemungkinan gugus hidroksil pati untuk berikatan
dengan molekul air. Jika dibandingkan dengan nilai kapasitas penyerapan air
bubur MP-ASI komersial (4,06 g/g), maka nilai kapasitas penyerapan air kedua
sampel bubur jagung MP-ASI ini lebih rendah.
Hasil penelitian lainnya melaporkan kapasitas penyerapan air produk
makanan bayi bervariasi menurut komponen karbohidat penyusunnya. Kapasitas
pengikatan air makanan bayi dari campuran tepung terigu dan dekstrin pati garut
bernilai 0,4 2,3 g/g (Susanty 2002), makanan bayi berbahan baku tepung garut
bernilai 0,59 3,53 g/g (Mirdhayati 2004) dan kapasitas penyerapan air berbahan
baku pisang owak bernilai 2,83 3,33 g/g (Hamid 2000).

Daya Cerna Protein


Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino
oleh enzim-enzim pencernaan dikenal dengan istilah daya cerna protein. Protein
yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi akan mengalami pencernaan
(pemecahan oleh enzim-enzim protease). Nilai gizi suatu protein ditentukan oleh
daya cernanya, yang berarti juga menentukan ketersediaan asam amino secara
biologis. Jika suatu protein memiliki daya cerna tinggi maka sebagian besar asam-
asam aminonya dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sebaliknya, jika protein memiliki
daya cerna yang rendah maka sebagian besar akan dibuang oleh feses (Muchtadi
1989).
83

Salah satu metode pengujian daya cerna protein adalah dengan metode in
vitro. Keuntungan metode ini antara lain adalah praktis atau lebih mudah
diterapkan, biaya lebih murah dan efisien, waktu pengujiannya yang lebih singkat
dari metode in vivo. Pengujian daya cerna in vitro pada hakekatnya adalah meniru
kondisi pencernaan dalam tubuh dengan menggunakan enzim pencernaan dan
kondisi suhu dan pH yang sama dengan kondisi dalam tubuh manusia.
Dalam penelitian ini digunakan larutan multi-enzim yang terdiri dari tripsin,
kimotripsin dan peptidase yang merupakan enzim protease untuk analisis daya
cerna in vitro. Di dalam lambung, enzim pepsin akan memecah protein menjadi
asam-asam amino atau peptida dengan bantuan HCl. Proses pemecahan tersebut
berlanjut baik di dalam usus 12 jari (duodenum) maupun di dalam usus kecil.
Dimana enzim pankreatin bersama enzim-enzim lain di dalam usus kecil
memecah protein secara sempurna menjadi asam-asam amino (Muchtadi 1989).
Berdasarkan data pada Tabel 21, maka dapat diketahui bahwa protein MP-
ASI tersebut memiliki mutu yang baik. Daya cerna kedua sampel bubur jagung
MP-ASI berada di atas 80%, yaitu 86,46% (bk) untuk bubur jagung non-nikstamal
dan 87,36% (bk) untuk bubur jagung nikstamal. Namun daya cerna protein kedua
sampel bubur jagung MP-ASI ini tidak terlalu jauh berbeda dengan daya cerna
protein bubur MP-ASI komersial (88,81% bk). Perbedaan daya cerna antara kedua
sampel bubur jagung MP-ASI dengan bubur MP-ASI komersial disebabkan oleh
perbedaan bahan baku dan bahan-bahan penunjang yang digunakan serta proses
pengolahan yang berbeda.

Tabel 21 Daya cerna protein dan daya cerna pati sampel bubur jagung instan
MP-ASI
Daya cerna protein Daya cerna pati
Sampel
(%bk) (%bk)
Bubur jagung non-nikstamal 86,46 1,28 82,24 0,46
Bubur jagung nikstamal 87,36 0,00 81,07 0,81
Bubur komersial 88,81* 86,14*
Kasein 90,81*
Keterangan: *Hasil penelitian Mirdhayati (2004)
84

Hasil penelitian lain menunjukkan daya cerna protein makanan bayi dari
campuran tepung terigu dan dekstrin pati garut sebesar 86-87% dan bubur bayi
nestle sebesar 86% (Susanty 2002), sedangkan daya cerna protein makanan bayi
berbahan baku tepung garut berkisar antara 87,18-87,26% (Mirdhayati 2004). Jika
dibandingkan dengan dua hasil penelitian di atas, maka nilai daya cerna protein
kedua sampel bubur jagung MP-ASI yang dihasilkan tidak jauh berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian Mitchell dan Grundel (1986) mengenai daya
cerna protein in vitro untuk produk makanan bayi yang berbentuk tepung berkisar
antara 85-88% untuk produk berbahan baku susu dan 88-89% untuk produk
berbahan baku kedelai. Dengan demikian daya cerna protein MP-ASI yang
diperoleh dalam penelitian ini termasuk dalam kisaran produk berbahan baku
susu. Umumnya hasil analisis secara in vitro lebih rendah daripada hasil analisis
secara in vivo.

Daya Cerna Pati


Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati untuk
menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Pengukuran daya cerna
pati dapat dilakukan secara in vitro. Beberapa hal yang menyebabkan penurunan
daya cerna pati di antaranya adalah penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada
waktu pengolahan. Proses pemanasan akan menyebabkan rusaknya ikatan
hidrogen pada pati sehingga amilosa dan amilopektin keluar dari granula pati.
Kerusakan granula menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi
pati terpisah dan masuk ke dalam media yang ada. Amilosa akan larut dan sudah
tidak dapat lagi dikenali oleh enzim pencernaan, sementara amilopektin dapat
terurai pula, sehingga penguraian pati tidak sempurna dan daya cernanya pun
berkurang (Greenwood 1989). Lebih lanjut Tharanthan & Mahadevarma (2003)
melaporkan bahwa perlakuan panas selama pengolahan diduga dapat
meningkatkan interaksi tersebut sehingga menyebabkan aktivitas enzim alfa
amilase dalam menghidrolisis pati jadi menurun. Penggunaan suhu tinggi pada
proses pengolahan pangan dengan kandungan pati yang tinggi juga menyebabkan
terbentuknya retrogradasi amilosa menjadi pati resisten.
85

Daya cerna pati bubur berbahan baku tepung jagung nikstamal (81,07% bk)
lebih rendah daripada daya cerna pati bubur berbahan baku tepung jagung non-
nikstamal (82,24% bk). Namun daya cerna pati kedua sampel bubur jagung MP-
ASI ini lebih rendah daripada daya cerna pati bubur MP-ASI komersial (86,14%)
(Tabel 21). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan tingkat gelatinisasi
dan kapasitas penyerapan air masing-masing sampel bubur. Dari data hasil
analisis kapasitas penyerapan air didapat kapasitas penyerapan air bubur MP-ASI
komersial lebih besar daripada kapasitas penyerapan air kedua sampel bubur
jagung MP-ASI dan kapasitas penyerapan air bubur berbahan baku tepung jagung
non-nikstamal lebih besar daripada kapasitas penyerapan air sampel bubur
berbahan baku tepung jagung nikstamal. Njintang & Mbofung (2006) melaporkan
bahwa peningkatan daya cerna pati dapat disebabkan oleh peningkatan gelatinisasi
pati dan kemampuan untuk mengikat air.
Daniel dan Whistler (1985) mengemukakan bahwa tingkat gelatinisasi suatu
produk makanan berpengaruh terhadap daya cernanya, dimana produk makanan
dengan tingkat gelatinisasi yang lebih tinggi lebih mudah dicerna daripada produk
dengan tingkat gelatinisasi yang rendah. Pengetahuan seperti ini sangat
bermanfaat dalam pembuatan produk makanan khususnya makanan bayi yang
memerlukan daya cerna yang tinggi.
Menurut Saura-Calixto et al. (1993), perlakuan panas pada biji jagung
selama proses nikstamalisasi dapat meningkatkan interaksi antara pati dengan
komponen-komponen lain (protein, lipid dan antar sesama pati) sehingga
menyebabkan pati jagung tersebut kurang dapat dihidrolisis oleh enzim. Miln-
Carillo et al. (2006) melaporkan meningkatnya pati resisten selama produksi
tepung jagung instan yang diperoleh dari biji jagung nikstamal.
Selain hal di atas, proses pencernaan pati dipengaruhi juga oleh interaksi
antara pati dengan komponen pangan lainnya seperti lipid, protein dan pati itu
sendiri dapat memengaruhi daya cerna pati (Tharanthan & Mahadevarma 2003).
Komponen pangan yang dapat menurunkan daya cerna pati adalah serat pangan.
Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada
pencernaan yaitu terhalangnya granula pati oleh serat sehingga sulit dicerna oleh
86

enzim-enzim amilolitik manusia. Serat juga dapat menghambat pergerakan enzim


sehingga proses pencernaan menjadi lambat (Rimbawan dan Siagian 2004).

Sifat Organoleptik
Pengujian sifat organoleptik juga merupakan pertimbangan dasar dalam
penentuan kualitas MP-ASI karena produk yang diterima oleh konsumen tidak
hanya didukung oleh sifat fisik saja, melainkan juga pengujian organoleptik.
Makanan bayi yang baik memiliki sifat halus dalam mulut, mudah ditelan dan
tidak lengket karena merupakan syarat utama untuk MP-ASI berbentuk bubur.
Pengujian sifat organoleptik dilakukan terhadap kedua sampel bubur jagung
MP-ASI dan bubur MP-ASI komersial sebagai pembanding. Pada Gambar 19
dapat dilihat bahwa bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung nikstamal tidak
berbeda secara visual dengan bubur MP-ASI berbahan baku tepung jagung non-
nikstamal. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang berjumlah 70
orang dengan menggunakan uji skoring dan uji hedonik. Sifat yang diuji pada uji
skoring adalah kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan dan kelengketan.
Sedangkan pada uji hedonik warna, aroma, kekentalan, rasa, penerimaan umum
(overall). Dalam uji skoring, angka tertinggi adalah lima yang menunjukkan
tekstur sangat halus dan sangat mudah ditelan sedangkan angka satu adalah
kebalikannya yaitu tekstur kasar/berpasir dan sukar ditelan. Untuk sifat
kelengketan angka lima menunjukkan lengket dan angka satu menunjukkan encer.
Sifat kehalusan dalam mulut untuk produk MP-ASI yang berbentuk bubur
merupakan hal yang harus diperhatikan karena berhubungan dengan kenyamanan
bayi dalam mencicipinya. Jika bubur mempunyai tekstur yang kasar,
dikhawatirkan bayi tidak menyukai dan mudah untuk disemburkan. Sementara
untuk uji hedonik digunakan skala penilaian dari 1 sampai 7, dimana semakin
besar nilai skala, maka semakin besar kesukaan panelis terhadap parameter
hedonik yang diamati.
87

(a) (b)

Gambar 19 Bubur instan MP-ASI berbahan baku: (a) tepung jagung


non-nikstamal dan (b) tepung jagung nikstamal

Hasil analisis data terhadap sifat kehalusan, kemudahan ditelan dan


kelengketan sampel bubur MP-ASI dapat dilihat pada Lampiran 16. Pada Tabel
22 dapat terlihat bahwa nilai rata-rata kehalusan bubur jagung MP-ASI berbeda
nyata dengan nilai rata-rata kehalusan bubur MP-ASI komersial. Nilai rata-rata
kehalusan yang lebih besar pada sampel bubur jagung MP-ASI dibandingkan
bubur MP-ASI komersial menandakan kedua sampel bubur jagung MP-ASI
memiliki tekstur yang lebih kasar. Sifat kehalusan bubur MP-ASI dalam mulut
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan penyusunnya dan proses
penyerapan air. Proses penyerapan air yang tidak merata pada bubur dapat
menyebabkan bubur terasa agak kasar. Pada penelitian ini proses penyerapan air
yang tidak merata bukanlah penyebab kasarnya tekstur bubur, namun lebih
disebabkan oleh bahan penyusunnya yaitu tepung jagung yang digunakan
memiliki ukuran 60 mesh. Selain itu proses pengolahan juga menyebabkan
perbedaan kehalusan bubur jagung MP-ASI dengan bubur MP-ASI komersial.
Umumnya bubur MP-ASI komersial diolah dengan cara memasak campuran
bahan penyusunnya terlebih dahulu kemudian baru dikeringkan menggunakan
drum dryer, sementara pada pembuatan bubur MP-ASI pada penelitian ini hanya
dengan mencampurkan bahan-bahan yang sebelumnya sudah matang.

Tabel 22 Nilai rata-rata hasil uji skoring bubur jagung MP-ASI dan bubur MP-
ASI komersial
Kriteria Kehalusan Kemudahan Kelengketan di
88

dalam mulut ditelan dalam mulut


Bubur Jagung non-nikstamal 3,06 a 3,73 a 3,20 a
Bubur jagung nikstamal 3,07 a 3,69 a 3,31 a
Bubur komersial 4,19 b 3,90 a 3,37 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa sifat kemudahan ditelan dan


kelengketan kedua sampel bubur jagung MP-ASI dan bubur MP-ASI komersial
tidak berbeda nyata (p 0,05). Nilai rata-rata kemudahan ditelan untuk ketiga
sampel bubur MP-ASI berkisar antara 3,69-3,90. Nilai ini menunjukkan bahwa
ketiga sampel bubur MP-ASI sama-sama bersifat mudah ditelan. Nilai rata-rata
kelengketan untuk ketiga sampel bubur MP-ASI berkisar antara 3,20-3,37. Nilai
ini menunjukkan bahwa ketiga sampel bubur MP-ASI bersifat netral (tidak
lengket dan tidak encer).
Hasil uji hedonik terhadap sampel bubur jagung MP-ASI dapat dilihat pada
Tabel 23. Analisis data terhadap hasil uji hedonik bubur jagung instan MP-ASI
disajikan pada Lampiran 17. Nilai rata-rata kesukaan terhadap warna dan aroma
pada kedua sampel bubur jagung MP-ASI berbeda nyata dengan nilai rata-rata
kesukaan terhadap warna dan aroma bubur MP-ASI komersial. Warna kedua
sampel bubur jagung MP-ASI lebih disukai dibandingkan warna bubur MP-ASI
komersial. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan bahan-bahan penyusun dan
proses pembuatan bubur tersebut. Pada proses pembuatan bubur jagung MP-ASI,
pengeringan menggunakan drum dryer hanya dilakukan pada proses pembuatan
tepung jagung pragelatinisasi, sedangkan bahan-bahan penyusun lain seperti susu
skim, gula halus dan minyak sawit dicampurkan tanpa penambahan air dan tanpa
pemasakan kembali karena bahan-bahan semuanya sudah matang (metode
pencampuran kering). Metode pencampuran kering dapat meminimalkan
kehilangan komponen zat gizi yang terkandung pada bahan-bahan penyusun MP-
ASI dan juga dapat mempertahankan warna alami dari tepung jagung. Lain halnya
dalam pembuatan bubur MP-ASI komersial yaitu dengan cara memasak campuran
bahan penyusunnya terlebih dahulu kemudian baru dikeringkan dengan drum
dryer, sehingga memungkinkan terjadinya reaksi pencokelatan pada produk
tersebut dan warnanya kurang disukai oleh sebagian besar panelis.
89

Tabel 23 Nilai rata-rata hasil uji hedonik MP-ASI bubur jagung instan dan bubur
MP-ASI komersial
Kriteria Warna Aroma Kekentalan Rasa Overall
Bubur jagung non-nikstamal 5,74 a 5,23 b 5,47 a 4,89 a 5,16 a
Bubur jagung nikstamal 5,76 a 5,01 b 5,13 a 4,53 a 5,09 a
Bubur komersial 4,53 b 5,80 a 4,99 a 4,99 a 5,16 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda
nyata pada taraf 5%.

Aroma bubur MP-ASI komersial lebih disukai dibandingkan kedua sampel


bubur jagung MP-ASI. Selama proses pembuatan bubur MP-ASI komersial yaitu
pemasakan dan pengeringan menggunakan drum dryer terjadi reaksi pencokelatan
yang mendorong terbentuknya flavor khas yang disukai pada bubur MP-ASI
komersial.
Nilai rata-rata kesukaan terhadap kekentalan, rasa dan penerimaan umum
untuk ketiga sampel bubur MP-ASI tidak berbeda nyata berdasarkan hasil analisis
statistik (p 0,05). Nilai rata-rata kesukaan terhadap kekentalan ketiga sampel
bubur MP-ASI yang diuji berkisar 4,99-5,47. Nilai ini menandakan kekentalan
ketiga sampel bubur MP-ASI tersebut agak disukai oleh panelis. Nilai rata-rata
kesukaan yang tidak berbeda nyata disebabkan oleh ketiga sampel tersebut
memiliki kekentalan yang relatif sama karena pada saat rehidrasi jumlah air yang
ditambahkan sesuai dengan hasil uji seduh untuk masing-masing sampel. Nilai
rata-rata kesukaan terhadap rasa ketiga sampel bubur MP-ASI yang diuji berkisar
antara 4,53-4,99 yang menandakan bahwa rasa ketiga sampel bubur tersebut agak
disukai oleh panelis. Rasa yang dominan pada ketiga sampel bubur tersebut
adalah rasa susu dan gurih sehingga menyebabkan nilai rata-rata kesukaan
terhadap rasa ketiga sampel bubur MP-ASI ini tidak berbeda nyata. Demikian
juga halnya nilai rata-rata terhadap penerimaan umum panelis yang tidak berbeda
secara signifikan yaitu berkisar antara 5,09-5,16, nilai ini menandakan panelis
secara umum agak suka terhadap ketiga sampel bubur MP-ASI tersebut.
90

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Interaksi antara perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 dan lama pemasakan
menyebabkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap sifat fungsional dan
reologi tepung jagung.
91

2) Secara umum swelling volume, kelarutan, kapasitas penyerapan air, kapasitas


penyerapan minyak dan kekuatan gel tepung jagung cenderung menurun
dengan meningkatkan konsentrasi Ca(OH)2.
3) Kekuatan gel tepung jagung cenderung menurun dengan meningkatnya
konsentrasi Ca(OH)2 dan meningkat pada perlakuan lama pemasakan hingga
10 menit dan cenderung menurun jika pemasakan diteruskan hingga 20
menit.
4) Nilai pH cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2
dan lamanya pemasakan pada tepung jagung nikstamal, sedangkan pada
tepung jagung non-nikstamal (tanpa perlakuan Ca(OH)2), perlakuan lama
pemasakan memberikan nilai pH yang tidak berbeda secara signifikan.
5) Densitas kamba tepung jagung cenderung meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi Ca(OH)2 dan cenderung menurun dengan semakin lamanya
pemasakan.
6) Wettability cenderung meningkat dengan meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2.
Pada tepung jagung perlakuan Ca(OH)2 0,5%, wettability cenderung
meningkat dengan semakin lamanya pemasakan.
7) Viskositas puncak dan breakdown tepung jagung cenderung semakin
menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi Ca(OH)2 dan semakin
lamanya pemasakan.
8) Tepung jagung dengan perlakuan konsentrasi Ca(OH)2 0,5% dan tanpa
pemasakan memiliki viskositas pasta dingin dan setback yang paling rendah.
9) Adanya korelasi diantara parameter-parameter sifat fungsional dan reologi
tepung jagung. Semakin meningkat kapasitas penyerapan air maka semakin
meningkat pula swelling volume, kelarutan dan kekuatan gel tepung jagung
dan sebaliknya semakin menurun wettability dan densitas kamba tepung
jagung.
10) Viskositas puncak semakin meningkat dengan semakin meningkatnya
swelling volume, kelarutan dan kapasitas penyerapan air dan semakin
menurunnya nilai pH. Setback berkorelasi positif dengan kekuatan gel,
setback yang tinggi menghasilkan kekuatan gel yang tinggi pula.
92

11) Penggunaan tepung jagung nikstamal (perlakuan Ca(OH)2 0,25% dan lama
pemasakan 15 menit) dalam pembuatan bubur instan MP-ASI memiliki sifat
kekambaan, kapasitas penyerapan air, dan kekentalan yang lebih rendah serta
kekuatan gel yang lebih lemah dibandingkan penggunaan tepung jagung non-
nikstamal (tanpa perlakuan Ca(OH)2 dan lama pemasakan 15 menit).
12) Kandungan zat gizi makro bubur jagung instan MP-ASI yang dihasilkan telah
sesuai dengan persyaratan SNI 01-7111.1-2005.
13) Kandungan gizi bubur jagung instan MP-ASI berbahan baku tepung jagung
nikstamal antara lain: energi 420,74 kkal, kadar protein 16,19% bk, kadar
lemak 6,70% bk, kadar karbohidrat 73,92% bk, kadar abu 3,18% bk, serat
kasar 0,93% bk dan kadar kalsium 0,59% bk.
14) Bubur instan MP-ASI berbahan baku tepung nikstamal memiliki daya cerna
yang cukup baik yaitu daya cerna protein sebesar 87,36% dan daya cerna pati
sebesar 81,07%.
15) Sifat organoleptik bubur jagung instan MP-ASI tidak berbeda dengan bubur
MP-ASI komersial dalam hal sifat kemudahan ditelan, kelengketan dalam
mulut, kesukaan terhadap rasa, kekentalan dan penerimaan keseluruhan.

Saran
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian lebih lanjut antara lain:
1) Perlu dikaji kemungkinan penggunaan tepung jagung nikstamal
pragelatinisasi sebagai bahan pencegah staling pada produk bakery beku,
untuk pengatur kekentalan pada produk sup krim, untuk mengurangi lemak
pada salad dressing dan lain-lain.
2) Perlu dilakukan penelitian scale up proses ke skala pilot dan analisis ekonomi
sebelum dimasukkan ke skala industri.
DAFTAR PUSTAKA

[AOAC]. Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of


Analysis of the Association of Official Analitical Chemists. Washington
DC: AOAC Inc.
Aini N. 2009. Pengaruh fermentasi spontan selama perendaman grits jagung putih
varietas lokal (Zea mays L.) terhadap karakteristik fisik, kimia dan
fungsional tepung yang dihasilkan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
93

AguileraY, Esteban RM, Benitez V, Molla E, Martin-Cabrejas MA. 2009. Starch,


functional properties, and microstructural characteristics in chickpea and
lentil as affected by thermal processing. J Agricultural and Food Chem
57(22): 10.682-10.688.
APV Crepaco. 1992. Dryer : Technology and Engineering. Di dalam: In Hui YH,
editor. Encyclopedia of Food Science and Technology. Toronto: John Wiley
and Sons Inc.
Astawan M. 2000. Persyaratan Gizi MP-ASI. Di dalam: Sugiyono, editor. Modul
Studi Operasional pengadaan MP-ASI lokal melalui pemberdayaan
agroindustri kecil dalam rangka peningkatan status gizi Baduta secara
terpadu. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. SNI 01-7111.1-2005. Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Bagian 1: Bubuk Instan. Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (Statistik Indonesia). 2009. Luas
Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung Menurut Propinsi.
http://www.bps.go.id/aboutus.php?search=1 [21 Maret 2010].
Beta T, Corke H. 2001. Noodle quality as related to sorghum starch properties. J
Cereal Chem 78 (4): 417-420.
Bahrie S. 2005. Optimasi proses pada proses pengolahan bubur jagung
menggunakan alat pengering drum (drum dryer) [skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Barbosa-Canovas GV, Vega-Marcado H. 1996. Dehydration of Food. New York:
Chapman and Hall.
Beuchat LR. 1977. Functional and electrophoretic characteristic of succynylated
peanut flour protein. J Agric Food Chem 25: 258-261.
Brioness-Caballero F, Iribarren A, Pena JL, Rodriguez-Castro R. 2000. Recent
advances on the understanding of the nixtamalization process. Sociedad
Mexicana de Ciencia de Superficies y de Vacio. Superficies y Vacio 10: 20
24.
Bryant CM, Hamaker BR. 1997. Effect Of lime gelatinization of corn flour and
starch. Cereal Chem 74(2): 171-175.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan
dari: Purnomo H, Adiono. Jakarta: UI-Press.
Carrillo JM, Dorado RG, Rodriguez EDC, Tiznado JAG, Moreno CR. 2004.
Nixtamalized flour from quality protein maize (Zea mays L.) optimization
of alkaline processing. Plant Foods for Hum Nutr 59: 3544, 2004.
Case SE, Hamann DD, Schwartz HG. 1992. Effect of starch gelatinization on
physical properties of extruded wheat- and corn- based products. J Cereal
Chem 69: 401-404.
Chen Z. 2003. Physicochemical peoperties of sweet potato starches and their
application in noodle products [thesis]. Belanda: Wageningen University.
94

Collado LS, Corke H. 1999. Heat moisture treatment effect on sweet potato
starches differing in amylosa content. J Food Chem 65: 339-346.
Chun SY, Yoo B. 2006. Steady and dynamic shear rheological properties of sweet
potato flour dispersion. European Food Research and Tech 223: 313-319.
Congdon N, Somer A, Severn M, Humphrey J, Friedman D, Clement L, Wu L,
Natadisastra G. 1995. Pupilary and visual threshold in young children as an
index of population vitamin A status.
De la Torre-Gutirrez L, Chel-Guerro LA, Betancur-Ancona D. 2008. Functional
properties of square banana (Musa babisiana) starch. J Food Chem 106:
1138-1144.
Daniel JR, Weaver CM. 2000. Carbohydrates: Functional Properties. Di dalam:
Christen GL, Smith JS, editors. Food Chemistry: Principles and
Application. California: Science Technology System. Hlm 63-66.
Daniel JR, Whistler RL. 1985. Carbohydrates. Di dalam: Fennema OR, editor.
Food Chemistry. New York: Marcel Dekker.
Elkhalifa AO, Schiffler B, Bernhardt R. 2005. Effect of fermentation on the
functional properties of sorghum flour. J Food Chem 92: 1-5.
Fatmawati S. 2004. Formulasi bubur bayi berprotein tinggi dan kaya beta karoten
dari tepung kecambah kacang tunggak (Vigna unguiculata) untuk Makanan
Pendamping ASI [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Kerjasama Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Dirjen Dikti dan PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian
Bogor.
Fernndez-Muoz JL et al. 2007. Evaluation physicochemical changes in
nixtamalized maize flour as a function of steeping time. J Food Eng 78:
972-977.
Fernndez-Muoz JL et al. 2006. Steeping time and cooking temperature
dependence of calcium ion diffusion during microwave nixtamalization of
corn. J Food Eng 76: 568-572.
Fernndez-Muoz JL, Zelaya-Angel O, Cruz-Orea A, Snchez-Sinencio F. 2001.
Phase transitions in amylose and amylopectin under the influence of
Ca(OH)2 in aqueous solution. Analytical Sci 17: s338-s341.
Flores-Farias R et al. 2000. Physicochemical and rheological characteristics of
commercial nixtamalized Mexican maize flours for tortillas. J Sci Food
Agric 80: 657-664.
Fredriksson H, Silvero J, Andersson R, Eliasson AC, Aman P. 1998. The
influence of amulose and amylopectin characteristics on gelatinization and
retrogradation properties of different starches. Carbohydrate Polym 35: 119-
134.
Gomez MH, Aguilera JM. 1983. Change in the starch fraction during extrusion-
cooking of corn. J Food Sci 48: 378-381.
95

Graybosch et al. 2003. Functional properties of waxy wheat flour: genotypic and
environmental effect. J Cereal Sci 38: 69-76.
Greenwood DR. 1989. Dough assessment procedures at the Wheat Research
Institute. Report No. WRI 89/122. New Zealand: Department of Scientific
and Industrial Research, Wheat Research Institute.
Gunaratne A, Hoover R. 2002. Effect of heat-moisture treatment on the structure
and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate
Polym 49: 425-437.
Gutirrez E et al. 2007. Study of calcium ion diffusion in nixtamalized quality
protein maize as a function of the cooking temperature. Cereal Chem 84:
186-194.
Hallen E et al. 2004. Effect of fermented/germinated cowpea flour addition on the
rheological dan baking properties of wheat flour. J. Food Eng 63: 177-184.
Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by
extrusion cooking. J Cereal Sci 43: 38-46.
Hamid. 2000. Pemanfaatan tepung pisang owak untuk BMC sebagai makanan
tambahan ASI [tesis]. Bogor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Hardman, Gunsolus. 1998. Corn Growth and Development. Extension Service.
University of Minesota.
Hariyadi P, Purnomo EH, Tirtasujana D,Kusumah TD, Sudiana N. 2000.
Penuntun Praktikum Satuan Operasi Industri Pangan. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hartomo AJ, Widiatmoko MC. 1993. Emulsi dan Pangan Berlesitin. Yogayakarta:
Andi Offset.
Hartoyo HD, Setiawan B, Briawan D, Yuliati LN. 2000. Pemberian makanan
tambahan pada anal balita dan pemberdayaan keluarga/masyarakat di
Kotamadya Bogor. Kerjasama Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga IPB dan PLAN Inter.
Hasan I. 2008. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Jakarta:
Bumi Aksara.
Hatorangan, E.F. 2007. Pengaruh perlakuan konsentrasi NaCl, kadar air dan
passing terhadap mutu fisik mie basah jagung yang diproduksi dengan
menggunakan ekstruder ulir pemasak dan pencetak [skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Henshaw FO, McWatters KH, Oguntunde AO, Phillips RD. 1996. Pasting
properties of cowpea flour: Effects of soaking and decortication method. J
Agric Food Chem 44(7): 1863-1870.
Hermana. 1977. Perkembangan pembuatan bahan makanan campuran. Kertas
kerja Lokakarya Bahan Pangan Berprotein Tinggi. Bandung: 22-24
Februari.
96

Hodge JE, Osman EM. 1976. Carbohydrates. Di dalam: Fennema OR, editor.
Principles of Food Science part I Food Chemistry. New York: Marcel
Dekker Inc.
Hofvander Y, Underwood BA. 1987. Processed suplementary foods for older
infants and young children, with special reference to developing countries.
Food Nutr Bull 9(1).
Hoover R. 2001. Composition, moleculer structure and physicochemical
properties of tuber and root starches: A review. Carbohydrate Polym 45:
253-267.
Hoover R, Sosulski F. 1986. Effect of cross linking on functional properties of
legume. Starches/Strke 38: 149155.
Hsu HW, Vavak DL, Satterlee LD, Miller GA. 1977. A multi-enzyme technique
for estimating protein digestibility. J Food Sci 42: 1269-1273.
Hutton CW, Champbell AM. 1981. Water and fat absorption. Di dalam: Cherry
JP, editor. Protein functionality in food. Washington DC: ACS Symposium
Series.
Jobling S. 2004. Improving starch for food and industrial application. Current
Opinion in Plant Biology 7: 210-218.
Johnson LA. 2000. Corn: The Major Cereal of the Americas. Di dalam: Kulp K,
Ponte Jr. JG, editor. Handbook of Cereal Science and Technology. Ed ke-2.
New York: Marcell Dekker, Inc.
Juniawati, 2008. Optimasi Proses Pengolahan Mi Jagung Instan Berdasarkan
Kajian Preferensi Konsumen [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Jyothi AN, Moorthy SN, Rajasekharan V. 2006. Effect of cross-linking with
epichlorohydrin on the properties of cassava (Manihot esculenta Crantz)
starch. Starch/ Strke 58:292-299.
Kadan RS, Bryant RJ, Pepperman AB. 2003. Functional properties of extruded
rice flours. J Food Sci 68: 1660-1672.

Kamid. 2005. Karakterisasi pati sagu (Metroxylon Sagu Rott) hasil modifikasi
dengan perlakuan alkali: Kajian konsentrasi larutan Ca(OH)2 dan lama
perendaman [skripsi]. Malang: Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Universitas Brawijaya.
Karim AA et al. 2007. Pasting and retrogradation peoperties of alkali-treated sago
(Metroxylon sagu) starch. Food Hydrocolloids 22: 1048-1053.
Kaur L, Singh J, Singh N. 2006. Effect of cross-linking on some properties of
potato starches. J Sci Food and Agric 86: 1945-1954.
Kent NL, Evers AD. 1994. Technology of Cereals; An Introduction for Student of
Food Science and Agriculture. Ed ke-4. Oxford: Elseveir Science Ltd.
97

Kilara A. 2006. Interaction of Ingredients in Food Systems: An Introduction. Di


dalam: Gaonkar AG, McPherson A, editor. Ingredient Interactions: Effect
on Food Quality. New York: CRC Press. Hlm 1-20.
Kinsella JE. 1976. Functional properties of protein in foods, a survey. CRC
Critical Review Food Science and Nutrition 7: 219-280.
Koo SH, Lee KY, Lee HG. 2010. Effect of cross-linking on the physicochemical
and physiological properties of corn starch. Food Hydrocolloids 24: 619-
625.
Lindent G, Lorient D. 1995. New Ingredient in Food Processing (Biochemistry
and Agriculture). New York: CRC Press.
Liu H, Ramsden L, Corke H. 1999. Physical properties and enzymatic digestible
of phosphorilated ae, wz, and normal maize starch prepared at different pH
level. Cereal Chem 76(6): 938-943.
Ma Z et al. 2011. Thermal processing effects on the functional properties and
microstructure of lentil, chickpea, and pea flours. Articel in Press. Food
Research International.
Matz SA, Matz TD. 1978. Cookies and Crackers Technology. Connecticut: The
AVI Publishing Company Inc.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. Bogor: IPB Press.
Mauro DJ, Abbas IR, Orthoefer FT. 2003. Corn starch modification and uses. Di
dalam: White PJ, Johnson LA, editor. Corn: chemistry and technology. Ed
ke-2. Minnesota: American Association of Cereal Chemists, Inc.
Mendz-Montealvo G, Garca-Surez FJ, Paredes-Lpez O, Bello-Prez LA.
2008. Effect of nixtamalization on morphological and rheological
characteristics of maize starch. J Cereal Sci 48: 420-425.
Mendz-Montealvo G, Snchez-Rivera MM, Paredes-Lpez O, Bello-Prez LA.
2006. Thermal and rheological properties of nixtamalized maize starch. Int J
Biological Macromolecules 40: 59-63.
Mestres C, Boungou O, Akissoe N, Zakhia N. 1996. Comparison of the expansion
ability of fermented maize flour and cassava starch during baking. J Sci
Food Agric 80: 665-672.
Miln-Carrillo J, Gutirrez-Dorado R, Perales-Snchez JXK, Cuevas-Rodrguez
EO, Ramrez-Wong B, Reyes-Moreno C. 2006. The optimization of the
extrusion process when using maize flour with a modified amino acid
profile for making tortillas. Int J Food Sci and Tech 41: 727736.
Mirmoghtadaie L, Kadivar M, Shahedi M. 2009. Effects of cross-linking and
acetylation on oat starch properties. J Food Chem 116: 709-713.
Mitchell GV, Grundel K. 1986. Nutritional value of proteins in powdered infant
formula: in vitro and in vivo methods. J Agric Food Chem 34: 650-653.
Mirdhayati I. 2004. Formulasi dan karakterisasi sifat-sifat fungsional bubur garut
(Maranta arundinaceae Linn) instan sebagai makanan pendamping air susu
98

ibu (MP-ASI) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian


Bogor.
Mondragn M, Mendoza-Martnez AM, Bello-Prez LA, Pea JL. 2006.
Viscoelastic behavior of nixtamalized maize starch gels. Carbohydrate
Polym 65: 314-320.
Mondragn M et al. 2004. Effect of nixtamalization on the modification of the
crystalline structure of maize starch. Carbohydrat Polym 55: 411-418.
Moorthy S. 2002. Tuber crop starch. Tech Bulletin No. 18 CTCRI, Trivandrum.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metode kimia biokimia dan biologi
dalam evaluasi nilai gizi pangan olahan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi D. 1994. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula, dan Makanan Tambahan.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
__________. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Muhilal F, Jalal, dan Hardisyah. 1998. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
Widakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.
Mujumdar AS. 2000. Panduan Praktis Mujumdar untuk Pengeringan Industrial.
Tambunan AH, Wulandari D, Hartulistiyo E, Nelwan LO, penerjemah.
Bogor: IPB Press. Terjemahan dari: Mujumdars Practical Guide to
Industrial Drying.
Muyonga JH, Ramteke RS, Eipeson WE. 2001. Predehydration steaming changes
physicochemical properties of unripe banana flour. J Food Processing and
Preserv 25(1): 35-47.
Nabeshima EH, Grossmann MVE. 2001. Functional properties of pregelatinized
and cross-linked cassava starch obtained by extrusion with sodium
trimetaphosphate. Carbohydrate Polym 45: 347-353.
Nadiha MZN, Fazilah A, Bhat R, Karim AA. 2010. Comparative susceptibilities
of sago, potato and corn starch to alkali tratment. J Food Chem 121: 1053-
1059.
Njintang, YN, Mbofung CMF. 2006. Effect of precooking time and drying
temperature on the physico-chemical characteristics and in-vitro
carbohydrate digestibility of taro flour. LWT 39: 684-691.
Park DJ, Imm JY, Ku KH. 2001. Improved dispersibility of green tea powder by
microparticulation and formulation. J Food Sci 66(6): 793-798.
Packard VS. 1982. Human milk in infancy and chilhood. Times Mirror/Mosby
College Publishing, St.Louis.
Okaka JC, Potter NN. 1977. Functional and storage properties of cowpea powder-
wheat flour blends in breadmaking. J Food Sci 42: 828.
Parker R. 2003. Introduction of Food Science. United State: Dielmar.
99

Perdana, D. 2003. Dampak penerapan ISO 9001 terhadap peningkatan mutu


berkesinambungan pada proses produksi bubur bayi instan di PT Gizindo
Prima Nusantara [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Pusat Teknologi Agroindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2008.
Tepung jagung: teknologi dan tantangan pengembangannya. Makalah
Seminar Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung
Ketahanan Pangan. Jakarta 24 November 2008.
Ravi R, Sushelamma NS. 2005. Simultaneous optimization of multiresponse
system by desirability function of boondi making: a case study. J Food Sci
70: S539-S547.
Richana N, Suarni. 2007. Teknologi pengolahan jagung. http://balitsereal.
Litbang.deptan.go.id/ind//bjagung/empat.pdf [21Maret 2010).
Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rooney LW, Serna-Saldivar SO. 2003. Food Use of Whole Corn and Dry-Milled
Fraction. Di dalam: White PJ, Johnson LA, editor. Corn: Chemistry and
Technology. Ed ke-2. Minnesota: American Association of Cereal Chemists
Inc. hlm 495-536.
Rodriguez ME et al. 1996. Influence of the structural changes during alkaline
cooking on the thermal, rheological and dielectric properties of maize
tortillas. J Cereal Chem 73: 593-600.
Ruiz-Gutirrez MG et al. 2010. Change in mass transfer, thermal and
physicochemical properties during nixtamalization of corn with and without
agitation at different temperature. J Food Eng 98: 76-83.
Saura-Calixto F, Goi L, Bravo L, Maas E. 1993. Resistant starch in foods:
modified method for dietary fibre residues. J. Food Sci 58: 642-643.
Sefa-Dedeh S, Cornelius B, Sakyi-Dawson E, Afoakwa EO. 2004. Effect of
nixtamalization on the chemical and functional properties of maize. J Food
Chem 86: 317-324.
Serna-Salvadivar SO, Gomez MH, Roodney LW. 1990. Technology Chemistry
and Nutritive Value of Alkaline-Cooked Corn Products. Di dalam:
Pomeranz, editor. Advances in Cereal Science and Technology 10: 243-295.
St. Paul MN: American Association of Cereal Chemists, Inc.
Shandu KS, Singh N, Kaur M. 2004. Characteristics of the different corn types
and and their grain fractions: physicochemical, thermal, morphological and
rheological properties of starch. J Food Eng 64: 119-127.
Singh N, Kaur L, Shandu KS, Kaur J, Nishinari K. 2006. Relationship between
physicochemical, morphological, thermal, rheological properties of rice
starches. J Food Hydrocolloid. 20: 532-542.
Singh, N, Shandu KS, Kaur M. 2005. Physicochemical properties including
granular morphology, amylose content, swelling and solubility, thermal and
pasting properties of starches from normal, waxy, high amylose and sugary
corn. Progress in Food Biopolymer Research. Vol 1: 43-55.
100

Singh N, Singh J, Kaur L, Sodhi NS, Gill, BS. 2003. Morphological, thermal and
rheological properties of starches from different botanical sources. J Food
Chem 81: 219-231.
Sira EEP. 2000. Determination of the correlation between amylosa and phosporus
content and gelatinization profile of starches and flours obtained from edible
tropical tuber using Differential Scanning Calorymetry and Atomic
Absorption Spectroscopy [thesis] Wisconsin: University of Wisconin-Stout.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri dan Hasil Pertanian.
Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Sosulki FW, Garret MD, Slunkard AE. 1976. Functional properties of ten legumes
flour. Inst of Food Sci and Tech J 9: 66-69.
Srichuwong S, Sunarti TC, Mishima T, Isono N, Hisamatsu M. 2005. Starches
from different botanical sources II: Contribution of starch structure to
swelling and pasting properties. Carbohydrate Polym 62: 25-34.
Suarni. 2009. Prospek pemanfaatan tepung jagung untuk kue kering (cookies).
Jurnal Litbang Pertanian 28(2): 63-71.
Suarni, Komalasari O, Suwardi. 2001. Karakteristik tepung jagung beberapa
varietas/galur. Prosiding Seminar Regional Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Palu. hlm 157164.
Subekti NA., Syafruddin, Efendi R, Sunarti S. 2007. Morfologi tanaman dan fase
pertumbuhan jagung. available at: http://balitsereal. litbang.deptan.go.id
/ind// bjagung/duatiga.pdf [20 Maret 2010].
Susanty R. 2002. Kajian dekstrinasi pati garut dan gelatinisasi tepung terigu untuk
pengembangan makanan pendamping air susu ibu dan makanan sapihan
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sunaryo E. 1985. Pengolahan produk serealia dan biji-bijian. Bogor: Fakutas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Takahashi S, Maningat CC, Seib PA. 1989. Acetylated and hidroxipropylated
wheat starch: paste and gel properties compared with modified maize and
tapioca starches. Cereal Chem 66: 499-506.
Tang H, Mitsunaga T, Kawamura Y. 2005. Functionality of starch granules in
milling fractions of normal wheat grain. Carbohydrate Polym 59: 11-17.
Tharanathan RN, Mahadevamma S. 2003. Grain legumes-a boon to human
nutrition. Trend in Food and Science Technology 14: 507-518.
Vergnes B., Valle GD, Colonna P. 2003. Rheological Properties of Biopolymers
and Application to Cereal Processing. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer KJ,
editors. Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis, and
Application, New York: Marcell Dekker. Hlm 209-266.
Voutsinas LP, Nakai S. 1983. A simple turbimmetric method for determining the
fat binding capacity of proteins. J Agric and Food Chem 31: 58-63.
[Wikipedia]. 2010. Nixtamalization. http://en.wikipedia.org/wiki/ Nixtamalization
[15 Maret 2010].
101

White PJ. 2001. Properties of Corn Starch. Di dalam: Hallauer AR, editor.
Specialty Corns. Ed ke-2. Florida: CRC Press.
Winarno, FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wurzburg OB, Fergasson, Virgil L. 2006. Thickener characterized by improved
low-temperature stability. http://xrint.com/patent/us/4428972 [2 Mei 2009].
Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Bahan Pangan.
Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Zakaria RF. 1999. Produksi MP-ASI lokal sebagai terobosan untuk
menanggulangi masalah kekurangan gizi. Prosiding seminar nasional
teknologi pangan. PATPI 12-13 Oktober Jakarta.
102

LAMPIRAN

Lampiran 1 Berbagai macam peralatan yang digunakan dalam penelitian

Disc Mil Drum Dryer


103

Rapid Visco Analyzer

Texture Analyzer

Lampiran 2 Format uji organoleptik MP-ASI bubur jagung instan

Produk : Bubur Jagung Instan


Nama panelis :
Tanggal pengujian :
Petunjuk :
1. Cicipilah sampel yang telah disediakan
2. Berilah tanda cek (V) pada kotak yang disediakan sesuai dengan penilaian anda

Penilaian Kode Sampel


328 526 239
Kehalusan dalam mulut
Sangat halus
Halus
Agak halus
104

Agak berpasir
Berpasir
Kemudahan ditelan
Sangat mudah ditelan
Mudah ditelan
Agak mudah ditelan
Agak sukar ditelan
Sukar ditelan
Kelengketan di dalam mulut
Lengket
Agak lengket
Netral
Agak encer
Encer

Petunjuk :
1. Berilah penilaian anda terhadap beberapa kriteria sampel yang telah disajikan di
antaranya: warna, aroma, kekentalan, rasa dan penampilan secara keseluruhan
(overall) berdasarkan tingkat kesukaan anda dengan peringkat no 1-7 pada kolom
yang tersedia di bawah ini

Kode Kriteria
sampel Warna Aroma Kekentalan Rasa Overall
328
526
239

Kriteria Penilaian:
1 : Sangat tidak suka 5 : Agak suka
2 : Tidak suka 6 : Suka
3 : Agak tidak suka 7 : Sangat suka
4 : Netral

Lampiran 3 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap swelling volume tepung jagung dengan metode
GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 0.81032000 0.20258000 11.05 0.0002

F2 2 3.11984667 1.55992333 85.06 <.0001

F1*F2 8 0.48732000 0.06091500 3.32 0.0216


105

Means with the same letter are not


significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 9.6150 2 10',0%

B A 9.5050 2 15',0%

B C 9.2900 2 5',0%

B C D 9.2400 2 10',0.25%

B C D 9.2200 2 20',0%

B C D 9.2150 2 0',0%

E C D 9.1600 2 5',0.25%

E F C D 9.1150 2 15',0.25%

E F C D 9.0600 2 20',0.25%

E F D 8.9500 2 10',0.5%

E F G 8.8450 2 5',0.5%

F G 8.8300 2 0',0.25%

H G 8.5700 2 0',0.5%

H 8.4350 2 15',0.5%

I 8.1400 2 20',0.5%

Lampiran 4 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap kelarutan tepung jagung dengan metode GLM
pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 60.5146200 15.1286550 6.91 0.0023

F2 2 411.8790200 205.9395100 94.01 <.0001

F1*F2 8 70.9127800 8.8640975 4.05 0.0096


106

Means with the same letter are not


significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 38.600 2 10',0%

B A 38.155 2 15',0%

B A 38.135 2 20',0%

B A C 37.490 2 5',0%

B A C 36.590 2 0',0%

B A C 35.960 2 5',0.25%

B D C 34.660 2 0',0.25%

D C 34.060 2 10',0.25%

E D 32.405 2 0',0.5%

E D 31.940 2 5',0.5%

E D 31.670 2 15',0.25%

E F 30.125 2 20',0.25%

G F 27.020 2 15',0.5%

G 26.660 2 10',0.5%

G 25.565 2 20',0.5%

Lampiran 5 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung dengan
metode GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 0.31458667 0.07864667 17.65 <.0001

F2 2 0.87352667 0.43676333 98.00 <.0001

F1*F2 8 0.10337333 0.01292167 2.90 0.0360


107

Means with the same letter are


not significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 8.44000 2 10',0%

B A 8.32000 2 5',0%

B 8.29000 2 5',0.25%

B 8.27500 2 20',0%

B 8.24500 2 15',0%

B 8.24000 2 10',0.25%

B C 8.21000 2 0',0%

B C 8.17000 2 0',0.25%

D C 8.07000 2 10',0.5%

D C 8.06000 2 15',0.25%

D E 8.00500 2 5',0.5%

D E 8.00500 2 20',0.25%

F E 7.88500 2 15',0.5%

F 7.85000 2 0',0.5%

G 7.62000 2 20',0.5%

Lampiran 6 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung
dengan metode GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 0.16641333 0.04160333 6.02 0.0043

F2 2 1.26074000 0.63037000 91.23 <.0001

F1*F2 8 0.33122667 0.04140333 5.99 0.0015


108

Means with the same letter are


not significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 5.40000 2 20',0%

A 5.39500 2 10',0%

A 5.38500 2 15',0%

A 5.33000 2 5',0%

B 4.95000 2 20',0.25%

C B 4.91000 2 5',0.25%

C B 4.89500 2 15',0.25%

C B 4.88000 2 0',0.25%

C B 4.86500 2 10',0.25%

C B 4.86500 2 5',0.5%

C B 4.84000 2 0',0%

C B 4.80000 2 10',0.5%

C B 4.80000 2 0',0.5%

C B 4.76000 2 20',0.5%

C 4.73000 2 15',0.5%

Lampiran 7 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap nilai pH tepung jagung dengan metode GLM
pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 9309.865333 2327.466333 709.95 <.0001

F2 2 3348.804667 1674.402333 510.75 <.0001

F1*F2 8 422.568667 52.821083 16.11 <.0001


109

Means with the same letter are not


significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 7.91000 2 20',0.5%

A 7.88000 2 15',0.5%

B A 7.80500 2 10',0.5%

B 7.74500 2 5',0.5%

C 7.61500 2 0',0.5%

D 7.00000 2 20',0.25%

E D 6.98500 2 15',0.25%

E D F 6.93500 2 10',0.25%

E F 6.87500 2 5',0.25%

F 6.85000 2 0',0.25%

G 6.49000 2 10',0%

G 6.48500 2 20',0%

G 6.48000 2 0',0%

G 6.48000 2 15',0%

G 6.47000 2 5',0%

Lampiran 8 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap kekuatan gel tepung jagung dengan metode
GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 5054.148667 1263.537167 74.98 <.0001

F2 2 3925.988667 1962.994333 116.48 <.0001

F1*F2 8 462.341333 57.792667 3.43 0.0190


110

Means with the same letter are


not significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 104.150 2 10',0%

A 101.950 2 5',0%

B A 97.500 2 5',0.25%

B A 96.450 2 10',0.25%

B 91.200 2 15',0%

C 81.250 2 15',0.25%

D C 77.100 2 5',0.5%

D C 77.050 2 20',0%

D C 72.400 2 10',0.5%

D C 72.250 2 20',0.25%

D 69.600 2 0',0.25%

E 60.750 2 0',0%

E 59.400 2 20',0.5%

E 53.000 2 15',0.5%

F 43.900 2 0',0.5%

Lampiran 9 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap densitas kamba tepung jagung dengan metode
GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 0.00444615 0.00111154 170.16 <.0001

F2 2 0.00815496 0.00407748 624.20 <.0001

F1*F2 8 0.00278489 0.00034811 53.29 <.0001


111

Means with the same letter are not


significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 0.224900 2 0',0.5%

A 0.223600 2 5',0.5%

B 0.216350 2 10',0.5%

C 0.208450 2 15',0.5%

D C 0.205250 2 0',0%

D C E 0.203200 2 20',0.5%

D F E 0.200100 2 0',0.25%

F E 0.198200 2 5',0.25%

G F 0.195250 2 15',0.25%

G F 0.194300 2 10',0.25%

G H 0.191500 2 5',0%

G H 0.190600 2 20',0.25%

H 0.187000 2 10',0%

I 0.153350 2 15',0%

J 0.137500 2 20',0%

Lampiran 10 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap wettability tepung jagung dengan metode
GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 2183.33333 545.83333 94.11 <.0001

F2 2 42552.46667 21276.23333 3668.32 <.0001

F1*F2 8 3319.86667 414.98333 71.55 <.0001


112

Means with the same letter are


not significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 135.00 2 20',0.5%

B 111.00 2 15',0.5%

C 96.25 2 10',0.5%

D 85.75 2 5',0.5%

D 82.00 2 0',0.5%

E 41.75 2 20',0.25%

E 38.75 2 0',0.25%

F 32.75 2 0',0%

G 25.75 2 15',0.25%

H 15.75 2 10',0.25%

H 15.75 2 5',0%

H 15.25 2 5',0.25%

H 13.50 2 15',0%

H 13.25 2 10',0%

H 13.25 2 20',0%

Lampiran 11 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap viskositas puncak tepung jagung dengan
metode GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 12744.80000 3186.20000 11.39 0.0002

F2 2 63812.06667 31906.03333 114.02 <.0001

F1*F2 8 5022.60000 627.82500 2.24 0.0444


113

Means with the same letter are


not significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 535.50 2 5',0%

A 531.50 2 0',0%

A 524.50 2 10',0%

A 519.00 2 20',0%

B A 515.00 2 15',0%

B A 515.00 2 5',0.25%

B A 509.50 2 0',0.25%

B A 505.50 2 10',0.25%

B C 478.50 2 15',0.25%

D C 452.00 2 10',0.5%

D C 442.50 2 20',0.25%

D 438.50 2 5',0.5%

D 427.50 2 0',0.5%

E 383.50 2 20',0.5%

E 371.50 2 15',0.5%

Lampiran 12 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap viskositas pasta panas tepung jagung dengan
metode GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 13837.46667 3459.36667 152.84 <.0001

F2 2 2020.06667 1010.03333 44.63 <.0001

F1*F2 8 1609.93333 201.24167 8.89 0.0002


114

Means with the same letter are not


significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 172.500 2 10',0%

A 169.500 2 15',0%

B 158.000 2 10',0.25%

C B 149.500 2 10',0.5%

C D 143.000 2 5',0.25%

C D E 139.000 2 5',0%

C D E 139.000 2 20',0%

C D E 138.500 2 15',0.25%

D E 134.000 2 20',0.25%

F D E 133.000 2 20',0.5%

F E 131.500 2 5',0.5%

F 123.000 2 15',0.5%

G 106.500 2 0',0.25%

G 97.500 2 0',0%

H 81.000 2 0',0.5%

Lampiran 13 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap breakdown tepung jagung dengan metode
GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 29179.80000 7294.95000 37.26 <.0001

F2 2 43201.80000 21600.90000 110.34 <.0001

F1*F2 8 4988.20000 623.52500 3.19 0.0254


115

Means with the same letter are not


significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 434.00 2 0',0%

B 403.00 2 0',0.25%

B 396.50 2 5',0%

C B 380.00 2 20',0%

C B D 372.00 2 5',0.25%

C D 352.00 2 10',0%

D 347.50 2 10',0.25%

D 346.50 2 0',0.5%

D 345.50 2 15',0%

D 340.50 2 15',0.25%

E 308.50 2 20',0.25%

E 307.00 2 5',0.5%

E 302.50 2 10',0.5%

F 250.50 2 20',0.5%

F 248.50 2 15',0.5%
116

Lampiran 14 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap viskositas pasta dingin tepung jagung dengan
metode GLM pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 35495.86667 8873.96667 126.65 <.0001

F2 2 11222.60000 5611.30000 80.09 <.0001

F1*F2 8 4379.73333 547.46667 7.81 0.0004

Means with the same letter are not


significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 336.000 2 10',0%

B A 322.500 2 15',0%

B C 315.000 2 10',0.25%

B C D 310.000 2 5',0.25%

E C D 299.000 2 5',0%

E D 292.000 2 10',0.5%

E F 289.500 2 15',0.25%

G F 272.500 2 20',0%

G 270.500 2 5',0.5%

G 268.000 2 20',0.25%

G H 257.000 2 20',0.5%

H 247.500 2 15',0.5%

H 246.000 2 0',0.25%

I 223.500 2 0',0%

J 170.000 2 0',0.5%
117

Lampiran 15 Hasil analisis data pengaruh konsentrasi Ca(OH)2 dan lama


pemasakan terhadap setback tepung jagung dengan metode GLM
pada program SAS

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

F1 4 6091.533333 1522.883333 73.57 <.0001

F2 2 4082.066667 2041.033333 98.60 <.0001

F1*F2 8 1103.266667 137.908333 6.66 0.0009

Means with the same letter are


not significantly different.

Duncan Grouping Mean N INTERAKSI

A 167.000 2 5',0.25%

A 163.500 2 10',0%

B A 160.000 2 5',0%

B A 157.000 2 10',0.25%

B 153.000 2 15',0%

B C 151.000 2 15',0.25%

D C 142.500 2 10',0.5%

D 139.500 2 0',0.25%

D 139.000 2 5',0.5%

D E 134.000 2 20',0.25%

D E 133.500 2 20',0%

E 126.000 2 0',0%

E 124.500 2 15',0.5%

E 124.000 2 20',0.5%

F 89.000 2 0',0.5%
118

Lampiran 16 Hasil analisis data terhadap hasil uji skoring MP-ASI bubur jagung
instan dengan menggunakan nonparametric tests dan uji lanjut
LSD pada program SPSS

Kruskal-Wallis Test

Ranks
Perlakuan N Mean Rank
Kehalusan dalam mulut 1 70 125.03
2 70 125.70
3 70 65.77
Total 210
Kemudahan ditelan 1 70 112.14
2 70 111.86
3 70 92.51
Total 210
Kelengketan dalam mulut 1 70 111.86
2 70 105.88
3 70 98.76
Total 210

Test Statisticsa,b
Kehalusan dalam mulut Kemudahan ditelan Kelengketan dalam mulut
Chi-Square 48.762 5.690 1.837
Df 2 2 2
Asymp. Sig. .000 .058 .399
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan

Jika Asymp. Sign > 0,05 dilakukan uji lanjut LSD


119

Multiple Comparisons
Kehalusan dalam mulut
LSD
(I) (J) 95% Confidence Interval
perlaku perlaku Mean
an an Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 -.0429 .16377 .794 -.3657 .2800
*
3 1.0714 .16377 .000 .7486 1.3943
2 1 .0429 .16377 .794 -.2800 .3657
*
3 1.1143 .16377 .000 .7914 1.4372
*
3 1 -1.0714 .16377 .000 -1.3943 -.7486
*
2 -1.1143 .16377 .000 -1.4372 -.7914
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,939.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
120

Lampiran 17 Hasil analisis data terhadap hasil uji hedonik MP-ASI bubur jagung
instan dengan menggunakan nonparametric tests dan uji lanjut
LSD pada program SPSS

Kruskal-Wallis Test

Ranks
perlakuan N Mean Rank
Warna 1 70 120.13
2 70 120.63
3 70 75.74
Total 210
Aroma 1 70 95.55
2 70 93.16
3 70 127.79
Total 210
kekentalan 1 70 114.92
2 70 101.93
3 70 99.65
Total 210
Rasa 1 70 107.99
2 70 95.74
3 70 112.78
Total 210
overall 1 70 106.63
2 70 103.61
3 70 106.26
Total 210

Test Statisticsa,b
warna aroma kekentalan rasa overall
Chi-Square 28.572 15.617 2.827 3.073 .110
Df 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. .000 .000 .243 .215 .946
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan

Jika Asymp. Sign > 0,05 dilakukan uji lanjut LSD


121

Multiple Comparisons
Warna
LSD
(I) (J) 95% Confidence Interval
perlaku perlaku Mean
an an Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 -.0143 .21006 .946 -.4284 .3998
*
3 1.2143 .21006 .000 .8002 1.6284
2 1 .0143 .21006 .946 -.3998 .4284
*
3 1.2286 .21006 .000 .8144 1.6427
*
3 1 -1.2143 .21006 .000 -1.6284 -.8002
*
2 -1.2286 .21006 .000 -1.6427 -.8144
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1,544.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.

Multiple Comparisons
Aroma
LSD
(I) (J) 95% Confidence Interval
perlaku perlaku Mean
an an Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 .2143 .22183 .335 -.2231 .6516
*
3 -.5714 .22183 .011 -1.0088 -.1341
2 1 -.2143 .22183 .335 -.6516 .2231
*
3 -.7857 .22183 .000 -1.2231 -.3484
*
3 1 .5714 .22183 .011 .1341 1.0088
*
2 .7857 .22183 .000 .3484 1.2231
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1,722.
*. The mean difference is significant at the 0,05 level.
122

Lampiran 18 Analisis ekonomi bubur jagung instan MP-ASI

I. Biaya Investasi
Alat Umur teknis (tahun) Harga (Rp)
Drum dryer 5 250.000.000
Disc mill 5 10.000.000
Peralat masak 3 1.000.000
Timbangan 3 200.000
Blender 3 500.000
Mesin sealer 3 250.000

II. Biaya Tetap


Jenis Biaya Rincian Harga (Rp)
Penyusutan peralatan:
- Drum dryer 4.166.667
- Disc mill 166.667
- Peralat masak 16.667
- Timbangan 3.333
- Blender 8.333
- Mesin sealer 4.167
Akumulasi penyusutan
peralatan 4.365.833
Sewa tempat 10.000.000
Tenaga kerja: pimpinan 2x3.000.000 6.000.000
Karyawan 15x1.500.000 22.500.000
Listrik dan telepon 2.000.000
Total biaya tetap 44.865.833

III. Biaya Variabel


Jumlah Jumlah Harga
Nama Bahan Harga (Rp)
per hari per bulan Satuan (Rp)
Jagung pipilan (kg) 100 2500 5.000 12.500.000
susu skim bubuk (kg) 75 1875 40.000 75.000.000
minyak sawit (kg) 15 375 12.000 4.500.000
gula halus (kg) 15 375 20.000 7.500.000
premix vitamin (kg) 1 25 100.000 2.500.000
kalsium hidroksida
(kg) 1 50 10.000 500.000
kemasan (sachet) 7000 25 500 12.500
Total biaya variabel 102.512.500
123

Biaya produksi = biaya tetap + biaya variabel


= Rp 44.865.833,00 + Rp 102.512.500,00
= Rp 147.378.333,00

Kapasitas produksi/hari = 7.000 sachet/hari


Harga produk/sachet = Rp 1.000,00
Kapasitas produksi/bulan = 7.000 x Rp 25 hari kerja = 175.000 sachet
Total penjualan/bulan = 175.000 x Rp 1.000,00 = Rp 175.000.000,00

Keuntungan = total penjualan biaya produksi


= Rp 175.000.000,00 Rp 147.378.333,00
= Rp 27.621.667,00

You might also like