You are on page 1of 4

Biography Of Ki Hajar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat


was born in Yogyakarta on May 2nd 1889. He
came from Pakualaman family, the son of GPH
Soerjaningrat, grandson of Pakualam III and
grew up in a family of Yogyakarta Kingdom.
Then, in 1922 when he was 40 years
old (according to the count of Caka Year),
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat changed
his name to Ki Hadjar Dewantara.
Since that time, he was no longer using a knighthood in front of his name. Based on the
Indonesian spelling in since 1972, its name is misspelled as Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara ever studied at Europeesche Lagere School (ELS) at the Dutch colonial
era it is an elementary school in Indonesia.
After graduating from ELS, then he went to STOVIA (Bumiputera Medical School) is a
school for the education of indigenous doctors in Batavia in the Dutch colonial era. This time it
became the Faculty of Medicine, University of Indonesia. Although he did not could not complete his
education because of illness.
Ki Hajar Dewantara worked as a writer and journalist in various newspapers, such as: Tjahaja
Timoer, Midden Java, De Expres, Sediotomo, Kaoem Moeda, Poesara, and Oetoesan Indies. His
writing is very communicative and brave with anti-colonial spirit.
Besides work as a writer, he is also active in social and political organizations. Since 1908, the
beginning of the Boedi Utomo (BO), he was active in the propaganda section to socialize and
Indonesian public awareness about the importance of a sense of unity in the nation.
Not only that, it turns Ki Hajar Dewantara also known as a prominent pioneer of education for
the natives of Indonesia from the Dutch colonial era.
In fact, he managed to establish a school of the National University Student Park (National
Institute of Taman Siswa Onderwijs) on July 3rd 1922.
At first the Dutch colonial government attempted to deter his plan. Dutch government issued a
Wild School Ordinance on October 1st 1932. However, because of his persistence and struggle, the
ordinance was finally lifted.
The college emphasizes a sense of nationality to indigenous education so that they love the
nation and homeland and fight for independence.
Ki Hajar Dewantaras been appointed as Minister of Teaching Indonesia referred to as the
Minister of Education, Teaching and Culture in the cabinet of the first Republic of Indonesia.
For his service pioneered education in Indonesia, in 1957 he received an honorary doctorate
(doctor honoris causa, Dr.H.C.) of the University of Gadjah Mada (UGM).
Finally, he was declared as Father of National Education of Indonesia, as well as his birth day
serves as National Education Day.
Ki Hajar Dewantara died on 26th April 1959 in Yogyakarta. He was buried at the Taman
Wijaya Brata, tombs for Taman Siswas family. His face was also immortalized on the Indonesian
currency denomination of old 20,000 rupiahs.

A. Brief Biography of Ki Hajar Dewantara


Full Name : Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Other Names : Ki Hajar Dewantara, Father of Education, and Ki Hadjar Dewantara
Profession : Education Leaders
Religion : Islam
Place of Birth : Yogyakarta
Date of Birth : Thursday, May 2nd 1889
Zodiac : Taurus
Nationality : Indonesia
Wife : Nyi Sutartinah
Date of Death : April 26th 1959
Died Age : 69 years
Grave : Taman Wijaya Brata

B. Motto of Ki Hadjar Dewantara


Ing Ngarso Sung Tulodo
Ing Madyo Mangun Karso
Tut Wuri Handayani

C. The most famous Posts of Ki Hajar Dewantara


If I A Dutch (Als ik een Nederlander was)
If I were a Dutchman, I will not hold parties independence in a country that had we took his own
independence. Parallel to the path of such thoughts, not only unfair, but also inappropriate to send the
inlander made donation to fund the celebration. The idea to implement the celebration of that should
be insulting them, and now we also dredging their gun. Lets go ahead insult outwardly and inwardly
it! If I were a Dutchman, it is particularly offended me and fellow countrymen is the fact that inlander
required to participate sponsor an activity without the slightest interest for him.
Source: De Expres, July 13th 1913
Biography Of Ki Hajar Dewantara
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat dilahirkan di
Yogyakarta pada tanggal 2 Mei tahun 1889. Beliau
berasal dari lingkungan keluarga Pakualaman, putra dari
GPH Soerjaningrat, cucu dari Pakualam III dan
dibesarkan di lingkungan keluarga kraton Yogyakarta.
Barulah pada tahun 1922 saat beliau berusia 40
tahun (menurut hitungan Tahun Caka), Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat itu pula,beliau tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Berdasarkan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972 namanya dieja menjadi
Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara pernah bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) yang mana pada
saat zaman penjajahan Belanda itu adalah sekolah dasar di Indonesia.
Setelah lulus dari ELS, kemudian beliau bersekolah di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) yaitu
sebuah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda. Saat
ini sekolah beliau menjadi menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun beliau tidak
tidak dapat menyelesaikan pendidikannya karena sakit.
Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai penulis dan wartawan diberbagai surat kabar, seperti:
Tjahaja Timoer, Midden Java, De Expres, Sediotomo, Kaoem Moeda, Poesara, dan Oetoesan Hindia.
Tulisan beliau sangat komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Selain bekerja sebagai penulis, beliau juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak tahun 1908,
awal berdirinya Boedi Oetomo (BO), beliau aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya rasa persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara.
Tidak hanya itu, ternyata Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai seorang tokoh pelopor
pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Bahkan, beliau berhasil mendirikan sebuah sekolah Perguruan Nasional Taman Siswa
(National Onderwijs Institut Taman Siswa) pada tanggal 3 Juli tahun 1922.
Pada awalnya pemerintah kolonial Belanda berupaya untuk menghalangi niat beliau.
Pemerintahan Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada tanggal 1 Oktober tahun 1932.
Namun berkat kegigihan dan perjuangannya, ordonansi tersebut akhirnya dicabut.
Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada pribumi agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Ki Hajar Dewantara pernah diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia disebut sebagai
Menteri Pendidikan, pada kabinet Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Republik Indonesia.
Atas jasanya merintis pendidikan di Indonesia, pada tahun 1957 beliau mendapat gelar doktor
kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Beliau akhirnya dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, sekaligus juga hari
kelahiran beliau dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 April tahun 1959 di Yogyakarta. Beliau
dimakamkan di Taman Wijaya Brata, makam untuk keluarga Taman Siswa. Wajah beliau juga
diabadikan pada lembaran mata uang Indonesia pecahan 20.000 rupiah lama.
A. Arti dari Biodata Singkat Ki Hajar Dewantara
Nama Lengkap : Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Nama Lain : Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan, dan Ki Hadjar Dewantara
Profesi : Tokoh Pendidikan
Agama : Islam
Tempat Lahir : Yogyakarta
Tanggal Lahir : Kamis, 2 Mei 1889
Zodiac : Taurus
Warga Negara : Indonesia
Istri : Nyi Sutartinah
Tanggal Meninggal : 26 April 1959
Usia Meninggal : 69 tahun
Makam : Taman Wijaya Brata

B. Semboyan Ki Hadjar Dewantara


Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh)
Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat)
Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan)

C. Tulisan Ki Hajar Dewantara yang paling terkenal


Seandainya Aku Seorang Belanda (Als ik een Nederlander was)
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja
tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang
kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang
Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun
baginya.
Sumber: De Expres , 13 Juli 1913

You might also like