You are on page 1of 10

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Hlm.

135-144, Juni 2012

PENGARUH PENINGKATAN SUHU TERHADAP ADAPTASI FISIOLOGI


ANEMON PASIR (Heteractis malu): SKALA LABORATORIUM

FISIOLOGY ADAPTATION OF SANDY ANEMONE (Heteractis malu) EXPOSED


TO ELEVATED TEMPERATURES: LABORATORY CONDITION

Neviaty Putri Zamani


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Corresponding author: np_zamani@yahoo.com

ABSTRACT
Sandy anemone (Heteractis malu), belongs to Phylum Cnidaria, physiologically is very close to
coral stone, which was a major component of coral reef ecosystems. As coral stone, Heteractis
malu also has symbiotic algae (Zooxanthella). Physiologically, the alga symbiotic relationship
of coral stone is almost similar with Heteractis malu. Maintaining Heteractis malu in the
laboratory is relativly easier compared to that of coral stone. Advantages of the Heteractis
malu vs. stone coral, its body is not covered by limestone makingit easier in processing
analyses. The response of the anemone to stress is expected similar with coral stone. This
research aims to analyze the response and adaptation of Heteractis malu to the temperature
increase of 1 C and 2 C of the normal temperature (28 C). The impact of temperature
increases on Heteractis malu did not significantly affect the density of zooxanthellae, however,
there was a significant increase of mitotic index. In addition, during a recovery process,
Heteractis malu immune system did not show a significant increase based on its mitotic index
results tended to decrease during the second phase of stress treatment.

Keywords: adaptation, sandy anemone (Heteractis malu), temperature increase,, zooxanthellae

ABSTRAK
Anemon Pasir (Heteractis malu), merupakan bagian dari Filum Cnidaria, secara fisiologis
sangat dekat dengan karang batu, yang merupakan pembentuk utama ekosistem terumbu karang.
Seperti halnya karang batu, Heteractis malu juga bersimbiosis dengan dengan zooxanthella.
Secara fisiologis, hubungan simbiosis karang batu dengan zooxanthella hampir sama.
Penanganan Heteractis malu di laboratorium relative lebih mudah dibandingkan dengan karang
batu karena tubuhnya tidak terbungkus kerangka kapur, sehingga mempermudah dalam proses
analisis. Hal ini sangat membantu dalam mempelajari pengaruh peningkatan suhu terhadap
pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Respon dari anemone terhadap stres suhu
diharapkan tidak jauh berbeda dengan karang batu. Oleh karena itu dalam studi ini digunakan
Heteractis malu untuk melihat respon dan adaptasi Filum Cniadria atau Coelenterata khususnya
penyusun utama ekosistem terumbu karang terhadap perubahan suhu secara global. Tujuan
penelitian ini mengkaji respon dan adaptasi Heteractis malu yang dipelihara di laboratorium
terhadap peningkatan suhu 1C dan 2C dari suhu normal (28C). Peningkatan jumlah sel
zooxanthella yang mengalami proses mitosis (dilihat dari indek mitotik), teramati pada
perlakuan peningkatan suhu 2C. Pengaruh peningkatan suhu 1C dan 2C tidak berpengaruh
nyata terhadap densitas zooxanthellae, namun terjadi peningkatan yang signifikan terhadap
mitotik indek. Akan tetapi, proses pemulihan belum memperlihatkan adanya peningkatan
pertahanan tubuh dari anemone terhadap stress yang diberikan terlihat dari kecenderungan
menurunnya mitotik index pada stress tahap II.

Kata kunci: adaptasi, anemon pasir (Heteractis malu), peningkatan suhu, zooxanthella

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 135
Pengaruh Peningkatan Suhu Terhadap Adaptasi Fisiologi

I. PENDAHULUAN sampai lima cara seperti yang di observasi


oleh Zamani (1995) dan Gates et al.
Fenomena pemutihan karang terjadi (1992). Hal serupa juga diamati dalam
karena berukurangnya pigmen dan atau penelitian Kornel et al., (in press).
densitas zooxanthella dalam lapisan Penggunaan Heteractis malu sebagai
endorem inangnya (Anemon dan karang objek penelitian akan mempermudah
batu) (Zamani, 1995). Pemutihan pada dalam proses analisis dibandingkan
Coelenterata dapat terjadi baik akibat dengan karang batu, karena tubuhnya
fenomena alam maupun antropogenik. tidak terbungkus kerangka kapur. Respon
Brown (1987) menyatakan bahwa stress dari anemone diharapkan tidak jauh
pemutihan disebabkan karena pengaruh berbeda dengan karang pembangun
perubahan salinitas dansuhu yang drastis. terumbu, sehingga dari kajian ini dapat
Brown (1988) menyatakan hilangnya dijadikan acuan lebih lanjut untuk
zooxanthella secara umum dianggap mempelajari pengaruh perubahan suhu
sebagai respon terhadap adanya global dan mekanisme adaptasi karang
gangguan/ancaman secara alami maupun batu terhadap perubahan suhu. Oleh
pengaruh kegiatan manusia. Disisi lain, karena itu dalam studi akan dikaji
karang sangat tergantung pada pengaruh peningkatan suhu 1 C dan 2 C
zooxanthella karena zooxanthella serta adaptasi Anemon Pasir (Heteractis
berkontribusi menyediakan makanan bagi malu), dengan menggunakan indikator
karang hingga 98% (Veron, 1993; Tackett densitas zooxanthella dan mitotik indeks.
and Tackett, 2002). Dapat dikatakan
bahwa zooxanthella merupakan salah satu II. METODE PENELITIAN
asosiasi endosimbion terpenting pada
lingkungan laut (Trench, 1979; Smith and Penelitian dilaksanakan pada Bulan
Douglas, 1987). Faktor utaman terjadinya Februari-Juni 2011. Sampel Heteractis
pemutihan yang ,menimbulkan kematian malu (Gambar 1) berasal dari perairan
masal karang batu secara global adalah kepulauan Seribu. Pelaksanaan
akibat peningkatan suhu air seperti yang eksperimen dilaksanakan di Laboratorium
dilaporkan Glynn (1983) di Teluk Basah dan Laboratorium Kering, Bagian
Panama; Suharsono (1984) di Pulau Pari, Hidrobiologi Laut, Departemen Ilmu dan
Indonesia; Jaap (1985) di Florida Keys, Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
Amerika. Wilkinson (2000) menyatakan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Kerusakan terumbu karang akibat Bogor. Penelitian ini dilaksanakan
kenaikan suhu meningkat hampir 2x lipat dengan menggunakan tiga set akuarium
dari 27% di tahun 2000 menjadi 40-58% Recirculation Water System (RWS).
di tahun 2010. Masing-masing akuarium mewakili
Heteractis malu, merupakan bagian masing-masing perlakuan (peningkatan
dari Filum Cnidaria yang juga suhu 1 C, 2 C dari kontrol dan kontrol
bersimbiosis dengan dengan zooxanthella, 28 C). Suhu perairan Teluk Jakarta pada
secara fisiologi sangat dekat dengan musim panas berkisar antara 28 - 30 C.
karang batu (Scleractinia). Peningkatan Peningkatan suhu 1 C pada saat suhu
suhu air dapat mengakibatkan penurunan maksimum musim panas dapat
kesehatan karang dilihat dari perubahan ,menimbulkan kematian karang
warna, produksi mukus dan abnormalisasi (Suharsono, 1984; Brown 1988). Oleh
mesenterial fillamen (Zamani, 1995, 2011; karena itu dalam penelitian ini kontrol
Kornel et al., in press). Mekanisme diambil pada suhu 28 C, untuk
hilangnya zooxanthella dapat melalui tiga menghindari stress berlebihan apabila

136 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt41
Zamani

diambil pada suhu yang lebih tinggi. merupakan waktu ketika akuarium diberi
Diharapkan pada suhu 28 C, karang perlakuan peningkatan suhu.
secara physiologis berada pada kondisi Pengamatan densitas zooxanthella
yang stabil. Masing-masing perlakuan dan pengamatan mitotik indeks
akuarium diisi tiga ekor anemon dengan menggunakan preparat segar dari
sekat dari jaring hapa sebagai pemisah potongan tentakel anemon. Pengamatan
antar anemon. dilakukan dibawah mikroskop cahaya
Terdapat tiga perlakuan terhadap pembesaran 10 X 40 dengan 5 lapang
unit eksperimen (anemon), yaitu kontrol pandang. Tiga potong tentakel diambil
(menggunakan suhu normal yaitu rata-rata pada setiap individu per hari pada saat
28oC), peningkatan 1oC dari suhu normal perlakuan dilaksanakan (Tahap I, periode
(29 oC) dan peningkatan 2 oC dari suhu istirahat dan Tahap II). Sampel yang
normal (30 oC) (Tabel 1). Secara didapat kemudian digerus dan langsung
keseluruhan eksperimen dilaksanakan dibuat preparat segar. Penghitungan
selama 192 jam, yaitu 48 jam perlakuan mitotik indeks dilakukan dengan melihat
Tahap I, 96 jam masa istirahat, dan 48 jam persentase sel zooxanthella pada fase
perlakuan Tahap II. Tahap I dan II telopase dari proses mitosis dari 500 sel
zooxanthella (Brwon and Zamani, 1992).

Gambar 1. Sampel anemon Heteractis malu.

Tabel 1. Perlakuan suhu terhadap unit eksperimen.

Awal Tahap I Istirahat Tahap II


Akuarium
(jam) (jam) (jam) (jam)
0 24 48 72 96 120 144 168 192
o
Kontrol ( C) 28 28 28 28 28 28
Perlakuan 1 (oC) 28 29 29 28 29 29
Perlakuan 2 (oC) 28 30 30 28 30 30

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Juni 2012 137
Pengaruh Peningkatan Suhu Terhadap Adaptasi Fisiologi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN pertama (Tahap I), terlihat adanya


3.1. Hasil kecenderungan penurunan densitas. Saat
Penurunan kesehatan karang dapat masa pemulihan (Tahap II), densitas
diobservasi secara visual yang secara zooxanthella meningkat. Penurunan
kualitatif dapat dilihat dari perubahan zooxanthella kembali teramati pada
warna (Kornel et al., in press). Perubahan peningkatan suhu kedua kalinya (Tahap
warna menjadi relatif lebih pucat diamati III).
setelah 24 jam dari dimulainya pemberian Pada proses pemulihan jam ke 48
perlakuan baik pada peningkatan suhu sampai dengan 144, terlihat adanya
1C maupun 2C. Lebih lanjut perubahan kecenderungan peningkatan densitas pada
pemucatan warna diikuti dengan kondisi kedua perlakuan. Namun Hasil uji
mesenterial Filamen yang abnormal. Analisis Varians (ANOVA)
Perubahan secara bertahap mulai dari memperlihatkan tidak adanya perbedaan
pemucatan sampai dengan mesenterial yang nyata antara kontrol dan treatment.
Filamen yang abnormal dapat dilihat Lebih lanjut hasil uji ini diperkuat dengan
dalam Kornel et al. (in press). uji statistik beda nyata terkecil (BNT)
Pengamatan serupa, perubahan warna dan memperlihatkan bahwa baik perlakuan
abnormalisasi mesenterial Filumment juga peningkatan suhu 1 o C dan 2 o C tidak
diamati oleh Zamani (1995) pada berbeda nyata dengan kontrol. Apakah
Heteractis malu dengan pemberian stress proses peningkatan ketahanan ini belum
suhu dan Cu (tembaga). Stress respons teruji secara nyata dengan statistik,
secara kualitatif juga teramati dengan dikarenakan kurangnya waktu dalam
meningkatnya produksi mukus (Kornel et proses pemulihan, ini perlu kajian lebih
all. in press; Zamani, 1995). Secara lanjut. Kemungkinan dengan
kuantitatif strees respon dianalisis dengan memperpanjang masa pemulihan, akan
mengkaji indek mitosis, yaitu suatu indeks memberi peluang bagi anemone untuk
yang memberikan gambaran kuantitatif membangun sistem pertahanan tubuh
proporsi sel zooxanthella yang mengalami terhadap peningkatan suhu. Sharp (1991)
proses mitosis. Secara teori dikatakan mengamati terbentuknya hsp 70 (heat
bahwa dalam kondisi stres zooxanthella shock protein) pada anemone sub tropis
akan meningkatkan kemampuan (Anemonia viridis) yang mengalami stress
membelah diri (Brown dan Zamani, terhadap peningkatan suhu 12C selama
1992). Hal ini ditunjukan dengan indek 120 jam.
mitosis. Kondisi mitotik indeks (MI)
Berdasarkan hasil uji statistik zooxanthella pada masa perlakuan (Tahap
selama 196 jam, densitas zooxanthella I dan II) dapat dilihat pada Gambar 3.
pada kontrol tidak memperlihatkan Kondisi rata-rata Mitotik Indeks (MI)
perubahan yang nyata, meskipun grafik zooxanthella pada anemon kontrol tidak
pada Gambar 2 memperlihatkan adanya terlalu berfluktuasi. Pada masa Tahap I,
kecenderungan peningkatan densitas nilai rata-rata MI mengalami peningkatan
zooxanthella setelah 48 jam sebesar dari 3,33% pada awal perlakuan (jam ke-
31,16% dan diikuti oleh penurunan 2% 0) menjadi 3,82%. Pada masa istirahat
hingga jam ke 192. Dapat dikatakan nilai rata-rata MI mengalami peningkatan
kepadatan zooxanthella selama yang besar yaitu sebesar 3,02% menjadi
pengamatan pada kontrol tidak mengalami 6,89% pada 144 jam. Namun pada masa
perubahan yang berarti. Berbeda halnya Tahap II, selain terjadi peningkatan nilai
pada perlakuan 1 dan 2 yang memiliki rata-rata juga terjadi penurunan yaitu pada
kemiripan fluktuasi pola. Setelah 48 jam jam ke-192 yang bernilai 7,11%.

138 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt41
Zamani

5
1,2x10
5
1,0x10
4
8,0x10
4
6,0x10
4
4,0x10
4
2,0x10
0

28oC 28oC 28oC

28oC 28oC 28oC

5
1,2x10
5
1,0x10
4
8,0x10
4
6,0x10
4
4,0x10
4
2,0x10
0

29oC 28oC 29oC

5
1,2x10
1,2x10
5
55
1,0x10
1,0x10
44
8,0x10
8,0x10
44
6,0x10
6,0x10
44
4,0x10
4,0x10
44
2,0x10
2,0x10
00

30oC 28oC 30oC

Gambar 2. Nilai rata-rata dan standard error densitas zooxanthella pada masa tahap I
(0, 24, 48 jam) dan tahap II (144, 168, 192 jam), kontrol (atas), perlakuan
peningkatan 1C (tengah), dan perlakuan peningkatan 2C (bawah).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Juni 2012 139
Pengaruh Peningkatan Suhu Terhadap Adaptasi Fisiologi

28oC 28oC 28oC

29oC 28oC 29oC

30oC 28oC 30oC

Gambar 3. Nilai rata-rata dan standard error mitotik indeks zooxanthella pada masa
tahap I (0, 24, 48 jam) dan tahap II (144, 168, 192 jam), kontrol (atas),
perlakuan peningkatan 1C (tengah), dan perlakuan peningkatan 2C
(bawah).

140 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt41
Zamani

Perlakuan satu dan dua (suhu 28oC) dan perlakuan dua (suhu
memperlihatkan pola nilai rata-rata MI 30oC), sedangkan pada masa Tahap II
pada masa Tahap I, istirahat, dan Tahap II analsis ragam menyatakan tidak adanya
yang tidak jauh berbeda. Pada masa perbedaan yang nyata. Sehingga dapat
Tahap I, nilai rata-rata MI mengalami dikatakan untuk parameter mitotik indeks
kenaikan pada jam ke-24 dan penurunan pada preparat segar perlakuan dua (suhu
pada jam ke-48. Namun sampai jam ke- 30oC), anemon mengalami penyesuaian
48 secara keseluruhan perlakuan satu terhadap kenaikan suhu perairan.
mengalami penururan sebesar 0,51%,
sedangkan perlakuan dua mengalami 3.2. Pembahasan
kenaikan sebesar 0,36%. Pada masa Proses adaptasi fisiologis H. malu
istirahat, nilai rata-rata MI mengalami terhadap kenaikan suhu perairan diamati
kenaikan kembali (jam ke-144) yaitu pada parameter densitas dan mitotik
sebesar 4,88% untuk perlakuan satu dan indeks zooxanthella. Pengamatan
3,77% untuk perlakuan dua. Kemudian terutama dilakukan pada masa pemberian
pada masa Tahap II, terjadi penurunan perlakuan yaitu Tahap I dan II, sedangkan
yang diikuti kenaikan nilai rata-rata MI pada masa istirahat anemon di beri
sehingga pada jam ke-192 nilai rata-rata kesempatan untuk berada pada kondisi
MI berkurang sebanyak 3,04% untuk lingkungan yang normal (seperti kontrol)
perlakuan satu dan 2,86% untuk perlakuan sebelum diberikan perlakuan kembali
dua dari nilai rata-rata MI pada jam ke- (Tahap II). Masa Tahap I (perlakuan)
144. yang diberikan bertujuan sebagai masa
Analisis ragam (ANOVA) yang adaptasi anemon terhadap stress yang
dilakukan terhadap data mitotik indeks diberikan. Masa istirahat yang diberikan
zooxanthella saat jam ke ke-24, pada bertujuan untuk memberikan waktu
selang kepercayaan 95% menunjukkan kepada anemon untuk kembali pulih
bahwa terdapat perbedaan yang nyata (diharapkan kondisi anemon kembali
antara ketiga perlakuan. Berdasarkan hal sehat) terutama untuk kondisi
tersebut, uji lanjut BNT dilakukan metabolisme oksigen (O2). Masa istirahat
terhadap data pada jam ke ke-24 yang juga diharapkan sebagai suatu proses
menunjukkan bahwa perlakuan dengan untuk memberi kesempatan anemone
suhu 300C berbeda nyata dengan kontrol membangun sistem pertahan baru
(suhu 280C) dan perlakuan dengan suhu terhadap stress yang telah diberikan.
290C tidak berbeda nyata baik dengan Berdasarkan hasil penelitian Hoegh-
perlakuan suhu 300C maupun 280C. Guldberg dan Smith (1989), kondisi
Pengamatan mitotik indeks pada metabolisme oksigen (O2) hewan karang
preparat segar memperlihatkan perbedaan yang telah mengalami stress akibat
pola perubahan nilai antara masa Tahap I kenaikan suhu, akan mengalami ketidak
dan II. Pada masa Tahap I terjadi normalan hingga 4 hari. Sharp (1991)
kenaikan nilai mitotik indeks pada jam ke- mengamati adanya suatu system
24 sebagai respon stress, sedangkan pada pertahanan baru berupa HsP 70 dari
Tahap II tidak terlihat adanya respon Anemonia viridis yang mengalami stress
stress berupa kenaikan nilai mitotik peningkatan suhu sebesar 12 oC selama
indeks pada awal dimulainya Tahap II. 120 jam. Masa Tahap II, diberikan untuk
Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji melihat apakah tahapan pemulihan yang
BNT, pada masa Tahap I (jam ke-24) diberikan telah mampu membangun
terjadi perbedaan nilai yang nyata pada pertahanan baru terhadap stress yang
selang kepercayaan 95% antara kontrol sama.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Juni 2012 141
Pengaruh Peningkatan Suhu Terhadap Adaptasi Fisiologi

Pada pengamatan densitas zooxanthella dan atau pigment) (Zamani,


zooxanthella pada preparat segar, 1995). Penurunan nilai MI zooxanthella
pemberian perlakuan cenderung akibat adanya kenaikan suhu lingkungan,
menurunkan nilai densitas zooxanthella juga ditunjukan oleh hasil penelitian
pada H. malu. Menurunnya nilai densitas Zamani, 1995 yang menyatakan jumlah
zooxanthella akibat kenaikan suhu air pembelahan zooxanthella berkurang
(lingkungan), dapat disebabkan karena seiring dengan bertambahnya suhu
meningkatnya tingkat kerusakan sel lingkungan. Hal tersebut dikarenakan
zooxanthella (hingga lebih dari empat kali oleh berkurangnya kemampuan
lipat) yang kemudian dikeluarkan dari fotosintesis akibat tingginya suhu perairan
jaringan endoderm. Hal tersebut dapat (diatas normal) (Jokiel dan Coles, 1990).
terjadi karena, anemon sebagai inang Fotosistesis menjadi faktor penting dalam
mengalami stress akibat kondisi mendukung kehidupan alga dan
lingkungan yang tidak mendukung (pada pertumbuhan jaringan tentunya.
penelitian ini berupa kenaikan suhu) Terganggunya proses fotosintesis tentu
sehingga anemon hanya menyediakan saja dapat mempengaruhi tingkat
sedikit nutrisi (zat hara) untuk pembelahan sel alga. Namun pada
zooxanthella sehingga tingkat kerusakan beberapa hasil pengamatan, juga terlihat
sel zooxanthella betrambah (Ainsworth et peningkatan nilai MI, baik anemon
al., 2008; Titlyanov et al., 1996). ataupun zooxanthella sedang terkena
Menurunnya nilai densitas juga dapat stress suhu (diberi perlakuan kenaikan
disebabkan oleh keluarnya zooxanthella suhu). Hal tersebut dapat terjadi sebagai
akibat rusaknya sel jaringan anemon akibat dari hormesis (Zamani, 1995).
karena senyawa oksigen yang bersifat Menurut Stebbing (1979), hormesis
toksik yang dikeluarkan oleh zooxanthella merupakan efek dari stimulatory sebagai
(Rachmawati, 2008). Zooxanthella akan proses biologi untuk mencegah keracunan
mengeluarkan senyawa oksigen yang dari zat beracun. Berdasarkan hal
bersifat toksik, ketika zooxanthella tersebut, dapat dikatakan hormesis
mengalami stress akibat kekurangan merupakan suatu bentuk pertahanan diri
nutrisi/zat hara. Namun jika hewan dari zooxanthella.
karang ataupun anemon mempunyai
antioksidan dari senyawa toksik tersebut, IV. KESIMPULAN
maka anemon ataupun hewan karang
dapat mempertahankan zooxanthella tetap Pengaruh peningkatan suhu 1C dan
pada jaringan endoderm. Hal tersebut 2C tidak berpengaruh nyata terhadap
yang kemungkinan menjadi penyebab densitas zooxanthellae, namun terjadi
tejadinya peningkatan nilai densitas pada peningkatan yang signifikan terhadap
data yang didapat. mitotik indek. Akan tetapi, proses
Pemberian perlakuan cenderung pemulihan belum memperlihatkan adanya
menurunkan nilai MI zooxanthella pada peningkatan pertahanan tubuh dari
H. malu. Selain nilai yang cenderung anemone terhadap stress yang diberikan
menurun, perlakuan peningkatan suhu terlihat dari kecenderungan menurunnya
juga menyebabkan nilai yang lebih mitotik index pada stress tahap II.
berfluktuatif dibandingkan kontrol. Hal Diperlukan kajian lebih lanjut dalam
tersebut dapat terjadi karena MI dari hal proses pemulihan. Kemungkinan
zooxanthella menjadi indikator yang lebih dengan memperpanjang masa pemulihan,
sensitif terhadap stress lingkungan dari akan memberi peluang bagi anemone
pada respon pemutihan (kehilangan

142 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt41
Zamani

untuk membangun sistem pertahanan Jaap, W.C. 1979. Observations on


tubuh terhadap peningkatan suhu. zooxanthella expulsion at Middle
sambo Reef, Florida Keys. Bull.
DAFTAR PUSTAKA Mar. Sci., 29:414-422.
Jokiel, P.L. and S.L. Coles. 1990.
Ainsworth, T.D., O. Hoegh-Guldberg, Response of Hawaiian and other
S.F. Heron, W.J. Skirving, and W. Indo-Pacific reef corals to elevated
Leggat. 2008. Pre-pemutihan signs temperature. Coral Reefs, 8:155
of thermal stress in reef building 162.
corals. J. of Experimental Marine Kornel, and N.P. Zamani. (in press).
Biology and Ecology, 364:63-71. Pengaruh peningkatan suhu terhadap
Brown, B.E. 1987. Heavy metals pollution hubungan simbiotik zooxanthellae
on coral reefs. In: human impacts on dengan heteractis malu.
coral reefs: facts and Rachmawati, R. 2009. Dampak
recommendations. Salvat, S. (ed.). peningkatan suhu global terhadap
Antene Museum EPHE. French simbiosis karang-zooxanthella. In:
Polynesia. 119-134pp. Jompa, J., E. Nezon, dan
Brown, B.E. 1988. Assessing Sarmintohadi (eds.). Simposium
environmental impacts on coral Nasional Terumbu Karang. Program
reefs. Proc. Int.Coral reef Symp., Rehabilitasi dan Pengelolan
1:71-79. Terumbu Karang Tahap II.
Brown, B. E. dan N. P. Zamani. 1992. COREMAP II. Departemen
Mitotic indices of zooxanthella: a Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
comparison of techniques based on Hlm.:215-226.
nuclear and cell frequencies. Mar. Sharp, V.A. 1991. The molecular and
Ecol. Prog. Ser., 89:99-102. cellular heat shock responses of
Gates, R.D., G. Bagdhasarian, and L. amonia viridis and its
Muscatine. 1992. Temperature stress endosymbiotic zooxanthella. B.Sc.
causes host cell detachment in Final Honours Project in Marine
symbiotic cnidarians: implication Biology. The Univ. of Newcastle
for coral pemutihan. Biol. Bull., upon Tyne, UK., 83p.
182:324-332. Smith, D.C., and A.E. Douglas. 1987. The
Glynn, P.W. 1983. Extensive pemutihan biology of symbiosis. Edward
and death of reef corals on the Arnold., 302p.
Pacific Coast of Panama. Stebbing, A.R.D. 1979. An experimental
Environ.Conserv., 10:149-154. approach to the determinants of
Hoegh-Guldberg, O. and G.J. Smith. biological water quality. Phil. Trans.
1989. The effect of sudden changes R. Soc. Lond. B., 286:465-481.
in temperature, light and salinity on Suharsono. 1984. Kematian alami karang
the population density and export of di Laut Jawa. Oceana, 9(1):31-40.
zooxanthella from the reef corals Tackett, D.N. and L. Tackett. 2002. Reef
Stylophora pistillata Esper and life: natural history and behaviors of
Seriatopora hystrix Dana. J. Exp. marine fishes and invertebrates.
Mar. Biol. Ecol., 129:279303. Nepune City, NJ: T.F.H.
Publications, Inc. 224p.
Trench, R.K. 1979. The cell biology of
plan-animal symbiosis. Ann. rev.
Plant Physiol., 30:485-531.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Juni 2012 143
Pengaruh Peningkatan Suhu Terhadap Adaptasi Fisiologi

Titlyanov E.A., T.V. Titlyanov, V.A.


Leletkin, J. Tsukahara, R. van
Woesik, and K. Yamazato. 1996.
Degradation of zooxanthella and
regulation of their density in
hermatypic corals. Mar. Ecol. Prog.
Ser., 139:167178.
Wilkinson and Clive (eds.). 2000. Status
of coral reefs of the world: 2000.
Australian Institute of Marine
Science, Townsville, Australia.
Veron, J.E.N. 1993. Hermatypic corals of
Ashmore reef and Cartier Island.
Part 2. In: Berry, P.F. (ed.). Marine
faunal surveys of Ashmore reef and
Cartier Island, north-western
Australia. Records of the Western
Australian Museum Supplement, 44:
13-20.
Zamani, N.P. 1995. Effects of
enviromental stress on cell division
and other cellular parameters of
zooxanthella in the tropical
symbiotic anemone Heteractis malu,
Huddon and shackleton. Ph.D.
Thesis in tropical coastal
management the Univ. of Newcastle
upon tyne. Newcastle.

144 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt41

You might also like