You are on page 1of 19
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI DAN TERLANTAR UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Wahyunto dan Ai Dariah Pembangunan pertanian di masa yang akan datang dihadapkan pada beberapa tantangan utama, antara lain: kerusakan dan degradasi sumber daya lahan dan air, peningkatan variabiltas dan perubahan iklim, penciutan dan alih fungsi (konversi) lahan pertanian produktif dan subur, serta fragmentasi lahan pertanian dan keterbatasan sumber daya lahan potensial. Di sisi lain, untuk memenuhi Kebutuhan pangan yang terus meninakat sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk dan target pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, perluasan areal pertanian baru masih sangat dibutuhkan, baik untuk pangan maupun komoditas lainnya. Hingga tahun 2035, dibutuhkan tambahan lahan sekitar 12 — 15 juta ha, sekitar 3,5 juta diantaranya adalah untuk pencetakan saweh baru (Tim Sinjak BBSDLP, 2011). Lahan gambut merupakan salah satu alternatif yang cukup potensial untuk dijadikan lahan pertanian terutama pada wilayah Kabupaten yang sebagian besar lahannya berupa lahan gambut seperti di Kubu Raya (Kalimantan Barat), Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), dan Aceh Barat (Nanggroe Aceh Darusalam). Namun pemanfaatan lahen gambut untuk pertanian menghadapi dilema, di satu sisi lahan gambut diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan ketahanan pangan, pengembangan bio-energi, dan pertumbuhan ekonomi terutama komoditas ekspor. Di sisi Iain, Indonesia mendapat desakan agar tidak membuka lahan gambut (terutama hutan rawa gambut) untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sementara itu, ketersediaan lahan potensial dari lahan mineral semakin terbatas karena tingginya persaingan dan kompetisi pemanfaatan lahan dan konflik kepentingan untuk berbagai sektor. Oleh karena itu, Jahan rawa gambut menjadi salah satu alternatif cadangan lahan di masa yang akan datang (Las et al,, 2013). Pesatnya pengembangan lahan perkebunan dalam 20 tahun terakhir, yaitu dari 8,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 18,5 juta ha pada tahun 2006 (BPS, 1986- 2006). Dalam kurun waktu tersebut, kelapa sawit merupakan komoditas primadona yang mendominasi pemenfaatan lahan pertanian, yaitu dari 0,6 juta ha menjadi 6,3 juta ha, pada tahun 2006, kemudian meningkat pesat pada tahun 2012 menjadi 9,07 juta ha (BPS, 2006 dan Ditjen Perkebunan, 2013). Pembukaan hutan gambut untuk pengembangan perkebunan, terutama kelapa sawit, pada umumnya dilakukan dengan cara tebas bakar yang menghasilkan emisi karbon dioksida (CO,) sebanyak 1.400 juta ton dan dekomposisi gambut menyumbangkan sekitar 600 juta ton CO, setiap tahun. Menurut Hoojier et al. (2006) yang telah melakukan analisis dan pendugaan emisi karbon lahan gambut di Indonesia, emisi tahunan CO, lahan gambut berkisar antara 1.400 sampai 4.500 juta ton dengan nilai tengah sekitar 3.000 juta ton. Namun nilai ppendugaan ini masin mempunyai tingkat ketidakpastian yang sangat besar, yaitu sekitar 60-70% (Agus, 2010). 329 ois. ae PPengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi dan Terlantar Untuk Mendukung Ketahanen Pengan Perubahan iklim yang telah dan akan terus terjadl, dapat mengancam pembangunan sekTor pertanian, apalagi jika tidak dilakukan upaye mitigasi dan adaptasi. Dampak negatif perubahan iklim jauh lebih besar daripada dampak positifnya. Bagi sektor pertanian upaya adaptasi menjadi prioritas utama yang harus dilakukan, terutama dalam upaya menyelamatkan dan mengamankan ketahanan pangan nasional serta berbagai sasaran pembangunan pertanian lainnya, sebagaimana terekSpresikan pada empat sukses pembangunan pertanian. Oleh karena itu, selain mendukung komitmen internasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, upaya mitigasi pada sektor pertanian juga diperlukan untuk mendukung upaya adaptasi. Pada sektor pertanian, lahan gambut merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang sangat menonjol, sehingga pengelolaan lahan gambut menjadi sangat strategis dan penting dalam usaha menurunkan emisi GRK pada sektor pertanian. Dalam keadaanalami, hutan gambut mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan gas rumah kaca secara perlahan, sehingga emisi yang dihasilkannye relatif seimbang bahkan lebih rendah dibandingkan dengan penyerapan CO, oleh vegetasi alami, sehingga hutan gambut berperan sebagai penyerap (sink) karbon. Meski demikian, cadangan Karbon dalam tanah gambut bersifat labil atau mudah terdegradasi, yakni sangat mudah teremisi jika terjadi gangguan terhadap kondisi alaminya, Makalah ini menyajikan data kebutuhan Iahan pertanian di Indonesia sebagai justifikasi bahwa engelolaan lahan gambut untuk pertanian seringkali tak terhindarkan, luas lahan gambut dan potensinya untuk pengembangan pertanian, lahan gambut terdegradasi dan terlantar, serta pemanfaatan lahan gambut terdegradasi dan teriantar untuk mendukung pengembangan pertanian, khususnya pengembangan tanaman pangan secara berkelanjutan. Kebutuhan Lahan Pertanian Untuk memenuhi kebutuhan beras dan bahan pangan nasional sampai_ dengan tahun 2025, Indonesia memerlukan tambahan iuas baku lahan sawah sekitar 3,75 juta ha dan sekitar 6,083 juta ha menjelang tahun 2050 (Las et al, 2013), itupun tidak akan mencukupi kebutuhan pangan, sehingga diperlukan tambahan luas baku lahan kering yang lebih luas lagi yaitu 5,875 juta ha. Selain itu, untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi Khususnya Komoditas ekspor (perkebunan dan hortikultura), dibutuhkan tambahan luas baku lahan sekitar 250,000-350.000 ha/tahun dan sampai dengan tahun 2025, diperlukan sekitar 4-6juta ha (Ritung et al. 2010; Mulyani dan Hideyat, 2010).Kebutuhan lahan untuk memenuhi pangan pada tahun 2025 tersebut, sudah pasti akan memanfaatkan lahan-lahan yang tersedia termasuk lahan rawa, balk itu rawa pasang surut, rawa lebak, dan lahan gambut. Dengan adenya Undang-undang No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) dinarapkan dapat mengurangi laju konversi lahan. Konversi lahan tidak hanya terjadi dari lahan sawah menjadi lahan non pertanian, tetapi juga dari lahan sawah menjadi lahan perkebunan. Sebagai ilustrasi, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, total sawah sekitar 41.000 ha, dan konversi lahan sawah ke perkebunan sawit sekitar 2,000 ha pertahun. Untuk menekan laju konversi tersebut dan melindungi pertanian pangan, Pemerintah Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah menetapkan 330 Pengeoan Lanan GambutTercegradsl don Tevlantar Untuk Mendukung Ketahanan Pangan sekitar 17,000 ha lahan sawah yang dilindungi, dengan memberikan insentif untuk lahan, sawah tersebut seperti perbaikan tata air mikro, jalan usaha tani, dan bantuan saprodi (Bappeda Tanjung Jabung Timur, 2012). Apabila seluruh Kabupaten sudah mempunyai target dan menetapkan luasan lahan sawah yang akan dilindungi dari konversi lahan, maka konversi lahan dapat diperlambat. Kementerian Pertanian memperkirakan tahun 2015 Indonesia bakal mengalami defisitahan pertanaman pangan (padi) hingga 730.000 ha, Defisitlahan itu didasarkan atas perhitungan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 255 juta jiwa, konsumsi beras nasional 38,49 juta ton, dengan konsumsi per kapita 105 kg per orang per tahun. Untuk menghasilkan 38,49 juta ton beras diperlukan lahan pertanaman 13,38 juta hektar. Adapun lahan pertanaman yang tersedia hanya 13,20 juta ha, masih dikurangi alih fungsi lahan 550.000 ha. Jika tidak segera ditangani, defisit lahan akan terus meningkat. Tahun 2020, defisit Iahan pangan akan mencapai 2,21 juta hektar, tahun 2025 mencapai 3,75 juta hektar, dan pada tahun 2030 mencapai 5,38 juta hektar abel 1), Dengan asumsi produktivitas tanaman padi rata-rata nasional 5,12 ton/ha gabah kering giling, defisit lahan 5,38 juta hektar setara dengan produksi beras 15,49 juta ton atau hampir separuh dari produksi beras saat Tabel 1. Overview Kebutuhan Lahan Sawah Untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia Sampai Dengan Tahun 2030 ‘alan pow | 202 [—a0us [2020 [200s [2030 “mah pendudc Guta ua) rari) aaaf 255 | zs] a6 | 39 ‘ebutuhan pact a ton Gx) | 694 | 6585] 57 | 73.27 | reat | 92,00 ebutuhan aban Gta ha) wasa'| aae6 | 338 | asa] 153] 16.38 Laan terse (uta ha) n2| a2] 2] 32) 132) a2 Al fungi ahan (jut na) ont | oz! ossif nf enesi| 2p Neca oss| ox] 073 | 2a | 375) 538 sinner en > OT ‘eons, Ue potarbtun er L49% pr hn Init ern star tt pc tn ‘4 Roaones onan sone 5109 hs ‘Steniecn gunn ie beet S26 Pemerintah melakukan sejumlah upaya diantaranya menurunkan konsumsi beras nasional dengan mendorong peningkatan pangan berbasis buah, sayur, dan protein umber daya lokal. Selain itu mendorong kesadaran masyarakat untuk membudidayakan tanaman pangan dan hewan peliharaan di pekarangan rumah, serta_civersifkasi pangan. Pemerintah juga berupaya menghentikan atau menekan alth fungsi lahan sawah dengan menerbitkan Undang-undang No, 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan pertanian pangan berkelanjutan, serta berencana melakukan moratorium ali fungsi lahan. Semangat Undang-Undang No.41/2009 adalah mencegah konversi lahan pertanian. Konversi hanya untuk kepentingan umum. Itupun syaratnya maha berat. Pelanggar bisa dipidana 2-7 tahun, denda minimal 1 milyar rupiah. Namun Undang- Undang ini belum efektif untuk dllaksanakan. 331 ca ie Pengelolaan Lahan Gambit Ter Ketahanan Pangan dan Tetantar Untuk Mendukung Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit. Rentang tahun 1992 ~ 2002 laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Pada tahun 2002-2006 melonjak menjadi 145.000 hektar per tahun, Akan tetapi rentang tahun 2007 — 2010 di Jawa saja laju Konversi rata-rata 200.000 per hektar per tahun (Kompas, 24/5/2011). Lahan (sawah beririgasi teknis, non teknis dan lahan kering di Jawa tahun 2007 masih 4,1 juta hektar, kini tahun 2013 tinggal 3,4 juta hektar (BPS, 2012). Indonesia boleh dikatakan telah memasuki darurat lahan pertanian pangan. Lahan sawah Indonesia sekitar 8,06 juta ha dan tegalan/kebun 12,28 juta hektar (BPS, 2012). Indonesia memang amat tertinggal dalam penyediaan lahan pertanian, khususnya sawah. Amerika Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175 juta ha, India 161 juta ha, Cina 143 juta ha, Brasil 58 juta ha, Thalland 31 juta dan Australia 50 juta ha. Luas lahan pertanian khususnya lahan sawah per kapita di Indonesia sekitar 0,03 hektar, Bandingkan dengan Australia 2,63 ha, Amerika Serikat 0,61 ha, Brasil 0,34 ha, China 0,11 ha, India 0,16 ha dan Vietnam 0,10 ha (Kementerian Pertanian, 2011). ‘Selama ini produksi padi bertumpu pada sawah-sawah subur di Pulau Jawa. Dengan dukungan irigasi teknis, produktivitas sawah di Pulau Jawa tergolong tinggi (51,87 kuintal per hektar) ketimbang di luar Pulau Jawa (39,43 kuintal per ha) sehingga Pulau Jawa menghasilkan surplus beras. Selama ini pencetakan sawah baru oleh pemerintah rata-rata 37.000 ~ 45.000 hektar per tahun (Ditjen PSP, 2012). Jika konversi lahan tak terkendali, terutama di Pulau Jawa surplus beras tak akan terjadi, lahan pertanian di Pulau Jawa terancam punah/habis dan berdampak pada rentannya ketahanan pangan nasional. Tenaga kerja di sektor pertanian kehilangan pekerjaan, jumlah pengangguran meningkat dan akan menimbulkan kerawanan sosial. Pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu sosial ekonomi lahan non pertanian. Perpaduan antara permintaan, dan rente lahan non pertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi lahan berjalan masif. Dalam jangka pendek, konversi lahan seolah-olah menguntungkan secara ekonomi, Namun konversi lahan yang tak terkendali membuat ketahenan pangan rapuh, produksi domestik merosot, akhimya negara kita bergantung pada pangan impor. Sebagian besar pangan dunia bersifat oligopoll, pasarnya tipis dan harganya tidek stabil. Menurut BULOG (1973) setiap satu hektar sawah di Jawa yang dikonversi, akan hilang dana 4.000 USD untuk membuat kebun beras. Dengan laju konversi 145.000 hektar per tahun, nila ekonomi yang lenyap 580 juta dollar AS (Rp.5,3 trillyun) per tahun, Adapun padi yang Ing 1,3 juta ton gabah. Kerugian konversi kian besar bila biaya pemeliharaan sistem igasi dan rekayasa kelembagaan pendukung diperhitungkan. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto (2005), investasi mengembangkan ekosistem sawah per hektar adalah 210 juta rupiah pada tahun 2005, Ini belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap, penggilingan padi, buruh tani, industri input (pupuk, pestisida, alat pertanian) dan sektor pedesaan lain. Dampak lingkungan yang bisa timbul akibat ali fungsi lahan sawah diantaranya suhu udara meningkat, potensi banjir, erosi dan longsor lebih besar, serta kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Dampak berganda konversi itu tak pernah 332 Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradas dan Terlantar Untuk "Mendiukung Ketahanan Pangen disadari karena sawah seringkali hanya dinilai sebagai penghasil pangan dan serat. Padahal selain menghasilkan pangan, sawah bersifat multifungsi, yakni selain menjaga ketahanan pangan, juga dapat menjaga kestabilan fungsi hidrologis DAS, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan, dan mempertahankan nila-nilai Sosial pedesaan, sehinga bisa menjadi obyek wisata yang menarik Meskipun lahan pertanian mempunyai banyak fungsi, namun sampai saat ini alth fungsi ahan pertanian (terutama pertanian lahan pangan) ke non pertanian sulit dibendung, padahal kebutuhan akan lahan semakin meningkat, oleh Karena itu ekstensifikasi lahan pertanian juga sulit dibendung, dan salah satu agroekosistem yang menjadi sasaran ekstensifikasi pertanian adalah lahan gambut. Luas Lahan Gambut Di Indonesia Berdasarkan hasil perhitungan secara spasial, luas lahan gambut di Indonesia yang tersebar di 3 pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2011) adalah 14.905.574 hektar (Tabel 2). Penyebarannya selalu berada atau berasosias! dengan daerah rawa-rawa. Lahan gambut terluas terdapat di pulau Sumatera, yaitu 6.436.649 hektar dengan luasan berimbang antara ke dalaman dangkal (50-100 cm) sampai sangat dalam (> 300 cm). Sebaran lahan gambut terluas di Sumatera terdapat di Provinsi Riau, Sumatera Utara, kemudian Sumatera Selatan,dan Jambi. Sedangkan provins! lainnya lahan gambut luas kurang dari 200.000 hektar. Lahan gambut di Kalimantan terluas kedua setelah Sumatera, yaitu 4.778.004 hektar, dengan ke dalaman dangkal sampai sangat dalam hampir merata. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki lahan gambut terluas (2.644.438 hektar) di Kalimantan, disusul Kalimantan Barat dengan luas 1.046.483 hektar. Provinsi Kalimantan Timur hanya sekitar 332.365 hektar dan Kalimantan Selatan 106.271 hektar. Papua mempunyai lahan gambut sekitar 3.690.921 hektar, didominasi gambut dangkal (50-100 cm) yaitu sekitar 2.425.523 hektar dan gambut sedang (100-200 cm) seluas 817.651 hektar, dan gambut dalam (200-300 cm) seluas 447.747 hektar. Penyebaran terluas terdapat di Provinsi Papua seluas 2.644.438 atau 71,65% dari total Jahan gambut Pulau Papua, sedangkan di Provinsi Papua Barat sekitar 1.046.483 atau 28,35% dari luas total gambut Pulau Papua. Berdasarkan database yang dihimpun di Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian, tanah gambut hemik memiliki penyebaran paling luas di Indonesia, yaitu sekitar 80% dari luas tanah gambut di Indonesia. Sekitar 2,1 juta ha merupakan tanah gambut hemik bersulfat masam (SulfAhemists).Tanah gambut fibrik dan gambut saprik masing-masing 8% dan 12%. Secara agronomi, diperkirakan sekitar 40-50% lahan gambut potensial/sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradas! dan Terlantar Untuk Mendukung ketananan Pangan Umumnya lahan gambut tergolong sesuai marjinal (tingkat kesesuaian rendah) untuk berbagai jenis tanaman pangan dengan faktor pembatas utama media perakaran yang masam, asam organik yang beracun, unsur hara rendah dan drainase yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Sebagian lahan gambut telah dibuka oleh penduduk setempat secara swadaya atau oleh pemerintah melalui program transmigrasi. Sebagian dari area yang sudah dibuka menjadi terlantar karena salah dalam pengelolaannya Karena keterbatasan lahan produitf, akhimya lahan gambut juga dimanfaatkan untuk ekstensifikasi pertanian terutama untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan tanaman hortikultura, Namun demikian pemanfaatan lahan gambut, terutema untuk pertanian menimbulkan berbagai polemik, terutama dikaitkan dengan dampaknya terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan kerusakan lingkungan. Tabel 2. Lahan Gambut di Indonesia [a a pa |] of es rw ot | am | am | ot | om |e | Sy_| Son mab | ware tiasd |= (ae | a surotavirn | mosis | eam | asa | atta | toe ‘Sumatra barat 11.454 24370 14533 erat 100.685 | 1,56 | tau sooace | o0assa | sxesae | "4" | ae67a14 | sous ‘Kep.Riau 103 8.083 2 S 8.185, 013 | Jombi susie | 142716 | 305811 | 40.746 | 21.089 | 965 | vote | nase | ame | czas | a | ess | as mace sian | mea57 | sissoy | ey | | sama | 2961 ventana Beltung 42.568 : . : 42.568 | 066 | Lampung 49.331 a 49.331 0,77 1,242.96 | 1,718.56 | sumatra 1.767.303 | 1.707.826 | “0 0 | 6.436.649 | 100 Kalimantan Barat | 421.697 | 818.460 | 192988 | 246.989 | 1.690.134 | 35,16 kalimantan Tengah | 572372 | 508.648 | 632.989 | 945.205 | 2.659234 | 55,66 | Kalimantan Selatan | 10.185 | 21.124 | 74.962 - 106271 | 2,22 Kalimantan Timur | 44357 | 41582 | 71am | 74597 | 322265 | 696 1072.76 | 1.26681 1000 | Kalimantan | 1.048.611 | 1.369.814 | 9 1 | 4778005 | 0 Papua 1.506.913 | 817.651 | 319.874 | - | 2.604.438 | 71,65 | Papua barat | 918.610 - w7s7s| | 1.046.483 | 28,25, Papua. 2.425523 | eizest_| 447747 | _- _| 3.650921 | 99,90 | 276347 | 258537 | 14.05.57 | indonesia _| 5.241.437 | 3.915.201 | “6 1 5 100 Lahan gambut dangkal (ketebalan <100 cm) umumnya sesuai untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura semusim (sayuran dan buah). Secara agronomis (produktivitas) dan secara ekonomis, sekitar 25-35% lahan gambut cukup potensial dan sesuai untuk pengembagen pertanian. Kelebihan lain dari pemanfaatan 334 Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi dan Terlantar Untuk Mendukung Ketananan Pangan l2han gambut ini adalah tersedia dalam kawasan dan hamparan yang cukup luas, tidak seperti di lahan kering (terpencar-pencar dan skala kecil). Sekitar 9 juta ha lahan gambut layak dikembangkan untuk pengembangan pertanian. Fakta di lapangan saat ini sekitar 15-20% lahan gambut telah dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian, terluas Untuk kelapa sawit, yang umumnya sangat produktif dan menguntungkan petani. Fakta lain menunjukkan bahwa, sebagian lahan gambut ini sudah dibuka dan saat ini sebagian berupa lahan terlantar (semak belukar dan rerumputan) yang secara ekonomis tidak mempunyai nilai tambah (3,7 juta ha). Apabila Iahan tersebut dimanfaatkan untuk perkebunan yang memperhatikan aspek lingkungan, maka pemanfaatan lahan gambut tersebut akan memberikan keuntungan dan mempunyai nilai tambah ekonomis bagi penggarapnya. Karakteristik Lahan Gambut Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun 2009 disebutkan Iahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaennya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Sedangkan lahan gambut didefinisikan sebagai: lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk dari endapan yang berasal dari penumpukan sisa-sisa (residu) jaringan tumbuhan masa lampau yang melapuk dengan ketebalan lebih dari SO cm (Rancangan Standard Nasional Indonesia-R-SNI, Badan Sertifikasi Nasional, 2013). Profil tanah gambut dicirikan oleh lapisan-lapisan gambut yang jenuh air, berwarna gelap, hitam, atau coklat tua kehitaman, tersusun dari bahan organik dengan tingkat kematangan (degree of decomposition) fibrik, hemik atau saprik, kadang berselingan terkadang pula berurutan. Sifat-sifatfisik dan kimia tanah gambut, tidak saja ditentukan oleh tingkat dekomposisi bahan organik, tetapi juga oleh tipe vegetasi dari mana bahan organik aslinya berasal. ari interpretasi hasil analisa 219 profil tanah gambut, sebanyak 106 dari Sumatra, 101 dari Kalimantan, dan 12 dari Papua (dulu Irian Jaya) dapat disimpulkan sifat-sifat tanah gambut sebagai berikut, sifat-sifat tersebut seringkali menjadi faktor penghambat pengembangan gambut untuk pertanian: a. Sifat fisik tanah gambut Sifat-sfatfisik gambut yang penting, disamping warna, adalah bobotisi (bulk density! BD) porositas dan daya menahan ait, penurunan permukaan gambut (subsidence) dan pengkerutan tak balik (irreversible shrinkage), Kering tak balik (Irreversible drying). Karena bobot isinya sangat rendah, 0,05-0,4 gram/cm?, dibandingkan bobot isi tanah mineral, 0,8 - 1,3 gram/cr’, maka tanah gambut bersifat ringan. Nilai BD ini sangat bervariasi pada berbagai tipe gambut, bahkan pada satu tipe gambut, tergantung 335 Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi dan Terlantar Untuk Mendukung Ketahanan Pangan pada asal bahan organik, tingkat kekompakan dan tingkat dekomposisi gambut. Bahan fibrik/hemik mempunyai BD lebih ringan, 0,06 ~ 0,15 gram/cm:, dari pada bahan hemik/ saprik, 0,10-0,30 gram/cm?, Ruang pori total untuk bahan fibrik/hemik adalah 86-91% (volume) dan untuk bahan hemik/saprik 88-92%, atau rata-rata sekitar 90% volume (Suhardjo dan Driessen, 197). Akibat dari sifat ini, gambut memiliki daya dukung beban atau daya tumpu (bearing capacity) yang rendah, dan alat-alat mekanisasi pertanian seperti traktor dapat tenggelam dalam kondisi demikian. Karena porositas yang tinggi, gambut merupakan bahan spongy dan bersifat Koloidal, sehingga mempunyai daya menahan air yang sangat besar per satuan berat. Dalam keadaan jenuh, kandungan air tanah gambut dapat mencapai 4,5 ~ 30 kali bobot keringnya. Di daerah rawa wilayah kubah gambut yang masih asli, dapat berfungsi sebagai penambat air (reservoir), yang dapat menahan banjir dan mampu mengalirkan air pada musim kemarau. ‘Tanah gambut mengalami penurunan permukaan (subsidence) apabila dibuka dan direklamasi. Dalam keadaaan masih asl, gambut bersifat jenuh air, Koloidal dan sangat longgar oleh karena porositas tinggi disertai BD yang rendah. Apabila lahan pasang surut direkiamasi dan air tanahnya turun, gambut secara berangsur akan kehilangan airnya. Gambut berangsur kempes, dan diwujudkan dalam bentuk subsidence atau penurunan permukaan tanah gambut. Kecepatan penurunan cenderung lebih besar pada gambut dalam. Chamber (1979) di Delta Upang, Sumatera Selatan mendapatkan penurunan permukaan tanah gambut antara 2-5 cm/tahun pada gambut dangkal (0,5-1,0 m) selama 8 tahun sesudah pembukaan. Dradjat et al. (1989) di Barambal, Kalimantan Selatan mencatat penurunan gambut dangkal (0,5-1,0 m) sebesar 1,6-5,5 cm/tahun. ‘Andriese (1997) mengatakan bahwa kecepatan penurunan_ permukaan tanah gambut rata-rata di Indonesia dan Malaysia, berdasarkan data terakhir adalah 2-4 cm/tahun, penurunan awal pada tahun-tahun pertama terkadang mencapai 6 cm/tahun. Akibat dari reklamasi tanah gambut, disamping kempes (mengalami pengkerutan/ skrinkage) dan mengalamipenurunan permukaan (subsidance), gambut menjadi kompak dan lebih padat, serta lebih terbuka di udara (menjadi lebih bersifat oksidatif/ aerob). Dalam suasana aerobik, proses mineralisasi gambut, yang menyebabkan gambut teremisi dalam bentuk CO,, berlangsung sangat dominan, sehingga gambut cepat menjadi tipis dan habis. Proses ini seringkali disebut sebagai proses oksidasi gambut, yang umumnya dianggap sebagai proses utama yang mengakibatkan lenyapnya gambut. Pada musim kemarau yang panjang, gambut mudah sekali terbakar dan sangat sulit dipadamkan, Karena lapisan gambut yang terbakar terdapat di bawah permukaan tanah, sehingga tidak nampak di permukaan. Kebakaran gambut yang besar dapat ‘menghabiskan lapisan gambut pada areal yang sangat luas, beriangsung lama dan asap tebal yang dihasilkan dapat mengakibatkan polusi udara. Oleh Karena itu, kebakaran gambut harus dicegah sejak awal, karena sangat merugikan pertanian, disamping ‘menghabiskan sumber daya lahan yang penting yang bersifat non renewable, 336 Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi dan Terlanter Untuk ‘Mendtukung Ketananan Pangan b. Sifat kimia tanah gambut Dari segi sifat kimia, sifat-sifat gambut yang penting dan spesifik adalah nila kemasaman tanah (pH), kandungan unsur hara makro (N,P,K) basa-basa dapat tukar, kapasitas tukar kation (KT) dan kejenuhan basa (KB), kandungan abu dan unsur mikro. Semua ini merupakan sifet-sifat yang mempengaruhi kesuburan tanah gambut. Kandungan abu dalam bahan gambut, menentukan apakah gambut termasuk eutrofik (relatif kaya hara), oligotrofik (masam dan miskin hara), atau mesotrofik, yang terletak diantara keduanya, Kemasaman tanah gambut ‘Tanah gambut mempunyai reaksi masam ekstrim (pH 3.5 atau lebih rendah) sampal ‘sangat masam sekali (pH 3.6 - 4.5). sebagian terbesar lapisan atas tanah gamut (0-50 ‘cm) bereaksi sangat masam sekali dan sebagian masam ekstrim. Pada gambut dangkal dan gambut sedang (ketebalan <3m) , kemasaman lapisan bawah cenderung tetap atau menurun. Pada gambut dalam dan gambut sangat dalam, reaksi gambut di lapisan bawah umumnya menjadi sama ekstrim, dan mencapai pH 2.6 - 2.9. gambut dangkal dan gambut sedang umumnye menunjukan reaksi tanah sedikit lebih baik dibandingkan, dengan gambut dalam dan sangat dalam (>3m). Bahan organik (C, Nand C/N) Kandungan bahan organik yang ditunjukan oleh kadar C-organik, menunjukan nilai sangat tinggi (6-91%) di seluruh lapisan, terkecuall lapisan mineral bawah. Sebagian besar berkisar 35-65%. Kandungan nitrogen (N) seluruh lapisan gambut juga umumnya sangat tinggi (>0,75%). Sebagian di lapisan tengah dan bawah cenderung tinggi (0,5- 0,75%). Nilai asio C/N di seluruh lapisan umumnya sangat tinggi (35-69), dan sebagian tinggi (16-25). Kandungan C, N, dan C/N seperti ini berlaku pada semua gambut, dari gambut dangkal sampai gambut sangat dalam. Kondisi seperti ini dapat diartikan bahwa walaupun kandungan nitrogen tanah gambut tinggi sampai sangat tinggi, namun berada dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman (Subagyo, 2002). Kandungan hara Ekstraksi kandungan P dan K taneh dengan 25% HCl, sebagai P,0, dan K,0, mencerminkan kandungan potensial P dan K dalam tanah. Sedangkan ekstraksi P dengan Bray-1 menyataken kandungan P tersedia dalam tanah. Kandungan P dan K potensial dalam tanah gambut umumnya bervariasi. Umumnya lapisan atas (0-50 cm) ‘cenderung lebih baik, yakni sedang-tinggl (21-40 sampai 41-60 mg) P,0,/100 gram tanah atau K,0/100 gram tanah, dibanding lapisan bawah yang umumnya sangat rendah (<15 mg P,0, dan <10 mg K,0 /100 gram tanah). Kandungan P tersedia, lebih bervariasi. Pada gambut eutrofik dengan ketebalan <3m, kandunganya sampai sedalam 1 meter, umunya termasuk sedang-tinggl, Pada tipe gambut lainnya, hanya lapisan atas yang kandungannya sedang-tinggi. 337 Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi dan Teriantar Untuk Mendukung ‘etahanan Pangan Lapisan bawah umumnya menunjukan kandungan P tersedia sangat rendah-rendah. Kecenderungannya, seperti pada P dan K potensial, yaitu kandungan P tersedia lapisan atas sedikit lebih tinggi dari pada kandungan di lapisan-lapisan bawahnya (Subagyo, 2002). Kandungan P dan K lapisan atas yang lebih tinggi diperkirakan datang dari siklus hara tanaman, dimana perakaran dapat mengekstrak P dan K dari lapisan-lapisan bawah gambut, kemudian membebaskannya kembali sewaktu dekomposisi serasah di permukaan tanah. Basa-basa dapat tukar, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa Jumizh basa-basa dapat tukar, Ca, Mg, K dan Na, secara umum sebagian besar tergolong rendah (<2,5 cmol(+)/kg tanah) sampai sangat rendah (2,6 - 6,5 cmol(+)/kg tanah). Lapisan atas gambut memilki kandungan jumiah basa-basa sedikit lebih tingoi, dibanding lapisan bawah. Sebagian gambut dangkal dan gambut sedang, memilik kandungan basa sedang, tetapi sebagian lagi sangat rendah. Dengan demikian gambut dangkal dan gambut sedang (ketebaian gambut <3 m) ada yang bersifat eutrofik dan ada pula yang berisfat oligotrofik. Dari kandungan basa individual, Ca umumnya sangat rendah sampai rendah, Mg rendah sampai rendah, dan K serta Na umumnya rendah sampai sangat rendah. Pada gambut yang terpengaruh air payau atau salin, ditemukan kandungan K dan Na tinggi sampai sangat tinggi Kapasitas tukar kation (KTK-pH7) oleh karena kandungan bahan organik tinggi, niainya hampir semuanya tergolong sangat tinggi (60-135 cmo(+)/kg tanah). Kejenuhan basa (KB-pH 7) semuanya termasuk sangat rendah (1-15%). Hal ini sangat berkaitan dengan reaksi tanah (pH) yang masam ekstrim sampai sangat masam, disertai dengan kandungan basa-basa khusunya Ca yang sangat rendah sampai rendah. Kandungan Aluminium (Al) Data kandungan Al pada tanah gambut, dapat dinyatakan sebagai kejenuhan Al dan Al dapat tukar (ekstraksi 1 N KCI). Kejenuhan Al cinyatakan berdasarkan rasionya dengan CEC Efektif, yaitu jumlah basa-basa , A dan H* Berdasarkan data KTK efektif, pada gambut dangkal kejenuhan Al bervariasi, sedang atau sangat tinggi (40-60% atau >80%) di seluruh lapisan. Pada gambut sedang, kejenuihan Al tinggi sampai sangat tinggi, dan cenderung menurun di lapisan bawah. ‘Sedangkan pada gambut dalam dan gambut sangat dalam, kejenuhan Al umumnya terlolong rendah, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah (Subagyo, 2002) Kandungan Al dapat tukay, dibanding dengan tanah mineral dimana kandungan lebih dari 2 cmol(+)/kg tanah dinilai sudah tinggi, maka pada tanah gambut kandungan ‘umumnya sangat tinggi dan bervariasi dari 2-33 cmol(+)/kg tanah. Jika untuk tanah gambut, kandungan Al dapat ditukar kurang dari 2, antara 2-10, dan lebih dari 15 cmol(+)/ kg tanah dinilai sangat rendah, sedang, dan sangat tinggi, maka tanah gambut dangk2!, gambut sedang dan gambut dalam, kandungan Al dapat ditukar termasuk sedang sampai sangat tinggi. Pada gambut sangat dalam, umumnya relat sangat rendah sampai rendah. 338 Pengelolaan Lahan Gambut Terdeoradsi dan Teriantar Untuk ‘Mendvkune Ketahanan Pangan Lapisan tanah mineral di bawah gambut Tanah mineral di bawah gambut, ikut menentukan tingkat kesuburan alami gambut, tanah di bawah cambut dapat berupa endapan liat non marine, liat marine, atau pasir kwarsa. Endapan liat non marine ditemukan pada gambut pedalaman, dan karena terbentuk dalam lingkungan endapan air tawar, tidak mengandung bahan sulfidik (pirit) Apabila tanah bawah berupa liat marin, berarti bahwa tanah bawah gambut terbentuk dalam lingkungan iaut, sehingga mengandung bahan sulfidik. Gambut dengan tanah bawah liat marin, berpotensi lebih buruk, karena permasalahan agronomi yang cukup berat, sesudah gambut direklamasi. Sebagai akibat pembukaan pada gambut dangkal dan akibat subsidence, lapisan bawah yang mengandung bahan sulficik dapat terbuka (exposed) di udara. Oksidasi bahan sulficik akan menghasilkan senyawa toxic, antara lain membanjirinya ion H (pH turun drastis), serta konsentrasi Al dan Fe-bebas yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Apabila tanah bawah berupa pasir kwarsa, juga ‘merupakan indikasi bahwa potensi kesuburan gambut rendah, Karena bahan organik aslinya berasal dari vegetasi hutan yang miskin hara, Pengelolaan Lahan Gambut Di Indonesi Kawasan lahan gambut sebagai bagian dari ekosistem lahan rawa_memiliki ‘multi fungsi antara lain fungsi ekonomi, pengatur hidroioai lingkungan, budaya dan biodiversity. Dari sisi ekonomi Iahan gambut adalah sumber daya lahan yang sebagian dapat dimanfaatkan untuk pembangunan pertanian. Darl aspek hidrologi, lahan gambut adalah penyangga hidrologi kawasan dan peresapan air untuk menghindari banjir dan kekeringan. Dari segi lingkungan lahan gambut menyimpan cadangan karbon sangat besar dan rentan terhadap terjadi emisi gas rumah kaca bila keasliannya terusik. Sementara itu. dari sisi pelestarian keaneka-ragaman hayati, lahan gambut adalah habitat asli beberapa jenis tanaman langka seperti ramin, jelutung rawa, serta berbagai Jenis burung, ikan dan satwa lar Sesuai dengan Keppres No. 32/1990 dan Permentan No. 14/2009, gambut dengan ketebalan <3 m masih bisa digunakan untuk budidaya tanaman dengan syarat tidak masuk dalam kawasan lindung, substretumnya buken pasir kuarsa dan tingkat kematangannya saprik atau hemik. Untuk kawasan yang memenuhi syarat tersebut, dalam pemanfaatannya harus tetap berdasarkan pendekatan Konservasi. Namun untuk beberapa daerah yang wilayahnya didominasi oleh lahan gambut seperti di Kabupaten Bengkalis (Riau), Kabupaten Kuburaya (Kalimantan Barat), Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), Tanjung Jabung, dan Muaro Jambi (Jambi), Aceh Barat (NAD), Asmat (Papua), impiementasi kedua peraturan tersebut menjadi dilema karena perekonomian daerah dan masyarakatnya sangat tergantung pada lahan gambut. Kasus di Kabupaten Kubu Raya dan Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan, petani terhadap lahan gambut rata-rata mencapai 82,89%. Tingkat ketergantungan yyang paling tinggi adalah sayuran dan karet yaitu masing-masing 91,33% dan 91,21%. Sedangkan petani kelapa sawit dan jagung masing-masing sebesar 80,31% dan 53,68%. Karena dominannya lahan gambut maka pemanfeatan Iahan gambut bukan merupakan pilihan, melainkan suatu keharusan. Ekspansi pertanian ke lahan gambut 339 4 Pengotolaan Lahan Gambut Terdegradasi dan Torlantar Untuk Mendukung ketananan Pangan dapat dilihat dari perubahan tutupan lahan yang signifikan dapat diamati dari daerah- daerah yang sangat ekstensif mengembangkan perkebunan (Tabel 4). Saat ini pemanfaatan tanah gambut untuk pertanian mulai dibatasi terkait isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, sehingga harus mengacu kepada INPRES No. 10/2011 kemudian diperpanjang dengan INPRES No. 6 tahun 2013 (berlaku 2 tahun) tentang penundaan jin baru dan penyempumnaan tata kelola hutan alam/primer dan lahan gambut dan Permentan No.14/2009 tentang pedoman penggunaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Tabel 4. Pemanfaatan lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat tahun 1986 -2008 ©] anew [amon | aeee [__aapearn rears | Sra | oteee [ ea | tavern [ Grew [ oer | Rae = sas] mam) me) ama) aan] mer] am 2 | se aoe} am] am] ve] sea] seme) ase 2 | seat tne wo} | am] am] oa ™ 4 | ne tm) am] sae] ams] un] asa 5 | exc us| mi] ous] mm] nee] ss] se 6 | sen eo 3] |] ww] on] em + | a se] sar] sm] am + | wa} si} um) same] soe] amu] a6 0 | es) we) va) a 1 |sananamn | 7 3} wa) ow) om) ow 2 | see “0 vo} us| om) me] | min eran | om vm) coo] aera] ea 1 |smeamnurvnsy | or a| wo] am! in| xe ratsvaiiein | ne] sme] ene [ ame | am | nae | on Tanah gambut memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tanah mineral Tanah gambut alami memiliki sifat hidrofiik dan mampu menahan air sampai 13 kali bobot keringnya. Oleh karenanya gambut secara fisik lembek serta memiliki BD dan daya menahan beban yang rendah (Nugroho et al. 1997). Bila didrainase, lahan gambut ‘akan mengalami subsiden (penurunan permukaan), dan potensial mengalami kering tidak balik (irrversible drying) dan bersifat hidrofobik. Bahan aktif pada gambut terietak pada fase caimya, oleh karena itu jika fase cair dari gambut hilang maka kemampuan gambut untuk menyerap air apalagi hara juga ikut hilang. Kandungan asam-2sam organik tanah gambut tinggi, hal inilah yang menyebabkan tanah gambut mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi dengan kisaran sekitar pH 3 ~ 4, Tanah gambut oligotropik di pedalaman, banyak dipengaruhi air hujan memiliki tingkat kemasaman lebih tinggi dibandingkan gambut eutropik di tepi pantai yang dipengaruhi air laut (Salampak, 1999), Tanah gambut di Indonesia umumnya tergolong 340 Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi dan Terlantar Untuk Mendukung Ketahanen Pangan gambut kayuan yang bila melapuk menghasilkan asam-asam fenolat yang bersifat racun bagi tanaman (Sabiham et al. 1997). Keberadaan asam-asam fenolat ini menjadi kendala utama dalam budidaya tanaman di lahan gambut. Secara inherent, gambut tropis memiliki kandungan basa-basa dan hara yang rendah, baik hara makro maupun mikro. Hal ini berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan. Secara fisik, jika diganggu/dibuka lahan gambut bersifat_fragil (ringkih) dan dibutuhkan teknoiogi dan penanganan yang khusus dan dengan input tinggi. Jika dibuka dan didrainase, terjadi percepatan dekomposisi dan peningkatkan emisi GRK (terutama CO,), gangguan tata air (hidrologi), subsidensi dan ancaman kebakaran lahan. Percepatan dekomposisi gambut yang dikelola untuk pertanian utamanya akibat dilakukannya drainase. Pada gambut yang tidak terpengaruh drainase seperti di hutan primer, emisi dari dekomposisi tanah organik diasumsi sama dengan nol (IPCC, 2006). Apabila gambut didrainase, diperkirakan laju emisi meningkat sekitar 0,9 t CO, /ha/tahun untuk setiap tambahan ke dalaman drainase 1 cm (Hooijer et al, 2010; Couwenberg et al,, 2010). Namun demikian Agus (2013) menyatakan perlu angka konversi untuk meniadakan kontribusi respirasi akar, dan berdasarkan penelitian Handayani (2009), sekitar 30% dari emisi pada perkebunan kelapa sawit tersebut berasal dari respirasi akar. Hubungen drainase dengan emisi juga tidak senantiasa bersifat linear karena pada kondisi muka air tanah yang tertalu dalam, emisi kembali menurun, kemungkinan kondisi gambut yang terlalu kering menyebabkan aktivitas mikriorganisme dekomposer menjadi menurun. Emisi dari lahan gambut terjadi juga akibat kebakaran lahan, baik disengaja atau tidak. Kebakaran gambut umunya terjadi saat dilakukan pembukaan lahan, atau untuk mendapatkan amelioran delam bentuk abu, Kebakaran juga sering terjadi karena gambut dalam kondisi terlalu kering. Lahan Gambut Terdegradasi dan Terlantar Lahan gambut terdegradasi merupakan lahan gambut yang telah mengalami penurunan fungsi hidrologi, produksi, dan ekologi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Degradasi lahan gambut salah satunya ditandal dari semakin menurunnya permukaan gambut, hal ini bisa terjadi karena gambut mengalami, pemampatan dan pengkerutan, atau hilangnya masa gabut karena proses dekomposisi. Hal ini menyebabkan berkurangnya atau hilangnya fungsi hidrologis dari lahan gambut, bahaya lainya yang berpotensi timbul adalah meningkatnya kemasaman tanah, apabila lapisan mineral di bawah lapisan gambut adalah tanah mineral berpirit, yang dapat muncul ke permukaan karena lapisan gambut bertambah tipis atau hilang. Jika lapisan di bawah gambut merupakan pasir kwarsa, maka kemampuan lahan sebagai penopang sistem produksi biomasa akan semakin menurun Sebagai acuan, hutan rawa gambut alami atau masih berupa hutan rawa primer diasumsikan belum terdegradasi. Apabila sudah terjadi salah satu atau lebih indikator berikut, berarti Jahan gambut sudah mengalami degradasi. Indikator tersebut antara 341 Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradas! dan Terlantar Untuk Mendukung ketahanan Pangan Iain adalah : (i) sudah ada penebangan pohon; (ii) ada jalan logging; (i) bekas kebakaran; (iv) kering/tidak tergenang, dan (v) adanya penambangan. .Digunakan skala makro untuk mengilasifkasi lahan gambut tidak terdegradasi dan lahan gambut terdegradasi berdasarkan tipe landuse/landcover dan kondisi landcsape yang tampak pada citra satelit dan mudah dikenali di lapangan. Dengan demikian lahan gambut terdegradasi dan atau lahan gambut terlantar diasumsikan merupakan lahan gambut ditumbuhi semak/belukar. Lahan gambut terdegradasi di Indonesia diperkirakan seluas 3,75 juta ha (Tabel 3). Tabel 3. Lahan gambut dan jenis penggunaan, dan lahan gambut terlantar/terdegradasi Di Indonesia (dalam hektar) Laem gambit Penggunaan kan | snes | rasirantan | pape Dilan hun da T ee tan pine, sec, manarove,t, | 228823 | 2.77619 | 3225078 Tanoman semsm (aan kein, nth dan Hor | aaoase 2 aces a Hort) asr2ii | 25259 | porn ‘erhebunan (nt dana) szszm8 | ps36 | 2057 Somak bela, gambut > seioe | 363030 | ‘Serak Deda, gamut 23m ‘aaasi | 2adans | A506 ‘Serak bata, gamut 3 m pertumbuhan tanaman dan hasil tanaman masin menguntungkan, hanya saja dari segi lingkungan dan dampaknya ke depan, sebaiknya lahan ini tetap dipertahankan sebagai kawasan konservasi (hidrologis dan resapan air). ‘+ Selain kedalaman gambut, yang perlu diperhatikan adalah substratumnya. Untuk substratum liat akan lebih baik dibandingkan pasit. Kasus di Kalimantan Tengah, lahan gambut dengan substratum pasir putih/kwarsa, setelah lapisan gambut habis karena subsiden dan terbakar saat kemarau panjang, saat ini tanaman mati dan lahan tersebut menjadi padang pasit. Oleh karena itu, hindari lahan gambut dengan substratum pasir. Demikian juga dengan kematangan gambut, kematangan gamut saprik akan lebih baik dibanding hemik dan fibrik untuk tegaknya pertumbuhan tanaman normal dan tingkat kesuburannya, + Hindari pembukaan lahan gambut dengan vegetasi alami hutan lebat atau hutan sekunder atau kawasan hutan lindung. Pemanfaatan lahan gambut diarahkan untuk rehabilitasi lahan terlantar berupa semak belukar atau rumput, menjadi lahan produktif yang menguntungkan baik dari segi ekonomis, ekologis, maupun hidrologis. ‘+ Pemilihan komoditas tanaman yang sesuai dan ekonomis menguntungkan, Untuk mencegah kebakaran hutan dan subsiden maka pengaturan saluran drainase perlu iperhatikan. Pilih jenis tanaman yang toleran dengan muka air tanah dangkal, seperti Karet dan sagu atau pilih tanaman (varietas) yang menyimpan (sekuestras!) karbon tinggi. + Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yaitu dengan memanfaatkan teknologi ramah lingkungan dan rendah emisi (pengelolaan air, pengaturan drainase, pemberian ameliorant, pemupukan, dan lainnya).. 3a5 Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradas! dan Terlantar Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Penutup Dengan semakin meningkatnya jumiah penduduk, semakin tinggi pula kebutuhan pangan nasional, sehingga perlu didukung oleh peningkatan luas baku lahan pertanian. i sisi lain, lahan cadangan subur untuk pertanian sudah sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatan Iahan rawa di masa mendatang akan menjadi tumpuan pengembangan pertanian, karena lahan kering sudah terbatas dan terpencar serta status kepemilikan lahannya (land tenure), sementara lahan rawa mempunyai Kawasan dengan hamparan yang cukup Iuas dan dapat dikembangkan untuk skala komersial maupun konvensional. Dilema, di satu sisi tuntutan pemanfaatan lahan untuk berbagai sektor semakin besar, di sisi lain Indonesia didesak untuk tidak membuka lahan pertanian baru dari lahan yang bervegatasi hutan atau lahan gambut. Oleh karena itu, perlu solusi yang bijaksana untuk menengahi dilema tersebut, pemanfaatan lahan gambut terlantar merupakan salah satu solusi untuk menekan alth fungsi hutan gambut, selanjutnya dilakukan berbagai upaye pengelolaan gambut yang berkelanjutan, serta pemilinan jenis komoditas yang sesuai, yang memberikan keuntungan ekonomi, namun relatif aman dari aspek resiko lingkungan. Sehingga pengelolaan lahan gambut mempunyai peran yang strategis dalam mendukung komitmen Pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam penurunan emisi GRK sebesar 26% hingga 41% dari kondisi business as usual (BAU) menjelang tahun2020. Daftar Pustaka ‘Agus, F. 2013. Konservasi dan rehabilitasi lahan gambut untuk penurunan emisi karbon: Aplikasi untuk Provinsi Sumatera Selatan. Prosiding Workshop Nasional Rehabilitasi dan Konservasi Lahan Gambut, Palembang 25 April 2013. Balai Penelitian Kehutanan, Palembang. Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia skala 1:250.000. Balai besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor. Couwenberg, J., R. Dommain, dan H. Joosten, H. 2010. Greenhouse gas fluxes from tropical peat soils in south-east Asia. Global Change Biology, 16, 1715-1732. Dariah, A., F. Agus, I G.M. Subiksa, P. Setyanyo, dan H. Hanapiah. 2011. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Himpunan Iimu Tanah Indonesia X, 6-8 Maret 2011. Buku 2. Hootjer, A. M, Silvius, H, Wosten and S. Page. 2006. PEAT CO2, Assessment of ‘CO2 Emission from drained peatland in SE Asia. Wetland International and Delft Hydraulics report Q3943. Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wéstendan J.Jauhiainen 2010. Current and future CO2 emissions from drained peat soils in Southeast Asia, Biogeosciences, 7, 1505-1514. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2006. IPCC Guidelines for National 346 Pengelolaan Lahan Gembut Terdeoradesi dan Terlanter Untuk Mendukune Ketahanan Pangan Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia, L., Mive, K., Ngara, T. and Tanabe, K. (eds.). Published by IGES Japan. Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Him.1-16. Bogor, 4 Mei 2012. Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas TanahGambut yang Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioaran Tanah Mineral berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Subardja, D. dan €. Suryani. 2012. Klasifikasi dan Distribusi tanah gambut Indonesia serta pemanfaatannya untuk Iahan pertanian. . Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Him.87-94. Bogor, 4 Mei 2012. Subiksa, IG.M, W. hartatik, dan F Agus. 2011. Pengelolaan gambutsecara berkelanjutan. Dalam Pengelolaan Gambuk Berkelanjutan (Eds. Nurida et ai). Him 73-88 Balai Penelitian Tanah, BBSDLP. Badan Litbang Pertanian. Subiksa, I G.M. 2012. Peran pugam dalam penanggulangan kendala fisik lahan dan mitigasi gas rumah kaca dalam sistem usaha tani gambut. Dalam Prosiding ‘Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Him.333-344. Bogor, 4 Mei 2012.

You might also like