You are on page 1of 22

PERANAN ZPD DAN SCAFFOLDING VYGOTSKY

DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

A. Rahmania Abidin1

Abstract: Scaffolding in Early Childhood Education Program is a learning


process in every aspect towards the achievement of the stages of child
development (child development). Every time a child reaches the stage of
development characterized by the fulfillment of the indicators in certain aspects,
then the children need scaffolding. Modern research found that scaffolding is an
effective teaching strategy. Vygotsky's theory gives a large influence on the
design of curriculum, instruction and assessment process of learning early
childhood education. By giving the "measure" the right scaffolding, kids
learning outcomes will be seen even children acquire the skills needed to settle in
future problem solving. Although there are some drawbacks in the use of
scaffolding as a teaching strategy but positive impact on student learning and
development is much more important. By understanding the theory of cognitive
development, then the problem is how to form scaffolding concrete
implementation as part of the theory of constructivism in every aspect of early
childhood education.

Key words: Early childhood education, Scanfolding, Zone of Proximal


Development

Pendahuluan
Usia dini merupakan usia yang sangat penting bagi perkembangan anak
sehingga disebut golden age. Perkembangan anak usia dini sebenarnya dimulai sejak
pranatal. Pada saat itu, perkembangan otak sebagai pusat kecerdasan terjadi sangat
pesat, sehingga nantinya anak bias berfikir logis dan rasional. Selain otak, organ
sensoris seperti pendengar, penglihatan, penciuman, pengecap, perabaan, dan organ
keseimbangan juga berkembang pesat (Black, J. et all.,1995; Gesell, A.L. & Ames, F.,
1940). Sedikit demi sedikit anak dapat menyerap informasi dari lingkungannya
melalui organ sensoris dan memprosesnya menggunakan otaknya. Perkembangan ini
demikian pentingnya sehingga mendapat perhatian yang cukup luas dari para pakar
psikologi/pendidikan, termasuk Lev Vygotsky.

1 Guru tetap MAN 1 Ambon. E-mail: andirahmanaia_abidin80@yahoo.co.id

1
Teori belajar konstruktivisme khususnya pada pendidikan anak usia dini
antara lain menyebutkan pentingnya ZPD (zone of proximal development) dan scaffolding2
yang tepat waktu dan dapat ditarik kembali secara bertahap setelah anak
menunjukkan keberhasilan terhadap pencapaian suatu indikator dalam aspek
perkembangan anak (child development). Anak membutuhkan scaffolding untuk menuju
ke tingkat perkembangan potensial (level of potential development). Implemetasi scaffolding
sebagai bagian dari proses belajar konstruktivisme perlu dikenali dengan baik
sehingga tidak perlu berubah menjadi interferensi yang justru akan menghilangkan
kesempatan belajar anak untuk menguasai proses penyelesaian masalah. Desain
kurikulum, instruksi pembelajaran dan proses asesmen pendidikan usia dini
merupakan faktor-faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap proses belajar
konstruktivisme pendidikan anak usia dini. Scaffolding pada pendidikan usia dini dapat
terjadi dimana saja tempat lingkungan anak. Scaffolding dapat dilakukan oleh orang
dewasa (adult/care giver/parent/teachers), atau orang yang lebih dahulu tahu
(knowledgeable person/siblings) atau teman sebaya (peer).

ZPD Dan Scaffolding dan Teori Kontruktivisme Modern Vygotsky


Khusus terhadap pendidikan anak usia dini teori konstruktivisme modern
oleh Lev Vygotsky's seorang psikolog Soviet yang karya-karyanya ditekan setelah
kematiannya pada tahun 1930 dan tidak ditemukan oleh Barat sampai akhir 1950-an.
Teori itu dibagi dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap Zona Perkembangan Terdekat (ZPD)
Zona perkembangan terdekat atau Zone of Proximal Development (ZPD) yaitu
suatu ide bahwa anak usia dini belajar konsep paling baik apabila konsep itu
berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. A range tasks too difficult for the
child to do alone but possible with help of adults and more skilled peers.3 The zone of proximal
development is theVygotskian concept that defines development as the space between the child’s

2L.S.Vygotsky, Thought and language. Cambridge, MA: MIT Press. (Original work published 1934)

NY: Cambridge University Press. 1962


3Laura E Berk, Child development 7th Edition. USA: Pearson International Edition, 2006.

2
level of independent performance and the child’s level of maximally assisted performance.4
Artinya, suatu jarak antara keterampilan yang sudah dimiliki oleh anak dengan
keterampilan baru yang diperoleh dengan bantuan dari orang dewasa
(adult/caregiver/parents/teacher) atau orang yang terlebih dahulu menguasai
ketrampilan tersebut (knowledgeable person/peer/siblings).
ZPD adalah bahwa wilayah antara apa yang pelajar dapat dilakukan secara
independen (tingkat penguasaan) dan apa yang dapat dicapai dengan bantuan
orang dewasa yang kompeten atau rekan (tingkat instruksional)" (Ellis, Larkin,
Worthington, nd). Zona ini hadir di untuk memberikan kesempatan melimpah
bagi anak untuk membangun konsep dan internalisasi pemahaman dalam dirinya
tentang berbagai hal.
2. Tahap Pemagangan Kognitif
Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship adalah suatu istilah untuk
proses pembelajaran dimana guru menyediakan dukungan kepada anak usia dini
dalam bentuk scaffold hingga anak usia dini berhasil membentuk pemahaman
kognitifnya. Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship juga merupakan suatu
budaya belajar dari dan di antara teman sebaya melalui interaksi satu sama
...scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik
tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi.
Scaffolding pada Pendidikan Anak Usia Dini lain sehingga membentuk suatu
konsep tentang sesuatu pengalaman umum dan kemudian membagikan
pengalaman membentuk konsep tersebut di antara teman sebayanya.5 Wilson and
Cole (1994) mendeskripsikan ciri khas pemagangan kognitif yaitu “heuristic content,
situated learning, modeling, coaching, articulation, reflection, exploration, and order in increasing
complexity”.
Dalam pandangan Vygotsky, pelajar tidak belajar dalam isolasi. Sebaliknya
belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial, yang terjadi dalam konteks yang
bermakna. Interaksi sosial anak-anak dengan lebih berpengetahuan atau mampu

4L.S.
Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1978.
5 Collins, A., Brown, J. S., & Newman, S. (1989). Cognitive apprenticeship: Teaching the craft of
reading, writing, and mathematics. In L. B. Resnick (Ed.). Knowing, learning, and instruction: Essays in honor of
Robert Glaser.

3
orang lain dan lingkungan mereka secara signifikan dampak cara mereka berpikir
dan menafsirkan situasi. Seorang anak mengembangkan kecerdasannya melalui
mendasarkan konsep internalisasi atau interpretasi sendiri aktivitas yang terjadi
dalam pengaturan sosial. Komunikasi yang terjadi dalam pengaturan ini dengan
lebih berpengetahuan atau mampu orang lain (orangtua, guru, teman sebaya,
orang lain) membantu anak membangun pemahaman konsep.6
3. Scaffolding atau Mediated Learning
Mediated Learning adalah dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan
pemecahan masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran
konstruktivisme modern. Scaffoldingis adjusting the support offered during a teaching session
to fit the child’s current level of performance. Scaffolding sebagian besar ditemukan
dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orang yang lebih
dahulu tahu (knowledgeable person/ siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang
seharusnya dicapai oleh anak usia dini.
Scaffolding adalah suatu istilah dalam dunia pendidikan yang merupakan
pengembangan teori belajar konstruktivisme modern. Scaffolding pertama kali
disebut sebagai istilah dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan anak usia
dini oleh Vygotsky (1846). Dalam pendidikan usia dini, scaffolding mengambil peran
yang sangat penting dalam proses pembelajaran di setiap aspek menuju pada
pencapaian tahap perkembangan anak (child development). Setiap kali seorang anak
mencapai tahap perkembangan yang ditandai dengan terpenuhinya indikator
dalam aspek tertentu, maka anak membutuhkan scaffolding. Vygotsky menuliskan
bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus
ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat anak-anak
mengerjakan puzzle, membangun miniature bangunan, mencocokkan gambar dan
tugastugas pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar berlangsung, scaffolding kadang
dibutuhkan secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek fisik, intelektual, seni
dan emosional.7

6Bransford, Brown J. A. & Cocking, R, Bagaimana Orang Pelajari: Brain, Mind, dan Pengalaman

& Sekolah. Washington, DC: National Academy Press, 2000.


7Vygotsky, loc. cit.....1962

4
Kebalikan dari scaffolding adalah interferensi. Seringkali langsung muncul
keinginan orang dewasa baik guru maupun orangtua untuk datang membantu
anak menyelesaikan tugas perkembangannya. Akibatnya, bantuan malah
menginterferensi proses pembelajaran anak. Keinginan tersebut sesungguhnya
wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan
kekhawatiran orang dewasa terhadap anak. Namun, dengan porsi yang tepat, tidak
akan menjadi interferensi dan tidak akan merebut peran scaffolding yang lebih
dibutuhkan anak.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan
dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat
disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi
intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalen dengan
pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi
diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih
menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual (Sheffer,
1996 : 274 - 275).
Konstruktivisme menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika
konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Hakikat dari
teori konstruktivism adalah ide bahwa peserta didik harus menjadikan informasi
itu miliknya sendiri. Teori ini memandang peserta didik secara terus menerus
memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama
dan memperbaiki aturan-aturan tersebut. Salah satu prinsip paling penting adalah
guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta
didik, peserta didik harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri.
Guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat
informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi peserta didik dengan
memberikan kesimpulan kepada peserta didik untuk menerapkan sendiri ide-ide
dan mengajak peserta didik agar peserta didik menyadari dan secara sadar
menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Telah kita ketahui bahwa teori belajar konstruktivisme modern secara
umum menyatakan bahwa siswa harus secara pribadi menemukan dan
5
menerapkan informasi yang kompleks kemudian mengecek informasi baru
dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai
lagi. Dengan demikian guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada siswa, melainkan siswa harus membangun pengetahuan ini di
dalam benaknya sendiri. Guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara
mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan
bagi siswa; sedemikian hingga siswa mampu menarik kesimpulan untuk
menerapkan sendiri ide-ide.

Implementasi Scaffolding Pada Pendidikan Anak Usia Dini


Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini merupakan proses
pembelajaran di setiap aspek menuju pada pencapaian tahap perkembangan anak
(child development). Setiap kali seorang anak mencapai tahap perkembangan yang
ditandai dengan terpenuhinya indikator dalam aspek tertentu, maka anak
membutuhkan scaffolding.
Vygotsky menuliskan bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat
waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat
anak-anak mengerjakan puzzle, membangun miniature bangunan, mencocokkan
gambar dan tugas-tugas pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar berlangsung, scaffolding
kadang dibutuhkan secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek fisik, intelektual,
seni dan emosional. Kebalikan dari scaffolding adalah interferensi. Seringkali langsung
muncul keinginan orang dewasa baik guru maupun orangtua untuk datang membantu
anak menyelesaikan tugas perkembangannya.
Akibatnya, bantuan malah menginterferensi proses pembelajaran anak.
Keinginan ersebut esungguhnya wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih
sayang, juga merupakan ungkapan kekhawatiran orang dewasa terhadap anak.
Namun, dengan porsi yang tepat, tidak akan menjadi interferensi dan tidak akan
merebut peran scaffolding yang lebih dibutuhkan anak.
Kita memahami bahwa tahap perkembangan anak usia dini terbagi dalam
beberapa aspek yang berintegrasi satu dengan yang lain; yaitu: aspek fisik, intelektual,
seni dan emosional. Setiap anak usia dini memiliki ciri perkembangan berdasarkan

6
usia. Pencapaian tahap perkembangan aspek fisik pada anak usia 2 tahun misalnya
berbeda dengan tahap perkembangan fisik anak usia 3 tahun.
Para ahli pendidikan anak usia dini telah melakukan pengamatan dan
mencatat tahap-tahap perkembangan anak setiap aspek berdasarkan usia. Tahap-
tahap perkembangan anak usia dini menjadi dasar untuk melihat keberhasilan dan
kemajuan perkembangan anak. Aspek-aspek perkembangan anak merupakan satu
bagian yang terintegrasi satu dengan yang lain. Karena itu bentuk scaffolding suatu saat
dapat saja terintegrasi namun terdapat juga saat dimana scaffolding hanya dibutuhkan
pada aspek tertentu. Berikut bentuk implementasi ZPD dan Scaffolding pada 2
artikel yang dipilih penulis dan kaitannya dengan Teori Perkembangan Kognitif
Vygotsky.

Artikel 1
Provider Management of Child Stress Behavior in Family Day Care Facilities: Scaffolding
for Learning and Development by Developmentally Appropriate Practice. Chih-Ying
Chang, Ann M Berghout Austin, Kathleen W Piercy. The Journal of Genetic
Psychology. New York:Jun 2006. Vol. 167, Iss. 2, p. 159-163,165-
177 (18 pp.)

Artikel ini membahas tentang Management Penyedia Fasilitas Tempat


Penitipan Bagi Anak Berprilaku Stres Kaitannya dengan Scaffolding bagi
Perkembangan dan Pembelajaran dengan Praktek Pendekatan Perkembangan.Artikel
ini menggunakan penelitian kualitatif dengan meneliti enam anak yang berpartisipasi
(5 laki-laki, 1 perempuan; umur 36-60 bulan). Setiap anak itu terdaftar dalam keluarga
yang berbeda pada Tempat penitipan anak. Para penulis menilai 3 tempat penitipan
anak dengan menggunakan sebagian besar waktu praktik sesuai dengan tahapan
perkembangan (DAP) dan menilai 3 tempat penitipan anak lainnya yang jarang atau
tidak pernah menggunakan DAP. Mereka juga memeriksa pengelolaan penyedia
anak-anak berperilaku stres. Penulis mengamati adanya perilaku stress yang kurang
aktif dan pasif dalam fasilitas DAP tinggi daripada di fasilitas DAP rendah. Para
penulis membahas hasil-hasil yang berkaitan dengan khas budaya penitipan siang hari
yang berbeda di fasilitas DAP tinggi versus fasilitas DAP rendah dan implikasinya
untuk latihan.

7
Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa pengelolaan pengasuh anak-
anak berperilaku stres dalam situasi penitipan siang hari tergantung pada penggunaan
pengasuh lebih atau kurang DAP. Peneliti secara khusus tertarik pada tindakan
pengasuh perilaku stres dan mempertanyakan apakah, dalam pengelolaan perilaku ini,
tindakan pengasuh disertai dengan pembelajaran dan pengembangan. Secara khusus,
peneliti mempertanya-kan apakah akan melihat bukti peran partisipasi scaffolding
yang akan mendorong anak-anak untuk berlatih lebih tinggi pada tingkat pengaturan
diri. Semua anak-anak akan menunjukkan parilaku stress bahkan mereka yang dirawat
di lingkungan yang sehat. Beberapa perilaku stres, seperti mengamuk dan tindakan
agresif, yang berpotensi membahayakan dan dapat mengganggu diri dan orang
lain. Ketika perilaku ini terjadi, anak-anak harus cepat mendapat petunjuk atau
scaffolding untuk membantu mereka mengurangi dan mengelola perilaku stress.
Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif Vygotsky bahwa dengan
bimbingan scaffolding, anak-anak dapat mempelajari apa yang kurang diterima secara
sosial dan pada saat yang sama menerima bimbingan scaffolding dalam keterampilan
pengaturan diri. Ketika dibimbing, yang terjadi adalah bentuk pembelajaran generatif
(yaitu, belajar dibarengi dengan perkembangan; Vygotsky. 1978).
Belajar tidak selalu terjadi bersamaan dengan perkembangan, tetapi ketika itu
terjadi, anak-anak dapat berlatih keterampilan pada tingkat perkembangan
baru. Ketika pembelajaran dan pengembangan bersama-sama tidak terjadi, belajar
akan bersifat tetap dan sering hanya mengingatkan apa yang sudah diketahui
(Vygotsky). Ketika anak-anak dibantu untuk latihan keterampilan pada tingkat
perkembangan yang lebih tinggi, keterampilan awal produksinya dapat dangkal, tetapi
dengan terus bekerja sama dengan orang yang lebih mahir, keterampilan, bisa
menjadi bagian dari repertoar internal anak (Rogoff, 1990). Vygotsky (1978)
menggunakan istilah ZPD untuk merujuk pada tingkat perkembangan yang lebih
tinggi bahwa seorang anak dapat mencapai perkembangan melalui pembinaan
kolabortor.
Namun, ia menyatakan bahwa kolaborator harus memiliki keahlian lebih
daripada anak dan juga harus memahami kebutuhan perkembangan anak dan
memiliki pemahaman yang jelas tentang "insentif yang efektif dalam mendapatkan dia

8
untuk bertindak" (hal. 92). Kolaborator harus memiliki pemahaman mengenai
karakteristik tingkat perkembangan anak.
Praktik sesuai Developmentully (DAP; Bredekamp, 1987: Bredekamp &
Copple, 1997) adalah seperangkat pedoman yang digunakan untuk mendorong anak
usia dini yang secara profesional untuk menyesuaikan belajar awal tingkat
perkembangan individu. DAP menekankan suatu pendekatan konstruktivis, tetapi
juga menekankan perlunya kolaborator terampil (guru) yang baik Vygotsky's (1978).
Dipandu prinsip-prinsip partisipasi, interaksi sosial, scaffolding melalui zona
perkembangan proksimal, dan saling ketergantungan pembelajaran dan
pengembangan implisit dan eksplisit di seluruh program di mana guru menggunakan
DAP.
Pengasuh dalam pengaturan penitipan siang hari harus fokus pada kebutuhan
anak-anak klien, dengan sensitivitas untuk motif dan insentif khusus untuk tahap
perkembangan anak (Vygotsky, 1978), tetapi dalam prakteknya, kualitas penitipan
sering bervariasi oleh persepsi diri, pengalaman, dan pendidikan dari pengasuh
(Austin, Lindauer, Rodriguez, Norton. & Nelson. 1997) dan oleh kehadiran DAP.
Anak-anak sering mempunyai kontak pertama dengan orang dewasa di luar
keluarga mereka sendiri dalam penitipan siang hari keluarga. Lebih dari sekedar
kebersamaan fisik, pengalaman ini berpotensi mewakili perubahan besar bagi anak
karena "orang tua dan anggota masyarakat menciptakan perkembangan bagi
pendatang baru. Sifat niche itu, termasuk bentuk-bentuk hubungan sosial yang
dibutuhkan, tidak mewujudkan hanya budaya orang dewasa masa lalu, tetapi
pengandaian tentang masa depan anak juga" (Cole & Wertsch. 1996)
Scaffolding sangat berperan dalam membantu dan meminimalkan perilaku stres
apabila disertai dengan penyedia fasilitas profesionalisme, yang menghabiskan lebih
banyak waktu untuk mengamati dan menilai secara informal anak-anak, dan
menunjukkan efektivitas dalam mempromosikan kedekatan scaffolding dan
keharmonisan di antara anak-anak. Isu-isu ini umumnya ditekankan dalam pelatihan
di DAP. Akan bijaksana meluangkan waktu tambahan untuk membahas strategi yang
efektif dan efisien untuk diimplementasikan

9
Artikel 2
The Role of the Teacher in Scaffolding Children’s Interactions in a Technological
Environment: How a Technology Project is Transforming Preschool Teacher Practices
in Urban Schools by Leah May Barbuto, Sudha Swaminathan, Jeff
Trawick-Smith, and June L. Wright. ACM International Conference
Proceeding Series; Vol. 98. Proceedings of the international federation
for information processing working group 3.5 open conference on
Young children and learning technologies - Volume 34.
Diakses dari http://crpit.com/confpapers/CRPITV34Barbuto.pdf

Artikel ini membahas tentang Peranan Guru pada Interaksi Scaffolding Anak-
anak dalam Lingkungan Teknologi: Bagaimana suatu Proyek Teknologi Mengelola
Transformasi Guru pada Sekolah Praktek di Perkotaan. Penelitian ini membahas
bahwa pada tahun 2000, peneliti memulai sebuah program untuk mengintegrasikan
teknologi ke TK dari kota New England. Fokus utama program ini adalah untuk
meningkatkan belajar anak-anak muda terutama di melek huruf dan menghitung serta
untuk meningkatkan kompetensi sosial mereka melalui penggunaan perkembangan
teknologi tepat guna.
Tujuan artikel ini adalah untuk menyajikan hasil dari program untuk
mendukung para guru TK dalam menggunakan teknologi dalam kota distrik sekolah
umum. Empat puluh enam masa kanak-kanak profesional yang terlibat dalam tiga
tahun model teknologi mendalami lokakarya. Lokakarya yang disusun untuk
memimpin peserta dari operasi komputer dasar dan penggunaan perangkat perifer
(yaitu kamera digital, scanner), lunak evaluasi dan seleksi, ke arah tujuan integrasi
teknologi dalam kurikulum.
Salah satu hasil yang luas dari program pelatihan ini adalah bahwa guru mulai
menerapkan ide-ide konstruktivis yang berkaitan dengan aktivitas komputer ke area
lain dari praktek profesional mereka .Guru mengatur kelas, re-invented pusat belajar,
dan memodifikasi interaksi mereka dengan anak-anak. Lebih jauh, hal itu mengarah
pada sikap-sikap positif, meningkatkan keahlian teknologi, dan keterampilan dalam
scaffolding anak-anak dalam penggunaan komputer di kalangan guru.
Teori Vygotsky menempatkan hal-hal penting pada perkembangan kognitif
sebagai proses sosial yang diperantarai dengan Scaffolding (Berk 1999). Studi telah
dilakukan dari Scaffolding guru di berbagai bidang kurikulum (Brodova dan Leong

10
1996, Wollman-Bonilla dan Werchadlo 1999). Fleer (1992) mempelajari interaksi
scaffolding guru-anak pada usia lima sampai delapan tahun. Putih dan Manning
(1994) meneliti efek instruksi verbal perancah pidato anak-anak muda pribadi dan
pemecahan masalah kemampuan di TK. Wollman.
Bonilla dan Werchadlo (1999) meneliti guru dan peran dalam perancah rekan
siswa kelas pertama 'responses sastra. Bennett (2000) meneliti penggunaan
scaffolding guru- anak-anak pada bidang sastra, Manipulatif untuk meningkatkan
matematika prasekolah.
Scaffolding teknik komputer ini dilakukan dalam kegiatan terstruktur singkat
dengan kelompok-kelompok kecil anak-anak yang secara sukarela memilih untuk
menggunakan komputer selama free play. Anak-anak dipandu peneliti
tertentu program perangkat lunak untuk mendorong anak-anak untuk
memperlambat, melihat efek dari tindakan mereka, memecahkan masalah, dan
berbagi pemahaman mereka dengan teman sebaya dan para peneliti.
Sebagai contoh, guru menjajaki penggunaan mikrofon dengan anak-
anak. Selama lokakarya, mereka dipraktekkan menginstal ini dan menggunakan
mereka dengan sedikitnya dua berbagai jenis perangkat lunak anak-anak. Guru
kemudian kembali ke kelas mereka dan berlatih menggunakan bagian peralatan
ini dengan anak-anak. Mereka memasang mikrofon pada komputer dan membimbing
anak-anak dengan meninggalkan pesan pada telepon yang programnya telah
disetting. Anak-anak juga dibimbing guru dalam memikirkan cara untuk
menggunakan mikrofon yang mendukung kurikulum. Mengikuti model ini, kita
pelan-pelan memperkenalkan awal masa kanak-kanak peserta untuk berbagai
perangkat lunak anak-anak, satu program pada satu waktu. Bahkan jika perangkat
lunak saat ini sedang tersedia di kelas komputer dan digunakan secara teratur oleh
anak-anak dan guru.
Interaksi Scaffolding pada anak-anak dalam lingkungan teknologi menunjukkan
perbedaan yang signifikan dalam jumlah dan jenis interaksi verbal
pada komputer. Guru meminta anak-anak lebih terbuka dalam berrtanya ketika
mereka bekerja di komputer. Seiring waktu, guru memberikan dorongan dan
bimbingan tidak langsung. Mereka diposisikan sendiri pada zona proksimal kepada
anak-anak di depan komputer dengan menawarkan saran atau hanya bila diminta
11
oleh anak. Kompetensi dan kepercayaan diri anak-anak mulai tumbuh, guru
mengakui danmenaruh kepercayaan dalam kemampuan awal.
Peneliti menyimpulkan bahwa bukti-bukti pemetaan, yang menggunakan
perangkat lunak dengan tehknik scaffolding membantu siswa berpikir dan
meningkatkan kategorisasi usaha, adalah "... sukses metodologi instruksional untuk
mengajarkan cara untuk mengkategorikan dan memberi label informasi ilmiah dan
untuk mengajar siswa bagaimana mengevaluasi hipotesis berdasarkan data empiris."
(Toth, nd).
Vygotsky percaya bahwa setiap anak dapat diajarkan semua subjek scaffolding
secara efektif menggunakan teknik dengan menerapkan perancah di ZPD. "Guru
mengaktifkan zona ini ketika mereka sedang mengajar siswa konsep yang tepat di atas
mereka saat ini tingkat keterampilan dan pengetahuan, yang memotivasi mereka
untuk berprestasi di luar kemampuan mereka saat ini tingkat" (Jaramillo, 1996:
138). Siswa dipandu dan didukung melalui kegiatan pembelajaran interaktif yang
berfungsi sebagai jembatan untuk membuat mereka ke tingkat berikutnya. Jadi pelajar
mengembangkan atau membangun pemahaman baru dengan mengelaborasi
pengetahuan mereka melalui dukungan yang diberikan oleh orang lain yang lebih
mampu (Raymond, 2000). Studi telah benar-benar menunjukkan bahwa pada keadaan
tidak adanya dipandu pengalaman belajar dan interaksi sosial, belajar dan
pengembangan dihalangi (Bransford, Brown, dan Cocking, 2000).
Dari dua contoh sederhana di atas dapat disimpulkan bahwa scaffolding sangat
penting dalam membantu dan meningkatkan kemampuan perkembangan kognitif
anak, suatu pemberian scaffolding yang efektif adalah tepat waktu dan setelah itu ditarik
kembali secara bertahap setelah ditandai dengan diperolehnya keterampilan baru yang
lebih baik dari sebelumnya yang berhasil dilakukan sendiri oleh anak pada tingkat
perkembangan potensialnya. Penelitian modern terus menemukan bahwa perancah
adalah sebuah strategi pengajaran yang efektif, penggunaan representasi eksternal,
representas scaffolding, dapat berfungsi sebagai strategi yang efektif untuk
mengajarkan keterampilan ilmiah ini.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada pembelajaran
sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
“internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan
12
sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial
masing - masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari
namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of
proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu.
Sementara penggunaan scaffolding memberikan kepada seseorang anak
sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan,
dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa
dapat mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu:
1. Menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi
dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif
dalam masing-masing zone of proximal development mereka;
2. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori
belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai
dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran
kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan
antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep - konsep dan
pemecahan masalah.

Scaffolding Sebagai Strategi Pengajaran


Scaffolding sebagai strategi pengajaran berasal dari teori sosiokultural Lev
Vygotsky dan konsep zona perkembangan proksimal (ZPD). "Zona perkembangan
proksimal merupakan jarak antara anak-anak apa yang dapat dilakukan oleh diri
mereka sendiri dan selanjutnya belajar bahwa mereka dapat dibantu untuk mencapai
13
dengan bantuan kompeten" (Raymond, 2000, p.176). Strategi pengajaran perancah
menyediakan dukungan individual didasarkan pada pelajar's ZPD.8
Instruksi Scaffolding Vygotsky didefinisikan sebagai "peran guru dan lain-lain
dalam mendukung pengembangan pelajar dan menyediakan struktur pendukung
untuk sampai ke tahap berikutnya atau tingkat" (Raymond, 2000: 176). Aspek penting
dari instruksi perancah adalah bahwa perancah bersifat sementara. Sebagai
kemampuan pelajar meningkatkan perancah disediakan oleh lain yang lebih luas
secara progresif ditarik. Akhirnya para pelajar mampu menyelesaikan tugas atau
menguasai konsep secara independen.9 Oleh karena itu tujuan dari pendidik saat
menggunakan perancah strategi pengajaran untuk siswa untuk menjadi mandiri dan
mengatur diri pelajar dan pemecah masalah (Hartman, 2002). Sebagai pelajar
pengetahuan dan kompetensi belajar meningkat, pendidik secara bertahap
mengurangi mendukung disediakan (Ellis, Larkin, Worthington, nd). Menurut
Vygotsky perancah eksternal yang diberikan oleh pendidik dapat dihapus karena
pelajar telah mengembangkan "... lebih canggih sistem kognitif, yang berhubungan
dengan bidang pembelajaran seperti matematika atau bahasa, sistem pengetahuan itu
sendiri menjadi bagian dari perancah atau dukungan sosial untuk pembelajaran baru"
(Raymond, 2000: 176).
Dalam instruksi scaffolding lain yang lebih berpengetahuan perancah
menyediakan atau mendukung untuk memfasilitasi perkembangan peserta
didik. Perancah memfasilitasi para siswa kemampuan untuk membangun
pengetahuan dan menginternalisasi informasi baru. Kegiatan yang diberikan dalam
instruksi perancah hanya melampaui tingkat pelajar apa yang bisa dilakukan sendiri
(Olson & Pratt, 2000). Lain yang lebih mampu menyediakan perancah sehingga
pembelajar dapat mencapai (dengan bantuan) tugas-tugas yang dia bisa sebaliknya
tidak lengkap, sehingga membantu pelajar melalui ZPD (Bransford, Brown, &
Cocking, 2000).
Konstruktivisme Vigotsky menekankan bahwa perubahan kognitif hanya
terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses

8Chang, K., Chen, I., & Sung, Y, Efek Pemetaan Konsep untuk Meningkatkan Pemahaman

Teks dan Summarization. The Journal of Experimental Education 71 (1), 5-23. 2002.
9 Chang, K., Chen, I., & Sung, Y, op. cit., h. 7.

14
ketidak-seimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Hakikat dari
teori konstruktivisme adalah ide bahwa peserta didik harus menjadikan informasi itu
miliknya sendiri. Teori ini memandang peserta didik secara terus menerus memeriksa
informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan
memperbaiki aturan-aturan tersebut. Salah satu prinsip paling penting adalah guru
tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik,
peserta didik harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri., guru hanya
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi peserta didik dengan memberikan
kesimpulan kepada peserta didik untuk menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak
peserta didik agar peserta didik menyadari dan secara sadar menggali strategi-strategi
mereka sendiri untuk belajar.
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran lebih menekankan pada
pengajaran Top-Down daripada Bottom-Up. Top-Down berarti peserta didik mulai
dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya
memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) keterampilan-ketrampilan
dasar yang diperlukan. Pengasuh membantu anak-anak belajar bagaimana
menghubungkan informasi lama atau situasi akrab dengan pengetahuan baru melalui
verbal dan komunikasi nonverbal dan pemodelan perilaku. Pengamatan penelitian
tentang pembelajaran anak usia dini menunjukkan bahwa orangtua dan pengasuh lain
memfasilitasi pembelajaran dengan menyediakan scaffolding. Scaffolding disediakan
dalam kegiatan dan tugas-tugas yang: memotivasi atau meminta minat anak yang
berkaitan dengan tugas, menyederhanakan tugas untuk membuatnya lebih mudah
dikelola dan dapat dicapai untuk anak, memberikan arah untuk membantu anak
fokus untuk mencapai tujuan. Dengan jelas menunjukkan perbedaan antara kerja dan
anak standar atau solusi yang dikehendaki Mengurangi frustrasi dan risiko serta jelas
menentukan harapan kegiatan yang akan dilakukan (Bransford, Brown, dan Cocking,
2000).
Pinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan
sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme antara
lain (1) pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif; (2) tekanan proses
belajar mengajar terletak pada peserta didik; (3) mengajar adalah membantu peserta
15
didik belajar; (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil
belajar; (5) kurikulum menekankan pada partisipasi peserta didik; (6) guru adalah
fasilitator.10
Disarankan agar konstruktivisme ini digunakan oleh guru dalam kegiatan
belajar mengajar dengan bentuk yang bisa dilakukan diantaranya konsep pembelajar
mandiri (learner utonomy), belajar kelompok (cooperative learning). Guru hanya sebagai
mediator, selanjutnya peserta didik secara sendiri-sendiri maupun kelompok aktiv
untuk memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat
membangun pengetahuan.
Dalam pengaturan pendidikan, scaffolding dapat mencakup model, petunjuk,
prompt, petunjuk, solusi parsial, berpikir-keras pemodelan dan instruksi langsung
(Hartman, 2002).11 Dalam Pengajaran Anak-anak dan Remaja dengan Kebutuhan
Khusus para penulis memberikan contoh prosedural fasilitator (isyarat, isyarat-card,
sebagian selesai contoh). Penggunaan perancah disediakan guru, para pendidik
mungkin kemudian memiliki siswa terlibat dalam pembelajaran kooperatif. Dalam
lingkungan semacam ini siswa membantu siswa dalam pengaturan grup kecil tetapi
masih ada beberapa guru bantuan. Ini dapat berfungsi sebagai langkah dalam proses
penurunan perancah disediakan oleh pendidik dan dibutuhkan oleh siswa (Hartman,
2002).12 Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian anak/siswa dalam
upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) anak mencapai keberhasilan dengan
baik, (2) anak mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) anak gagal meraih
keberhasilan. Scaffolding berarti upaya guru untuk membimbing siswa dalam upayanya
mencapai suatu keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian
siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum (Vygotsky, 1978 :5). Tujuan
scaffolding adalah memberikan arah yang jelas dan mengurangi kebingungan anak.
Pendidik mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi anak dan

10Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 2000.


11Hartman, H. Scaffolding & Cooperative Learning. New York: City College of City University of

New York, 2002.


12Ibid.

16
kemudian mengembangkan petunjuk langkah demi langkah, yang menjelaskan apa
yang seharusnya dilakukan oleh anak dalam memenuhi harapannya, membantu anak
mengerti mengapa mereka melakukan pekerjaan dan mengapa penting. Mengurangi
ketidakpastian, kejutan, dan kekecewaan, pendidik menguji pelajaran mereka untuk
menentukan area masalah yang mungkin dan kemudian memperbaiki pelajaran untuk
menghilangkan kesulitan sehingga belajar adalah dimaksimalkan (McKenzie, 1999).

Implikasi Scaffolding Pada Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini


Penelitian modern menemukan bahwa Scaffolding adalah sebuah strategi
pengajaran yang efektif. Teori Vygotsky tersebut memberikan pengaruh besar pada
desain kurikulum, instruksi pembelajaran dan proses asesmen pendidikan anak usia dini.
Karena anak belajar banyak dari interaksi, maka desain kurikulum harus menempatkan
mereka untuk mengalami banyak interaksi dengan anak lainnya dan tugas belajar
bersama. Bentuk kegiatan belajar mengajar yang bisa dilakukan di antaranya konsep
pembelajar mandiri (learner utonomy), belajar kelompok (cooperative learning). Terdapat
banyak literatur ilmiah yang menyatakan dengan tegas pentingnya scaffolding untuk
membangun konsep pemahaman anak usia dini. Proses assessment juga berpengaruh
yaitu dengan melihat zona perkembangan terdekat. Bila anak dapat melakukan
sesuatu sendiri tanpa bantuan ini disebut tingkat perkembangan riil (level of actual
development), sementara bila anak dapat melakukan sesuatu dengan bantuan maka hal
ini disebut tingkat perkembangan yang potensial (level of potential development). Dua
orang anak dapat saja memiliki tingkat perkembangan riil yang sama; tetapi dengan
bantuan yang tepat dari orang dewasa, anak yang satu dapat melakukan penyelesaian
terhadap masalah yang lebih rumit dan lebih baik daripada yang lainnya.
Metode penilaian harus dapat menangkap kedua tingkat perkembangan yang
dimiliki tiap anak; yaitu tingkat perkembangaan riil dan tingkat perkembangan
potensial. Instruksi pembelajaran yang tepat dari orang dewasa dapat membuat anak
menunjukkan keberhasilan terhadap tugas yang belum mampu diselesaikan sendiri.
Lingkungan belajar anak menjadi zona perkembangan terdekat yang
menghadirkan sebanyak mungkin kesempatan untuk mempelajari sesuatu, baik itu
melalui orang-orang di sekitar anak maupun alat pelajaran dan sumber belajar. Guru
hanya sebagai mediator selanjutnya anak usia dini secara sendiri atau kelompok aktif
17
untuk memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat
membangun pengetahuan.
Instruksi pembelajaran yang tepat dari orang dewasa dapat membuat anak
menunjukkan keberhasilan terhadap tugas yang belum mampu diselesaikan sendiri.
Disini orang dewasa secara terus menerus mengevaluasi level bantuan yang diberikan
kepada anak dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan hasil belajar anak,
sehingga dapat terbentuk mengajar-belajar yang efektif.
Dengan memberikan “takaran” scaffolding yang tepat, hasil belajar anak akan
segera terlihat bahkan anak memperoleh keterampilan yang menetap yang
dibutuhkan dalam penyelesaian masalah kelak. “Takaran” karena sepanjang tinjauan
penulis tidak ditemukan sumber ilmiah yang berhasil merumuskan dosis scaffolding
yang tepat. Hal ini karena setiap anak, dalam setiap situasi membutuhkan scaffolding
yang berbeda-beda.

Keuntungan dan Kerugian Dari Scaffolding


Manfaat utama scaffolding adalah
1. Melibatkan aktivitas anak / pelajar. Pelajar tidak secara pasif mendengarkan
informasi yang disajikan, bukan melalui guru mendorong pelajar didasarkan
pada pengetahuan dan bentuk-bentuk pengetahuan baru. Memberikan
kesempatan umpan balik positif kepada siswa. scaffolding memotivasi siswa
sehingga mereka ingin belajar.
2. Dapat meminimalkan tingkat frustrasi dari pelajar. Hal ini sangat penting
dengan berbagai kebutuhan khusus siswa, yang mudah frustrasi kemudian
menutup diri dan menolak untuk berpartisipasi dalam pembelajaran lebih
lanjut.
3. Selain meningkatkan kemampuan kognitif anak, instruksi scaffolding dalam
konteks belajar memberikan efisiensi karena kerja terstruktur dan terfokus,
Menciptakan momentum - melalui struktur yang disediakan oleh perancah,
anak dapat menghabiskan lebih sedikit waktu mencari dan lebih banyak waktu
untuk belajar dan menemukan, menghasilkan waktu belajar yang efisien.
(McKenzie, 1999).

18
Kelemahan Scaffolding:
1. Membutuhkan waktu yang lama, merupakan tantangan terbesar bagi guru sejak
mendukung dan mengembangkan scaffolding pelajaran untuk memenuhi
kebutuhan setiap individu. Pelaksanaan scaffolding individual dalam kelas dengan
jumlah siswa besar akan menantang.
2. Seorang guru mungkin tidak benar dalam melaksanakan instruksi scaffolding dan
karenanya tidak melihat efek secara penuh. Scaffolding juga mensyaratkan bahwa
guru menyerahkan sebagian kontrol dan memungkinkan siswa untuk membuat
kesalahan. Ini mungkin sulit bagi guru untuk melakukannya.
Meskipun ada beberapa kelemahan dalam penggunaan scaffolding sebagai
strategi pengajaran tetapi berdampak positif bagi proses belajar siswa dan
pengembangan jauh lebih penting. Dengan memahami teori perkembangan kognitif
diatas, maka yang menjadi masalah adalah bagaimana bentuk implementasi konkrit
scaffolding sebagai bagian dari teori konstruktivisme pada setiap aspek pendidikan anak
usia dini.

Penutup
Implementasi scaffolding dapat dengan mudah kita temukan dan terapkan
dalam kehidupan sehari-hari anak usia dini. Faktor-faktor yang sederhana namun
penting untuk diingat dalam implementasi scaffolding adalah bahwa;
1. Kebutuhan terhadap scaffloding datang dari inisiatif anak; karena kalau bukan
datang dari anak, scaffolding akan berubah menjadi suatu interferensi terhadap
proses belajar anak. Suatu interferensi terhadap proses belajar anak disadari
atau tidak akan menyemaikan sifat ketergantungan yang akan menimbulkan
kesulitan yang lebih besar lagi di masa depan.
2. Scaffolding sesuai dengan pesan pendidikan Vygotsky adalah menyediakan
lingkungan sosial yang kaya dengan aktifitas yang berada dalam zona
perkembangan terdekat anak dan kesempatan yang melimpah untuk bermain
peran (make-believe play). Situasi belajar yang baik akan mereduksi peran guru
(teacher centered) dan meningkatkan kemandirian belajar anak (student centered);
sedemikian hingga muncul suasana yang merangsang tumbuhnya sifat

19
pembelajaran dengan disiplin diri tinggi untuk tingkat pendidikan yang lebih
lanjut kelas

20
DAFTAR PUSTAKA

Berk, Laura E. (2006). Child development 7th Edition. USA: Pearson International
Edition.

Bransford, Brown J. A. & Cocking, R. 2000. Bagaimana Orang Pelajari: Brain, Mind, dan
Pengalaman & Sekolah. Washington, DC: National Academy Press.

Burton, W.H. 1987. The Guidances of Learning Activities, New York: Appleton Century
Crofts.
.
Chang, K., Chen, I., & Sung, Y. 2002. Efek Pemetaan Konsep untuk Meningkatkan
Pemahaman Teks dan Summarization. The Journal of Experimental
Education 71 (1), 5-23.

Collins, A., Brown, J. S., & Newman, S. (1989). Cognitive apprenticeship: Teaching the craft
of reading, writing, and mathematics. In L. B. Resnick (Ed.). Knowing, learning,
and instruction: Essays in honor of Robert Glaser.

Hamalik, Umar. 2000. Psikologi Belajar dan Mengajar, Jakarta: Sinar Baru Algensindo.
Hartman, H. 2002. Scaffolding & Cooperative Learning. New York: City College of City
University of New York.

Hillsdale, Barbara (1995, 1998, 2003). Observing sociocultural activity on three planes:
Participatory appropriation, guided participation, and apprenticeship. In J.V.
Wertsch, P. del Rio, & A. Alvarez (Eds.), Sociocultural studies of the mind (pp.
139- 164). New YorkLawrence Erlbaum Associates, Inc Rogoff.

http://idea.uoregon.edu/ncite/ documents/techrep/tech06.html. Diakses pada


tanggal 7 20 Januari 2010.

http://tip.psychology.org/vygotsky.html Diakses pada tanggal 20 Januari 2010.

http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed457524.html. Diakses 1 januari


2010.

http://www.marxists.org/archive/vygotsky/html. Diakses pada tanggal 20 Januari


2010.

http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/learning/.html. Diakses 12
Desember 2009.

Olson, J. dan Platt, J. 2000. The Instructional Siclus. Upper Saddle River, NJ: Prentice-
Hall, Inc.

Paul, Suparno. 2000, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius.

21
Simandjuntak, B. dan IL. Pasaribu, 1981. Psikologi Perkembangan, Bandung: Tarsito.

Slameto. 1997, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Rineka Cipta.

Suryabrata, Sumadi. 1995. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers.

Toth, E. E. 2002. Representasional perancah selama penyelidikan ilmiah: interpretif dan


ekspresif penggunaan prasasti di kelas belajar. Diakses 20 Januari 2010 dari
http://www.cis.upenn.edu/ircs/cogsci2000/PRCDNGS/SPRCDNGS/
posters/toth.pdf

Vygotsky, L.S. 1962. Thought and language. Cambridge, MA: MIT Press. (Original work
published 1934) NY: Cambridge University Press.

Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes.
Cambridge, MA: Harvard University Press.

www.edb.utexas.edu/csclstudent/dhsiao/

22

You might also like