You are on page 1of 10

ABSTRACT

Mapping and Determination of Leptospirosis vulnuerable zone Based on


Geographical Information System in Semarang City

Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan


dan Penentuan Zona Kerawanan Leptospirosis di Kota Semarang

Sunaryo*)

Leptospirosis is zoonotic disease, which is caused by Leptospira bacteria and


transmitted to human by contact with contaminated animal urine and environment.
Semarang City is endemic area of Leptospirosis and increased at least three years.
There were 246 Leptospirosis case on October 2009.
The aim of this research was to study the ability and usefulness of Geographcal
Informatin System for mapping as distribution of Leptospirosis and determination
of Leptospirosis vulnuerable zone.
This research representing applied with analytic descriptive by using cross
sectional design.
Result of this research: GIS could be done to analyze physical environment risk
factor of Leptospirosis, for examples : settlement, floods area, height, rainfall, soil
texture, temperature and humidity. Leptospirosis case in Semarang City
predominated by children group and men adolescent. Distribution of Leptospirosis
concentrased in Tembalang Sub District and Gayamsari Sub District.
Leptospirosis case increased at dry season during July and August. General
vulnuerable Leptospirosis zone found in North and North-East territories of
Semarang City. High vulnuerable zone large : 73 km2 (18,73 %), medium zone
large 251 km2 (65,60 %) and low zone large 61 km2 (15,67 %).

Keyword : Geographical Information System, vulnuerable, Leptospirosis,


Semarang City

*)
Research and Development Animal Born Deseases Control Station, Banjarnegara, Central Java

1
PENDAHULUAN abiotik. Penelitian ini diharapkan dapat
Leptospirosis merupakan penyakit menghasilkan informasi baru yang dapat
menular yang dipengaruhi oleh berbagai digunakan sebagai sistem surveilans untuk
faktor risiko lingkungan, diantaranya kewaspadaan dini peningkatan kasus
lingkungan biotik dan abiotik. Untuk Leptospirosis di Kota Semarang.
mengetahui ketepatan/ keakuratan berbagai
faktor risiko lingkungan sebagai penyebab BAHAN DAN CARA PENELITIAN
penularan Leptospirosis bila dilakukan Tempat dan waktu Penelitian
secara langsung (transect) di lapangan Tempat penelitian dilakukan di Kota
akan memerlukan waktu, biaya dan tenaga Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Waktu
yang besar. Pada sisi lain sistem pelaporan penelitian selama 3 (tiga) bulan mulai dari
kasus Leptospirosis (sistem surveilans) bulan Agustus sampai Oktober 2009.
lebih banyak berasal dari rumah sakit Bahan dan Alat
(hospitally based), sedangkan kegiatan 1. Lembar /form pemetaan
penemuan/deteksi dini kasus Leptospirosis 2. Peta tekstur tanah
di masyarakat (Active Case Detection) 3. Peta RBI skala 1:25.000
belum dilaksanakan secara optimal. 4. Peta hujan
Pemanfaatan Sistem Informasi 5. Global Positioning System (GPS)
Geografis (SIG) dalam bidang kesehatan 6. Komputer Pentium IV, RAM: 512 MB
didorong oleh orientasi efisiensi dan 7. Printer berwarna
efektivitas, baik dalam proses maupun Jenis dan Rancangan Penelitian
dalam hasil yang dicapai, serta dalam Penelitian ini termasuk jenis
membangun pemikiran yang bersifat penelitian survei deskriptif analitik. Desain
holistik berdasarkan informasi keruangan penelitian adalah Cross sectional, yaitu
yang jelas lokasinya, setiap kedudukan rancangan penelitian untuk mengetahui
dapat terukur dengan pasti. SIG akronim dinamika hubungan (korelasi) antara faktor
dari Geographical Information System risiko dan efek dengan menggunakan
(GIS), adalah sistem pengelolaan data “point time approach” yaitu observasi atau
berbasis komputer yang digunakan untuk pengukuran terhadap faktor risiko dan efek
memanipulasi data bereferensi geografi. dilakukan pada saat yang sama.
Sistem ini diimplementasikan dengan
perangkat keras dan perangkat lunak Cara Penelitian
komputer yang berfungsi untuk : (1). 1. Pengumpulan data sekunder kasus
Akusisi dan verifikasi data, (2) Kompilasi Leptospirosis dari Dinas Kesehatan
data, (3) Penyimpanan data, (4) Perubahan Kota/ Rumah Sakit dan Puskesmas.
dan updating data, (5) Manajemen dan 2. Pengumpulan peta RBI digital Kota
pertukaran data, (6). Manipulasi data, (7) Semarang skala 1: 25.000 (Batas
Pemanggilan dan persentasi data dan Administrasi, Penggunaan lahan,
analisis data.(Prahasta, 2005) Sungai, Jalan, Kontur, Ketinggian),
Penelitian ini bertujuan mengkaji Tekstur tanah, Area banjir, Curah
kemampuan dan kegunaan SIG untuk hujan)
pemetaan dan analisis faktor risiko 3. Pengukuran koordinat lokasi kasus
Leptospirosis, mengkaji sebaran (rumah penderita Leptospirosis) dengan
Leptospirosis berdasarkan karakteristik Global Positionning System (GPS).
epidemiologi dan juga menentukan zonasi 4. Pengukuan variabel lingkungan fisik:
tingkat kerawanan Leptospirosis ketinggian tempat, iklim (temperatur,
berdasarkan variabel lingkungan biotik dan kelembaban), pH Air.

2
5. Analisis pemodelan spasial faktor lebih dari 12 Orang, sedangkan pada
lingkungan dan sebaran kasus Tahun 2009 terkonsentrasi pada 2
Leptospirosis dengan proses tumpang kecamatan yaitu Kecamatan Gayamsari
susun/overlay menentukan zona tingkat dan Kecamatan Tembalang.
kerawanan Leptospirosis (penggunaan Wilayah endemis Leptospirosis
lahan, area banjir, curah hujan, tekstur perdesa/kelurahan pada tahun 2008
tanah, NDVI) dan analisis buffer badan terdapat 80 desa dari 177
air. desa/kelurahan yang dilaporkan ada
kasus Leptospirosis, diantaranya
HASIL DAN PEMBAHASAN terdapat sepuluh desa dengan kasus
lebih dari 3 orang. Tahun 2009 terdapat
Gambaran Epidemiologi Leptospirosis 52 desa dari 177 desa yang dilaporkan
di Kota Semarang ada kasus Leptospirosis, diantaranya
1. Kasus Leptospirosis Berdasarkan terdapat 14 desa dengan kasus lebih dari
Space (lokasi). 3 orang. Jumlah kasus perdesa
Wilayah endemis Leptospirosis terbanyak di Desa Tandang, Kecamatan
perkecamatan di Kota Semarang pada Tembalang dengan kasus pada Tahun
tahun 2008 terdapat 4 kecamatan 2009 mencapai 37 Orang
dengan jumlah kasus Leptospirosis

Tahun 2008 Tahun 2009


Tahun 2008 Tahun 2009
Gambar 1. Sebaran Spasial Leptospirosis ( ) = satu kasus, Tahun 2008 dan Tahun 2009
di Kota Semarang

Persebaran spasial kasus and King, 1968 dalam Lo. Yeung,


Leptospirosis di Kota Semarang pada 2002) termasuk dalam kategori klaster.
Tahun 2008 dan Tahun 2009 hampir Pada klaster jarak sebaran terdekat
merata di seluruh Kecamatan, (point distance) antar kasus
walaupun dalam satu wlayah Leptospirosis di Kota Semarang adalah
kecamatan hanya dilaporkan ada 1 : 9 m (0,009 km) yaitu kasus di Desa
kasus. Persebaran kasus Leptospirosis Mlatiharjo, Kecamatan Semarang
pada Tahun 2009 cenderung Timur dan jarak sebaran antar kasus
berkelompok dalam satu wilayah yaitu terjauh adalah 18.000 m (18 km) yaitu
di wilayah Kecamatan Gayamsari dan antara kasus di Desa Beringin,
Kecamatan Tembalang menurut (Cole Kecamatan Ngaliyan dengan kasus di

3
Desa Sambungharjo, Kecamatan usia produktif (usia 21 s/d 50 th) dan
Genuk. Persebaran kasus Leptospirosis kelompok kurang produktif (umur di
yang membentuk klaster tersebut atas 51 th). Kasus Leptospirosis pada
dikarenakan adanya faktor risiko di semua kelompok umur, pada jenis
sekitar penderita misalnya karena kelamin laki-laki lebih banyak (55 %)
lingkungan pemukiman yang kumuh, dibandingkan pada kelompok
fasiltitas sanitasi (pembuangan sampah, perempuan (45 %). Distribusi kasus
pembuangan limbah) yang buruk. Leptospirosis yang dominan pada
kelompok anak-anak dan remaja di atas
2. Kasus Leptospirosis Berdasarkan
menunjukkan bahwa kelompok anak-
Karakteristik Penderita.
anak lebih rentan terhadap faktor risiko
Distribusi kasus Leptospirosis
Leptospirosis. Penularan Leptospirosis
berdasarkan karakteristik penderita di
pada kelompok anak-anak tersebut
Kota Semarang dapat dikategorikan
lebih dipengaruhi karena aktivitas
berdasarkan jenis kelamin dan
bermain pada lingkungan yang berisiko
kelompok umur, sebagai berikut :
seperti barmain di sekitar genangan air
Jumlah penderita pada kelompok anak-
atau lingkungan yang becek (Didik
anak (umur dibawah 10 th) dan
Wahyudi,2004).
kelompok remaja (umur 11 s/d 20 th)
lebih dominan dibandingkan kelompok

Gambar 2. Kasus Leptospirosis berdasarkan jenis kelamin dan kelompok


umur di Kota Semarang Tahun 2009.

3. Kasus Leptospirosis Berdasarkan Distribusi kasus perbulan


Temporal (waktu). perkecamatan sebagai berikut : dari 14
Pola fluktuasi kasus kecamatan di Kota Semarang yang
Leptospirosis perbulan sejak Tahun ditemukan kasus Leptospirosis pada
2007 sampai Tahun 2009 terjadi pola Tahun 2009, secara umum kasus
yang hampir sama yaitu kasus meningkat pada bulan Februari, Mei
meningkat antara bulan Januari dan dan Juni. Pada bulan Agustus juga
Februari, kemudian naik lagi pada terjadi peningkatan jumlah kasus yang
pertengahan tahun antara Juni dan Juli. cukup tinggi di dua Kecamatan yaitu
Puncak kasus selama tiga tahun Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan
terakhir terjadi pada bulan Juli dan Tembalang. Penurunan kasus secara
Agustus Tahun 2009, kemudian pada umum di Kota Semarang secara
bulan September sampai Oktober 2009 ekstrim terjadi mulai bulan September
terjadi penurunan secara tajam. Tahun 2009.

4
Faktor Risiko Lingkungan terhadap pemukiman seperti R.tanezumi dan R.
Kejadian Leptospirosis norvegicus merupakan faktor penting
Kasus Leptospirosis di Kota dalam penularan Leptospirosis.
Semarang yang didominasi kelompok Faktor risiko pekerjaan
anak-anak dan remaja laki-laki, penderita di Kota Semarang tidak
diantaranya disebabkan karena anak- berpengaruh penting terhadap kejadian
anak dan remaja laki-laki lebih banyak Leptospirosis, hal ini ditunjukkan dari
kontak dengan lingkungan yang status pekerjaan penderita dari 105
berisiko seperti misalnya: bermain responden/penderita, status
(becek-becekan) di air pada saat banjir pekerjaannya sebagai berikut : 54, 48
atau bermain-main di lingkungan % adalah pelajar, 8,21 % sebagai ibu
sekitar rumah. Sedangkan pada rumah tangga, 1 Orang PNS, dan 35
penderita Leptospirosis yang tinggal di % lainnya (tidak bekerja). Penelitian
wilayah tidak ada banjir seperti di Leptospirosis terkait pekerjaan pernah
Kecamatan Tembalang, kemungkinan dilakukan (Tangkanakul, et al, 2000)
risiko paling besar adalah lingkungan yang melaporkan bahwa pekerja yang
di dalam rumah atau di sekitar rumah. banyak kontak dengan air seperti
Risiko penularan Leptospirosis di pekerja limbah, pengelola sampah
dalam rumah diantaranya karena mempunyai risiko lebih besar terkena
keberadaan reservoir tikus di dalam Leptospirosis (OR : 4,9).
rumah yang positif leptospira dapat Persebaran kasus Leptospirosis
mencemari air yang ada di bak mandi, berdasarkan pola musiman sejak
di gentong atau bahkan melalui Tahun 2007 sampai dengan Tahun
makanan siap konsumsi atau siap saji. 2009 terjadi pola yang sama yaitu
Keberadaan tikus yang banyak di kasus meningkat pada saat musim
dalam rumah penderita ini ditunjukkan hujan/curah hujan tinggi (bulan
dengan hasil wawancara dengan Januari, Februari), kasus meningkat
responden yang menyatakan bahwa lagi pada bulan Juni. Faktor iklim
dari 105 responden sebesar 85,07 % (curah hujan) pada kondisi dan
menyatakan di dalam rumah sering wilayah tertentu berpengaruh penting
melihat tikus setiap minggunya lebih terhadap kejadian Leptospirosis,
dari satu kali. Hasil investigasi tikus curah hujan yang tinggi salah satunya
dengan traping/ penangkapan tikus di berdampak terhadap terjadinya banjir
beberapa lokasi di daerah tidak ada dan terbentuknya genangan-genangan
banjir, kepadatan tikus di dalam rumah air, apalagi didukung dengan jenis
(trap success) adalah antara 10 % tanah di Kota Semarang yang lebih
sampai 20 %, angka tersebut tergolong banyak dijumpai jenis tanah lempung
tinggi di atas rata-rata ambang batas (clay), sehingga keberadaan air di
normal yaitu 7 % trap success di genangan dapat bertahan lama.
dalam rumah (Ristiyanto, et al 2006) Masyarakat yang sering bermain atau
Sedangkan spesies tikus yang beraktifitas di genangan air berisiko
tertangkap paling banyak adalah tikus 1,6 kali (Ristiyanto, 2006).
rumah (R. tanezumi) : 60 %, dan Kejadian banjir pada tanggal 7-
tikus got (R. norvegicus): 30 %, 8 Februari 2009 di Kota Semarang
sedangkan tikus lainnya (M. musculus, yang meluas sampai di 14 Kecamatan
S. murinus, Bandicota indica ) : 10 %. (Badan Nasional Penanggulangan
Keberadaan tikus domestik yang Banjir, 2009) juga mengakibatkan
dominan ditemukan di sekitar peningkatan jumlah kasus

5
Leptospirosis di Kota Semarang yaitu mencapai daerah bebas banjir
dari 8 kasus pada bulan Januari (Kecamatan Tembalang), merupakan
menjadi 23 kasus pada bulan Februari. fenonema baru yang perlu diwaspadai.
Sedangkan peningkatan kasus Hal tersebut karena selama ini konsep
Leptospirosis yang cukup ekstrim dan pemahaman masyarakat terhadap
terjadi pada bulan Juli dan Agustus penyakit Leptosprosis masih
2009 yaitu meningkat 2 kali lipat atau berorientasi bahwa penyakit
lebih dibanding pada bulan Leptospirosis merupakan penyakit
sebelumnya. Pada bulan tersebut di akibat banjir. Pada kenyataanya
Kota Semarang curah hujan rendah, sebagian wilayah Kecamatan
atau musim kemarau (Gambar 3). Tembalang yang bukan merupakan
Pola peningkatan kasus area banjir ternyata kasus
Leptospirosis di Kota Semarang yang Leptospirosis melebihi wilayah
terjadi pada bulan Juli dan Agustus Kecamatan lain daerah banjir.
(musim kemarau) dan sebarannya

Gambar 3 Kasus Leptospirosis perbulan dan Curah Hujan di Kota Semarang


selama Tahun 2007 s/d Tahun 2009.

Beberapa penelitian, baik di informasi beberapa penelitian di atas


luar negeri maupun dalam negeri dan munculnya fenomena baru pada
menyatakan bahwa daerah banjir penelitian ini yaitu kasus Leptospirosis
merupakan salah satu faktor penting terjadi peningkatan pada musim
terhadap kejadian Leptospirosis kemarau di daerah yang tidak ada
misalnya Barcellos (2001) riwayat banjir, oleh karena itu perlu
melaporkan bahwa sebaran kasus perhatian serta kewaspadaan
Leptospirosis terkonsentrasi pada Pemerintah dan masyarakat terhadap
daerah luasan banjir (flood area), Leptospirosis tidak hanya pada lokasi
daerah perkotaan dengan populasi ada banjir, karena lokasi tanpa ada
penduduk padat, terdapat reservoir banjir juga ditemukan banyak kasus
(tikus), dan daerah dengan Leptospirosis.
pengelolaan sampah serta kondisi Ketinggian tempat dari
sanitasi yang buruk. Gasem (2008) permukaan laut juga merupakan
juga pernah melaporkan penelitian di variabel penting terhadap sebaran
Kota Semarang yaitu kasus Leptospirosis, kondisi ketinggian
Leptospirosis meningkat setelah tempat sangat terkait dengan
terjadi banjir besar di sekitar sungai area/lokasi luasan banjir dan
Banjirkanal Barat. Berdasarkan terbentuknya genangan-genangan air

6
permanen. Jenis tanah juga penting Pemanfaatan lahan untuk
pengaruhnya terhadap Leptospirosis, pemukiman memiliki keterkaitan yang
jenis tanah yang ada di wilayah erat terhadap persebaran
Tembalang adalah sebagian besar jenis Leptospirosis, hal tersebut karena
tanah lempung (clay), karena textur menyangkut kehidupan reservoir
tanah lempung yang halus tentunya (rodent) dan tempat yang potensial
memiliki kemampuan lebih lama untuk bertahan hidup bakteri
menahan resapan air, sehingga leptospira pada suatu kondisi tertentu.
memungkinkan munculnya Pemukiman yang kumuh, tidak teratur
keberadaan genangan. merupakan habitat yang cocok untuk
Sebaran kasus Leptospirosis kehidupan tikus.
pada Tahun 2009 lebih dominan pada Di daerah pemukiman yang
area ketinggian rendah yaitu teratur juga ditemukan kasus
ketinggian di bawah 47 mdpl. Pada Leptospirosis, namun sebarannya tidak
ketinggian dibawah 47 mdpl seperti pada pemukiman tidak teratur.
merupakan area yang potensi terkena Hasil penelusuran dengan wawancara
banjir, pada wilayah dengan kondisi terhadap penderita di lokasi
seperti itu menjadi kendala dalam pemukiman teratur menyebutkan
pengelolaan air hujan ataupun air bahwa sebelum sakit penderita
buangan rumah tangga. Pada kondisi bereneng di kolam renang (Yunianto
seperti tersebut di atas sangat berisiko et al, 2008).
terjadinya penularan Leptospirosis, Keberadaan sungai di Kota
menurut Joseph et al (2005) tindakan Semarang juga berpengaruh penting
preventif agar tidak tertular terhadap Leptospirosis. Daerah
Leptospirosis adalah tidak bermain air pinggiran sungai di wilayah dataran
dengan luka terbuka, menggunakan rendah memiliki kerentanan tinggi
sepatu boots apabila berjalan di air, terhadap kejadian banjir pada saat
bersihkan /mandi dengan sabun musim hujan. Pada Tahun 2009
anggota badan setelah beraktivitas di sebaran Leptospirosis sebagian besar
air seperti di atas, apabila terpaksa berada di sekitar sungai pada lingkup
berenang di kolam renang sebaiknya buffer 50 m sampai 300 m. Sungai
menggunakan pelindung mata. yang dekat dengan pemukiman
Ketinggian tempat dari sebagai faktor risiko karena sungai
permukaan laut berpengaruh terhadap yang tergenang akibat pembuangan
curah hujan di suatu tempat. Curah sampah merupakan habitat reservoir
hujan rata-rata di daerah tinggi di Kota seperti tikus.
Semarang misalnya di Kecamatan Kondisi lingkungan dengan
Tembalang, Kecamatan Gunungpati kerapatan vegetasi rendah akan
dan Kecamatan Banyumanik yaitu berpengaruh terhadap iklim di
sebesar 220 mm/bulan. Tingginya sekitarnya, misalnya temperatur dan
curah hujan pada daerah dataran kelembaban. Temperatur rata-rata
rendah merupakan penyebab siang hari di Kota Semarang hasil
terjadinya banjir dan menimbulkan pengukuran pada penelitian ini adalah
banyak genangan air, sedangkan curah adalah 32,55o C, temperatur terendah
hujan tinggi pada daerah ketinggian 32o C dan tertinggi 38o C. Sebaran
hanya berpengaruh pada terbentuknya Leptospirosis di Kota Semarang paling
genangan air. dominan pada kisaran temperatur
antara 30o C s/d 33o C. Kelembaban

7
udara terendah hasil pengukuran pada dihitung luas area lokasi kelas
siang hari sebesar 58,03 %, kerawanan Leptospirosis.
kelembaban udara rata-rata 69,9 %, Penentuan klasifikasi Zona
dan kelembaban udara tertinggi : tingkat kerawanan Leptospirosis
87,99 %. Sebaran Leptospirosis paling (Rawan, Sedang, dan Rendah)
dominan pada kisaran kelembaban didasarkan pada formula Sturgess
udara antara: 70 % s/d 76 %. sebagai berikut:

Zona Tingkat Kerawanan Rawan KI = Jml nilai maks – jml nilai min
Leptospirosis di Kota Semarang. Jumlah kelas
Wilayah Kota Semarang dengan KI = (24 – 8)/3
luas 373,67 km2 dengan 16 =6
Kecamatan, tentunya tidak semua
merupakan daerah berisiko terjadi Tabel. 1. Kelas Potensi / Zona Tingkat
Kerawanan Leptospirosis di Kota
penularan Leptospirosis, oleh karena Semarang
itu dalam menentukan penanganan dan Kelas Interval Zona
intervensi Leptospirosis harus 1 18 – 24 Rawan
diprioritaskan pada zona-zona tertentu 2 11 –17 Sedang
yang merupakan daerah rawan. 3 2 – 10 Rendah
Daerah rawan Leptospirosis
ditentukan dengan beberapa parameter Hasil analis GIS dengan
lingkungan diantaranya : Curah hujan, metode tumpang susun/ overlay dari
Tekstur tanah, Pengunaan lahan, Area variabel lingkungan fisik untuk
luasan Banjir, Ketinggian tempat, menentukan zona tingkat kerawanan
Indeks vegetasi / NDVI Leptospirosis sebagai berikut : Luas
Pemberian skor/penilaian dan zona daerah rawan Leptospirosis di
pembobotan pada masing-masing Kota Semarang adalah 73,08 km2
vaiabel didasarkan pada besarnya (18,73 %), luas zona sedang 251,04
pengaruh variabel/ parameter km2 (65,60 %) dan luas zona rendah
lingkungan terhadap kejadian 61,16 km2 (15,67%). Zonasi / lokasi
Leptospirosis. Dasar pemberian skor kerawanan Leptospirosis di Kota
dan pembobotan adalah hasil Semarang secara umum terkonsentrasi
penelitian-penelitian terdahulu dan pada wilayah bagian Utara dan Timur
hasil modifikasi. Laut Kota Semarang, yaitu
Pengharkatan/pemberian harkat/ diantaranya Wilayah Kecamatan
nilai akhir skor pada masing-masing Semarang Timur, Kecamatan
variabel lingkungan diperoleh dari Semarang Tengah, Kecamatan
hasil kali antara skor dengan bobot Semarang Utara, Kecamatan
dari masing-masing variabel Gayamsari, Kecamatan Pedurungan,
lingkungan. Proses tumpang susun Kecamatan Pedurungan dan Sebagian
/overlay dilakukan setelah Kecamatan Tembalang Utara.
penjumlahan harkat dari masing- Persentase ketepatan sebaran
masing variabel. Proses penggabungan kasus Leptospirosis tahun 2009
(dissolve) pada hasil akhir overlay dengan zona tingkat kerawanan
dilakukan dengan tujuan untuk Leptospirosis adalah sebagai berikut :
mengelompokkan harkat yang Sebaran kasus pada daerah zona rawan
memiliki nilai sama pada masing- tinggi mencapai 76,51 %, zona rawan
masing variabel, sehingga dapat sedang 22,82 % dan zona rawan

8
rendah 0,67 %. Persentase ketepatan pada zona rawan rendah hanya 1,92
sebaran Leptospirosis tahun 2008 %. Secara umum kasus Leptospirosis
dengan zona tingkat kerawanan pada Tahun 2008 dan Tahun 2009
Leptospirosis adalah sebagai berikut: hampir 99 % tersebar pada zona rawan
Sebaran kasus Leptospirosis pada zona tinggi dan rawan sedang.
rawan tinggi mencapai 67,31 %, zona
rawan sedang 30,77 %, sedangkan

(a) (b)
) )
Gambar 4. Sebaran spasial Leptospirosis ( ) Tahun 2008 (a) dan Tahun 2009 (b), ditumpangkan
pada Zona Tingkat Kerawanan Leptospirosis di Kota Semarang.

SIMPULAN Kecamatan Semarang Timur,


1. SIG dapat menganalisis faktor risiko Kecamatan Semarang Tengah,
lingkungan fisik terkait sebaran Kecamatan Semarang Utara,
Leptospirosis diantaranya: Kecamatan Gayamsari, Kecamatan
pemukiman, area luasan banjir, Pedurungan, Kecamatan Pedurungan
ketinggian tempat, curah hujan, tekstur dan Sebagian Kecamatan Tembalang
tanah, indeks kerapatan vegetasi serta Utara. Luas wilayah/ zona rawan
temperatur dan kelembaban. tinggi dan sedang meliputi lebih dari
2. Sebaran kasus Leptospirosis pada dua pertiga luas wilayah Kota
Tahun 2009 di Kota Semarang Semarang. Kasus Leptospirosis tahun
berdasarkan karakteristik penderita 2009 secara umum tersebar pada zona
didominasi pada kelompok anak-anak rawan tinggi dan zona rawan sedang.
dan remaja laki-laki. Wilayah sabaran
terkonsentarsi di Kecamatan SARAN
Tembalang Bagian Utara.dan wilayah 1. Penggunaan citra resolusi tinggi
Gayamsari. Puncak fluktuasi sebaran yang meliputi wilayah Kota
temporal terjadi pada bulan Juli dan Semarang keseluruhan akan lebih
Agustus 2009 yaitu pada saat musim menggambarkan kondisi Kota
kemarau menjelang musim penghujan. Semarang secara lengkap, baik di
3. Zonasi tingkat kerawanan daerah yang berisiko Leptospirosis
Leptospirosis terkonsentrasi pada maupun daerah yang tidak berisiko.
wilayah bagian Utara dan Bagian
Timur Laut Kota Semarang, yaitu

9
2. Tindakan kedaruratan yang harus utama pada kelompok anak-anak
dilakukan adalah: dan remaja, sehingga akan lebih
a. Bagi masyarakat daerah zona banyak menjaring penderita pada
rawan : kelompok paling berisiko.
Kegiatan Penyuluhan di daerah Pelaksanaan survei sebaiknya
zona rawan leptospirosis dengan dilakukan sebelum dan sesudah
cara pemasangan poster/leaflet, musim hujan dengan target lokasi
pemutaran film, melakukan utama adalah daerah zona rawan
kegiatan bersih lingkungan yaitu wilayah Utara dan Timur
(pengaliran genangan air, Laut Kota Semarang. Intervensi
pembuatan tempat sampah) lingkungan dengan perbaikan
kegiatan Jumat bersih, dan saluran air, tempat sampah.
pengendalian /penangkapan tikus. Pemberian desinfektan pada
b. Bagi Instansi Pemerintah penampungan air dan badan air.
Melakukan kegiatan surveilans
dengan cara skrining, sasaran

DAFTAR PUSTAKA

Aronoff S, 1989. Geographic Information System: A Management Perspective,WDL Publication,


Ottawa, Canada.
Barcellos C, Sabroza PC, 2001. The Place Behind the Case; Leptospirosis Risks and Associated
Environmental Conditions in a Flood-Related Outbreak in Rio de Janeiro, Cad. Saúde
Pública, Rio de Janeiro, 59-67.
Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2008. Data Surveilans Leptospirosis Kota Semarang tahun 2006-
2008, Semarang.
Gasem MH, 2008. Management of Human Leptospirosis; Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis ,
Rumah Sakit Dokter Karyadi & Universitas Diponegoro.
Ima N, Ristiyanto, 2005. Penyakit Bersumber Rodensia ( Tikus dan Mencit) di Indonesia dalam.
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 4 N0 3 :308 – 319)
Joseph MV, Bruce AW, Alonso A, et al, 2005. Beyond Disciplinary Boundaries: Leptospirosis as
a Model of Incorporating Transdisciplinary Approaches to Understand Infectious
Disease Emergence, Eco Health Journal Consortium 2, 291–306,
Lo CP, Yeung. 2002. Consepts And Techniques Of Geographic Information Systems, Prentice-Hall of
India, New Delhi.
Prahasta E, 2005. Sistem Informasi Geografis; konsep-konsep Dasar, edisi Revisi, CV.
Informatika, Bandung.
Ristiyanto, Farida DH, Gambiro PY, 2006. Studi Epidemiologi Leptospirosis di Dataran Rendah
(Kabupaten Demak, Jawa Tengah).
Suharyadi, Danudoro P, 2004. Sistem Informasi Geografis; Konsep Dasar dan Beberapa Catatan
Perkembangannya Saat ini; dalam Sains Informasi Geografis, Jurusan Kartografi dan
Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
Tangkanakul W, Piyanitt T, Brian D P, et al, 2000. Risk Factors Associated with Leptosprosis In
Northeastern Thailand, Am. J. Trop. Med. Hyg., 63(3, 4), pp. 204–208.
WHO, 2003. Human Leptospirosis : Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control, Geneva.
Widarso HS, Wilfried P, Gasem MH, et al, 2003. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Kasus
Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Dit.Jen.PPM-PL, Subdit Zoonosis,
Dep.Kes., Jakarta.
Yunianto B, Sunaryo, Widyastuti D, et al,2008. Studi Epidemiologi Leptospirosis di Kota
Semarang, Loka Penelitian dan Pengembangan P2B2 Banjarnegara.

10

You might also like