Professional Documents
Culture Documents
MACAM-MACAM ANTIHISTAMIN
1. Antagonis Reseptor Antihistamin (AH1) non sedatif
Antihistamin H1, mengurangi gejala alergi karena musim dan cuaca. Bekerja
dengan cara competitif inhibitor terhadap histamine pada reseptor jaringan, sehingga
mencegah histamine berikatan serta mengaktivasi reseptornya. Dengan menghambat
kerja dari histamine, terjadi berbagai pengaruh yang ditimbulkan antihistamin, yaitu
menghambat peningkatan permeabilitas kapiler dan edema yang disebabkan oleh
histamin serta menghambat vasokontriksi. Obat ini lebih efektif jika diberikan sebelum
pelepasan histamin. Kinetika pada pemberian obat antihistamin H1, diabsorbsi dengan
cepat dan baik, kebanyakan senyawa dimetabolisme dalam hati dan dieliminasi
terutama dalam bentuk termetabolismenya.
Hubungan struktur dan aktifitas antagonis H1
Antihistamin yang memblok reseptor H1 secara umum mempunyai struktur sebagai
berikut :
Ar = gugus aril, termasuk fenil, fenil tersubstitusi dan heteroaril
Ar’ = gugus aril kedua
R dan R’ = gugus alkil
X = O , turunan aminoalkil eter dengan efek sedasi yang besar
= N, turunan etilendiamin, senyawa lebih aktif dan lebih
toksik
= CH, turunan alkilamin, senyawa kurang aktif dan kurang
toksik.
1. Gugus aril yang bersifat lipofil kemungkinan membentuk ikatan hidrofob dengan
ikatan reseptor H1. Monosubstitusi gugus yang mempunyai efek induktif (-), seperti Cl
atau Br, pada posisi para gugus Ar atau Ar’ akan meningatkan aktivitas, kemungkinan
karena dapat memperkuat ikatan hidrofob dengan reseptor. Disubstitusi pada posisi
para akan menurunkan aktivitas. Substitusi pada posisi orto atau meta juga
menurunkan aktivitas.
2. Secara umum untuk mencapai aktivitas optimal, atom N pada ujung adalah amin
tersier yang pada pH fisiologis bermuatan positif sehingga dapat mengikat reseptor H1
melalui ikatan ion.
3. Kuartenerisasi dari nitrogen rantai samping tidak selalu menghasilkan senyawa yang
kurang efektif.
4. Rantai alkil antara atom X dan N mempunyai aktifitas antihistamin optimal bila
jumlah atom C = 2 dan jarak antara pusat cincin aromatic dan N alifatik = 5 -6 A
5. Faktor sterik juga mempengaruhi aktifitas antagonis H1
6. Efek antihistamin akan maksimal jika kedua cincin aromatic pada struktur
difenhidramin tidak terletak pada bidang yang sama
Turunan Etilendiamin
Rumus umum : Ar (Ar’)N-CH2-CH2-N(CH3)2
Contoh: mepiramin maleat, pirilamin maleat, tripenelamin sitrat dan
hidroklorida, antazolin fosfat
N (X) : Atom penghubung
Rantai 2 atom C : Penghubung gugus diaril inti dengan gugus amino
tersier.
Etilendiamin mempunyai efek samping penekanan CNS dan gastro intestinal.
Antihistamin tipe piperazin, imidazolin, dan fenotiazin mengandung bagian
etilendiamin. Gugus amino alifatik dalam etilen diamin cukup basis untuk
pembentukan garam, akan tetapi atom N yang diikat pada cincin aromatic sangat
kurang basis.
Derivat Etilendiamin: obat golongan ini umumnya memiliki data sedative yang lebih
ringan.
1) Antazolin : fenazolin, antistin, daya antihistaminiknya kurang kuat, tetapi tidak
merangsang selaput lendir. Maka layak digunakan untuk mengobati gejala-gejala
alergi pada mata dan hidung.
2) Mepirin : derivate metoksi dari tripelenamin yang digunakan dalam kombinasi dengan
feniramin dan fenilpropanolamin.
3) Klemizol : derivate klor yang kini hanya digunakan dalam preparat kombinasi anti-
selesma, salep, dan suppositoria obat wasir.
Turunan Alkilamin
Rumus umum : Ar (Ar’)CH-CH2-CH2-N(CH3)2
Contoh: bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat dan tanat,
deksbromfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat,
dimentinden maleat, tripolidin hidroklorida, feniramin
maleat/pirilamin maleat
Hubungan struktur antagonis H1 dengan turunan alkil amin:
a) Feniramin maleat, merupakan turunan alkil amin yang memunyai efek antihistamin H1
terendah.
b) CTM, merupakan antihistamin H1 yang popular dan banyak digunakan dalam sediaan
kombinasi.
c) Dimetinden maleat, aktif dalam bentuk isomer levo.
d) Pemasukan gugus klor/brom pada posisi para cincin aromatik feniramin maleat akan
meningkatkan aktivitan antihistamin
e) Isomer dekstro klorfeniramin maleat mempunyai aktivitas yang lebih besar dibanding
campuran rasematnya
Turunan Piperizin
Turunan ini memunyai efek antihistamin sedang dengan awal kerja lambat dan masa
kerjanya relatif panjang.
Turunan Fenotiazin
Selain mempunyai efek antihistamin, golongan ini juga mempunyai aktivitas
tranquilizer, serta dapat mengadakan potensiasi dengan obat analgesic dan sedativ.
MEKANISME KERJA
Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan
rasa gatal, iritasi saluran pernafasan, bersin, dan produksi lendir (alias ingus).
Antihistamin ini ada 3 jenis, yaitu Diphenhydramine, Brompheniramine, dan
Chlorpheniramine. Yang paling sering ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah
golongan klorfeniramin (biasanya dalam bentuk klorfeniramin maleat). Antihistamin
menghambat efek histamin pada reseptor H1. Tidak menghambat pelepasan histamin,
produksi antibodi, atau reaksi antigen antibodi. Kebanyakan antihistamin memiliki
sifat antikolinergik dan dapat menyebabkan kostipasi, mata kering, dan penglihatan
kabur. Selain itu, banyak antihistamin yang banyak sedasi. Beberapa fenotiazin
mempunyai sifat antihistamin yang kuat (hidroksizin dan prometazin).
1. Antihistamin H1
Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1. Selain memiliki
kefek antihistamin, hampir semua AH1 memiliki efek spasmolitik dan anastetik lokal
2. Antihistamin H2
Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin
sehinnga memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan
sebelum pelepasan histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa histamin, indikasinya
sama denfan AH 1.
EFEK SAMPING
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang
bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping
yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat
di RS atau pasien yang perlu banyak tidur.
Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau
penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol,
terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus,
lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia
dan tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek
samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi. Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada
pasien yang mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid
dapat memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel.
Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat
dan pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti
pasien hipokalemia). Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan
antihistamin non sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih
lanjut.
Referensi:
Ganis S.G, Setiabudy R, Suiyatna. F.D. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: UI
Press.
Histamin (suatu autacoid atau hormon lokal) adalah suatu amin nabati (bioamin) yang
ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich (1878) dan merupakan produk normal dari pertukaran zat
histidin melalui dekarboksilasi enzimatis. Asam amino ini masuk ke dalam tubuh terutama
dalam daging (protein) yang kemudian di jaringan (juga di usus halus) diubah secara
enzimatis menjadi histamin (dekarboksilasi).
Terdapatnya. Hampir disemua organ dan jaringan memiliki histamin dalam keadaan
terikat dan inaktif, yang terutama terdapat dalam sel-sel tertentu. "Mast cells" ini (Ing. mast
= menimbun) menyerupai bola-bola kecil berisi gelembung yang penuh dengan histamin dan
zat-zat mediator lain. Sel-sel ini banyak ditemukan di bagian tubuh yang bersentuhan dengan
dunia luar, yakni di kulit, mukosa dari mata, hidung, saluran napas (bronchia, paru-paru), dan
usus, juga dalam leukosit basofil darah. Dalam keadaan bebas aktif juga terdapat dalam darah
dan otak, dimana histamin bekerja sebagai neurotransmitter, di luar tubuh manusia histamin
terdapat dalam bakteri, tanaman (bayam, tomat), dan makanan (keju tua).
Histamin dapat dibebaskan dari mast cells oleh bermacam-macam faktor, misalnya oleh
suatu reaksi alergi (penggabungan antigen-antibodi), kecelakaan dengan cidera serius, dan
sinar UV dari matahari. Selain itu, dikenal pula zat-zat kimia dengan daya membebaskan
histamin ('histamin liberator') seperti racun ular dan tawon, enzim proteolitis, dan obat-obat
tertentu (morfin dan kodein, tubokurarin, klordiazepoksida).
Fungsi dan kegiatannya. Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan
pada sistem daya tangkis. Kerjanya berlangsung pada 3 jenis reseptor, yakni reseptor-H1, -
H2, dan H3. Reseptor H1 secara selektif diblok oleh antihistaminika (H1-blockers), reseptor-
H2 oleh penghambat asam lambung (H2-blockers), dan reseptor-H3 memegang peranan
penting pada regulasi tonus syaraf simpatikus. Aktivitas penting histamin adalah :
Sumber dan kimia. Histamin pertama kali diisolasi dari ekstrak ergot. Pada tahun 1927,
histamin dapat diisolasi dari jaringan paru dan hati. Karena terdapat dalam jaringan, senyawa
ini dinamakan histamin (hitos = jaringan). Pada penggoresan kulit, ditemukan pula zat yang
bernama H-substance, dan ternyata zat ini adalah histamin. Histamin atau 2-(4 imidazol)-
etilamin dihasilkan dengan cara dekarboksilase asam amino l-histidin yang dikatalisasi oleh
enzim Histidin dekarboksilase. Reaksi ini juga terdapat dalam sel-sel tubuh yang reaksinya
sama dengan yang terjadi dalam lumen usus. Histamin melakukan kerja biologisnya
berkombinasi dengan reseptor selular yang terdapat pada permukaan membran.
Kita mengetahui bahwa efek vasodilator histamin dapat disebabkan oleh reseptor H1 dan
H2 dilokasi yang berbeda pada tipe sel jaringan vaskuler. Reseptor H1 pada sel endotel dan
reseptor H2 pada sel otot polos. Aktivasi H1 menyebabkan peningkatan Ca intraselular,
aktivasi fosfolipase A2, dan menghasilkan EDRF (endothilium derived relaxing factor) yang
disebut Nitrogen Monoksida (NO). NO tersebut menyebabkan vasodilatasi dengan cara
mengakumulasi cGMP. Sementara itu, kontraksi otot polos yang disebabkan oleh aktivitas
H1 timbul karena hidrolisis fofoinositol dan peningkatan Ca intraseluler. aktivitas reseptor
H2 yang terdapat pada mukosa lambung, otot jantung, dan sel imun meningkatkan cAMP.
sementara itu, aktivitas H3 yang terdapat dibeberapa area di SSP menurunkan pelepasan
histamin dari saraf histaminergik yang diduga akibat penurunan influks Ca.
ANTAGONIS H1
Obat yang disebut sebagai antihistamin (senyawa etilamin) adalah obat yang
mengantagonis histamin pada reseptor H1, sehingga disebut juga antagonis reseptor H1.
Secara farmakologis, antihistamin dikatakan bekerja secara antagonis kompetitif yang
reversibel pada reseptor H1 sehingga dapat menghambat kerja histamin pada reseptor
tersebut, tetapi tidak memblok pelepasan histamin. Secara kimiawi, antihistamin terdiri atas
beberapa kelompok persenyawaan kimia yang berbeda dan secara garis besar dibagi atas 2
grup, yaitu :
Generasi golongan II disebut juga antihistamin nonsedasi karena obat-obat ini tidak
menembus sawar-darah otak, kecuali siproheptadin. Selain itu, obat generasi golongan II
tidak mempunyai aktivitas muskarinik.
ANTAGONIS H2
Antagonis H1 tidak menghambat asam lambung, pada awal tahun 70-an, antagonis H2
terbukti dapat mengontrol sekresi asam lambung secara fisiologis. Dua antagonis H2 pertama
yang ditemukan adalah burinamid dan simetidin. Simetidin diketahui mempunyai cincin
imidazol, dan dengan perkembangannya, cincin ini diganti dengan senyawa furan (ranitidin)
atau dengan tiazol (famotidin, nizatidin). Obat-obat antagonis H2 bersifat lebih hidrofilik
dibandingkan dengan antagonis H1 dan dapat mencapat SSP.
Obat-obat ini, diduga bekerja dengan cara menghambat interaksi histamin dengan reseptor
H2 secara kompetitif dan selektif sehingga tidak memberikan efek pada reseptor H1. Kerja
utama obat ini adalah mengurangi sekresi asam lambung yang disebabkan oleh histamin,
gastrin, obat-obat kolinomimetik (AINS), rangsangan vagal makanan (terutama asam),
insulin, dan kopi. Juga perlu diketahui, obat-obat ini tidak hanya menghambat asam nokturnal
tetapi juga basal. Selain itu, obat-obat ini juga mereduksi dengan baik volume cairan lambung
dan konsentrasi ion histamin +. Simetidin, ranitidin, dan famotidin memiliki pengaruh yang
kecil terhadap fungsi otot polos lambung dan tekanan sfingter esofagus. Nizatidin dapat
menekan kontraksi asam lambung sehingga memperpendek waktu pengosongan lambung dan
hal ini diduga karena efeknya menghambat asetilkolinesterase.
ANTIHISTAMIN
Antihistamin atau penghambat H1, bersaing dengan histamin untuk menduduki reseptor,
sehingga menghambat respon histamin. Penghambatan H1 disebut juga antagonis histamin.
ada 2 tipe reseptor histamin, H1 dan H2, keduanya menyebabkan respon yang berbeda. Bila
H1 dirangsang, otot-otot polos ekstravaskuler, termasuk otot-otot yang melapisi rongga
hidung akan berkontriksi. Pada perangsangan H2 terjadi peningkatan sekresi gastrik, yang
menyebabkan terjadinya tukak lambung.
Antagonis H1 biasanya diabsorbsi dengan baik di saluran cerna. Setelah pemberian oral,
kadar puncak plasma dicapai dalam 2-3 jam dan efeknya berakhir 4-6 jam. Walaupun
demikian ada beberapa obat yang kerjanya lebih lama, misalnya klemastin, setirizin,
terfenadin (12-24 jam), sedangkan astemizol 24 jam. Penelitian yang intensif pada obat
pertama terbatas. Defenhidramin yang diberikan per oral mencapai kadar maksimum dalam
darah kurang lebih 2 jam dengan waktu paruh 4 jam. Distribusi obat ini luas, termasuk di SSP
dan dalam jumlah kecil dijumpai di dalam urine dengan bentuk metabolit. Eliminasi obat ini
cepat pada anak dan dapat menginduksi enzim mikrosomal hepatik. Hal ini juga tampaknya
sama pada obat generasi I lainnya. Sementara itu, obat generasi II, seperti astemizol,
terfenadin, dan loratadin diabsorbsi secara cepat disaluran cerna dan dimetabolisme didalam
hati melalui sistem mikrosomal hepatik P450.
Reaksi Alergi
Obat antihistamin sering merupakan obat pertama yang digunakan untuk mencegah dan
mengobati alergi akut dengan gejala rinitis, urtikaria, dermatitis, dan konjungtivitis, terutama
dari golongan generasi I. Namun, untuk reaksi anafilaktik sistemik, epinefrin tetap
merupakan obat pilihan, meskipun antagonis H1 juga memegang peranan. Di AS,
antihistamin yang terbanyak dipakai untuk mengatasi rinitis alergik (hay fever) adalah
golongan alkilamin (klorfeniramin) dan golongan piperidin (terfenadin). Untuk profilaksis,
obat yang bisa digunakan adalah terfenadin karena efeknya yang panjang. Pada penderita
asma, penggunaan obat antagonis H1 tidak efektif, terutama pada anak-anak, karena obat ini,
terutama obat generasi I, mengeringkan bronkiolus. Sementara itu, untuk pengobatan
konjungtivus alergik, biasanya digunakan levokabastin. Beberapa dermatitis alergik juga
memberikan respon yang baik terhadap antagonis H1, terutama urtikaria akut dengan
mengurangi rasa gatal, edema, serta eritem. Melalui beberapa penelitian, ternyata diketahui
bahwa untuk mengatasi urtikaria kronik idiopatik, terfenadin lebih superior dibandingkan
klorferamin dan seritizin terbukti ampuh untuk mengatasi urtikaria fisik (misalnya cuaca
dingin). Selain itu, terbukti bakwa kombinasi antagonis H1 dan H2 sangat bermanfaat
terhadap penderita urtikaria yang gagal diobati hanya dengan antagonis H1.
Antiemetik
Untuk mengatasi mual dan muntah, biasanya digunakan golongan fenotiazin (prometazin),
dan diduga obat ini bekerja dengan cara menghambat reseptor D2 di saluran cerna. Sementara
itu, untuk mengatasi hiperemesis gravidarum biasanya digunakan golongan obat etanoalamin
(doksilamin).
Motion sickness
Skopolamin merupakan obat pilihan untuk mengatasi hal ini, tetapi beberapa antagonis H1
juga dapat digunakan baik untuk pengobatan atau profilaksis motion sickness. Obat seperti
dimenhidrinat, piperazin (siklizin, meklizin), prometazin, sinarizin sering digunakan untuk
mengatasi hal tersebut dan efek samping antimuskariniknya (mulut kering, retensi urine, dan
pengelihatan kabur) rendah. Prometazin biasanya digunakan pada penderita motion sickness
dengan gejala muntah. Sementara itu, dimenhidrinat dan meklizin sering digunakan untuk
mengatasi motion sickness yang disebabkan gangguan vestibular. Dimenhidramin biasanya
digunakan pada motion sickness yang mengalami gangguan ekstrapiramidal akibat
prometazin, dan obat ini juga dapat digunakan pada penderita Parkinson.
Anestesi lokal
Anastesi lokal menggunakan prometazin dan difenhidramin tetapi memerlukan dosis yang
besar. Obat-obat ini dipakai bila penderita alergi terhadap obat anastesi lokal.
DAFTAR PUSTAKA
ANTIHISTAMIN
Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan
menimbulkan berbagai proses patologik. Antihistamin adalah obat yang bekerja
mengantagonis aksi dari histamin.Histamin pada manusia adalah mediator penting
untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan
penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan
modulator
Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap
aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit
alergi. Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan
target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel
mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel.
Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2) dan histamin 3
(H3).
Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses
patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Sejak
penemuan antihistamin pada awal tahun 1940, antihistamin sangat terkenal
diantara pasien dan dokter. Antara tahun 1940-1972, beratus-ratus antihistamin
ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak
berbeda. Antihistamin digolongkan menjadi anti histamin penghambat reseptor
H1 (AH1), penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3).
1. Etilendiamin.
Etilendiamin mempunyai efek samping penekanan CNS dan gastro intestinal.
Antihistamin tipe piperazin, imidazolin dan fenotiazin mengandung bagian
etilendiamin.
Pada kebanyakan molekul obat adanya nitrogen kelihatannya merupakan
kondisi yang diperlukan untuk pembentukan garam yang stabil dengan asam
mineral.
Gugus amino alifatik dalam etilen diamin cukup basis untuk pembentukan
garam, akan tetapi atom N yang diikat pada cincin aromatik sangat kurang
basis.
Elektron bebas pada nitrogen aril di delokalisasi oleh cincin aromatik.
2. Tripelenamin Hidroklorida
Garam tripelenamin HCl merupakan serbuk kristal putih dan akan berubah
menjadi gelap dengan adanya cahaya.
Garam yang larut dalam air (1: 0,77) dan dalam alkohol (1:6). Mempunyai pKa
sekitar 9 , pada larutan 0,1 % merupakan pH 5,5.
Jika diberikan per oral, absorbsinya baik dan efektifitasnya sama dengan
difenhidramin dan reaksi sampingnya lebih sedikit dan lebih ringan.
Menyebabkan kantuk dan harus dihindarkan pemakaian dengan minuman
beralkohol.
3. Pirilamin Maleat USP ; 2-[(2-dimetilaminoetil-9-
p-metoksibenzil) amino] piridil bimaleat
Basa bebas berbentuk seperti minyak, tersedia sebagai garam asam maleat.,
yang berupa serbuk kristal putih dengan sedikit bau, berasa pahit dan asin.
Merupakan antihistamin yang kurang poten, tetapi poten dalam meng-antagonis
kontraksi terinduksi histamin pada ileum marmot.
Karena mempunyai daya anestetika lokal, tidak boleh dikunyak harus bersama
makanan.
2. Turunan Propilamin
Anggota kelompok yang jenuh disebut sebagai feniramin yang merupakan
molekul khiral.
Turunan tersubstitusi halogen dapat diputuskan dengan kristalisaasi dari garam
yang dibentuk dengan d-asam tartrat.
Antihistamin golongan ini merupakan antagonis H1 yang paling aktif.
Mereka tidak cenderung membuat kantuk, tetapi beberapa pasien mengalami
efek ini.
Pada anggota yang tidak jenuh, sistem ikatan rangkap dua aromatik yang
koplanar Ar – C = CH-CH2 - N faktor penting untuk aktivitas antihistamin.
Gugus pirolidin adalah rantai samping amin tersier pada senyawa yang lebih
aktif.
Pada anggota alkena (tidak jenuh), aktivitas antihistamin konfigurasi E berbeda
sangat menyolok dibandingkan dengan konfigurasi Z, sebagai contoh: E-
Pirobutamin sekitar 165 kali lebih poten dari pada Z-Pirobutamin;
E-Triprolidin aktivitasnya sekitar 1000 kali lebih poten dibandingkan dengan
Z-triprolidin.
Perbedaan ini dikarenakan jarak antara amina alifatik tersier dengan salah satu
cincin aromatik sekitar 5-6 Ao, yang jarak tersebut diperlukan dalam ikatan sisi
reseptor.
Beberapa turunan propilamin antara lain :
a. Feniramin maleat; Avil ; Trimeton; Inhiston maleat
Berupa garam yang berwarna putih dengan sedikit bau seperti amin yang larut
dalam air, dan alkohol.
Feniramin maleat merupakan anggota seri yang paling kecil potensinya dan
dipasarkan sebagai rasemat .
Dosis lazim : 20 – 40 mg, sehari 3 kali
Struktur Kimia
Ar1 H
X – CH2 – CH2 – N
Ar2 H
Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C, atau – C – O -. Pada struktur AH1 ini
terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus
Farmakologi
1. Efek sedasi
Antihistamin H1 generasi pertama memiliki efek sedasi yang cukup besar
sehingga berguna sebagai bantuan tidur dan tidak sesuai untuk penggunaan pada
siang hari. Pada anak – anak (dan jarang terjadi pada dewasa) menimbulkan
eksitasi daripada sedasi. Pada dosis toksik yang tinggi dapat menyebabkan
agitasi, kejang, dan koma. Sedangkan Antihistamin H1 generasi kedua hanya
mempunyai sedikit atau bahkan tidak mempunyai kerja sedatif atau stimulasi.
Obat antihistamin H1 generasi kedua (atau metabolitnya) juga mempunyai efek
autonomik yang lebih sedikit dari antihistamin H1generasi pertama.
4. Kerja antikolinoseptor
Banyak agen dari generasi pertama, khususnya subgrup ethanolamine dan
ethylendiamine, mempunyai efek menyerupai atropin yang bermakna pada
reseptor muskarinik perifer.
Efek penyekatan yang kuat terhadap reseptor serotonin telah dibuktikan pada
beberapa generasi pertama antihistamin H1, terutama cyproheptadine. Obat
tersebut digunakan sebagai antiserotonin, tetapi obat tersebut mempunyai
struktur kimia yang menyerupai antihistamin phenothiazine dan merupakan suatu
obat penyekat H1 yang kuat.
7. Anestesi lokal
Antihistamin H1 generasi pertama merupakan anestesi lokal yang efektif karena
menyekat kanal kalsium di membran yang eksitabel. Diphenhidramine dan
promethazine kadang digunakan sebagai anestesi lokal pada pasien alergi
terhadap obat-obat anestetik lokal yang konvensional.
Efek Samping
1. Efek sedasi
Dari hasil penelitian oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 2×50 mg dengan
loratadine dosis tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi
difenhidramin lebih besar dibanding loratadine. Jadi loratadine tidak
mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan
produktifitas kerja. Juga loratadin menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman
secara efektif dan absorbsi oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang
panjang, sehingga cukup diberikan sekali dalam sehari.
3. Gangguan kognitif
Adalah gangguan terhadap kemampuan belajar, konsentrasi atau ketrampilan di
tempat bekerja. Dari hasil penelitian memperlihatkan antihistamin generasi
pertama terutama difenhidramin menyebabkan gangguan kemampuan belajar,
konsentrasi, atau ketrampilan di tempat kerja. Sedangkan loratadin meniadakan
efek negative dari hinitis alergi terhadap kemampuan belajar.
4. Efek kardiotoksisitas
Antihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir
tahun 80-an mulai muncul beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan
dosis yang berlebihan. Sehingga dapat menyebabkan pasien yang menggunakan
mengalami gangguan pada jantung (kardiotoksisitas).
Kontraindikasi
Meski sedikit lebih mahal, antihistamin generasi kedua dan ketiga secara
klinis menunjukkan efikasi tanpa efek sedatif yang menjadi karakteristik dari
generasi pertama. Sebenarnya rasa sedasi dan drowsiness sangatlah subjektif,
hanya dirasakan oleh individu dan tidak bisa jadi bukti klinis. Sebuah studi
mengevaluasi efek fexofenadine, diphenhydramine, alkohol, dan placebo
terhadap kemampuan mengendarai. Subjek yang memperoleh fexofenadine
mampu mengendarai selayaknya placebo. Sedang subjek yang menerima
diphenhydramine memiliki kemampuan mengendarai paling buruk, diikuti dengan
subjek yang menerima alcohol.
DAFTAR PUSTAKA
Diskusi :
1. apakah obat antihistamin bisa digunkan sebagai terapi swamedikasi ? tanpa ada
resep dokter??
2. Antuhistamin memiliki beberapa efek samping , bagaimana cara agar efek
samping nya berkurang saat mengkonsumsi obat tsb?
4bagaimana cara mencegah dan mengatasi efek samping dari obat ini?
ANTIHISTAMIN
Histamin
Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan
berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk
reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada
sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. Efek histamin
adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel
efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik
pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast,
neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel. Reseptor histamin dibagi
menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2) dan histamin 3 (H3).
Mekanisme kerja
Histamin dapat menimbulkan efek bika berinteraksi dengan reseptor histaminergik, yaitu
reseptor H1, H2, dan H3. Interaksi histamin dengan reseptor H1 menyebabkan interaksi oto
polos usus dan bronki, meningkatkan permeabilitas vaskular dan meningkatkan sekresi usus,
yang dihubungkan dengan peningkatan cGMP dalam sel. Interaksi dengan reseptor H1 juga
menyebabkan vasodilatasi arteri sehingga permeable terhadap cairan dan plasma protein yang
menyebabkan sembab, pruritik, dermatitis dan urtikaria. Efek ini di blok oleh antagonis-1.
Interaksi histamin dengan reseptor H2 dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan
kecepatan kerja jantung. Produksi asam lambung di sebabkan penurunan cGMP dalam sel
dan peningkatan cAMP. Peningkatan sekresi asam lambung dapat menyebabkan tukak
lambung. Efek ini di blok oleh antagonis H2. Reseptor H3 adalah resptor histamin yabg baru
di ketemukan pada tahun 1987 oleh arrange dan kawan-kawan, terletak pada ujung syaraf
aringan otak dan jaringan perifer yang mengontrol sintesis dan pelepasan histamin, mediator
alergi lain dan peradangan. Efek ini di blok antagonis H3.
Antihistamin
Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam
tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada sisi reseptor H1, H2 dan H3. Efek
antihistamin bukan suatu reaksi antigen-antibodi karena tidak dapat menetralkan atau
mengubah efek antihistamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat
mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara
bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas.
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas, antihistamin di bagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Antagonis H1, di gunakan untuk pengobatan gejala-gejala akibat reaksi alergi. Antagonis H1
sering pula disebut antihistamin klasik yaitu senyawa dalam keadaan rendah dapat
menghambat secara bersaing kerja histamin pada jaringan yang mengandung resptor H1.
Biasa digunakan untuk mengurangi gejala alergi karena cuaca misalnya bersin, gatal pada
mata, hidung dan tenggorokan. Gejala pada alergi kulit, seperti urtikaria dermatitis pruritik
dan ekzem.
2. Antagonis H2 digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan penderita
tukak lambung. Antagonis H2 merupakan senyawa yang menghambat secara bersaing
interaksi histamin dengan reseptor H2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung.
Biasa digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan usus. Efek samping antagonis H2
antara lain : diare, nyeri otot dan kegelisahan.
3. Antagonis H3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam penelitian
lebih lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan sistem kardiovaskular, pengobatan
alergi, dan kelainan mental.
1. Derivat etanolamin
a. Difendihidramin memunyai daya anti kolinergis dan sedatif yang kuat juga bersifat
spasmolitis, antiemetis dan antivertigo(antipusing).
a.a. orfenadrin memiliki daya antikolenergis dan sedtif yang ringan.
a.b. dimenhidrinat digunakan untuk mabuk jalan dan muntah karena hamil.
a.c. klorfenoksamin sebagai obat tambahan pada terapi penyakit parkinson.
b. klemastin memiliki efek antihistamin yang amat kuat mulai bekerja nya cepat
(beberapa menit dan bertahan lebih dari 10 jam).
2. Derivat etilendiamin
a. Antazolin efek antihistaminnya tidak terlalu kuat tetapi tidak merangsang selaput
lendir sehingga cocok digunakan pada pengobatan gejala-gejala alergis pada mata
dan hidung.
a.a tripelenamin
digunakan sebagai krem pada gatal-gatal pada alergi terhadap sinar matahari,
sengatan serangga dan lain-lain.
a.b Mepirin
derivat metoksi dari tripilennamin yang digunakan dalam kombinasi dengan
feneramin dan fenilpropanolamin terhadap hypiper.
a.c Klemizol
adalah derivat –klor yang hanya digunakan pada salep atau suppositoria antiwasir.
3. Derivat provilamin
a. Feniramin
Memiliki daya kerja antihistamin dan meredakan efek batuk yang cukup baik.
a.a Klorfeneramin
adalah derivat klor dengan daya kerja 10x lebih kuat dan dengan derajat toksisitas
yang sama.
a.b Deksklorfeneramin
Adalah bentuk dekltronya 2x lebih kuat dari pada bentuk trasemisnya.
a.c Tripolidin
Adalah derivat dengan rantai sisi pirolidin yang daya kerjanya agak kuat. Mulai
kerjanya pesat dan bertahan lama sampai 24jam (tablet retard).
4. Derivat piperazin
a. Siklizin
Mulai kerja cepat dan bertahan 4-6 jam. Digunakan sebagai obat antiemetik dan
pencegah mabuk jalan.
a.a Homoklorsiklizin
Adalah derivat klor yang bersifat antiserotonin dan digunakan pada pruritus
allerigika (gatal-gatal).
b. Sinarizin
Berkhasiat antipusing dan antiemetis dan sering kali digunakan sebagai obat
vertigo, telinga berdesing dan pada mabuk jalan. Mulai kerjanya agak cepat,
bertahan selama 6-8 jam dengan efek sedatif ringan.
b.a Flunarizin
sebagai antagonis –kalsium, sifat vasorelaksasinya kuat. Digunakn terhadap
vertigo dan sebagai obat pencegah migrain.
c. Oksatomida
Memiliki daya kerja antihistamin, antiserotonin, antileokotrien. Memiliki efek
menstabilisasi mast cells, stimulasi nafsu makan.
d. Hidroksizin
Sebagai sedatif dan anksiolitis, vasmolitis serta antikolinergis. Sangat efektif pada
urtikaria dan gatal-gatal.
d.a Cetirizin
Menghambat migrasi dari granulosit euosinofil, yang berperan pada reaksi alergi
lambat. Digunakan pada urticaria dan rinitis atau konjungtivis.
5. Derivat fenotiazin
a. Prometazin
Digunakan pada vertigo dan sebagai sedativum pada batuk dan sukar tidur,
terutama untuk anak-anak.
a.a Oksomemazin
Digunakan untuk obat batuk. Daya kerja dan penggunaan sama seperti
prometazin.
b. Isotifendil
Bekerja lebih singkat dari prometazin dengan efek sedatif yang lebih ringan.
8. Lain-lain
a. Mebhidrolin
Digunakan pada pruritus
b. Dimentinden
Digunakan terhadap pruritus.
c. Fortikorsteroid
Mengurangi reaksi alergi. Melewan peradangan dan mengurangi pembentukan
mediator-mediator. Secara lokal digunakan pada asma dan hypiper, terhadap
radang mata, terhadap gangguan kulit. Secara sistemik digunakan pada
anafilaksis, kejang bronchi karena reaksi alergi dan status asthamticus.
d. Natrium kromoglikat
Zat ini bukan merupakn suatu antihistamin tetapi karena khasiat profilaksisnya
terhadap hyfever.
d.a Nedokromil
Senyawa kuinolin dengan khsiat sama dengan kromoglikat. Digunakan untuk
prevensi serangan asma, juga yang dipropokasi oleh pengeluaran tenaga.
Di dalam semua organ dan jaringan tubuh terdapat histamin, suatu persenyawaan
amino, yang merupakan hasil biasa dari pertukaran zat. Histamin ini dibentuk di dalam usus
oleh bakteri-bakteri atau didalam jaringan-jaringan oleh enzim histidin-dekarboksilase,
bertolak dari histidin (suatu asam amino) dengan mengeluarkan karbondioksidanya (proses
dekarboksilasi) menjadi histamin. Juga sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, dapat
mengakibatkan terbentuknya histamin. Hal ini merupakan sebab dari kepekaan seseorang
terhadap cahaya matahari. Histamin memiliki aktifitas farmakologi yang hebat, antara lain
dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi
(penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan
darah perifer.
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas
tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga
terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian
lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik,misalnya antazolin.
Efek samping
Karena antihistaminika juga memiliki khasiat menekan pada susunan saraf pusat,
maka efek sampingannya yang terpenting adalah sifat menenangkan dan menidurkannya.
Sifat sedatif ini adalah paling kuat pada difenhidramin dan promethazin, dan sangat ringan
pada pirilamin dan klorfeniramin. Kadang-kadang terdapat stimulasi dari pusat, misalnya
pada fenindamin. Guna melawan sifat-sifat ini yang seringkali tidak diinginkan pemberian
antihistaminika dapat disertai suatu obat perangsang pusat, sebagai amfetamin. Kombinasi
dengan obat-obat pereda dan narkotika sebaiknya dihindarkan. Efek sampingan lainnya
adalah agak ringan dan merupakan efek daripada khasiat parasimpatolitiknya yang lemah,
yaitu perasaan kering di mulut dan tengg orokan, gangguan-gangguan pada saluran lambung
usus, misalnya mual, sembelit dan diarrea. Pemberian antihistaminika pada waktu makan
dapat mengurangi efek sampingan ini.
Perintang-perintang reseptor H2
Antihistaminika yang dibicarakan diatas ternyata tidak dapat melawan seluruh efek
histamin, misalnya penciutan otot-otot licin dari bronchia dan usus serta dilatasi pembuluh-
pembuluh perifer dirintangi olehnya, dimana efeknya berlangsung melalui jenis reseptor
tertentu yang terdapat dipermukaan sel-sel efektor dari organ-organ bersangkutan yang
disebut reseptor-reseptor H1. Sedangkan efek terhadap stimulasi dari produksi asam lambung
berlangsung melalui reseptor-reseptor lain, yaitu reseptor-reseptor H2 yang terdapat dalam
mukosa lambung.
Penelitian-penelitian akan zat-zat yang dapat melawan efek histamin H2 tersebut telah
menghasilkan penemuan suatu kelompok zat-zat baru yaitu antihistaminika reseptor-reseptor
H2 atau disingkat H2- blockers seperti burimamida, metiamida dan simetidin. Zat-zat ini
merupakan antagonis-antagonis persaingan dari histamin, yang memiliki afinitas besar
terhadap reseptor-reseptor H2 tanpa sendirinya memiliki khasiat histamin. Dengan
menduduki reseptor-reseptor tersebut, maka efek histamin dirintangi dan sekresi asam
lambung dikurangi. Dari ketiga obat baru tersebut hanya simetidin digunakan dalam praktek
pada pengobatan borok-borok lambung dan usus. Obat-obat lambung burimamida kurang
kuat khasiatnya dan resorpsinya dari usus buruk sedangkan metiamida diserap baik, tetapi
toksis bagi darah (agranulocytosis).
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya
terletak pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan
untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba
Geigy
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama
lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini
dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf
pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih
banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya
melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga
ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi
serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia
jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan
levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau
loratadine.
Daftar Pustaka
Drs.Tan Hoan Tjay dan Drs.Kirana Rahardja ” Obat-obat Penting” PT.Gramedia Jakarta
Tahun 2008.
Siswandono dan Bambang Soekarjo “ Kimia Medisinal” Penerbit Airlangga Surabaya Tahun
2000.