Professional Documents
Culture Documents
A. Urgensi akhlak
1. Pengertian Akhlak
Kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari kata “khuluqun” yang secara
ligustik diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata karma, sopan
santun, adab dan tindakan. Secara terminology kata akhlak dapat diartikan sebagai prilaku
manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam pengertian umum, akhlak dapat dipadankan
dengan etika atau nilai moral.[1]
Untuk mengetahui definisi Akhlak menurut istilah, dibawah ini terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:
a. Ibnu Maskawaih mendefinisikan, Akhlak adalah sikap jiwa seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan
(terlebih dahulu);
b. Prof. DR. Ahmad Amin menjelaskan, sementara orang membuat definisi Akhlak,
bahwa yang dis
c. ebut Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila
membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan Akhlak;
d. Al-Qurthuby mendefinisikan, Akhlak adalah suatu perbuatan manusia yang
bersumber dari adab kesopanannya yang disebut Akhlak, karena perbuatan itu
termasuk bagian darinya;
e. Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy mendefinisikan, Akhlak adalah suatu
pembawaan dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan
cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain).Abu Bakar Jabir Al-Jazairy
mendefinisikan, Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia,
yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang
disengaja;
f. Imam Al-Ghazali mendefinisikan Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan,
tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut
melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama,
dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan yang jahat,
maka dinamakan akhlak yang buruk.
Al-Qurthuby menekankan bahwa akhlak itu merupakan bagian dari kejadian
manusia. Oleh karena itu, kata al-khuluk tidak dapat dipisahkan pengertiannya dengan
kata al-khiiqah, yaitu fitrah yang dapat mempengaruhi perbuatan setiap manusia.
2. Jenis-Jenis Akhlak
Utama akhlak menyatakan, bahwa Akhlak yang baik merupakan sifat para Nabi
dan orang-orang Shiddiq, sedangkan akhlak yang buruk merupakan sifat Syaithan dan
orang-orang yang tercela.
Maka pada dasarnya, Akhlak itu menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya:
1. Akhlak baik atau terpuji (Al-Akhlaaqul Mahmuudah)
Yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk
yang lain. Akhlak yang baik yaitu akhlak yang diridhoi oleh ALLAH S.W.T., akhlak
yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada ALLAH yaitu
dengan mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya,
mengikuti ajaran-ajaran dari Sunnah Rasulullah S.A.W., mencegah diri kita untuk
mendekati yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, seperti firman ALLAH dalam
Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik untuk
manusia, menuju kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman
kepada ALLAH”.
Akhlak yang baik menurut Imam Ghazali ada 4 (empat) perkara, yaitu
bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan
kekuatan hawa nafsu), dan bersifat adil. Jelasnya, ia merangkum sifat-sifat seperti
berbakti pada keluarga dan Negara, hidup bermasyarakat dan bersilaturahim, berani
mempertahankan agama, senantiasa bersyukur dan berterima kasih, sabar dan ridha
dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya.
Akhlak yang baik yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan
makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang baik terhadap Tuhan antara lain:
a. Bertaubat (At-Taubah), yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang
pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan
baik.
b. Bersabar (Ash-Shabru), yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri
pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi bukan berarti bahwa sabar itu langsung
menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi oleh
manusia. Maka sabar yang dimaksudkannya adalah sikap yang diawali dengan
ikhtisar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu
cobaan dari Tuhan.
c. Bersyukur (Asy-Syukru), yaitu suatu sikap yang selalu ingin memanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, nikmat yang telah diberikan oleh ALLAH kepadanya,
baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Lalu disertai dengan peningkatan
pendekatan diri kepada yang member nikmat, yaitu ALLAH.
d. Bertawakkal (At-Tawakkal), yaitu menyerahkan segala urusan kepada ALLAH
setelah berbuat semaksimal mungkin, untuk mendapatkan sesuatu yang
diharapkannya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi bila seseorang
ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, ia harus lebih dahulu berupaya
sekuat tenaga, lalu menyerahkan ketentuannya kepada ALLAH. Maka dengan
cara yang demikian itu, manusia dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya.
e. Ikhlas (Al-Ikhlaash), yaitu sikap menjauhkan diri dari riya (menunjuk-
nunjukkan kepada orang lain) ketika mengerjakan amal baik, maka amalan
seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakannya dengan ikhlas.
f. Raja (Ar-Rajaa), yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan)
sesuatu yang disenangi dari ALLAH S.W.T., setelah melakukan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, bila tidak
mengerjakan penyebabnya, lalu menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka
hal itu disebut “tamanni”.
g. Bersikap takut (Al-Khauf), yaitu suatu sikap jiwa yang sedang menunggu
sesuatu yang tidak disenangi dari ALLAH, maka manusia perlu berupaya agar
apa yang ditakutkan itu, tidak akan terjadi.
Akhlak yang baik terhadap sesama manusia antara lain:
a. Belas kasihan atau sayang (Asy-Syafaqah), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin
berbuat baik dan menyantuni orang lain.
b. Rasa persaudaraan (Al-Ikhaa), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan
baik dan bersatu dengan orang lain, karena ada keterikatan bathin dengannya.
c. Member nasihat (An-Nashiihah), yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-
petunjuk yang baik kepada orang lain dengan menggunakan perkataan, baik
ketika orang yang dinasihati telah melakukan hal-hal yang buruk, maupun belum.
Sebab kalau dinasihati ketika ia telah melakukan perbuatan buruk, berarti
diharapkan agar ia berhenti melakukannya. Tetapi kalau dinasihati ketia ia belum
melakukan perbuatan itu, berarti diharapkan agar ia tidak akan melakukannya.
d. Memberi pertolongan (An-Nashru), yaitu suatu upaya untuk membantu orang
lain, agar tidak mengalami suatu kesulitan.
e. Menahan amarah (Kazmul Ghaizhi), yaitu upaya menahan emosi, agar tidak
dikuasai oleh perasaan marah terhadap orang lain.
f. Sopan santun (Al-Hilmu), yaitu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang
lain, sehingga dalam perkataan dan perbuatannya selalu mengandung adab
kesopanan yang mulia.
g. Suka memaafkan (Al-Afwu), yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka
memaafkan kesalahan orang lain yang pernah diperbuat terhadapnya.
Akhlak-akhalak yang mulia
Allah SWT berfirman :
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Ketika ayat ini turun, jibril berkata “Wahai Muhmmad, aku telah datang
kepadaMu dengan membawa akhlak yang mulia.” Beliau berkata “Dan apa itu ?”
jibril bekata, “hendaklah kamu memaafkan orang yang brbuat zhalim kepada mu,
member orang yang tidak mau member mu, menjalin silaturahim dengan orang yang
memutuskan siraturrahin dengan mu, berpaling dari orang yang berbuat bodoh
terhadap mu, dddan menyayangi oaring yang berbuat jahat terhadapmu.” [2]
2. Pengertian Istilah
Pengertian Pendidikan seperti yang lazim dipahami sekarang belum terdapat
di zaman Nabi. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam
menyampaikan seruan dalam agama dengan berdakwa menyampaikan ajaran,
memberi contoh, memberi motifasi dan menciptakan lingkungan sosial yang
mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, jadi, telah mencakup
arti pendidikan pengertian sekarang. Orang Arab Mekkah yang tadinya penyembah
berhala, musrik, kafir, kasar dan sombong maka dengan usaha dan kegiatan Nabi
mengIslamkan mereka lalu tigkah laku mereka berubah menjadi penyembah Allah
Tuhan Yang Esa, mukmin, muslim, lemah lembut dan hormat pada orang lain. Jadi,
secara umum dapat kita katakana bahwa PENDIDIKAN ISLAM itu adalah
pembentukan kepribadian muslim.[9]
Muhammad Quthb, berpendapat bahwa hakekat pendidikan Islam ialah pembinaan rohani,
pendidikan intelektual dan pembinaan jasmani. Hubungannya dengan pembinaan ruhani,
Muhammad Quthub menjelaskan bahwa ruhani adalah pusat eksistensi manusia yang menjadi
titik perhatian. Ruhani adalah landasan, tempat dan penuntun kepada kebenaran. Dalam
pendidikan intelektual, Quthb menjelaskan bahwa Islam memberi kemungkinan kepada manusia
untuk mengetahui hal-hal yang gaib sebesar kemampuannya. Sedangkan dalam pembinaaan
jasmani, ia menjelaskan bahwa Islam begitu menghormati jasmani, tidak membiarkannya apa
adanya, sebab apabila dibiarkan maka ia tidak menjadi energi yang bermanfaat, melainkan justru
merusak eksistensi jasmani itu sendiri.
Apabila nilai-nilai moral, etika, susila dan akhlak tidak diajarkan atau dimarjinalisasikan
dalam kehidupan manusia, maka akibatnya adalah manusia akan mengambil kehidupan duniawi
ini sepuas-puasnya dengan membuat berbagai tatanan di atas standar materialistik. Sekalipun
kesenangan itu musnah seluruhnya akibat jiwa yang kosong dari iman, dan kekosongan dari
norma-norma agama. Kesenangan dan kenikmatan hidup yang dibangun selain dari prinsip
moral, akan berubah menjadi perburuan hawa nafsu yang pada akhirnya mencelakakan manusia.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan materi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa urgensi akhlak merupan
suatu kepentingan akhlak. Dalam kehidupan sehari-hari akhlak itu sanagatlah makapenting
diterapakan, terutama akhlak kepada Allah, sesama manusia dan lingkungan sekitar. Akhlak
terhadap Allah merupakan suatu kewajiban bagi manusia, seperti halnya kita menegrjakan suatu
kewajiban manusia kepada Allah yaitu dengan mentauhidkan-Nya, mengesakannya, beribadah
kepadannya dan lain sebagainya.
Selain itu kita juga harus menerapkan akhlak kita terhadap sesama manusia dan juga
kepada lingkungan sekitar kita. Seperti halnya akhlak terhadap orang tua, kepada tetangga dekat
kita, terhadap masyarakat, dan akhlak dalam pergaualan kita. Dan juga yang tidak kalah penting
akhlak terhadap lingkungan sekitar, misalnya kita melestarikannya, menjaganya dan merawat
atau tidak merusaknya. Sehingga apabila kita menerapkan hal-hal tersebut, maka insallah dalam
kehidupan kita dimanaapun akan menjadi tentram, aman dan damai, karena kita menjadi manusia
yang berbudi perkerti dan berakhlak mulia.
Dalam hal pendiddikan islam akhlak juga amat penting, karena pendidikan islam
merupakan peembinaan rohani maupun jasamani untuk membentuk budi pekerti yang baik.
Sehingga jika kita memiliki budi pekerti yag baik, maka kita termasuk manusia yang berakhlak
baik. Itulah mengapa pendidikan itu penting bagi manusia. Karena sesungguhnya dari
pendiddikan inilah kita dapat mencari ilmu dan menjadi orang yang baik atau berakhlak baik dan
menerapakan dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita dapat berguna bagi
masayarakat, bangsa maupun negara.
DAFTAR PUSTAKA
Haidari, Amin. (2010). Pemikir Pendidikan Islam. Jakarta:Putlisbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan.
Hawwa,Said dan Tazkiyatun Nafs. (2005). Intisari Ibya’ Ulummuddin. Jakarta: Darussalam.
Saebani, Beni Ahmad Dan Abdul Hamid. (2007). Ilmu Akhlak. Bandung:Pustaka Setia.
[1]Beni Ahmad Saebani Dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, Bandung; Pustaka Setia, 2007, Hal.
14
[2] Abu Abdirrahman Al-Sulami, Tasawuf, Jakarta; Erlangga, 2007, Hal 143-144.
[3].A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung; Pustaka Setia, 1997, Hal. 154
[5] A. Rahman Ritogga, Akhlak , Surabaya; Amelia Surabaya, 2005, hal 107-108.
[6] Reni Susanti. Akhlak Tasauf. Curup; LP2 STAIN. Hal 173
[7] Said Hawwa Dan Tazkiyatun Nafs, Intisari Ibya’ Ulummuddin, Jakarta: Darussalam, 2005,
Hal. 612
[8] Zakiah Darajat, Dkk. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara, 2011, Hal. 25
[10] Charles Michel, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Ciputat, 1994), hal. 3
[12]M. solihin dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung:Nuansa, 2005), hal. 117