You are on page 1of 27

BAB II

LANDASASN TEORI / ISI

A. Urgensi akhlak
1. Pengertian Akhlak

Kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari kata “khuluqun” yang secara
ligustik diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata karma, sopan
santun, adab dan tindakan. Secara terminology kata akhlak dapat diartikan sebagai prilaku
manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam pengertian umum, akhlak dapat dipadankan
dengan etika atau nilai moral.[1]

Untuk mengetahui definisi Akhlak menurut istilah, dibawah ini terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:
a. Ibnu Maskawaih mendefinisikan, Akhlak adalah sikap jiwa seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan
(terlebih dahulu);
b. Prof. DR. Ahmad Amin menjelaskan, sementara orang membuat definisi Akhlak,
bahwa yang dis
c. ebut Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila
membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan Akhlak;
d. Al-Qurthuby mendefinisikan, Akhlak adalah suatu perbuatan manusia yang
bersumber dari adab kesopanannya yang disebut Akhlak, karena perbuatan itu
termasuk bagian darinya;
e. Muhammad bin Ilaan Ash-Shadieqy mendefinisikan, Akhlak adalah suatu
pembawaan dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan
cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain).Abu Bakar Jabir Al-Jazairy
mendefinisikan, Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia,
yang menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang
disengaja;
f. Imam Al-Ghazali mendefinisikan Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan,
tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut
melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama,
dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan yang jahat,
maka dinamakan akhlak yang buruk.
Al-Qurthuby menekankan bahwa akhlak itu merupakan bagian dari kejadian
manusia. Oleh karena itu, kata al-khuluk tidak dapat dipisahkan pengertiannya dengan
kata al-khiiqah, yaitu fitrah yang dapat mempengaruhi perbuatan setiap manusia.

Imam Al-Ghazaly menekankan, bahwa Akhlak adalah sifat yang tertanam


dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik atau buruk, dengan menggunakan ukuran
ilmu pengetahuan dan norma agama.

2. Jenis-Jenis Akhlak

Utama akhlak menyatakan, bahwa Akhlak yang baik merupakan sifat para Nabi
dan orang-orang Shiddiq, sedangkan akhlak yang buruk merupakan sifat Syaithan dan
orang-orang yang tercela.
Maka pada dasarnya, Akhlak itu menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya:
1. Akhlak baik atau terpuji (Al-Akhlaaqul Mahmuudah)
Yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-makhluk
yang lain. Akhlak yang baik yaitu akhlak yang diridhoi oleh ALLAH S.W.T., akhlak
yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada ALLAH yaitu
dengan mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya,
mengikuti ajaran-ajaran dari Sunnah Rasulullah S.A.W., mencegah diri kita untuk
mendekati yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar, seperti firman ALLAH dalam
Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik untuk
manusia, menuju kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman
kepada ALLAH”.
Akhlak yang baik menurut Imam Ghazali ada 4 (empat) perkara, yaitu
bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan
kekuatan hawa nafsu), dan bersifat adil. Jelasnya, ia merangkum sifat-sifat seperti
berbakti pada keluarga dan Negara, hidup bermasyarakat dan bersilaturahim, berani
mempertahankan agama, senantiasa bersyukur dan berterima kasih, sabar dan ridha
dengan kesengsaraan, berbicara benar dan sebagainya.
Akhlak yang baik yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia, dan
makhluk-makhluk yang lain. Akhlak yang baik terhadap Tuhan antara lain:
a. Bertaubat (At-Taubah), yaitu suatu sikap yang menyesali perbuatan buruk yang
pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan
baik.
b. Bersabar (Ash-Shabru), yaitu suatu sikap yang betah atau dapat menahan diri
pada kesulitan yang dihadapinya. Tetapi bukan berarti bahwa sabar itu langsung
menyerah tanpa upaya untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi oleh
manusia. Maka sabar yang dimaksudkannya adalah sikap yang diawali dengan
ikhtisar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas, bila seseorang dilanda suatu
cobaan dari Tuhan.
c. Bersyukur (Asy-Syukru), yaitu suatu sikap yang selalu ingin memanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, nikmat yang telah diberikan oleh ALLAH kepadanya,
baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Lalu disertai dengan peningkatan
pendekatan diri kepada yang member nikmat, yaitu ALLAH.
d. Bertawakkal (At-Tawakkal), yaitu menyerahkan segala urusan kepada ALLAH
setelah berbuat semaksimal mungkin, untuk mendapatkan sesuatu yang
diharapkannya. Oleh karena itu, syarat utama yang harus dipenuhi bila seseorang
ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, ia harus lebih dahulu berupaya
sekuat tenaga, lalu menyerahkan ketentuannya kepada ALLAH. Maka dengan
cara yang demikian itu, manusia dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya.
e. Ikhlas (Al-Ikhlaash), yaitu sikap menjauhkan diri dari riya (menunjuk-
nunjukkan kepada orang lain) ketika mengerjakan amal baik, maka amalan
seseorang dapat dikatakan jernih, bila dikerjakannya dengan ikhlas.
f. Raja (Ar-Rajaa), yaitu sikap jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan)
sesuatu yang disenangi dari ALLAH S.W.T., setelah melakukan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh karena itu, bila tidak
mengerjakan penyebabnya, lalu menunggu sesuatu yang diharapkannya, maka
hal itu disebut “tamanni”.
g. Bersikap takut (Al-Khauf), yaitu suatu sikap jiwa yang sedang menunggu
sesuatu yang tidak disenangi dari ALLAH, maka manusia perlu berupaya agar
apa yang ditakutkan itu, tidak akan terjadi.
Akhlak yang baik terhadap sesama manusia antara lain:
a. Belas kasihan atau sayang (Asy-Syafaqah), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin
berbuat baik dan menyantuni orang lain.
b. Rasa persaudaraan (Al-Ikhaa), yaitu sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan
baik dan bersatu dengan orang lain, karena ada keterikatan bathin dengannya.
c. Member nasihat (An-Nashiihah), yaitu suatu upaya untuk memberi petunjuk-
petunjuk yang baik kepada orang lain dengan menggunakan perkataan, baik
ketika orang yang dinasihati telah melakukan hal-hal yang buruk, maupun belum.
Sebab kalau dinasihati ketika ia telah melakukan perbuatan buruk, berarti
diharapkan agar ia berhenti melakukannya. Tetapi kalau dinasihati ketia ia belum
melakukan perbuatan itu, berarti diharapkan agar ia tidak akan melakukannya.
d. Memberi pertolongan (An-Nashru), yaitu suatu upaya untuk membantu orang
lain, agar tidak mengalami suatu kesulitan.
e. Menahan amarah (Kazmul Ghaizhi), yaitu upaya menahan emosi, agar tidak
dikuasai oleh perasaan marah terhadap orang lain.
f. Sopan santun (Al-Hilmu), yaitu sikap jiwa yang lemah lembut terhadap orang
lain, sehingga dalam perkataan dan perbuatannya selalu mengandung adab
kesopanan yang mulia.
g. Suka memaafkan (Al-Afwu), yaitu sikap dan perilaku seseorang yang suka
memaafkan kesalahan orang lain yang pernah diperbuat terhadapnya.
Akhlak-akhalak yang mulia
Allah SWT berfirman :


“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Ketika ayat ini turun, jibril berkata “Wahai Muhmmad, aku telah datang
kepadaMu dengan membawa akhlak yang mulia.” Beliau berkata “Dan apa itu ?”
jibril bekata, “hendaklah kamu memaafkan orang yang brbuat zhalim kepada mu,
member orang yang tidak mau member mu, menjalin silaturahim dengan orang yang
memutuskan siraturrahin dengan mu, berpaling dari orang yang berbuat bodoh
terhadap mu, dddan menyayangi oaring yang berbuat jahat terhadapmu.” [2]

2. Akhlak buruk atau tercela (Al-Akhlaqul Madzmuumah)


Yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia, dan makhluk-
makhluk yang lain. Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji,
seperti iri hati, ujub, dengki, sombong, munafik, hasud, berprasangka buruk, dan
penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan
berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di sekitarnya
maupun kerusakan lingkungan sekitarnya.
Akhlak yang buruk yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia, dan
makhluk-makhluk yang lain.
Akhlak yang buruk terhadap Tuhan antara lain:
a. Takabbur (Al-Kibru), yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri, sehingga tidak
mengakui kekuasaan Allah di alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah yang
ada padanya.
b. Musyrik (Al-Isyraak), yaitu suatu sikap yang mempersekutukan Allah dengan
makhluk-Nya, dengan cara menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang
menyamai kekuasaan-Nya.
c. Murtad (Ar-Riddah), yaitu sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama
Islam, untuk menjadi kafir.
d. Munafiq (An-Nifaaq), yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan
dengan kemauan hatinya dalam kehidupan beragama.
e. Riya (Ar-Riyaa), yaitu suatu sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan
baik yang dilakukannya. Maka ia berbuat bukan karena Allah, melainkan hanya
ingin dipuji oleh sesama manusia. Jadi perbuatan ini kebalikan dari sikap ikhlas.
f. Boros atau berpoya-poya (Al-Israaf), yaitu perbuatan yang selalu melampaui
batas-batas ketentuan agama. Tuhan melarang bersikap boros, karena hal itu dapat
melakukan dosa terhadap-Nya, merusak perekonomian manusia, merusak
hubungan sosial, serta merusak diri sendiri.
g. Rakus atau tamak (Al-Itirshul atau Ath-Thama’u), yaitu suatu sikap yang tidak
pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang seharusnya ia
miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Hal ini termasuk kebalikan dari
rasa cukup (Al-Qana’ah) dan merupakan akhlak buruk terhadap Allah, karena
melanggar ketentuan larangan-Nya.
Akhlak yang buruk terhadap sesama manusia antara lain:
a. Mudah marah (Al-Ghadhab), yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat
ditahan oleh kesadarannya, sehingga menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak
menyenangkan orang lain. Kemarahan dalam diri setiap manusia, merupakan
bagian dari kejadiannya. Oleh karena itu, agama Islam memberikan tuntunan, agar
sifat itu dapat terkendali dengan baik.
b. Iri hati atau dengki (Al-Hasadu atau Al-Hiqdu), yaitu sikap kejiwaan seseorang
yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan kebahagiaan hidup orang lain bisa
hilang sama sekali.
c. Mengadu-adu (An-Namiimah), yaitu suatu perilaku yang suka memindahkan
perkataan seseorang kepada orang lain, dengan maksud agar hubungan social
keduanya rusak.
d. Mengumpat (Al-Ghiibah), yaitu suatu perilaku yang suka membicarakan
perkataan seseorang kepada orang lain.
e. Bersikap congkak (Al-Ash’aru), yaitu suatu sikap dan perilaku yang menampilkan
kesombongan, baik dilihat dari tingkah lakunya maupun perkataannya.
f. Sikap kikir (Al-Bukhlu), yaitu suatu sikap yang tidak mau memberikan nilai
materi dan jasa kepada orang lain.
g. Berbuat aniaya (Azh-Zhulmu), yaitu suatu perbuatan yang merugikan orang lain,
baik kerugian materiil maupun non materiil. Dan ada juga yang mengatakan,
bahwa seseorang yang mengambil hak-hak orang lain, termasuk perbuatan dzalim
(menganiaya).
3. Urgensi (Kepentingan) Akhlak
Sebelum mengetahiu lebih dalam lagi tentang apa itu akhlak, maka kita harus
mengenal terlebih dahulu apa itu urgensi. Urgensi merupakan hal terpenting atau
kepentingan. Sedangkan akhlak merupakan tabiat, perangai, tingkah laku dan kebiasaan.
Jadi, urgensi akhlak adalah hal-hal yang penting atau kepentingan akhlak.
Pentingnya akhlak adalah untuk membentuk manusia menjadi budi pekerti yang
baik dan sopan, santun, ramah dan sebagainya. Sebenarnya apa hal-hal yang penting
dalam akhlak? Jika kita lihat dari sudut pandangnya maka ada beberapa hal-hal yang
penting dalam akhlak, diantaranya; bagaimana akhlak manusia terhadap sang pencipta
(Allah), akhlak terhadap sesama manusia (hidup bersosial) dan akhlak manusia terhadap
alam atau lingkungan sekitar kita.
a. Akhlak kepada sang pencipta (Allah)
Hubungan manusia denga Allah adalah hubugan manusia dengan khlaiknya.
Dalam masalah ketergantungan hidup manusia selalau ketregantungsn kepada yang
lain. Dan tumpuan serta ketergantungan adalah kepada sang maha kuasa, yang
perkasa, yang maha bijaksana, yang maha sempurna ialah Allah Rabbul ‘alamiin,
Allah tuhan maha esa.[3]
Secara moral manusiawi, manusia mempunyai kewajiban kepada Allah sebagai
khaliknya, yang telah member kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Menurut
hadits Rasulullah kewajiban manusia kepada Allah pada dasarnya ada 2, yaitu;
 Mentauhidkan Allah yaitu tidak mensyirikkan-Nya kepada sesuatupun
 Beribadat kepadanya
Sedangkan dalam al-Qur’anul Karim kewajiban manusia itu diformulasikan
dengan:
 Iman
 Amal sholeh
Sebagaiman tercantun dalam firman Allah surat Al-bayinah ayat 7-8 :








Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka
itu adalah Sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga
‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian
itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Seperti halnya yang telah disebutkan diatas juga termasuk dalam akhlak manusia
kepada Allah. Dan jug dapat di implementasikan akhlak kepada Allah yaitu ;
 Cinta dan ikhlas kepada Allah SWT.
 Berbaik sangka kepada Allah SWT.
 Rela terhadap kadar dan qada (takdir baik dan buruk) dari Allah SWT.
 Bersyukur atas nikmat Allah SWT.
 Bertawakal/ berserah diri kepada Allah SWT.
 Senantiasa mengingat Allah SWT.
 Memikirkan keindahan ciptaan Allah SWT.
 Melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah SWT.

b. Akhlak terhadap sesama


Terhadap sesama manusia kita juga harus meiliki ahlak yang baik. Sehingga
dalam kehidupan satu dengan yang lainnya kita akan dipandang oleh orang-orang
sekitar kita sebagai pribadi yang baik pula.
1. Akhlak terhadap orang tua
Ibu dan ayah adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya kepada
anaknya, dan mereka mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anaknya
tersebut, jasa mereka tidak dapat dihitung dan dibandingkan dengan harta, kecuali
mengembalikan menjadi orang merdeka sebagai manusia mempunyai hak
kemanusiaan yang penuh. Setelah menjadi budak/hamba sahaya sesuatu keadaan
yang tidak diinginkan.[4]
Seorang ayah dan ibu merupakan orang yang penting bagi sang anak.
Ayah bekerja mencari nafkah untuk menghidupkan istri dan anaknya, sedangkan
ibu melahirkan sampai bertaruh nyawanya dan kemudian menyusui anaknya.
Apakah perbuatan demikian perbuatan hang mudah? Tidak, perbuatan demikian
adalah hal yang sangat sulit. Jadi, kita sebagai anak sudah semestinya untuk
berbakti kepada kedunya dan menghormati keduanya. Dan kita akan berdosa
apabila melawan ayah dan ibu yang telah meberi kita makan dan mebesarkan kita.
Dapat di implemntasikan dalam akhlak kita kepada orang tua kita yaitu
dengan cara :
 Berbuat baik kepada ibu dan ayah, walaupun keduanya lalim
 Berkata halus dan mulia kepada kedunya
 Berkata lemah lembut kepada mamak dan bapak
 Berbuat baik kepada ibu dan ayah yang sudah meninggal dunia
(mendoakannya).

2. Akhlak terhadap tetangga


Kita tidak bisa hidup sendirian, dan sudah semestinya hidup kita saling
bergantung satusama lain. Tetangga adalah karib kerabat terdekat kita. Jadi kalau
dalam suatu rumah ada musibah atau hajatan maka tetanggalah yang turun
langsung untuk membantu terlebih dahulu. Dan juga sudah semestinya agar kita
berakhlak yang baik kepada tetangga-tengga kita, yaitu dengan cara:
 Berbuat baik kepada tetangga kita
 Saling bertolong menolong
 Tidak meburukkan-burukkan teangga yang satu dengan tetangga yang lain
 Menjaga silahruhrahmi
Demikian pentingnya menjaga hubungan baik antara sesama tetangga ini,
sehingga Rasul sempat menduga adanya hubungan kewarisa antar sesame
tetangga. Dugaan ini muncul sehubungan dengan seringnya Jibril datang member
nasehat agar selalu menjaga keharmonisan hubungan bertetangga. Hal ini
disampaikan Rasul dalam sabdanya yang artinya :
“Jibril as sering berpesan kepadaku tentang tetangga, sehingga aku
mengira dia akan menetapkan hubungan kewarisa terhadap tetangga”,
(HR.Bukhari)
Makna pentingnya yang terkandung dalam hadis tersebut ialah adanya
hubungan dekat antara sesama tetangga sebagaimana halnya hubungan
kekerabatan atau senasab. Hanya saja hubungan tetangga tidak sampai
menyebabkan terjadinya hak waris mewaris seperti yang terjadi pada hubungan
kemasyarakatan antara sesama tetangga tidak berbada dengan hubungan senasab.
Hal ini disebabkan bahwa tetangga adalah orang pertama yang berbuat baik
kepada tetangganya, baik dalam hal duka maupun suka. Tetangga lah yang lebih
dahulu mengetahui apa yang terjadi pada tetangga dekatnya sekaligus yang
pertama member pertolongan jika dibutuhkannya.[5]

3. Akhlak dalam bermasyarakat


Akhlak mulia merupakan akhlak yang berlaku dan berlangsung diatas
jalur al-Qur’an dan perbuatan NAbi Muhammad saw. Dan Allah swt menetapkan
akhlak mulia bagi Nabi Muhammad saw. Dalam sikap dan perbuatan seperti
dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4. “dan sesungguhnya engkau muhammad
mempunyai akhlak yang mulia”. Ayat lain yang dapat dijadikan pedoman yang
baik bagi setiap muslim yang beriman adlah surat al-Ahzab ayat 21. Dengan
demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-norma (agama)
diamsayarakat terutama didalam pergaula sehari-hari baik keluarga, rumah
tangga, kerabat dan lingkungan kemasyarakatan.
Dalam kehidupan bermasyarakat sudah semestinya kita harus bertolong
menolong atapun membantu. Kerena kita hidup seluputnya tidak sendirian, kita
hidup itu membutuhkan orang lain. Dalam hidup besosial atau bermasyarakat juga
kita harus berakhlak, dalam artian disini sudah pasti akhlak yang baik pula. Dan
dapat di implementasikan dengan cara ;
 Tolong-menolong
 Adil
 Menepati janji
 Bermusyawarah
 Menjaga ukhuwah
Dan juga kita harus mempunyai cara-cara atau adap yang baik dalam
bermasyarakat yaitu:
 Tata cara bebahasa
 Tata cara salam
 Tata cara makan dan minum
 Tata cara dimajelis pertemuan
 Tata cara mintak izin masuk
 Tata cara member ucapan selamat
 Tata cara berkelakar (becanda)
 Tata cara menjenguk orang sakit
 Tata cara ta’ziah

4. Akhlak pergaulan laki-laki dan perempuan


Berbicaratentang masalah pergaulan laki-laki dan perempuan dalam islam,
kita tidak terlepas dari persoalan muhrim atau bukan karena soal pergaulan adalah
soal hubungan antaralaki-laki dan perempuan.
Dalam islam etika pegaulan laki-laki dan perempuan ada aturannya, dan
ada batasan-batasannya. Misalnya dalam perjalanan seorang perempuan dan
seorang laki-laki yang bukan muhrimnya tidak di bolehkan, dan hukumnya
haram. Di sana harus di akui muhrimnya, untuk menjaga agar terhindar dari hal-
hal yang tidak di inginkan. Dan agar seorang perempuan tidak di cap namanya
jelek.[6]
c. Akhlak terhadap lingkungan atau alam sekitar
Manusia hidup memerlukan lingkungan karena memang manusia hidup
didalam lingkungan. Lingkungan perlu dijaga dan diperhatikan. Kahar Mansyur
mengemukakan pengertian lingkungan adalah ; sekeliling sedangkan pengertian
hidupn adalah ia trus ada, bergerak dan bekerja. Jadi lingkungan hidup ialah keadaan
sekeliling dari kehidupan manusia dimuka bumi ini, seperti udara yang dibutuhkan
untukk pernafasan, sunbgai untuk keperluan air minum. Dan ikan-ikan yang terdapat
didalamnuya bisa dimakan, hutan untuk perlindungan, serta kayu-kayunya
bermanfaat bagi keperluan untuk mebangun rumah. Oleh sebab itu orang-orang yang
beriman dianjurkan mempunyai akhlak terhadap lingkungan, berakhhlak terhadap
lingkungan artinya memperlakukan lingkungan hidup secara baik dan dengan
sewajarnya.[7]
Berakhlak dengan lingkungan dapat dilakukan dengan cara:
 Melestarikan lingkungan
 Menjaga lingkungan dari pencemaran
 Memanfaatkan sumberdaya untuk kesejahteraan bersama
B. Pendidikan Islam

1. Hakikat Pendidikan Islam

a. Pengertian Pendidikan Islam


1. Pengertian Bahasa
Kata “pendidikan” yang umum kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arab nya
adalah: “ tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata “pengajaran” da;am bahasa
Arab nya adalah “ta’lim” dengan kata kerja nya “allama”. Pendidikan dan pengajaran
dalam bahasa Arab nya “tarbiyah wa ta’lim” sedangkan “pendidikan Islam” dalam
bahasa Arab nya adalah “tarbiyah Islamiah”.[8]
Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad
SAW seperti terlihat dalam ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam ayat al-Qur’an
kata ini digunakan dalam sususan yang artinya sebagai berikut: (QS. 17 Al-Isra’ 24)
“Ya Tuhan, sayangilah keduanya (ibu bapak ku) sebagaimana mereka telah
mengasuhku (mendidikku) sejak kecil”.
Dalam bentuk kata benda, kata “rabba” ini digunakan untuk “Tuhan”,
mungkin karena Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, maha
pencipta.
Dalam ayat lain kata ini digunakan dalam sususan yang artinya sebagai berikut: (QS.
26 Asy-Syura 18)
“Berkata (Fi’aun kepada Nabi Musa) bukankah kami telah mengasuhmu
(mendidikmu) dalam keluarga kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan tinggal
bersama kami beberapa tahun dari umurmu”.
Kata lain yang mengandung arti pendidikan itu ialah  seperti sabda Rasul:
Artinya: “Tuhan telah mendidik ku, maka Ia sempurnakan pendidikan ku”.

2. Pengertian Istilah
Pengertian Pendidikan seperti yang lazim dipahami sekarang belum terdapat
di zaman Nabi. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam
menyampaikan seruan dalam agama dengan berdakwa menyampaikan ajaran,
memberi contoh, memberi motifasi dan menciptakan lingkungan sosial yang
mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, jadi, telah mencakup
arti pendidikan pengertian sekarang. Orang Arab Mekkah yang tadinya penyembah
berhala, musrik, kafir, kasar dan sombong maka dengan usaha dan kegiatan Nabi
mengIslamkan mereka lalu tigkah laku mereka berubah menjadi penyembah Allah
Tuhan Yang Esa, mukmin, muslim, lemah lembut dan hormat pada orang lain. Jadi,
secara umum dapat kita katakana bahwa PENDIDIKAN ISLAM itu adalah
pembentukan kepribadian muslim.[9]

3. Pengertian Pendidikan dalam Islam


Pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran
Islam tidak memisahkan Iman dan amal sholeh. Oleh karena itu pendidikan Islam
adalah sekaligus Pendidikan Iman dan Pendidikan Amal. Dan karena ajaran Islam
berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku peribadi masyarakat, menuju
kesejahteraan hidup perorang dan bersama, maka Pendidikan Islam juga dikatakan
Pendidikan Individu da Pendidikan Masyarakat.
Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan
kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Pendidikan lebih daripada pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu proses
transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan
pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.
Perbedaan pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan
terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer
ilmu dan keahlian. Pengertian pendidikan secara umum yang dihubungkan dengan
Islam sebagai suatu system keagamaan—menimbulkan pengertian-pengertian baru,
yang secara implicit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya.
Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam
inheren dengan konotasi istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami
secara bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam
menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya
dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus
menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal.
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan
generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai
Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik
hasilnya di akhirat.
Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian pendidikan Islam.
Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia
supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya,
sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus,
profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedang Ahmad D. Marimba
memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan
rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah
suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan
sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan
kandungan pendidikan tersebut.
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan
yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut
yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi
pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi
pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas
diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam
At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian
pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah
ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti
pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat
teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka
dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu
serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah
seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari
pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat
sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan
yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah
kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata
lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu
adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya
dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan
masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan
kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti
bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.

b. Karakteristik Dalam Pendidikan Islam


Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk mengenalkan Islam ini
diutus Rasulullah SAW. Tujuan utamanya adalah memperbaiki manusia untuk
kembali kepada Allah SWT. Oleh karena itu selama kurang lebih 23 tahun
Rasulullah SAW membina dan memperbaiki manusia melalui pendidikan.
Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-
orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu
melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk
mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas
kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan
seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan
muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian
pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak
mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan
seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu
mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah
(58) : 11). Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena
dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang beakal itu mempunyai
dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung
masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu
mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir,
maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat
biji sawi.” Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab,
“Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya
dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya.
Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya
karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal
shalihnya.”
Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya
Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan
dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi
Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk
mengenal penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya
Rasulullah SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia,
karena dengan pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian,
ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah
belah.

c. Tujuan Pendidikan Islam


Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam
Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat
(lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin,
baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang
dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai
melalui pendidikan Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam
jadinya tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan.
Dengan kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai di
dalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil
yang telah dicapai.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya
manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan
seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan
diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan
tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup
menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a
Dzariyat ayat 56 :“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka
beribadah kepada-Ku”. Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu
terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat,
ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup
semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada
Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar
ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala
yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang
disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
o Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa
pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
o Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat,
tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat,
memperkaya pengalaman masyarakat.
o Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai
ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi:
o Pembinaan akhlak.
o menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
o Penguasaan ilmu.
o Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
o Tujuan keagamaan.
o Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
o Tujuan pengajaran kebudayaan.
o Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
o Bahagia di dunia dan akhirat.
o menghambakan diri kepada Allah.
o Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
o Akhlak mulia.

2. Mengapa Diperlukan Pendidikan Islam


Nabi Muhammad SAW mementingkan pendidikan, seperti Al-Qur’an
menegaskan bahwa pengetahuan sama pentingnya dengan kebutuhan fisik. Pada dasarnya
islam tidak mengenal batasan dalam soal menuntut ilmu pengetahuan.[10] Tradisi Al-
Qur’an menafsirkan dengan cara sedemikian rupa sehingga memperbolehkan apa saja
yang tidak dilarang secara khusus. Berbeda dengan sejumlah agama lain.
Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan
ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Tak heran
bila kini pemerintah mewajibkan program belajar 9 tahun agar masyarakat menjadi
pandai dan beradab. Pendidikan juga merupakan metode pendekatan yang sesuai dengan
fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan.
Pendidikan Islam memiliki 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu: tilawah (membacakan ayat
Allah), tazkiyah (mensucikan jiwa) dan ta’limul kitab wa sunnah (mengajarkan al kitab
dan al hikmah). Pendidikan dapat merubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik
disebabkan pendidikan mempunyai kelebihan. Pendidikan mempunyai ciri pembentukan
pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, pemeliharaan apa yang telah dipelajarinya,
pengembangan atas ilmu yang diperolehnya dan agar tetap pada rel syariah. Hasil dari
pendidikan Islam akan membentuk jiwa yang tenang, akal yang cerdas dan fisik yang
kuat serta banyak beramal.
Pendidikan Islam berpadu dalam pendidikan ruhiyah, fikriyah dan amaliyah
(aktivitas). Nilai Islam ditanamkan dalam individu membutuhkan tahpan-tahapan
selanjutnya dikembangkan kepada pemberdayaan di segala sektor kehidupan manusia.
Potensi yang dikembangkan kemudian diarahkan kepada pengaktualan potensi dengan
memasuki berbagai bidang kehidupan.
Pendidikan yang diajarkan Allah SWT melalui Rasul-Nya bersumber kepada Al Qur’an
sebagai rujukan dan pendekatan agar dengan tarbiyah akan membentuk masyarakat yang
sadar dan menjadikan Allah sebagai Ilah saja.Kehidupan mereka akan selamat di dunia
dan akhirat. Hasil ilmu yang diperolehnya adalah kenikmatan yang besar, yaitu berupa
pengetahuan, harga diri, kekuatan dan persatuan.
Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah agar manusia memiliki gambaran
tentang Islam yang jelas, utuh dan menyeluruh.
Interaksi di dalam diri ini memberi pengaruh kepada penampilan, sikap, tingkah laku dan
amalnya sehingga menghasilkan akhlaq yang baik. Akhlaq ini perlu dan harus dilatih
melalui latihan membaca dan mengkaji Al Qur’an, sholat malam, shoum (puasa) sunnah,
berhubungan kepada keluarga dan masyarakat. Semakin sering ia melakukan latihan,
maka semakin banyak amalnya dan semakin mudah ia melakukan kebajikan. Selain itu
latihan akan menghantarkan dirinya memiliki kebiasaan yang akhirnya menjadi gaya
hidup sehari-hari.
3. Langkah- langkah Menanamkan Pendidikan Islam
Al-Qurthubi menyatakan bahwa ahli-ahli agama Islam membagi pengetahuan
menjadi tiga tingkatan yaitu pengetahuan tinggi, pengetahuan menengah, dan
pengetahuan rendah. Pengetahuan tinggi ialah ilmu ketuhanan, menengah ialah
pengetahuan mengenai dunia seperti kedokteran dan matematika, sedangkan pengetahuan
rendah ialah pengetahuan praktis seperti bermacam-macam keterampilan kerja. Ini
artinya bahwa pendidikan iman/agama harus diutamakan.
Al-Attas menyatakan bahwa pendekatan yang bersifat komprehensif dan integral
pada pendidikan islam diarahkan untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian seseorang secara total, dengan cara melatih terus-menerus
jiwa, intelek, kemampuan rasional, emosi, fisik manusia, dan lain sebagainya. Sehingga
keimanan dapat merasuk kedalam keseluruhan keprbadian. Dalam teori pendidikan islam,
ilmu pengetahuan diraih dalam rangka untuk mengaktualisasikan dan menyempurnakan
manusia dari seluruh dimensinya.[11]
Menurut pandangan Islam pendidikan harus mengutamakan pendidikan
keimanan. Pendidikan di sekolah juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa
pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan
menghasilkan lulusan yang kurang baik akhlaknya. Akhlak yang rendah itu akan sangat
berbahaya bagi kehidupan bersama. Ia dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi
kehidupan pada zaman yang semakin penuh tantangan di masa mendatang.Oleh karena
itu, mengingat pentingnya pendidikan Islam terutama bagi generasi muda, semua elemen
bangsa, terutama guru pendidikan Islam, perlu membumikan kembali pendidikan Islam di
sekolah-sekolah baik formal maupun informal.
Ada tiga hal yang harus secara serius dan konsisten diajarkan kepada anak didik.
Pertama, Pendidikan akidah/keimanan.Ini merupakan hal yang sangat penting untuk
mencetak generasi muda masa depan yang tangguh dalam imtaq (iman dan taqwa) dan
terhindar dari aliran atau perbuatan yang menyesatkan kaum remaja seperti gerakan Islam
radikal, penyalagunaan narkoba, tawuran dan pergaulan bebas (freesex) yang akhir-akhir
ini sangat dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan.
Kedua, Pendidikan ibadah. Ini merupakan hal yang sangat penting untuk
diajarkan kepada anak-anak kita untuk membangun generasi muda yang punya komitmen
dan terbiasa melaksanakan ibadah. Seperti shalat, puasa, membaca al-Quran yang saat ini
hanya dilakukan oleh minoritas generasi muda kita. Bahkan, tidak sedikit anak remaja
yang sudah berani meninggalkan ibadah-ibadah wajibnya dengan sengaja. Di sini peran
orang tua dalam memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak-anaknya sangat
diperlukan selain guru juga harus menanamkan secara mantab kepada anak-anak
didiknya.
Ketiga, Pendidikan akhlakul-karimah. Hal ini juga harus mendapat perhatian
besar dari para orang tua dan para pendidik baik lingkungan sekolah maupun di luar
sekolah (keluarga). Dengan pendidikan akhlakul-karimah akan melahirkan generasi
rabbani, atau generasi yang bertaqwa, cerdas dan berakhlak mulia.Penanaman pendidikan
Islam bagi generasi muda bangsa tidak akan bisa berjalan secara optimal dan konsisten
tanpa dibarengi keterlibatan serius dari semua pihak. Oleh karena itu, semua elemen
bangsa (pemerintah, tokoh agama, masyarakat, pendidik, orang tua dan sebagainya) harus
memiliki niat dan keseriusan untuk melakukan ini. Harapannya, generasi masa depan
bangsa ini adalah generasi yang berintelektual tinggi dan berakhlak mulia.
Selain itu, cara bersikap, berpakaian, dan berjalan, sebenarnya merupakan
ekspresi dari kebiasaan kita. Didiklah anak kita untuk membiasakan sholat dan
bertingkah laku yang baik dalam pergaulan. Kita sebaliknya mendidik anak menjadi
pribadi muslim yang taat kepada Allah, juga bertingkahlaku sopa kepada sesama
manusia. Ajaklah anak kita untuk meneladani ajaran Rasulullah.
Keperdulian sosial perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini.
Didiklah anak kita untuk menolong orang lain, khususnya mereka benar-benar
memerlukan pertolongan. Ajaklah anak kita untuk beramal dan berderma, misalnya
mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah. Berusahalah agar anak kita memiliki akhlak
yang baik dan terpuji. Aristoteles mengatakan bahwa “keutamaan” tidak cukup hanya
diketahui, melainkan harus dipraktikkan dalam kenyataan.[12]
4. Urgensi Pendidikan Islam

M. Athiyah mengemukakan bahwa pentingnya pendidikan Islam adalah untuk membentuk


budi pekerti. Sementara budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam. Dan Islam telah
menyimpulkan bahwa mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari
pendidikan Islam. Iman Al-Ghazali berpendapat bahwa pentingnya pendidikan Islam ialah usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pendidikan Islam bukan sekedar mengisi otak dengan
segala macam ilmu yang berorientasi pragmatis, melainkan mendidik akhlak dan jiwa (spiritual),
mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci berlandaskan iman dan taqwa.

Muhammad Quthb, berpendapat bahwa hakekat pendidikan Islam ialah pembinaan rohani,
pendidikan intelektual dan pembinaan jasmani. Hubungannya dengan pembinaan ruhani,
Muhammad Quthub menjelaskan bahwa ruhani adalah pusat eksistensi manusia yang menjadi
titik perhatian. Ruhani adalah landasan, tempat dan penuntun kepada kebenaran. Dalam
pendidikan intelektual, Quthb menjelaskan bahwa Islam memberi kemungkinan kepada manusia
untuk mengetahui hal-hal yang gaib sebesar kemampuannya. Sedangkan dalam pembinaaan
jasmani, ia menjelaskan bahwa Islam begitu menghormati jasmani, tidak membiarkannya apa
adanya, sebab apabila dibiarkan maka ia tidak menjadi energi yang bermanfaat, melainkan justru
merusak eksistensi jasmani itu sendiri.

Apabila nilai-nilai moral, etika, susila dan akhlak tidak diajarkan atau dimarjinalisasikan
dalam kehidupan manusia, maka akibatnya adalah manusia akan mengambil kehidupan duniawi
ini sepuas-puasnya dengan membuat berbagai tatanan di atas standar materialistik. Sekalipun
kesenangan itu musnah seluruhnya akibat jiwa yang kosong dari iman, dan kekosongan dari
norma-norma agama. Kesenangan dan kenikmatan hidup yang dibangun selain dari prinsip
moral, akan berubah menjadi perburuan hawa nafsu yang pada akhirnya mencelakakan manusia.

Kehidupan yang dibangun di atas prinsip materialistik murni untuk mencapai


kesejahteraan, sudah dapat dipastikan bahwa yang dicapai hanya kesejahteraan lahiriah,
sedangkan kesejahteraan ruhaniah tidak akan terpenuhi. Keadaan ini apabila sampai pada tingkat
teratas strata kehidupan dan berbagai segmen kehidupan, maka akan terjadi kehancuran yang
mengenaskan. Akhirnya cita-cita manusia untuk mencapai ketaqwaan hanyalah menjadi suatu
harapan yang hampa. Di sinilah letaknya urgensi pendidikan Islam sebagaimana makna faktual
al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 yaitu:
Artinya:”Hai manusia, sesunguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal dan menghargai dan sesunggunya yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang taqwa…(QS. Al-
Hujurat: 13).
Dalam hal itu proses untuk mencapai dan meningkatkan kesejahteraan hidup, maka
setiap orang/individu diperintahkan untuk belajar secara terus menerus sepanjang
hidupnya, dan hal itu merupakan konsekuensi logis ditetapkannya manusia sebagai
khalifah dimuka bumi ini.
Pendidikan merupakan bagian dari tugas kekhalifaan manusia. Oleh karena itu,
kegiatan pendidikan harus dilaksanakan secara konsisten dan penuh tanggung jawab.
Dalam hal ini Islam memberikan pandangan bahwa konsep-konsep yang mendasar
tentang pendidikan dan tanggung jawab umat muslim untuk menjabarkan dan
mengaplikasikannya ke dalam praktek pendidikan. Pendidikan dalam arti yang luas,
adalah proses mengubah dan memisahkan nilai suatu kebudayaan atau derajat kepada
masing-masing individu dalam masyarakat. Firman Allah Swt;
Artinya :”Allah akan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang beriman dan
berilmu pengetahuan …..(QS. Al-Mujadilah ayat: 11)”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan keharusan
mutlak untuk dilaksanakan secara konsisten dengan penuh tanggung jawab guna
mencapai kesejahteraan hidup sebagai wujud peribadatan dan ketaqwaan kepada Allah
Swt.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan materi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa urgensi akhlak merupan
suatu kepentingan akhlak. Dalam kehidupan sehari-hari akhlak itu sanagatlah makapenting
diterapakan, terutama akhlak kepada Allah, sesama manusia dan lingkungan sekitar. Akhlak
terhadap Allah merupakan suatu kewajiban bagi manusia, seperti halnya kita menegrjakan suatu
kewajiban manusia kepada Allah yaitu dengan mentauhidkan-Nya, mengesakannya, beribadah
kepadannya dan lain sebagainya.
Selain itu kita juga harus menerapkan akhlak kita terhadap sesama manusia dan juga
kepada lingkungan sekitar kita. Seperti halnya akhlak terhadap orang tua, kepada tetangga dekat
kita, terhadap masyarakat, dan akhlak dalam pergaualan kita. Dan juga yang tidak kalah penting
akhlak terhadap lingkungan sekitar, misalnya kita melestarikannya, menjaganya dan merawat
atau tidak merusaknya. Sehingga apabila kita menerapkan hal-hal tersebut, maka insallah dalam
kehidupan kita dimanaapun akan menjadi tentram, aman dan damai, karena kita menjadi manusia
yang berbudi perkerti dan berakhlak mulia.
Dalam hal pendiddikan islam akhlak juga amat penting, karena pendidikan islam
merupakan peembinaan rohani maupun jasamani untuk membentuk budi pekerti yang baik.
Sehingga jika kita memiliki budi pekerti yag baik, maka kita termasuk manusia yang berakhlak
baik. Itulah mengapa pendidikan itu penting bagi manusia. Karena sesungguhnya dari
pendiddikan inilah kita dapat mencari ilmu dan menjadi orang yang baik atau berakhlak baik dan
menerapakan dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita dapat berguna bagi
masayarakat, bangsa maupun negara.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Sulami, Abu Abdurrahman. (2007). Tasawuf. Jakarta:Erlangga.

Darajat, Zakiah dkk. (2011). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:Bumi Aksara.

Haidari, Amin. (2010). Pemikir Pendidikan Islam. Jakarta:Putlisbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan.

Hawwa,Said dan Tazkiyatun Nafs. (2005). Intisari Ibya’ Ulummuddin. Jakarta: Darussalam.

Mustofa, A. (1997). Akhlak Tasawuf. Bandung:Pustaka Setia.

Ritogga, A. Rahman. (2005). Akhlak , Surabaya:Amelia Surabaya.

Saebani, Beni Ahmad Dan Abdul Hamid. (2007). Ilmu Akhlak. Bandung:Pustaka Setia.

Solihin, M. dan Rosyid Anwar. (2005). Akhlak Tasawuf. Bandung:Nuansa.

Susanti, Reni. (Tt). Akhlak Tasauf. Curup:LP2 STAIN.

[1]Beni Ahmad Saebani Dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, Bandung; Pustaka Setia, 2007, Hal.
14

[2] Abu Abdirrahman Al-Sulami, Tasawuf, Jakarta; Erlangga, 2007, Hal 143-144.
[3].A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung; Pustaka Setia, 1997, Hal. 154

[4]Ibid. hal. 163

[5] A. Rahman Ritogga, Akhlak , Surabaya; Amelia Surabaya, 2005, hal 107-108.

[6] Reni Susanti. Akhlak Tasauf. Curup; LP2 STAIN. Hal 173

[7] Said Hawwa Dan Tazkiyatun Nafs, Intisari Ibya’ Ulummuddin, Jakarta: Darussalam, 2005,
Hal. 612

[8] Zakiah Darajat, Dkk. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara, 2011, Hal. 25

[9] Ibid hal.28

[10] Charles Michel, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Ciputat, 1994), hal. 3

Amin Haidari, Pemikir Pendidikan Islam, (Jakarta:Putlisbang Pendidikan Agama dan


[11]
Keagamaan, 2010), hal. 3

[12]M. solihin dan Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung:Nuansa, 2005), hal. 117

You might also like