You are on page 1of 35

Referat

DIABETIC FOOT

Disusun oleh :
Grace Amanda Aviana
406171047

Pembimbing :
dr. Radian Tunjung B., Sp.B., Msi., Med

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara


Kepaniteraan Ilmu Bedah
RSUD KMRT WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Penyusun : Grace Amanda Aviana (406171047)


Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Tarumanagara
Bagian : Ilmu Bedah
Periode : 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Judul Referat : Diabetic Foot
Pembimbing : dr. Radian Tunjung B., Sp. B., Msi., Med

Telah diperiksa dan disetujui tanggal :

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


RSUD KRMT Wongsonegoro Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,
Pembimbing Referat

dr. Radian Tunjung B., Sp. B., Msi., Med

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih,
karunia, dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Diabetic Foot”
dengan baik serta tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RSUD KRMT Wongsonegoro Kota
Semarang periode 30 Oktober 2017 - 6 Januari 2018 dan juga bertujuan untuk menambah
informasi bagi Penulis dan pembaca tentang Diabetic Foot.
Penulis sangat bersyukur atas terselesaikannya tugas ini. Pada kesempatan ini penulis
ingin berterimakasih kepada :
1. dr. Radian Tunjung B., Sp. B., Msi., Med selaku pembimbing referat dan pembimbing
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD KRMT Wongsonegoro.
2. dr. Tanto Edy Heru Nugroho, Sp. OT selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah di RSUD KRMT Wongsonegoro
3. dr. Hakimansyah SpB selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD
KRMT Wongsonegoro
4. dr. Andrew Robert Diyo, Sp.BS selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
di RSUD KRMT Wongsonegoro
5. Dokter, staf, dan perawat di RSUD KRMT Wongsonegoro
6. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
di RSUD KRMT Wongsonegoro

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata,
Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Semarang, 15 Desember 2017

Penulis

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
BAB 1
PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan pekerjaan, pola kehidupan banyak
orang pun ikut berubah. Jika dahulu banyak orang yang mengkonsumsi banyak
karbohidrat, sayur-sayuran, sekarang ini pola makan orang Indonesia mulai berubah
menjadi ke barat-baratan, dimana komposisi makanannya mengandung banyak lemak,
gula, garam, dan mengandung sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama
terdapat pada makanan cepat saji yang semakin laris dijual di pasaran. Disamping itu
tuntutan pekerjaan yang memakan banyak waktu juga menyebabkan tidak adanya
kesempatan untuk berekreasi maupun untuk berolah raga. Pola hidup seperti ini
berisiko menyebabkan tingginya kekerapan penyakit, salah satunya diabetes.1
Diabetes mellitus adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolic, yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja
insulin, atau keduanya. Dari berbagai penelitian epidemiologic, seiring dengan
perubahan pola hidup didapatkan prevelensi diabetes melitu juga meningkat, Jika tidak
ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian komplikasi diabetes juga akan
meningkat. Dimana salah satu komplikasi yang mungkin terjadi akibat diabetes mellitus
adalah kaki diabetes. 2
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus yang
paling ditakuti. Sampai saat ini di Indonesia kaki diabetes masih merupakan masalah
yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit sekali orang yang
berminat menggeluti kaki diabetes. Disamping itu ketidak tahuan masyarakat mengenai
kaki diabetic masih sangat mencolok. Di negara maju kaki diabetes masih merupakan
masalah kesehatan yang besar, namun dengan kemajuan cara pengelolaan dan adanya
klinik kaki diabetes yang aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang
kaki diabetes menjadi lebih cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan
menjadi sangat rendah. Di Indonesia sendiri maslah kaki diabetes masih merupakan
masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang diabetes mellitus selalu
menyangkut kaki diabetes. Angka kematian dan amputasi masih tinggi, selain itu nasib
para penyandang diabetes pasca amputasipun juga masih sangat buruk, sebanyak 14%

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
meninggal dalam satu tahun pasca operasi, dan 37% meninggal dalam 3 tahun pasca
operasi. 2

Sehubungan dengan masih banyaknya kasus diabetes mellitus di Indonesia,


dimana kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi yang paling ditakuti oleh
masyarakat luas, penting bagi kita untuk mengetahui kaki diabetes dan pengelolaan
yang sesuai demi meningkatkan standart mutu kesehatan di Indonesia.

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun kedua-
duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah. 1,3
Diabetes mellitus sering disebut the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh seperti otak, ginjal, jantung, mata, dan kaki. Gejala diabetes dapat muncul
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari perubahan pada dirinya. Perubahan tersebut
bisa berupa minum lebih banyak atau polidipsi, buang air kecil lebih sering atau poliuri,
makan lebih banyak atau polifagi, ataupun berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.1,3
World Health Organization atau WHO memperkirakan penderita diabetes mellitus
akan meningkat 2 kali lipat pada tahun 2025 dibandingan dengan tahun 1996 dimana terdapat
120juta penderita diabetes mellitus. Faktor resiko yang ada adalah bertambahnya usia, lebuh
banyak dan lebih lamanya obesitas, distibusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor tersebut berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya diabetes mellitus.3
Diagnosis diabetes mellitus harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa
darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang dianjurkan adalah
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian dapat pula
dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostic yang berbeda seusi dengan pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler. 3
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Dimana gejala khas DM terdiri atas poliuri, polidipsi, polifagi, dan
penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Sementara gejala tidak khas DM diantaranya
adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, dan
pruritus vulva. Apabila ditemukan gejala khas DM pemeriksaan glukosa abnormal satu kali

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun bila tidak ditemukan gejala khas DM
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. 3
Diagnosis DM dapat juga ditegakkan berdasarkan gejala klasik DM + glukosa plasma
sewaktu>200mg/dL dimana glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau gejala klasik DM + glukosa
plasma puasa >126mg/dL dimana pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8
jam. Selain itu dapat juga berdasarkan glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200mg/dL, TTGO
dilakukan dengan standar WHO dimana menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. 3
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dengan indeks massa tubuh
atau IMT >25kg/m2 dengan faktor resiko lain contohnya aktifitas fisik yang kurang, riwayat
keluarga mengidap DM pada turunan pertama, termasuk kelompok etnik resiko tinggi, wanita
dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000g atau riwayat diabetes mellitus
gestasional, hipertensi, kolesterol HDL<35mg/dL atau trigliserida >250mg/dL, wanita
dengan sindrom polisiklik ovarium, riwayat toleransi gula terganggu atau glukosa darah
puasa terganggu, keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin misalnya obseitas
dan akantosis nigrikaans, riwayat penyakit kardiovaskular.3
Untuk kelompok beresiko tiggi sebaikanya pemeriksaan penyaring dilakukan setiap
tahun, dan pada usia >45 tahun tanpa faktor resiko pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien. Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau
konsentrasi glukosa darah puasa kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral
standar. 3

Bukan DM Belum pasti DM

Konsentrasi Plasma vena <100 100-199 >200


glukosa darah
sewaktu Darah kapiler <90 90-199 >200

Konsentrasi Plasma vena <100 100-125 >126


glukosa darah
puasa Darah kapiler <90 90-99 >100

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Dari berbagai penelitian epidemiologis sudah jelas terbukti bahwa insidens diabetes
mellitus meningkat menyeluruh di semua tempat di bumi. Peningkatan insidens diabetes
mellitus diikuti dengan kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes mellitus.
Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat
penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefrropati, maupun
makrovaskuler seperti penyakit pembuluh darah coroner, dan juga pembuluh darah tungkai
bawah. Mengelola penyandang diabetes merupakan tugas yang akan menjadu semakin
penting pada pelayanan kesehatan saat ini. Pengelolaan diabetes mellitus akan banyak
dilaksanakan pada tingkat pelayanan kesehatan primer sebagai mini klinik diabetes, demikian
pula berbagai rumah sakit dengan sarana pengelolaan yang lebih canggih akan disibukkan
dengan rujukan untuk kasus yang lebih kompleks. 4
Walaupun jelas akan terjadinya beban komplikasi kronik DM yang semakin
menggunung didepan saat ini agaknya nasib para penyandang DM akan menjadi lebih cerah.
Dari berbagai penelitian sudah dapat dibuktikan bahwa dengan cara pengelolaan yang
modern disertai dengan pemantauan yang juga lebih baik akan dapat dicapai pengendalian
keadaan metabolic yang lebih baik lagi. Demikian halnya dengan pengaruh yagn jelas nyata
dan baik dari pendidikan dan penyuluhan, semuanya bernakna akan dapat mencegah
kemungkinan terjadinya kompliksai kronik DM, setidaknya megurangi laju perburukan
komplikasi DM yang sudah terjadi. 4
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik diabetes mellitus akan menyebabkan
timbulnya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya
pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya
kompikasi kronik pada diabetes mellitus. Perubahan dasar atau disfungsi terutama terjadi
pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial
ginjal, semuanya menyebabkan pertumbuhan dan kesintasan sel yang kemudian pada
gilirannya akan menybabkan terjadinya komplikasi vascular diabetes. 4

2.2 Kaki Diabetes


Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Kaki
diabetes adalah luka yang kompleks dan kronis yang memiliki efek jangka panjang dalam
morbilitas, morbilitas dan kualitas kehidupan pasien. Indivitu yang menderita kaki diabetes
memiliki resiko lebih tinggi untuk kematian, infark miokard, dan stroke dibandingkan dengan
orang yang tidak menderita kaki diabetes. Tidak seperti luka kronis lainnya, perkembangan

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
kaki diabetes sering diperparah oleh perubahan yang disebabkan oleh diabetes seperti
neuropati dan penyakit vascular. Seiring dengan gangguan fungsi neutrophil, hilangnya
perfusi jaringan, dan gangguan sitesis protein yang sering menyertai diabetes, pekerja
kesehatan dihadapkan dengan tantangan dalam tatalaksana kaki diabetes. Hasil pengelolaan
kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter maupun penyandang DM dan
keluarganya. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan kematian. 2,5-9
Diagnosis dan tatalaksana pasien dengan kaki diabetes yang tepat mencakup
pendekatan secara holistic, termasuk didalamnya kontrol gula darah, perawatan luka, kontrol
infeksi, strategi meringankan tekanan, dan mengembalikan aliran darah. Menyadari
pentingnya pengobatan kaki diabetes secepat dapat memberi kesempatan pada pekerja medis
untuk mencegah progresi ke arah yang lebih buruk dan infeksi ekstremitas dan juga
menghentikan progresi ke amputasi. 5,11-14

2.2.1 Epidemiologi
Kaki diabetes merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai di Inggris, 5-7% penderita
diabetes menderita kaki diabetes. Sekitar 25% penderita diabetes mengalami kaki diabetes
sepanjang hidupnya. Secara keseluruhan di dunia terdapat 370 juta orang dengan diabetes dan
angka ini terus meningkat setiap tahunnya di masing-masing negara. Di Indonesia sendiri
sampai saat ini kaki diabetes masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola
dengan maksimal. Disamping itu ketidak tahuan masyarakat mengenai kaki diabetes masih
sangat mencolok. 2,5,8-10
Prevalensi penderita ulkus kaki diabetik di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi
30%, angka mortalitas 32% dan ulkus skaki diabetik merupakan sebab perawatan rumah sakit
yang terbanyak sebesar 80% untuk DM. Penderita ulkus kaki diabetik di Indonesia
memerlukan biaya yang tinggi sebesar 1,3 juta sampai Rp. 1,6 juta perbulan dan Rp. 43,5 juta
2,5,8-10
per tahun untuk seorang penderita.
Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) data pada tahun 2003, masalah ulkus
kaki diabetik merupakan masalah serius, sebagian besar penderia DM dirawat karena
mengalami ulkus diabetik. Akibat dari masalah ulkus diabetik angka amputasi masih cukup
tinggi, yaitu sebesar 23,5%. Penderita DM paska amputasi sebanyak 14,3% akan meninggal
dalam setahun dan 37% akan meninggal dalam 3 tahun. Berdasarkan survey pendahuluan
yang dilakukan di Rumah Sakit Tk II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan, prosentase pasien
DM rawat inap periode Januari sampai Maret 2012 dengan masalah Ulkus Diabetik sebesar

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
20%, angka amputasi mencapai 15%, kemudian angka kematian juga cukup tinggi sebesar
9%. 2,5,8-10
Kaki diabetes memiliki dampak yang besar dalam masalah ekonomi. Di Amerika
serikat dilakukan penelitian pada tahun 1999 dimana diestimasikan rata-rata biaya yang
dikeluarkan untuk pengobatan kaki diabetes mencapat 28ribu dolar amerika dalam dua tahun.
Dan diEropa sebuah penelitian menyatakan bahwa biaya satu tahun perawatan kaki diabetes
mencapai 10ribu euro untuk 821 orang pasien. 5
Kaki diabetes jika tidak diberikan penanganan segeera dan optimal dapat menjadi
lebih parah dalam waktu singkat, dan dapat berujung pada amputasi pada anggota gerak yang
terkena. Di eropa presentasi amputasi pada penderita diabetes mencapai 0.5-0.8% dan di
amerika terdapat 85% amputasi pada ekstremitas bawah pada diabetes yang diawali dengan
kaki diabetes. Delapan puluh lima persen amputasi dapat dihindari dengan penanganan yang
efektif. Sayangnya kurangnya pelatiahan dan penanganan yang seusai menyebabkan
gagalnya penanganan pasien secara sesuai sehingga hasil yang optimal menjadi
terhambat.5,11-14

2.2.2 Etiologi
Terjadinya maslaah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pembuluh darah. Di kebanyakan pasien,
kelainan neuropati dan kelainan pembuluh darah memiliki peran penting. Sehingga kaki
diabetes diklasifikasikan sebagai neuropati, iskemik, dan neuroiskemik. Neuroiskemik
merupakan efek kombinasi dari neuropati diabetic dan iskemia. Dimana macrovaskular dan
dalam beberapa kejadian disfungsi mikrovaskular dalam perfusi di kaki diabetic juga
terjadi.2,5-6
Neuropati merupakan faktor predisposisi timbulnya ulkus diabetes melalui efek yang
ditimbulkan pada nervus sensorik, motoric dan autonomic. Dimana hilangnya sensasi
sensorik akan menyebabkan pasien rentan terhadap trauma fisik, kimia maupun panas.
Neuropati yang mengenai saraf motoric akan menyebabkan deformitas kaki yang dapat
menyebabkan perubaha distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah terjadinya ulkus. Neuropati autonomic biasanya diasosiasikan dengan kulit
kering, yang dapat menyebabkan fisura, kulit pecah-pecah dan kalus. Selain itu dapat juga
muncul pembuluh darah yang menonjol yang sering disalah artikan sebagai baiknya sirkulasi
darah. 5-6,11-13

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Penderita diabetes memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk mengalami
kelainan pembuluh darah dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes, ini juga
merupakan faktor resiko untuk amputasi pada ekstremitas bawah. Perlu diingat bahwa
walaupun tidak ada gangguan pembuluh darah, mikroangiopati berkontribusi dalam buruknya
penyembuhan ulkuus pada kaki diabetes neuroiskemik. 2,5-6
Berdasarkan etiologinya terdapat gejala-gejala pembeda antara kaki diabetes
neuropati, iskemik, dan neuroiskemik. 5

2.2.3 Patofisiologi
Penyakit Diabetes membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh darah
di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu
gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada
pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Ulkus Diabetikum terdiri dari
kavitas sentral biasanya lebih besar dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan
tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan dengan hiperglikemia yang berefek
terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan suplai vaskuler. 2,5-6

Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras pada daerah kaki yang
mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer memungkinkan terjadinya trauma
berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan dibawah area kalus. Selanjutnya
terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan
ulkus. Adanya iskemia dan penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi.
Mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase yang inadekuat

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai konsekuensi sistem imun yang
abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya. 2,5-6

Terdapat 3 faktor yang dipandang sebagai predisposisi kerusakan jaringan pada kaki
diabetes, yaitu neuropati, gangguan pembuluh darah dan infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai
faktor tunggal, tetapi seringkali merupakan komplikasi dari iskemia maupun neuropati.
Susunan saraf sangat rentan terhadap komplikasi diabetes mellitus. Secara patogenik terdapat
3 faktor utama yang dapat dianggap sebagai sebab terjadinya neuropati pada diabetes
mellitus. Fakor-faktor tersebut yaitu metabolic, autonom dan vascular. Diabetes mellitus
berama faktor genetik dan lingkungan serta 3 faktor utama tersebut memberi neuropati klinis.
Hal ini dapat menyebabkan gangguan vascular karena menutupnya vasa vasorum, trauma
memberi hipoksia endoneurial yang selanjutnya menyebabkan demielinisasi segmental.
Faktor lain seperti kelainan agregasi trombosit, kelainan etiologi sel darah merah dan
hematologic serta adanya kompleks imun di sirkulasi berpengaruh terhadap neuropati2,5-6,11-14

Penderita kencing manis akan mengalami perubahan vascular berupa arteriosclerosis.


Hal ini disebabkan karena gangguan metabolism karbohidrat dalam pembuluh darah,
peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol. Hal ini akan diperberat dengan kadar gula darah
yang tidak terkontrol. Lesi vaskuler berupa penebalan pada membran basal pembuluh darah
kapiler yang diakibatkan karena disposisi yang berlebihan mukoprotein dan kolagen.
Pembuluh darah arteri yang paling sering terkena adalah arteri tibialis dan poplitea. Adanya
trombus, emboli maupun tromboemboli menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah.
Selanjutnya oklusi dapat menjadi total dan jika perfusi darah dari aliran kolateral tidak
mencukupi kebutuhan maka terjadi iskemia. Iskemia yang ringan menimbulkan gejala
claudicatio intermitten dan yang paling berat dapat mengakibatkan gangren. 2,5-6,11-14

Kelainan vaskuler yang berukuran kecil seperti arteriol dan kapiler, menyebabkan
ketidakcukupan oksigen dan nutrisi yang terbatas pada jari atau sebagian kecil kulit.
Kemudian, bagian yang iskemi tersebut mengalami ulserasi, infeksi ataupun gangren.
Sebaliknya, jika pembuluh nadi atau arteri yang mengalami gangguan berukuran lebih besar
maka gangguan oksigenasi jaringan akan lebih luas. Adanya trombus yang menyumbat
lumen arteri akan menimbulkan gangren yang luas bila mengenai pembuluh darah yang
sedang atau besar. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis akibat
tekanan sepatu, benda tajam dan gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskuler

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskuler menyebabkan terjadinya iskemia kaki
dan sebagainya merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus.2,5-6,9-14

Penderita diabetes melitus lebih rentan terhadap infeksi daripada orang sehat.
Keadaan infeksi sering ditemukan sudah dalam kondisi serius karena gejala klinis yang tidak
begitu dirasakan dan diperhatikan penderita. Faktor-faktor yang merupakan risiko timbulnya
infeksi yaitu faktor imunologi dimana produksi antibodi menurun, peningkatan produksi
steroid dari kelenjar adrenal, dan daya fagositosis granulosit menurun; faktor metabolic yaitu
hiperglikemia, dan benda keton mengakibatkan asam laktat menurun daya bakterisidnya,
serta glikogen hepar dan kulit menurun; faktor angiopati diabetika; dan faktor neuropati2,5-6

Beberapa bentuk infeksi kaki diabetik antara lain: infeksi pada ulkus telapak kaki,
selulitis atau flegmon non supuratif dorsum pedis dan abses dalam rongga telapak kaki. Pada
ulkus yang mengalami gangren atau ulkus gangrenosa ditemukan infeksi kuman Gram
positif, negatif dan anaerob. Pada kaki diabetik yang disertai infeksi, berdasarkan letak serta
penyebabnya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu abses pada deep plantar space, selulitis non
supuratif dorsum pedis, ulkus perforasi pada telapak kaki 2,5-6

2.2.4. Klasifikasi

Klasifikasi untuk kaki diabetes diperlukan untuk berbagai tujuan. Diantara berbagai
tujuan, tujuan terpenting adalah untuk mengetahui hasil pengobatan dan juga untuk
memahami mengenai kaki diabetes secara lebih lanjut. Terdapat berbagai klasifikasi yang
digunakan untuk kaki diabetes. Mulai dari Wagner-Meggitt, Kings Collage Hospital,
University of Texas, PEDIS dan lainnya. Namun klasifikasi yang paling sering digunakan
adalah klasifikasi Meggitt-Wagner dan University of Texas.3,5-7,11-14

Klasifikasi Meggitt-Wagner di buat tahun 1970 dan merupakan klasifikasi yang


secara luas diterima untuk penggolongan kaki diabetes. Klasifikasinya memiliki 6 tingkatan
dimana 4 tingkatan awal berdasarkan dalamnya lesi dan jaringan pada kaki. 2 tingkatan
terakhir berdasarkan derajat gangrene dan hilangnya perfusi di kaki. Dimana tingkat terakhir
merupakan gangrene kaki keseluruhan. 3,5-7,11-14

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Grade 0 Foot symptoms like pain, only

Grade 1 Superficial ulcers

Grade 2 Deep ulcers

Grade 3 Ulcer with bone involvement

Grade 4 Forefoot gangrene

Grade 5 Full foot gangrene

Wagner – Meggitt Classification of Diabetic Foot

University of Texas mengguanakan 4 derajat, setiap derajat dimodifikasi berdasarkan


adanya infeksi, iskemia, atau keduanya. Klasifikasi ini sudah di validasi dan dapat
memprediksi hasil akhir, karena seiring dengan peningkatan derajat dan tingkatan luka akan
semakin sulit juga luka tersebut untuk sembuh tanpa amputasi. 3,5-7,11-14

Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3

Preulcerative or Superficial
Wound Wound
postulcerative wound, not
Stage A penetrating to penetrating to
lesion completely involving tendon,
tendon or capsule bone or joint
epithelialized caosule or bone

Stage B Infection Infection Infection Infection

Stage C Ischemia Ischemia Ischemia Ischemia

Infection and Infection and Infection and Infection and


Stage D
Ischemia Ischemia Ischemia Ischemia

University of Texas Classification of Diabetic Foot

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
2.2.5 Diagnosis
Penderita diabetes memiliki keluhan klasik yaitu poliuri, polidipsi dan polifagi. Riwayat
pemeriksaan yang telah dilakukan ke dokter dan laboratorium menunjang penegakan
diagnosis. Adanya riwayat keluarga yang sakit seperti ini dapat ditemukan, dimana diabetes
cenderung herediter. Anamnesis juga harus dilakukan meliputi aktivitas harian, sepatu yang
digunakan, pembentukan kalus, deformitas kaki keluhan neuropati, nyeri tungkai saat
beraktivitas atau istirahat, durasi menderita DM, penyakit komorbid, kebiasaan merokok dan
alkohol, obat yang sedang dikonsumsi, riwayat menderita ulkus atau amputasi sebelumnya5-11
Riwayat berobat yang tidak teratur mempengaruhi keadaan klinis dan
prognosis seorang pasien, sebab walaupun penanganan telah baik namun terapi
diabetesnya tidak teratur maka akan sia-sia. Keluhan nyeri pada kaki dirasakan tidak secara
langsung segera setelah trauma. Gangguan neuropati sensorik mengkaburkan gejala apabila
luka atau ulkusnya masih ringan. Setelah luka bertambah luas dan dalam, rasa nyeri mulai
dikeluhkan oleh penderita dan menyebabkan datang berobat ke dokter atau rumah
sakit. Banyak dari seluruh penderita diabetes melitus dengan komplikasi ulkus
atau bentuk infeksi lainnya, memeriksakan diri sudah dalam keadaan lanjut,
sehingga penatalaksanaannya lebih rumit dan prognosisnya lebih buruk
( contohnya amputasi atau sepsis )5-11

2.2.6 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik harus ditentukan apakah luka tersebut termasuk neuropati, iskemik
dan neuroiskemik. Jika termasuk iskemik apakah terdapat iskemia kritis, apakah ada
deformitas, berapa besar luka yang ada, dimana lokasinya dan juga kedalaman luka. Apa
warna luka yang ada, apakah hitam (nekrosis), kuning , merah atau merah muda. Apakah ada
bone expose, nekrosis maupun gangrene. Apakah luka yang ada terinfeksi, jika iya apakah
ada gejala sistemik atau gejala infeksi seperti demam, menggigil, ketidakseimbangan
metabolic dan confusion. Adakah bau yang tidak menyenangkan, nyeri lokal, apakah ada
eksudat, berapa banyak eksudat yang keluar, warna eksudatnya apakah eksudat yang keluar
purulent. Apakah ada kalus, eritema, oedema. 2,5-8,11-14
Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan nervus sensorik untuk menilai apakah ada
hilangnya sensasi sensorik, pemeriksaan reflex sendi kaki, pemeriksaan dengan garputala,
atau dengan uji monofilament. Gangguan saraf otonom menimbulkan tanda klinis keringnya
kulit pada sela-sela jari dan cruris. Selain itu terdapat fisura dan kulit pecah-pecah, sehingga

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
mudah terluka dan kemudian mengalami infeksi. Pemeriksaan pulasai merupakan hal
terpenting dalam pemeriksaan vaskuler pada penderita penyakit oklusi arteri pada ekstremitas
bagian bawah. Pulsasi arteri femoralis, arteri popliteal, dorsalis pedis, tibialis posterior harus
dinilai dan kekuatannya dikategorikan sebagai aneurisma,normal,lemah atau hilang. Pada
umumnya jika pulsasi arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis teraba normal, perfusi pada
level ini menggambarkan patensi aksial normal. 2,11-14
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk mengetahui
adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah
dilakukan dan mempunyai sesnsitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya insufiensi
arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti melakukan pemeriskaan tekanan darah. Dalam
keadaan normal tekanan sistolik tungkai bawah sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan tekanan darah sistolik lengan atas. Pada keadaan dimana terjadi stenosis arteri di
tungkai bawah maka akan terjadi penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio tekanan
sistolik ankle dibagi tekanan sistolik brachial. Dalam kondisi normal nilai normal ABI adalah
>0.9. ABI 0.71-0.9 menunjukan iskemia ringan. ABI 0.41-0.7 menunjukkan telah terjadi
obstruksi vaskuler sedang. Dan ABI 0.0-0.4 menunjukkan adanya obstruksi vaskuler berat.
Pasien dengan ABI kurang dari 0.5 dianjurkan operasi misalnya amputasi karena prognosis
buruk. Jika ABI >0.6 dapat diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan. 2,8,11-13

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara pasti adalah
dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan gula
darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
dengan USG Doppler, MTA. Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis juga penting
untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi osetomielitis. Pada foto tampak gambatan
destruksi tulang dan osteolitik. 2

2.2.8 Gambaran klinis


Gambaran klinis dibedakan menjadi neuropathic foot yang terdiri atas ulkus neuropatik,
artropati neuropatik, edema neuropatik dan neuroiskemic foot. Ulkus neuropatik dapat
memberikan small fibre neuropathy yang berakibat gangguan somatic dan otonom.
Menifestasinya berupa hilangnya sensasi panas dan nyeri sebelum rabaan dan fibrasi
terganggu. Juga saraf simpatik mengalami denervasi yang mengganggu aliran darah

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
disebabkan karena terjadi aliran yang berlebih dengan arteriovenosus shunting disekitar
kapiler serta dilatasi arteri perifer. Aliran darah yag miskin makanan ini mengurangi
efektivitas dari perfusi jaringan yang memang sudah berkurang. Disamping itu terjadi
gangguan nosiseptor. 2,8,11-13
Deformitas kaki sering berakibat pada ulserasi. Penderita diabetes cenderung
mempunyai jari bengkak yang menekan jari tersebut, yang berhubungan dengan menipis dan
menggesernya timbunan lemak bawah caput metatalsar pertama. Akibatnya daerah ini rawan
ulserasi dan infeksi. Bentuk yang ekstrim dari deformitas kaki ini yaitu kaki charcot . diduga
fraktur dan reabsorbsi tulang pada kaki charcot akibat neuropati otonom dan neuropati
perifer. Akibatnya ada fraktur, kolaps sendi, dan deformitas kaki. Awalnya kaki cahrcot ini
akut dengan gejala panas, merah dengan nadi yang keras, dengan atau tanpa trauma. Pada
stadium 4 mudah sekali terjadi ulkus dan infeksi dan gangrene yang dapat berakhibat
amputasi. 2,8,11-13
Edema neuropatik merupakan komplikasi terjarang dari kaki diabetic dimana terdapat
edema kaki dan tungkai bawah yang berhubungan dengan kerusakan saraf tepi. Gangguan
saraf simpatis berakibat edema dan venosus pooling yang abnormal juga vasomotor regleks
hilang pada sikap berdiri. Neuro ischemic foot merupakan gabungan antara kelainan
arterosklerosis yang dipercepat pada diabetes dan neuropathic foot. Keluhan klaudikasio
intermitten, nyeri tungkai waktu istirahat, dengan ulserasi dan gangrene. Umumnya rest pain
diwaktu malam, dan berkurang pada sikap kaki yang tergantung. Untuk membedakan dengan
ulkus neuropatik, ulkusnya terasa nyeri, nekrosis dilingkari pinggiran eritemateus dan tidak
disertai callus. Predileksi di ibu jari, tepi medial metatarsal I atau tepi lateral metatarsal V
serta tumit. 2,8,11-13

2.2.9 Perawatan kaki diabetes


Tujuan dari perawatan kaki diabetes adalah penutupan luka, lebih spesifiknya pekerja medis
harus memberikan penanganan kaki diabetes secepat mungkin untuk mengusahakan
penyembuhan. Komponen penting dalam perawatan luka adalah dengan melakukan
tatalaksana dari penyakit yang ada, memastikan cukupnya aliran darah, perawatan luka
termasuk kontrol infeksi, dan mengurangan tekanan. Perawatan kaki yang efektif merupakan
kerja sama antara pasien, keluarga, dan juga pekerja medis. 2,11-13
Tatalaksana penyakit dasar dari kaki diabetes dengan melaksanakan kontrol diabetes
yang optimal, dimana kadar glukosa darah harus terkontrol. Selain itu faktor-faktor resiko

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
lain juga harus terkontrol seperti tekanan darah, hyperlipidemia, dan merokok. Kekurangan
nutrisi juga harus di atasi. Pekerja medis juga harus memperhatikan penyebab dari trauma
pada kaki, contohnya alas kaki. Harus dipastikan alas kaki nyaman, pas dan tidak ada benda
asing pada alas kaki yang dapat menyebabkan trauma pada kaki. Pengobatan luka pada kaki
diabetes haruslah radikal dan dilakukan debridement berulang, selain itu perlu dilakukan
inspeksi yang sering dan kontrol bakteri dan juga keseimbangan kelembaban untuk mencegah
malserasi. 2,11-13
Dalam perawatan luka terdapat framework yang diberi nama TIME, yakni tissue
debridement, kontrol infeksi dan inflamasi, keseimbangan kelembaban, dan epithelial edge
advancement. Tissue debridement memiliki banyak metode, seperti operasi, larval, autolitik,
ultrasonic, hydrosurgery. Debridement mungkin saja menjadi prosedur yang dilakukan terus
menerus. Debridement selanjutnya harus ditentukan setelah setiap perubahan luka. Jika luka
tidak menunjukkan perbaikan, tenaga medis harus mereview ulang tatalaksana yang
diberikan dan harus menacari penyebab dari terlambatnya penyembuhan luka diabetes. Sharp
debridement merupakan metode yang paling efektif dalam mencapat penyembuhan luka
menyeluruh. Keuntungan dari debridement adalah menyingkirkan jaringan nekrosis dan
kalus, mengurangi tekanan, mengijinkan inspeksi dari jaringan dasar, membantu pengeluaran
pus atau sekresi, meningkatkan efektivitas dari obat topical, dan menstimulasi penyembuhan.
Metode debridement lain bisa dengan cara lain pada pasien dengan kontraindikasi
debridement, cara debridement lain lebih memiliki efek dibanding debridement, atau pada
pasien yang menginginkan terapi lainnya. Larval therapy, hydrosurgical debridement,
autolytic debridement merupakan contoh-contoh dari metode debridement lainnya. 2,11-13
Kontrol infeksi dan inflamasi, perlu dilakukan secepat mungkin dan seagresif
mungkin. Dalam sebuah penelitian di Prancis didapatkan pada klinik kaki pasien yang masuk
dengan infeksi kaki diabetes harus menjalani amputasi kaki. Secara klinis luka yang tidak
terinfeksi tidak perlu diterapi dengan antibiotik sistemik, nemun semua luka yang terinfeksi
perlu menggunakan antibiotik. Luka superfisial dengan infeksi ringan yang belakangan ini
tidak menerima terapi antibiotik dapat diberikan antibiotik oral empiric yang menargetkan
pada Staphylococcus aureus dan ß-haemolytic Streptococcus, jika hasil kultur menunjukkan
adanya antibiotik yang lebih sesuai barulah antibiotik diganti dan bila tidak berespon pada
antibiotik haruslah dilakukan kulltur ulang. 2,11-13
Penggunaan antimikroba topical meningkat seiriing dengan meningkatnya prevelensi
resistensi terhadap antimikroba seperti MRSA(meticillin-resistant S. aureus) dan komplikasi

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
lainnya. Antimikroba topical memiliki keuntungan karena tidak menimbulkan resistensi.
Antimikroba topical memiliki konsentrasi tinggi namun tidak menembus ke kuit yang sehat
maupun ke dalam jaringan yang lebih dalam. Penggunaan anti mikroba dapat
menguntungkan terutama jika pasien memiliki sirkulasi pembuluh darah yang buruk, dan di
luka yang tidak sembuh dimana gejala infeksi tidak ada namun terdapat kecurigaan adanya
infeksi bakteri. Antimikroba topical yang biasa digunakan adalah silver sulphadiazine cream,
polyhexamethylene biguanide, iodine, atau madu. Penggunaan antimikroba topical selama 2
minggu direkomendasikan pada luka yang terinfeksi ringan. Jika setelah 2 minggu terdaoat
perbaikan namun masih ada tanda infeksi, tatalaksana ini dapat dilanjutkan; jika luka sudah
membaik dan tidak ada lagi tanda-tanda infeksi antimikroba topical harus dihentikan. Jika
tidak ada perbaikan pikirkan untuk menghentikan terapi ini dan dilakukan kultur ulang
terhadap luka dan juga pikirkan untuk melakukan terapi operasi ataupun revaskularisasi.2,11-13
Jika terdapat adanya tanda infeksi pada saat ganti balut, antibiotik sistemik harus
dimulai. Antimikroba topical tidak diindikasikan sebagai satu-satunya terapi untuk infeksi
sedang ataupun berat. Pasien mungkin juga perlu dilakukan debridement untuk
menghilangkan jaringan yang terinfeksi. Selain itu luka yang terinfeksi perlu dibersihkan
dengan saline ataupun antiseptic lain setiap ganti balut. Jika infeksi sudah mengenai jaringan
dalam, dengan infeksi sedang berat seperti selulitis, limfangitis, septic arthritis, dan faciitis
harus digunakan antibiotik spectrum luas secepat mungkin, ambil specimen di awal terapi
untuk mengidentifikasi organisme pada luka, jika hasil kultur sudah keluar da nada antibiotik
yang lebih sesuai atau tidak adanya perbaikan dari inflamasi barulah pikirkan untuk
melakukan penggantian antibiotik. Antibiotik dimasukkan secara parental dan baru diganti
menjadi oral setelah kondisi pasien seimbang dan hasil kultur sudah keluar. Di kebanyakan
kasus terapi selama 1-3 minggu cukup untuk infeksi jaringan. 2,11-13
Dressing design untuk menciptakan lingkungan yang lembab dan mendukung
perjalanan penyembuhan luka. Dressing bukanlah penganti dari debridement, maupun kontrol
diabetes. Perbaikan luka yang lembab memiliki efek dalam perbaikan luka. Diantaranya
adalah memaintain kesimbangan daerah luka sehingga tidak terlalu kering ataupun tidak
terlalu lembab, dressing juga dapat memanage exsudat luka secara optimal sehingga hasil
dapat membaik. Pemilihan dressing harus memilkirkan beberapa faktor yakni lokasi luka,
ukuran dan kedalaman luka, banyak dan tipe eksudat, kondisi dari daerah sekitar luka, adanya
kompatibilitas dengan terapi lain, resiko infeksi, nyeri pada luka pada saat penggantian balut
dan kualtias kehidupan pasien. Selain itu perlu juga dipikirkan apakah dressing tetap pada

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
tempat yang sama, apakah mencegah adanya rembes, apakah menyebabkan alergi, nyeri,
apakah menghalangi keluarnya eksudat. Dan apakah nyaman, mudah dilepas, mudah
dipasang, apakah secara ekonomis efektif. 2,11-13

Dressing luka yang tersedia

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Panduan management dressing luka
Luka pasien dan juga dressing harus diperiksa secara regular, untuk luka yang
terinfeksi ataupun banyak eksudat yang keluar harus diganti setiap hari seteah itu setiap 2
atau 3 hari sekali setelah infeksi stabil. Pasien ada yang lebih memilih untuk mengganti balut
sendiri, karena itu harus diberikan arahan dalam tindakan pembersihan dan juga kontrol luka
secara teratur dengan pekerja medis. Pasien juga harus diajarkan untuk melihat tanda-tanda
detoriasi seperti nyeri yang bertambah, bengkak, bau, purulent atau gejala sepsis. Pada

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
penggantian dressing mungkin saja terasa sakit. Pada dressing yang sudah kering dan sulit
untuk dilepas penting untuk merendam dressing dengan salin atau diirigasi dan di periksa
luka dan daerah skitar luka untuk melihat apakah ada trauma atau infeksi saat pelepasan
dressing. 2,11-13

2.2.10 Amputasi
Jangan pikirkan amputasi jika assessment yang mendetail dari ahli saraf belum dilakukan.
Indikasi untuk dilakukannya amputasi adalah adanya nyeri saat istirahay yang tidak dapat
diatasi dengan analgetik atau revaskularisasi, infeksi yang mengancam nyawa yang tidak bisa
diatasi dengan cara lain, ulkus yang tidak sembuh disertai dengan penyakit lain yang lebih
tinggi resikonya dibanding dengan hasil amputasi. Sekitar setengah dari pasien yang
menjalani amputasi akan mengalami kaki diabetes pada kaki lainnya dalam 18 bulan setelah
amputasi. Mortalitas amputasi dama 3 tahun adalah 20-50% dan dalam 6 tahun sekitar 50%
pasien mengalami iskemia di kaki lainnya. 8-13

2.2.11 Pengelolaan kaki diabetes


Pengelolaan kaki diabetes dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu pencegahan terjadinya kaki
diabetes dan ulkus dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah. Pencegahan
primer atau pencegahan terjadinya kaki diabetes adalah dengan melakukan penyuluhan
mengenai terjadinya kaki diabetes, penyuluhan harus dilakukan pada setiap kesempatan
pertemuan dengan penyandang DM. pengelolaan kaki diabetes terutama ditunjukkan untuk
pencegahan terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan resiko kaki. Pemberian alas kaki
yang baik dapay mencegah terjadinya ulkus karena faktor mekanik dapat dicegah. Jika sudah
terjadi deformitas perlu perhatian khusus terhadap alas kaki untuk meratakan penyebaran
tekanan pada kaki. 2,10-14
Pencegahan sekunder dilakukan dengan pengelokaan holistic ulkus, perlu kerjasama
multidisipliner. Berbagai hal perlu ditangani dengan baik agar diperoleh hasil yang baik,
yakni kontrol tekanan mekanik, kontrol luka, kontrol infeksi, kontrol vascular, kontrol
metabolic, edukasi. Kontrol metabolic disini berarti keadaan umum pasien harus diperhatikan
dan diperbaiki. Konsentrasi glukosa darah diusahakan agar selalu senormal mungkin untuk
memperbaiki berbagai faktor yang terkait hiperglikemia yang dapat mebghambat
penyembuhan luka. Status nutrisi juga haris diperhatikan dan diperbaiki, nutrisi yang baik
dapat membantu penyembuhan luka. Keadaan vascular yang buruk dapat menghambat

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
kesembuhan luka. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali dengan cara
sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, dan arteri tibialis
posterior serta ditambah oengukuran tekanan darah. Selain itu perlu dilakukan modifikasi
terhadap faktor resiko dengan berhenti merokok, meperbaiki faktor resiko terkait
aterosklerosis yakni hiperglikemia, hipertensi dan dilipdiemia. 2,10-14
Perawatan luka sejak pertama kali datang merupakan hal yang harus dikerjakan
dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin. Selama proses
inflamasi masih ada proses penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses selanjutnya
yaitu proses granulasi dan kemudian epitelisasi. Jika kaki tetap dipakai untuk berjalan yang
berarti kaki dipakai untuk menahan berat badan, luka yang selalu mendapat tekanan tidak
akan cepat sembuh, apalagi kalau luka tersebut terinjak. Cara untuk mencapai keadaan non
weight bearing dapat dilakukan dengan menggunakan cast walker, total contact casting,
temporary shoesm felt padding, kruk, kursi roda, insoles. Bisa juga dilakukan dekompresi
ulkus dengan insisi abses, prosedur koreksi bedah seperti operasi pada hammer toe. Edukasi
sangat penting dengan penyuluhan yang baik pasien maupun keluarganya diharapkan akan
dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka
yang optimal. 2,10-14
Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanaka untuk
pengelolaan kaki diabetes. Rehabilitasi diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang
mungkin timbul pada pasien. Keterlibatan rehabilitasi medis berlanjut jauh sampai sesudah
amputasi untuk meberikan bantuan agar tidak timbulnya ulkus baru. Pemakaian alas kaki
khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus
baru. 2,10-14

2.2.12 Prognosis
Mortalitas pada penyandang diabetes dan kaki diabetes sering diasosiasikan dengan
arteriosclerosis yang mengenai arteri coroner dan renal. Kehilangan anggota gerak
merupakan hal yang dapat terjadi pada pasien kaki diabetes terutama jika perawatan tertunda.
Lebih dari setengah amputasi nontrauma merupakan komplikasi dari kaki diabetes. Penderita
DM paska amputasi sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun dan 37% akan
meninggal dalam 3 tahun.Individu yang menderita kaki diabetes memiliki resiko lebih tinggi
untuk kematian, infark miokard, dan stroke dibandingkan dengan orang yang tidak menderita
kaki diabetes.12-14

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
BAB 3
KESIMPULAN

Diabetes merupakan suatu sindrom metabolic dimana terjadi hiperglikemi. Diabetes


memiliki gejala poliuri, polifagi, polidipsi dan juga penurunan berat badan tanpa
penyebab yang jelas. Penderita diabtes perlu melakukan perubahan pola hidup dan juga
diberikan intervensi obat untuk mengendalikan gula darahnya. Jika tidak ditangani
dengan baik komplikasi diabetes dapat terjadi. Salah satu komplikasi yang mungkin
terjadi akibat diabetes mellitus adalah kaki diabetes.
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus yang
paling ditakuti. Sampai saat ini di Indonesia kaki diabetes masih merupakan masalah
yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit sekali orang yang
berminat menggeluti kaki diabetes. Terjadinya masalah kaki diabetes diawali adanya
hiperglikemia yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pembuluh darah. Terdapat
3 faktor yang dipandang sebagai predisposisi kerusakan jaringan pada kaki diabetes, yaitu
neuropati, gangguan pembuluh darah dan infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor
tunggal, tetapi seringkali merupakan komplikasi dari iskemia maupun neuropati.
Kaki diabetes memiliki berbagai klasifikasi, mulai dari Wagner-Meggitt, Kings
Collage Hospital, University of Texas, PEDIS dan lainnya. Namun klasifikasi yang paling
sering digunakan adalah klasifikasi Meggitt-Wagner dan University of Texas. Klasifikasi
Meggitt-Wagner di buat tahun 1970 dan merupakan klasifikasi yang secara luas diterima
untuk penggolongan kaki diabetes. University of Texas mengguanakan 4 derajat, setiap
derajat dimodifikasi berdasarkan adanya infeksi, iskemia, atau keduanya. Klasifikasi ini
sudah di validasi dan dapat memprediksi hasil akhir, karena seiring dengan peningkatan
derajat dan tingkatan luka akan semakin sulit juga luka tersebut untuk sembuh tanpa
amputasi.

Pada pemeriksaan fisik perlu dilihat adanya deformitas, berapa besar luka yang ada,
dimana lokasinya dan juga kedalaman luka. Apa warna luka yang ada, apakah hitam
(nekrosis), kuning , merah atau merah muda. Apakah ada bone expose, nekrosis maupun
gangrene. Apakah luka yang ada terinfeksi, jika iya apakah ada gejala sistemik atau gejala
infeksi seperti demam, menggigil, ketidakseimbangan metabolic dan confusion. Adakah bau
yang tidak menyenangkan, nyeri lokal, apakah ada eksudat, berapa banyak eksudat yang

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
keluar, warna eksudatnya apakah eksudat yang keluar purulent. Apakah ada kalus, eritema,
oedema. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan sensorik, pulsasi dan ABI.

Penanganan kaki diabetes harus dilakukan secepat mungkin untuk mengusahakan


penyembuhan. Komponen penting dalam perawatan luka adalah dengan melakukan
tatalaksana dari penyakit yang ada, memastikan cukupnya aliran darah, perawatan luka
termasuk kontrol infeksi, dan mengurangan tekanan. Perawatan kaki yang efektif merupakan
kerja sama antara pasien, keluarga, dan juga pekerja medis.
Pengelolaan kaki diabetes dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu pencegahan
terjadinya kaki diabetes dan ulkus dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih
parah. Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang harus dilaksanaka untuk
pengelolaan kaki diabetes. Rehabilitasi diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang
mungkin timbul pada pasien. Keterlibatan rehabilitasi medis berlanjut jauh sampai sesudah
amputasi untuk meberikan bantuan agar tidak timbulnya ulkus baru. Pemakaian alas kaki
khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus
baru.

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.
Jakarta: InternaPublishing;2014. p. 2317-2324
2. Waspadi S. Kaki Diabetes. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:
InternaPublishing;2014. p. 2369-2376
3. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing;2014. p. 2325-2329
4. Waspadi S. Komplikasi Kronik Diabetes Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:
InternaPublishing;2014. p. 2361-2368
5. International Best Practice Guidelines: Wound Management in Diabetic Foot Ulcers.
Wounds International, 2013. Available from: www. woundsinternational.com
6. Frykberg RG. Diabetic Foot Ulcers:Pathogenesis and Management. American
Academy of Family Physicians,2002. Avaliable ftom :
https://www.aafp.org/afp/2002/1101/p1655.pdf
7. Jain AK. A New Classification of Diabetic Foot Complications: A Simple and
Effective Teaching Tool.{Internet}. Jdfc.org.2012. Avaliable from :
http://jdfc.org/wp-content/uploads/2012/01/v4-i1-a1.pdf
8. McIntosh A, dkk. Prevention and Management of Foot Problems in Type 2 diabetes:
Clinical Guidelines and Evidence. Sheffield, University of Sheffield. 2003. Avaliable
from : https://www.nice.org.uk/guidance/cg10/documents/footcare-2nd-consultation-
full-guideline2
9. Hunt DL. Diabetes : Foot Ulcers and Amputations. BMJ Clinical Evidance. 2011.
Avaliable from : http://www.clinicalevidence.com/x/systematic-
review/0602/overview.html
10. American Diabetes Association. Foot Care.American Diabetes Association. 2014.
Avaliable from : http://www.diabetes.org/living-with-diabetes/complications/foot-
complications/foot-care.html
11. Doupis J. Classification, Diagnosis, and Treatment of Diabetic Foot Ulcers.
WOUNDS. 2008. Avaliable from : http://www.woundsresearch.com/article/8706
12. AOFAS. Diabetic Foot Ulcers. OrthopaedicsOne Articles. Avaliable from :
https://www.aofas.org/PRC/conditions/Documents/Diabetic-foot-ulcer.pdf
13. Bortos M, Kuhnke J,dkk. BEST PRACTICE RECOMMENDATIONS FOR THE
Prevention and Management of Diabetic Foot Ulcers. Foundations of Best Practice
for Skin and Wound Management. 2017. Avaliable from :
https://www.woundscanada.ca/docman/public/health-care-professional/bpr-
workshop/895-wc-bpr-prevention-and-management-of-diabetic-foot-ulcers-1573r1e-
final/file
14. Morbach S. Diagnosis, Treatment and Prevention of the Diabetic Foot Syndrome.
Hartmann. 2004 Avaliable from :
http://www.hartmann.bg/images/Diabetic_Foot_Syndrome.pdf

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Charcot Foot

Charcot’s joint pertama kali diperkenalkan oleh Jean-Martin Charcot pada tahun 1868, pada
pasien tabes dorsalis. Terjadi deformitas berat, krepitasi, dan instabilitas sendi dengan derajat
berbeda, yang dihubungkan dengan desiensi nutrisi spinal cord. Charcot’s joint bisa
diakibatkan oleh berbagai penyakit, diabetes melitus (DM) merupakan penyebab utama.
Charcot’s joint juga bisa didapatkan pada kasus trauma tungkai dan intoksikasi alkohol.
Berbagai terminologi yang sering digunakan dan menggambarkan patogenesis kondisi ini
antara lain neuropathic arthropathy, osteoarthropathy, Charcot’s joint, Charcot neuropathic
osteoarthropathy, Charcot’s neuroarthropathy, dan neurotrophic join. Berdasarkan
American Diabetes Association dan American Pediatric Medical Association, nomenklatur
standar yang disepakati adalah Charcot neuropathic osteoarthropathy (CN) atau kaki
Charcot.

Kaki Charcot adalah suatu kondisi yang mengenai tulang, sendi, dan jaringan lunak
kaki dan pergelangan kaki, di mana fase awal ditandai dengan inflamasi.Kaki Charcot
merupakan kondisi progresif yang ditandai dengan dislokasi sendi, fraktur patologis, dan
destruksi berat arsitektur kaki yang dapat memperburuk deformitas. Dislokasi dan atau
fraktur progresif yang terjadi mengakibatkan deformitas berat kaki dan pergelangan kaki.
Kondisi ini berpotensi ulserasi dengan atau tanpa infeksi dan meningkatkan risiko amputasi.

Kaki Charcot diabetik didapatkan pada sekitar 16% pasien DM dengan neuro-
artropati. Insidens kaki unilateral antara 0,08-7,7%, dan keterlibatan bilateral antara 5,9-
39,3%. Keterlibatan kaki kontralateral berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan
pada kaki yang sehat akibat imobilisasi atau pengurangan beban pada kaki yang sakit. Pasien
sebagian besar telah menderita DM sekitar 10-15 tahun, pada umumnya dengan kontrol yang
buruk. Tidak didapatkan perbedaan insidens berdasarkan jenis kelamin.

Terdapat berbagai teori patogenesis Charcot’s joint antara lain neuropati dan
inflamasi. Interaksi berbagai faktor (DM, neuropati sensori motor, neuropati otonom, trauma,
dan metabolisme abnormal dari tulang) mengakibatkan inflamasi lokal akut yang
menimbulkan berbagai tingkat dan pola destruksi tulang, subluksasi, dislokasi, dan
deformitas. Teori Perancis yang dikemukakan oleh Jean-Martin Charcot menyatakan bahwa
kerusakan sendi berhubungan dengan kerusakan sistem saraf pusat yang mengendalikan
nutrisi sendi dan tulang. Teori Jerman oleh Volkman dan Virchow menyatakan bahwa trauma
Kepaniteraan Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
berulang pada sendi denervasi merupakan faktor yang mempercepat timbulnya CN.

Trauma ekstremitas yang mengalami neuropati berat merupakan teori yang paling
luas diterima. Kaki Charcot diabetik timbul akibat neuropati otonom menyebabkan pelebaran
pembuluh darah, sehingga terjadi hubungan antara arteri dan vena menyebabkan peningkatan
aliran darah ke kaki. Peningkatan resorpsi sel tulang menimbulkan osteopenia berat, sehingga
menurunkan kekuatan tulang. Neuropati motorik berhubungan dengan ketidakseimbangan
dan distribusi abnormal tekanan pada telapak kaki. Gangguan sensorik yang menyertai
neuropati sensoris perifer membuat pasien tidak merasakan tekanan abnormal tersebut,
sehingga terjadi destruksi tulang. Destruksi tulang akan meningkat jika pasien tetap
melakukan ambulasi pada kaki tersebut. Pada penderita DM lama, terjadi neuropati akibat
komplikasi mikroangiopati, tidak adanya sensasi protektif akan memicu cedera berulang
(sprain atau bahkan fraktur) sehingga menimbulkan trauma saat ambulasi, baik langsung
maupun melalui proses instabilitas, degenerasi, subluksasi sendi, dan laksiti ligamen yang
akhirnya menimbulkan kaki Charcot.

Klasifkasi kaki Charcot yang paling banyak digunakan adalah sistem Eichenholtz
yang juga berdasarkan gambaran radiologi. Sistem ini membagi tiga yaitu fase
perkembangan, koalesen, dan rekonstruksi yang menunjukkan tingkat proses perubahan
siologis. Pada fase perkembangan terjadi inflamasi akut ditandai hiperemia, edema jaringan
lunak, fragmentasi osteokondral, subluksasi sendi, atau dislokasi dan destruksi sendi pada
berbagai tingkat. Arkus longitudinal bisa kolaps akan menyebabkan subluksasi midfoot pada
bidang transversal yang akan menimbulkan gambaran rocker bottom foot. Subluksasi sendi
pergelangan kaki akan menimbulkan deformitas valgus atau varus di pergelangan kaki,
sehingga pasien berjalan dengan posisi pergelangan kaki inversi atau eversi. Ambulasi pada
fase ini akan meningkatkan deformitas secara signifikan. Gambaran radiologi menunjukkan
adanya demineralisasi tulang, fragmentasi periartikuler, dan dislokasi tulang.

Fase koalesen ditandai dengan reduksi edema jaringan lunak, proliferasi kalus tulang,
dan konsolidasi fraktur. Terjadi pembentukan perioseal baru. Periode ini merupakan
penyembuhan, terjadi absorbsi debris dan penyembuhan fraktur. Fase rekonstruksi ditandai
dengan ankilosis tulang dan proliferasi hipertro . Terjadi perbaikan dan remodelling tulang,
yaitu peningkatan densitas dan sklerosis dengan perbaikan stabilitas sendi. Pada fase ini
terjadi proses penyembuhan. Gambaran radiologi menunjukkan adanya absorpsi debris

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
tulang, bagian tepi tulang yang lebih halus, sklerosis, ankilosis tulang, penyembuhan tulang,
dan resolusi osteopenia. Shibata dan Shella mendeskripsikan adanya grade 0, yaitu belum
terdapat perubahan radiologi, tetapi terdapat pembengkakan dan hangat pada kaki. Schon dan
Marks mendeskripsikan grade 0 sebagai risiko pasien neuropati dan jejas akut berkelanjutan,
mengklasifikasikan kondisi ini sebagai grade pre-Charcot. Periode ini juga disebut “Charcot
in situ”. Gambaran radiologi menunjukkan fraktur simpel ataupun komunitif, bisa disertai
penyempitan sendi,tetapi tanpa fragmentasi tulang seperti pada grade 1; paling sering
mengenai regio sendi tarsometatarsal.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan


penunjang. Keluhan rasa tebal, kesemutan, rasa terbakar mungkin tidak ada karena hilangnya
sensasi. Riwayat trauma biasanya tidak ada. Pasien mungkin merasa nyeri. Nyeri sering
dirasakan lebih ringan dan tidak sebanding dengan beratnya gejala klinis. Riwayat DM yang
lama mendukung dugaan kaki Charcot Diabetik. Pasien biasanya datang dengan kondisi kaki
kemerahan, hangat pada perabaan, biasanya disertai deformitas kaki, seperti arkus yang jatuh
atau turun, ekuinus pergelangan kaki, atau berjalan dengan posisi inversi atau eversi kaki.
Kecurigaan kaki Charcot diabetik terutama jika suhunya meningkat >2 ̊ dibandingkan kaki
kontralateral, tanpa ada luka terbuka atau limfangitis.

Pemeriksaan terdiri dari riwayat pasien, evaluasi neurologi (re eks Achilles),
gangguan sensoris, motorik, vaskuler (arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior), dan
muskuloskeletal. Pada kaki Charcot diabetik,biasanya sirkulasi masih adekuat. Neuropati
otonom mengubah regulasi yang meningkatkan aliran darah dan terbentuk shunting arteri-
vena sehingga terjadi hiperemi. Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan fungsi
kelenjar yang mengakibatkan kulit kaki menjadi kering, kurang lentur, dan lebih rentan
terluka. Evaluasi motorik dilakukan pada otot-otot intrinsik kaki yang sering mengalami
atrofi . Pemeriksaan meliputi deformitas kaki, penurunan luas gerak sendi, perbedaan panjang
tungkai, adakah amputasi sebelumnya, dan evaluasi berjalan. Pada evaluasi berjalan bisa
didapatkan abnormalitas tekanan pada kaki akibat deformitas yang bisa memicu ulkus, dan
peningkatan risiko jatuh. Gangguan proprioseptif juga menyebabkan berjalan dengan wide
base dan cenderung melihat ke lantai.

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Gambaran radiologi awal bisa normal atau tampak osteoporosis, fraktur, dislokasi,
atau fragmentasi tulang. Bisa tampak gambaran deformitas luas tanpa fraktur. Jika terdapat
ulkus (terutama yang sampai ke tulang), akan sulit dibedakan dengan infeksi dan
osteomielitis. Pada kaki Charcot diabetik yang berat bisa dijumpai gambaran deformitas
menyerupai pencil pointing pada sendi metatarsofalangeal atau fraktur pada caput metatarsal.
Bisa dijumpai peningkatan laju endap darah dan hitung leukosit. Peningkatan C-Reactive
Protein dapat dijumpai pada kondisi akut, juga peningkatan kadar alkali fosfatase (marker
pembentukan tulang) dan deoksipiridanolin urin (marker resorpsi tulang) yang
menggambarkan pening- katan turnover dan remodelling tulang. Kaki Charcot diabetik
sebagian besar dijumpai pada pasien diabetes tidak terkontrol, sehingga disarankan
pemeriksaan HbA1c. CT scan dapat mendeteksi adanya sekuestra, destruksi korteks, reaksi
periosteal, dan udara interosseus yang mungkin tidak terdeteksi dengan MRI. Pemeriksaan
MRI tidak bisa membedakan antara kaki Charcot dengan osteomielitis. Pada Bone Scan
dengan metode three phase, akan didapatkan hasil positif peningkatan turnover tulang;
metode ini sangat sensitif. Biopsi tulang merupakan standar baku untuk membedakan kaki
Charcot diabetik dengan osteomielitis.

Diagnosis banding dari kaki charcot adalah Osteomielitis, inflamasi karena artritis,
selulitis, trauma, deep vein thrombosis (DVT), dan gout. Kaki Charcot fase akut sering sulit
dibedakan dari osteomielitis dan selulitis. Tes klinis adalah mengelevasi kaki selama lima
menit. Pada kaki Charcot eritema akan berkurang, sedangkan pada selulitis akan menetap.

Terapi konservatif berupa medikamentosa, latihan, dan pemberian ortesa. Obat


antiresorpsi (alendronat, risedronat, bifosfonat, pamidronat, dan lain-lain) disarankan karena
pada pasien kaki Charcot diabetik terjadi peningkatan turn over tulang. Obat antiresorpsi
berfungsi menurunkan turn over dengan cara menghambat aktivitas osteoklas, sehingga
diharapkan dapat mempertahankan kondisi kaki Charcot. Pemberian obat bisa oral ataupun
intravena. Bifosfonat intravena dilaporkan telah memperbaiki kondisi nyeri dan panas.
Kalsitonin intranasal dinyatakan dapat memberikan perbaikan secara signi kan dibandingkan
kelompok yang hanya mendapat terapi loading dan kalsium. Terapi medikamentosa rutin
untuk kontrol gula darah dan mengurangi progesivitas komplikasi DM, bisa berupa obat
hipoglikemik oral (biguanid, inhibitor glukosidase, meglitinid, sulfonilurea, tiazolidin,
inkretin mimetik), ataupun injeksi insulin.

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Latihan penderita DM bertujuan untuk memperbaiki toleransi glukosa, peningkatan
sensitivitas insulin, penurunan HbA1C, dan menurunkan kebutuhan insulin. Manfaat

tambahan adalah memperbaiki faktor risiko CVD (Cerebro-Vascular Disease), yaitu pro l
lipid, tekanan darah, berat badan, dan kapasitas fungsional. Pasien kaki Charcot diabetik
lebih baik latihan non-weight bearing, dianjurkan dalam bentuk berenang, latihan di air,
sepeda dengan tahanan ringan, atau latihan anggota gerak atas. Orthesa diberikan sesuai fase
penyakit. Pada fase I, standar emas terapi adalah imobilisasi dan non-weight bearing (NWB).
Inisiasi NWB yang tepat akan menghentikan progresivitas deformitas. Imobilisasi bisa
dilakukan dengan Total Contact Cast (TCC), below knee cast, atau Patellar Tendon Bearing
(PTB) dengan patton bottom. Prinsip ini masih kontroversial karena imobilisasi juga akan
memicu osteoporosis dan memperlemah kondisi tulang. TCC bertujuan imobilisasi dan
menghilangkan beban pada kaki Charcot. Setiap 1-2 minggu harus disesuaikan ukurannya
sesuai reduksi edema. Penggunaan TCC juga meningkatkan beban kaki kontra.
Kontraindikasi tindakan operasi yaitu pada fase akut, terdapat fragmentasi tulang, atau
pembentukan tulang periosteal baru. Operasi saat fase akut berpotensi untuk memicu dan
memperluas atro tulang. Tujuan tindakan operatif adalah menghilangkan penonjolan tulang
dan memperbaiki deformitas, sehingga mencapai posisi kaki plantigrade yang stabil,
realigned, dan dapat diakomodasi dengan penggunaan brace atau sepatu, sehingga bisa
mencegah ulserasi dan amputasi tungkai. Intervensi operatif adalah pemanjangan tendon
Achilles (jika terdapat ekuinus pergela- ngan kaki), eksostektomi, artrodesis, dan amputasi.
Pemasangan fiksasi internal dan eksternal diikuti imobilisasi yang lebih lama dibandingkan
dengan pasien tanpa DM. Eksostektomi dilakukan untuk menghilangkan penonjolan tulang
seperti pada Rocker Bottom Foot. Ulkus disembuhkan untuk meminimalisasi risiko infeksi.
Jika didapatkan osteomielitis, eksisi tulang dilakukan lebih luas. Dengan eksostektomi, akan
didapatkan permukaan kaki yang datar lebih luas untuk menahan beban badan. Artrodesis
dilakukan pada deformitas midfoot dan hindfoot yang tidak memungkinkan penggunaan
brace dan menyebabkan ulserasi berulang. Tujuan utamanya adalah mempertahankan
stabilitas dan alignment kaki dan pergelangan kaki, sehingga bisa menggunakan sepatu terapi
dan menurunkan risiko ulserasi.
http://care.diabetesjournals.org/content/34/9/2123
https://www.foothealthfacts.org/conditions/charcot-foot
www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/19/17

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
Neuropati diabetic

Banyak teori dari beberapa ahli yang mengemukakan mengenai patofisiologi


neuropati diabetik, namun hingga saat ini belum ada patofisiologi yang pasti
terjadinya neuropatik diabetik. Faktor- faktor yang diduga sebagai etiologi neuropati
diabetik antara lain, vaskular, metabolik, neurotrofik, dan immunologik. Beberapa
teori yang dapat diterima :

 Teori Vaskular (iskemik-hipoksia)


Pada pasien diabetes dapat terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium
yang disebabkan oleh resistensi pembuluh darah oleh akibat hiperglikemia.
Biopsi nervus suralis pada pasien diabetes mengalami penebalan pembuluh
darah, agregasi trombosit, hiperplasia endothelial dan pembuluh darah, yang
semuanya dapat menyebabkan iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan
terganggungnya transpor aksonal, aktifasi Na+/K+ ATPase yang akhirnya
menyebabkan degenerasi akson.

 Teori metabolik
o Jalur Polyol
Teori jalur polyol berperan dalam beberapa perubahan dengan
metabolism ini.Pada status yang normoglikemik, kebanyakan glukosa
intraseluler di fosforilasi ke glukosa-6-phosphate oleh hexokinase, hanya
sebagian kecil dari glukosa masuk jalur polyol. Pada kondisi-kondisi
hiperglikemia, hexokinase yang disaturasi, maka akan terjadi influks
glukosa ke dalam jalur polyol. Aldose reduktase yang secara normal
Kepaniteraan Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
mempunyai fungsi mengurangi aldehid beracun di dalam sel ke dalam
alkohol non aktif, tetapi ketika konsentrasi glukosa di dalam sel menjadi
terlalu tinggi, aldose reduktase juga mengurangi glukosa ke dalam jalur
sorbitol, yang mana kemudian dioksidasi menjadi fruktosa. Dalam proses
mengurangi glukosa intraseluler tinggi ke sorbitol, aldose reduktase
mengkonsumsi co-faktor NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide
phosphat hydrolase). NADPH adalah co-faktor yang penting untuk
memperbaharui intracelluler critical anti oxidant, dan pegurangan
glutathione.Dengan mengurangi jumlah glutathione, jalur polyol
meningkatkan kepekaan stress oksidatif intraseluler.Stres oksidatif
berperan utama di dalam patogenesis neuropati diabetika perifer.Ada bukti
peningkatan oksigen radikal bebas dan peningkatan beberapa penanda
stres oksidatif seperti malondialdehide dan lipid hydroksiperoksida pada
penderita neuropati diabetika.Indikator kuat untuk membuktikan oleh
beberapa penelitian mengenai penggunaan antioksidan baik pada
binatang percobaan maupun pada pasien.

Sorbitol sesudah dioksidasi sorbitol dehydrogenase menjadi


fruktosa, mengalami degradasi secara perlahan dan tidak cukup menebus
ke membran sel . Akumulasi sorbitol intraseluler mengakibatkan
perubahan osmotik yang berpotensi ke arah kerusakan sel. Adanya
peningkatan osmolalitas intraseluler, dalam kaitan aliran glukosa kedalam
jalur polyol dan akumulasi sorbitol, sebagai akibatnya akan terjadi
kompensasi pengurangan endoneural osmolit taurine dan mioinositol
untuk memelihara keseimbangan osmotik. Metabolit intraseluler, seperti
mioinositol menjadi berkurang dan mendorong ke arah kerusakan sel
saraf.Pada percobaan binatang penurunan mioinositol berkaitan dengan
penurunan aktivitas Na+/ K+-ATPase dan memperlambat velositas
konduksi saraf.

o Teori AGEs
Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan
advanced glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik
pada protein seluler. Glikosilasi dan protein jaringan menyebabkan
pembentukan AGEs.Glikosilasi nonenzimatik ini merupakan hasil interaksi
glukosa dengan kelompok amino pada protein.1 Pada hiperglikemia kronis
beberapa kelebihan glukosa berkombinasi dengan asam amino pada
sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini pada awalnya membentukproduk
glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya membentuk AGEs yang
ireversibel. Konsentrasi AGEs meningkat pada penderita DM. Pada
endotel mikrovaskular manusia , AGEs menghambat produksi prostasiklin
dan menginduksi PAI-1(Plasminogen Activator Inhibitor-1) dan akibatnya
terjadi agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin, memudahkan trombosis.
Mikrotrombus yang dirangsang oleh AGEs berakibat hipoksia lokal dan
meningkatkan angiogenesis dan akhirnya mikroangiopati.

o Teori Aktivasi Protein Kinease C


Aktivasi Protein Kinase C (PKC) juga berperan dalam patogenesis
neuropati perifer diabetika. Hiperglikemia didalam sel meningkatkan

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
sintesis atau pembentukan diacylglyserol (DAG) dan selanjutnya
peningkatan Protein kinase C. Protein kinase juga diaktifkan oleh stres
oksidatif dan advanced glycosilation products (AGEs).

Aktivasi protein kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas


vaskular,gangguan sintesis nitric oxyde (NOS) dan perubahan aliran
darah.Ketika PKCdiaktifkan oleh hiperglikemia intraseluler, mempunyai
efek pada beberapa ekspresigenetik. Vasodilator yang memproduksi
endothelial nitric oxyde synthase (eNOS)berkurang, sedangkan
vasokonstriktor endothelin-1 (ET-1) akan meningkat. Transformasi Growth
Faktor β (TGF-β) dan plasminogen inhibitor -1 (PAI-1) juga
meningkat.Dalam endothelial sel, PKC juga mengaktifkan nuclear faktor
(NFkB), suatu faktor transkripsi yang dirinya sendiri mengaktifkan banyak
gen proinflamasi di dalam pembuluh darah.

o Teori Nerve Growth Factor


Faktor neurotrophic penting untuk pemeliharaan, pengembangan,
dan regenerasi unsur-unsur yang responsif dari saraf.Neurotrophic factor
(NF) sangat penting untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan
dan respon regenerasi.Nerve Growth Factor (NGF) berupa protein yang
memberi dukungan besar terhadap kehidupan serabut saraf dan neuron
simpatis.Telah banyak dilakukan penelitian mengenai adanya faktor
pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang berperan pada ketahanan
hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik sistem saraf
perifer. Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya
defisiensi neurotropik sehingga menurunkan proses regenerasi saraf dan
mengganggu pemeliharaan saraf. Pada banyak kasus, defisit yang paling
awal, melibatkan serabut saraf yang kecil. Pada pasien dengan DM terjadi
penurunan NGF sehingga transport aksonal yang retrograde ( dari organ
target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar NGF pada kulit
Kepaniteraan Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018
pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small fibers
sensory neuropathy.

 Teori autoimun
Neuropati Autoimun adalah mekanisme hasil pengembangan dari
neuropati diabetik telah menarik minat untuk dipelajari.Neuropati autoimun
dapat muncul dari dari perubahan imunologik sel endothelial kapiler.Teori ini
juga mulai dapat dianggap benar atas dasar laporan kesuksesan pengobatan
neuropati diabetik dengan menggunakan immunoglobulin ke dalam pembuluh
darah.

Kepaniteraan Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 30 Oktober 2017 – 6 Januari 2018

You might also like