You are on page 1of 34

REFERAT

LEPTOSPIROSIS

Perceptor :

dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD

Oleh :

Tiffany Putri Alamanda


1618012048

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


UNIVERSITAS LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
RUMAH SAKIT ABDOEL MOELOEK

1
2017

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leptospirosis tersebar di seleruh dunia, di semua benua kecuali benua


Amerika, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat
pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut dan
binatang pengerat lainnya seperti tupa,musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di
dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal atau air kemihnya.
Tikus merupakan vektor utama dari L.interohaemorrhagica penyebab
leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan
membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan
secara terus-menerus dan ikut mengalir dalam filtrate urine. Penyakit ini bersifat
musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insiden dijumpai pada musim
panas dan musim gugur karena tempratur adalah faktor yang mempengaruhi
kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi
terjadi selama musim hujan.1

Internasional Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara


dengan dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk
mortalitas. Di Indonesia, leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Riau,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada
kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus
leptospirosis dengan 20 kematian.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami Leptospirosis sampai penanganannya,
terutama dalam aspek farmakoterapi.
1.3 Manfaat

2
Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang Leptospirosis serta
meningkatan pembelajaran terhadap pola farmakoterapi terhadap pasien
Leptospirosis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia dan


hewan. Penyakit ini disebabkan oleh leptospira patogenik dan memiliki
manifestasi klinis yang luas, bervariasi mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai
fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, leptospirosis dapat muncul seperti
influenza dengan sakit kepala dan myalgia. Leptospirosis yang berat, ditandai oleh
jaundice, disfungsi renal dan diatesis hemoragik, dikenal dengan Weil’s
syndrome.

Definisi

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh Weil pada tahun 1886
yang membedakan penyakit yang disertai ikterus ini dengan penyakit lain yang

3
juga mnyebabkan ikterus. Bentuk beratnya dikenal sebagai Weil’s disease.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever,

slamp fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, dan lain-lain.
Leptospira acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa
leptospirosis dalam decade terakhir di beberapa negara telah menjadikan
leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk emerging infectious
disease.

Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae,


suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis,
fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2
um. Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait.
Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini
demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat
sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada
mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk
mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap.
Leptospira membutuhkan membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk
tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat
kultur yang positif. Dengan medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai
obligat aerob. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies; L.
interrogans yang patogen dan L. biflexa yang non paogen/saprofit. L. interrogans
dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar
menurut komposisi antigennya. Beberapa serovar L. interrogans yang dapat
menginfeksi manusia diantaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L.
pomona, L. javanica, dan lain-lain.

Menurut bebrapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia adalah L.


icterohaemorrhagica dengan reservoar tikus, L. canicola dengan reservoar anjing,
dan L. pomona dengan reservoar sapi dan babi.

4
Epidemiologi

Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang


diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun
1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang
mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan
ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada tahun
1916. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia
antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan,
mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.

Leptospirosis adalah zoonosis penting dengan penyebaran luas yang


mempengaruhi sedikitnya 160 spesies mamalia. Tikus, adalah reservoir yang
paling penting, walaupun mamalia liar yang lain yang sama dengan hewan
peliharaan dan domestik dapat juga membawa mikroorganisme ini. Leptospira
meningkatkan hubungan simbiosis dengan hostnya dan dapat menetap pada
tubulus renal selama beberapa tahun.

Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian


besar kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim
panas atau awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis.

5
Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan
kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan
underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala
ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal.

Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus


leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di
Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah
seperti Klaten, Demak atau Boyolali. Pada beberapa negara berkembang,
leptospirosis tidak dianggap sebagai masalah. Pada tahun 1999, lebih dari 500.000
kasus dilaporkan dari Cina, dengan nilai case fatality rates dari 0,9 sampai 7,9%.
Di Brazil, lebih dari 28.000 kasus dilaporkan pada tahun yang sama.

Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga
dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang
biak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.

Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.


Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori
ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita immunocompromised mempunyai
resiko tinggi terjadinya kematian.

Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa


mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang
ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi

Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus.


Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual
hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara,
militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang
mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau
rafting.

Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih


tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan

6
tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu.
Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang
8-29%.

Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan
peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi
perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing,
selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, dan
kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah
dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.

Penularan

Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan tanah, air, atau lumpur
yang telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi leptospira.
Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir.
Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang infeksius
memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang deras pun
dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang
sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di
laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap
kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Orang-orang yang mempunyai
resiko tinggi mendapat penyakit ini adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian,
perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan, atau
orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan, dokter hewan.

7
Patogenesis

Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,


memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan
tubuh. Kemudian terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral
sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun
demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi
secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan
mencapai convoluted tubules, bertahan di sana dan dilepaskan melalui urin.
Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu
setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian.
Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman
ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu.

Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis; invasi bakteri


langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.

Patologi

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin


yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada bebrapa organ.
Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada
leptospirosis terdapat perbedaan anatara derajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari
organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur
organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan
sel plasma. Pada kasus yang erat terjadi kerusakan kapiler dengan pedarahan yang
luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal, leptospira
juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan
serebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis
yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi akibat komplikasi

8
leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot
dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ :

1. Ginjal

Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk


lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal
ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi
imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga
berperan menimbulkan kerusakan ginjal.

2. Hati

Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit


fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi,
sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat
diantara sel-sel parenkim.

3. Jantung

Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan


miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel
mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat
terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endokarditis.

4. Otot rangka

Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis,


vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira
disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira
pada otot.

5. Mata

Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia
dan bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi. Hal
ini akan menyebabkan uveitis.

9
6. Pembuluh darah

Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang


akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit

7. Susunan saraf pusat

Leptospira mudah masuk kedalam cairan cerebrospinal (CSS) dan


dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya
respon antibody, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges
dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi
adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola.

Weil Disease

Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,


biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran, demam tipe
kontinua, dan berkurangnya kemampuan darah untuk membeku sehingga terjadi
perdarahan dalam jaringan. Gejala awal dari sindroma Weil lebih ringan dari

10
leptospirosis. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia. Pada kari ke-3
sampai hari ke-6, muncul tanda-tanda kerusakan ginjal dan hati. Penderita akan
merasakan sakit saat berkemih atau air kemihnya berdarah. Kerusakan hati
biasanya ringan dan akan sembuh total.

Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica, pernah juga dilaporkan
oleh seotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis berupa gangguan renal,
hepatik atau disfungsi vaskular.

Gambaran Klinis

Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosos mempunyai 2 fase penyakit khas yaitu fase leptospiremia dan fase
imun.

Manifestasi klinis yang sering terjadi ialah demam, menggigil, sakit


kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjungtival suffusion, mual, muntah,
nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobia. Sedangkan
manifestasi klinis yang jarang terjadi ialah pneumonitis, hemoptoe, delirim,
perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, neuritis,
pankreatitis, parotitis, epididimitis, hematemesis, asites, miokarditis.

11
Fase Leptospiremia

Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan
pinggang diserai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit,
demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa
muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan
fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular,
atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan
membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan
fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang
lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari,
setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.

12
Fase Imun

Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam
yang mencapai suhu 40°C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa
sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki terutama otot betis.
Terdapat perdarahn berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati,
uremia dan ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura,
ptekie, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan paling
sering. Conjungtiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus
merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis.

Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya


50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleiositosos pada CSS dijumpai pada 50-
90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu,
tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dijumpai
didalam urin.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN RADIOLOGI

Ditemukannya sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular)


dan proteinuria ringan pada leptospirosis anikterik menjadi gagal ginjal dan
azotemia pada kasus yang berat. Jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat.
Pada leptospirosis anikterik, jumlah leukosit antara 3000-26000/μL, dengan
pergeseran ke kiri; pada Weil’s sindrome, sering ditandai oleh leukositosis.
Trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% pasien dan dihubungkan dengan
gagal ginjal. Pada perbandingannya dengan hepatitis virus akut, leptospirosis
memiliki bilirubin dan alkali phospatase serum yang meningkat sama dengan
peningkatan ringan dari aminotransferase serum (sampai 200/ul). Pada Weil’s
sindrome, protrombin time dapat memanjang tetapi dapat dikoreksi dengan
vitamin K. Kreatin phospokinase yang meningkat pada 50 % pasien dengan
leptospirosis selama minggu pertama perjalanan penyakit, dapat membantu
membedakannya dengan infeksi hepatitis virus.

Bila terjadi reaksi meningeal, awalnya terjadi predominasi leukosit


polimorfonuklear dan diikuti oleh peningkatan sel mononuklear. Konsentrasi

13
protein pada LCS dapat meningkat dan glukosa pada LCS normal. Pada
leptopirosis berat, lebih sering ditemukan abnormalitas gambaran radiologis paru
daripada berdasarkan pemeriksaan fisik berupa gambarab hemoragik alveolar
yang menyebar. Abnormalitas ini terjadi 3-9 hari setelah onset. Abnormalitas
radiografi ini paling sering terlihat pada lobus bawah paru.

Diagnosis

Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit karena pasien biasanya


datang meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma syok toksik,
demam yang tidak diketahui asalnya dan diatesis hemoragik, bahkan beberapa
kasus datang dengan pankreatitis. Pada anamnesis penting diketahui tentang
riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok risiko tinggi. Gejala atau
keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian
frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan
fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai leukositosis, normal,
atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang
meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan cast. Bila organ hati
terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum
dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal.
Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi
leptospira dari cairan tubuh dan serologi.

Kultur

Dengan mengambil specimen dari darah atau CSS selama 10 hari pertama
perjalanan penyakit. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil
specimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urine
diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Kadng-kadang kultur urin masih
positif selama memerapa bulan atau tahun setelah sakit. Untuk isolasi leptospira
dari cairan atau jaringan tubuh, digunakan medium Ellinghausen-McCullough-
Johnson-Harris; atau medium Fletcher dan medium Korthof. Spesimen dapat
dikirim ke laboratorium untuk dikultur , karena leptospirosis dapat hidup dalam

14
heparin, EDTA atau sitrat sampai 11 hari. Pada specimen yang terkontaminasi,
inokulasi hewan dapat digunakan.

Serologi

Jenis uji serologi dapat dilihat pada table 3 pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya leptospira dengan cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain
Reaktion (PCR), silver stain, atau fluroscent antibody stain, dan mikroskop
lapangan gelap.

DIAGNOSIS BANDING

Leptospirosis harus dibedakan dengan demam yang lain dihubungkan


dengan sakit kepala dan nyeri otot,seperti dengue, malaria, demam enterik,
hepatitis virus, dan penyakit rickettsia.

 Dengue Fever
 Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome
 Hepatitis
 Malaria
 Meningitis
 Mononucleosis, influenza
 Enteric fever
 Rickettsial disease
 Encephalitis
 Primary HIV infection

Pengobatan

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan


mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat
penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan
akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien
membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.

15
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian
dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik pilihan, seperti :

Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penicillin G,


amoxiciliin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-
kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin
atau amoksisilin maupun sefalosporin. Sampai saat ini penisilin masih merupakan
antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika
leptospira masih di dalam darah (fase leptospiraemia). Pada pemberian penisilin,
dapat muncul reaksi Jarisch- Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian intra
vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti-leptospira. Tindakan suportif
diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.
Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa diatur sebagaimana pada
penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalu terjadi azotemia/uremia berat
sebaiknya dilakukan dialysis.

PROGNOSIS

Prognosis penderita dengan infeksi ringan sangat baik tetapi kasus yang
lebih berat seringkali lebih buruk. Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal,
karena pada kasus dengan ikterus angka kematian mencapai 5% pada umur di

16
bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%. Sedangkan leptospirosis
selama kehamilan dapat meningkatkan mortalitas fetus.

Komplikasi

Komplikasi meliputi meningitis, fatigue berlebihan, gangguan


pendengaran, distress respirasi, azotemia, dan renal interstitial tubular necrosis
yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal dan kadang juga gagal hati. Bentuk berat
dari penyakit ini disebut Weil’s disease. Masalah kardiovascular juga dapat
terjadi.

 Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6.


 Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
 Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal
jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
 Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
 Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran
pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata
(konjungtiva).
 Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

Pencegahan

Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit.


Banyaknya hospes perantara dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan. Bagi
mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan
perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat melindunginya dari kontak
dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir.
Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk
mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang memiliki risiko tinggi dan
terpapar dalam waktu singkat. Penelitian terhadap tentara Amerika di hutan
Punama selama 3 minggu, ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari
4-2% menjadi 0,2% san efikasi pencegahan 95%.

17
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama
direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan,
masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Sementara itu, cara-cara yang dapat
dilakukan oleh masyarakat agar terhindar dari penyakit ini, diantaranya:

 Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
 Mencuci tangan, dengan sabun sebelum makan.
 Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah
bekerja di sawah/ kebun/ sampah/ tanah/ selokan dan tempat tempat yang
tercemar lainnya.
 Melindungi pekerja yang beresiko tinggi terhadap Leptospirosis ( petugas
kebersihan, petani, petugas pemotong hewan dan lain lain ) dengan
menggunakan sepatu bot dan sarung tangan.
 Menjaga kebersihan lingkungan.
 Menyediakan dan menutup rapat tempat sampah.
 Membersihkan tempat tempat air dan kolam kolam renang.
 Menghindari adanya tikus didalam rumah atau gedung.
 Menghindari pencemaran oleh tikus.
 Melakukan desinfeksi terhadap tempat tempat tertentu yang tercemar oleh
tikus.
 Meningkatkan penangkapan tikus.

18
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Anamnesis
Identitas pasien
 Nama : Tn. A
 Usia : 45 Tahun
 Alamat : Jl. Raya Ngantang
 Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : Pemerah Susu sapi
 Status : Kawin
 Agama : Islam
 Tanggal Periksa : 10 Maret 2014

Keluhan Utama : Demam


Riwayat Penyakit sekarang : Pasien datang ke UGD RSI diantar oleh
istrinya dengan keluhan demam sejak ± 5 hari yg lalu. Demam disertai
menggigil. Selain itu juga disertai nyeri kepala, rasa tidak enak pada
seluruh badannya. Nyeri kepala dirasakan terutama pada bagian dahi.
Nyeri lainnya dirasakan terutama pada paha, betis, dan pinggang. Selain
itu, pasien juga mengeluh mual-mual dan matanya merah.
Riwayat Pengobatan : Paracetamol diberikan adiknya yang
bekerja sebagai dokter tapi panasnya timbul lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat MRS : disangkal
Riwayat Sakit Serupa : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Infeksi TBC : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat Alergi Makanan : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

19
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Jantung : disangkal
Riwayat Penyakit Tumor : disangkal
Riwayat Sakit Serupa : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien berasal dari keluarga menengah,
pasien tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Pasien bekerja sebagai
pemerah susu di peternakan sapi milik majikannya, setiap hari selalu
bersinggungan dengan sapi. Istrinya hanya seorang IRT biasa.
Riwayat Gizi: Pola makan pasien sehari 3 kali, yang terdiri dari nasi,
sayur, tahu tempe, ayam, daging sapi kadang-kadang.
3.2 Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : Tampak Lemas, Compos mentis GCS(456)
Vital sign
- TD : 90/70
- Nadi : 80x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 38 oC
- BB : 57 kg
- TB : 165 cm
Kulit : Putih, Ptekie (-), ekimosis (-), purpura (-), Rash (-)
Kepala : Normocephal, rambut tidak rontok
Mata : : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-),
conjuntival injection (+/+).
Hidung : Epistaksis (-/-)
Telinga : Daun telinga simetris, membran tympani (intak),
nyeri tekan mastoid (-/-), sekret (-/-).
Mulut : Simetris, mulut kering (-), sianosis (-), bibir kering
(-), lidah kotor (-),tepi lidah hiperemis (-), gusi berdarah (-).
Tenggorokan : Tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis (-)
Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran KGB (-)

20
Thorax : bentuk normochest, retraksi interkostal (-),
retraksi subkostal (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi
Batas kiri atas : ICS II Linea para sternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II Linea para sternalis dekstra
Batas kiri bawah : ICS V mid clavicula line parasternalis
sinistra
Batas kanan bawah: ICS IV linea para sternalis dekstra
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising
(-) Suara tambahan jantung : (-)
Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi : bentuk normal, simetris
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler

wheezing ronkhi
- -
- -
-
-
- -
- -
Dinamis (depan dan belakang)

Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri,irama


regular, otot bantu nafas (-), pola nafas abnormal (-), usaha bernafas
normal.

Abdomen :
Inspeksi : datar/sejajar dinding dada, venektasi (-), massa (-), bekas
jahitan (-)

21
Auskultasi : peristaltik (+) normal, BU normal
Palpasi : nyeri epigastrium (-), hepar dan lien tdk teraba, turgor
baik, massa (-), asites (-)
Perkusi : timpani seluruh lapangan perut
Ektremitas
 palmar eritema (-/-)
+ +
 Akral Hangat
+ +

 Odema - -
- -

3.3 Diagnosis banding

 Leptospirosis
 Dengue Fever
 Meningitis
 Malaria
 Encephalitis

3.4 Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan:

 Leukositosis
 trombositopenia ringan
 albuminuria,
 hematuria
 serologi positif leptospirosis
3.5 Resume
Pasien datang ke UGD RSI diantar oleh istrinya dengan keluhan demam
sejak ± 5 hari yg lalu. Demam disertai menggigil. Selain itu juga disertai nyeri
kepala, rasa tidak enak pada seluruh badannya. Nyeri kepala dirasakan terutama
pada bagian dahi. Nyeri lainnya dirasakan terutama pada paha, betis, dan
pinggang. Selain itu, pasien juga mengeluh mual-mual dan matanya merah. Pada
pemeriksaan fisik Tn.A tampak lemas dan tekanan darah 90/70mmHg, Suhu: 38o

22
C, conjunctiva injection (+/+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
Leukositosis, trombositopenia ringan, albuminuria, hematuria, serologi positif
leptospirosis

3.6 Diagnosa Kerja


Leptospirosis Ringan-Sedang
3.7 Penatalaksanaan

1. Non Farmakologi
a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya
b. Memberikan edukasi tentang penularan penyakit pasien
c. Edukasi tentang pencegahan
d. Tirah baring
2. Farmakologi
a. Dosisiklin 2x100 mg selama 7 hari
b. Asam mefenamat prn (1-3) x 500 mg
c. Infus Ringer Asering

23
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Masalah


 Demam tinggi sejak 5 hari yang lalu disertai menggigil (38 C)

 Nyeri kepala terutama dibagian dahi

 Rasa tidak nyaman pada seluruh badan (nyeri pada paha, betis, dan
pinggang)

 Mual-mual

 Mata merah (conjunctiva injection)

 Tensi rendah (90/70 mmHg)

 Leptospirosis
4.2. Tujuan Terapi
 Menghilangkan penyebab penyakit leptospirosis yaitu bakteri L.
Interogans. Untuk tujuan terapi ini digunakan kelas obat
antibakteri/antibiotic
 Mengurangi gejala-gejala (demam, nyeri kepala, nyeri otot). Untuk tujuan
terapi ini digunakan kelas obat antipiretik, analgetik, antiinflamasi.
 Menaikkan tekanan darah, dan pengobatan suportif. Untuk tujuan terapi ini
digunakan cairan infuse.

4.3. Antibiotik

Pada kasus Leptospirosis, antibiotik yang disarankan oleh WHO untuk


mengeradikasi penyebab penyakit adalah sebagai berikut:

24
Leptospirosis ringan:
 Doksisiklin 100 mg 2x sehari 7-10 hari, atau
 Ampisilin 500-750 mg 4x sehari 7-10 hari, atau
 Amoksisilin 500 mg 4x sehari 7-10 hari, atau
 Azythromicin 500 mg/ hari selama 3 hari
Leptospirosis sedang/berat:
 Penisilin G 1,5 juta unit/6 jam (IV), atau
 Ampisilin 1 g/ 6 jam (IV) selama 7 hari, atau
 Ceftriakson 1 g/ hari (IV) selama 7 hari, atau
 Cefotaksim 1 g/ 6 jam (IV) selama 7 hari, atau
 Eritromisin 500mg/6 jam (IV) selama 7 hari
Profilaksis:
 Doksisiklin 200 mg/ minggu untuk orang orang yang terpapar dalam
jangka pendek
Pada kasus ini, yang dipilih adalah doksisiklin 100 mg, 2x sehari. Dipilih
doksisiklin karena merupakan antibiotik first line pada kasus leptospirosis ringan,
dan pada pasien ini masih termasuk kategori ringan.

A. Doksisiklin

Obat : antibiotik
Golongan : tetrasiklin
Nama obat : doksisiklin
Contoh dari golongan yang sama :
1. Klortetrasiklin
2. Oksitetrasiklin
3. Tetrasiklin
4. Demeklosiklin
5. Minosiklin

Obat Generik : Doxycycline / Doksisiklin


Obat Bermerek : Dohixat, Dotur, Doxacin, Doxicor, Dumoxin, Interdoxin,
Siclidon, Viadoxin, Vibramycin

25
Komposisi
Tiap kapsul Doxycycline mengandung doksisiklin hcl yang setara dengan
doksisiklin 100 mg.
Farmakodinamik
Doksisiklin adalah antibiotik golongan tetrasiklin. Doksisiklin bekerja
secara bakteriostatik dengan mencegah sintesa protein mikroorganisme pada
ribosomnya. Doksisiklin mempunyai spektrum kerja yang luas terhadap bakteri
gram positif dan gram negatif.
Farmakokinetik
Absorbsi
Absorbsi kira-kira 30-80% diserap lewat saluran cerna, baik diberikan 2
jam sebelum atau sesudah makan, karena potensi golongan tetrasiklin membentuk
kelat (komplek obat dengan zat lain yang sukar diserap misalnya kalsium,
magnesium, besi, almunium) yang terdapat dalam susu atau antasida.

Distribusi
Dalam plasma terikat dengan protein plasma dalam jumlah yang berfariasi.
Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insufisiensi ginjal, sehingga obat ini
aman diberikan pada pasien gagal ginjal. Pada CSS kadarnya hanya 10-20%,
golongan tetrasiklin dapat menembus sawar darah uri.
Metabolisme: metabolisme di hepar
Ekskresi
Ekskresi obat di ginjal
Indikasi
Indikasi Doksisiklin adalah :

 Infeksi saluran pernafasan


 Infeksi saluran pencernaan (temasuk infeksi bakteri vibrio kolera)
 Infeksi pada saluran kemih dan kelamin
 Infeksi jaringan lunak dan kulit, Infeksi telinga, hidung, dan
tenggorokan

26
Kontraindikasi
Doksisiklin jangan diberikan kepada penderita yang hipersensitif atau
alergi terhadap antibiotik doksisiklin atau tetrasiklin.
Dosis dan aturan pakai
Tanyakan kepada dokter anda mengenai dosis dan aturan pakai
Doksisiklin.
Dosis Doksisiklin yang umum diberikan :

 Dewasa dan anak lebih dari 8 tahun dengan berat badan 45 kg atau lebih :
Hari pertama 200 mg dibagi dalam 2 dosis setiap 12 jam dilanjutkan
dengan 100 mg/hari. Pengobatan harus dilanjutkan minimal 1-2 hari
setelah tanda-tanda dan gejala infeksi menghilang.
 Anak-anak kurang lebih dari 8 tahun dengan berat badan kurang dari 45 kg
: hari pertama 4,4 mg/kgBB/hari terbagi dua dosis setiap 12 jam,
selanjutnya 2,2 mg/kgBB 1 kali sehari atau dalam 2 dosis setiap 12 jam.
Untuk infeksi berat dapat diberikan 2,2 mg/kgBB setiap 12 jam.

Untuk infeksi streptokokus, lama terapi sedikitnya 10 hari. Untuk pasien


dengan kerusakan ginjal, tidak boleh melebihi dosis yang disarankan. Acute
gonococcal anterior urethritis pada laki-laki dosis tunggal 300 mg atau 100 mg 2
kali sehari selama 2 – 4 hari.
Efek samping
Efek samping Doksisiklin yang dapat terjadi :

 Beberapa pasien yang peka dapat mengalami fotosensitivitas, alergi


kulit pada waktu terkena sinar matahari.
 Reaksi hipersensitif / alergi seperti : ruam kulit dan gatal-gatal.
 Gangguan pencernaan seperti mual, muntah, dan diare.
 Dapat terjadi anemia hemolitik, trombositopenia.

Peringatan dan perhatian

 Doksisiklin jangan diberikan kepada wanita hamil dan menyusui, anak


kecil di bawah 8 tahun.

27
 Seperti pada penggunaan antibiotik lainnya, terjadinya pertumbuhan yang
berlebihan dari mikroorganisme yang resisten yang dapat menyebabkan
glositis, stomatitis, vaginitis, stafilokokal enteritis, sehingga pengobatan
harus segera dihentikan.

Interaksi obat

 Penisilin, sefalosporin dan aminoglikosida bersifat antagonis terhadap


doksisiklin.
 Kation polivalen (Ca, Mg, Al) mengurangi absorpsi dari doksisiklin
(membentu chelat), juga obat yang mengandung besi secara oral, sehingga
harus diberikan 2 jam sesudah atau sebelum pemberian doksisiklin.
 Fenitoin, fenobarbital dan karbamazepin dapat mempersingkat masa paruh
doksisiklin dalam plasma.

Kemasan
Doksisiklin Kapsul, dus, isi 10 strip @ 10 kapsul

4.4. Antipiretik, antiinflamasi, analgetik

Beberapa obat yang memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgetik


yang bisa digunakan adalah:

Paracetamol tablet 500 mg prn (1-4) x sehari, atau


Asam mefenamat tablet 500 mg prn (1-4) x sehari pc, atau
Ibuprofen tablet 400 mg prn (1-4) x sehari pc
Pada pasien ini, dipilih obat asam mefenamat karena memiliki efek
antiinflamasi dan analgetik yang cukup kuat, sedangkan antipiretiknya sedikit
lemah. Namun tetap dipilih karena jika bakteri penyebab sudah dapat dieradikasi
maka keluhan dengan sendirinya akan berkurang.

A. Asam Mefenamat

Obat Generik :

Mefenamic Acid / Asam Mefenamat

28
Obat Bermerek :

Analspec, Asimat, Benostan, Cetalmic, Corstanal, Datan, Dogesic, Dolos,


Dystan, Fargetix, Femisic, Fensik, Gitaramin, Hexalgesic, Lapistan, Licostan,
Mectan, Mefast, Mefinal, Mefinter, Mefix, Menin, Molasic, Nichostan, Opistan,
Ponalar, Poncofen, Pondex, Ponsamic, Ponstan, Ponstelax, Stanza, Topgesic,
Tropistan

KOMPOSISI / KANDUNGAN

Asam Mefenamat 250 mg : Tiap tablet mengandung Asam Mefenamat 250 mg.
Asam Mefenamat 500 mg : Tiap tablet mengandung Asam Mefenamat 500 mg.
FARMAKOLOGI

Cara Kerja Asam mefenamat adalah seperti OAINS (Obat Anti-Inflamasi


Non-Steroid atau NSAID) lain yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan
menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 & COX-2). Asam mefenamat
mempunyai efek antiinflamasi, analgetik (antinyeri) dan antipiretik.

INDIKASI / KEGUNAAN

Indikasi Asam Mefenamat adalah untuk menghilangkan nyeri akut dan


kronik, ringan sampai sedang sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi,
dismenore primer, termasuk nyeri karena trauma, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri
sehabis operasi, dan nyeri pada persalinan.

KONTRAINDIKASI

 Pada penderita tukak lambung, radang usus, gangguan ginjal, asma dan
hipersensitif terhadap asam mefenamat.
 Pemakaian secara hati-hati pada penderita penyakit ginjal atau hati dan
peradangan saluran cerna.
DOSIS DAN ATURAN PAKAI

 Dewasa dan anak di atas 14 tahun : Dosis awal yang dianjurkan 500 mg
kemudian dilanjutkan 250 mg tiap 6 jam.

29
 Dismenore : Asam Mefenamat 500 mg 3 kali sehari, diberikan pada saat
mulai menstruasi ataupun sakit dan dilanjutkan selama 2-3 hari.
 Menoragia : Asam Mefenamat 500 mg 3 kali sehari, diberikan pada saat
mulai menstruasi dan dilanjutkan selama 5 hari atau sampai perdarahan
berhenti.
EFEK SAMPING

 Gangguan saluran cerna, antara lain iritasi lambung, kolik usus, mual,
muntah dan diare, rasa mengantuk, pusing, sakit kepala, penglihatan
kabur, vertigo, dispepsia.
 Pada penggunaan terus-menerus dengan dosis 2000 mg atau lebih sehari,
asam mefenamat dapat mengakibatkan agranulositosis dan anemia
hemolitik.
INTERAKSI OBAT

 Obat yg terikat pada protein plasma : menggeser ikatan dengan protein


plasma, sehingga dapat meningkatkan efek samping (contoh : hidantoin,
sulfonylurea).
 Obat antikoagulan & antitrombosis : sedikit memperpanjang waktu
prothrombin & Waktu thromboplastin parsial. Jika Pasien menggunakan
antikoagulan (warfarin) atau zat thrombolitik (streptokinase), waktu
prothrombin harus dimonitor.
 Lithium : meningkatkan toksisitas Lithium dengan menurunkan eliminasi
lithium di ginjal.
 Obat lain yang juga memiliki efek samping pada lambung : kemungkinan
dapat meningkatkan efek samping terhadap lambung.
PERINGATAN DAN PERHATIAN

 Terhadap Kehamilan : Tidak direkomendasikan untuk digunakan oleh


wanita hamil. Terutama pada akhir masa kehamilan atau saat melahirkan
karena efeknya pada sistem kardiovaskular fetus (penutupan prematur
duktus arteriosus) & kontraksi uterus.

30
 Terhadap Ibu Menyusui : Didistribusikan melalui air susu ibu, sehingga
tidak direkomendasikan untuk digunakan oleh ibu yg sedang menyusui.
 Terhadap Anak-anak : Belum ada studi ttg keamanan & efikasi
penggunaan asam mefenamat pada pasien anak dibawah 14 tahun. Belum
ada studi tentang keamanan untuk anak
 Terhadap Hasil Laboratorium : Dapat menyebabkan reaksi false-positif
tes urin menggunakan tes tablet diazo.
KEMASAN

 Asam Mefenamat 250 mg, kotak, 10 strip x 10 tablet.


 Asam Mefenamat 500 mg, kotak, 10 strip x 10 tablet.

4.5. Cairan infus

Pada pasien ini diberikan cairan Ringer Asering sebagai pengobatan


suportif dan menaikan tekanan darah.

 Umunya kehilangan air dan elektrolit diganti dengan cairan isotonik


(misalnya: ringer laktat, ringer asetat atau normal salin)
Indikasi:
 Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi:
gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok
hemoragik, dehidrasi berat, trauma.
 Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:
- Na 130 mEq
- K 4 mEq
- Cl 109 mEq
- Ca 3 mEq
- Asetat (garam) 28 mEq
Keunggulan:
 Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien
yang mengalami gangguan hati.
 Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat
lebih baik dibanding RL pada neonatus.

31
 Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral
pada anestesi dengan isofluran.
 Mempunyai efek vasodilator
4.6. Penulisan Resep
M. Fathan Rasyid Al-Faruqi
SP/SIP 209.121.0003
Alamat : Jl.Tlogo Suryo no. 9 Malang
Jam praktek 18.00-21.00
Tlp: 085791297784

Malang, 10 Maret 2014

R/ Doksisiklin cap mg 100 No. XV

S 2 dd cap 1 pc

R/ Asam Mefenamat tab mg 500 No. XX

S prn (1-4) dd tab 1 pc

R/ Ringer Asering Inf 500 ml fl No. I


Cum infuse set No. I
Abocath no 22 No.I
S i mm

Pro : Tn. A BB: 57 kg

Usia :45 tahun Alamat : Ngantang

32
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Tn. A didiagnosis leptospirosis ringan. Tujuan terapi leptospirosis adalah


untuk mengeradikasi bakteri penyebab dengan kelas obat antibakteri/antibiotic,
dalam hal ini yang digunakan adalah doksisiklin 100 mg 2x sehari yang
merupakan first line untuk kasus leptospirosis ringan. Tujuan terapi selanjutnya
adalah untuk mengurangi gejala-gejala pada pasien, dipilih kelas obat antipiretik,
antiinflamasi, dan analgetik, dalam hal ini dipilih asam mefenamat 500 mg prn (1-
4)x sehari. Tujuan selanjutnya adalah sebagai terapi suportif dan menaikkan
tekanan darah, dipilih cairan infus Ringer Asering.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Zein, Umar. Leptospirosis. Dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III edisi
IV. Jakarta : pusat penerbitan Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2006. Hal
1823-5.
2. Anonim. Leptopsirosis, diunduh dari http://medicastore.com/penyakit/190/
Leptospirosis.html
3. Cunha, John P. Leptospirosis. http://www.medicinenet.com/leptospirosis/
page2.htm
4. Dugdale, David C. Leptospirosis. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/
ency/article/001376.htm

34

You might also like