You are on page 1of 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar ISPA

1. Definisi ISPA

Istilah ISPA yang merupakan singkatan dari infeksi saluran

pernafasan akut mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas

dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas. Istilah ini merupakan

padanan istilah inggris Acute respiratory di singkat ARI. Dalam

lokakarya nasional ISPA tersebut ada 2 pendapat yang pertama istilah

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), dan pendapat yang kedua

memilih ISNA (Infeksi Saluran Nafas Akut). Pada akhir lokakarya di

putuskan untuk memilih ISPA dan istilah ini juga di pakai hingga

sekarang (DepKes, 2002 dalam Aprianto, 2012).

ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernafasan

atas, yang benar ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran

Pernafasan Akut. ISPA meliputi saluran pernafasan bagian atas dan

saluran pernafasan bagian bawah (Aprianto, 2012).

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mengandung 3 (tiga) unsur

yaitu infeksi, saluran pernafasan, dan akut dengan pengertian sebagai

berikut :

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

7
8

b. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksenya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah,

dan pleura ISPA secara anatomis mencangkup saluran pernafasan

bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan

paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini

jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory track)

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Batas 14 hari di ambil untuk menunjukkan proses akut meskipun

untuk beberapa penyakit yang dapat di golongkan dalam ISPA proses

ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Aprianto, 2012).

2. Etiologi ISPA

Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit

yang komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi.

Kebanyakan infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus dan

mikroplasma. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis bakteri, virus,dan

jamur. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Strepto-kokus Hemolitikus,

Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordella Pertusis, dan

Korinebakterium Diffteria (Achmadi dkk, 2004 dalam Aprianto 2012).

Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan menempel pada

saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya

bakteri tersebut menyerang anak-anak yang kekebalan tubuhnya lemah

misalnya saat perubahan musim panas ke musim hujan.

Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan

miksovirus (termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa,


9

dan virus campak), dan adenovirus. Virus para-influensa merupakan

penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit

demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab

terbesar terjadinya terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya

epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influenza

merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas

bagian atas daripada saluran nafas bagian bawah (DepKes RI, 2007).

3. Klasifikasi ISPA

a. Infeksi saluran pernapasan akut atas

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti

pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga tengah), dan

faringitis (infeksi pada tenggorokan).

b. Infeksi saluran pernapasan akut bawah

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring

sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai organ saluran napas, seperti

epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, dan

pneumonia.

1) Epiglotitis

Merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglotis dan

struktur supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan napas akut dan

menyebabkan kematian jika tidak diobati. Epiglotitis hampir

selalu disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe B. Penyebab

lain adalah S. Aureus, S. Pneumonia, C. Albican, virus dan trauma.

Secara klasik penyakit ini ditandai dengan demam tinggi


10

mendadak dan berat, nyeri tenggorokan, sesak napas, dan diikuti

dengan gejala obstruksi saluran respiratori yang progresif.

Diagnosis epiglotitis ditegakkan atas dasar ditemukannya epiglotis

yang besar, bengkak, dan berwarna merah ceri, dengan

pemeriksaan langsung atau laringoskopi.

2) CROUP (Laringotrakeobronkhitis akut)

Sindrom CROUP atau laringotrakeobronkhitis akut adalah

sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk

menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres

pernapasan. Istilah lain untuk CROUP ini adalah laringitis akut

yang menunjukan lokasi inflamasi, yang jika meluas sampai

trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai bronkus digunakan

istilah laringotrakeobronkhistis.

Virus penyebab tersering sindrom CROUP (sekitar 60%

kasus) adalah Human Parainfluenza virus tipe 1 (HP1V), HPIV-2,

3, 4, virus influenza A dan B, adenovirus, Respiratory Syncytial

virus (RSV), dan virus campak. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

gejala klinis yang timbul. Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara

serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuwensi napas

yang sedikit meningkat.

3) Bronkitis

Bronkhitis adalah proses inflamasi selintas yang mengenai

trakea, bronkus utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai

batuk, serta biasanya akan membaik tanpa terapi dalam dua


11

minggu. Bronkitis pada anak mungkin tidak dijumpai sebagai

wujud klinis tersendiri dan merupakan akibat dari beberapa

keadaan pada saluran respiratory atas dan bawah yang lain.

Sebagian besar bronkitis disebabkan oleh virus antara lain

Rhinovirus, RSV, virus influenza, virus parainfluenza,

adenovirus, virus rubela, dan paramyxovirus.

4) Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah penyakit IRA-bawah yang ditandai

dengan adanya dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.

Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Gejala awal

berupa infeksi respiratori-atas akibat virus seperti pilek ringan,

batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk

yang disertai dengan sesak napas, selanjutnya dapat ditemukan

wheezing, sianosis, merintih (grunting), nafas berbunyi, muntah

setelah batuk, rewel, dan penurunan napsu makan. Diagnosis

dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.

5) Pneumonia

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru.

Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau

bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi,

radiasi). Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi

tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas

cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau minum,


12

takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada

balita atau anak yang lebih besar, keluhan meliputi demam,

menggigil batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang

keluhan gastroinstetinal seperti muntah dan diare. Secara klinis,

ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi, subkosta,

napas cuping hidung, ronki, dan sianosis.

4. Tanda dan Gejala ISPA

Sebagian besar balita dengan infeksi saluran pernafasan bagian

atas memberikan gejala yang amat penting yaitu batuk. Infeksi saluran

nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas

yang cepat dan retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi

mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah. Selain batuk

gejala ISPA pada balita juga dapat dikenali yaitu flu, demam dan suhu

tubuh anak meningkat lebih dari 38,5oC dan disertai sesak nafas.

Dalam DepKes R.I (2007) menurut derajat keparahannya, ISPA dapat

dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

a. ISPA Ringan Bukan Pneumonia

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan

gejala sebagai berikut :

1) Batuk.

2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

(misalnya pada waktu berbicara atau menangis).

3) Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau hingus dari hidung.


13

4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37oC atau jika dahi anak

diraba dengan punggung tangan terasa panas.

b. ISPA Sedang, Pneumonia

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika di jumpai gejala

ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :

1) Pernafasan lebih dari 50 kali/menit pada umur kurang dari satu

tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau

lebih.

2) lebih dari 39oC.

3) Tenggorokan berwarna merah.

4) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak.

5) Telinga sakit akan mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

6) Pernafasan berbunyi seperti berdengkur

7) Pernafasan berbunyi seperti menciut-ciut.

c. ISPA Berat, Pneumonia Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA

ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut :

1) Bibir atau kulit membiru.

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada

waktu bernafas.

3) Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun.

4) Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah.

5) Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah.

6) Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas.


14

7) Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba.

8) Tenggorokan berwarna merah.

Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya di kenal ISPA berat dan

ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi kurang

dari dua bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat (60 kali per menit

atau lebih) atau adanya tarikan dinding yang kuat.

Pada dasarnya ISPA ringan tidak berkembang menjadi ISPA sedang atau

ISPA berat tapi jika keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang

mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien yang kurang dapat

kemungkinan akan terjadi. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah

diketahui oleh orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat

memerlukan beberapa pengamatan sederhana.

5. Faktor-Faktor Terjadinya ISPA Pada Balita

Menurut DepKes (2007) faktor resiko yang meningkatkan insiden ISPA

yaitu :

a. Umur

b. Laki-laki

c. Gizi kurang

d. Berat badan lahir rendah

e. Tidak mendapat ASI memadai

f. Polusi udara

g. Kepadatan tempat tinggal

h. Imunisasi yang tidak memadai

i. Defisiensi vitamin A
15

6. Faktor Resiko yang Meningkatkan Angka Kematian ISPA

a. Umur

b. Tingkat sosial ekonomi rendah

c. Gizi kurang

d. Berat badan lahir rendah

e. Tingkat pendidikan ibu yang rendah

f. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah

g. Kepadatan tempat tinggal

h. Imunisasi yang tidak memadai

i. Menderita penyakit kronis

( DepKes, 2007 )

Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor

lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

1) Faktor Lingkungan

a) Pencemaran Udara Dalam Rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk

memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme

pertahan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini

dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan

dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang

tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan

karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-

sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.


16

Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA

dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis,

pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi,

dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10

tahun.

b) Berat Badan Lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan

perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan

berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang

lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal,

terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan

zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena

penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan

lainnya.

Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500

gram di-hubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi

saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan

adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data

ini mengingatkan bahwa anak-anak dengan riwayat berat badan

lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit

saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya.

c) Status Gizi

Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap

pertumbuhan dan perkem-bangan anak dipengaruhi oleh: umur,


17

keadaan fisik, kondisi kesehatan-nya, kesehatan fisiologis

pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitas dari si anak itu

sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain

berdasarkan antopometri : berat badan lahir, panjang badan, tinggi

badan, lingkar lengan atas. Keadaan gizi yang buruk muncul

sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA.

Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya

hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak

yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu

adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan

infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak

terhadap infeksi. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah

terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena

faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan

menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita

lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih

lama.

d) Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat

akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai

komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari

jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka


18

peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya

pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang

meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap.

Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap

bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya

tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif

saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis

(DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11%

kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi

pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah.

Cara pencegahan menurut (Roesin, 2002 dalam Arianto

2012) perlu dilakukan dengan cara:

(1) Menghindarkan anak dari kuman

(a) Menghindarkan anak berdekatan dengan penderita ISPA,

karena kuman penyebab ISPA sangat mudah menular dari

satu orang ke orang lain.

(b) Jika seorang ibu menderita ISPA sedangkan ia butuh

mengasuh anak atau menyusui bayinya, ibu tersebut harus

menutup hidung dan mulutnya dengan sapu tangan.

(2) Meningkatkan daya tahan tubuh anak dapat dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

(a) Menjaga gizi anak tetap baik dengan memberikan makanan

yang cukup bergizi ( cukup protein, kalori, lemak, vitamin


19

dan mineral). Bayi-bayi sedapat mungkin mendapat air

susu ibu sampai 2 tahun.

(b) Kebersihan anak harus dijaga agar tidak mudah terserang

penyakit menular.

(c) Memberikan kekebalan kepada anak dengan memberikan

imunisasi.

(3) Memperbaiki lingkungan

Untuk mencegah ISPA, lingkungan harus diperbaiki

khususnya lingkungan perumahan.

(a) Rumah harus berjendela agar aliran dan pertukaran udara

cukup baik.

(b) Asap dapur dan asap rokok tidak boleh berkumpul dalam

rumah. Orang dewasa tidak boleh merokok dekat anak

atau bayi.

(c) Rumah harus kering tidak boleh lembab.

(d) Sinar matahari pagi harus diusahakan agar masuk

kerumah.

(e) Rumah tidak boleh terlalu padat dengan penghuni.

(f) Kebersihan didalam dan diluar rumah harus dijaga, rumah

harus mempunyai jamban yang sehat, dan sumber air

bersih.
20

B. Konsep Dasar Balita

1. Pengertian Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu

tahun atau lebih populer dengan pengertian usia anak dibawah 5 (Muaris,

2006).

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas 1 tahun

atau lebih populer dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun. Masa

balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak secara fisik.

Pada usia tersebut, pertumbuhan seorang anak sangatlah pesat sehingga

memerlukan gizi yang sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi kecukupan

gizi tersebut sangatlah berpengaruh dengan kondisi kesehatannya secara

berkesinambungan pada masa mendatang. Masa balita adalah masa

keemasan. Masa ini merupakan waktu ideal untuk mempelajari

keterampilan dasar, membentuk kebiasaan-kebiasaan, serta memperoleh

konsep dasar yang mempengaruhi pada tingkat kecerdasan. (Supariasa,

2002 dalam Fitriani, 2010).

Menurut Sutomo & Anggraini (2010), Balita adalah istilah umum

bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). saat usia

batita, anak masih tergantung penuh kepada untuk melakukan kegiatan

penting, seperti mandi buang air dan makan.

Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik.

Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode

penting dalam proses tumbuh kembang manusia. perkembangan dan

pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan


21

perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia

ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah

terulang, karena itu sering di sebut Golden age atau masa keemasan.

2. ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

pada tahun 2007, prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 25,5% dengan

prevalensi tertinggi terjadi pada bayi dua tahun (>35%). Jumlah balita

dengan ISPA di Indonesia pada tahun 2011 adalah lima diantara 1000

balita yang berarti sebanyak 150.000 bayi/balita meninggal tiap tahun atau

12.500 korban perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak perjam atau

seorang bayi/balita tiap lima menit (Depkes, 2003 KemenKes, 2012).

World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens ISPA

di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000

kelahiran hidup adalah 13 juta anak 15%-20% pertahun pada golongan

usia balita. Menurut WHO balita di dunia meninggal setiap tahun dan

sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana

pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan

membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (DepKes, 2006 dalam Gultom

Ria U.P, 2013).


22

C. Gambaran Karakteristik Balita Penderita Infeksi Saluran Pernapasan

Akut

1. Resiko Usia

Usia merupakan satuan hitung menggunakan tahun untuk

menentukan lama hidup, dihitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir

saat dilakukan wawancara atau pencatatan. Faktor usia ada hubungannya

dengan resiko dan imunitas yang terjadi pada setiap kelompok umur

misalnya semakin tua imunitasnya semakin menurun. (Gunawan, 2015)

Menurut pendapat peneliti, kemungkinan hal ini terjadi karena anak usia

lebih 2 tahun sampai 5 tahun sudah banyak terpapar oleh lingkungan luar

dan kontak dengan penderita ISPA lainnya, sehingga memudahkan anak

untuk menderita ISPA. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang di

lakukan Suwanjutha (1994) dalam Sunyoto 2004 tentang “Karakterisitik

Faktor Resiko ISPA Pada Anak Usia Balita di Puskesmas Pembantu

Krakitan, Bayat, Klaten” bahwa usia lebih 2 tahun sampai 5 tahun

mempunyai resiko menderita ISPA lebih besar di banding anak usia 2

bulan sampai kurang 1 tahun.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan

laki-laki secara biologis sejak seorang lahir (Hungu, 2007 dalam

Gunawan, 2015). Jenis kelamin ada hubungannya dengan teori genetik

yang menyebutkan gen laki-laki dan perempuan yang dapat

menyebabkan respon terhadap penyakit. Anak laki-laki lebih suka

bermain di tempat yang kotor, berdebu, dan banyak bermain di luar


23

rumah, sehingga kontak dengan penderita ISPA lain yang memudahkan

penularan dan anak terkena ISPA. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

di lakukan Dharmage (1996) dalam Sunyoto 2004 tentang “Karakterisitik

Faktor Resiko ISPA Pada Anak Usia Balita di Puskesmas Pembantu

Krakitan, Bayat, Klaten”, bahwa kejadian ISPA lebih sering didapatkan

pada anak laki-laki di banding anak perempuan.Anak laki-laki lebih

rentan terhadap ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.

3. Diagnosa

Penentuan jenis penyakit berdasarkan tanda dan gejala dengan

menggunakan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (Gunawan,

2015).

D. Kerangka Konsep

ISPA (Infeksi Saluran 1. Resiko Usia


Pernapasan Akut) pada 2. Jenis kelamin
balita
3. Diagnosa

Gambar 2.1 Variabel Penelitian


24

E. Definisi Operasional

Tabel 2.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Skala


Operasional
1 Resiko usia Lama hidup Format 1. Usia 2 bulan - Ordinal
reponden dalam Isian < 1 tahun
hitungan tahun Penelitian 2. Usia 1 – 2
sampai dengan tahun
ulang tahun 3. Usia 2– 5
terakhir saat tahun
kunjungan ke
puskesmas/penca
tatan data
2 Jenis Jenis kelamin Format 1. Laki-laki Nominal
kelamin adalah yang Isian 2. Perempuan
membedakan Penelitian
seks balita laki-
laki dan
perempuan
penderita ISPA
4 Diagnosa Penentuan jenis Format 1. ISPA bukan Nominal
penyakit oleh Isian Pneumonia
Puskesmas Penelitian 2. ISPA dengan
Menteng Pneumonia
berdasarkan
tanda dan gejala
dengan
menggunakan
pemeriksaan
fisik dan
pemeriksaan
laboratorium

You might also like