You are on page 1of 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKAN

A. Kerangka Teori

1. Konsep Lotion

Lotion dapat juga didefinisikan sebagai suatu sediaan dengan

medium air yang digunakan pada kulit tanpa digosokkan. Biasanya

mengandung substansi tidak larut yangtersuspensi, dapat pula berupa

larutan dan emulsi di mana mediumnya berupa air. Biasanya ditambah

gliserin untuk mencegah efek pengeringan, sebaliknya diberi alkohol untuk

cepatkering pada waktu dipakai dan memberi efek penyejuknya (Anief,

2013).

Lotion dimaksudkan untuk pemakaian luar kulit sebagai pelindung.

Konsistensi yang berbentuk cair memungkinkan pemakaian yang cepat dan

merata pada permukaan kulit, sehingga mudah menyebar dan dapat segera

kering setelah pengolesan serta meninggalkan lapisan tipis pada

permukaan kulit (Lachman et al, 2014).

2. Konsep Integritas Kulit

Dalam konsep dasar kulit ini termasuk di dalamnya kerusakan

integritas kulit. Kerusakan integritas kulit adalah kondisi dimana individu


mengalami atau beresiko mengalami perubahan atau gangguan epidermis

dan atau dermis pada lapisan kulit (NANDA. 2012).

Kerusakan integritas kulit adalah keadaan dimana seorang individu

mengalami atau beresiko terhadap kerusakan jaringan epidermis dan

dermis (Carpenito, 2000; 302).

Batasan karakteristik mayor harus terdapat gangguan jaringan

epidermis dan dermis. Batasan minor mungkin terdapat pemasukan kulit,

eritema, lesi (Primer, skunder) pruritus (Carpenito, 2000;302).

3. Konsep Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau

serigala, sedangkan eritematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-

merahan. Istilah lupus eritematosus pernah digunakan pada zaman yunani

kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan disekitar pipi yang

disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Sistemik lupus eritematosus (SLE)

merupakan gangguan multi sistem autoimun kronis yang berhubungan

dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai manifestasi klinis

(Krishanamurthi,2011)
Lupus Eritematosus sistemik atau SLE adalah penyakit auto imun

yang kompleks ditandai oleh adanya auto antibodi terhadap inti sel dan

melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh (Suarjana,2014).

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit

autoimun pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun

menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini, sistem imun terutama

menyerang inti sel (Matt, 2003).

Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit sistemik

yang ditandai dengan peradangan kronik; manifestasi klinisnya sangat

beragam. Awitannya lazim antara usia 15 dan 40 tahun dan perbandingan

wanita terhadap pria adalah 8:1. Faktor genetik, lingkungan dan hormon

berperan dalam etiologinya. Prevalensinya adalah 2,9-4 per 100 .000;SLE

lebih lazim terjadi pada orang kulit hitam dan sebagaian populasi asia.

(Mark A. Graber, 2006).

4. Etiologi Systemic Lupus Eritematosus

Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui. Ada sedikit

keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang

berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam

plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus


eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun,

meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.

Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya

penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini

belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya

penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam

timbulnya penyakit SLE:

a. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal

sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan

genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan

pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita

SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah

58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan

penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa

kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major

Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human

Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain

itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah


satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak

90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita

SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari

struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita

SLE.

Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di

Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab

genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan

melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi

penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti.

Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang

disebut interferon-alpha.

b. Faktor Imunologi

Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur

sistem imun, yaitu :

1) Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen

Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada

penderita lupus, beberapa reseptor yang bera]\da di permukaan sel T

mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga


pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan

reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali

perintah dari sel T.

2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T

dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang

memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon

autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis

sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi

menjadi tidak normal.

3) Kelainan antibodi

Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada

SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali

sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi

autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi

autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.

Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus

dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa

metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai

faktor resiko terjadinya SLE.

d. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen

yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor

lingkungan tersebut terdiri dari:

1) Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan

dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein

Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.

2) Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,

sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat

kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit

mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di

tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.

3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang

sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan

respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan

stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang

yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.

4) Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu

tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus

(DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya

kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

(Musai : 2014)

5. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada

keadaan awal tidk dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena

manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara

bersamaan. Seseorang dapat secara beberapa lama hanya mengeluhkan

nyeri sendi yang berpindah- pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian

diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya

yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES (Sudoyo, 2006).


Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai

pada 90% kasus LES, walaupun arthritis sebagai manifestasi awal hanya

dijumpai pada 55% kasus.

a. Gejala Konstitusional

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada pasien

LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.

Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat

menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia, meningkatnya beban

kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.

Kelelahan ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States

(POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh

aktivitas penyakit LES ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain,

yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini

memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan (Sudoyo,

2006).

1) Penurunan berat badan

Keluhan ini dijumpai pada sebagian pasien LES dan terjadi

dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan


berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan

atau disebabkan oleh gejala gastrointestinal (Sudoyo, 2006).

2) Demam

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit

dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat

lebih dari 40 C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis.

Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil (Sudoyo, 2006).

3) Lain- lain

Gejala- gejala lain yang sering dijumpai pada pasien LES

dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakitnya

seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembearan kelenjar

getah bening, bengkak, sakit kepala, mual, dan muntah (Sudoyo,

2006).

b. Manifestasi Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang

paling sering dijumpai pada pasien LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat

berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu
arthritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali

dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena keterlibatan

sendi yang banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan dengan

arthritis rheumatoid dimana pada umumnya LES tidak menyebabkan

kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan

sebagainya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan

adanya koinsidensi penyakit autoimun lain seperti arthritis rheumatoid,

polimyositis, sklkeroderma atau manifestasi klinis penyakit- penyakit

tersebut merupakan bagian gejala klinis LES (Sudoyo, 2006).

c. Manifestasi Kulit

Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang telah lama

dikenal oleh para ahli. Sejak era Rogerius, Paracelsus, Hebra sebelum

abad ke-19 manifestasi kulit seperti seborea kongestifa, herpes

esthimones dan sebagainya telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit

pada LES. Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian LES dapat

berupa reaksi fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneous

lupus erythematosus (SCLE), lupus profundus/ paniculitis, alopecia, lesi

vascular berupa eritema periungual, levido reticularis, teleangiectasia,

fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol

berwarna putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada
palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema, atau depigmentasi

pada bibir (Sudoyo, 2006).

d. Manifestasi Paru

Berbagai manifestasi klinis pada paru- paru dapat terjadi baik

berupa radang intersisial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru,

hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome

(Sudoyo, 2006).

Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut

menjadi kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia

bacterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan tindakan invasive

seperti bilas bronkoalveolar. Biasanya pasien akan merasa sesak, batuk

kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat

deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik

disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons

yang baik dengan pemberian steroid (Sudoyo, 2006).

Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan

bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan

penanganan yang tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid


namun tindakan pengobatan lain seperti plasmaferesis atau pemberian

sitostatika (Sudoyo, 2006).

e. Manifestasi Kardiologis

Baik perikardium, miokardium, endokardium, ataupun pembuluh

darah coroner dapat terlibat pada pasien LES, walaupun yang paling

banyak terkena adalah pericardium (Sudoyo, 2006).

Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri

substrelnal, friction rub, gambaran silhouette sign foto dada, ataupun

melalui gambaran EKG, Ekokardiografi. Apabila dijumpai adanya aritmia

atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang tidak

jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu

dibuktikan lebih lanjut (Sudoyo, 2006).

Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada pasien LES

dan bermanifestasi sebagai angina pektoris, infark miokard atau gagal

jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada pasien

LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta

penggunaan steroid jangka panjang (Sudoyo, 2006).


Valvilitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan

komplikasi lain yang juga sering dijumpai pada pasien LES. Vegetasi

pada katup jantung merupakan akumulasi dari kompleks imun, sel

mononuklear, jaringan nekrosis, jaringan parut, hematoxylin bodies,

fibrin dan thrombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai adalah

bising jantung sistolik dan diastolic (Sudoyo, 2006).

f. Manifestasi Renal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% pasien yang sebagian

besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan

kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidens antara usia 20- 30

tahun (Sudoyo, 2006).

Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak

sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan

terhadap protein urin > 500 mg/24 jam atau positif-3 secara semi

kuantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau

gabungan serta piuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta

peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan

ginjal pada pasien LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal akan diperoleh

data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini. WHO
membagi klasifikasi keterlibatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6

kelas (Sudoyo, 2006).

Terdapat kaitan antara gambaran klinis, laboratories, dan

klasifikasi patologi. Namun demikian, adanya proteinuria piuria, serta

buruknya bersihan kreatinin dapat diakibatkan sebab lain seperti infeksi,

glomerulonefritis, dan efek toksik obat pada ginjal (Sudoyo, 2006).

g. Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada pasien LES,

karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada

penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan (Sudoyo, 2006).

Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus,

mesenteric vasculitis, inflammatory bowel disease (IBS), pancreatitis

dan penyakit hati (Sudoyo, 2006).

Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat

pasien dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodic, walaupun tidak

dapat dibuktikan adanya kelainan pada esophagus tersebut, kecuali

gangguan motilitas (Sudoyo, 2006).


Keluhan dispepsia yang dijumpai pada kurang lebih 50% pasien

LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid.

Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan pemakaian obat ini

(Sudoyo, 2006).

Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada

peritoneum, yang dibuktikan dengan pemeriksaan autopsy (Sudoyo,

2006).

Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan causa idiopatik

karena gambaran klinis yang tidak banyak berbeda (Sudoyo, 2006).

Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenteric perlu mendapat

perhatian yang besar karena walaupun jarang dapat mengakibatkan

perforasi usus halus atau colon yang berakibat fatal. Keluhan ditandai

dengan nyeri di daerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam

periode beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya vaskulitis ini

dilakukan dengan arteriografi (Sudoyo, 2006).

Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% pasien LES. Keluhan

ditandai dengan adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan

muntah serta peningkatan serum amylase. Sampai saat ini

penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena LES itu


sendiri atau akibat pengobatan seperti steroid, azatioprin yang diketahui

dapat menyebabkan pankreatitis. Namun demikian dijumpai pula

pankreatitis pada pasien yang tidak mendapatkan steroid (Sudoyo,

2006).

Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak

dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/ SGPT

ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini berkaitan dengan aktifitas

penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat.

Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita

muda dengan poliartritis dan mendapatkan salisilat didapatkan

peningkatan serum SGOT/ SGPT. Transaminase ini akan kembali

normal apabila aktifitas LES dapat dikontrol dan antiinflamasi dihentikan.

Belum jelas hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi merupakan

bagian dari LES, atau merupakan lupoid hepatitis (autoimmune chronic

active hepatitis) dan tidak dijumpai bukti adanya kaitan dengan infeksi

virus hepatitis B (HBV) (Sudoyo, 2006).

h. Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena

gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai


manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak

berdasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan

lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat (Sudoyo, 2006).

Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak

membantu proses penegakkan diagnosis ini. Dapat dijumpai kelainan

EEG namun tidak spesifik, pada cairan serebrospinal dapat ditemukan

kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA atau IgM,

peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein atau penurunan

kadar glukosa (Sudoyo, 2006).

Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai

epilepsi, hemiparesis, lesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis

aseptik atau mielitis transversal. Sedangkan pada susunan syaraf tepi

akan bermanifestasi sebagai neuropati perifer, miastenia gravis, atau

monoteuritis multipleks. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental

dapat bersifat organik atau non organic (Sudoyo, 2006).

i. Manifestasi Hemik- Limfatik


Limfadenopti baik menyeluruh ataupun terlokalisis sering

dijumpai pada pasien LES ini. Kelenjar getah bening yang paling sering

terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik tidak nyeri

tekan, lunak, dan ukuran bervariasi antara 3-4 cm (Sudoyo, 2006).

Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada pasien LES

adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati

(Sudoyo, 2006).

Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis berkaitan dengan

adanya lupus antikoagulan. Bahkan pernah dilaporkan adanya rupture

arteri lienalis walaupun tidak dijumpai bukti vaskulitis (Sudoyo, 2006).

Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan

penyakit LES ini. Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai

proses imun dan non imun. Pada anemia yang bukan diperantarai

proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik,

defisiensi besi, sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk

anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai

pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik otoimun seperti

anemia pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome (Sudoyo, 2006).

B. Kerangka Konsep
Variabel Independet Variabel Dependen

Pemberian Lotion :
Kerusakan Integritas Kulit

Faktor yang
mempengaruhi: Penyebab Lupus :

1. Jenis kelamin a. Faktor Genetik


2. Umur b. Faktor Imunologi
3. Pendidikan c. Faktor Hormonal
4. Pekerjaan d. Faktor Lingkungan

Keterangan : = Diteliti

= tidak diteliti

Gambar 1 : Kerangka konsep pengaruh pemberian lotion terhadap

kerusakan integritas kulit pada pasien lupus di RSUD Kota

Mataram
Sumber : modifikasi teori dari Manurang (2016), Nasir (2010), Nasir dan

Muhith (2011), Trismiati (2006)

You might also like