You are on page 1of 8

PAPER

ILMU BEDAH KHUSUS

ENTERECTOMY

OLEH :

MARIA.V.D.E PARERA

1509010035

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2018
I. Definisi
Enterektomi atau disebut juga reseksi usus halus merupakan suatu
tindakan operasi dengan cara memotong sebagian usus yang rusak untuk
dibuang, dan kemudian dilakukan penyambungan kembali terhadap usus
yang masih sehat. Indikasi reseksi usus halus ialah jika terjadi gangguan
sirkulasi pada sebagian dinding usus, sehingga mengakibatkan kerusakan
yang tidak dapat sembuh kembali. Reseksi usus halus pada anjing sering
dilaksanakan pada kasus-kasus obstruksi usus halus oleh benda asing
atau tinja yang mengeras (Larsen and Bellenger, 1974; Grier, 1975). Pada
peristiwa di atas usus halus dibuang relatif pendek. Reseksi usus halus
yang panjang dilakukan pada kejadiaan traumatik yang ekstensif pada
usus halus, strangulasi, neoplasma dan sebagainya.

Gambar 1. Untuk reseksi usus halus dan anastomosis, tempatkan forceps


secara melintang melintasi usus bagian proksimal melebar dan secara
miring melintasi usus bagian distal. Ligasi pembuluh darah seperti yang
ditunjukkan. A, Singkirkan lumen usus normal, lalu transeksi usus dan
mesentery di mana garis putus-putus menunjukkan. B, Tempatkan jahitan
pertama di mesenterika perbatasan dan yang kedua di perbatasan
antimesenter. C, Tempat tambahan sederhana disela jahitan untuk
menyelesaikan anastomosis. Aplikasikan mesenterium dengan pola
kontinu sederhana (fossum,2013).
Dalam penyambungan kembali usus/ anastomosis dikenal dengan
tiga metode yaitu pertama metode penyambungan usus yang biasa
digunakan adalah metode end to end. Kelebihannya adalah mudah
mengerjakannya, waktu relatif singkat serta resiko stenosis dan terjadinya
kebuntuan usus lebih sedikit. Sedangkan kekurangannya adalah adanya
kontaminasi selama operasi dan resiko kebocoran selama pembedahan.
Kedua, metode side to side merupakan alternatif yang digunakan ketika
ada perbedaan ukuran antara dua segmen usus. Metode side to side
membutuhkan waktu yang relatif lama dibanding metode end to end.
Ketiga, metode end to side yaitu metode penyambungan usus berupa satu
segmen horizontal yang terbuka ke dinding lateral segmen yang lain
(Archibald, 1974).

II. Indikasi
Peristiwa obstruksi, kompresi dan sebagainya dapat menyebabkan
kerusakan usus halus yang berupa gangren, dan bahkan dapat terjadi
perforasi (Annis and Allen, 1974). Kerusakan tersebut dapat bersifat
irreversible sehingga untuk mengatasinya perlu dilakukan reseksi usus
halus/enterektomi. Enterektomi adalah tindakan operatif memotong usus
yang rusak akibat intususepsi, volvulus, strangulasi, tumor atau tersumbat
oleh benda asing (Dhirgo, 2012). Jadi, indikasi enterektomi adalah
menghilangkan jaringan tumor pada usus, mengambil dan
menghilangkan benda asing, intususepsi atau volvulus pada usus dan
strangulasi yang sudah mengakibatkan nekrosis jaringan. Pelaksanaan
enterektomi sendiri merupakan suatu keputusan yang berat bagi seorang
dokter karena memiliki resiko kematian yang sama antara tidak
dilaksanakan operasi atau melakukan operasi dengan metoda yang tidak
benar (Dhirgo, 2012).
Enterektomi yang ekstensif akan mengakibatkan hilangnya
sebagian besar lapisan endotel di mukosa usus yang berfungsi untuk
aktifitas digesti, absorbsi, dan sekresi. Enterektomi yang ekstensif juga
dapat menyebabkan gangguan absorbsi nutrien, elektrolit dan vitamin
sehingga terjadi sindrom malabsorbsi yang dikenal dengan Short Bowel
Syndrome (Shrock, 1983). vitamin larut lemak, asam folat dan B12
(Stollman dan Neustater, 1999). Oleh karena itu, enterektomi merupakan
keputusan yang sangat berat bagi seorang dokter.

III. Teknik Operasi


A. Pre Operasi
Sebelum operasi dilakukan anjing lokal dipuasakan selama 12-18
jam, ditimbang berat badannya (BB: 4-5 kg), kemudian diinjeksi
atropin sulfat (Ethica, Indonesia) dosis 0,04mg/kg berat badan secara
subkutan, xylazine (Laboratorios Calier S.A. Barcelona, Spanyol)
dosis 0,2 mg/kg berat badan secara intramuskuler, 5 menit kemudian
dilakukan anestesi umum dengan ketamine hidrokloride (PT.
Millenium Pharmacon Jakarta, Indonesia) dosis 20 mg/kg berat badan
secara intramuskuler (Boedi, 2010). Operasi dilaksanakan dengan
menggunakan anestetikum Ketamin (15 mg/kg BB) dikombinasikan
dengan silazin (2 mg/kg BB) aplikasi intramuskuler (Dhirgo 2012).
B. Operasi
Hewan diletakkan pada posisi ventrodorsal, dinding abdomen yang
sudah dicukur sebelumnya dibersihkan dan diberi antiseptik serta
dipasang kain penutup operasi. Insisi dilakukan pada garis tengah
(linea alba) bagian kaudal dengan panjang 10cm yang diperkirakan
cukup untuk mengeluarkan usus halus. Panjang usus halus mulai dari
daerah ostium ileokolika ke arah kranial sampai di daerah pilorus
diukur dengan benang. Dengan benang tersebut kemudian ditentukan
batas-batas usus yang akan dipotong. Pemotongan usus sebesar 75%
dari keseluruhan usus halus dilakukan pada bagian mid jejunoileal
menyisakan 12,5% jejenum proksimal dan duodenum, serta 12,5%
ileum bagian distal (Boedi, 2010).
Pembuluh darah yang mensuplai usus yang akan dipotong diligasi
rangkap pada perbatasan antara mesenterium dengan usus.
Selanjutnya dengan dua jari isi usus disisihkan ke arah usus yang
tidak dipotong. Pada batas-batas usus yang akan dipotong masing-
masing dijepit dengan dua hemostatik forcep yang ujung-ujungnya
dilapisi dengan karet, membentuk sudut kira-kira 300 terhadap sisi
antimesenterika bagian yang akan dipotong. Setelah dilakukan
pemotongan di antara ligasi rangkap pada pembuluh darah,
dilanjutkan pemotongan usus di antara dua hemostatik forcep yang
ditempatkan pada bagian proksimal maupun distal usus halus (Boedi,
2010).
Anastomosis usus dilakukan dengan aposisi ujung ke ujung (end to
end) dengan pola jahitan sederhana terputus menggunakan benang
catgut kromik 3-0 (One Med, Indonesia) dengan jarum lengkung
diameter bulat. Penempatan setiap simpul jahitan berjarak kira-kira 3
mm. Bagian mesenterika yang terpotong dipertautkan kembali
dengan benang catgut kromik 3-0 pola jahitan sederhana terputus
(Boedi, 2010).
Selama prosedur operasi berlangsung, secara periodik usus
dibasahi dengan larutan NaCl fisiologi steril guna mencegah
kekeringan usus. Untuk pengujian terhadap kemungkinan kebocoran
pada tempat anastomosis, di bagian kranial dan kaudal (3cm dari
tempat anastomosis) dibendung dengan jari selanjutnya 10 ml larutan
NaCl fisiologi steril diinjeksikan kedalamnya. Apabila terdapat
kebocoran maka terlihat rembesan cairan pada tempat anastomosis
(Boedi, 2010).
Setelah diyakini tidak ada kebuntuan dan kebocoran, usus halus
kemudian dikembalikan kedalam rongga abdomen. Dinding abdomen
dijahit dengan catgut kromik 2-0 pola jahitan sederhana terputus.
Jaringan subkutan dijahit dengan catgut kromik 2-0 pola jahitan
sederhana menerus. Kulit dijahit dengan benang silk 2-0 (One Med,
Indonesia) dengan pola jahitan sederhana terputus. Irisan kulit yang
telah dijahit diolesi dengan antiseptik iodium tinktur 3%. Selama
prosedur operasi berlangsung, anjing diinfus dengan larutan ringer’s
dekstrosa 5% (Otsuka, Indonesia) sebanyak 40 ml/kg berat badan
(Boedi, 2010).

Gambar jejenum terpotong menjadi dua bagian (Sumber : Dhirgo


2012).

Gambar jejenum yang disambung kembali dengan metode end to end


anastomosis dengan jahitan sempurna model interrupted
menggunakan benang catgut kromik ukuran 0/3 sero muskularis
(Sumber : Dhirgo 2012).
Gambar Uji kebocoran yang dilakukan sebelum usus dikembalikan
pada tempat semula dan rongga perut ditutup (Sumber : Dhirgo
2012).

C. Post Operasi
Untuk perawatan pascaoperasi, anjing disuntik vicillin (Meiji,
Indonesia) dosis 10 mg/ kg berat badan secara intramuskuler dua kali
sehari selama lima hari. Dua puluh empat jam sesudah operasi, anjing
hanya diberi air minum. Hari kedua dan ketiga diberi pakan halus
yaitu pakan yang diblender. Hari-hari berikutnya diberi pakan normal
lagi seperti sebelum operasi dilakukan. Bekas luka operasi pada kulit
setiap hari diolesi dengan salep bioplacenton sampai benang jahitan
diambil pada hari ke 9 sesudah operasi (Boedi, 2010). Setelah operesi
selesai dilaksanakan, selain prosedur perawatan luka pada daerah
abdomen, juga dilakukan infus menggunakan ringer dextrose 5%
aplikasi intravena sampai dengan hari ke-3 pasca operasi (Dhirgo
2012).
DAFTAR PUSTAKA

Adji, Dhirgo. 2012. Analisis Leukosit Total, C-Reactive Protein (CRP) dan
Fibrinogen untuk Evaluasi Kebocoran Hasil Operasi Enterektomi.pdf
Annis, J.R. and Allen, A.R., 1974. An Atlas Of Canine Surgery Lavayette, Indian.
Boedi. Sudarminto. Hertaningsih. 2010. Perbandingan Kadar Elektrolit Serum
Pascaenterektomi Ekstensif 75 % pada Anjing yang Diterapi dengan
Laktoferin.pdf
Fossum, T. W., et al. 2013. Small Animal Surgery 4rd edition. Philadelphia
: Elsevier Science company
Grier, R.L., 1975. Techniques for Intestinal Anastomosis, dalam, M.J. Bojrab
(ed.); Small Animal Surgery, pp. 199-125, Lea and Febiger, Philadeiphia.
Larsen, L.H. and Bellenger, C.R., 1974. Stomach and Small Intestine, dalam.
Archibald (ed.); Canine Surgery, pp. 509-532, American Publication Inc,
California.
Shrock TR. 1983. Hand book of Surgery, Jones Medical Publications : 258-259

You might also like