You are on page 1of 75

PENGENDALIAN KASUS TUBERKULOSIS MELALUI

KELOMPOK KADER PEDULI TB (KKP-TB)


Ni Luh Putu Eva Yanti
Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Email: evayanti.nlp@gmail.com
Abstrak
Pengendalian tuberkulosis dapat dilakukan dengan melakukan pembentukan kelompok pendukung tuberkulosis.
Kelompok pendukung berperan dalam memberikan dukungan kepada kelompok penderita TB dan keluarga agar
patuh menjalani pengobatan dan melakukan pencegahan penularan TB. Kelompok pendukung tuberkulosis
dengan melibatkan kader kesehatan yang diberi nama kelompok kader peduli TB (KKP-TB). Tujuan penelitian
adalah mengidentifikasi kemampuan pengetahuan, sikap, dan keterampilan KKP-TB dalam melakukan
pengendalian TB. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan KKP-TB
dalam melakukan pengendalian TB. Kelompok kader peduli TB dapat memperkuat program pengendalian TB di
masyarakat.
Kata kunci: kelompok pendukung, program pengendalian tuberkulosis
Abstract
The tuberculosis control program can be done through support groups. Support group is a group of social people
or professional to support TB patients and family to adhere of treatment and prevention of TB transmission.
Support groups tuberculosis involving health volunteer in community is called Kelompok Kader Peduli TB
(KKP-TB). The purpose of research is to identify the ability of knowledge, attitudes, and skills of KKP-TB in
TB control program. The results showed an increase in knowledge, attitudes, and skills of KKP-TB in
controlling TB. Kelompok Kader Peduli TB can strengthen TB control programs in the community.
Key words: support group, the tuberculosis control programs
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah dunia
dan menjadi komitmen global dalam penanggulangannya. Data WHO (2013) menunjukkan 58%
kasus TB terjadi di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Indonesia termasuk rangking ke-4
kasus TB terbanyak di dunia, setelah Cina, India, dan Afrika Selatan. Berdasarkan data Riskesdas
Kemenkes RI (2013), terdapat lima propinsi dengan prevalensi TB tertinggi di Indonesia adalah
Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, Banten dan Papua Barat. Jawa Barat menempati
posisi pertama dengan prevalensi TB 0,7% (rata-rata nasional 0,4%).
Indikator kesuksesan penanggulangan TB secara nasional diukur dengan dua cara yaitu
berdasarkan penemuan kasus baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan angka
keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR). Secara nasional, indikator penemuan kasus baru
TB BTA positif adalah 80% Jurnal Keperawatan ISSN: 2303-1298 Community of Publishing in
Nursing (COPING)
Jurnal Keperawatan COPING Edisi Januari-April 2016 76
(Kemenkes RI, 2013). Penemuan kasus TB di propinsi Jawa Barat tahun 2012 sebesar 77,35%
(Data profil kesehatan Jawa Barat tahun 2012). Kondisi ini menunjukkan bahwa Jawa Barat
belum mencapai target indikator nasional. Salah satu kota/ kabupaten di Jawa Barat yang masih
rendah dalam penemuan kasus baru TB adalah kota Depok. Wilayah kerja Puskesmas Cimanggis,
kelurahan Curug merupakan salah satu wilayah dengan data CDR yang termasuk masih rendah.
Strategi nasional penanggulangan TB dilaksanakan dengan strategi Directly Observed Treatment
Short-course (DOTS) di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) termasuk rumah sakit. Strategi
ini diterapkan karena telah terbukti sebagai penanggulangan TB yang ekonomis dan paling efektif
(Dirjen P2PL Depkes RI, 2009). Strategi ini sejalan dengan peran perawat komunitas diantaranya
sebagai manajer dan pemberi asuhan keperawatan bagi individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat (Allender, Rector, & Warner, 2010). Dalam menjalanakan asuhan keperawatan
komunitas dengan tuberkulosis , perawat membutuhkan peran serta dari elemen masyarakat
sebagai bentuk pemberdayaan dan kerja sama dengan masyarakat (Allender, Rector, & Warner,
2010; Helvie, 1998; Hitchcock, Schubert, & Thomas, 1999). Bentuk pemberdayaan dan kerja
sama dengan masyarakat berupa proses kelompok melalui pembentukan kelompok pendukung
atau social support (Pander, Murdaugh, & Parsons, 2002).
Kelompok pendukung tersebut melibatkan peran kader kesehatan dalam mendukung program
pengendalian TB yang mencakup pengawas menelan obat (PMO), pelacakan kasus TB yang
mangkir, dan penemuan kasus TB di masyarakat. Kelompok pendukung tersebut dinamakan
Kelompok Kader kesehatan Peduli TB (KKP-TB). Kelompok pendukung efektif membantu
keluarga dan klien TB dalam peningkatan akses perawatan TB dan meningkatkan angka temuan
TB (Solihin, 2014; Rejeki, 2012).
Berdasarkan kondisi tersebut, bagaimana gambaran kelompok kader kesehatan TB melaksanakan
program pengendalian TB. Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan KKP-TB dalam melaksanakan program pengendalian TB.
METODE
Rancangan penelitian adalah quasi experiment dengan desain pre-post test without control.
Waktu penelitian selama dua bulan. Tempat penelitian dilakukan di Kelurahan Curug,
Cimanggis. Jurnal Keperawatan ISSN: 2303-1298 Community of Publishing in Nursing
(COPING)
Jurnal Keperawatan COPING Edisi Januari-April 2016 77
Populasi dalam penelitian adalah seluruh kader kesehatan yang berada di wilayah Kelurahan
Curug yang berjumlah 88 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive
sampling. Kriteria inklusi penelitian adalah kader kesehatan yang berada di wilayah RW 6 dan
RW 7 Kelurahan Curug. Pemilihan kriteria ini berdasarkan data puskesmas Cimanggis, bahwa
jumlah pasien TB paling banyak berada pada RW tersebut. Jumlah responden yang terpilih 16
orang.
Prosedur pengambilan data dilakukan dengan melakukan pre test terlebih dahulu kepada semua
responden. Instrumen yang digunakan mencakup aspek pengetahuan dan sikap tentang penyakit
TB. Selanjutnya responden mendapatkan pelatihan tentang kader kesehatan peduli TB (KKP-TB)
dengan tiga topik selama 3 kali pertemuan yaitu 1) pengetahuan tentang TB yang mencakup
tanda gejala, cara penularan, cara pencegahan, dan cara deteksi dini kasus TB; 2) keterampilan
kader dalam melakukan penyuluhan kelompok dan keluarga serta cara melakukan rujukan; 3)
pendampingan kader kesehatan dalam melakukan penyuluhan keluarga dan kelompok pada
kegiatan di masyarakat. Pada pertemuan yang ke-4 dilakukan post test dan evaluasi keterampilan
kader melakukan penyuluhan dan deteksi dini melalui kegiatan role play. Instrumen evaluasi
keterampilan dengan menggunakan lembar observasi check list.
HASIL
Hasil penelitian digambarkan dengan distribusi nilai pengetahuan, sikap, dan keterampilan
anggota KKP-TB dalam melakukan penyuluhan dan deteksi rujukan kasus TB.
Tabel 1. n Pre test Post test Persentase
Distribusi nilai kenaikan pre-
pengetahuan dan post test
sikap KKP-TB
sebelum dan
sesudah
pelatihan Item
Penilaian
Pengetahuan 16 8,38 9,44 11,2%
Sikap 16 21,06 22,31 5,6%
PENGARUH PEMBERDAYAAN KELUARGA PENDERITA TB
(TUBERCULOSIS) PARU TERHADAP KEMAMPUAN
MELAKSANAKAN
TUGAS KESEHATAN KELUARGA DI WILAYAH PUSKESMAS
MARTAPURA DAN ASTAMBUL KABUPATEN BANJAR
(The Infl uence of Empowering TB (Tuberculosis) Patients’ Family
on
Capability of Implementing The Family Health Task in Martapura
and
Astambul Public Health Center Areas in Banjar District)
Marwansyah1 dan Hidayad Heny Sholikhah2
Naskah masuk: 24 Agustus 2015, Review 1: 27 Agustus 2015, Review 2: 27 Agustus 2015, Naskah layak terbit: 5
Oktober 2015
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyembuhan TB paru membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini kerapkali
terjadi dalam perawatan
dan pengobatan TB paru di Indonesia. Anggota keluarga perlu diberdayakan untuk dapat
melaksanakan tugas kesehatan
keluarga dalam perawatan TB paru. Metode: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
pemberdayaan keluarga
penderita TB Paru terhadap kemampuan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan keluarga.
Desain penelitian yang
digunakan Quasy-experiment Nonequivalent control group design. Besar sampel setiap kelompok 16
orang, pemberian
pemberdayaan keluarga dilakukan 1 minggu 3 kali kunjungan. Analisis statistik menggunakan
Wilcoxon Singed Ranks
Test dan Mann-Whitney Test. Hasil: Hasil intervensi menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
keluarga terkait tugas
kesehatannya, antara lain: 1) kemampuan mengenal masalah kesehatan sebagian besar (87,5%)
dalam katagori baik, 2)
mengambil keputusan tentang tindakan yang tepat sebagian besar (62,5%) dalam katagori baik, 3)
memberi perawatan
kepada keluarga yang sakit seluruhnya (100%) dalam katagori baik, 4) mempertahankan lingkungan
fi sik rumah yang
menunjang kesehatan seluruhnya (100%) dalam kategori baik, dan 5) menggunakan fasilitas
kesehatan sebagian besar
(93,8%) dalam kategori baik. Hasil uji statistik menunjukkan pemberdayaan keluarga penderita TB
paru dapat meningkatkan
kemampuan keluarga melaksanakan tugas kesehatan keluarga (p=0,001). Kesimpulan: Upaya
pemberdayaan keluarga
penderita TB paru berpengaruh terhadap kemampuan melaksanakan tugas kesehatan keluarga, baik
dalam mengenal
masalah kesehatan, mengambil keputusan, memberi perawatan kepada keluarga yang sakit,
mempertahankan lingkungan
fi sik rumah yang menunjang kesehatan serta kemampuan menggunakan fasilitas kesehatan dalam
upaya perawatan,
pengobatan TB dan pencegahan penularan TB ke anggota keluarga lainnya. Saran: Petugas
kesehatan diharapkan
meningkatkan penyuluhan kesehatan terutama untuk penderita yang baru terdiagnosa positif
menderita TB paru, dengan
selalu melibatkan keluarga.
Kata kunci: Pemberdayaan Keluarga, Tugas Kesehatan, TB Paru, Kunjungan Keluarga
ABSTRACT
Background: Pulmonary tuberculosis healing takes a long time. These were any problems that often occurs in
the care
and treatment of pulmonary tuberculosis in Indonesia. Family members should be empowered to be able to carry
out the
duties of health, to avoid mistakes in patient care at home. Methods: This study aims to analyze the infl uence of
family
empowerment Pulmonary TB sufferers of the ability of the family in carrying out the tasks of family health. The
study design
was Quasy-experiment research Nonequivalent control group design. Each group of interventing and control
consist of
1Poltekkes Kemenkes RI Banjarmasin, Jl. H. Mistar Cokrokusumo no. 1A Banjarmasin, Email: marwans.bjm@gmail.com
2Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan, Jl. Indrapura 17
Surabaya

PENDAHULUAN
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat
yang terdiri dari kepala keluarga dan anggota keluarga
lainnya yang berkumpul dan tinggal dalam suatu
rumah tangga. Jika salah satu atau beberapa anggota
keluarga mempunyai masalah kesehatan akan
mempengaruhi anggota keluarga lain dan keluarga
yang ada di sekitarnya. Salah satu penyakit yang
sering dijumpai pada keluarga adalah Tuberkulosis
(TB) paru dan penyembuhannya memerlukan
perawatan serta perhatian dari anggota keluarga
lainnya. Penyembuhan TB paru membutuhkan waktu
yang cukup lama, oleh karena itu peran keluarga
dalam perawatan penderita sangat penting.
Angka prevalensi tuberkulosis pada tahun 2009
di negara-negara anggota ASEAN berkisar antara
43 sampai 693 per 100.000 penduduk. Indonesia
menempati peringkat ke lima dari sepuluh negara
anggota ASEAN dengan prevalensi tuberkulosis
285 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011a).
Penemuan penderita baru TB Paru BTA positif per
100.000 penduduk di Indonesia menurut data tahun
2010 tertinggi pada provinsi Sulawesi Utara 202 per
100.000 penduduk, sedangkan provinsi Kalimantan
Selatan berada pada peringkat 12 dari 33 provinsi
yaitu 92 per 100.000 penduduk (Ditjen PP&PL, 2011).
Berdasarkan hasil Riskesdas Provinsi Kalimantan
Selatan tahun 2007 menunjukkan Tuberkulosis paru
klinis dalam 12 bulan terakhir, tersebar di seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan 1,4%
(rentang 0,2-4,5%). Tiga kabupaten dengan angka
prevalensi TB tertinggi dari angka provinsi yaitu
Kabupaten Balangan (4,5%), Kabupaten Banjar
(3,0%) dan Kabupaten Barito Kuala (2,3%) (Depkes
RI, 2008).
Penyakit TB paru yang diderita oleh individu
dalam kehidupannya akan membawa dampak negatif,
baik secara fisik, mental dan kehidupan sosialnya.
Menurut Depkes, RI (2007), sekitar 75% penderita
TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang
penderita TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu
kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka
akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat. Menurut Miller (2008)
adanya penolakan dan rasa malu sering mencegah
orang yang mencari pengobatan dan menyelesaikan
pengobatan.
Selama ini, pelaksanaan perawatan, pengobatan
dan pencegahan penularan TB paru lebih banyak
dilakukan kepada penderita TB sendiri. Penderita
harus bertanggung jawab atas semua perawatan dan
pengobatannya untuk kesembuhannya. Keterlibatan
anggota keluarga masih kurang optimal atau
hanya sebagai PMO (Pengawas Menelan Obat).
Keluarga seringkali tidak mengetahui tindakan yang
seharusnya mereka lakukan untuk membantu proses
penyembuhan dan pencegahan penyakit TB paru.
Jikapun ada pelibatan keluarga dalam perawatan
TB di rumah, hal tersebut belum disertai dengan
pemberian bekal pengetahuan yang memadai terkait
tindakan yang harus dilakukan keluarga oleh tenaga
kesehatan. Menurut Pohan (2007), jika pemberian
informasi kesehatan kepada keluarga kurang jelas,
pasien dan keluarga kembali ke rumah dengan
ketidakpuasan karena tidak mendapatkan informasi
yang lengkap dan jelas dari petugas kesehatan.

Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Penderita TB (Tuberculosis) Paru (Marwansyah dan Hidayad


Heny Sholikhah)
409
Kurang optimalnya peran keluarga dalam
memberikan perawatan dan pencegahan penularan
penyakit TB sering berdampak terhadap anggota
keluarga lainnya. Penderita TB dapat menularkan
penyakit kepada anggota keluarga maupun orang
yang ada di sekitarnya, akibatnya jumlah penderita
TB paru cenderung meningkat. Menurut Depkes
RI (2007) pada waktu batuk atau bersin, penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak. Setiap satu BTA
positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya
(Widoyono, 2008).
Menurut Friedman dalam Suprayitno (2004)
tugas keluarga di bidang kesehatan antara lain
adalah mengenal masalah kesehatan keluarga,
memutuskan tindakan yang tepat, merawat anggota
keluarga yang mengalami gangguan kesehatan,
memodifikasi lingkungan yang menunjang kesehatan
dan dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan.
Permasalahan kesehatan maupun keperawatan
yang dialami oleh keluarga dapat teratasi jika keluarga
mempunyai kemampuan dalam melaksanakan ke
lima tugas kesehatan keluarga. Anggota keluarga
perlu diberdayakan dalam melaksanakan tugas
kesehatan keluarga agar tidak terjadi kesalahan
dalam perawatan penderita di rumah. Oleh karena itu
pemberdayaan keluarga dilakukan dengan melibatkan
tenaga kesehatan dan sistem pendukungnya dari
penderita TB paru.
Pemberdayaan keluarga adalah merupakan suatu
proses atau upaya untuk menumbuhkan kesadaran
dan kemauan keluarga dalam memelihara dan
meningkatkan status kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Kemenkes RI (2011) keluarga dan penderita
TB perlu diberdayakan melalui pemberian informasi
yang memadai tentang TB dan pentingnya upaya
pencegahan dan pengendalian TB. Pemberdayaan
keluarga dengan meningkatkan pemberian informasi
tentang perawatan, pengobatan dan pencegahan
penularan penyakit TB Paru, diharapkan dapat merubah
perilaku keluarga yang meliputi menumbuhkan aspek
pengetahuan, pemahaman, perubahan sikap dan
tindakan, kesadaran kesehatan terhadap anggota
keluarga dalam perawatan, pengobatan dan
pencegahan penularan penyakit TB Paru.
Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang
cara-cara memelihara dan meningkatkan kesehatan
adalah awal dari pemberdayaan kesehatan yang
selanjutnya menimbulkan kemauan atau kehendak
untuk melaksanakan tindakan kesehatan sehingga
keluarga dapat melaksanakan tindakan untuk
berperilaku sehat. Melalui pemberdayaan keluarga
yang merupakan upaya persuasi diharapkan keluarga
mau melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau
tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
yang dihasilkan didasarkan pada pengetahuan dan
kesadaran melalui proses pembelajaran, sehingga
perilaku tersebut diharapkan dapat berlangsung lama
dan menetap karena didasari dengan kesadaran.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh pemberdayaan keluarga penderita TB Paru
terhadap kemampuan keluarga dalam melaksanakan
tugas kesehatan keluarga meliputi kemampuan
keluarga dalam mengenal masalah kesehatan TB
Paru, mengambil keputusan untuk tindakan yang
tepat, memberi perawatan kepada keluarga yang
sakit, mempertahankan lingkungan fisik rumah yang
menunjang kesehatan dan menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada di masyarakat di wilayah
Puskesmas Martapura dan Astambul Kabupaten
Banjar
METODE
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Quasy-experiment Nonequivalent control
group design. Besar sampel sebanyak 32 responden
(16 responden dari keluarga kelompok perlakuan
dan 16 keluarga dari kelompok kontrol). Kelompok
perlakuan bertempat di wilayah kerja Puskesmas
Martapura sedangkan kelompok kontrol bertempat
di wilayah kerja Puskesmas Astambul.
Sampel penelitian ini adalah keluarga yang
mempunyai anggota keluarga menderita TB paru.
Adapun kriteria sampel antara lain: berdomisili di
wilayah kerja Puskesmas Martapura dan Puskesmas
Astambul, anggota keluarga adalah isteri yang
mempunyai suami yang menderita TB paru, tingkat
pendidikan anggota keluarga minimal SD, usia
keluarga yang merawat pasien 21-55 tahun dan
tinggal serumah dengan penderita, bersedia menjadi
responden dan mengikuti program pemberdayaan,
keluarga mempunyai penderita yang terdiagnosa TB
paru sejak bulan Januari, Februari dan Maret 2012.
Variabel intervensi (independen) penelitian ini
adalah pemberdayaan keluarga penderita TB parusedangkan variabel outcome/dependen adalah
kemampuan melaksanakan tugas kesehatan
keluarga yang terdiri dari: 1) mengenal masalah
kesehatan TB Paru, 2) mengambil keputusan untuk
tindakan yang tepat, 3) memberi perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit, 4) mempertahankan
lingkungan fisik rumah yang menunjang kesehatan
dan 5) menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
di masyarakat.
Berikut prosedur penelitian yang dilakukan pada
kedua kelompok responden, baik kelompok perlakuan
maupun kontrol:
Perlakuan
Kunjungan
3
Kunjungan
2
Kunjungan
1
O1
Pre tes
O2
Post tes
Kelompok perlakuan
Kelompok kontrol
O1
Pre tes
O2
Post tes
Pre test dengan menggunakan kuesioner pada
dua kelompok responden mengenai kemampuan
keluarga melaksanakan tugas kesehatan keluarga.
Intervensi pemberdayaan keluarga pada responden
kelompok perlakuan, dilakukan 3 kali kunjungan dalam
rentang waktu 1 minggu dengan jeda waktu satu hari
antar masing-masing kunjungan. Kunjungan I peneliti
memberikan pembelajaran tentang konsep penyakit
dan perawatan TB paru, dengan menggunakan metode
pemberian informasi/pengetahuan (penyuluhan)
tentang konsep penyakit, cara perawatan dan
pengobatan dan pencegahan penularan penyakit.
Media yang digunakan adalah flipchart dan booklet.
Kunjungan II diberikan pembelajaran tentang
lingkungan rumah untuk penderita TB paru dan
pada kunjungan III memberikan pelatihan prosedur
tindakan perawatan penderita TB paru disertai dengan
demonstrasi kepada keluarga. Setelah kunjungan ke
3 kalinya, dilakukan post test. Post tes juga dilakukan
pada responden kelompok kontrol.
Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan
adanya perbedaan sebelum dan sesudah
pemberdayaan keluarga menggunakan uji Wilcoxon
Singed Ranks test dengan tingkat signifikan 5% (α
= 0,05). Uji Mann-Whitney Test untuk mengetahui
perbedaan antara responden perlakuan dan
responden kontrol tentang pengaruh pemberdayaan
keluarga TB paru dalam melaksanakan tugas
kesehatan keluarga.
Kerangka Konseptual
Variabel Pemberdayaan Keluarga memiliki definisi
sebagai upaya dalam meningkatkan kemampuan
keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan
keluarga kepada anggota keluarga yang menderita
TB paru yang dilakukan dengan cara penyuluhan,
demonstrasi dan pelatihan tentang cara perawatan,
pencegahan penularan, pengobatan TB paru sampai
keluarga dapat mengetahui dan melakukan tindakan
tersebut secara mandiri.
Sedangkan variabel kemampuan melaksanakan
tugas kesehatan keluarga adalah kesanggupan
keluarga dalam memenuhi tugas kesehatan keluarga
yang merupakan komposit dari: kemampuan mengenal
masalah kesehatan TB Paru, mengambil keputusan
untuk tindakan yang tepat, memberi perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit, mempertahankan
lingkungan fisik rumah yang menunjang kesehatan,
menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di
masyarakat.
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Intervensi:
Pemberdayaan
Keluarga
Lingkungan Fisik
Ventilasi
Pencahayaan
Kebersihan
Kelembaban
Perilaku Keluarga
Mengenal masalah TB
paru
Membuat keputusan
tindakan
Memberi perawatan
Memodifikasi lingkungan
Menggunakan fasilitas
kesehatan
Pengkajian Individu
Dampak penyakit
Kompetensi tentang tugas
kesehatan keluarga
Pengertian tentang konsep
penyakit TB paru
Pilihan tentang perawatan dan
pengobatan
Pengkajian Menyeluruh
Dampak penyakit
Kompetensi tentang tugas kesehatan keluarga
Pengertian tentang konsep penyakit TB paru
Pilihan tentang perawatan dan pengobatan
Pengobatan
TB Paru
Pencegahan
penularan TB paru
Gambar 1. Kerangka Konseptual (Merupakan Modifi kasi
dari model Pemberdayaan, Modifikasi dari
Thomas & Velthouse, Teori Tugas Kesehatan
Keluarga dari Friedman, dan Model Keperawatan
dari Florence nightingale)

tindakan yang tepat, memberi perawatan kepada

anggota keluarga yang sakit, mempertahankan

lingkungan fisik rumah yang menunjang kesehatan,

menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di

masyarakat.

Keterangan :

: diteliti

: tidak diteliti

Intervensi:

Pemberdayaan

Keluarga

Lingkungan Fisik

Ventilasi

Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Penderita TB (Tuberculosis) Paru (Marwansyah dan Hidayad


Heny Sholikhah)
411
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemampuan Keluarga dalam Mengenal Masalah
Kesehatan TB Paru
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
mengenal masalah kesehatan TB paru pada keluarga
setelah post test pada kelompok perlakuan sebagian
besar dalam kategori baik (87,5%) sedangkan pada
kelompok kontrol prosentasi yang sama (50,0%)
antara katagori cukup dan kurang. Uji statistik
menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan
mengenal masalah kesehatan pada kelompok
perlakuan p = 0,001 (p < 0,05) sedangkan kelompok
kontrol tidak menunjukkan ada perbedaan p=0,196
(p > 0,05) seperti pada tabel 1.
Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
pada kelompok perlakuan ketika dilakukan pre test
kemampuan mengenal masalah kesehatan sebagian
besar dalam katagori kurang dan setelah dilakukan
intervensi pada kelompok perlakuan sebagian besar
meningkat menjadi katagori baik sedangkan kelompok
kontrol ketika dilakukan pre test sebagian besar
kurang dan setelah dilakukan post test kemampuan
mengenal masalah kesehatan tetap dalam katagori
kurang. Meningkatnya kemampuan mengenal masalah
kesehatan pada kelompok perlakuan tidak terlepas
dari adanya pemberian pengetahuan tentang konsep
penyakit, pengobatan dan pencegahan penularan
penyakit disertai dengan demonstrasi dan pelatihan
kepada keluarga.
Menurut teori Kurt Lewin, 1970 dalam Notoatmodjo
(2007) yang mengatakan bahwa perubahan
pengetahuan pada dasarnya merupakan proses
belajar, dan proses belajar akan lebih efektif apabila
stimulus yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
individu, dilakukan secara intensif dan berkala atau
berkelanjutan. Dilakukan 3 (tiga) kali kunjungan rumah
kepada keluarga penderita TB paru pada kelompok
perlakuan, memungkinkan adanya keberlanjutan
dalam proses belajar, serta memungkinkan
komunikasi dua arah hingga bila masih ada hal
yang masih belum dipahami oleh keluarga, maka
memungkinkan dilakukan pengulangan kembali
terhadap materi belajar sebelumnya, hingga keluarga
benar-benar sudah paham benar tentang materi
yang disampaikan, meliputi pengertian penyakit
TB, penyebab, cara penularan, tanda dan gejala,
pengobatan, cara mencegah penularan, lingkungan
rumah yang sehat.
Kemampuan keluarga dalam mengenal masalah
kesehatan terhadap kelompok kontrol pada pre test
terdapat 1 orang (6,3%) katagori baik, 6 orang (37,5%)
katagori cukup, 9 orang (56,3%) katagori kurang
tetapi pada saat pre test mengalami penurunan
yaitu responden yang mempunyai katagori baik
menjadi katagori cukup. Kemungkinan hal ini
disebabkan karena responden juga mendapatkan
informasi dari media massa namun karena media
massa tidak memungkinkan terjadinya umpan
balik maka kemungkinannya sangat sedikit untuk
dapat meningkatkan pengetahuan dan bahkan
menyebabkan kesalahan persepsi sehingga justru
menurunkan tingkat pengetahuan pada saat post test.
Berbeda jika pemberian informasi dilakukan dengan
cara berkomunikasi secara langsung seperti halnya
yang dilakukan pada saat kunjungan ke keluarga, di
mana akan terjadi komunikasi dua arah yang sifatnya
dapat saling mengklarifikasi jika ada pembelokan
persepsi dan pemahaman.
Pemilihan media pembelajaran merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan
pengetahuan setelah pendidikan kesehatan kepada
masyarakat baik pada tingkat individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Tabel 1. Distribusi Kemampuan Keluarga dalam Mengenal Masalah Kesehatan TB Paru di Wilayah
Puskesmas
Martapura dan Astambul pada tanggal 9 April s.d 24 Mei 2012
Baik 0

Pencahayaan

Kebersihan

Kelembaban

Perilaku Keluarga

Mengenal masalah TB

paru

Membuat keputusan

tindakan

Memberi perawatan

Memodifikasi lingkungan

Menggunakan fasilitas

kesehatan

Pengkajian Individu

Dampak penyakit

Kompetensi tentang tugas

kesehatan keluarga

Pengertian tentang konsep

penyakit TB paru

Pilihan tentang perawatan dan

pengobatan

Pengkajian Menyeluruh

Dampak penyakit

Kompetensi tentang tugas kesehatan keluarga


Pengertian tentang konsep penyakit TB paru

Pilihan tentang perawatan dan pengobatan

Pengobatan

TB Paru

Pencegahan

penularan TB paru

Gambar 1. Kerangka Konseptual (Merupakan Modifi kasi

dari model Pemberdayaan, Modifikasi dari

Thomas & Velthouse, Teori Tugas Kesehatan

Keluarga dari Friedman, dan Model Keperawatan

Booklet merupakan media yang digunakan dalam


penelitian ini. Melalui pemberian booklet ini keluarga
dan juga penderita dapat membaca secara mandiri
tentang perawatan yang menunjang proses
penyembuhan penyakit TB paru.
Kesadaran dan keinginan keluarga agar penderita
TB dapat sembuh dari penyakitnya merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan
mengenal masalah kesehatan, hal ini sesuai dengan
teori Health Belief Model yaitu pada kerentanan
yang dirasakan (perceived susceptibility) yaitu agar
seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah
penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan
terhadap penyakit tersebut dengan kata lain suatu
tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan
timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia
atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut
(Glanz, Karen 2008).
Kemampuan Keluarga dalam Mengambil
Keputusan untuk Tindakan yang Tepat Terhadap
Penderita TB Paru
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
dalam mengambil keputusan untuk tindakan yang
tepat terhadap penderita TB Paru pada keluarga
setelah post test pada kelompok perlakuan sebagian
besar dalam katagori baik (62,5%) sedangkan pada
kelompok kontrol sebagian besar dalam katagori
cukup (87,5%). Uji statistik menunjukkan bahwa
ada perbedaan kemampuan mengambil keputusan
untuk tindakan yang tepat pada kelompok perlakuan,
p = 0,005 (p < 0,05) sedangkan kelompok kontrol tidak
menunjukkan ada perbedaan p = 0,361 (p > 0,05).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.
Kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan
untuk tindakan yang tepat terhadap penderita TB Paru
merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan
keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara
anggota keluarga yang mempunyai kemampuan
memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga
dalam hal mencari pertolongan yang tepat sesuai
dengan keadaan keluarga. Tindakan kesehatan yang
dilakukan keluarga diharapkan tepat agar kesehatan
masalah dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Pada
Tabel 2 kelompok perlakuan mempunyai kemampuan
mengambil keputusan yaitu sebagian besar katagori
baik, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian
besar katagori cukup. Kemampuan keluarga dalam
mengambil keputusan yang baik dapat memberikan
dampak yang positif pada keluarga yang sedang
sakit, penderita tidak menanggung penyakitnya
sendirian sebaliknya jika kemampuan keluarga
dalam mengambil keputusan kurang, hal ini dapat
memberikan dampak negatif bagi keluarga yang
sedang sakit misalnya penderita mungkin merasa
tidak diperhatikan kebutuhannya. Beberapa contoh
perilaku yang menunjukkan bahwa keluarga mampu
mengambil keputusan untuk tindakan yang tepat
adalah memutuskan penderita dibawa berobat ke
tempat pelayanan kesehatan, memberikan makanan
yang tinggi kalori, protein, vitamin dan mineral.
Memutuskan untuk selalu mengawasi penderita TB
minum obat secara teratur serta mencegah supaya
penyakit TB tidak menular kepada keluarga lainnya.
Menurut Sudiharto (2007), untuk mengambil
keputusan untuk mencari pertolongan karena
menonjolnya suatu masalah yang dirasakan oleh
keluarga. Keluarga memandang masalah keperawatan
berkaitan dengan berat dan mendesaknya masalah
tersebut segera diatasi. Beberapa cara pandang
keluarga dan berkaitan dengan pengambilan
keputusan adalah masalah dirasakan berat dan harussegera diatasi, masalah dirasakan tetapi tidak
perlu
segera diatasi, dan atau masalah tidak dirasakan
sama sekali oleh keluarga.
Faktor budaya juga dapat mempengaruhi keluarga
dalam mengambil keputusan tindakan. Menurut Foster
(1973) dikutip dari Notoatmodjo (2005) menyebutkan
bahwa aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan
seseorang antara lain adalah tradisi, sikap fatalism,
nilai, ethnocentrism dan unsur budaya dipelajari
pada tingkat awal dalam proses sosialisasi. Salah
satu budaya di Kabupaten Banjar adalah barunding
(musyawarah) dengan keluarga yang lain. Kadangkadang
seorang penderita dengan kondisi yang sudah
parah terlambat mendapatkan pertolongan hanya
karena harus menunggu keluarga lainnya datang
untuk memutuskan tindakan.
Kemampuan Keluarga dalam Memberi
Perawatan Kepada Keluarga yang Sakit TB Paru
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
dalam memberi perawatan kepada keluarga yang
sakit TB Paru pada keluarga setelah post test pada
kelompok perlakuan seluruhnya dalam katagori
baik (100%) sedangkan pada kelompok kontrol
seluruhnya dalam katagori cukup (100%). Uji statistik
menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan
memberi perawatan kepada keluarga yang sakit pada
kelompok perlakuan p = 0,001 (p < 0,05) sedangkan
kelompok kontrol tidak menunjukkan ada perbedaan
p = 0,222 (p > 0,05). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3 walaupun dari hasil penelitian
pada kelompok kontrol menunjukkan tidak ada
keluarga yang berada dalam katagori kurang, namun
dari beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan
kemampuan merawat keluarga yang sakit tidak
dilaksanakan oleh keluarga. Keluarga belum mampu
memberikan makanan tinggi kalori dan protein, padahal
untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita TB
paru supaya kuat dan mempercepat penyembuhan
penyakitnya diperlukan asupan gizi yang cukup. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa penyakit infeksi sering
menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan zat-zat
gizi sehingga kepada penderita TB perlu diberikan
diet tinggi kalori dan tinggi protein (Moehji, 2002).
Keluarga juga belum mampu melakukan pengawasan
minum obat setiap harinya, mereka hanya kadangkadang
menanyakan kepada penderita apakah sudah
minum obat atau belum. Menurut Depkes RI (2007)
menyebutkan bahwa keteraturan minum obat sangat
penting dilakukan untuk mencegah bakteri menjadi
resisten. Untuk dapat mengetahui keteraturan minum
obat dari penderita TB paru, pengawasan ketat oleh
keluarga serumah sangat diperlukan, bahkan jika
memungkinkan keluarga perlu dibimbing dan dibekali
dengan metode termudah yang dianggap mampu
memantau “sudah ataukah belum diminum” obat TB
paru oleh penderita.
Jika penderita TB paru mengeluh tidak ada
nafsu makan, perut mual atau sakit perut ketika
beberapa saat minum obat keluarga juga tidak
mampu memberitahukan kepada penderita agar
tetap meminum obat tetapi pada malam hari sebelum
tidur. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga belum
mampu melakukan perawatan kepada penderita
akibat efek samping dari obat anti TB. Menurut
Depkes RI (2007) salah satu efek samping yang
ditimbulkan oleh obat anti TB adalah tidak ada nafsu
makan, mual, sakit perut yang disebabkan oleh obat
Rifampisin, dan dapat diatasi dengan meminum
obat pada malam hari sebelum tidur. Demikian juga
dengan kemampuan keluarga tentang pencegahanpenularan ketika penderita TB batuk, banyak
keluarga
menjawab membiarkan saja atau menghindar dan
menjauhi penderita, semestinya keluarga harus
mengingatkan kepada penderita TB yang sedang
batuk di lingkungan rumah dengan menutup mulut
dengan sapu tangan/tisue dengan demikian risiko
penularan penyakit dapat dihindari.
Ketidakmampuan keluarga dalam memberikan
perawatan pada keluarga yang sakit dapat
disebabkan oleh kurangnya informasi tentang konsep
penyakit, pengobatan, perawatan dan pencegahan
penularan penyakit TB paru yang dapat berdampak
terhadap perilaku kesehatan keluarga, meningkatkan
risiko penularan dan kambuhnya penyakit bahkan
menimbulkan kematian. Petugas kesehatan yang ada
di Puskesmas khususnya yang menangani program
pemberantasan TB paru seringkali tidak memberikan
informasi yang cukup kepada penderita maupun
keluarganya, informasi yang diberikan hanya sekitar
pemeriksaan dahak, rontgen, cara minum obat dan
kapan harus kontrol kembali ke Puskesmas. Menurut
Pohan (2007), jika pemberian informasi kesehatan
kepada keluarga kurang jelas, pasien dan keluarga
kembali ke rumah dengan ketidakpuasan karena
tidak mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas
dari petugas kesehatan. Hal ini juga sesuai dengan
pendapat WHO yang menyebutkan bahwa untuk
merubah perilaku diperlukan strategi diantaranya
adalah dengan melalui cara pemberian informasi
tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara
pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit
dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan
pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran
mereka, dan pada akhirnya akan menyebabkan
orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Perubahan yang akan dicapai akan bersifat
langgeng karena didasari oleh kesadaran dan bukan
karena paksaan (Notoatmodjo, 2007).
Kemampuan Keluarga dalam Mempertahankan
Lingkungan Fisik Rumah yang Menunjang
Kesehatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
dalam mempertahankan lingkungan fisik rumah yang
menunjang kesehatan pada keluarga setelah post
test pada kelompok perlakuan seluruhnya dalam
katagori baik (100%) sedangkan pada kelompok
kontrol sebagian besar dalam katagori cukup (68,8%).
Uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan
kemampuan mempertahankan lingkungan fisik rumah
yang menunjang kesehatan pada kelompok perlakuan
p=0,001 (p<0,05) sedangkan kelompok kontrol tidak
menunjukkan ada perbedaan p=0,414 (p>0,05).
Lingkungan pada penelitian ini difokuskan pada
kondisi lingkungan rumah yang berhubungan dengan
penyakit TB paru yaitu ventilasi, pencahayaan,
kepadatan dan kebersihan lantai rumah. Keadaan
rumah keluarga di wilayah puskesmas Martapura
dan Astambul sebagian besar merupakan bangunan
semi permanen, di sekitar rumah terdapat pohon/
tumbuhan yang sebagian penduduk digunakan
sebagai pelindung dari cahaya matahari agar tidak
terasa panas, di bawah lantai digunakan untuk
kandang ternak. Kebanyakan lingkungan rumah
keluarga belum memenuhi syarat kesehatan, hal ini
akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular
termasuk penyakit TB. Semua rumah sebagian
besar sudah mempunyai jendela, hanya saja ada
beberapa keluarga tidak membuka jendela. Jendela
atau ventilasi yang dibuka setiap hari berfungsi untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri
terutama bakteri pathogen. Ventilasi juga menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, hal
ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam
rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun
bagi penghuninya menjadi meningkat.
Dalam praktek keperawatan di komunitas, aspek
lingkungan menjadi salah satu prioritas yang penting
dalam upaya penyembuhan penyakit, beberapa
penyakit dapat disebabkan karena pengaruh
lingkungan yang tidak sehat sehingga untuk
mencegah timbulnya penyakit diperlukan lingkungan
yang sehat dan nyaman. Teori keperawatan yang
dapat direkomendasikan dan sesuai dengan kondisi
penyakit TB paru adalah teori yang dikemukakan
oleh Florence Nightingale yang mengutamakan
pada aspek lingkungan dalam penerapannya. Teori
Florence Nightingale menyakini kondisi lingkungan
yang sehat penting untuk penanganan perawatan
yang layak. Komponen lingkungan yang berpengaruh
pada kesehatan antara lain udara segar, air bersih,
saluran pembuangan yang efisien, kebersihan dan
cahaya (Tomey & Alligood, 2006

Aspek lingkungan yang diutamakan Nightingale


dalam merawat penderita adalah ventilasi yang cukup
bagi penderita. Ia berkeyakinan bahwa ketersediaan
udara segar secara terus menerus merupakan prinsip
utama dalam keperawatan. Oleh sebab itu setiap
keluarga diharapkan dapat menjaga udara yang
dihirup penderita tetap bersih, sebersih udara luar
tanpa harus membuatnya kedinginan. Komponen
lain yang tidak kalah penting dalam keperawatan
penderita adalah cahaya matahari. Nightingale yakin
sinar matahari dapat memberi manfaat yang besar
bagi kesehatan penderita. Hal ini sesuai dengan
Depkes RI (2002) yang menyebutkan bahwa kuman
tuberkulosis hanya dapat mati oleh sinar matahari
langsung. Menurut (Crofton,1999) seseorang dapat
tertular penyakit TB paru jika terdapat faktor risiko
sebagai berikut; 1) Kontak serumah dengan penderita
TBC BTA (+) 2) Lingkungan: ventilasi yang kurang,
kepadatan penduduk 3) Menderita HIV, malnutrisi,
penyakit DM, immuno-supresan 4) Perilaku tidak
sehat.
Kemampuan Keluarga dalam Menggunakan
Fasilitas Kesehatan yang Ada di Masyarakat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
dalam menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
di masyarakat pada keluarga setelah post test pada
kelompok perlakuan sebagian besar dalam katagori
baik (93,8%) sedangkan pada kelompok kontrol
sebagian besar dalam katagori cukup (62,5%).
Uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan
kemampuan menggunakan fasilitas kesehatan
yang ada di masyarakat pada kelompok perlakuan
p=0,006 (p<0,05) sedangkan kelompok kontrol tidak
menunjukkan ada perbedaan p=0,763(p>0,05). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.
Belum optimalnya pemanfaatan fasilitas kesehatan
dapat disebabkan karena beberapa alasan, misalnya
letak fasilitas kesehatan yang jauh, petugas yang
kurang ramah dan tidak responsive, penderita takut
dengan dokter, biaya dan lain-lain. Dalam penelitian
ini, beberapa keluarga menjawab jika ada keluarga
yang sakit usaha yang mereka lakukan adalah
mengobati sendiri dengan membeli obat di warung
atau tidak diobati karena dapat sembuh sendiri dan
jika tidak sembuh dengan pengobatan sendiri mereka
membawa keluarga yang sakit dengan pengobatan
tradisional pada tabib atau ulama (tuan guru). Perilaku
sebagian masyarakat atau keluarga menggunakan
pertolongan kepada seorang yang bukan petugas
kesehatan dengan melakukan pengobatan tradisional
berhubungan dengan keberadaan mereka yang ada di
tengah-tengah masyarakat, dekat dengan masyarakatdan pengobatan yang dihasilkan adalah
kebudayaan
masyarakat lebih diterima oleh masyarakat daripada
dokter, perawat atau bidan.
Persepsi sehat sakit keluarga dengan persepsi
sehat sakit menurut petugas kesehatan (perawat)
dapat berbeda. Menurut Notoatmodjo (2007), persepsi
masyarakat terhadap sehat sakit erat hubungannya
dengan perilaku pencarian pengobatan yang akan
mempengaruhi dipakai atau tidak dipakainya fasilitas
kesehatan yang disediakan. Apabila persepsi sehat
sakit masyarakat belum sama dengan konsep sehat
sakit kita maka jelas masyarakat belum tentu atau
tidak mau menggunakan fasilitas yang diberikan.
Pengaruh Pemberdayaan Keluarga Penderita
TB Paru terhadap Kemampuan Melaksanakan
Tugas Kesehatan Keluarga di Wilayah
Puskesmas Martapura dan Astambul Kabupaten
Banjar
Penelitian tentang pengaruh pemberdayaan
keluarga penderita TB paru terhadap kemampuan
melaksanakan tugas kesehatan keluarga antara
kelompok perlakuan dan kontrol menggunakan uji
Mann-Whitney Test.
Berdasarkan uji statistik, diketahui ada perbedaan
signifikan pemberdayaan keluarga penderita TB
paru terhadap kemampuan melaksanakan tugas
kesehatan keluarga dalam pencegahan, perawatan
dan pengobatan TB paru, dengan nilai signifikan
p=0,001 (p<0,05) sehingga dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberdayaan
keluarga penderita TB paru terhadap kemampuan
melaksanakan tugas kesehatan keluarga dalam
pencegahan, perawatan dan pengobatan TB paru,
yang meliputi kemampuan keluarga dalam mengenal
masalah kesehatan, mengambil keputusan untuk
tindakan yang tepat, memberi perawatan kepada
keluarga, mempertahankan lingkungan fisik rumah
yang menunjang kesehatan dan menggunakan
fasilitas kesehatan.
Hasil penelitian pada kelompok perlakuan
setelah dilakukan pemberdayaan kepada keluarga
dalam katagori baik (100%), ini menunjukkan bahwa
responden telah mampu melaksanakan tugas
kesehatan keluarga yang meliputi kemampuan
keluarga dalam mengenal masalah kesehatan
TB Paru, kemampuan keluarga dalam mengambil
keputusan untuk tindakan yang tepat terhadap
penderita TB Paru, kemampuan keluarga dalam
memberi perawatan kepada keluarga yang sakit TB
Paru, kemampuan keluarga dalam mempertahankan
lingkungan fisik rumah yang menunjang kesehatan,
kemampuan keluarga dalam menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada di masyarakat.
Sebelum dilakukan perlakuan, kemampuan
keluarga sebagian besar masih dalam katagori cukup
yaitu 68,8% dan katagori kurang 31,3%, secara
logika hal ini wajar saja terjadi karena responden
belum mengetahui banyak tentang penyakit TB paru,
bagaimana perawatan, komplikasi dan pencegahan
serta penularannya kepada keluarga yang lain.
Keluarga mungkin belum menyadari bahwa mereka
juga berisiko tertular penyakit TB paru tersebut
sehingga keluarga belum menganggap penyakit TB
paru merupakan ancaman yang serius. Pemberdayaan
keluarga bertujuan menumbuhkan pengetahuan,
pemahaman, kesadaran kesehatan bagi keluarga.
Pengetahuan dan kesadaran tentang cara-cara
memelihara dan meningkatkan kesehatan adalah
awal dari pemberdayaan kesehatan. Kemampuan
ini diperoleh melalui proses belajar. Belajar itu
sendiri merupakan proses yang dimulai dengan
adanya alih pengetahuan dari sumber belajar kepada
subjek belajar. Oleh karena keluarga yang mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatan diperoleh
melalui proses belajar dari petugas kesehatan yang
memberikan informasi kesehatan kepada keluarga,
akan menimbulkan kesadaran terhadap kesehatan
dan hasilnya adalah pengetahuan kesehatan.
Keluarga yang sudah mengetahui tentang penyakit
TB paru, perawatan, pengobatan, komplikasi,
pencegahan serta penularannya selanjutnya akan
dapat menimbulkan kemauan atau kehendak untuk
melakukan tindakan kesehatan. Pada penelitian
lain oleh Palinggi Y, dkk (2013) disebutkan bahwa
ada hubungan antara motivasi keluarga dengan
kepatuhan berobat pada pasien TB Paru rawat jalan
di RSU A. Makkasau Parepare, dengan nilai p=0,029
lebih kecil dari α=0,05.
Selanjutnya, untuk berlanjut atau tidaknya
kemauan menjadi tindakan sangat tergantung pada
beberapa faktor. Faktor utama yang mendukung
berlanjutnya kemauan menjadi tindakan adalah
sarana dan prasarana untuk mendukung tindakan.
Menurut teori Lawrence Green (1980) dikutip oleh
Notoadmodjo (2007), untuk dapat terwujudnya
perilaku hidup sehat ditunjang oleh faktor: (1)
Faktor predisposisi (Predisposing factors), faktor
ini mencakup pengetahuan dan sikap keluarga
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan
keluarga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, sistem nilai yang dianut di masyarakat,
tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi. (2) Faktor
Pemungkin (Enabling Factors), faktor ini mencakup
ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk perilaku
sehat keluarga memerlukan sarana dan prasarana
pendukung, misalnya Rumah Sakit, Puskesmas,
Pustu, Dokter praktik, Klinik perawatan. (3) Faktor
Penguat (Reinforcing factors), faktor ini meliputi faktor
sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh
agama (toga), sikap dan perilaku petugas kesehatan
termasuk perawat, undang-undang, peraturanperaturan
baik dari pusat maupun dari daerah yang
terkait dengan kesehatan.
Berdasarkan dari hasil evaluasi peneliti selama
penelitian di wilayah puskesmas Martapura dan
Astambul dalam upaya merubah perilaku sehat,
faktor pemungkin (enabling factor) sebenarnya sudah
tersedia seperti sarana puskesmas, pustu, polindes,
posyandu dan tenaga dokter, perawat, bidan dan
petugas kesehatan lain lainnya, hanya saja untuk
faktor predisposisi (Predisposing factors) dan faktor
penguat (Reinforcing factors) masih belum optimal.
Untuk faktor predisiposisi, pengetahuan keluarga
maupun masyarakat tentang penyakit TB paru masih
sangat kurang, sebagian keluarga hanya mengetahui
bahwa penyakit TB paru adalah penyakit menular tetapi
bagaimana cara penularan serta pencegahannya
banyak yang masih belum tahu ditambah lagi masih
ada kepercayaan keluarga terhadap hal-hal yang
berkaitan TB paru, beberapa responden menjawab
bahwa TB paru disebabkan karena keracunan atau
karena guna-guna. Kegiatan penyuluhan kesehatan
tentang TB paru di puskesmas masih belum optimal
serta tidak ada tersedia media yang dapat digunakan
dalam menyampaikan informasi seperti leaflet, booklet
dan lain-lain yang dapat dibawa pulang penderita atau
keluarga ke rumah untuk dibaca/dipelajari sehingga
seringkali menjadi salah satu penyebab keluarga
maupun penderita tidak mengetahui tentang penyakit
TB paru.
Berkaitan dengan faktor penguat (Reinforcing
factors), peran serta tokoh masyarakat masih belum
dioptimalkan dalam upaya pemberantasan penyakit
TB paru, padahal tokoh masyarakat merupakan
panutan sebagai orang yang dapat dicontoh dari
perkataan maupun tingkah lakunya. Sementara itu
tenaga kesehatan (perawat) yang bertanggung jawab
dalam program pemberantasan TB paru harus benarbenar
fokus menjalankan tugasnya dan diharapkan
mempunyai cukup waktu serta tenaga untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada penderita
tetapi yang terjadi pada salah satu Puskesmas,
penanggung jawab pemberantasan TB paru justru
dibebani tugas tambahan lain yang menyebabkan
beban kerjanya lebih meningkat. Kesempatan untuk
memberikan informasi kepada penderita maupun
keluarga saat kunjungan ke Puskesmas menjadi
terbatas, akibatnya penderita dan keluarga tidak
mendapatkan informasi yang cukup tentang penyakit
TB paru.
Pengaplikasian metode pemberdayaan keluarga
dalam mendukung keberhasilan perawatan dan
pengobatan TB paru serta dalam pencegahan
penularan ke anggota keluarga lainnya ini seyogyanya
perlu mempertimbangkan bagaimana struktur dan
nilai sosial masyarakat di mana keluarga tersebut
berada. Seperti halnya yang disampaikan oleh Pratiwi
NL, dkk (2012) dalam penelitiannya pada masyarakat
Kota Pariaman, Nusa Tenggara Timur bahwa
pemberdayaan keluarga dengan pemilihan anggota
keluarga sebagai tenaga PMO (Pengawas makan
obat) kurang sesuai dengan struktur sosial yang ada
di masyarakat. Struktur sosial masyarakat Sasak
di wilayah Kabupaten Lobar misalnya, lebih cocok
menggunakan tuan guru atau Kyai sebagai sosial
support masyarakat disekitarnya. Kyai diharapkan
dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat,
memotivasi masyarakat agar mau berperilaku sesuai
dengan tugas kesehatan yang diemban. Identik
dengan hal tersebut, di wilayah Kabupaten Rote
Ndao, yang lebih cocok sebagai social support
adalah tokoh gereja. Demikian pula pada masyarakat
Kota Pariaman, sosok keturunan raja, akan lebih
didengar ketika ia memotivasi masyarakatnya yang
sakit, dibandingkan jika yang memotivasi adalah
anggota keluarganya sendiri. Selain itu, pada struktur
masyarakat tersebut kepercayaan/trust masyarakat
masih tergantung pada petugas kesehatan, belum
ada kader yang memberikan penyuluhan langsung
tentang pencegahan penularan. Sedangkan
kemampuan/capacity masyarakat masih sangat
kurang, masyarakat masih lebih percaya pada petugas
kesehatan dalam memberikan penyuluhan. Olehkarena itu, upaya mengikutsertakan peranan tokoh
masyarakat dan tokoh agama penting dilakukan oleh
petugas kesehatan, khususnya perawat komunitas
untuk meningkatkan daya ungkit keberhasilan
penggunaan metode pemberdayaan keluarga
dalam menjalankan tugas kesehatan keluarga dalam
perawatan, pengobatan TB paru serta pencegahan
penularan TB paru ke anggota keluarga lainnya.
Perubahan perilaku keluarga dalam penelitian
ini juga sesuai dengan model transteoritik menurut
Graef (1996) yang menggambarkan model perubahan
perilaku secara bertahap dimulai dengan tahap pre
komtemplasi di mana pada observasi awal (sebelum
pemberdayaan) keluarga belum memikirkan sama
sekali untuk melakukan tugas kesehatan keluarga dan
belum bermaksud untuk merubah perilakunya. Pada
tahap komtemplasi keluarga sudah siap merubah
perilakunya setelah diberikan pemberdayaan melalui
penyuluhan, demonstrasi dan pelatihan tentang
cara perawatan dan pencegahan penularan TB
paru di rumah. Memasuki tahap aksi keluarga sudah
dapat melaksanakan tugas kesehatan keluarga
meliputi kemampuan keluarga dalam mengenal
masalah kesehatan TB Paru, kemampuan keluarga
dalam mengambil keputusan untuk tindakan yang
tepat terhadap penderita TB Paru, kemampuan
keluarga dalam memberi perawatan kepada
keluarga yang sakit TB Paru, kemampuan keluarga
dalam mempertahankan lingkungan fisik rumah
yang menunjang kesehatan, kemampuan keluarga
dalam menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di
masyarakat. Sedangkan pada tahap pemeliharaan,
keluarga mempertahankan perilaku baru yang
mempengaruhi proses penyembuhan penderita TB
paru.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan keluarga penderita TB paru
berpengaruh terhadap kemampuan melaksanakan
tugas kesehatan keluarga dalam pencegahan,
perawatan dan pengobatan TB paru, dengan
nilai signifikan p=0,001 (p<0,05), yang meliputi
kemampuan keluarga dalam mengenal masalah
kesehatan, mengambil keputusan untuk tindakan
yang tepat, memberi perawatan kepada keluarga,
mempertahankan lingkungan fisik rumah yang
menunjang kesehatan dan menggunakan fasilitas
kesehatan. Sedangkan kemampuan keluarga dalam
melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga dalam
perawatan dan pengobatan TB setelah mendapatkan
intervensi pemberdayaan keluarga, antara lain;
kemampuan keluarga dalam mengenal masalah
kesehatan terkait TB paru, sebagian besar (87,5%)
dalam katagori baik, 2) kemampuan keluarga dalam
mengambil keputusan tentang tindakan yang tepat
untuk perawatan dan pengobatan TB paru, sebagian
besar (62,5%) dalam katagori baik, 3) kemampuan
keluarga dalam memberi perawatan kepada keluarga
yang sakit TB paru, seluruhnya (100%) dalam katagori
baik, 4) kemampuan keluarga dalam mempertahankan
lingkungan fisik rumah yang menunjang kesehatan
sekaligus mencegah penularan TB paru, seluruhnya
(100%) dalam kategori baik, dan 5) kemampuan
menggunakan fasilitas kesehatan untuk mengakses
informasi, perawatan dan pengobatan terkait TB
paru yang diderita anggota keluarga, sebagian besar
(93,8%) dalam kategori baik.
Saran
Puskesmas sebagai pelaksana pelayanan
primer hendaknya lebih mengoptimalkan upaya
pemberdayaan keluarga, dengan salah satunya
menggunakan metode yang dikembangkan penulis,
yaitu dengan pemberian informasi secara langsung
melalui kunjungan ke rumah keluarga penderita TB
paru secara berkala, terjadwal dan berkelanjutan,
sehingga keluarga dapat mandiri dan berdaya guna
dalam melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga
dalam upaya pencegahan, perawatan dan pengobatan
TB pada anggota keluarganya, karena permasalahan
kesehatan maupun keperawatan yang dialami oleh
keluarga dapat teratasi jika keluarga mempunyai
kemampuan dalam melaksanakan ke lima tugas
kesehatan keluarga tersebut.
Petugas kesehatan, khususnya perawat
di komunitas diharapkan dapat meningkatkan
kemampuannya dalam kegiatan pembinaan terhadap
keluarga penyuluhan kesehatan tentang konsep
penyakit, pengobatan, perawatan dan pencegahan
penularan TB paru terutama untuk penderita
yang baru terdiagnosa positif menderita TB paru
dan memberikan media pembelajaran di rumah
seperti leaflet atau booklet kepada penderita atau
keluarganya. Perlu dikembangkan inovasi-inovasi lainnya
tentang metode termasuk media yang digunakan
dalam proses pemberdayaan keluarga penderita TB
paru yang diharapkan dapat memudahkan keluarga
untuk turut serta melaksanakan tugas kesehatan
dalam keluarganya, inovasi ini dapat disesuaikan
dengan kemampuan dan kekhasan yang dimiliki
tiap-tiap wilayah. Termasuk sampai dengan upaya
pengembangan media bantu dalam pemantauan
minum obat bagi penderita TB paru, seperti dalam
bentuk buku kesehatan penderita TB paru ataupun
KMS (kartu menuju sehat) bagi penderita TB paru,
yang secara berkala pula dilakukan supervisi oleh
petugas kesehatan terhadap keefektifan pemantauan
dengan cara tersebut oleh keluarga penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Crofton J, Horne N, Miller F. 1999. Clinical Tuberculosis,
London: MacMillan Education Ltd,
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan.
Jakarta.
Ditjen PP&PL.2011. Laporan Situasi Terkini Perkembangan
Tuberkulosis Di Indonesia Januari-Juni 2011. Jakarta:
Kemenkes RI,
Glanz, K. et al. 2008. Health Behavior And Health Education,
Theori, Research And Practice. San Francisco:
Jossey Bass.
Graef.1996. Komunikasi untuk Kesehatan dan Perubahan
Perilaku. Yogyakarta Gadjah Mada: University
Press,
Kementerian Kesehatan RI.2011. Profil Kesehatan
Indonesia 2010. Jakarta: Pusat Data Informasi.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Strategi Nasional
Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan
Penyehatan Lingkungan,
Miller, J.2008. An Empowerment Approach To Raise
Awareness About And Reduce Stigma Around
Tuberculosis Among The Indian Community In The
Auckland Region. Research In Anthropology &
Linguistics-E, Number 3. Auckland: Department Of
Anthropology, University Of Auckland.
Mochji, Sjahmien. 2002. Ilmu Gizi I. Jakarta: Papas Sinar
Sriwati.
Notoatmodjo, S. 2005. Promosi kesehatan Teori dan
Aplikasi, Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. 2009. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Palinggi Y, dkk. 2013. Hubungan Motivasi Keluarga dengan
Kepatuhan Berobat pada Pasien TB Paru Rawat Jalan
di RSU A. Makkasau Pare-Pare. Tersedia pada: web:
http://library.stikesnh.ac.id/fi les/disk1/5/e-library%20
stikes%20nani%20hasanuddin--yunitapali-224-1-
artikel-0.pdf. [Diakses tanggal 1 September 2015].
Pohan, S.I .2007. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan,
Jakarta: EGC.
Pratiwi, NL dkk. 2012. Kemandirian Masyarakat dalam
Perilaku Pencegahan Penularan Penyakit TB Paru.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 15 (2). Tersedia
pada: web: http://bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/
hsr/article/view/2990/2223
Sudiharto. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan
Pendekatan Keperawatan Transkultural. Jakarta:
EGC.
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung:
Alfabeta.
Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga, Penerbit
Buku kedokteran EGC, Jakarta
Thomas K.W., Velthouse B.A. 1990. Cognitive Elements
of Empowerment: An ”Interpretive” Model of Intrinsic
Task Motivation. Academy of Management Review
Tomey, M & Alligood. 2006. Nursing Theoriest And Their
Work. 6th Ed. St Louis: Mosby Elseiver, Inc
WHO. 2011. Global Tuberculosis Control: WHO Report
2011, Switzerland.
Widoyono .2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta:
Erlangga.
PENGARUH PEMBERDAYAAN KELUARGA PENDERITA TB
(TUBERCULOSIS) PARU TERHADAP KEMAMPUAN
MELAKSANAKAN
TUGAS KESEHATAN KELUARGA DI WILAYAH PUSKESMAS
MARTAPURA DAN ASTAMBUL KABUPATEN BANJAR
(The Infl uence of Empowering TB (Tuberculosis) Patients’ Family
on
Capability of Implementing The Family Health Task in Martapura
and
Astambul Public Health Center Areas in Banjar District)
Marwansyah1 dan Hidayad Heny Sholikhah2
Naskah masuk: 24 Agustus 2015, Review 1: 27 Agustus 2015, Review 2: 27 Agustus 2015, Naskah layak terbit: 5
Oktober 2015
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyembuhan TB paru membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini kerapkali terjadi dalam
perawatan
dan pengobatan TB paru di Indonesia. Anggota keluarga perlu diberdayakan untuk dapat melaksanakan tugas
kesehatan
keluarga dalam perawatan TB paru. Metode: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
pemberdayaan keluarga
penderita TB Paru terhadap kemampuan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatan keluarga. Desain
penelitian yang
digunakan Quasy-experiment Nonequivalent control group design. Besar sampel setiap kelompok 16 orang,
pemberian
pemberdayaan keluarga dilakukan 1 minggu 3 kali kunjungan. Analisis statistik menggunakan Wilcoxon Singed
Ranks
Test dan Mann-Whitney Test. Hasil: Hasil intervensi menunjukkan adanya peningkatan kemampuan keluarga
terkait tugas
kesehatannya, antara lain: 1) kemampuan mengenal masalah kesehatan sebagian besar (87,5%) dalam katagori
baik, 2)
mengambil keputusan tentang tindakan yang tepat sebagian besar (62,5%) dalam katagori baik, 3) memberi
perawatan
kepada keluarga yang sakit seluruhnya (100%) dalam katagori baik, 4) mempertahankan lingkungan fi sik rumah
yang
menunjang kesehatan seluruhnya (100%) dalam kategori baik, dan 5) menggunakan fasilitas kesehatan
sebagian besar
(93,8%) dalam kategori baik. Hasil uji statistik menunjukkan pemberdayaan keluarga penderita TB paru dapat
meningkatkan
kemampuan keluarga melaksanakan tugas kesehatan keluarga (p=0,001). Kesimpulan: Upaya pemberdayaan
keluarga
penderita TB paru berpengaruh terhadap kemampuan melaksanakan tugas kesehatan keluarga, baik dalam
mengenal
masalah kesehatan, mengambil keputusan, memberi perawatan kepada keluarga yang sakit, mempertahankan
lingkungan
fi sik rumah yang menunjang kesehatan serta kemampuan menggunakan fasilitas kesehatan dalam upaya
perawatan,
pengobatan TB dan pencegahan penularan TB ke anggota keluarga lainnya. Saran: Petugas kesehatan
diharapkan
meningkatkan penyuluhan kesehatan terutama untuk penderita yang baru terdiagnosa positif menderita TB paru,
dengan
selalu melibatkan keluarga.
Kata kunci: Pemberdayaan Keluarga, Tugas Kesehatan, TB Paru, Kunjungan Keluarga
ABSTRACT

PENILAIAN LIMA TUGAS KELUARGA PADA KELUARGA DENGAN ANGGOTA


KELUARGA MENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA BP – 4 MAGELANG
Wahyudi1, Arif Setyo Upoyo 2, Ani Kuswati3
1.3. Prodi Keperawatan Purwokerto
2Jurusan Keperawatan FKIK Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Penyakit yang banyak diderita
masyarakat Indonesia khususnya kelas
menengah ke bawah adalah Tuberkulosis
(TB) Paru. Penyaakit ini menyerang
masyarakat dengan status gizi buruk atau
kekurangan gizi berat. Angka kesakitan
dan kematian akibat penyakit ini cukup
tinggi. Di Indonesia diperkirakan setiap
tahun terjadi 583.000 kasus baru TB
dengan kematian 140.000 penderita setiap
tahunnya. Angka ini merupakan prevalensi
terbesar ketiga setelah India dan Cina
(Muherman. 2003). Menurut Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
penderita TBC di Jawa Tengah pada tahun
2003 mencapai 53.448 orang, meningkat
dibanding tahun 2000 yang hanya 40.300
orang (www.ppmplp.depkes.go.id/infolist,
28 Oktober 2003).
Kepatuhan meminum obat
merupakan kunci keberhasilan
pengobatan.. Sementara kendala
pengobatan TB Paru di Indonesia meliputi
kondisi ekonomi masyarakat dan
kepatuhan menjalani pengobatan yang
masih rendah, akibatnya banyak penderita
yang droup out dari pengobatan tersebut
(Muherman. 2003).
Untuk mengatasi masalah tersebut
pemerintah melelui Menteri Kesehatan
pada tanggal 5 November 1998
menyatakan perang melawan TB paru
dengan melaksanakan program
penanggulangan tuberkulosis melalui
strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-Course). Prinsip DOTS
adalah pendekatan pelayanan pengobatan
terhadap penderita agar secara langsung
dapat mengatasi keteraturan meminum
obat yang dapat dilakukan oleh keluarga
sebagai unit terdekat dari penderita TB
Paru (Muherman. 2003).
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 3 No.3 Nopember 2008
145
Berdasarkan fenomena tersebut
penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang penerapan lima tugas keluarga di
bidang kesehatan pada keluarga dengan
anggota keluarga yang menderita TB Paru.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis. Penelitian kualitatif
merupakan pendekatan induktif untuk
menemukan atau mengembangkan
pengetahuan. Penelitian ini mencoba untuk
menggali/mengeksplorasi,
menggambarkan atau mengembangkan
pengetahuan bagaimana pernyataan
dialami. Dalam penelitian ini peneliti akan
menilai pelaksanaan 5 tugas keluarga
diantaranya untuk mengetahui keluarga
mengenal masalah, memutuskan
melakukan tindakan yang tepat, merawat
anggota keluarga yang sakit, menciptakan
lingkungan yang sehat serta
memanfaatkan fasilitas kesehatan terkait
dengan anggota keluarga yang menderita
TB paru.
Populasi adalah seluruh pnderita
TBC di wilayah kerja BP-4 Magelang.
Teknik sampling menggunakan Non
Probability Sampling yaitu Purposive
sampling adalah suatu teknik penetapan
sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan tujuan
penelitian sehingga sampel tersebut dapat
mewakili karakteristik populasi yang telah
dikenal sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan 3
sampel, adapun kriteria sampel adalah
keluarga yang salah satu anggotanya
menderita TB paru yang ditegakkan
dengan sputum BTA positif, tinggal di kota
Magelang serta bersedia menjadi sampel
dalam penelitian.
HASIL DAN BAHASAN
Dari hasil wawancara dan analisa
data muncul beberapa tema yang terkait
dengan tugas kesehatan pada keluarga
dengan anggota keluarga menderita TB
paru, yaitu :
Mengenal masalah TB paru
Pada dasarnya pengetahuan
responden tentang TB paru hampir sama.
Mereka dapat mengungkapkan baik
pengertian, tanda dan gejala serta cara
penularan berdasarkan pengalaman
mereka.
Pengetahuan adalah merupakan
hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap obyek
tertentu (Notoatmojo, 2003). Pada awalnya
masing-masing responden
mengungkapkan pemahaman mereka
tentang TB paru melalui tanda dan gejala
yang nampak pada anggota keluarga yang
menderita TB paru tersebut. Tanda – tanda
yang dijumpai antara lain batuk yang lama
dan mengeluarkan dahak dan darah, serta
penderita tampak pucat.
Tuberkulosis paru merupakan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberkulosis. Keluhan yang
dirasakan penderita TB paru bermacammacam
antara lain : demam, batuk/batuk
darah, sesak nafas, nyeri dada, malaise,
keluar keringat dingin pada malam hari
serta berat badan turun. Batuk terjadi
karena iritasi pada bronkus, batuk ini
diperlukan untuk membuang produk
radang yang keluar. Sifat batuk dimulai
batuk kering (non produktif) kemudian
setelah terjadi peradangan menjadi
produktif. Keadaan lebih lanjut adalah
batuk darah karena ada pembuluh darah
yang pecah. Kebanyakan batuk darah
padaa tuberkulosis pada kavitas, tetapi
dapat juga terjadi pada ulcus dinding
bronkus (Suyono, 2001).
Setelah kontak dengan fasilitas
kesehatan maka penderita akan dilakukan
berbagai pemeriksaan antara lain
pemeriksaan sputum dan foto rontgen.
Setelah dilakukan pemeriksaan, petugas
kesehatan akan memberikan informasi
tentang penyakit yang diderita oleh
anggota keluarga tersebut. Dengan
informasi dari petugas kesehatan tersebut
maka menambah pengetahuan keluarga
tentang penyakit, sehingga keluarga
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 3 No.3 Nopember 2008
146
mampu menjelaskan bahwa penyakit yang
diderita oleh keluarga adalah penyaakit
paru-paru yang disebut tuberkulosis (TBC).
Hal ini sesuai dengan pendapat Baumann
(1961) yang menyatakan bahwa semakin
terdidik keluarga, semakin baik
pengetahuan keluarga tentang kesehatan
(Friedman, 1998).
Keluarga menyatakan bahwa
penyakit ini dapat menular. Pernyataan ini
didasarkan oleh pengalaman mereka
bahwa penyakit yang disertai batuk bisa
menularkan kepada orang lain. Hal
tersebut sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa pengetahuan dapat
diperoleh dari pengalaman sendiri atau
pengalaman oraang lain (Notoatmojo,
2003).
Tuberkulosis ini menular karena
disebabkan oleh kuman yang disebut
micobakterium tuberkulosa. Kuman ini
akan menular melalui droplet (Suyono,
2001). Batuk atau meludah akan
menyebarkan kuman kepada orang lain
melalui udara. Jadi pernyataan responden
cara penularan TB paru melalui batuk, alat
makan dan minum yang dipakai penderita,
tidur dan bicara berhadap-hadapan dengan
penderita tidak bertentangan dengan teori
tersebut.
Keputusan yang diambil setelah
anggota keluarga menderita TB paru
Penderita yang dijadikan sampel
dalam penelitian ini dua diantaranya
adalah kepala keluarga yang bertanggung
jawab mencari nafkah dalam keluarga.
Sedangkan yang satu meskipun sebagai
anak tetapi sudah bertanggung jawab
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Dengan adanya sakit maka kehidupan
keluarga terganggu sehingga keluarga
berupaya untuk mencari pengobatan agar
penderita segera sehat kembali dan dapat
melaksanakan fungsinya.
Masalah kesehatan anggota
keluarga saling berkaitan apabila ada
anggota keluarga yang sakit akan
mempengaruhi anggota keluarga yang lain.
Dalam perawatan anggotanya yang sakit
keluarga tetap merupakan pengambil
keputusan dalam perawatan anggota
keluarganya yang sakit (Effendy, 1987).
Perawatan TB Paru
Perilaku kesehatan pada dasarnya
adalah suatu respon seseorang terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan serta lingkungan (Notoatmojo,
2003). Perilaku keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang menderita TB paru
dipengaruhi oleh pengetahuan mereka
tentang TB paru serta kemampuan sosial
ekonomi mereka.
Menurut pengetahuan keluarga
supaya cepat sembuh daari sakit
memerlukan makanan yang bergizi,
sehingga keluarga memberikan makanan
tambahan berupa telur dan susu kepada
anggota keluarga yang sakit. Tapi ada juga
keluargaa yang kurang memperhatikan
masalah nutrisi anggota keluarganya yang
menderita TB paru. Hal ini karena
massalah ekonomi keluarga sehingga
mereka cenderung untuk memberikan
makanan kepada anggota keluarga apa
adanya sesuai dengan kemampuan
mereka.
Keluarga menyatakan bahwa TB
paru bersifat menular. Keluarga melakukan
tindakan pencegahan penularan sesuai
dengan pengetahuan mereka.
Berdasarkan pengetahuan responden
bahwa yang dapat menularkan penyakit TB
paru adalah melalui batuk, alat makan,
bicara serta tidur berhadapan. Sesuai hal
itu maka keluarga melakukan upaya
pencegahan penularan yaitu
menyendirikan alat makan dan minum,
tidur disendirikan atau tidak berhadapan
dan dahak dibuang di jamban. Disamping
hal tersebut ada juga keluarga yang
menyatakan bahwa dengan pengobatan
pada penderita dapat menurunkan
penularan. Hal tersebut sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa pengobatan
penderita dengan sputum BTA positif
merupakan tindakan pencegahanyang
paling efektif karena pemberian
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 3 No.3 Nopember 2008
147
kemoterapi akan menurunkan dengan
cepat kekuatan virulensi kuman
tuberkulosis (Crotron, 1998). Dalam
pengobatan keluarga sangat berperan
penting. Pengobatan TB paru memerlukan
waktu yang lama sehingga memerlukan
dorrongan dari keluarga. Keluarga
merupakan pendorong terjadinya perilaku
(Notoatmojo, 2003). Sehingga sikap dan
perilaku keluarga mempengaruhi perilaku
penderita TB paru dalam meminum obat.
Upaya yang dilakukan keluarga agar
penderita TB paru rutin minum obat yaitu
membantu menyiapkan obat, memberi
anjuran minum obat rutin, mengingatkan
serta menanyakan apa obat sudah
diminum. Dengan adanya perhatian serta
motivasi dari keluarga diharapkan akan
mengontrol pasien agar tetap minum obat
secara rutin. Sejalan dengan penelitian ini
adalah studi kuantitatif penelitian yang
dilakukan oleh Sukana, tentang
pengobatan TB paru dengan
memberdayakan tenaga anggota keluarga
di Kabupaten Tangerang. Dari hasil studi di
peroleh bahwa dengan memberdayakan
keluarga, ketaatan minum obat penderita
TBC lebih baik dibandingkan dengan
bukan anggota keluarga (Sukana, 1999).
Upaya meningkatkan lingkungan yang
sehat
Upaya yang dilakukan keluarga
dalam meningkatkan lingkungan yang
sehat antara lain dengan menjaga
kebersihan dan mengatur ventilasi.
Keluarga berpendapat dengan mengatur
ventilasi udara menjadi segar karena udara
bisa masuk dan keluar.
Kesehatan lingkungan pada
hakekatnya adalah suatu kondisi
lingkungan yang optimum sehingga
berpengaruh positif terhadap terwujudnya
status kesehatan yang optimum pula.
Higiene dan sanitasi lingkungan
menurunkan resiko penularan penyakit
tuberkulosis. Hal tersebut dapat berupa
menjaga kebersihan lingkungan dan rumah
yang adekuat (Crotron, 1998). Ventilasi
rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi
pertama adalah untuk menjaga agar aliran
udara di dalam rumah tersebut tetap segar.
Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang
diperlukan oleh penghuni rumah tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya oksigen di
ddalam rumah yang berarti kadar
karbondioksida yang bersifat racun bagi
penghuninya meningkat. Disamping itu
kelembaban udara di dalam ruangan akan
naik. Kelembaban ini akan menjadi media
yang baik untuk bakteri-bakteri patogen.
Tetapi dalam penelitian ini masih
ditemukan keluarga yang kurang menjaga
kebersihan lingkungan serta kurang
memperhatikan keadaan ventilasi. Hal
tersebut dikarenakan kesibukan keluarga
dalam mencari nafkah.
Secara psikologis keluarga
meningkatkan lingkungan yang sehat
dengan menjaga hubungan baik dengan
penderita serta memberikan dukungan
moril kepada penderita. Melalui
pemenuhan fungsi afektif keluarga, individu
mengembangkan kemampuan untuk
berhubungan secara akrab dan intim satu
dengan lainnya. Keintiman merupakan hal
yang penting dalam hubungan manusia
karena keintiman dapat memenuhi
kebutuhan psikologis terhadap keakraban
emosional dengan orang lain dan
memungkinkan individu dalam hubungan
tersebut untuk mengetahui seluruh
keunikan satu sama lain (Friedman, 1998).
Pengobatan tuberkulosis
memerlukan waktu yang lama sehingga
memerlukan kesabaran. Tidak jarang
penderita merasa bosan atau jenuh untuk
minum obat sehingga menghentikan
pengobatan. Untuk meningkatkan hal
tersebut diperlukan dukungan moral dari
keluarga.
Pemanfaatan fasilitas kesehatan
Persepsi keluarga terhadap sehat
sakit erat hubungannya dengan perilaku
mencari pengobataan. Respon keluarga
apabila terdapat anggota keluarga yang
sakit adalah sangat bervariasi mulai tidaak
melakukan apa-apa dengan alasan tidaak
mengganggu, melakukan tindakan tertentu
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 3 No.3 Nopember 2008
148
seperti mengobati sendiri, mencari fasilitas
kesehatan tradisional, mencari pengobatan
di warung obat, mencari pengobatan ke
fasiltas kesehatan modern yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau
lembaga-lembaga swasta seperti balai
pengobatan, Puskesmas, Rumah Sakit
sampai dengan mencari pengobataan
modern yang diselenggarakan oleh dokter
praktek (Notoatmojo, 2003).
Awalnya responden
memanfaatkan Rumaah Sakit ataau dokter
spesialis, tetapi setelah mengetahui
lamanya pengobatan TB paru sehingga
memerlukan biaya yang mahal maka para
responden memanfaatkan BP-4 dalam
pengobatan penderitan karena di BP-4
menyediakan pengobatan tuberkulosis
sesuai dengan program pemerintah secara
gratis.
SIMPULAN
Pelaksanaan lima tugas
keluarga pada keluarga dengan anggota
keluarga menderita TB paru dapat
disimpulkan bahwa keluarga mengenal
penyakit yang diderita anggota
keluarganya, pada awalnya hanya tanda
gejala yang muncul dan mengerti bahwa
yang diderita anggota keluarganya adalah
TB paru setelah kontak dengan fasilitas
kesehatan. Keputusan yang diambil
setelah keluarga menerima mengetahui
penyakit yang diderita anggota
keluarganya adalah mengupayakan
pengobatan. Upaya yang dilakukan
keluarga dalam merawat anggota keluarga
yang menderita TB paru di rumah antara
laain pemberian nutrisi, pencegahan
penularan serta pengobatan. Keluarga
dalam menciptakan lingkungan yang sehat
bagi penderita TB paru adalah menjaga
kebersihan serta mengatur ventilasi.
Fasilitas kesehatan yang digunakan oleh
keluarga dalam perawataan TB paru
adalah rumah sakit, dokter spesialis dan
BP-4.
Adapun rekomendasi dari
penelitian ini adalah keluarga perlu
diberikan informasi yang lengkap tentang
TB paru terutama pengobatan dan
perawatan termasuk pemberian nutrisi,
usaha pencegahan penularan serta upaya
menciptakan lingkungan yang sehat bagi
penderita karena pengetahuan akan
mempengaruhi perilaku mereka dalam
pengobatan dan perawatan anggota
keluarganya yang menderita TB paru, serta
keluarga perlu dilibatkan dalam perawatan
anggota keluarga yang menderita TB paru.
DAFTAR PUSTAKA
Muherman H. Hari Tuberkulosis Sedunia,
Jurnal Kedokteran & Farmasi No
4 Th XXIX, Terbit Minggu I,
2003.
…………, Jumlah Penderita TBC di Jateng
Meningkat
(www.ppmplp.depkes.go.id/infoli
st, 28 Oktober 2003).
Notoatmojo Soekidjo. Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Rineka
Cipta, 2003.
Suyono S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2001.
Friedman, Marilyn.M. Keperawatan
Keluarga (teori dan Praktek),
Edisi 3 Alih bahasa Ina Debora &
Yaakim Asy. Jakarta : EGC,
1998
Notoatmojo Soekidjo. Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta, 2003.
Effendy Nasrul. Dasar-dasar Keperawatan
Kesehatan Masyarakat. Edisi II.
Jakarta : EGC, 1998.
Crotton. Tuberkulosis Klinik. Alih bahasa
Moeljono. Jakarta : Widya
Medika, 1998
Konsep Keperawatan keluarga
KONSEP KEPERAWATAN KELUARGA

DEFINISI KELUARGA
1. Duvall dan Logan ( 1986 ) :
Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang
bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan
fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.
2. Bailon dan Maglaya ( 1978 ) :
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya
hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain,
mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
3. Departemen Kesehatan RI ( 1988 ) :
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam
keadaan saling ketergantungan.
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah :
1. Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi
2. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu
sama lain
3. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial :
suami, istri, anak, kakak dan adik
4. Mempunyai tujuan : menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan
fisik, psikologis, dan sosial anggota.
STRUKTUR KELUARGA
1. Patrilineal : keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa
generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur ayah
2. Matrilineal : keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa
generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu
3. Matrilokal : sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah ibu
4. Patrilokal : sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami
5. Keluarga kawinan : hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan
suami atau istri.
CIRI-CIRI STRUKTUR KELUARGA
1. Terorganisasi : saling berhubungan, saling ketergantungan antara anggota keluarga
2. Ada keterbatasan : setiap anggota memiliki kebebasan, tetapi mereka juga mempunyai
keterbatasan dalam mejalankan fungsi dan tugasnya masing-masing
3. Ada perbedaan dan kekhususan : setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya
masing-masing.
CIRI-CIRI KELUARGA INDONESIA
1. Suami sebagai pengambil keputusan
2. Merupakan suatu kesatuan yang utuh
3. Berbentuk monogram
4. Bertanggung jawab
5. Pengambil keputusan
6. Meneruskan nilai-nilai budaya bangsa
7. Ikatan kekeluargaan sangat erat
8. Mempunyai semangat gotong-royong
MACAM-MACAM STRUKTUR / TIPE / BENTUK KELUARGA
1. TRADISIONAL :
a. The nuclear family (keluarga inti)
Keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak.
b. The dyad family
Keluarga yang terdiri dari suami dan istri (tanpa anak) yang hidup bersama dalam satu
rumah
c. Keluarga usila
Keluarga yang terdiri dari suami istri yang sudah tua dengan anak sudah memisahkan diri
d. The childless family
Keluarga tanpa anak karena terlambat menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat
waktunya, yang disebabkan karena mengejar karir/pendidikan yang terjadi pada wanita
e. The extended family (keluarga luas/besar)
Keluarga yang terdiri dari tiga generasi yang hidup bersama dalam satu rumah seperti
nuclear family disertai : paman, tante, orang tua (kakak-nenek), keponakan, dll)
f. The single-parent family (keluarga duda/janda)
Keluarga yang terdiri dari satu orang tua (ayah dan ibu) dengan anak, hal ini terjadi biasanya
melalui proses perceraian, kematian dan ditinggalkan (menyalahi hukum pernikahan)
g. Commuter family
Kedua orang tua bekerja di kota yang berbeda, tetapi salah satu kota tersebut sebagai
tempat tinggal dan orang tua yang bekerja diluar kota bisa berkumpul pada anggota keluarga
pada saat akhir pekan (week-end)
h. Multigenerational family
Keluarga dengan beberapa generasi atau kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu
rumah
i. Kin-network family
Beberapa keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah atau saling berdekatan dan saling
menggunakan barang-barang dan pelayanan yang sama. Misalnya : dapur, kamar mandi,
televisi, telpon, dll)
j. Blended family
Keluarga yang dibentuk oleh duda atau janda yang menikah kembali dan membesarkan anak
dari perkawinan sebelumnya
k. The single adult living alone / single-adult family
Keluarga yang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena pilihannya atau perpisahan
(separasi), seperti : perceraian atau ditinggal mati
2. NON-TRADISIONAL :
a. The unmarried teenage mother
Keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa nikah
b. The stepparent family
Keluarga dengan orangtua tiri
c. Commune family
Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada hubungan saudara, yang
hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama, pengalaman yang sama,
sosialisasi anak dengan melalui aktivitas kelompok / membesarkan anak bersama
d. The nonmarital heterosexual cohabiting family
Keluarga yang hidup bersama berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan
e. Gay and lesbian families
Seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup bersama sebagaimana pasangan suami-
istri (marital partners)
f. Cohabitating couple
Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan karena beberapa alasan tertentu
g. Group-marriage family
Beberapa orang dewasa yang menggunakan alat-alat rumah tangga bersama, yang merasa
telah saling menikah satu dengan yang lainnya, berbagi sesuatu, termasuk sexual dan
membesarkan anaknya
h. Group network family
Keluarga inti yang dibatasi oleh set aturan/nilai-nilai, hidup berdekatan satu sama lain dan
saling menggunakan barang-barang rumah tangga bersama, pelayanan dan bertanggung
jawab membesarkan anaknya
i. Foster family
Keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga/saudara dalam waktu
sementara, pada saat orangtua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan
kembali keluarga yang aslinya
j. Homeless family
Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang permanen karena krisis
personal yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan atau problem kesehatan mental
k. Gang
Sebuah bentuk keluarga yang destruktif, dari orang-orang muda yang mencari ikatan
emosional dan keluarga yang mempunyai perhatian, tetapi berkembang dalam kekerasan dan
kriminal dalam kehidupannya.
PERANAN KELUARGA
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan, yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga
didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut :
1. Peranan ayah :
Ayah sebagai suami dari istri, berperanan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan
pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya, serta
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya
2. Peranan ibu :
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah
tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya,
disamping itu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
3. Peranan anak :
Anak-anak melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik
fisik, mental, sosial dan spiritual.
FUNGSI KELUARGA
1. Fungsi biologis :
a. Meneruskan keturunan
b. Memelihara dan membesarkan anak
c. Memenuhi kebutuhan gizi keluarga
d. Memelihara dan merawat anggota keluarga
2. Fungsi Psikologis :
a. Memberikan kasih sayang dan rasa aman
b. Memberikan perhatian di antara anggota keluarga
c. Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga
d. Memberikan identitas keluarga
3. Fungsi sosialisasi :
a. Membina sosialisasi pada anak
b. Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak
c. Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga
4. Fungsi ekonomi :
a. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
b. Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga
c. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa yang akan datang
(pendidikan, jaminan hari tua)
5. Fungsi pendidikan :
a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan membentuk
perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya
b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi
peranannya sebagai orang dewasa
c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.
TAHAP-TAHAP KEHIDUPAN / PERKEMBANGAN KELUARGA
Meskipun setiap keluarga melalui tahapan perkembangannya secara unik, namun secara umum
seluruh keluarga mengikuti pola yang sama (Rodgers cit Friedman, 199 :
1. Pasangan baru (keluarga baru)
Keluarga baru dimulai saat masing-masing individu laki-laki dan perempuan membentuk
keluarga melalui perkawinan yang sah dan meninggalkan (psikologis) keluarga masing-
masing :
a. Membina hubungan intim yang memuaskan
b. Membina hubungan dengan keluarga lain, teman, kelompok sosial
c. Mendiskusikan rencana memiliki anak
2. Keluarga child-bearing (kelahiran anak pertama)
Keluarga yang menantikan kelahiran, dimulai dari kehamilan samapi kelahiran anak pertama
dan berlanjut damapi anak pertama berusia 30 bulan :
a. Persiapan menjadi orang tua
b. Adaptasi dengan perubahan anggota keluarga, peran, interaksi, hubungan sexual dan
kegiatan keluarga
c. Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan
3. Keluarga dengan anak pra-sekolah
Tahap ini dimulai saat kelahiran anak pertama (2,5 bulan) dan berakhir saat anak berusia 5
tahun :
a. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, seperti kebutuhan tempat tinggal, privasi dan rasa
aman
b. Membantu anak untuk bersosialisasi
c. Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan anak yang lain juga harus
terpenuhi
d. Mempertahankan hubungan yang sehat, baik di dalam maupun di luar keluarga (keluarga
lain dan lingkungan sekitar)
e. Pembagian waktu untuk individu, pasangan dan anak (tahap yang paling repot)
f. Pembagian tanggung jawab anggota keluarga
g. Kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh dan kembang anak
4. Keluarga dengan anak sekolah
Tahap ini dimulai saat anak masuk sekolah pada usia enam tahun dan berakhir pada usia 12
tahun. Umumnya keluarga sudah mencapai jumlah anggota keluarga maksimal, sehingga
keluarga sangat sibuk :
a. Membantu sosialisasi anak : tetangga, sekolah dan lingkungan
b. Mempertahankan keintiman pasangan
c. Memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin meningkat, termasuk kebutuhan
untuk meningkatkan kesehatan anggota keluarga
5. Keluarga dengan anak remaja
Dimulai pada saat anak pertama berusia 13 tahun dan biasanya berakhir sampai 6-7 tahun
kemudian, yaitu pada saat anak meninggalkan rumah orangtuanya. Tujuan keluarga ini
adalah melepas anak remaja dan memberi tanggung jawab serta kebebasan yang lebih besar
untuk mempersiapkan diri menjadi lebih dewasa :
a. Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab, mengingat remaja sudah
bertambah dewasa dan meningkat otonominya
b. Mempertahankan hubungan yang intim dalam keluarga
c. Mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan orangtua. Hindari perdebatan,
kecurigaan dan permusuhan
d. Perubahan sistem peran dan peraturan untuk tumbuh kembang keluarga
6. Keluarga dengan anak dewasa (pelepasan)
Tahap ini dimulai pada saat anak pertama meninggalkan rumah dan berakhir pada saat anak
terakhir meninggalkan rumah. Lamanya tahap ini tergantung dari jumlah anak dalam
keluarga, atau jika ada anak yang belum berkeluarga dan tetap tinggal bersama orang tua :
a. Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar
b. Mempertahankan keintiman pasangan
c. Membantu orangtua suami/istri yang sedang sakit dan memasuki masa tua
d. Membantu anak untuk mandiri di masyarakat
e. Penataan kembali peran dan kegiatan rumah tangga
7. Keluarga usia pertengahan
Tahap ini dimulai pada saat anak yang terakhir meninggalkan rumah dan berakhir saat
pensiun atau salah satu pasangan meninggal :
a. Mempertahankan kesehatan
b. Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan teman sebaya dan anak-anak
c. Meningkatkan keakraban pasangan
8. Keluarga usia lanjut
Tahap terakhir perkembangan keluarga ini dimulai pada saat salah satu pasangan pensiun,
berlanjut saat salah satu pasangan meninggal damapi keduanya meninggal :
a. Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan
b. Adaptasi dengan peruabahan kehilangan pasangan, teman, kekuatan fisik dan pendapatan
c. Mempertahankan keakraban suami istri dan saling merawat
d. Mempertahankan hubungan dengan anak dan sosial masyarakat
e. Melakukan life review (merenungkan hidupnya).
PERAWATAN KESEHATAN KELUARGA
Perawatan kesehatan keluarga adalah tingkat perawatan kesehatan masyarakat yang ditujukan
atau dipusatkan pada keluarga sebagai unit atau kesatuan yang dirawat, dengan sehat sebagai
tujuan melalui perawatan sebagai saran/penyalur.
Alasan Keluarga sebagai Unit Pelayanan :
1. Keluarga sebagai unit utama masyarakat dan merupakan lembaga yang menyangkut
kehidupan masyarakat
2. Keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau
memperbaiki masalah-masalah kesehatan dalam kelompoknya
3. Masalah-masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan, dan apabila salah satu angota
keluarga mempunyai masalah kesehatan akan berpengaruh terhadap anggota keluarga
lainnya
4. Dalam memelihara kesehatan anggota keluarga sebagai individu (pasien), keluarga tetap
berperan sebagai pengambil keputusan dalam memelihara kesehatan para anggotanya
5. Keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk berbagai upaya kesehatan
masyarakat.
Tujuan Perawatan Kesehatan Keluarga
1. Tujuan umum :
Meningkatkan kemampuan keluarga dalam memelihara kesehatan keluarga mereka, sehingga
dapat meningkatkan status kesehatan keluarganya
2. Tujuan khusus :
a. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengidentifikasi masalah kesehatan yang
dihadapi oleh keluarga
b. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam menanggulangi masalah-masalah kesehatan
dasar dalam keluarga
c. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan yang tepat dalam
mengatasi masalah kesehatan para anggotanya
d. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap
anggota keluarga yang sakit dan dalam mengatasi masalah kesehatan anggota keluarganya
e. Meningkatkan produktivitas keluarga dalam meningkatkan mutu hidupnya
Tugas-tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Untuk dapat mencapai tujuan asuhan keperawatan kesehatan keluarga, keluarga mempunyai
tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara. Freeman (1981) :
1. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga
2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat
3. Memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit, dan yang tidak dapat
membantu dirinya sendiri karena cacat atau usaianya yang terlalu muda
4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan
kepribadian anggota keluarga
5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan,
yang menunjukkan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.
Peran Perawat Keluarga :
1. Pendidik
Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga agar :
a. Keluarga dapat melakukan program asuhan kesehatan keluarga secara mandiri
b. Bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan keluarga
2. Koordinator
Diperlukan pada perawatan berkelanjutan agar pelayanan yang komprehensif dapat tercapai.
Koordinasi juga sangat diperlukan untuk mengatur program kegiatan atau terapi dari
berbagai disiplin ilmu agar tidak terjadi tumpang tindih dan pengulangan
3. Pelaksana
Perawat yang bekerja dengan klien dan keluarga baik di rumah, klinik maupun di rumah sakit
bertanggung jawab dalam memberikan perawatan langsung. Kontak pertama perawat kepada
keluarga melalui anggota keluarga yang sakit. Perawat dapat mendemonstrasikan kepada
keluarga asuhan keperawatan yang diberikan dengan harapan keluarga nanti dapat
melakukan asuhan langsung kepada anggota keluarga yang sakit
4. Pengawas kesehatan
Sebagai pengawas kesehatan, perawat harus melakukan home visite atau kunjungan rumah
yang teratur untuk mengidentifikasi atau melakukan pengkajian tentang kesehatan keluarga
5. Konsultan
Perawat sebagai narasumber bagi keluarga di dalam mengatasi masalah kesehatan. Agar
keluarga mau meminta nasehat kepada perawat, maka hubungan perawat-keluarga harus
dibina dengan baik, perawat harus bersikap terbuka dan dapat dipercaya
6. Kolaborasi
Perawat komunitas juga harus bekerja dama dengan pelayanan rumah sakit atau anggota tim
kesehatan yang lain untuk mencapai tahap kesehatan keluarga yang optimal
7. Fasilitator
Membantu keluarga dalam menghadapi kendala untuk meningkatkan derajat kesehatannya.
Agar dapat melaksanakan peran fasilitator dengan baik, maka perawat komunitas harus
mengetahui sistem pelayanan kesehatan (sistem rujukan, dana sehat, dll)
8. Penemu kasus
Mengidentifikasi masalah kesehatan secara dini, sehingga tidak terjadi ledakan atau wabah
9. Modifikasi lingkungan
Perawat komunitas juga harus dapat mamodifikasi lingkungan, baik lingkungan rumah
maupun lingkungan masyarakat, agar dapat tercipta lingkungan yang sehat.
Prinsip-prinsip Perawatan Keluarga :
1. Keluarga sebagai unit atau satu kesatuan dalam pelayanan kesehatan
2. Dalam memberikan asuhan perawatan kesehatan keluarga, sehat sebagai tujuan utama
3. Asuhan keperawatan yang diberikan sebagai sarana dalam mencapai peningkatan kesehatan
keluarga
4. Dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan keluarga, perawat melibatkan peran
serta keluarga dalam mengatasi masalah kesehatannya
5. Lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan yang bersifat promotif dan preventif dengan tidak
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif
6. Dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan keluarga memanfaatkan sumber daya
keluarga semaksimal mungkin untuk kepentingan kesehatan keluarga
7. Sasaran asuhan perawatan kesehatan keluarga adalah keluarga secara keseluruhan
8. Pendekatan yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan keluarga
adalah pendekatan pemecahan masalah dengan menggunakan proses keperawatan
9. Kegiatan utama dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan keluarga adalah
penyuluhan kesehatan dan asuhan perawatan kesehatan dasar/perawatan di rumah
10. Diutamakan terhadap keluarga yang termasuk resiko tinggi.

Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakata: EGC.


Long, B. C. (1995).Perawatan medikal bedah. (Essential of medical surgical nursing), Penerjemah
R. karnaen, Syamsunir adam, maria ulfa, hotma rumahorbo, nurlina supartini, eva berty, eri
suhaeri. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran.

Carpenito, L. J. (1999). Buku saku diagnosa keperawatan. (Handbook of Nursing Diagnosis). Edisi
7, Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta: EGC

Carpenito, L. J. (2001). Buku saku diagnosa keperawatan. (Handbook of Nursing Diagnosis). Edisi
8, Alih bahasa monica Ester. Jakarta: EGC

Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek.(Family nursing teori and
practice). Edisi 3. Alih bahasa Ina debora R. L. Jakarta: EGC

Effendy. N (1998). Dasar- dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2. Jakarta; EGC
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuanhidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan yang optimal.Untuk meencapai tujuan tersebut diperlukan
upayadari seluruh potensi bangsa baik masyarakat, swasta, maupun
pemerintah pusat dan daerah.
Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) ditetapkan sub sistem upaya
kesehatan yang terdiri dari dua unsur utama yaitu upaya kesehatan
perorangan (UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM). UKM terutama
diselenggarakan oleh Pemerintah dengan peran aktif masyarakat dan
swasta, sedangkan UKP dapat diselenggarakan oleh masyarakat, swasta,
dan pemerintah.Penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilaksanakan
sevara menyeluruh, terarah, terencana, terpadu, berkelanjutan, terjangkau,
berjenjang, profesional dan bermutu.
Upaya keperawatan kesehatan masyarakat merupakan upaya
kesehatan penunjang yang terintegrasi dalam semua upaya kesehatan
Puskesmas baik upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan
pengembang, sehingga diharapkan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dapat lebih bermutu.
Upaya keperawatan kesehatan masyarakat adalah pelayanan
profesional yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan di Puskesmas
yang dilaksanakan oleh perawat Puskesmas untuk memberikan pelayanan
keperawatan dalam bentuk asuhan keperawatan individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat, sehingga tercapai kemandirian masyarakat baik
di sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan Puskesmas
(Kepmenpan No. 94 tahun 2001)
Perawatan Kesehatan masyarakat (Perkesmas),perpaduan antara
keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta aktif
masyarakat mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara
berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif
secara menyuluh dan terpadu,ditujukan kepada
individu,keluarga,kelompok dan masyarakat untuk ikut meningkatkan
fungsi kehidupan manusia secara optimal,sehingga mandiri dalam upaya
kesehatan masyarakat, sebagaimana tercantum dalam Undang-udang No
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Masyarakat, Undang undang No 32/2004
Tentang Pemerintahan Daerah, Keputusan Menteri Kesehatan No
128/menkes/SK/II/2005 Tentang Kebijakan dasar Pusat kesehatan
masyarakat, Undang undang No 279/2006
tentang Pedoman UpayaPenyelengaraan Perkesmas
di Puskesmas, Organisasi Tata KerjaDepartemen Kesehatan
dan pengaturannya ditujukan dalam rangka terwujudnya
kualitas masyarakat yang sehat melalui upaya pencegahan penyakit
dan/atau gangguan kesehatan dari factor risiko kesehatanmasyarakat di
permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi serta tempat dan fasilitas
umum.
Untuk mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat terutama
karena meningkatnya penyakit dan/atau gangguan kesehatan yang
diakibatkan oleh Faktor Risiko Lingkungan, pemerintah telah menetapkan
Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan terdepan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan upaya promotif
dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya di wilayah kerjanya.
Dalam pengaturan Puskesmas ditegaskan bahwa salah satu upaya
kesehatan masyarakat yang bersifat esensual adalah berupa
PerawatanKesehatan masyarakat. Upaya kesehatan masyarakat esensial
tersebut harus diselenggarakan oleh setiap Puskesmas untuk mendukung
pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota bidang kesehatan.
Untuk memperjelas lingkup penyelenggaraan
Perawatan Kesehatanmasyarakat di Puskesmas perlu diatur mengenai uraian
kegiatan Perawatan Kesehatan masyarakat sebagai acuan bagi petugas Puskesmas
dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan tersebut.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Meningkatkan kemandirian masyarakat untuk mengatasi masalah
kesehatan khususnya masalah keperawatan kesehatan untuk mencapai
derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
2. TujuanKhusus
a. Meningkatnya pengetahuan, sikap dan perilaku individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat tentang kesehatan
b. Meningkatnya penemuan-penemuan dini kasus prioritas
c. Meningkatnya penanganan keperawatan kasus prioritas di Puskesmas
d. Meningkatnya penanganan kasus prioritas yang mendapatkan tindak lanjut
keperawatan di rumah
e. Meningkatnya akses keluarga miskinyang mendapatkan pelayanan
kesehatan/keperawatan kesehatan masyarakat
f. Meningkatnya pembinaan keperawatan kelompok khusus
g. Memperluas daerah binaan keperawatan di masyarakat

C. SASARAN
1. Sasaran individu
Sasaran prioritas individu adalah balita gizi buruk, ibu hamil resiko
tinggi, usia lanjut, penderita penyakit menular (antara lain; TB Paru, Kusta,
Malaria, Demam Berdarah, Diare, ISPA, dan Pneumonia), dan penderita
penyakit degeneratif.
2. Sasaran Keluarga
Sasaran keluarga adalah keluarga yang termasuk kategori rentan
terhadap masalah kesehatan (vulnerable group) atau resiko tinggi (high risk
group) dengan prioritas:
a. Keluarga miskin yang belum pernah kontak dengan sarana pelayanan
kesehatan (Puskesmas dan jaringannya) dan tidak memiliki Kartu Sehat
b. Keluarga miskin yang sudah memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan
dan mempunyai masalah kesehatan terkait dengan pertumbuhan dan
perkembangan, kesehatan reproduksi, dan penyakit menular
c. Keluarga yang tidak termasuk keluarga miskin yang mempunyai masalah
kesehatan prioritas serta belum memanfaatkan sarana pelayanan
kesehatan
3. Sasaran Kelompok
Sasaran kelompok adalah kelompok masyarakat khusus yang rentan
terhadap timbulnya masalah kesehatan baik yang teriakat maupun yang
tidak terikan dalam suatu institusi.
a. Kelompok masyarakat khusus tidak terikat dalam suatu institusi antara lain
Posyandu, Kelompok Balita, Kelompok ibu hamil, Kelompok Usia Lanjut,
Krlompok penderita penyakit tertentu, Kelompok pekerja informal.
b. Kelompok masyarakat khusus terikat dalam suatu institusi, antara lain
sekolah, pesantren, panti asuhan, panti usia lanjut, rumah tahanan, dan
lembaga pemasyarakatan.
4. Sasaran Masyarakat
Sasaran masyarakat adalah masyarakat yang rentan atau mempunyai
resiko tinggi terhadap timbulnya masalah kesehatan, yang diprioritaskan
pada:
a. Masyarakat di suatu wilayah (RT, RW, Kelurahan/Desa) yang mempunyai:
1) Jumlah bayi meninggal lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain
2) Jumlah penderita penyakit tertentu lebih tinggi dibanding daerah lain
3) Cakupan pelayanan kesehatan lebih rendah dari daerah lain
b. Masyarakat di daerah endemis penyakit menular (malaria, diare, demam
berdarah, dll)
c. Masyarakat di lokasi/barak pengungsian akibat bencana atau akibat
keadaan lainnya
d. Masyarakat dengan kondisi geografi sulit antara lain daerah terpencil dan
daerah perbatasan
e. Masyarakat di daerah pemukiman baru dengan transportasi sulit seperti
daerah transmigrasi

D. Ruang Lingkup Pelayanan


1. Kegiatan Dalam Gedung Puskesmas
Merupakan kegiatan keperawatan kesehatan masyarakat di poli asuhan
keperawatan, poliklinik pengobatan, maupun ruang rawat inap Puskesmas,
yang meliputi:
a. Asuhan keperawatan terhadap pasien rawat jalan dan rawat inap
b. Penemuan kasus baru (deteksi dini) pada pasien rawat jalan
c. Penyuluhan/pendidikan kesehatan
d. Pemantauan keteraturan berobat
e. Rujukan kasus atau masalah kesehatan kepada tenaga kesehatan lain di
puskesmas
f. Pemberian nasehat (konseling) keperawatan
g. Kegiatan yang merupakan kegiatan limpah sesuai dengan pelimpahan
kewenangan yang diberikan dan atau prosedur yang telah ditetapkan
(contoh pengobatan, penanggulangan kasus gawat darurat, dll)
h. Menciptakan lingkungan terapeutik dalam pelayanan kesehatan di gedung
Puskesmas (keamanan, kenyamanan, dll)
i. Dokumentasi keperawatan
2. Kegiatan di Luar Gedung Puskesmas
Melakukan kunjungan ke keluarga/kelompok/masyarakat untuk
melakukan asuhan keperawatan padda keluarga/kelompok/masyarakat
a. Asuhan keperawatan individu di rumah dengan melibatkan peran serta aktif
keluarga, meliputi;
1) Penemuan suspek/kasus kontak serumah
2) Penyuluhan/pendidikan kesehatan pada individu dan keluarganya
3) Pemantauan keteraturan berobat sesuai dengan program pengobatan
4) Kunjungan rumah (home visit/home health nursing sesuai rencana
5) Pelayanan keperawatan dasar langsung (direct care) maupun tidak langsung
(indirect care)
6) Pemberian nasehat (konseling) keperawatan/kesehatan
7) Dokumentasi keperawatan
b. Asuhan Keperawatan Keluarga
Merupakan asuhan keperawatan yang ditujukan pada keluarga
rawan kesehatan/keluarga miskin yang mempunyai masalah kesehatan
yang ditemukan di masyarakat dan dilakukan di rumah tangga, yang
meliputi;
1) Identifikasi keluarga rawan kesehatan/keluarga misken dengan masalah
kesehatan di masyarakat
2) Penemuan dini suspek/kasus kontak serumah
3) Pendidikan atau penyuluhan kesehatan terhadap keluarga (lingkup
keluarga)
4) Kunjungan rumah (home visite/health nursing) sesuai rencana
5) Pelayanan keperawatan dasar langsung (direct care) maupun tidak langsung
(indirect care)
6) Pelayanan kesehatan sesuai rencana
7) Pemberian konseling kesehatan/keperawatan
8) Dokumentasi keperawatan
c. Asuhan Keperawatan Kelompok Khusus
Merupakan asuhan keperawatan pada kelompok masyarakat rawan
kesehatan yang memerlukan perhatian khusus baik dalam suatu institusi
maupun non institusi, yang meliputi;
1) Identifikasi faktor-faktor resiko terjadinya masalah kesehatan di
kelompok
2) Pendidikan/penyuluhan kesehatan sesuai kebutuhan
3) Pelayanan keperawatan dasar langsung (direct care) maupun tidak langsung
(indirect care)
4) Memotivasi pembentukkan, membimbing, dan memantau kader-kader
kesehatan sesuai jenis kelompoknya
5) Dokumentasi keperawatan
d. Asuhan keperawatan masyarakat di daerah binaan
Merupakan asuhan keperawatan yang ditujukan pada masyarakat
yang rentan atau mempunyai resiko tinggi terhadap timbulnya masalah
kesehatan, yang meliputi;
1) Identifikasi masalah kesehatan yang terjadi di suatu daerah dengan masalah
kesehatan spesifik
2) Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui kegiatan memotivasi
masyarakat untuk membentuk upaya kesehatan berbasih masyarakat
3) Pendidikan/penyuluhan kesehatan masyarakat
4) Memotivasi pembentukkan, mengembangkan, dan memantau kader-kader
kesehatan di masyarakat
5) Ikut serta memonitor kegiatan PHBS
6) Dokumentasi keperawatan

E. Definisi Operasional
1. Pusat Kesehatan Masyarakat Yang Selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelengarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama,dengan
lebih mengutamakan upaya promotif danpreventif tanpa mengabaikan
upaya kuratif dan rehabilitatif,untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi tingginya di wilayah kerjanya.
2. Perawatan Kesehatan Masyarakat adalah kegiatan atau serangkaian
kegiatan yang di tujukan untuk mewujudkan kualitas masarakat yang
sehat baik dari aspek fisik ,kimia,biologi,maupun sosial, guna mencegah
dan atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor resiko
masarakat
3. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatan
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung dipuskesmas.
4. Faktor resiko masyarakat adalah hal,keadaan,atau peristiwa yang berkaitan
dengan
5. Kualitas media lingkungan yang mempengaruhi atau berkontribusi terhadap
terjadinya dan atau gangguan kesehatan.
6. Perkesmas adalah Perpaduan antara keperawatan dan kesehatan
masyarakat dengan dukungan peran serta aktif masyarakat.menggunakan
pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa
mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan
terpadu,ditujukan kepada individu,keluarga,kelompok,dan masyarakat
untuk ikut meningkatkan fungsi kehidupan masyarakat untuk ikut
meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal,sehingga mandiri
dalam upaya kesehatanya
7. Inspeksi Perawatan kesehatan Masarakat adalah kegiatan pemeriksaan dan
secara langsung terhadap media ,Masarakat dalam rangka pengawasan
standar,norma, dan baku mutu yang berlaku untuk meningkatkan kualitas
kesehatan
8. Intervensi Perawatan Kesehatan Masyarakat adalah tindakan
penyehatan,pengaman,dan pengendalian untuk mewujudkan kuwalitas
masyarakat yang sehat baik dari aspek fisik,kimia,biologi maupun sosial.
9. Tenaga Kesehatan Masyarakat adalah setiap orang yang telah lulus
pendidikan minimal diploma Tiga di bidang kesehatan Masarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
F. Landasan Hukum
1. Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014
tentang Pusat kesehatan masyarakat
2. Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah
3. Keputusan menteri kesehatan No.1575/SK/XI/2005 Tentang Organisasi dan
tata kerja depar temen Kesehatan
4. Keputusan meteri kesehatan No.1457/SK/X/2003 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten /Kota
5. Keputusan No.279/2006 Tentang Pedoman Upaya Penyelengara Perkesmas
Di Puskesmas

BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Untuk terselenggaranya kegiatan Perawatan Pelayanan Kesehatan
Masarakat di Puskesmas harus ada paling sedikit satu orang tenaga
kesehatan masarakat yang memikliki pendidikan minimal diploma tiga di
bidang kesehatan,Surat Tanda Regristrasi dan surat ijin kerja sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.

B. Distribusi Ketenagaan
Petugas Perkesmas adalah Perawat yang melakukan konsultasi
Perkesmas bagi pasien yang menderita penyakit kronis,ataupun
memberikan konsultasi tentang perkesmas bagi masyarakat yang
membutuhkan. Penanggung jawab upaya perkesmas membawahi
penanggung jawab daerah binaan desa. Diwilayah kerja
puskesmas ......terdapat ... desa daerah binaaan.

No Upaya Nama Petugas Unit Terkait


1 Kesehatan Kepala Puskesmas
Lingkungan , Admin, UKP,
UKM, Masyarakat
2 Penanggungjawab UKM, Desa
darbin
kebonagung
3 UKM, Desa
4 UKM, Desa
C. Jadwal Kegiatan
1. Pengaturan kegiatan upaya kesehatan di lakukan bersama oleh para
pemegang program dalam kegiatan lokakarya mini bulanan dengan
persetujuan kepala Puskesmas
2. Jadwal Kegiatan upaya kesehatan di buat untuk jangka waktu satu
tahun,dan diuraikan dalam jadwal kegiatan bulanan.

No Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

homecare v v v v v v v v v v v v
1

2 casefinding v v v v v v v v v v v v

3 konsultasi v v v v v v v v v v v v

BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruang

Ruang
Ruang Farmasi km
Promk wc
es

km
wc

Pendaftaran dan Ruangan Kesehatan


Rekam Medik Gigi dan
Mulut

Ruangan
pemeriksaan Umum Laboratori
um

Ruangan Ruangan
pemeriksaan Umum Perkesmas

B. Denah Pelayanan
1. Luar Gedung
a. Kunjungan rumah
b. Sekolah
c. Tempat kerja
d. Barak penampungan
e. Puskesmas keliling
f. Panti/kelompok khusus/kelompok risti
2. Dalam Gedung

C. Standar Fasilitas
1. Fasilitas dan Sarana
Ruang konsultasi perkesmas memiliki ruang tersendiri sehingga
memberikan privasi pada klien untuk dapat berkomunikasi kepada petugas
dengan nyaman, selain itu petugas juga lebih mudah dan nyaman ketika
menyusun program maupun menyusun laporan karena memiliki ruangan
tersendiri yang akan menujang kinerjanya. Di samping itu ruangan ini
memiliki meja,kursi dan seperangkat komputer yang terhubung dengan
server untuk memasukan data pasien pada system informasi
puskesmas.Perkesmas mengunakan alat Kesehatan, Perawatan &
pengobatan.
2. Peralatan
SPESIFIKASI PAKET PHN KIT
UNTUK KEGIATAN PERKESMAS

NO NAMA BARANG SPESIFIKASI BARANG JUMLAH

1 Tas PHN Kit Bahan Tas : Nylon tahan air 1 buah


(Waterproof). Warna Tas : Biru
Donker dengan List Kuning.
Model Tas : Jenis Ransel
dengan tulisan di muka
tertera "PHN Kit"
ALAT KESEHATAN
A. PEMERIKSAAN TTV
2 Stetoskop Stainless Steel (Dual Head) 1 buah
3 Tensimeter Air Raksa Model Meja 1 buah
4 Palu Reflek Karet Segitiga Stainless Steel, Kepala 1 buah
Segitiga terbuat dari karet
5 Termometer Digital LCD Display 1 buah
6 Pen Light Stainless Steel dengan 2 AAA 1 buah
Batery
B. PEMERIKSAAN STATUS
GIZI & DARAH
7 Timbangan Badan Digital Bentuk timbangan dari bahan 1 buah
kaca. Berfungsi untuk anak-
anak dan dewasa,
menggunakan baterai. LCD
Display
8 Meteran Terdapat ukuran cm dan 1 buah
inchi pada sisi tali meteran
9 Alat Test Darah Portable Alat untuk memonitor kadar 1 buah
gula darah, asam urat dan
kolesterol.
C. PERAWATAN LUKA
10 Dressing Forceps 14 cm Stainless Steel 1 buah
11 Tissue Forceps 14cm 1x2 Stainless Steel 1 buah
teeth
12 Kom (lodine Cup) 6cm Stainless Steel 1 buah
13 Kom + Tutup 12cm Stainless Steel 1 buah
14 Bak Instrument Sedang Stainless Steel 1 buah
15 Gunting verband Stainless Steel 1 buah
16 Gunting Jaringan Stainless Steel 1 buah
17 Gunting Iris Lurus Stainless Steel 1 buah
18 Klem Arteri/ Pean Lurus Stainless Steel 1 buah
14cm
19 Nierbeken 20cm Stainless Steel 1 buah
20 Gunting Angkat Jahitan Stainless Steel 1 buah
D. BAHAN HABIS PAKAI
21 Alkohol Swab Disposible, Isi 100 buah 1 kotak
22 Refill Stick Gula Darah Disposible, Isi 25 buah 1 kotak
23 Refill Stick Kolesterol Disposible, Isi 10 buah 1 kotak
24 Refill Stick Trigliserida Disposible, Isi 25 buah 1 kotak
25 Tongue spatel Disposible, Isi 50 buah, 1 kotak
terbuat dari kayu
26 Masker Tali Telinga Disposible, Isi 50 buah, 1 kotak
masker hidung dan mulut,
non woofen dibuat dari serat
kapas 3 lapis
27 Blood Lancets Disposible, Isi 100 buah 1 kotak

BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN UPAYA PERKESMAS

A. Kegiatan Lingkup Masyarakat


Kegiatan Perawatan Kesehatan Masarakat Yang di lakukan di Puskesmas
Bener Meliputi
1. Konseling
a. Perkesmas dilakukan oleh tenaga kesehatan Masarakat
b. Perkesmas terhadap pasien yang menderita penyakit dan/atau gangguan
kesehatan yang diakibatkan oleh faktor resiko,Masarakat di lasanakan
secara terintegrasi dengan pelayanan, perawatan,pengobatan.
c. Dalam hal pasien yang menderita penyakit dan /atau gangguan kesehatan
yang di akibatkan oleh faktorrisiko masyarakat tidak menerima Perkesmas
dapat di lakukan dilakukan terhadap keluarga yang di dampingi.
d. Perkesmas dapat mengunakan alat kesehatan, perawatan & pengobatan.
2. Inspeksi kegiatan Masyarakat
Inspeksi Kesehatan masarakat di laksanakan oleh tenaga kesehatan
masarakat,Mikrobiolog, Perawat & Dokter .Dalam pelaksanaan inspeksi
kesehatan masarakat tenaga kesehatan masarakat sedapat mungkin
mengikut sertakan petugas puskesmas yang menanggani program terkait
untuk mengajak serta petugas dari Puskesmas pembantu,poskesdes, atau
Bidan di desa
3. Intervensi /tindakan kesehatan Masarakat.
Intervensi KesehatanMasarakat adalah tindakan kesehatan
pengaman,& pengendalian untuk mewujudkan kualitas masarakat yang
sehat baik dari aspek fisik ,kimia,biologi,maupun sosial,yang berupa:
a. Komunikasi, informasi, dan edukasi,serta penggerakan/pemberdayaan
masarakat
b. perbaikan dan pembangunan sarana
c. pengembangan tehnologi tepat guna & rekayasa Masarakat

B. STRATEGI
Keperawatan Kesehatan Masarakatdi puskesmas di laksanakan secara
sumber daya yang di miliki oleh puskesmas:
1. Perkesmas bagian integral upaya kesehatan wajib maupun
pengembangan. Upaya perkemas dilaksanakan secara terpadu dalam upaya
kesehatan masarakat dalam upaya kesehatan wajib di
Laksanakan Puskesmas, Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, KIA
/KB, P2M, Gizi , Pengobatan,Dengan terintegritasnya upaya perkesmas
kesehatan wajib mengembangkan pelayanan kesehatan masarakat lebih
bermutu d berikan secara,holistik,komprehensif,terpadu &
berkesinambungan.
2. Keperawatan kesehatan masarakat sebagai upaya kesehatan
pengembangan puskesmas. Upaya perkesmas kesehatan melakukan
asuhan keperawatan secara terprogram. Terhadap pengkajian masarakat
yang mempunyai masalah spesifik, angka kematian bayi,angka kematian
ibu,penderita TB Paru,DBD, Malaria,untuk masalah keperawatan dapat di
rencanakan intervensi baik terhadap masarakat,kelompok khusus,keluarga
maupun individu.
C. LANGKAH - LANGKAH KEGIATAN
1. Perencanaan (P1)
Upaya keperawatan kesehatan masarakat dilaksanakan terintegrasi
dengan perencanaan upaya puskesmas baik upaya kesehatan wajib
maupun pengembangan yang di lakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Menyusun usulan kegiatan sesuai prioritas sasaran kegiatan
Puskesmas,dengan mengidentifikasi kegiatan promotif,preventif, yang akan
melengkapi kegiatan upaya kesehatan sehingga pelayanan kesehatan
menjadi lebih utuh.
b. Mengajukan usulan kegiatan secara terpadu dengan kegiatan puskesmas
dengan dinas kesehatan untuk mendapatkan persetujuan pembiayaan.
c. Menyusun rencana pelaksanaan kegiatan puskesmas yang telah disetujui
oleh dinas kesehatan,perlu rencana pelaksanaan kegiatan (Plan Of
Action).Upaya kesehatan puskesmas maka POA Puskesmas juga
terintegrasi,bila upaya perkesmas merupakan upaya pengembangan maka
POA perkesmas dapat di buat tersendiri.
2. Pelaksanaan dan pengendalian (P2)
Pelaksanaan dan pengendalian merupakan rangkaian
penyelenggaraan,pemantauan serta penilaian upaya perkesmas.Langkah
pelaksanaan dan pengendalian meliputi :
a. Pengorganisasian dan pengendalian
Kepala puskesmas merupakan penanggung jawab kegiatan perkesmas di
puskesmas
Agar pelaksanaan perkesmas dapat di selenggarakan secara optimal &
puskesmas di tetapkan adanya :
1) perawat pelaksana perkesmas di puskesmas
2) perawat penanggung jawab desa
3) perawat koordinator perkesmas di puskesmas.
Pengorganisasian tenaga perkesmas disesuaikan dengan jumlah perawat
yang ada.
b. Pelaksanaan kegiatan
Pelaksanaan kegiatan perkesmas di lakukan berdasarkan pelaksanaan
kegiatan (POA) perkesmas telah di susun dalam melaksanakan kegiatan:
1) Mengkaji ulang rencana pelaksanaan kegiatan (POA) yang telah di susun
2) Menyusun jadwal kegiatan bulanan setiap perawat & petugas kesehatan
yang terlibat dalam kegiatan perkesmas
3) Melaksanakan asuhan keperawatan menggunakan standar
/pedoman/prosedur tetap
4) Menyepakati indikator kinerja klinik keperawatan.
3. Pemantauan Hasil Pelaksanaan Kegiatan (P3)
Pemantauan di laksanakan secara berkala oleh kepala puskesmas
dalam kegiatanya, pembahasan masalah dalam bentuk:

a. Refleksi diskusi kasus


Pertemuan (forum diskusi ) berkala bagi perawat puskesmas untuk
membahas tehnis perkesmas dalam pemberian asuhan keperawatan baik
klien individu,keluarga,kelompok maupun masarakat dengan dilakukan
refleksi diskusi kasus secara berkala.
b. Lokakarya mini bulanan
Pertemuan bulanan di puskesmas yang di hadiri seluruh staf
puskesmas dan urut penunjangannya untuk membahas kinerja internal
puskesmas ,meliputi cakupan mutu,pembiyaaan,serta masalah dalam
pelaksanaan upaya puskesmas.
c. Lokakarya mini Tribulanan
Pertemuan setiap 3 bulan sekali dipimpin oleh camat dan di hadiri oleh staf
puskesmas dan unit penunjangannya,instalasi lintas sektoral tingkat
kecamatan,serta perwakilan konsil kesehatan / badan penyantunan
puskesmas.

BAB V
LOGISTIK

Ruang perkesmas yang terintegrasi dengan layanan perkesmas lain.


Kegiatan dilaksanakan dengan menggunakan format asuhan keperawatan,
laporan bulanan, dan kohort keluarga binaan, yamh kemudian akan dibuat
rekapitulasi laporan tingkat Puskesmas dan tingkat Kabupaten/Kota.

BAB VI
KESELAMATAN SASARAN KEGIATAN / PROGRAM

Dalam keperawatan masarakat di


laksnakan, individu, keluarga,kelompok, masarakat yang mempunyai
masalah kesehatan akibat faktor ketidak tauan & ketidak mampuan dalam
menyelesaikan masalah kesehatan. prioritas masarakat keluarga miskin
yang belum mempunyai kartu sehat& masarakat yang mempunyai penyakit
menular.

BAB VII
KESELAMATAN KERJA / APD

Dalam perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan program Perawatan


Kesehatan Masyarakat perlu diperhatikan keselamatan kerja karyawan
Puskesmas dan lintas sektoral dengan melakukan identifikasi resiko
terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi pada saat pelaksanaan
kegiatan.Upaya pencegahan terhadap sasaran harus dilakukan untuk tiap-
tiap kegiatan yang akan dilaksanakan.
1. Masker
2. Kaca Mata
3. Pelampung
4. Sepatu Boot

BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Kinerja program Pelayanan perawatan kesehatan masarakat di


monitor dan dievaluasi dengan menggunakan indikator sebagai berikut :
1. Ketetapan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan jadwal.
2. Kesesuaian petugas yang melaksanakan kegiatan
3. Ketetapan metode yang digunakan
4. Tercapainya indikator program pelayanan perawatan kesehatan masarakat.

BAB IX
PENUTUP

Pelayanan perawatan kesehatan masarakat di puskesmas diarahkan


untuk mengendaikan faktor risiko penyakit dan gangguan kesehatan akibat
buruknya kondisi pelayanan perawatan kesehatan masarakat melalui
upaya promotif dan prefentif.
Peran Puskesmas selain memberikan pelayanan yang bersifat upaya
kesehatan perorangan,juga pada upaya kesehatan masarakat melalui
pelayanan perawatan kesehatan .
PERAN PERAWAT DALAM KESEHATAN MASYARAKAT

LATAR BELAKANG

Permasalahan kesehatan yang dihadapi sampai saat ini cukup kompleks, karena upaya kesehatan belum

dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun

2007 diketahui penyebab kematian di Indonesia untuk semua umur, telah terjadi pergeseran dari penyakit

menular ke penyakit tidak menular, yaitu penyebab kematian pada untuk usia > 5 tahun, penyebab

kematian yang terbanyak adalah stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Hasil Riskesdas 2007 juga

menggambarkan hubungan penyakit degeneratif seperti sindroma metabolik, stroke, hipertensi, obesitas

dan penyakit jantung dengan status sosial ekonomi masyarakat (pendidikan, kemiskinan, dan lain-lain).

Prevalensi gizi buruk yang berada di atas rata-rata nasional (5,4%) ditemukan pada 21 provinsi dan 216

kabupaten/kota. Sedangkan berdasarkan gabungan hasil pengukuran gizi buruk dan gizi kurang Riskesdas

2007 menunjukkan bahwa sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas

prevalensi nasional sebesar 18,4%. Namun demikian, target rencana pembangunan jangka menengah untuk

pencapaian program perbaikan gizi yang diproyeksikan sebesar 20%, dan target Millenium Development

Goals sebesar 18,5% pada 2015, telah dapat dicapai pada 2007.1

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu terus ditingkatkan upaya-upaya untuk memperluas jangkauan dan

mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mutu pelayanan yang baik, berkelanjutan

dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama keluarga miskin rawan kesehatan/risiko tinggi.

Upaya pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat melalui upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan

pengembangan. Salah satu upaya kesehatan pengembangan yang dilakukan oleh Puskesmas Harapan Raya

adalah program Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas). Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan

RI Nomor: 128/Menkes/SK/II/Tahun 2004 tentang kebijakan dasar Puskesmas, upaya perawatan kesehatan

masyarakat merupakan upaya program pengembangan yang kegiatannya terintegrasi dalam upaya

kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan.2,3

Perawatan kesehatan masyarakat (Perkesmas) merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dasar

yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Perkesmas dilakukan dengan penekanan pada upaya pelayanan

kesehatan dasar. Pelaksanaan Perkesmas bertujuan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam

mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal. Untuk

mengupayakan terbinanya kesehatan masyarakat, maka diharapkan 40 % keluarga rawan kesehatan

memperoleh kunjungan rumah dan pembinaan kesehatan oleh tenaga kesehatan melalui kegiatan

perkesmas.2

Sasaran perawatan kesehatan masyarakat adalah individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang

mempunyai masalah kesehatan akibat faktor ketidaktahuan, ketidakmauan maupun ketidakmampuan dalam

menyelesaikan masalah kesehatannya. Prioritas sasaran adalah yang mempunyai masalah kesehatan terkait

dengan masalah kesehatan prioritas daerah yaitu belum kontak dengan sarana pelayanan kesehatan atau
sudah memanfaatkan tetapi memerlukan tindak lanjut. Fokus utama pada keluarga rawan kesehatan yaitu

keluarga miskin yang rentan dan keluarga yang termasuk resiko tinggi.4 Keluarga yang tidak mendapat

pelayanan perkesmas merupakan beban sosial dan ekonomi serta dapat berdampak buruk terhadap

masyarakat lainnya. Pemerintah memiliki tanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dan

memberikan akses ke pelayanan kesehatan terutama bagi keluarga yang memiliki hambatan untuk mencapai

pusat-pusat pelayanan kesehatan. Penduduk rawan ini telah menjadi salah satu bagian sasaran program

Perkesmas di Puskesmas.5

Berdasarkan penelitian Septino (2007) diketahui beberapa masalah Perkesmas yang dihadapi pada

Puskesmas-Puskesmas di Indonesia antara lain laporan yang tidak sesuai dari Puskesmas, Puskesmas yang

tidak membuat rencana tahunan dan jumlah sasaran tidak dilakukan pendataan. Tentang masalah dana,

Dinas Kesehatan memberikan dana secara block grand ke Puskesmas berdasarkan usulan kegiatan yang

mereka buat. Selanjutnya, tentang sarana dan prasarana seperti Public Health Nursing (PHN) kit, obat, buku

pedoman dan formulir laporan sudah tersedia, tetapi pencapaiannya masih rendah.4

Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan program Perkesmas dan upaya peningkatan

kinerja Perkesmas yang dilaksanakan di Puskesmas Mantrijeron kota Yogyakarta didapatkan bahwa (1) 18,2%

petugas memiliki kemampuan kurang, (2) 27,3 % petugas memiliki motivasi kurang, (3) tidak ada petugas

yang tidak patuh, (4) 27,3 % petugas tidak melakukan perencanaan dengan baik, (5) 36,4 % petugas kurang

baik dalam penggerakan pelaksanaan Perkesmas, (6) 18,2 % petugas kurang baik dalam pengawasan,

pengendalian dan penilaian Perkesmas.6

2.1 Definisi Perkesmas

Perawatan kesehatan masyarakat (Perkesmas) adalah perpaduan antara keperawatan dan kesehatan

masyarakat dengan dukungan peran serta aktif masyarakat mengutamakan pelayanan promotif dan

preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyuluh

dan terpadu, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat untuk ikut meningkatkan

fungsi kehidupan manusia secara optimal, sehingga mandiri dalam upaya kesehatannya masyarakat.6

Menurut WHO Perkesmas merupakan lapangan perawatan khusus yang merupakan gabungan ketrampilan

ilmu keperawatan, ilmu kesehatan masyarakat dan bantuan sosial, sebagai bagian dari program kesehatan

masyarakat secara keseluruhan guna meningkatkan kesehatan, penyempurnaan kondisi sosial, perbaikan

lingkungan fisik, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan bahaya yang lebih besar, ditujukan kepada individu,

keluarga, yang mempunyai masalah dimana hal itu mempengaruhi masyrakat secara keseluruhan.7

2.2 Tujuan Perkesmas

Dalam pelaksanaan kegiatan Perkesmas tujuan yang diharapkan adalah meningkatnya kemandirian individu,

keluarga, kelompok/masyarakat (rawan kesehatan) untuk mengatasi masalah kesehatan/keperawatannya

sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.6

2.3 Dasar Hukum Perkesmas

Adapun dasar hukum pelaksanaan Perkesmas yaitu:6


1. UU no 23 th 1992 tentang kesehatan

2. UU no 32/2004 tentang pemerintahan daerah

3. Kepmenkes no 1575 /menkes/sk/xi/2005 tentang organisasi dan tata kerja Departemen Kesehatan

Republik Indonesia

4. Kepmenkes no 1239/2001 tentang registrasi dan praktik perawat

5. Kepmenkes no 1457/menkes/sk/ x/ 2003 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan di

kabupaten/kota

6. Kepmenkes no 128/menkes/sk/ii/2004 tentang kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat

7. Kepmenkes 836/2005 tentang pengembangan manajemen kinerja perawatan/bidan

8. Kepmenkes no 279/2006 tentang pedoman upaya penyelenggaraan Perkesmas di Puskesmas

2.4 Sasaran Perkesmas

Adapun yang menjadi sasaran program Perkesmas ini adalah seluruh masyarakat yang dapat terbagi

menjadi:1,6

1. Individu khususnya individu risiko tinggi (risti): menderita penyakit, balita, lanjut usia (lansia), masalah

mental/jiwa.

2. Keluarga khususnya ibu hamil (bumil), lansia, menderita penyakit, masalah mental/jiwa.

3. Kelompok/masyarakat berisiko tinggi, termasuk daerah kumuh, terisolasi, konflik, tidak terjangkau

pelayanan kesehatan.

Fokus sasaran Perkesmas adalah keluarga rawan kesehatan dengan prioritasnya adalah keluarga rentan

terhadap masalah kesehatan (Gakin), keluarga risiko tinggi (anggota keluarga bumil, balita, lansia,

menderita penyakit).

2.5 Bentuk Kegiatan Perkesmas

Adapun bentuk kegiatan Perkesmas antara lain:6

1. Asuhan keperawatan pasien (prioritas) kontak Puskesmas yang berada di poliklinik Puskesmas, Puskesmas

pembantu (pustu), Puskesmas keliling (pusling), posyandu, pos kes desa.

a. Pengkajian keperawatan pasien sebagai deteksi dini (sasaran prioritas)

b. Penyuluhan kesehatan

c. Tindakan Keperawatan (direct care)

d. Konseling keperawatan

e. Pengobatan (sesuai kewenangan)

f. Rujukan pasien/masalah kesehatan

g. Dokumentasi keperawatan

2. Kunjugan rumah oleh perawat (home visit/home care) terencana, bertujuan untuk pembinaan keluarga

rawan kesehatan.

Home visit adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang komprehensif bertujuan memandirikan pasien

dan keluarganya, pelayanan kesehatan diberikan di tempat tinggal pasien dengan melibatkan pasien dan

keluarganya sebagai subyek yang ikut berpartisipasi merencanakan kegiatan pelayanan, pelayanan dikelola
oleh suatu unit/sarana/institusi baik aspek administrasi maupun aspek pelayanan dengan mengkoordinir

berbagai kategori tenaga profesional dibantu tenaga non profesional, di bidang kesehatan maupun non

kesehatan.7

Ruang Lingkup home visit yaitu memberi asuhan keperawatan secara komprehensif, melakukan pendidikan

kesehatan pada pasien dan keluarganya, mengembangkan pemberdayaan pasien dan keluarga.7

Mekanisme pelayanan home visit:7

a. Proses penerimaan kasus.

– Home visit menerima pasien dari tiap poliklinik di Puskesmas

– Koordinator program Perkesmas menunjuk perawat pelaksana Perkesmas untuk mengelola kasus

– Perawat pelaksana Perkesmas membuat surat perjanjian dan proses pengelolaan kasus

b. Proses pelayanan home visit:

– Persiapan terdiri dari memastikan identitas pasien, bawa denah/petunjuk tempat tinggal pasien, lengkap

kartu identitas unit tempat kerja, memastikan perlengkapan pasien untuk di rumah, menyiapkan file asuhan

keperawatan, menyiapkan alat bantu media untuk pendidikan

– Pelaksanaan terdiri dari perkenalan diri dan jelaskan tujuan, observasi lingkungan yang berkaitan dengan

keamanan perawat, lengkapi data hasil pengkajian dasar pasien, membuat rencana pelayanan, lakukan

perawatan langsung, diskusikan kebutuhan rujukan, kolaborasi, konsultasi dll, diskusikan rencana

kunjungan selanjutnya dan aktifitas yang akan dilakukan, dokumentasikan kegiatan.

– Monitoring dan evaluasi antara lain keakuratan dan kelengkapan pengkajian awal, kesesuaian perencanaan

dan ketepatan tindakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tindakan oleh pelaksana.

– Proses penghentian pelayanan home visit, dengan kriteria : tercapai sesuai tujuan, kondisi pasien stabil,

program rehabilitasi tercapai secara maksimal, keluarga sudah mampu melakukan perawatan pasien, pasien

di rujuk, pasien menolak pelayanan lanjutan, pasien meninggal dunia.

– Pembiayaan home visit terdiri dari

a. Prinsip penentuan tarip antara lain pemerintah/masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara

kesehatan, disesuaikan dengan kemampuan keuangan dan keadaan sosial ekonomi, mempertimbangkan

masyarakat bepenghasilan rendah/asas gotong royong, pembayaran dengan asuransi ditetapkan atas dasar

saling membantu, mencakup seluruh unsur pelayanan secara proporsional

b. Jenis pelayanan yang kena tarip antara lain jasa pelayanan tenaga kesehatan, imbalan atas pemakaian

sarana kesehatan yang digunakan langsung oleh pasien, dana transportasi untuk kunjungan pasien

3. Kunjungan perawat ke kelompok prioritas terencana (posyandu usila, posyandu balita, panti asuhan dan

lain-lain)

a. Pengkajian keperawatan individu di kelompok

b. Pendidikan/penyuluhan kesehatan di kelompok

c. Pengobatan (sesuai kewenangan)

d. Rujukan pasien/masalah kesehatan

e. Dokumentasi keperawatan

4. Asuhan keperawatan pasien di ruang rawat inap Puskesmas


a. Pengkajian keperawatan individu

b. Tindakan keperawatan langsung (direct care) dan tidak langsung (lingkungan)

c. Pendidikan/penyuluhan kesehatan

d. Pencegahan infeksi di ruangan

e. Pengobatan (sesuai kewenangan)

f. Penanggulangan kasus gawat darurat

g. Rujukan pasien/masalah kesehatan

h. Dokumentasi keperawatan

i.

2.6 Pelaksana Kegiatan Perkesmas

Perawat koordinator Perkesmas di Puskesmas harus mempunyai kualifikasi yaitu minimal D3 Keperawatan

dan pernah mengikuti pelatihan/sertifikasi Perkesmas serta memiliki pengalaman kerja di Puskesmas yang

mempunyai tugas sebagai berikut:6,8

a. Pertemuan dengan perawat pelaksana Perkesmas/penanggung jawab daerah binaan (darbin) untuk

mengidentifikasi masalah prioritas dengan data epidemiologi, merencanakan kegiatan Perkesmas,

memfasilitasi pembahasan masalah dalam Refleksi Diskusi Kasus (RDK), membahas masalah keuangan.

b. Kunjungan lapangan untuk melakukan bimbingan pada perawat pelaksana

c. Penyusunan laporan yang disusun berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Perkesmas yang merupakan

bahan pertanggung jawaban kepada Kepala Puskesmas

Sertifikasi bagi perawat Perkesmas yaitu:

a. Pelatihan Perkesmas

b. Pelatihan Pengembangan Manajemen Kinerja Klinis (PMKK) untuk perawat koordinator

c. Pelatihan gadar (basic)

d. Pelatihan HIV/AIDS

e. Pelatihan Keperawatan Kesehatan jiwa Masyarakat (basic)

f. Pelatihan-pelatihan lainnya (program ISPA, PHBS, gizi, flu burung,dll)

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Perkesmas di wilayah kerja Puskesmas6

2.7 Indikator keberhasilan Perkesmas

Indikator keberhasilan kinerja Perkesmas terdiri dari:6

a. Indikator kinerja klinik

Ada 4 indikator dalam menilai keberhasilan kinerja klinik Perkesmas yaitu:

1. Indikator input

– Persentasi perawat koordinator (D3 Keperawatan)

– Persentasi perawat terlatih keperawatan kesehatan komunitas

– Persentasi Penanggung jawab daerah binaan/desa punya PHN kit

– Persentasi Puskesmas memiliki pedoman/standar


– Tersedia dana operasional untuk pembinaan

– Tersedia standar/pedoman/SOP pelaksanaan kegiatan

– Tersedia dukungan administrasi (buku register, family folder, formulir laporan, dll)

2. Indikator proses

– Persentasi keluarga rawan mempunyai family folder

– Maping (peta) sasaran Perkemas

– Rencana kegiatan Perkesmas (POA)

– Bukti Pembagian tugas perawat

– Ada kegiatan koordinasi dengan petugas kesehatan lain

– Catatan keperawatan

– Kegiatan Refleksi Diskusi Kasus

– Hasil pemantauan dan evaluasi

3. Indikator output (key indicator)

– Persentasi keluarga rawan dibina

– Persentasi keluarga selesai dibina

– Persentasi penderita (prioritas SPM) dilakukan tindak lanjut keperawatan (follow up care)

– Persentasi kelompok dibina

– Persentasi daerah binaan di suatu wilayah

4. Indikator hasil (Outcome) yang ingin dicapai adalah terbentuknya keluarga mandiri dalam memenuhi

kesehatannya/mengatasi masalah kesehatannya yang terdiri dari 4 tingkatan keluarga mandiri (KM),

masing-masingnya mempunyai kriteria-kriteria sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kriteria Keluarga Mandiri

Perilaku KM 1 KM II KM III KM IV

Menerima petugas Puskesmas + + + +

Menerima yankes sesuai rencana + + + +

Menyatakan masalah secara benar + + +

Memanfaatkan sarana kesehatan sesuai anjuran + + +

Melaksanakan perawatan sederhana sesuai anjuran + + +

Melaksanakan tindakan pencegahan secara aktif + +

Melaksanakan tindakan promotif secara aktif +

b. Indikator kinerja fungsional

Indikator kinerja fungsional yaitu indikator kinerja perawat Puskesmas untuk mengukur pencapaian angka

kredit jabatan fungsionalnya yaitu jumlah angka kredit yang dicapai sama dengan jumlah kegiatan perawat

dalam mencapai indikator klinik (output) nya.

2.8 Pemantauan dan Penilaian Perkesmas

Pemantauan dilaksanakan secara periodik setiap bulan oleh kepala Puskesmas dan Perawat koordinator
Perkesmas. Hasil pemantauan terhadap pencapaian indikator kinerja menjadi masukan untuk perbaikan dan

peningkatan kinerja perawat berikutnya, peningkatan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Sedangkan

penilaian dilaksanakan minimal setiap akhir tahun dan hasilnya digunakan untuk masukan dalam

penyusunan perencanaan kegiatan Perkesmas pada tahun berikutnya. Untuk memudahkan pemantauan dan

penilaian kinerja Perkesmas maka dilakukan penyajian hasil dengan menggunakan tabel, grafik balok/garis

atau grafik Pemantauan Wilayah Setempat (PWS). Penilaian dilakukan setahun sekali meliputi semua aspek

baik input, output, outcome sebagai masukan penyusunan rencana kegiatan Perkesmas tahun berikutnya.

A. Identifikasi Masalah.

Menurunya derajat kesehatan masyarakat dalam rangka kegiatan Perawatan Kesehatan Masyarakat

(Perkesmas} diakibatkan oleh meningkatnya angka kesakitan pada keluarga sasaran khususnya keluarga

rawan, keluarga yang rentan terhadap masalah kesehatan. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa

faktor, antara lain :

1. Meningkatnya suatu penyakit di masyarakat.

2. Kurangnya kegiatan Perawatan Kesehatan Masyarakat oleh petugas.

3. Kurang akuratnya data yang tersedia

4. Lingkungan yang tidak sehat dan bersih.

Selanjutnya dapat diidentifikasi masalah yang berhubungan langsung dengan masalah utama tersebut di

atas adalah kurangnya kegiatan Perawatan Kesehatan Masyarakat oleh petugas yang disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain :

1. Kurangnya kerjasama lintas program terkait.

2. Kurangnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

3. Kurangnya kemampuan/keterampilan petugas (bidan dan pada perawat)

4. Kurangnya motivasi petugas.

B. Sasaran.

Dengan adanya identifikasi masalah diatas, maka penulis dapat mengemukakan sasaran yang ingin dicapai

dalam rangka menuju pemecahan masalah . Adapun sasaran yang dimaksud adalah seperti di bawah ini.

Terwujudnya peningkatan derajat kesehatan masyarakat dalam rangka kegiatan Perkesmas diakibatkan dari

tercapainya penurunan angka kesakitan pada keluarga rawan yang rentan terhadap masalah kesehatan.

Penurunan angka kesakitan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Tertanggulanginya suatu penyakit di masyarakat

2. Terwujudnya peningkayan kegiatan perawatan kesehatan masyarakat oleh petugas (bidan dan perawat).

3. Tersedianya keakuratan data.

4. Terwujudnya lingkungan yang sehat dan bersih

Sedangkan yang menyebabkan terwujudnya peningkatan kegiatan perawatan kesehatan masyarakat oleh

petugas adalah :

1. Terwujudnya peningkatan kerjasama lintas program terkait.

Dengan sudah dilaksanakannya pelatihan petugas perawatan kesehatan masyarakat. Petugas dari perogram
terkait sudah memahami dan mengerti tentang pelaksanaan dari Program Puskesmas. Bahwa program

Puskesmas sangat mendukung untuk program puskesmas lainnya tertutama dalam pencapaian cakupan

program Kesehatan Ibu dan Anak dan program Pemberantasan Penyakit menular temasuk Imunisasi.Program

KIA dan Imunsasi adalah program primadona. Untuk program KIA dalam hal pencapaian cakupan K.1 dan

K.4, sedangkan untuk pelayanan program Imunisasi petugas Puskesmas melakukan pembinaan pada

keluarga DO (Drop Out).Dari program Gizi petugas Puskesmas membantu dalam hal pembinaan kelarga

yang mempunyai bayi, anak balita, yang berat badannya berada dibawah garis merah (Balita BGM) dan ibu

hamil /ibu nifas yang kekuranan enegi sera membantu dalam hal pelaksanaan pemberian makanan

tambahan (PMT). Untuk program pemberantasan Penyakit Menular (P2M) petugas Puskesmas membantu

memberikan bimbingan serta tindak lanjut untuk kasus-kasus penyakit menular maupun tidak menular.

2. Tersedianya sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

Dengan terpenuhinya sarana dan prasarana khususnya peralatan medis dan ruangan yang memadai dalam

melaksanakan kegiatan akan menimbulkan suasana yang nyaman dan leluasa sehingga dapat membuat jiwa

kita menjadi tenang. Adanya peralatan medis khusus untuk kegiatan program Puskesmas yang dipunyai oleh

masing-masing petugas (bidan dan perawat) akam memudahkan kegiatan Puskesmas di masyarakat. Dan

program perawatan kesehatan masyarakat bisa berjalan dengan lancar.

3. Terwujudnya peningkatan kemampuan/keterampilan petugas (bidan dan perawat).

Seperti sudah diuraikan pada bab terdahulu bahwa kendala/hambatan yang ditemui dalam upaya

peningkatan pelaksanaan kegiatan Perkesmas adalah faktor manusia sebagai pelaksana yang mempunyai

kelemahan, yaitu kurangnya kemampuan/keterampilan petugas untuk melaksanakan tugas keperawatan.

Sebagai pendukung kelancaran dan kemudahan dalam melaksanakan kegiatan Perkesmas bagi petugas bagi

petugas khususnya perawat, bidan dan bidan-bidan didesa perlu adanya pelatihan, pembinaan yang terus

menerus oleh atasan langsung atau dari pihak yang berkepentingan, melaksanakan petunjuk teknis

pelajaran.

Dengan adanya usaha tersebut diatas diharapkan akan meningkatkan kemampuan/keterampilan bagi

petugas Perkesmas, sehingga kegiatan perkesmas dapat dilaksanakan secara optimal dan pada akhirnya

akan terjadi peningkatan, baik disegi pelayanan terhadap masyarakat maupun disegi pelayanan terhadap

masyarakat maupun disegi pencapaian cakupan/hasil kegiatan.

4. Terwujudnya motivasi kerja petugas.

Terwujudnya motivasi kerja dalam melaksanakan kegiatan Perkesmas tidak lepas dari

kemampuan/keterampilan petugas serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung. Hal ini secara tidak

langsung membantu memotivasi petugas untuk melaksanakan tugas dengan baik. Motivasi kerja petugas

dilihat dari keaktifan petugas dalam membina desa binaan.

C. Alternatif Pemecahan.

Selanjutnya guna mengidentifikasi pemecahan masalah dan penetuan sasaran yang ingin dicapai, maka

perlu dibuat beberapa alternatif sebagai acuan untuk menuju rangkaian pemecahan masalah sehingga

terwujudnya peningkatan kemampuan /keterampilan petugas Perkesmas khususnya perawat, bidan, dan
bidan-bidan desa melalui kegiatan-kegiatan seperti :

1. Melaksanakan study banding ke Puskesmas teladan.

2. Melaksanakan pelatihan petugas perkesmas.

3. Melaksanakan pembinaan.

4. Melaksanakan pembuatan petunjuk teknis pelajaran.

Dari beberapa kegiatan tersebut diatas kegiatan yang bisa dilaksanakan dan berpengaruh langsung terhadap

peningkatan kemampuan/keterampilan petugas Perkesmas yaitu kegiaatan pelatihan bagi perawat, bidan

dan bidan-bidan desa selaku pelaksana kegiatan Perkesmas.

Dengan adanya peningkatan kemampuan/keterampilan petugas Perkesmas oleh petugas yang selanjutnya

akan memungkinkan tercapainya penurunan angka kesakitan pada keluarga rawan yang rentan terhadap

maslah kesehatan dan pada akhirnya memungkinkan terwujudnya peningkatan derajat kesehatan

masyarakat.

Dengan adanya strategi pemecahan masalah dari sasaran yang diharapkan, dapatlah ditentukan sasaran

umum dan sasaran khusus dari rencana kerja yang ingin dicapai. Adapun sasaran umum dan saran khusus

yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Sasaran Umum :

Terwujudnya peningkatan kemampuan /keterampilan petugas Perkesmas melalui pelaksanaan pelatihan

petugas Perkesmas.

2. Sasaran Khusus :

Terwujudnya peningkatan kemampuan /keterampilan petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat (bidan dan

perawat) melalui pelaksanaan pelatihan petugas Perkesmas

D. Langkah-Langkah Kegiatan.

Kegiatan yang kiranya diselenggarakan guna mencapai sasaran adalah dengan melaksanakan pelatihan

petugas perawatan Kesehatan Masyarakat untuk mewujudkan peningkatan kemampuan/keterampilan bidan

perawat.

Kegiatan tersebut diatas pelaksanaannya dapat dibagi menjadi beberapa tahapan kegiatan antara lain :

1. Persiapan yang terdiri dari pembentukan panitia, pencairan dana, pembuatan jadwal, penyiapan

perlengkapan serta pemberitahuan peserta pelatihan.

2. Pelaksanaan terdiri dari pembukaan pelatihan, penyajian materi serta penutup.

3. Pengendalian meliputi pemantauan, penilaian serta pelaporan dari semua kegiatan yang dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 1993, Jakarta, Petunjuk Pengelolaan Perawatan Kesehatan Masyarakat

Depkes RI, 1996, Jakarta, Pedoman Pemantauan Penilaian Program Perawatan Kesehatan Masyarakat.

You might also like