You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Mata berhubungan erat dengan otak, dan sering memberi petunjuk-


petunjuk diagnostik penting untuk berbagai gangguan susunan saraf pusat.
Memang, saraf optikus adalah bagian dari susunan saraf pusat. Penyakit
intrakranium sering menyebabkan gangguan penglihatan karena adanya
kerusakan atau tekanan pada salah satu bagian dari jalur optikus. Saraf-saraf
kranialis III, IV, dan VI, yang mengontrol gerakan otot-otot okular, mungkin
terkena, dan saraf V dan VII juga berhubungan erat dengan dengan fungsi
mata.1

Parinaud adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa paralisis


konvergensi adalah sebuah kondisi yang berbeda dari insufisiensi
konvergensi, dimana diplopia terjadi hanya pada fiksasi dekat, adduksi
normal, dan pasien tidak mampu memusatkan perhatian. Akomodasi mungkin
saja normal, berkurang, atau bahkan tidak ada, dan pupil bisa saja terlibat
ataupun tidak. Pada beberapa pasien refleks pupil mungkin terhapus akibat
konvergensi dan dipertahankan untuk cahaya (berkebalikan dengan pupil
Argyll Robertson).2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Konvergensi berarti proses mengarahkan sumbu visual dari mata ke


satu titik dekat. Paralisis berarti kehilangan kemampuan menggerakkan bagian
tubuh sebagai akibat kerusakan input saraf. Konvergensi paralisis adalah
kehilangan kemampuan konvergensi mata secara total.1,2

2.2. KONVERGENSI

Sewaktu mengikuti sebuah benda yang bergerak mendekat, maka


kedua mata harus berputar kedalam untuk mempertahankan kesejajaran
sumbu penglihatan dengan objek yang bersangkutan. Otot-otot rektus medial
yang berkontraksi dan otot-otot rektus lateral melemas di bawah pengaruh
stimulasi saraf dan inhibisi.1,3

Konvergensi adalah sebuah proses aktif dengan volunter yang kuat


serta komponen involunter. Satu pertimbangan penting dalam mengevaluasi
otot extraocular pada strabismus adalah konvergensi.1,3

Untuk menguji konvergensi, sebuah benda kecil secara perlahan


dibawa menuju batang hidung. Perhatian pasien diarahkan ke objek dengan
mengatakan, “Jauhkan gambaran dari penggandaan selama mungkin.”
Konvergensi biasanya dapat dipertahankan sampai obyek hampir ke jembatan
hidung. Nilai numerik aktual ditempatkan pada konvergensi dengan mengukur
jarak dari batang hidung (dalam sentimeter) kemana mata “istirahat” (yaitu,
ketika mata non-dominan mengayun ke lateral sehingga konvergensi tidak
lagi dipertahankan). Titik ini disebut titik dekat konvergensi, dan nilai hingga
5 cm dianggap dalam batas normal. 1,3

2
JALUR PENGLIHATAN SENSORIK

Gambaran Topografi Singkat (Gambar 2)

Saraf kranialis II merupakan indera khusus untuk penglihatan. Cahaya


dideteksi oleh sel-sel batang dan kerucut di retina, yang dapat dianggap
sebagai end-organ sensorik khusus untuk penglihatan. Badan sel dari reseptor-
reseptor ini mengeluarkan tonjolan (prosesus) yang bersinaps dengan sel-sel
ganglion retina. Akson sel-sel ganglion membentuk lapisan serat saraf pada
retina dan menyatu membentuk saraf optikus. Saraf keluar dari bagian
belakang bola mata dan berjalan ke posterior di dalam kerucut otot untuk
masuk ke dalam rongga tengkorak melalui kanalis optikus.1,3

3
Didalam tengkorak, dua saraf optikus menyatu membentuk kiasma
optikus. Di kiasma, lebih dari separuh serat (yang berasal dari separuh retina
bagian nasal) mengalami dekusasi dan menyatu dengan serat-serat temporal
yang tidak menyilang dari saraf optikus sisi lain untuk membentuk traktus
optikus. Masing-masing traktus optikus berjalan mengelilingi pedunkulus
serebrum menuju nukleus genikulatum lateral, tempat traktus tersebut
bersinaps. Dengan demikian, semua serat yang menerima impuls dari separuh
kanan lapang pandang masing-masing mata membentuk traktus optikus kiri
dan berproyeksi ke hemisfer serebrum kiri. Demikian juga, separuh kiri
lapang pandang berproyeksi ke hemisfer serebrum kanan. Dua puluh persen
serat di traktus melayani fungsi pupil. Serat-serat ini meninggalkan traktus
tepat di sebelah anterior dari nukleus dan melewati brakium kolikulus superior
menuju ke nukleus pretektalis otak tengah. Serat-serat lainnya bersinaps di
nukleus genikulatum lateral. Badan-badan sel dari struktur ini membentuk
traktus genikulo-kalkarina. Traktus ini berjalan melalui tungkai posterior

4
kapsula interna dan kemudian menyebar ke dalam radiasi optikus yang
melintasi lobus temporalis dan parietalis dalam perjalanan ke korteks
oksipitalis (korteks kalkarina).

Analisis Lapang Pandang dalam Menentukan Lokasi Lesi di Jalur


Penglihatan

Pada praktek klinis, lokasi lesi di jalur penglihatan ditentukan dengan


pemeriksaan lapang pandang sentral dan perifer. Gambar 3 memperlihatkan
jenis-jenis defek lapangan pandang yang disebabkan oleh lesi di berbagai
lokasi di jalur penglihatan. Lesi yang terletak anterior terhadap kiasma (retina
atau saraf optikus) menyebabkan gangguan lapang pandang unilateral; lesi
dimana saja di jalur penglihatan yang terletak posterior terhadap kiasma
menyebabkan defek homonim kontralateral. Defek ini dapat konguren (yi.,
identik ukuran, bentuk, dan lokasinya) atau inkonguren. Lesi di kiasma
biasanya menyebabkan defek bitemporalis.1,3

Sebaiknya digunakan isopter multipel (obyek pemeriksaan dengan


berbagai ukuran) untuk mengevaluasi defek secara menyeluruh. Defek lapang
pandang memperlihatkan tanda edema atau penekanan apabila terdapat di
daerah-daerah “skotoma relatif” (yi., defek lapang pandang lebih besar untuk
obyek pemeriksaan yang lebih kecil). Defek lapang pandang semacam itu
dikatakan mengalami “sloping”. Hal ini berbeda dengan lesi iskemik atau
vaskular dengan batas-batas curam (yi., defek berukuran sama sebesar apapun
ukuran obyek pemeriksaan yang digunakan). Defek lapang pandang ini
dikatakan bersifat “absolut”.1,3

Generalisasi lain yang penting adalah bahwa semakin kongruen defek


lapang pandang homonim (yi., semakin mirip kedua paruh lapang pandang),
semakin posterior letak lesi di jalur penglihatan. Lesi di regio oksipital
menyebabkan defek identik di masing-masing lapang pandang, sedangkan lesi

5
di traktus optikus menyebabkan defek lapang pandang homonim inkongruen
(tidak serupa). Selain itu, semakin posterior letak lesi, semakin besar
kemungkinannya bahwa makula tidak terkena sehingga kedua paruh lapang
pandang dapat mempertahankan ketajaman penglihatan. Hemianopia
homonim lengkap seyogianya masih memiliki ketajaman penglihatan di
lapang pandang yang tidak terkena (jalur retrokiasma utuh), karena bagian
sistem penglihatan tersebut mengandung fungsi makular dan perifer. Lesi
oksipital dapat menimbulkan ketidaksesuaian (diskrepansi) antara
pemeriksaan statik dan kinetik (fenomena Riddoch) dengan lapang pandang
yang lebih penuh pada pemeriksaan dengan obyek “bergerak” (kinetik).1,3

2.3. ETIOLOGI

Kelainan ini disebabkan oleh lesi destruktif di jalur supranukleus


untuk konvergensi.

6
Trauma kepala, ensefalitis, tabes dorsalis, tumor, sklerosis diseminata
dapat menyebabkan konvergensi paralisis. Paralisis konvergen mungkin
berhubungan dengan sindroma Parinaud.2,4

2.4. GEJALA KLINIS

Paralisis konvergen ditandai dengan awitan diplopia untuk penglihatan


dekat yang mendadak, tanpa kelumpuhan salah satu otot ekstraokular.

Karakteristiknya adalah adduksi dan akomodasi normal dengan


ekstropia dan diplopia hanya pada usaha fiksasi dekat. 2,4,5

2.5. DIAGNOSIS

Paralisis konvergensi dapat dengan mudah disimulasikan – secara


sengaja pada pasien yang tidak koperatif dan secara tidak sengaja pada pasien
neurotik dan orang-orang dengan penyakit dengan sistem imun lemah.2

Bielschowsky membentuk prasyarat berikut untuk diagnosis paralisis


konvergensi: (1) bukti adanya penyakit intrakranial, (2) riwayat onset tiba-tiba
diplopia silang pada fiksasi dekat, (3) temuan yang direproduksi pada
pemeriksaan berikutnya, dan (4) mempertahankan akomodasi dan reaksi pupil
pada upaya untuk memusatkan perhatian. Jika oftalmoplegia internal
dihubungkan dengan paralisis konvergensi, keberadaan lesi organik yang
berlokasi di nukleus atau supranukleus hampir pasti.2

2.6. DIAGNOSA BANDING

1. Konvergensi insufisiensi2

2. Ekstropia

3. Diplopia

7
2.7. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaannya terbatas pada penyediaan prisma base-in lebih


untuk meringankan diplopia. Umumnya akomodasi juga melemah, khususnya
pada pasien dengan penyakit kronis, dan sebagai tambahan lensa mungkin
juga dibutuhkan. Pasien-pasien ini mungkin tidak akan mungkin kembali
mendapatkan penglihatan binokular tunggal yang nyaman. Oklusi salah satu
mata diindikasikan pada kasus-kasus seperti itu, dan pembedahan otot mata
merupakan kontraindikasi.2,4

8
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Konvergensi paralisis adalah kehilangan kemampuan konvergensi mata secara


total. Penyebabnya yakni trauma kepala, ensefalitis, tabes dorsalis, tumor, sklerosis
diseminata. Gejala klinis berupa dimana diplopia terjadi hanya pada fiksasi dekat, adduksi
normal, dan pasien tidak mampu memusatkan perhatian. Akomodasi mungkin saja
normal, berkurang, atau bahkan tidak ada, dan pupil bisa saja terlibat ataupun tidak.
Penatalaksanaannya terbatas pada penyediaan prisma base-in lebih untuk meringankan
diplopia.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan & Asbury. 2013. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC
2. Khurana, AK. 2008. Theory and Practice of Optics and Refraction. India: Khurana
3. Vaughan & Asbury. 2013. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC
4. M. Ansons, Alec & Davis, Helen. Diagnosis and Management of ocular Motility Disorders
5. W. Brazis, Paul, dkk. 2011. Localization in Clinical Neurology. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins

10

You might also like