You are on page 1of 43

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CKD

DENGAN TERAPI HEMODIALISA

OLEH :
MALADEWI, S.kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan segala kasih sayang-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul Asuhan
keperawatan Medical Bedah dengan CKD on HD .Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan
seluruh umat yang selalu setia kepada ajaran yang dibawanya sampai akhir zaman.
Keberhasilan peneliti menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya tidak lepas dari
bimbingan berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. drg Tri Budi W Rahardjo, MS. selaku Rektor Universitas Respati
Indonesia.
2. Bapak Dr. Hadi Siswanto, SKM, MPH. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Respati Indonesia.
3. Ibu Herawani, M.Kes, M.Kep Selaku Ketua Program Studi Keperawatan.
4. Ns. Apri Sunadi, M.Kep, Sp. KMB Selaku Kordinator.
5. Para Pembimbing dan pihak Rs Polri Sukanto
6. Para Dosen dan Staf di Program Studi Keperawatan.
7. Kedua orang tua tercinta yang sangat berjasa dalam hidupku.
8. Keluarga tercintaku yang telah memberi dukungan moril maupun materiil.
9. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Keperawatan.

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari kesempurnaan penyusunan
selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua
pembaca pada umumnya.

Jakarta, Mei 2018

Penulis

Maladewi,S.Kep

2
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN HEMODIALISA

I. CHRONIC KIDNEY DISEASE


A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2010).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal
ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Price, S.A. &
Wilson, 2006)
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD
merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya
berlangsung beberapa tahun (Brunner & Suddarth, 2010).
Adanya kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, yang ditandai
oleh kelainan patologi atau petanda kerusakan ginjal secara laboratorik atau
kelainan pada pemeriksaan pencitraan (radiologi), dengan atau tanpa penurunan
fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)
yang berlangsung > 3 bulan.

B. KLASIFIKASI
Menurut Corwin (2001) GGK dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahap I : Penurunan Cadangan Ginjal
- GFR 40-70 ml/min/menurun 50%
- BUN dan Creatinin normal tinggi

3
- Tidak ada manifestasi klinik
- CCT : 76-100 ml/min
Pada stage ini tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron sehat mampu
mengkompensasi nefron yang sudah rusak. Penurunan kemmapuan
mengkonsentrasi urin menyebabkan nokturia dan poliuria.
2. Tahap II : Insufisiensi Ginjal
- GFR 20-40 ml/min atau GFR 20-35%
- BUN dan Creatinin naik
- Anemia ringan, polyuria, nocturia, edema
- CCT : 26-75 ml/min
Nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang dterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolic
dalam darah karena nefron sehat tidak mampu lagi mengkompensasi.
3. Tahap III : Gagal Ginjal
- GFR : 10-20 ml/min atau <20% normal
- Anemia sedang, azotemia
- Gangguan elektrolit : Na ↑, K ↑, dan PO4 ↑
- CCT : 6-25 ml/min
Makin banyak nefron yang mati
4. Tahap IV : ESRD (End Stage Renal Disease)
- GFR : < 10 ml/min atau <5% normal
- Kerusakan fungsi ginjal dalam pengaturan, excretory dan hormonal
- BUN dan Creatinin
- CCT : < 5 ml/min
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Diseluruh ginjal ditemukan
jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah
banyak seperti ureum, kreatinin, dalam darah. Ginjal tidak mampu
mempertahankan homeostatsis. Membutuhkan pengobatan dialisa /
transplantasi ginjal
Menurut American Diabete Association, 2007

Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya
belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal.

4
Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi
dalam kondisi 100%, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi
ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat
penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan
hipertensi.
Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda seseorang berada pada stadium 2
juga tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.
Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri
untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat
yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi
sisa–sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada
stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia
atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti:
 Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat
ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam
tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam
tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang
penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.

5
 Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang
ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi
terbaik serta terapi – terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju
penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta
bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan diet yang tepat.
Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga
kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam
makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah
penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus
membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi.
Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas
normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita
yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain
pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.
Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila seseorang
berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan
menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi
dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul
pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti
tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung
dan penyakit kardiovaskular lainnya. Gejala yang mungkin dirasakan pada
stadium 4 hampir sama dengan stadium 3, yaitu:
 Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat
ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam
tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam
tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami

6
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang
penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
 Sulit berkonsentrasi
Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang
dapat timbul pada stadium 5 antara lain:
 Kehilangan nafsu makan
 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal – gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
 Kram otot
 Perubahan warna kulit

Sesuai dengan test kreatinin klirens (Long, 1996) maka GGK dapat di
klasifikasikan derajat penurunan faal ginjal sebagai berikut:
Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg

7
%)
A Normal Normal
B 50 – 80 % normal Normal – 2,4
C 20 – 50 % normal 2,5 – 4,9
D 10 – 20 % normal 5,0 – 7,9
E 5 – 10 % normal 8,0 – 12,0
F < 5 % normal > 12,0

Pada 2002, National Kidney Foundation AS menerbitkan pedoman


pengobatan yang menetapkan lima stadium CKD berdasarkan ukuran GFR yang
menurun. Pedoman tersebut mengusulkan tindakan yang berbeda untuk masing-
masing stadium penyakit ginjal.
1. Resiko CKD meningkat.
GFR 90 atau lebih dianggap normal. Bahkan dengan GFR normal, kita mungkin
beresiko lebih tinggi terhadap CKD bila kita diabetes, mempunyai tekanan darah
yang tinggi, atau keluarga kita mempunyai riwayat penyakit ginjal. Semakin kita
tua, semakin tinggi resiko. Orang berusia di atas 65 tahun dua kali lipat lebih
mungkin mengembangkan CKD dibandingkan orang berusia di antara 45 dan 65
tahun. Orang Amerika keturunan Afrika lebih beresiko mengembangkan CKD.
2. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada ginjal
dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium pertama penyakit
ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat perkembangan CKD
dan mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah
3. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat fungsi ginjal
kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan perkembangan CKD kita dan
meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
4. Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada stadium
ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita sebaiknya bekerja
dengan dokter untuk mencegah atau mengobati masalah ini.
5. Stadium 4

8
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk komplikasi
CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan
ginjal. Masing-masing pengobatan membutuhkan persiapan. Bila kita memilih
hemodialisis, kita akan membutuhkan tindakan untuk memperbesar dan
memperkuat pembuluh darah dalam lengan agar siap menerima pemasukan
jarum secara sering. Untuk dialisis peritonea, sebuah kateter harus ditanam
dalam perut kita. Atau mungkin kita ingin minta anggota keluarga atau teman
menyumbang satu ginjal untuk dicangkok.
6. Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja cukup untuk
menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis atau pencangkokan
ginjal. (Reeves, 2001)

C. ETIOLOGI
Penyebab GGK (Price & Wilson, 2006), dibagi menjadi delapan, antara lain:
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik
2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
5. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal
6. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal
8. Nefropati obstruktif misalnya
 Saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal
 Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra

Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat
dibagi dalam 2 kelompok :
1. Penyakit parenkim ginjal

9
Penyakit ginjal primer: Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal
polikistik,tbc, ginjal
Penyakit ginjal sekunder: Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal,
Poliarteritis nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, DM
2. Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat,Batu saluran kemih, Refluks
ureter,

D. PATOFISIOLOGI
Pada GGK terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk akhir
metabolisme protein tidak dapat diekskresikan ke dalam urine sehingga
tertimbun didalam darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Dan semakin banyak timbunan produk sampah uremia maka
gejala yang ditimbulkan semakin berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens kreatinin akan
menurun sehingga kreatinin akan meningkat. Kadar nitrogen urea darah (BUN)
biasanya juga meningkat. Ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urine secara normal dan sering terjadi retensi natrium dan cairan,
meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi sistem rennin angiotensin
aldosteron.
Penurunan GFR juga mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum sehingga
terjadi penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar kalsium menyebabkan
sekresi kadar pharathormon, terjadi respon abnormal sehingga kalsium dalam
tulang menurun menyebabkan penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik.
Disamping itu penyakit tulang juga disebabkan penurunan produksi metabolit
aktif vitamin D (1,25 dehidrokolekalsiferol). Patogenesis gagal ginjal kronik
yaitu semakin buruk dan rusaknya nefron – nefron yang disertai berkurangnya
fungsi ginjal, ketika kerusakan ginjal berlanjut dan jumlah nefron berkurang,
maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi nefron demikian tinggi hingga
keseimbangan glomerolus tubulus (keseimbangan antar peningkatan filtrasi dan
peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat dipertahankan lagi.
Fleksibilitas baik pada proses konversi(perubahan) solute dan air menjadi
kurang. Reabsorbsi kalium yang merupakan salah satu fungsi ginjal juga
mengalami gangguan dimana seharusnya 50% kalium direabsorbsi di tubulus

10
paroksimal, 40% di pars asendens tebal dan sisanya di bagian akhir nefron
duktus pengumpul di medulla. Karena kerusakan ginjal pada pasien GGK hal ini
menjadi indikasi untuk dilakukannya hemodialisa pada pasien GGK.
Kerusakan ginjal bisa disebabkan oleh diabetes melitus yaitu pada diabetes
melitus terjadi peningkatan konsentrasi gula darah sehingga ginjal tidak dapat
menyerap semua dan jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan berkurangnya
fungsi nefron dan terjadi kerusakan pada nefron tersebut. Sehingga glukosa
muncul di urin dan menyebabkan glukosuria serta dapat meningkatkan
pengeluaran cairan dan elektrolit. Ini mengakibatkan pada pasien akan terjadi
poliuri (banyak kencing), polidipsi (banyak minum), dan turgor kulit menurun.
Selain itu kerusakan ginjal juga dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis
(peradangan pada glomerulus) yaitu antibodi (IgG) dapat dideteksi pada kapiler
glomerular dan terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga terbentuk agregat
molekul, agregat molekul tersebut diedarkan ke seluruh tubuh dan ada beberapa
yang terperangkap di glomerulus menyebabkan respon inflamasi, jika kejadian
ini berulang akan mengakibatkan ukuran ginjal berkurang seperlima dari ukuran
normal, respon inflamasi juga menyebabkan korteks mengecil menjadi lapisan
yang tebalnya 1mm-2mm. Ini mengakibatkan berkas jaringan parut merusak sisa
korteks dan permukaan ginjal menjadi kasar dan ireguler sehingga glomeruli dan
tubulus menjadi jaringan parut serta terjadi kerusakan glomerulus yang parah
sehingga respon ginjal yang sesuai terhadap masukan cairan dan elektrolit tidak
terjadi serta terjadi retensi cairan dan natrium yang akan menyebabkan oedem.
Kerusakan glomerulus yang parah juga menyebabkan uremia dan anemia.
Nefropati toksik juga menyebabkan kerusakan pada ginjal yang diakibatkan
karena penurunan fungsi filtrasi dan menyebabkan kerusakan nefron sehingga
dapat juga menyebabkan kerusakan glomerulus yang parah. Penyebab kerusakan
ginjal yang lain yaitu nefropati obstruktif (batu saluran kemih), infeksi saluran
kemih dan gangguan pada jaringan penyambung.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada GFR dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi

11
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Soeparman, 2011).

E. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Mansjoer (2001), manifestasi klinik yang muncul pada pasien dengan
gagal ginjal kronik adalah:
Umum Fatiq, malaise, gagal tumbuh, debil.
Kulit Pucat, mudah lecet, rapuh, leukonikia.
Kepala dan leher Rambut rontok, JVP meningkat.
Mata Fundus hipertensif, mata merah.
Kardiovaskuler Hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis,
uremik, penyakit vaskuler.
Pernafasan Hiperventilasi asidosis, edema paru, effusi pleura.
Gastrointestinal Anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum, kolitis uremik,
diare yang disebabkan oleh antibiotic.
Kemih Nokturia, anuria, haus, proteinuria, penyakit ginjal yang mendasarinya.
Reproduksi Penurunan libido, impotensi, amenore, infertilitas, ginekosmastia,
galaktore.
Saraf Letargi, malaise, anoreksia, tremor, mengantuk, kebingungan, flap,
mioklonus, kejang, koma.
Tulang Hiperparatiroidisme, defisiensi vitamin D.
Sendi Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang.
Hematologi Anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan.
Endokrin Multipel.
Farmakologi Obat-obat yang diekskresi oleh ginjal.

Menurut Smeltzer & Bare, 2001:


1. Kardiovaskuler
 Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
 Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
 Edema periorbital
 Friction rub pericardial
 Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
 Warna kulit abu-abu mengkilat
 Kulit kering bersisik
 Pruritus
 Ekimosis
 Kuku tipis dan rapuh
 Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner

12
 Krekels
 Sputum kental dan liat
 Nafas dangkal
 Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
 Anoreksia, mual, muntah, cegukan
 Nafas berbau ammonia
 Ulserasi dan perdarahan mulut
 Konstipasi dan diare
 Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
 Tidak mampu konsentrasi
 Kelemahan dan keletihan
 Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
 Disorientasi
 Kejang
 Rasa panas pada telapak kaki
 Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
 Kram otot
 Kekuatan otot hilang
 Kelemahan pada tungkai
 Fraktur tulang
 Foot drop
7. Reproduktif
 Amenore
 Atrofi testekuler

Tanda dan Gejala Gagal Ginjal Kronis:


1 Gangguan pernafasan
2 Edema
3 Hipertensi
4 Anoreksia, nausea, vomitus
5 Proteinuria
6 Hematuria
7 Letargi, apatis, penurunan konsentrasi
8 Anemia
9 Perdarahan
10 Turgor kulit jelek, gatal-gatal pada kulit
11 Distrofi renal
12 Hiperkalemia
13 Asidosis metabolic

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

13
1. Urine :
Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein
2. Darah :
Bun / kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum,
Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum
3. Pielografi intravena
o Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
o Pielografi retrograd
o Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
o Arteriogram ginjal
o Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
4. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
5. Ultrasono ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas.
6. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis
7. Endoskopi ginjal nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif
8. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal.
Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
10. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
10. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.
11. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2001)

14
H. PENATALAKSANAAN
Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil
pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis
(produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam
amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan
300-600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan
lemak. Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin
kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa.
Simptomatik
Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume
intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan
cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu
penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
Anemia pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia
rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala spesifik
seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas. Abnormalitas
neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium atau aktivitas
kejang. Pasien dilindungi dari kejang.
Terapi Pengganti
Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal
karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan
menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal
merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain
kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi
kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya.
Seorang ahli bedah menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen
bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal yang baru.
Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin seperti ginjal

15
saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua
sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor
kadaver).
Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif
melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju
kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik
utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama,
difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap
perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
 Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran
selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi
dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin
dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi
rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan
perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular).
 Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia
adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi
sebagai ginjal buatan.

Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :


1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida
untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta
diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila
terjadi anemia.
3. Dialisis Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis
memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan
perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
4. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal
ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam

16
jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya
hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum
( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi
puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status
klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion
pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral
atau melalui retensi enema.
5. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan
harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum,
cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan
haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase
luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi
penggantia cairan.
6. Transplantasi ginjal (Reeves, Roux, Lockhart, 2001)

17
infeksi vaskuler zat toksik
Obstruksi saluran kemih
reaksi arteriosklerosis tertimbun ginjal
antigen Retensi urin batu besar dan kasar iritasi / cidera jaringan
antibodi suplai darah ginjal turun
menekan saraf hematuria
perifer
anemia
nyeri pinggang

GFR turun

GGK

sekresi protein retensi Na sekresi eritropoitiN turun


terganggu
sindrom uremia urokrom total CES naik resiko suplai nutrisi dalam produksi Hb turun
tertimbun di kulit gangguan nutrisi darah turun
tek. kapiler oksihemoglobin turun
perpospatemia gang.
perubahan warna naik
keseimbangan gangguan intoleransi
pruritis asam - basa kulit vol. interstisial naik suplai O2 kasar turun aktivitas
perfusi jaringan
prod. asam naik
edema payah jantung kiri bendungan atrium kiri
(kelebihan volume cairan)
as. lambung naik naik
COP turun
nausea, vomitus iritasi lambung preload naik
tek. vena pulmonalis
aliran darah ginjal suplai O2 suplai O2 ke
resiko infeksi perdarahan beban jantung naik
turun jaringan turun otak turun kapiler paru naik
gangguan
gastritis - hematemesis
nutrisi hipertrofi ventrikel kiri RAA turun metab. syncope edema paru
mual, - melena
anaerob (kehilangan
muntah retensi Na & H2O timb. as.
anemia naik laktat naik kesadaran)
gang. pertukaran
kelebihan vol. - fatigue gas
intoleransi aktivitas
cairan - nyeri sendi
19
HEMODIALISA

1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh kumpulan zat sisa metabolisme tubuh.
Hemodialisis digunakan untuk pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien
berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat (Nursalam, 2006).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi
akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)
yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut
dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau
pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang
memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk
mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang
berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

20
2. Tujuan Hemodialisis
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa


metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik. Hemodialis
segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
 Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
 Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.

b. Indikasi Hemodialisis Kronik


Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup
penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai
jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu
sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal
tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
 GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
 Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea dan muntah.
 Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
 Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

21
 Komplikasi metabolik yang refrakter

4. Kontra Indikasi Hemodialisis


Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang
tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan
ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003)

5. Prinsip Dan Cara Kerja Hemodialisis

22
a. Mekanisme Hemodialisis
Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan
dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata

23
atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan
bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke
dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner &
Suddarth, 2010).
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen:
 kompartemen darah
 kompartemen cairan pencuci (dialisat)
 ginjal buatan (dialiser).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan
lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser).

a. Difusi
Adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam darah,
makin banyak yang berpindah ke dialisat. Mekanisme difusi bertujuan untuk
membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood purification),
b. Osmosis
Adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan osmolitas
dan dialisat
c. Ultrafiltrasi
Adalah proses berpindahnya zar dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam darah
dan dialisat. Mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan cairan
dalam tubuh (volume control) (Roesli, 2006).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang
penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam
tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan
gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh
pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan

24
melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin
dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan Madjid, 2009).

b. Penggunaan antikoagulan dalam terapi hemodialisa


Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialyzer dan selang dapat
menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu kinerja dialyzer
dan proses hemodialisis. Untuk mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses
hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer
dan selang tetap lancar. Antikoagulan yang biasa digunakan untuk hemodialisa, yaitu :

a. Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena mudah
diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh tubuh. Ada
3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh faktor kebutuhan
pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yang menyediakan
hemodialisa, yaitu :
(1) Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg
selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 750-1250
U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan
1 jam sebelum hemodialisa selesai.

(2) Routine repeated bolus

Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa
dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg berulang-
ulang sampai hemodialisa selesai.

(3) Tight heparin (heparin minimal)

Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan ringan
sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan lebih rendah
daripada routine continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum
hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama proses

25
hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum
hemodialisa selesai.

b. Heparin-free dialysis (Saline)


Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan berat atau tidak
boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan normal saline
100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan dengan arteri setiap 15-30 menit
sebelum hemodialisa. Heparin-free dialysis sangat sulit untuk dipertahankan karena
membutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250 ml/menit), dialyzer yang memiliki
koefisiensi ultrafiltrasi tinggi dan pengendalian ultra filtrasi yang baik.
c. Regional Citrate
Antikoagulan sitrat jarang digunakan, namun dapat digunakan untuk menggantikan
Heparin-free dialysis. Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang
mengalami perdarahan, sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang tidak
boleh menerima heparin. Kalsium darah adalah faktor yang memudahkan terjadinya
pembekuan, maka dari itu untuk mengencerkan darah tanpa menggunakan heparin
adalah dengan jalan mengurangi kadar ion kalsium dalam darah. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan infuse trisodium sitrat dalam selang yang
berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan dialisat yang bebas kalsium.
Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah yang telah mengalami proses
hemodialisis dan kembali ke tubuh pasien dengan kadar kalsium yang rendah.
Sehingga pada saat pemberian trisodium sitrat dalam selang yang berhubungan
dengan arteri sebaiknya juga diimbangi dengan pemberian kalsium klorida dalam
selang yang berhubungan dengan vena (Swartzendruber et al., 2008)

c. Asupan makanan, cairan dan elektrolit selama proses hemodialisa


Asupan makanan pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan fungsi ginjalnya.
Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi konsumsinya yaitu, asupan protein
dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari, asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat adanya
penurunan fungsi sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal. Kemudian,jumlah
kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari (Suwitra, 2006).
Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah
dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.Asupan natrium dibatasi 40-120

26
meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Selain itu, apabila asupan
natrium terlalu tinggi akan menimbulkan rasa haus yang memicu pasien untuk terus
minum,sehingga dapat menyebabkan volume cairan menjadi overload yangmengarah
pada retensi cairan. Asupan fosfat juga harus 600-800mg/hari (Pastans dan Bailey, 1998).

d. Dosis hemodialisa dan kecukupan dosis hemodialisa


a) Dosis hemodialisa
Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu dengan
setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali seminggu dengan setiap
hemodialisa selama 4 jam(Suwitra, 2006).
Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi hemodialisis,
sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhioleh tingkat uremia akibat progresivitas
perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor komorbiditasnya, serta kecepatan aliran
darah dan kecepatan aliran dialisat (Swartzendruber et al., 2008). Namun demikian,
semakin lama proses hemodialisis, maka semakin lama darah berada diluar tubuh,
sehingga makin banyak antikoagulan yang dibutuhkan, dengan konsekuensi sering
timbulnya efek samping (Roesli, 2006).
Dosis waktu hemodialisis untuk 3 kali seminggu adalah 12 jam sampai dengan 15
jam atau 5 jam setiap kali tindakan. Sedangkan target Kt/Vyang harus dicapai adalah
1,2 dengan rasio reduksi ureum 65% (NKFDOQI, 2006). Rekomendasi dari
PERNEFRI (2003) targetKt/Vadalah 1,2 untuk hemodialisis 3 kali seminggu selama 4
jam setiap hemodialisis dan Kt/V 1,8 untuk hemodialisis 5 jam setiaphemodialisis.
RRU yang ideal adalah diatas 65% setiap kali tindakan hemodialisis (PERNEFRI,
2003). Dosis hemodialisis yang berdasarkantarget Kt/V bisa dihitung dengan rumus
generasi kedua dari rumusDaugirdas yaitu:
Kt/V =-Ln( R-0,008 x t ) + ( 4–3,5 x R ) x UF/W

Keterangan :

a. Ln adalah logaritma natural


b. R adalah BUN setelah hemodialisis dibagi BUN sebelum hemodialysis
c. T adalah lama waktu hemodialysis
d. UF adalah jumlah ultrafiltrasi dalam liter

27
e. W adalah berat badan pasien setelah hemodialisis
Target dosis hemodialisis disamping dengan Kt/V dapat juga dihitungberdasarkan
RRU.

b) Kecukupan dosis hemodialisa


Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi hemodialisis.
Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan
urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan mencari nilai rasio antara
kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum pasca dialisis dengan kadar
ureum pasca dialisis. Kemudian, perhitungan nilai Kt/V juga memerlukan kadar
ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan pradialisis dan pascadialisis dalam
satuan kilogram, dan lama proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa
dengan dosis 2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan
nilai Kt/V 1,2-1,4 (Swartzendruber et al., 2008).
e. Akses pada Sirkulasi Darah Pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis, fistula
dan tandur.
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai
melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat
dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan
sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada
lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis)
pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi
pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi
matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan
agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat
menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam
pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer.
Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang
sudah didialisis.
28
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah tandur
dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi,
material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya
tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan
fistula.

f. Sistem Kerja Dializer


Terdapat 2 (dua) tipe dasar dializer (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :
a) Pararel plate dialyzer
Pararel plate dializer, terdiri dari dua lapisan selotan yang dijepit oleh dua penyokong.
Darah mengalir melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan dialisa dapat mengalir
dalam arah yang sama seperti darah, atau dengan daerah berlawanan.
b) Hollow Fiber atau capillary dialyzer
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil, dan cairan dialisa
membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisa berlawanan dengan arah aliran darah.
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk
cairan dialisa. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari penderita melalui tabung
plastik (jalur arteri), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke penderita melalui
jalur vena.
Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar
serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan
dialisat terjadi di sepanjang membrane dialisis melalui proses difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion
darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar memperbaiki gangguan cairan dan
elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari
Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat, dan fosfat
dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam cairan dialisis karena unsur-unsur
ini tidak terdapat dalam cairan dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan
menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat
dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi bikarbonat. Glikosa dalam konsentrasi

29
yang rendah (200 mg/100 ml) ditambahkan ke dalam bak dialisis untuk mencegah
difusi glukosa ke dalam bak dialisis yang dapat mengakibatkan kehilangan kalori.
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infuse lambat
untuk mencegah pembekuan. Bekuan darah dan gelembung udara dalam jalur vena
akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke aliran darah. Waktu yang
dibutuhkan seseorang untuk melakukan hemodialisa adalah tiga kali seminggu,
dengan setiap kali hemodialisa 3 sampai 5 jam.

6. Komplikasi Hemodialisis
Menurut Smeltzer (2002) komplikasi hemodialisis mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.


b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi
darah di luar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul
sebagai serangan kejang. Komplikasi ini memungkinkan terjadinya lebih besar jika
terdapat gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan
ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

7. Nyeri dada
Frekuensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5 % dari keseluruhan hemodialisis (Holley,
2007). Lebih lanjut daurgirdas, 2008 menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat hemodialisis
ferekuensinya adalah 1-4%. Nyeri dada saat hemodialisis dapat terjadi pada pasien akibat
penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan (Kallenbach, et
all, 2005). Perubahan dalam volume darah menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah
miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri dada juga bisa menyertai
kompilkasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach, et all, 2005, Thomas, 2003).
Nyeri dada akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan volume tinggi dapat menyebabkan
penarikan cairan yang berlebihan dan cepat ke dalam dialiser sehingga menyebabkan

30
penurunan volume cairan, penurunan PCO2, elektrolit dalam tubuh yang bersama dengan
terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh dapat mengakibatkan hipovolemik dan dapat terjadi
nyeri dada pada pasien dengan CKD.

Nyeri dada saat hemodialisis dapat menimbulkan masalah keperawatan penurunan curah
jantung, gangguang rasa nyaman, dan intoleransi aktivitas. Nyeri dada yang terjadi perlu
dicegah dan diatasi perawat. Observasi monitor volume darah dan hematokrit dapat
mencegah resiko timbulnya nyeri dada. Perawat dapat berkolaborasi memberikan
nitroglisernin dan obat anti angina untuk mengurangi nyeri dada (Kallenbach, et all, 2005).
Pemberian oksigen, menurunkan Ob dan TMP juga meringankan nyeri dada.

8. Asuhan keperawatan Pasien Dengan Hemodialisis


a. Pengkajian
Biodata

Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat terjadi
pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria
Keluhan utama
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual, muntah, anoreksia
berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum yang meningkat. (Brunner &
Suddarth, 2001 : 1397)
Riwayat penyakit
 Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.
 Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, hipertensi,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.

 Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan
cermat. Terapi antihipertensi, yang sering merupakan bagian dari susunan terapi dialysis,
merupakan salah satu contoh di mana komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat

31
memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan
menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan
saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan
menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya. (Brunner & Suddarth,2010)

Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan kondisi penyakitnya
yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi masalah financial, kesulitan dalam
mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, dipresi
akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian. (Brunner & Suddarth, 2001:
1402). Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang
pertama kali dilakukan hemodialisis. (Muttaqin, 2011: 267)

ADL (Activity Day Life)

1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat


Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik sehingga
menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak
mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu
adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi)
anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic,
Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.

3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)

32
abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah,
coklat, berawan) oliguria atau anuria.

4) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan


Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan
tonus, penurunan rentang gerak.

6) Pola hubungan dan peran


Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).

7) Pola sensori dan kognitif


Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada
luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan
mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.

8) Pola persepsi dan konsep diri


Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami
gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada
keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido, amenorea,
infertilitas.

10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress, perasaan
tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena ketergantungan

33
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak
ada harapan, tak ada kekuatan. Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal
kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi
pola ibadah klien

Nutrisi
Pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan cairan masuk untuk
meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang dapat mengakibatkan gagal
jantung kongesti serta edema paru, pembatasan pada asupan protein akan mengurangi
penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala, mual muntah.
(Brunner & Suddarth, 2001 : 1400)
Eliminasi : Oliguri dan anuria untuk gagal
Aktivitas : dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang
diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan
aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi. Karena waktu yang terbatas
dalam menjalani aktivitas sehai-hari.
Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun. TTV: Sebelum
dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan tekanan darah diatas rentang
normal. Kondisi ini harus di ukur kembali pada saat prosedur selesai dengan
membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur. (Muttaqin, 2011: 268) B2 : hipotensi,
turgor kulit menurun

1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:

Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum, kental


dan banyak.

34
Tanda:

Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa sputum.

2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:

Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak nafas,
gangguan irama jantung, edema.

Tanda

Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial,
pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.

3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.

4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)


Gejala:

Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.

Tanda:

Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)


Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare

6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari), kulit
gatal, ada/berulangnya infeksi.

35
Tanda:

Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur tulang,
defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak sendi
Pemeriksaan Penunjang
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan, dan GFR 4
ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)

b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan

Pre Hemodialisis

1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional mengenai tindakan


yang akan dilakukan.

Intra Hemodialisis

2. Resiko tinggi terhadap kehilangan akses vaskuler berhubungan dengan


perdarahan karena lepas sambungan secara tidak sengaja.

3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan


ultrafiltrasi.

4. Resiko tinggi kelebihan volume cairan berhubungan dengan


pemasukan cairan untuk mendukung tekanan darah selama dialisa.

5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual


muntah

Post Hemodialisis

6. Ansietas berhubungan dengan perubahan dengan status kesehatan atau


fungsi peran

7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi kulit pada sisi


pemasangan kateter

c. Rencana Intervensi Keperawatan


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat

36
Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan
curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal,
nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler

Intervensi:

a. Auskultasi bunyi jantung dan paru


R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur

b. Kaji adanya hipertensi


R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)

c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)


R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri

d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas


R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder :


volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan criteria
hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output

Intervensi:

a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan


haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon
terhadap terapi

c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan


R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan
cairan

37
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil:
menunjukan BB stabil
Intervensi:

a. Awasi konsumsi makanan / cairan


R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi

b. Perhatikan adanya mual dan muntah


R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau
menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi

c. Beikan makanan sedikit tapi sering


R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan

d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan


R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial

e. Berikan perawatan mulut sering


R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut
yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi


melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:

a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles


R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret

b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam


R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2

38
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas

d. Batasi untuk beraktivitas


R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
Mempertahankan kulit utuh, Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah
kerusakan kulit
Intervensi:

a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya


kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubitus / infeksi.

b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa


R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan

c. Inspeksi area tergantung terhadap udem


R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek

d. Ubah posisi sesering mungkin


R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia

e. Berikan perawatan kulit


R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit

f. Pertahankan linen kering


R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit

g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan


tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera

39
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada
kulit

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,


keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:

a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas


b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat
Intervensi Keperawatan Berhubungan Dengan Pasien CKD yang Menjalani Hemodialisa

NOC:

- Hemodyalisis access
o Warna kulit pada area shunt/fistula tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
o Hematoma pada area shunt minimal/tidak ada
o Edema perifer pada area distal shunt tidak ada
- Pengetahuan : treatment
o Pasien mematuhi jadwal hemodialysis yang dianjurkan
- Skin care
o Tanda-tanda inflamasi minimal
o Pasien mengerti cara perawatan vena shunt
- Fluid overload severity
o Edema kaki tidak ada
o Kongesti vena tidak ada
o Peningkatan berat badan minimal
o Pusing tidak ada
o Kelemahan tidak ada
o Penambahan tekanan darah minimal
NIC :
Pre-hemodialisis
a. Pertahankan intake dan output
b. Kaji adanya pertambahan berat badan
c. Monitor site insersi vena danarteri
d. Monitor hasil lab jika diperlukan
e. Monitor vital sign
Intra hemodialysis

40
a. Monitor vital sign
b. Monitor blood flow
c. Monitor keadaan umum pasien: kelemahan, pusing, penurunan tekanan darah secara
tiba-tiba sebagaitan dan hipotensi, hipoglikemia
d. Kajiadanyanyeri yang tak tertahankan
e. Ajari teknik relaksasi napas dalam jika terjadi nyeri saat insersi
f. Monitor kestabilan alat hemodialisis
Post hemodialysis
a. Monitor vital sign
b. Monitor keadaan umum pasien
c. Ukur berat badan pasien
d. Monitor adanya edema pada lokasi insersi

DAFTAR PUSTAKA

41
Asep Sumpena, ( 2002 ) , Panduan Hemodialisis Untuk Mahasiswa . Bandung Elektronik
(Internet) ( 2009 ) , Treatment Optrion For Intradialytic Hipotensin

Bulechek GM, Butcher HW, Dochterman JM. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC)
ed5. St Louis: Mosby Elsevier.

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologied 3. Jakarta: EGC.

Enday Suhandar, Prof ( 2006 ) , Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. FK UNPAD.
Bandung Kumpulan Materi ( 2010 ), Teknik Hedmodialisis. Bandung

Herdman H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions and Classifications


2012-2014. Oxford: Wiley Blacwell.

Himmelfarb, Jonathan. 2005. Core Curriculum In Nephrology Hemodialysis


Complications.National Kidney Foundation. N Eng J M. Doi : 10.1053 http : //
www.nejm.org/content/full article.htm (12 September 2015)

Nursalam, M.Nurs, DR (Hons). 2006. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Rudianto, AMK RS. Khusus Ginjal Ny. RA Habibie Bandung

Rully M.A. Roesli, Prof ( 2008 ) Acute Kidney Injury. FK UNPAD. Bandung

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suhardjono. 2006. Proteinuria Pada Penyakit Ginjal Kronik: Mekanisme dan Pengelolaannya.
Peranan Stres Oksidatif dan Pengendalian Faktor Risiko pada Progresi Penyakit Ginjal
Kronik serta Hipertensi, JNHC 2006; 1-7.

Sukanandar, E (2006). Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah
(PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS. DR. Hasan Sadikin

42
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI

Yunie Armyati ( 2009 ) , Komplikasi Intradialisis. FIK . UI. Jakarta

43

You might also like