You are on page 1of 38

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Wilayah

Tingkat perkembangan suatu wilayah pada dasarnya merupakan

fungsi dari lingkungan alam, penduduk,serta kegiatan ekonomi dan sosial.

Interaksi antara lingkungan alam, penduduk, serta kegiatan ekonomi dan

sosial pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat perkembangan wilayah

(Budiharjo, 1995). Komponen berbagai fungsi tersebut seperti lingkungan

alam berhubungan dengan aksesibilitas wilayah yang meliputi luas

wilayah, jarak ke ibukota Kabupaten dan panjang jalan, sedangkan dari

segi penduduk berhubungan dengan jumlah penduduk dan kepadatannya,

serta kegiatan ekonomi dan sosial berhubungan dengan jumlah fasilitas

sarana sosial dan ekonomi yang mempengaruhi dalam menunjang

kebutuhan penduduk di wilayah tersebut.

Secara geografis perkembangan wilayah cenderung tidak

seimbang, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan berbagai macam

jenis potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.

Menurut Myrdal, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat

menyebabkan berbagai ketimpangan. Ada dua kekuatan penting yang

dikemukakan Myrdal yakni:

7
8

1. Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang

menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang

(backwash effects).

2. Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang

mendorong perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang

(spread effects).

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya backwash effects

adalah:

1. Corak perpindahan penduduk dari wilayah yang masih terbelakang ke

wilayah maju. Adanya perkembangan ekonomi di wilayah-wilayah yang

lebih maju merupakan daya tarik bagi tenaga kerja yang

berpendidikan/berkualitas untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih

baik. Sedangkan di wilayah terbelakang, yang ada hanyalah orang-

orang yang umumnya lebih konservatif. Keadaan demikian tidak

menguntungkan bagi perkembangan wilayah yang masih terbelakang

karena setiap saat kehilangan putra-putri daerahnya yang bermutu.

2. Arus investasi yang tidak seimbang. Permintaan modal di wilayah

terbelakang biasanya sangat minimal, disamping itu produktivitasnya

pun sangat rendah sehingga tidak merangsang bagi penanaman modal

dari luar, bahkan modal dari dalam justru terus mengalir ke luar

(wilayah yang lebih maju) karena lebih terjamin untuk menghasilkan

pendapatan yang lebih tinggi.


9

3. Pola dan aktivitas perdagangan yang didominasi oleh

industri-industri di wilayah yang lebih maju, sehingga

wilayah terbelakang sangat sukar mengembangkan pasar

bagi hasil-hasil industrinya.

4. Adanya jaringan-jaringan pengangkut yang lebih maju, sehingga

kegiatan produksi dan perdagangan dapat dilaksanakan lebih efisien

(menguntungkan). Dengan adanya faktor-faktor tersebut maka

perkembangan wilayah yang sudah maju akan semakin meningkat,

sebaliknya wilayah terbelakang akan semakin terbelakang.

Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan

struktural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori

sektor (sektor theory) dan teori tahapan perkembangan (development

stages theory). Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang

mengemukakan bahwa berkembangnya wilayah, atau perekonomian

nasional, dihubungan dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga

sektor utama, yakni sektor primer (pertanian, kehutanan dan perikanan),

serta sektor tertier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa).

Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan sumber daya dan

manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tertier,

dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.

Sedangkan teori tahapan perkembangan dikemukakan oleh para pakar

seperti Rostow, Fisher, Hoover, Thompson dan lain-lain. Teori ini


10

dianggap lebih mengadopsi unsur spasial dan sekaligus menjembatani

kelemahanan teori sektor. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah

dapat digambarkan melalui lima tahapan.

1. Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan

wilayah sangat bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri

tersebut, antara lain minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan

produk-produk primer lainnya. Industri demikian dimiliki oleh banyak

negara dalam awal pertumbuhannya.

2. Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah

telah mampu mengekpsor selain komoditas dominan juga komoditas

kaitannya. Misalnya, komoditas dominan yang diekspor sebelumnya

adalah minyak bumi mentah, maka dalam tahapan kedua wilayah juga

mengekspor industri (metode) teknologi penambangan (kaitan ke

belakang) dan produk-produk turunan dari minyak bumi (kaitan ke depan)

misalnya premium, solar dan bahan baku plastik.

3. Tahapan kematangan ekonomi. menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi

wilayah telah terdiversifikasi dengan munculnya industri substitusi impor,

yakni industri yang memproduksi barang dan jasa yang sebelumnya harus

diimpor dari luar wilayah.Tahapan ketiga ini juga memberikan tanda

kemandirian wilayah dibandingkan wilayah lainnya.

4. Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini

memperlihatkan bahwa wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi


11

untuk mempengaruhi dan melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah

pinggiran. Dalam tahapan ini pengertian wilayah fungsional dapat

diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah lokal berfungsi sebagai

pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu, volume aktivitas

ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang

sangat signifikan.

5. Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional

virtuosity). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah

memberikan peran yang sangat nyata terhadap perekonomian

nasional. Dalam wilayahn berkembang produk dan proses-proses

produksi yang relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi. Aktivitas

ekonomi telah mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang

mengarah kepada pemenuhan kepuasan individual dibanding

kepentingan masyarakat. Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks

(economic reciproating system), mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas

ekonomi lainnya (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Dalam kerangka pengembangan wilayah, perlu dibatasi pengertian

“wilayah” yakni ruang permukaan bumi dimana manusia dan makhluk

lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24

Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah diartikan sebagai kesatuan

geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya

ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.


12

Dalam kerangka pembangunan nasional, perencanaan pengembangan

wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan pertumbuhan

kemakmuran antar wilayah atau antar daerah. Di samping itu, diusahakan

untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan

pedesaan (Jayadinata, 1999).

B. Komponen Perkembangan Wilayah

Komponen perkembangan wilayah adalah suatu pokok bahasan

yang mempunyai peran dalam pencapaian suatu sasaran atau tujuan

yang telah ditetapkan dalam menganalisis perkembangan wilayah. Oleh

karena itu, komponen tersebut harus merupakan sesuatu yang akan

dihitung atau diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau

melihat perkembangan di suatu wilayah. Prinsip utama dalam

perkembangan wilayah adalah pengembangan sektor yang paling

potensial sebagai sektor penggerak dan diterapkan pada daerah yang

tepat sehingga terjadi penjalaran pertumbuhan (Rustiadi, 2011). Tingkat

perkembangan wilayah dapat dilihat secara sederhana menggunakan tiga

komponen, sebagai berikut:

1. Jumlah Fasilitas Sarana Sosial Ekonomi: sarana pendidikan, sarana

kesehatan, sarana peribadatan, dan sarana ekonomi.

2. Kependudukan: jumlah penduduk dan kepadatan penduduk.

3. Aksesibilitas Wilayah: Luas Wilayah, Jarak Ke Ibu Kota Kabupaten

Dan Panjag Jalan (Muammar, 2009).


13

Tingkat perkembangan wilayah merupakan ukuran peringkat secara

relatif yang menyatakan kemajuan yang dicapai oleh setiap wilayah sebagai

hasil aktivitas pembangunan (Budiharjo, 1995 dalam Muta’ali, 2003). Oleh

karena itu, untuk mengukur tingkat perkembangan wilayah dapat diukur

dengan tingkat pencapaian dari tujuan pembangunan, seperti mengatasi

masalah kesenjangan (Todaro, 1984 dalam Muta’ali, 2003).

1. Sarana Sosial Ekonomi merupakan segala pelayanan yang

diselenggarakan oleh pemerintah atau non pemerintah yang mempunyai

pengaruh langsung atau pengaruh nyata menurut fungsi sosial dari

pelayanan tersebut kepada penggunanya yang meliputi:

a. Sarana kesehatan: rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu,

puskesmas keliling, balai pengobatan, apotik.

b. Sarana pendidikan: TK, SD, SMP, SMA, SMK, Perguruan Tinggi.

c. Sarana peribadatan: masjid, mushola, gereja, pura, wihara.

d. bank, industri.

2. Kependudukan

a. Jumlah Penduduk

Merupakan sekumpulan orang banyak yang mendiami suatu tempat

atau wilayah dalam kurun waktu tertentu.

b. Kepadatan Penduduk Merupakan perbandingan antara jumlah

penduduk dengan luas wilayah. Antara daerah yang satu dengan


14

daerah yang lain tentunya tidak mempunyai tingkat kepadatan yang

sama.

3. Aksesibilitas Wilyah.

a. Luas Wilayah

Luas wilayah dalam hubungannya dengan perkembangan wilayah

sangat berkaitan dengan ketersediaan lahan yang masuk dan

berkembangnya daerah pertumbuhan yang baru, sebagaimana

diketahui bahwa luas wilayah bersifat tetap (statis), sedangkan

manusia dan segala macam kegiatannya senantiasa berkembang

dan melakukan mobilitas (dinamis).

b. Jarak Ke Ibukota Kabupaten (dalam Km)

Jarak masing-masing tiap kecamatan dengan ibukota Kabupaten

akan mempengaruhi tingkat perkembangan di setiap wilayah, dimana

jarak yang paling dekat dengan Ibukota Kabupaten pastinya akan

lebih mudah mendapat pengaruh kekotaan dan mempengaruhi

tingkat ketersediaan jumlah fasilitas sarana sosial ekonomi di wilayah

c. Panjang Jalan

Dalam menunjang kelancaran transportasi dan kemudahan

aksesibilitas diperlukan adanya prasarana jalan yang memadai

dan dalam kondisi yang baik, yaitu panjang jalan. Semakin

banyak jalan yang menghubungkan antar daerah maka akan

semakin berkembang daerah tersebut.


15

Menurut (H. Moh. Yoenus Osman dalam buku Metode analisis

perencanaan , 2014) mengatakan perkembanga wilayah dapat diukur dengan

menggunakan Metoda perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah

yang digunakan untuk membandingkan tingkat atau derajat perkembangan

sub-wilayah yang terdapat pada suatu wilayah dengan menggunakan

beberapa indikator sosial-ekonomi. Metoda ini berbasis pada metoda

pembobotan (ranking methods) dan terdiri atas beberapa langkah, yaitu :

1. Mengumpulkan dan mengisi data ke dalam tabel.

Data-data yang berkaitan dengan indikator-indikator tersebut dari setiap

sub wilayah perencanaan dikumpulkan dan diletakkan tepat dibawah

nama dan atau kode indikatornya masing-masing, dimulai dari sub wilayah

perencanaan yang pertama pada baris kedua, data dari sub wilayah

perencanaan yang kedua pada baris yang ketiga,

2. Pemberian nilai. Nilai nominal yang diperoleh pada langkah kedua

diberi nilai dengan cara sebagai berikut: - membagi rentang nilai yang

ada untuk setiap indikator menjadi 3 kelompok. - indikator yang

memiliki nilai yang termasuk ke dalam kelompok dengan rentang nilai

terbesar diberi nilai 3, yang termasuk dalam kelompok dengan rentang

nilai terbesar kedua diberi nilai 2, dan sisanya diberi nilai 1. - langkah

pada butir di atas diulangi untuk setiap indikator yang ada.

3. Pemberian bobot untuk setiap indikator Setiap indikator memiliki

kontribusi yang berlainan terhadap pencapaian derajat kesejahteraan


16

yang diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh

karena itu setiap indikator perlu diberi bobot yang sebanding dengan

kontribusinya masing-masing. Besar bobot untuk setiap indikator

tergantung kepada penilaian si perencana.

4. Menghitung indeks perkembangan pada sub-wilayah. Nilai yang

diperoleh untuk setiap indikator, setelah dikalikan dengan bobotnya

masing-masing, dijumlahkan dan hasilnya merupakan indeks tingkat

perkembangan yang dicari.

5. Interpretasi Hasil perhitungan indeks tingkat perkembangan wilayah

dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Kelompok dengan indeks

perkembangan tertinggi diinterpretasikan sebagai sub wilayah yang

memiliki tingkat perkembangan terbaik dibandingkan dengan sub wilayah

lainnya yang ada di dalam lingkup wilayah perencanaan. Kelompok

dengan indeks perkembangan menengah merupakan sub wilayah

dengan tingkat perkembangan sedang, sedangkan yang terakhir, yaitu

kelompok yang memiliki nilai terkecil merupakan kelompok subwilayah

yang memiliki tingkat perkembangan yang terbelakang dibanding dengan

sub wilayah lainnya.

C. Pengembangan Wilayah

Dalam banyak kepustakaan tentang pembangunan, terdapat

beberapa pendekatan dan teori. Menyebut beberapa diantaranya adalah

growth theory, rural development theory, agro first theory, basic needs
17

theory, dan lain sebagainya. Teori-teori pembangunan itu memuat

berbagai pendekatan ilmu sosial yang berusaha menangani masalah

keterbelakangan. Teori pembangunan benar-benar lepasa landas hanya

setelah diketahui bahwa persoalan pembangunan di Dunia Ketiga bersifat

khusus dan secara kualitatif berbeda dari “transisi orisinil”. Sepanjang

evolusinya, teori pembangunan menjadi semakin kompleks dan

nondisipliner. Dengan demikian, tidak akan ada definisi baku dan final

mengenai pembangunan, yang ada hanyalah usulan mengenai apa yang

seharusnya diimplikasikan oleh pembangunan dalam konteks tertentu

(Syamsul, 2005).

Salah satu teori pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak

berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan

Myrdal. Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan

pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra

urban. Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan

menggunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan

ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang

terjadi pada suatu wilayah. Teori pertumbuhan tak berimbang memandang

bahwa suatu wilayah tidak dapat berkembang bila ada keseimbangan,

sehingga harus terjadi ketidakseimbangan. Penanaman investasi tidak

mungkin dilakukan pada setiap sektor di suatu wilayah secara merata,

tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor unggulan yang diharapkan


18

dapat menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang diunggulkan tersebut

dinamakan sebagai leading sektor. Sesungguhnya teori pembangunan

terkait erat dengan strategi pembangunan, yakni perubahan struktur

ekonomi dan pranata sosial yang diupayakan untuk menemukan solusi

yang konsisten bagi persoalan yang dihadapi. Berbagai pendekatan

menyangkut tema-tema kajian tentang pembangunan, satu diantaranya

adalah mengenai isu pembangunan wilayah. Secara luas, pembangunan

wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan

kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan

yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan

mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya

kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri,

2004). Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan dalam

mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan.

Hoover dan Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004), menyimpulkan

tiga pilar penting dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:

1. Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor). Pilar ini

berhubungan dengan keadaan ditemukannya sumber-sumber daya

tertentu yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk

digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal

(bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat

mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki


19

komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan

dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain

pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha

sektor primer lainnya.

2. Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan

fenomena eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi

berupa meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial. Hal ini

terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan

jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.

3. Biaya transport (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah

yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian.

Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak

dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek

keputusan lokasional, terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme

aglomerasi. Istilah pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah

sesungguhnya tidak bermakna sama. Pertumbuhan dan perkembangan

wilayah merupakan suatu proses kontiniu hasil dari berbagai pengambilan

keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu wilayah.

Perkembangan wilayah senantiasa disertai oleh adanya perubahan

struktural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori


20

sektor (sektor theory) dan teori tahapan perkembangan (development

stages theory). Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark yang

mengemukakan bahwa berkembangnya wilayah, atau perekonomian

nasional, dihubungan dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga

sektor utama, yakni sektor primer (pertanian, kehutanan dan perikanan),

serta sektor tertier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa).

Perkembangan ini ditandai oleh penggunaan sumber daya dan

manfaatnya, yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tertier,

dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder.

Sedangkan teori tahapan perkembangan dikemukakan oleh para pakar

seperti Rostow, Fisher, Hoover, Thompson dan lain-lain. Teori ini

dianggap lebih mengadopsi unsur spasial dan sekaligus menjembatani

kelemahanan teori sektor. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah

dapat digambarkan melalui lima tahapan.

1. Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan

wilayah sangat bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri

tersebut, antara lain minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan

produk-produk primer lainnya. Industri demikian dimiliki oleh banyak

negara dalam awal pertumbuhannya.

2. Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa

wilayah telah mampu mengekpsor selain komoditas dominan juga

komoditas kaitannya. Misalnya, komoditas dominan yang diekspor


21

sebelumnya adalah minyak bumi mentah, maka dalam tahapan kedua

wilayah juga mengekspor industri (metode) teknologi penambangan

(kaitan ke belakang) dan produk-produk turunan dari minyak bumi

(kaitan ke depan) misalnya premium, solar dan bahan baku plastik.

3. Tahapan kematangan ekonomi. Tahapan ketiga ini menunjukkan

bahwa aktivitas ekonomi wilayah telah terdiversifikasi dengan

munculnya industri substitusi impor, yakni industri yang memproduksi

barang dan jasa yang sebelumnya harus diimpor dari luar wilayah.

Tahapan ketiga ini juga memberikan tanda kemandirian wilayah

dibandingkan wilayah lainnya.

4. Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini

memperlihatkan bahwa wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi

untuk mempengaruhi dan melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah

pinggiran. Dalam tahapan ini pengertian wilayah fungsional dapat

diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah lokal berfungsi sebagai

pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu, volume aktivitas

ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang

sangat signifikan.

5. Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional

virtuosity). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah

memberikan peran yang sangat nyata terhadap perekonomian

nasional.
22

Dalam wilayah berkembang produk dan proses-proses produksi

yang relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi. Aktivitas ekonomi

telah mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang mengarah

kepada pemenuhan kepuasan individual dibanding kepentingan

masyarakat. Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks (economic

reciproating system), mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas ekonomi

lainnya (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Dalam kerangka pengembangan wilayah, perlu dibatasi pengertian

“wilayah” yakni ruang permukaan bumi dimana manusia dan makhluk

lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24

Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah diartikan sebagai kesatuan

geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya

ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Dalam kerangka pembangunan nasional, perencanaan pengembangan

wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan pertumbuhan

kemakmuran antar wilayah atau antar daerah. Di samping itu, diusahakan

untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan

pedesaan (Jayadinata, 1999).

D. Perencanaan Wilayah

Dalam teori perencanaan terdapat beberapa tipologi, antara lain

rational planning model; incremental planning model; dan strategic

planning model (Etzioni, 1967).


23

1. Pendekatan komprehensif (rational planning model) merupakan suatu

kerangka pendekatan logis dan teratur, mulai dari diagnotis sampai

kepada tindakan berdasarkan kepada analisis fakta yang relevan,

diagnosis masalah yang dikaji melalui kerangka teori dan nilai-nilai,

perumusan tujuan dan sasaran untuk memecahkan masalah,

merancang alternatif cara-cara untuk mencapai tujuan, dan pengkajian

efektivitas cara-cara tersebut. Pendekatan ini memerlukan survey yang

komprehensif pada semua alternatif yang ada untuk mendapatkan

informasi yang lengkap dalam pengambilan keputusan yang rasional.

2. Pendekatan inkremental (incremental planning model). Memilih diantara

rentang alternatif yang terbatas yang berbeda sedikit dari

kebijaksanaan yang ada. Pengambilan keputusan dalam pendekatan ini

dibatasi pada kapasitas yang dimiliki oleh pengambil keputusan serta

mengurangi lingkup dan biaya dalam pengumpulan informasi.

Pengambil keputusan hanya berfokus terhadap kebijaksanaan yang

memiliki perbedaan yang inkremental dari kebijaksanaan yang telah

ada.

3. Pendekatan mixed-scanning (strategic planning model). Kombinasi dari

elemen rasionalistik yang menekankan pada tugas analitik penelitian

dan pengumpulan data dengan elemen inkremental yang

menitikberatkan pada tugas interaksional untuk mencapai konsensus.


24

Proses yang tercakup dalam mixed scanning ini adalah strength,

weakness, opportunity dan threat (SWOT) analisis yang hasilnya adalah

berupa strategic planning yaitu proses untuk menentukan komponen-

komponen yang dianggap prioritas atau utama dan yang tidak. Kemajuan

yang diharapkan dalam proses ini adalah terjadinya efek bergulir

(snowballing) dari komponen yang diprioritaskan tersebut. Pendekatan

yang digunakan dalam proyek akhir ini adalah pendekatan perencanaan

mixed scanning dengan melakukan analisis SWOT di sektor pertanian

sebagai komponen strategis yang diharapkan dapat menimbulkan efek

bergulir. Perencanaan wilayah di berbagai negara tidak sama, tergantung

kepada kehidupan ekonomi dan masalah yang dihadapi. Secara historis

setidaknya terdapat tiga pendekatan perencanaan wilayah (Jayadinata,

1999), yaitu:

1. Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada masalah

kota yang bersifat sosial. Pelaksanaannya meliputi perbaikan bagian

kota yang keadaan yang telah rusak dan tidak memenuhi standar,

pemugaran kota, pembuatan kota satelit untuk membantu meringankan

kota industri yang terlalu padat penduduknya. Titik berat perencanaan

wilayah semacam ini ditujukan pada kota yang besar dan wilayah

sekelilingnya (hinterland) yang dapat menunjang kota dalam

perencanaan kota dan wilayah.


25

2. Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada wilayah

yang penduduknya banyak menganggur dan dalam keadaan stagnasi

industri (wilayah khusus). Dalam wilayah seperti ini, pemerintah perlu

mengatur intensif pembiayaan, pengaturan rangsangan untuk

prasarana industri, pengaturan konsesi pajak dan sebagainya,

sehingga industri tertentu dapat berlokasi di wilayah itu.

3. Perencanaan wilayah yang memperhatikan wilayah pedesaan, dengan

pengembangan tanah bagi sektor pertanian dan rekreasi (perencanaan

pedesaan dan wilayah). Hal ini dilakukan untuk memperkecil perbedaan

kemakmuran antara pedesaan dan perkotaan.

E. Konsep Pembangunan Wilayah

Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari

sebuah perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya kurang

lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk

menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto

atau GNI (gross national income). Indeks ekonomi lainnya yang juga

sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah

tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (income per capita) atau GNI

per kapita (Todaro & Smith, 2006)

Rodinelli dalam Sirojuzilam (2005) mengemukakan bahwa dalam

pembangunan kebijakan pemerintah ditunjukkan untuk mengubah cara

berpikir, selalu memikirkan perlunya investasi pembangunan. Dengan


26

adanya pembangunan akan terjadilah peningkatan nilai-nilai budaya

bangsa, yaitu terciptanya taraf hidup yang lebih baik, saling harga

menghargai sesamanya, serta terhindar dari tindakan sewenang-wenang.

Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila

berbicara tentang program-program pembangunan.Yang terkait dengan

pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembagan

kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit

wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun

pertahanan dan keamanan.Pengembangan wilayah merupakan program

menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan

sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi pada pembangunan

suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam

mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan

penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antardaerah, antarsektor

serta.

F. Konsep Kewilayahan

Ilmu pembangunan wilayah merupakan ilmu yang relatif

masih baru. Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ilmu

pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup

berbagai teori dan ilmu terapan yaitu: geografi, ekonomi, sosiologi,

matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu

lingkungan dan sebagainya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan wilayah


27

setidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar analisis, yaitu: (1) analisis

biogeofisik; (2) analisis ekonomi; (3) analisis sosiol budaya; (4) analisis

kelembagaan; (5) analisis lokasi; (6) analisis lingkungan.

Rustiadi (2002) menyebutkan bahwa lingkup kajian perencanaan

pengembangan wilayah sangat luas, sebagai bidang kajian yang

membentang dari lingkup ilmu yang bersifat multidisiplin, mencakup

bidang-bidang ilmu mengenai fisik, sosial ekonomi hingga manajemen.

Dari sisi proses kajian pembangunan mencakup hal-hal mengenai: (1)

aspek pemahaman, yakni aspek yang menekankan pada upaya

memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan

antar wilayah, dalam konteks ini pengetahuan mengenai teknik-teknik

analisis dan model-model sistem merupakan alat (tools) penting yang

perlu dipahami, untuk mengenal dan mendalami permasalahan-

permasalahan maupun potensi-potensi pembangunan wilayah, (2)

aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah teknik-teknik

desain dan pemetaan hingga perencanaan, dan (3) aspek kebijakan,

mencakup pendekatan-pendekatan evaluasi, perumusan tujuan-tujuan

pembangunan serta proses melaksanakannya, mencakup proses-

proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan.

Secara harfiah, Rustiadi (2002) menyebutkan bahwa regional

science dapat sebagai ilmu yang mempelajari aspek-aspek dan

kaidah-kaidah kewilayahan, dan mencari cara-cara yang efektif dalam


28

mempertimbangkan aspek- aspek dan kaidah-kaidah tersebut ke

dalam proses perencanaan pengembangan kualitas hidup dan

kehidupan manusia. Dalam hal ini regional science tidak di definisikan

sebagai ‘ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan

pembangunan di suatu wilayah’, karena pengertian demikian tidak

memberikan spesifikasi yang jelas terhadap bidang keilmuan regional

science. Secara ilustrasi, walaupun kata ‘di suatu wilayah’ itu dihilangkan,

kita tetap bisa menangkap suatu pemahaman bahwa setiap

pembangunan pasti dilakukan pada suatu wilayah atau areal tertentu.

Padahal penambahan kata ‘wilayah’ ini dimaksudkan untuk

memberikan kekhasan bahwa regional science adalah bidang ilmu

yang berbeda dengan bidang-bidang ilmu perencanaan pembangunan

lainnya, yakni dengan adanya penekanan terhadap pentingnya

pertimbangan dimensi kewilayahan.

Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan pentingnya ilmu

pembangunan wilayah dalam konteks pembangunan di Indonesia dan

wilayah pesisir pada khususnya, dikarenakan :

1. Indonesia merupakan negara kepulauan, di mana kegiatan-kegiatan

pembangunan saat ini dipusatkan di bagian barat. Konsentrasi

demikian menimbulkan isu pengembangan wilayah outer island’ yang

dapat menyebabkan timbulnya berbagai masalah yang berdimensi

wilayah.
29

2. Pembangunan masa lalu lebih menitikberatkan pada pembangunan

daratan dari lautan, sehingga pembangunan pesisir relatif tertinggal.

Masyarakat pesisir relatif lebih miskin dari wilayah daratan lainnya. Kondisi

ini diperburuk dengan posisi politik nelayan yang relatif lemah dibanding

dengan posisi lainnya.

3. Letak geografis Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh faktor

geologis dan ekologis yang menyebabkan keragaman lingkungan.

4. Keragaman kultural menyebabkan adanya perbedaan persepsi

terhadap pembangunan.

5. Sifat pembangunan politik di Indonesia yang diwarnai oleh kekuatan

politik wilayah.

6. Adanya kebijakan otonomi daerah, yang merupakan antisipasi

terhadap maraknya tuntutan lepasnya beberapa daerah dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diharapkan pemerintah dapat

membangun sesuai kebutuhan dan kemampuannya sendiri.

7. Pembangunan Indonesia masih bersifat sektoral, sehingga hasil yang

G. Teori Perencanaan (Theory Planning)

Lawton dan Rose (1995) , menyatakan bahwa perencanaan

dapat dilihat sebagai suatu proses di mana tujuan-tujuan, bukti-bukti

faktual dan asumsi-asumsi diterjemahkan sebagai suatu proses argumen

logis kedalam penerapan kebijaksanaan yang dimaksudkan untuk

mencapai tujuan. Kartasasmita (1997: 48); Perkembangan Pemikiran


30

dan Prakteknya di Indonesia menyatakan “Pada dasarnya perencanaan

sebagai fungsi manajemen adalah proses pengambilan keputusan dari

sejumlah pilihan untuk mencapai tujuan yang

dikehendaki”. “...and situations as they are and find a way to solve

problemes” artinya perencanaan merupakan penerapan intelegensia

untuk mengolah fakta-fakta dan situasi apa adanya dan menemukan

suatu cara untuk memecahkan masalah-masalah.

Miraza (2005), Wilayah adalah kumpulan daerah berhampiran,

sebagai satu kesatuan geografis dalam bentuk dan ukurannya.

Wilayah memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia serta

posisi geografis yang dapat diolah dan dimanfaatkan secara efisiensi

dan efektif melalui perencanaan yang komprehensif dan satu sama

lain saling bersentuhan, yang semuanya bermuara pada upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tarigan (2004), definisi perencanaan wilayah adalah

mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan

perkembangan berbagai factor noncontrollable yang relevan,

memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan

sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-

langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari

berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau

sasaran tersebut.
31

Perencanaan Wilayah, menurut Miraza (2004), adalah “suatu

perencanaan yang berjangka panjang, bertahap dan tersistematis dengan

suatu tujuan yang jelas”. Tujuan yang jelas ini adalah yang

menyangkut pada keselarasan kepentingan stakeholders, baik

masyarakat dari berbagai lapisan, kelompok pengusaha maupun

pemerintah sendiri. Perencanaan wilayah menyangkut pada bagaimana

pemanfaatan potensi wilayah, baik potensi sumber daya alam,

sumber daya manusia maupun potensi sumber daya buatan yang harus

dilaksanakan secara fully dan efficiently agar pemanfaatan potensi

dimaksud benar-benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat

secara maksimal. Disamping itu juga perlu ada pemikiran bagaimana

dunia usaha dapat berkiprah secara ekonomis serta pemerintah

mendapatkan manfaat dari semua keadaan ini bagi kelangsungan

kepemerintahan yang baik.

Widodo (2006) perencanaan adalah upaya institusi publik untuk

membuat arah kebijakan pembangunan yang harus dilakukan di sebuah

wilayah baik negara maupun di daerah dengan didasarkan keunggulan

dan kelemahan yang dimiliki oleh wilayah.

Conyers & Hills (dalam Arsyad 1999), bahwa perencanaan adalah

suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-

keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternative penggunaan sumber

daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang.
32

Berdasarkan definisi diatas, Arsyad (1999) berpendapat ada empat

elemen dasar perencanaan, yaitu :

1. Merencanakan berarti memilih;

2. Perencanaan merupakan alat pengalokasian sumber daya;

3. Perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan;

4. Perencanaan berorientasi ke masa depan.

Secara garis besar, ada tiga kelompok model perencanaan, yakni

konsistensi, optimisasi dan simulasi. Model konsistensi terbentuk oleh

sederetan persamaan simultan. Beberapa tujuan pembangunan

diupayakan untuk mencapai konsisten dengan karakteristik utama

berorientasi kesisi permintaan. Model optimisasi menekankan

pencapaian optimum dari suatu tujuan akibat kendala-kendala atau

keterbatasan sumber daya. Alat analisis yang populer dalam model

optimisasi adalah pemograman linier (linier programming). Model

simulasi berorientasi kesuatu percobaan terhadap sistem ekonomi

yang dirumuskan melalui model. Pada kenyataannya, tidak satupun

model yang menyajikan hasil terbaik. Modifikasi dan penggabungan sering

dilakukan disesuaikan dengan kadar dan karakteristik ekonomi.

Sumodiningrat (2004), perencanaan pembangunan wilayah

merupakan suatu upaya merumuskan dan mengimplikasikan kerangka

teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang

didalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan


33

mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya

kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan.

Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan

terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya

yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu

wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam

mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan

penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar

sector serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan

pembangunan daerah (Anwar, 1999).

Berdasarkan defenisi, pendapat dan pandangan para pakar

sebagaimana diatas sintesa pendapat penulis terhadap perencanaan

wilayah substansinya lebih mengena kepada pandangan atau pendapat

Miraza (2004) dimana perencanaan wilayah adalah “suatu perencanaan

yang berjangka panjang, bertahap dan tersistematis dengan suatu tujuan

yang jelas”. Tujuan yang jelas ini adalah yang menyangkut pada

keselarasan kepentingan stakeholders, baik masyarakat dari

berbagai lapisan, kelompok pengusaha maupun pemerintah sendiri.

Perencanaan wilayah menyangkut pada bagaimana pemanfaatan

potensi wilayah, baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia

maupun potensi sumber daya buatan yang harus dilaksanakan secara

fully dan efficiently agar pemanfaatan potensi dimaksud benar-benar


34

berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara maksimal.

Berdasarkan substansi ini nantinya penulis lebih focus pada potensi

sumber daya manusia dan peranannya sesuai dengan

kewenangannya dalam mengelola pembangunan daerah untuk

mewujudkanj Good Governance. Dan disamping itu untuk memperkaya

wawasan dalam penulisan dan pembahasan nantinya masih

diperlukan teori-teori yang relepansinya masih berkaitan dalam penelitian

nantinya, antaralain adalah sebagai berikut. Inti dari teori perencanaan

adalah proses perencanaan. Perencana baik individual maupun

kelompok membawa konsep – konsep utama. Teori perencanaan,

Moekijat, (1980) terdiri dari 3 (tiga) teori, yaitu :

1. Theory of Planning yaitu menjelaskan prinsip - prinsip, prosedur dan

langkah– langkah normatif yang seharusnya/sebaiknya dijalankan

dalam proses perencanaan untuk menghasilkan outputs dan outcomes

yang efektif.

2. Theory in Planning yaitu merupakan teori substantif dari berbagai

disiplin ilmu yang relevan dengan bidang perencanaan.

3. Theory for planning yaitu menjelaskan prinsip etika, nilai dan

moral yang menjadi pertimbangan bagi perencana didalam

menjalankan peranannya.

H. Pertumbuhan Ekonomi

1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi


35

Pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan

pembangunan dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula

dinikmati masyarakat sampai lapisan paling bawah, baik dengan

sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan

harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan

terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil

pembangunan dengan lebih merata. Dengan demikian maka daerah

yang miskin, tertinggal tidak produktif akan menjadi produktif, yang

akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri. Strategis ini

dikenal dengan istilah “ Redistribution With Growth”

Pertumbuhan ekonomi menjadi faktor yang paling penting dalam

keberhasilan perekonomian suatu negara secara jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi sangat dibutuhkan dan dianggap sebagai sumber

peningkatan standar hidup (standar of living) penduduk yang jumlahnya

terus meningkat. Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa ada tiga

komponen pertumbuhan ekonomi yang mempunyai arti penting bagi setiap

masyarakat yakni:

a. Akumulasi modal (capital accumulation).

Meliputi semua bentuk atau semua investasi baru dalam tanah,

peralatan fisik, dan sumber daya manusia melalui perbaikan dibidang

kesehatan, pendidikan dan keterampilan kerja. Akumulasi modal akan

diperoleh bila sebagian dari pendapatan yang diterima saat ini ditabung
36

dan diinvestasikan lagi dengan tujuan meningkatkan output dan

pendapatan di masa depan. Semua barang modal produktif

memungkinkan untuk meningkatkan tingkat output yang ingin dicapai.

Investasi produktif secara langsung tersebut ditopang oleh investasi

dalam apa yang dikenal sebagai infrastruktur sosial dan ekonomi-jalan-

jalan, listrik, air dan sanitasi, komunikasi, dan sebagainya yang

memfasilitasi dan mengintegrasikan aktivitas-aktivitas ekonomi. Investasi

dalam sumber daya manusia dapat memperbaiki kualitas pekerja oleh

karenanya, mempunyai pengaruh yang sama atau bahkan lebih kuat

terhadap produksi seiring dengan meningkatnya jumlah manusia.

b. Tenaga kerja.

Pertumbuhan jumlah penduduk dan yang pada akhirnya

menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja. Secara tradisional

dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan

ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang besar akan meningkatkan

ukuran potensial pasar domestik sedangkan jika angkatan kerja

tersedia dalam jumlah yang lebih banyak, berarti tersedia juga lebih

banyak pekerja yang produktif.

c. Kemajuan teknologi.

Kemajuan teknologi yang secara luas, diterjemahkan sebagai cara

baru untuk menyelesaikna pekerjaan. Kemajuan tehnologi bagi

kebanyakan ekonom merupakan faktor yang paling penting. Secara


37

sederhana kemajuan tehnologi dihasilkan dari pengembangan

cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam penyelesaian

tugas-tugas tradisional. Ada tiga klasifikasi dasar dari kemajuan

teknologi yaitu : kemajuan teknologi yang bersifat netral (neutral

technological progress). kemajuan teknologi hemat tenaga kerja

(labor-saving techonological progress), kemajuan tehnologi yang

hemat modal (capital-saving techonological progress).

2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, secara

garis besar dapat dikelompokkan berdasarkan pandangan ekonom

klasik/neo klasik dan modren. Menurut pandangan para ekonom klasik

(Adam Smith, David Ricardo, Malthus dan John Stuart Mill) maupun

ekonom neo-klasik (Robert Solow dan Trevor Swan), pada dasarnya ada

4 (empat) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu : (1)

jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan

kekayaan alam dan (4) tingkat tehnologi. (Sukirno,1985). Selanjutnya,

beberapa pandangan ekonom modren tentang pertumbuhan ekonomi,

sebagai berikut :

a. Teori Pertumbuhan Kuzne

Kuznets dalam Jhingan (2010) mengemukakan bahwa defenisi

pertumbuhan ekonomi sebagai “kenaikan jangka panjang dalam

kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak


38

jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan

ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian

kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.

Konsep teori Kuznets mengemukakan suatu hipotesis yang

dikenal dengan “Hipotesis U-terbalik” yang diperoleh melalui

kajian empiris terhadap pola pertumbuhan sejumlah negara di

dunia, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terdapat trade-off

antara pertumbuhan dan pemerataan. Kuznets menambahkan

bahwa pertumbuhan ekonomi di negara miskin pada awalnya

cenderung menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan dan

ketidakmerataan distribusi pendapatan. Namun bila negara-

negara miskin tersebut sudah semakin maju, maka persoalan

kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan akan

menurun (an inverse U shaped patern).

b. Teori Pertumbuhan Rostow

Rostow dalam Rustiadi (2011) mencetuskan suatu model

tahapan pertumbuhan ekonomi (the stages of economic growth).

Menurut Rostow proses pertumbuhan dapat dibedakan kedalam

lima tahapan dari setiap negara atau wilayah, yakni :

1) Masyarakat tradisional (the traditional society), yaitu kondisi

pada tahap awal pertumbuhan dimana struktur perekonomian


39

berkembang dalam fungsi produksi terbatas yang didasarkan

pada teknologi, ilmu pengetahuan dan sikap yang masih primitif.

2) Pra-syarat lepas landas (the pre-condition for take-off), adalah

suatu masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya

atau dipersiapkan dari luar untuk mencapai pertumbuhan yang

mempunyai kekuatan untuk terus berkembang (self-sustained

growth).

3) Lepas landas (the take-off), adalah masa dimana sudah terdapat

perbedaan yang sangat signifikan dalam masyarakat, seperti :

revolusi politik, terciptanya inovasi-inovasi baru, peningkatan

penanaman modal dan pertumbuhan pendapatan wilayah

melebihi pertumbuhan penduduk.

4) Gerakan ke arah kedewasaan (the drive to maturity), adalah

masa dimana masyarakat sudah menggunakan tehnologi

modern pada sebagian faktor-faktor produksi dan sumber

daya alam serta terjadinya transformasi struktural yang nyata

(peranan relatif sektor insdutri jauh lebih tinggi dari sektor

pertanian)

5) Masa konsumsi tinggi (the age of high mass consumption),

adalah masa dimana masyarakat sudah tidak ditekankan

pada produksi tetapi pada konsumsi dan kesejahteraan


40

masyarakat serta saling berkompetisi mendapatkan sumberdaya

dan dukungan politik.

c. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar

Harrod-Domar menekankan tentang perlunya penanaman modal

dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dimana terdapat

korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan

ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu

wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan

masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada

kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri

manufaktur.

3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Teori pertumbuhan wilayah dimulai dari model dinamika wilayah yang

sederhana sampai dengan model yang komprehensif, mulai dari teori

resource endowment,teori export base, teori pertumbuhan wilayah neoklasik,

model ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah dan sebuah teori baru

mengenai pertumbuhan wilayah. Teori resource endowment mengatakan

bahwa pengembangan ekonomi bergantung sumberdaya alam yang dimiliki

dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu

(Perloff and Wingo, 1961).mTeori pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan

bagian penting dalam analisis ekonomi wilayah dan perkotaan yang

menjelaskan mengapa suatu daerah dapat tumbuh cepat dan ada pula yang
41

tumbuh lambat. Disamping itu juga dapat menjelaskan hubungan antara

pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan antardaerah dan mengapa hal

itu terjadi (Sjafrizal, 2012).

Salah satu indikator keberhasilan tujuan pembangunan ditunjukkan

oleh pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya ketimpangan baik

didalam distribusi pendapatan penduduk maupun antar wilayah. Pola

pertumbuhan ekonomi regional /wilayah berbeda dengan apa yang

lazim ditemukan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Faktor-faktor

yang mendapat perhatian utama adalah keuntungan lokasi, aglomerasi,

migrasi dan arus lalu lintas modal antar wilayah. Adapun beberapa teori

pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal (Sirojuzilam,2011),

antara lain :

1. Export Base-Models, menyatakan bahwa pertumbuhan

ekonomi suatu daerah ditentukan oleh eksploitasi

pemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis ekspor daerah

yang bersangkutan.

2. Neo-Classic, menyatakan bahwa unsur-unsur yang

menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal,

tenaga kerja, dan teknologi.

3. Cummulative Causation Models, menyatakan bahwa

peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak

hanya dapat diserahkan pada kekuatan pasar (market


42

mechanism), tetapi perlu adanya campur tangan untuk

daerah–daerah yang relatif masih terbelakang.

4. Core Periphery Models, menekankan analisa pada hubungan

yang erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota

(core) dan desa (periphery).

5. Growth Pole, menyatakan bahwa pembangunan atau

pertumbuhan tidak terjadi di segala tata-ruang, akan tetapi

hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu dengan

variabel–variabel yang berbeda intensitasnya. Salah satu cara

untuk menggalakkan kegiatan pembangunan dari suatu daerah

tertentu melalui pemanfaatan “aglomeration economics“

sebagai faktor pendorong utama.

Hoover & Fisher dalam Sirojuzilam dan Mahalli (2011) menjelaskan

rangkaian tahapan perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah (regional

stage of development), sebagai berikut :

1. Tahap pertama, perekonomian wilayah/penduduk sangat tergantung

kepada hasil alam dan sektor pertanian,

2. Tahap kedua, wilayah mulai mengembangkan spesialisasi lokal dan

perdagangan seiring dengan perbaikan transportasi, antara lain

dicirikan dengan mulai munculnya industri sederhana di pedesaan,

3. Tahapan ketiga, sudah mulai terjadi perdagangan antar wilayah, antara

lain dicirikan dengan perubahan sektor pertanian ke perkebunan,


43

4. Tahapan keempat, seiring dengan perkembangan jumlah penduduk

dan berkurang nya pendapatan di sektor pertanian/perkebaunan

maka wilayah didorong untuk bergerak ke arah industrialisasi

sekunder, antara lain: pertambangan, industri pengo lahan makanan,

industri pengolahan kayu, industri pengolahan bahan setengah jadi.

5. Tahapan kelima/terakhir, wilayah mengkhususkan diri pada industri

berorientasi ekspor (ekspor modal, tenaga ahli, jasa pelayanan

kepada daerah belakangnya).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional antara lain

ditentukan oleh faktor-faktor antara lain : investasi/akumulasi modal, jumlah

penduduk, tenaga kerja, industri dan teknologi (Neo-Klasik, Bort Stein,

Hoover & Fisher dan Todaro).

Beberapa Alternatif model pertumbuhan ekonomi wilayah yang dapat

digunakan dalam melakukan perumusan kebijakan pembangunan daerah

yang pada dasarnya memberikan beberapa faktor penting yang menentukan

pertumbuhan ekonomi suatu daerah berikut struktur dan kaitannya dengan

ketimpangan pembangunan ekonomi wilayah (Sjafrizal, 2012) yaitu :

1. Model Basis Ekspor (Export-Base Model, pertumbuhan ekonomi suatu

wilayah pada dasarnya ditentukan oleh besarnya Keuntungan

Kompetitif (Competitive Advantage) yang dimiliki oleh wilayah tersebut.


44

2. Model Interregional Income, ekspor diasumsikan sebagai faktor

yang berada dalam sistim perekonomian daerah bersangkutan

(endogeneous variabel) yang fluktuasinya ditentukan oleh

perkembangan kegaiatan perdagangan antarwilayah.

3. Shift-Share analysis, dapat mengidentifikasi peranan ekonomi

nasional dan kekhususan daerah bersangkutan terhadap

pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan.

4. Model Neo-klasik, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan sangat

ditentukan oleh kemampuan wilayah tersebut untuk meningkatkan

kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu

daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang

bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja

dan mobilitas modal antardaerah.

5. Model Penyebab Berkumulatif (Cumulative Causation Model), tidak

percaya pemerataan pembangunan antar daerah akan dapat dicapai

dengan sendirinya berdasarkan mekanisme pasar, namun

ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat melalui

program pemerintah. Model Kota dan Desa (Center-pheriphery

Model), bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat

ditentukan oleh adanya sinergi yang kuat antara kegiatan ekonomi

daerah pedesaan (rual) dengan kegiatan daerah perkotaan.

You might also like