Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Nama : Marina Lestari,S.Kep
NIM : 1841312010
Ruang : Neuro (Saraf)
Minggu ke VI
1. Definisi
Abses cerebri/ otak adalah proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara
jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungi dan protozoa.
Abses otak adalah kumpulan nanah yang terbungkus oleh suatu kapsul dalam jaringan
otak yang disebabkan karena infeksi bakteri atau jamur. Abses otak merupakan
kumpulan dari unsur-unsur infeksius dalam jaringan otak. Abses ini dapat terjadi
melalui :
a. Invasi otak langsung dari trauma intracranial atau pembedahan.
b. Penyebaran infeksi dari daerah lain seperti sinus, telinga, dan gigi (infeksi sinus
paranasal, otitis media, sepsis gigi).
c. Penyebaran infeksi dari organ lain (abses paru-paru, endokarditis infektif).
Abses otak banyak terjadi pada penderita yang mengalami gangguan kekebalan
tubuh (seperti penderita HIV positif atau orang yang menerima transplantasi
organ).
Abses otak (AO) adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim otak; terutama
disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan oleh penyebaran infeksi
dari fokus yang berdekatan atau melaui sistem vaskular. Timbunan abses pada daerah
otak mempunyai daerah spesifik, pada daerah cerebrum 75% dan cerebellum 25%
(Esther).
2. Etiologi
Penyebab dari abses otak ini antara lain, yaitu:
a. Bakteri
Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob,
Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha hemolyticus, E. coli dan
Baeteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis
media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya
adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus
influenzae. Abses oleh Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan
komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya
oleh Streptococcus anaerob.
b. Jamur
Jamur penyebab abses otak antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides
dan spesies Candida dan Aspergillus.
c. Parasit
Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat
menimbulkan abses otak secara hematogen.
d. Komplikasi dari infeksi lain
Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis )hampir setengah dari
jumlah penyebab abses otak serta Komplikasi infeksi lainnya seperti: paru-paru
(bronkiektaksis, abses paru, empisema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi
dan kulit.
Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau factor lingkungan.
a. Faktor tuan rumah (host)
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup
kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif,
aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang
berfungsi sempurna.
b. Faktor kuman
Kuman tertentu cenderung neurotropik seperti yang membangkitkan
meningitis bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak
bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi
yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat
ganggguan pada system limfoid atau retikuloendotelial.
c. Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke
dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.
3. Patofisiologi
Mikroorganisme penyebab abses masuk ke otak dengan cara:
a. Implantasi langsung akibat trauma, tindakan operasi, pungsi lumbal. Penyebaran
infeksi kronik pada telinga, sinus, mastoid, dimana bakteri dapat masuk ke otak
dengan melalui tulang atau pembuluh darah.
b. Penyebaran bakteri dari fokus primer pada paru-paru seperti abses paru,
bronchiactasis, empyema, pada endokarditis dan perikarditis.
c. Komplikasi dari meningitis purulenta.
Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit atau
melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu dari
fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus. Kemudian terjadi
ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa timbul
meningitis.
Abses Otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di
sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung
seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran
hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan
substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada
daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
Abses Otak bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada
penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah
sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini
memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang
sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan
terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka
bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke
dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur
lebih dari 2 tahun. Dua pertiga Abses otak adalah soliter, hanya sepertiga abses otak
adalah multipel. Pada tahap awal abses otak terjadi reaksi radang yang difus pada
jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan
otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu
rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik.
Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang
progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.
4. Klasifikasi Abses Cerebri/ Otak
Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :
a. Stadium serebritis dini (Early Cerebritis) (hari ke 1 – 3)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan
plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari
pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular
ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekitar otak dan peningkatan efek
massa karena pembesaran abses.
b. Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis) (hari ke 4 – 9)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena
pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel
radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar.
Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase
ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar
c. Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation) (hari ke 10 – 14)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast
meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman
reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding
sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih
dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup
besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat
daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit
di sekitar otak mulai meningkat.
d. Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation) (setelah hari ke 14)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis
sebagai berikut:
1) Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
2) Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
3) Kapsul kolagen yang tebal.
4) Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
5) Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah
ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi
meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang
berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan
AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya
terjadi secara hematogen.
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik abses otak bervariasi tergantung pada virulensi organisme, status
imun penderita, lokasi abses, jumlah lesi, adanya meningitis, atau ruptur ventrikel.
Yang sering dirasakan penderita adalah:
- Demam,
- Nyeri kepala
Nyeri kepala biasanya general, kemungkinan karena peningkatan tekanan
intrakranial, demikan juga dengan mual dan muntah.
- Defisit neurologis fokal. Defisit neurologis fokal tergantung pada lokasi, ukuran lesi
dan edema sekitarnya.
- Kejang biasanya general dan lebih sering pada lesi lobus frontalis.
- Hemianopsia biasanya merupakan manifestasi lesi pada supratentorial.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diganostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus abses otak,
yaitu:
a. Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental,
derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan
juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.
b. Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota
gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.
c. X-ray tengkorak, sinus, mastoid, paru-paru: terdapat proses suppurative.
d. CT scan
CT scan otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses;
daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang
normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui
lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses. Magnetic
Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang
lebih cepat juga lebih akurat.
Gambaran CT-scan pada abses :
Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.
Gambaran CT-Scan :
Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan sebagian gambaran
seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas sesuai dengan diameter
serebritisnya. Didapati mengelilingi pusat nekrosis.
Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari
zona central inflamasi.
Gambaran CT-Scan :
Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras perinfus. Kontras
masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi homogen menunjukkan adanya
cerebritis.
Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,
hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat
terlihat gambaran ring enhancement.
Gambaran CT-Scan :
Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih kecil dan kapsul
terlihat lebih tebal.
Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral
abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)
Gambaran CT-Scan :
Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah nekrosis tidak
diisi oleh kontras.
e. MRI: sama halnya dengan CT scan yaitu adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi
perubahan ukuran.
f. Biopsi otak: mengetahui jenis kuman patogen.
g. Lumbal Pungsi: meningkatnya sel darah putih, glukosa normal, protein meningkat
(kontraindikasi pada kemungkinan terjadi herniasi karena peningkatan TIK).
h. USG
i. Angiografi, menentukan lokalisasi abses
j. EEG. Memperlihat tanda-tanda fokal sloding disekitar abses
k. Laboratorium : jumlah Leukosit 10.000 – 20.000/cm3 (60-70 %) dan LED
meningkat ; 45 mm/jam (75-90%), kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit
pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali bila terjadi
perforasi dalam ruangan ventrikel.
7. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan menghilangkan
kuman penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan :
a. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam
jiwa
b. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
c. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
d. Pengobatan terhadap infeksi primer
e. Pencegahan kejang
f. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan
pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan
kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat
cedera kepala dan komplikasi pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi
dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga
metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes
sentivitas telah tersedia.
8. Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:
a. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
b. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
c. Edema otak
d. Herniasi oleh massa Abses otak
e. Retardasi mental
f. Epilepsi
g. Kelainan neurologik fokal yang lebih berat.
B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas kilen, usia, jenis, kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan utama ; nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang ; demam, anoreksi dan malaise, peninggian, tekanan
intrakranial serta gejala nerologik fokal .
4) Riwayat penyakit dahulu ; pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis
media, mastoiditis ) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses
paru,empiema )jantung ( endokarditis ), organ pelvis, gigi dan kulit.
5) Riwayat Penyakit keluarga
5) Saraf kranial :
a) Test nervus I (Olfactory)
Fungsi penciuman
Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang
baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.
Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
b) Test nervus II ( Optikus)
Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang
Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di
koran, ulangi untuk satunya.
Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien
memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan
perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu
klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.
c) Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
Test N III (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter kedalam tiap
pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata
(jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar.
Test N IV, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm sejajar mid
line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola
mata, diplopia, nistagmus.
Test N VI, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa menengok.
d) Test nervus V (Trigeminus)
Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata
atas dan bawah.
Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.
Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata
klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.
Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan
palpasi pada otot temporal dan masseter.
e) Test nervus VII (Facialis)
Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis,
asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan,
klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi
yang sehat.
Otonom, lakrimasi dan salivasi
Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk :
tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha
membukanya
f) Test nervus VIII (Acustikus)
Fungsi sensoris :
- Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa
berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.
- Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus,
apakah dapat melakukan atau tidak.
g) Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian
ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian
parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum
lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah simetris
dan tertarik keatas.
Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx dengan
tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.
h) Test nervus XI (Accessorius)
Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah
Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi
kekuatannya.
Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan ---- test otot
trapezius.
i) Nervus XII (Hypoglosus)
Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan
minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.
6) Fungsi sensorik :
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara
pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh
sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan
yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan
karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).
Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan
geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin
(coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang
keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan
sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik. Bahan yang dipakai
untuk pemeriksaan sensorik meliputi :
1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
Pen / pensil, untuk graphesthesia.
7) Sistem Motorik
Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri,
impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal
medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan
kekuatan.
a) Massa otot : hypertropi, normal dan atropi
b) Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada
berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara
berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang
agak menahan pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut
kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama.
Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana
kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan
ekstensi extremitas klien.
Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk menguji tahanan
terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan.
Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.
c) Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif
menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya
dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan
skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau
melawan tahanan atau gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.
d) Aktifitas refleks :
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan
refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )
2 = normal ( ++ )
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )
4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)
e) Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
- Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang
lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae)
dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps
femoris yaitu ekstensi dari lutut.
- Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900, supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa
ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul
dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi
fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi
penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
- Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900, tendon triceps diketok
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila
ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas
sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
- Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa
gerakan plantar fleksi kaki.
- Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus.
Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah
yang digores.
- Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit
traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian
lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian
melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki
melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal
adalah fleksi plantar semua jari kaki.
8) Pemeriksaan Khusus Sistem Persyarafan
Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan
pemeriksaan :
a) Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada ---- kaku kuduk positif (+).
b) Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada
klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien
difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai
bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
c) Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul
secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan
lutut.
d) Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada
sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap
tungkai atas.
Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap
hambatan.
e) Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang m. ischiadicus.
9) Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
a) Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal. Nampak
kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua pergelangan tangan
dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar
fleksi.
b) Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau
diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi, ekstensi dan
menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki plantar fleksi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
b. Ketidakseimbangan nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh.
c. Hipertermi
d. Nyeri Akut
e. Resiko Cedera
f. Hambatan mobilitas fisik
3. Rencana Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
1. Resiko ketidakefektifan perfusi NOC a. Monitor Tekanan Intra Kranial
jaringan serebral - Circulation status - Catat perubahan respon klien
Definisi: - Tissue Prefusion : terhadap stimulus / rangsangan
rentan mengalami penurunan cerebral - Monitor TIK klien dan respon
sirkulasi jaringan otak yang dapat Kriteria Hasil : neurologis terhadap aktivitas
mengganggu kesehatan. - Mendemonstrasikan
Faktor resiko : status sirkulasi yang
- Monitor intake dan output
Agens farmaseutikal ditandai dengan : - Pasang restrain, jika perlu
Aterosklerosis aortik - Tekanan systole dan - Monitor suhu dan angka
Baru terjadi infark miokardium diastole dalam leukosit
Diseksi arteri rentang yang - Kaji adanya kaku kuduk
Embolisme diharapkan - Kelola pemberian antibiotik
Endokarditis infeksi - Tidak ada ortostatik - Berikan posisi dengan kepala
hipertensi
Fibrilasi atrium elevasi 30-40O dengan leher
- Tidak ada tanda-
Hiperkolesterolemia dalam posisi netral
tanda peningkatan
Hipertensi - Minimalkan stimulus dari
tekanan intrakranial
Kardiomiopati dilatasi (tidak lebih dari 15
lingkungan
Katup prostetik mekanis mmHg) - Beri jarak antar tindakan
Koagulasi intravaskular - Mendemonstrasikan keperawatan untuk
diseminata kemampuan kognitif meminimalkan peningkatan
Koagulopati (mis.anemia sel yang ditandai TIK
sabit) dengan: - Kelola obat obat untuk
Masa protombin abnormal - Berkomunikasi mempertahankan TIK dalam
Masa tromboplastin parsial dengan jelas dan batas spesifik.
abnormal sesuai dengan b. Monitoring Neurologis
Miksoma atrium kemampuan - Monitor ukuran, kesimetrisan,
Neoplasma otak - Menunjukkan reaksi dan bentuk pupil
Penyalahgunaan zat perhatian, - Monitor tingkat kesadaran klien
Segmen ventrikel kiri akinetik konsentrasi dan - Monitor tanda-tanda vital
Sindrom sick sinus orientasi
- Monitor keluhan nyeri kepala,
Stenosis karotid - Memproses
mual, dan muntah
Stenosis mitral informasi
- Membuat keputusan - Monitor respon klien terhadap
Terapi trombolitik pengobatan
dengan benar
Tumor otak (mis. Gangguan - Hindari aktivitas jika TIK
- Menunjukkan fungsi
serebrovaskular,penyakit meningkat
sensori motori
neurologis, trauma, tumor) - Observasi kondisi fisik klien
cranial yang utuh :
tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan gerakan
involunter
b. Nutrition Therapy
Aktivitas :
1) Lengkapi pengkajian nutrisi
sesuai anjuran
2) Tentukan dan kolaborasikan
dengan ahli gizi terkait jumlah
kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi
3) Anjurkan pasien untuk
mengkonsumsi makanan tinggi
kalsium
4) Monitor hasil labor berkaitan
dengan status nutrisi pasien.
5) Berikan pada pasien atau
keluarga catatn contoh diit yang
ditentukan.
c. Nausea Management
Aktivitas :
1) Ajarkan pasien untuk memonitor
pengalaman mualnya
2) Ajarkan pasien untuk
mempelajari strategi-strategi
untuk mengatur mualnya
3) Lakukan pengkajian lengkap
terkait mual, meliputi frekuensi,
durasi, dan faktor presipitasi.
4) Evaluasi pengalaman-
pengalaman mual pasien
sebelumnya
5) Identifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan mual pasien
sebelumnya
6) Berikan terapi anti emetik yang
diberikan untuk menghindari
terjadinya mual
7) Ajarkan teknik-teknik
nonfarmakologi, seperti relaksasi,
terpi musik, distraksi,
acupressure untuk mengatur mual
yang dirasakan oleh pasien
d. Nutrition Monitoring
Aktivitas :
1) Timbang berat badan pasien
2) Pantau perkembangan BMI
pasien
3) Monitor penurunan dan
peningkatan berat badanpasien
4) Identifikasi perubahan berat
badan yang terjadi baru-baru ini
pada pasien
5) Monitor turgor kulir pasien
6) Monitor mual dan muntah
7) Monitor intake diit dan kalori
pasien
8) Identifikasi perubahan nafsu
makan dn aktifitas pasien
9) Monitor kepucatan, kemerahan,
kekeringan jaringan mukosa
10) Monitor hasil labor (meliputi :
serum albumin, hemoglobin,
hematokrit, elektrolit).
e. Nutrition Counseling
Aktivitas :
1) Bina hubungan terapeutik
berdasarkan kepercayaan dan
respek pada pasien
2) Tentukan intake makanan dan
kebiasaan makan pasien
3) Berkolaborasi dengan pasien
dalam menentukan tujuan
realistis jangka pendek dan
jangka panjang untuk perubahan
dalam status nutrisi
4) Sediakan informasi tentang
kebutuhan kesehatan untuk
modifikasi diit : penurunan berat
badan, peningkatan berat badan,
kekurangan cairan
5) Diskusikan dengan pasien terkait
kelompok dasar makanan yang
dibutuhkan dalam modifikasi diit
6) Bantu pasien untuk mencatat
kebiasaan makannya tiap 24 jam
3. Hipertermi NOC: 1. Fever Treatment
Definisi: Thermoregulation Aktivitas:
Peningkatan suhu tubuh diatas 1) Monitor suhu sesering
kisaran normal Kriteria Hasil:
mungkin
Batasan karakteristik: - Suhu tubuh dalam
- Konvulsi rentang normal 2) Monitor IWL
- Kulit kemerahan - Nadi dan RR dalam 3) Monitor warna dan suhu
- Peningkatan suhu tubuh rentang normal kulit
- Kejang - Tidak ada perubahan 4) Monitor tekanan darah, nadi,
- Takikardi warna kulit dan tidak dan RR
- Takipnea ada pusing 5) Monitor WBC, Hb, dan Hct
- Kulit terasa hangat
6) Monitor intake dan output
Faktor yang berhubungan:
- ansietas 7) Berikan antipiretik
- Penurunan respirasi 8) Berikan pengobatan untuk
- Dehidrasi mengatasi penyebab demam
- Pemajanan lingkungan yang 9) Selimuti pasien
panas 10) Lakukan tapid sponge
- Penyakit 11) Kolaborasi pemberian cairan
- Pemakaian pakaian yang tidak intravena
sesuai dengan suhu lingkungan 12) Kompres pasien pada lipatan
- Peningkatan laju metabolisme
paha dan aksila
- Medikasi
- Trauma 13) Tingkatkan sirkulasi udara
- Aktivitas berlebihan 14) Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya
menggigil
15) Monitor suhu minimal tiap 2
jam
2. Vital Sign Monitoring
Aktivitas:
1) Monitor TD, nadi, suhu dan
RR
2) Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3) Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau
berdiri
4) Monitor suara paru
5) Monitor pola pernapasan
abnormal
6) Monitor sianosis perifer
identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
4. Nyeri Akut NOC : 1. Manajemen Nyeri
- Pain Level, Aktivitas:
Definisi: - Pain control, - Lakukan pengkajian nyeri secara
Pengalaman sensori dan - Comfort level
komprehensif termasuk derajat,
emosional tidak menyenangkan Kriteria Hasil :
yang muncul akibat kerusakan - Mampu lokasi, karakteristik, durasi,
mengontrol
jaringan aktual atau potensial atau nyeri (tahu penyebab frekuensi, kualitas dan faktor
yang digambarkan sebagai nyeri, mampu presipitasi
kerusakan; awitan yang tiba-tiba menggunakan tehnik - Observasi reaksi nonverbal dari
atau lambat dari intensitas ringan nonfarmakologi untuk ketidaknyamanan
hingga berat dengan akhir yang mengurangi nyeri, - Gunakan teknik komunikasi
dapat diantisipasi atau di presiksi. mencari bantuan) terapeutik untuk mengetahui
- Melaporkan bahwa
Batasan Karakteristik: pengalaman nyeri pasien
nyeri berkurang
Perubahan nafsu makan dengan menggunakan - Kaji kultur yang mempengaruhi
Perubahan tekanan darah manajemen nyeri respon nyeri
Perubahan frekuensi jantung - Mampu mengenali - Evaluasi pengalaman nyeri masa
Perubahan frekuensi nyeri (skala, intensitas, lampau
pernafasan frekuensi dan tanda - Bantu pasien dan keluarga untuk
Laporan isyarat nyeri) mencari dan menemukan
diaforesis - Menyatakan rasa
dukungan
Prilaku diatraksi (mis; nyaman setelah nyeri
berkurang - Kontrol lingkungan yang dapat
mondar-mandir, mencari
orang lain dan/atau aktivitas Tanda vital mempengaruhi nyeri seperti suhu
lain, aktivitas yang berulang dalam rentang ruangan, pencahayaan dan
) normal kebisingan
Mengekspresikan prilaku ( - Kurangi faktor presipitasi nyeri
mis: gelisah,merengek, - Berikan informasi mengenai nyeri,
menangis, wadata, seperti penyebab nyeri, berpa lama
iritabilitas, mendesah) nyeri dirasakan, dan antisipasi dari
Masker wajah Fokus (mis :
mata kurang bercahaya, ketidaknyamanan akibat prosedur
tampak kacau, gerakan mata - Kolaborasi pemberian analgetik
berpencar atau tetap pada untuk mengurangi nyeri
satu fokus meringis )
- Kolaborasi dengan tim kesehatan
Prilaku berjaga jaga,
lainnya dengan terapi-terapi
Melindungi area nyeri
Fokus menyempit ( mis : alternative lain, seperti ultrasound,
gangguan persepsi nyeri, diatermia, menggunakan unit
hambatan proes berfikir, TENS
penurunan interaksi dengan 2. Pemberian Analgesik
orang yang dan - Tentukan lokasi, karakteristik,
lingkungannya ) kualitas dan keparahan nyeri
Indikasi nyeri yang dapat sebelum mengobati pasien
diamati - Cek perintah pengobatan meliputi
Perubahan posisi untuk obat, dosis, dan frekuensi obat
menghindari nyeri analgesik yang diresepkan
Sikap melindungi tubuh
- Cek adanya riwayat alergi obat
Dilaktasi pupil
- Evaluasi kemampuan pasien untuk
Melaporkan nyeri
Fokus pada diri sendiri berperan serta dalam pemilihan
Gangguan tidur analgetik, rute, dosis dan
Faktor yang berhubungan : keterlibatan pasien sesuai
- Agen cedera biologis (mis, kebutuhan.
infeksi, iskemia, neoplasma ) - Pilih analgesik atau kombinasi
- Agen cedera fisik (misal abses, analgesik yang sesuai ketika lebih
amputasi, luka bakar, terpotong,
dari satu diberikan
mengangkat berat, prosedur
bedah, trauma, olahraga - Tentukan pilihan obat analgesik
berlebihan) (narkotik, non narkotik atau
- Agen cedera kimiawi (misal NSAID), berdasarkan tipe dan
luka bakar, kapsaisin, metilen keparahan nyeri
klorida, agens mustard) - Pilih rute intravena atau
intramuskular untuk injeksi
pengobatan nyeri
- Monitor tanda vital sebelum dan
setelah pemberian analgesik
- Berikan analgesik sesuai waktu
paruhnya terutama pada nyeri berat
- Evaluasi keefektifan analgesik
dengan interval teratur pada setelah
pemberian
- Dokumentasikan respon terhadap
analgesik dan adanya efek samping
5. Resiko cidera NOC 1. Environment Management
Definisi : Beresiko mengalami Risk Kontrol (Manajemen lingkungan)
cedera sebagai akibat kondisi - Sediakan Iingkungan yang
Kriteria Hasil :
lingkungan yang berinteraksi aman untuk pasien
- Klien terbebas dari
dengan sumber adaptif dan - Identifikasi kebutuhan
cedera
sumber defensif individu keamanan pasien, sesuai
- Klien mampu
Faktor Resiko : dengan kondisi fisik dan fungsi
menjelaskan
Eksternal kognitif pasien dan riwayat
cara/metode untuk
- Biologis (mis, tingkat imunisasi penyakit terdahulu pasien
mencegah
komunitas, mikroorganisme) - Menghindarkan lingkungan
injury/cedera
- Zat kimia (mis, racun, polutan, yang berbahaya (misalnya
- Klien mampu
obat, agenens farmasi, alkohol, memindahkan perabotan)
menjelaskan faktor
nikotin, pengawet, kosmetik, - Memasang side rail tempat
resiko dari
pewarna) tidur
lingkungan/perilaku
- Manusia (mis, agens - Menyediakan tempat tidur yang
nosokomial, pola ketegangan, personal nyaman dan bersih
atau faktor kognitif, afektif, dan - Mampu memodifikasi - Menempatkan saklar lampu
psikomotor) gaya hidup untuk ditempat yang mudah dijangkau
- Cara pemindahan/transpor mencegah injury pasien.
- Nutrisi (mis, desain, struktur, - Menggunakan fasilitas - Membatasi pengunjung
dan pengaturan komunitas, kesehatan yang ada - Menganjurkan keluarga untuk
bangunan, dan/atau peralatan) - Mampu mengenali menemani pasien.
Internal perubahan status - Mengontrol lingkungan dari
o Profil darah yang abnormal kesehatan kebisingan
(mis, leukositosis / leukopenia, - Memindahkan barang-barang
gangguan faktor Koagulasi, yang dapat membahayakan
trombositopenia, sel sabit, - Berikan penjelasan pada pasien
talasemia, penurunan dan keluarga atau pengunjung
hemoglobin) adanya perubahan status
o Disfungsi biokimia kesehatan dan penyebab
o Usia perkembangan (fisiologis, penyakit.
psikososial) 2.Fall Prevention
o Disfungsi efektor Aktivitas
o Disfungsi imun-autoimun - Identifikasi kognitif dan
o Disfungsi integratif kekurangan fisik dari pasien
o Malnutrisi yang mungkin meningkatkan
o Fisik (mis, integritas kulit tidak potensial untuk cedera
utuh, gangguan mobilitas) - Identifikasi kebiasaan dan
o Psikologis (orientasi afektif) factor risiko yang
o Disfungsi sensorik mempengaruhi untuk cedera.
o Hipoksia jaringan - Cari informasi riwayat cedera
pasien dan keluarga.
- Identifikasi karakteristik
lingkungan yang bisa
meningkatkan potensial untuk
cedera.
- Monitor gaya berjalan,
keseimbangan, dan level
kelelahan yang dapat
memungkinkan pasien untuk
cedera
- Kunci roda dari kursi roda,
tempat tidur, saat memindahkan
pasien.
- Ajari pasien bagaimana cara
duduk, berdiri dan berjalan
yang aman untuk
meminimalkan cedera bila
diperlukan