You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Disfungsi seksual meliputi berbagai gangguan dimana individu
tidak mampu berperan serta dalam hubungan seksual seperti yang
diharapkannya. Gangguan tersebut dapat berupa kekurangan minat
(interest), kenikmatan (enjoyment), gagal dalam respons fisiologis yang
dibutuhkan untuk interaksi seksual yang efektif (misalnya, ereksi), atau
tidak mampu mengendalikan orgasme (PPDGJ, 2013).
Respons seksual adalah suatu proses psiko-somatik dan kedua
proses (psikologis dan somatik) biasanya terlibat sebagai penyebab
disfungsi seksual. Siklus respons seksual menurut DSM-IV yaitu fase
hasrat atau dorongan (mencerminkan motivasi pasien, dorongan dan
kepribadian. Ditandai oleh khayalan seksual dan hasrat untuk melakukan
hubungan seks), fase rangsangan (perasaan subjektif tentang kenikmatan
seksual dan perubahan fisiologis yang menyertai), fase orgasme (puncak
dari pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmik otot perineum dan
organ reproduktif pelvik), fase resolusi (perasaan relaksasi umum, sehat
dan kekenduran otot). Sedangkan siklus respons seksual menurut
(Kolodny, Master, Johnson, 1979) adalah:
1. Fase Perangsangan
Perangsangan terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat berbentuk
fisik atau psikis. Kadang fase perangsangan ini berlangsung singkat,
segera masuk ke fase plateu. Pada saat yang lain terjadi lambat dan
berlangsung bertahap memerlukan waktu yang lebih lama. Pemacu
dapat berasal dari rangsangan erotik maupun non erotik seperti
pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran dan mimpi.
2. Fase Plateau
Pada fase ini bangkitan seksual mencapai derajat tertinggi yaitu
sebelum mencapai ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya
orgasme.
3. Fase Orgasme
Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik dan
psikologik dalam aktivitas seks sebagai akibat pelepasan memuncaknya
ketegangan seksual setelah terjadi fase rangsangan yang memuncak
pada fase plateau.
4. Fase Resolusi
Pada fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin dan luar alat
kelamin yang telah terjadi akan kembali ke keadaan asal. Sehingga
adanya hambatan atau gangguan pada salah satu siklus respons seksual
diatas dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.
Menurut Organisasi Internasional Klasifikasi Dunia Kesehatan
Penyakit-10 (ICD-10) disfungsi seksual adalah kondisi seseorang yang
tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kategori khusus termasuk
kekurangan atau hilangnya gairah seksual, gangguan ketidaktertarikan
melakukan hubungan seksual, kegagalan respons organ genetalia,
disfungsi orgasme, vaginismus non organik, dispareunia non organik dan
dorongan seksual yang berlebihan.
Menurut Diagnostic and Statictical Manual 4th Edition (DSM-IV)
disfungsi seksual didefinisikan sebagai gangguan dalam gairah seksual dan
dalam perubahan psikofisiologi yang menjadi ciri siklus respons seksual
dan menyebabkan penderitaan yang ditandai kesulitan interpersonal.
B. Epidemiologi

C. Klasifikasi
1. F52.0 Kurang atau Hilangnya Nafsu Seksual
2. F52.1 Penolakan dan Kurangnya Kenikmatan Seksual
3. F52.2 Kegagalan dari Respons Genital
4. F52.3 Disfungsi Orgasme
5. F52.4 Eyakulasi Dini
6. F52.5
7. F52.6
8. F52.7
D. Etiologi dan Patofisiologi
1) Faktor Fisik
Gangguan vaskuler pembuluh darah (gangguan arteri koronaria),
penyakit sistemik (diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia),
gangguan neurologis (stroke, multiple sklerosis), faktor neurogen
(kerusakan sumsum belakang dan saraf), gangguan hormonal
(menurunnya testosteron dalam darah (hipogonadisme) dan
hiperprolaktinemia), gangguan anatomis (peyronie), faktor lain
(alkohol, merokok, obesitas). Beberapa obat-obatan (barbiturat,
benzodiazepin, lithium) juga dapat menyebabkan disfungsi seksual.
2) Faktor Psikis
Kecemasan, trauma, perasaan bersalah, kurangnya pengetahuan tentang
seks dan keluarga tidak harmonis.
E. Manifestasi Klinis dan Penegakkan Diagnosis
3. F52.2 Kegagalan dari Respons Genital
 Pada pria masalah utama adalah disfungsi ereksi. Misalnya
kesukaran untuk terjadinya atau mempertahankan ereksi yang
memadai untuk suatu hubungan seksual yang memuaskan.
 Pada wanita masalah utama adalah kekeringan vagina atau
kegagalan pelicinan (lubrications) (PPDGJ, 2013).
4. F52.3 Disfungsi Orgasme
 Baik orgasme tidak terjadi sama sekali maupun yang sangat
terlambat. Termasuk: “psychogenic anorgasmy” (PPDGJ, 2013).
5. F52.4 Eyakulasi Dini
 Ketidakmampuan mengendalikan eyakulasi sedemikian rupa
sehingga masing-masing menikmati hubungan seksual (PPDGJ,
2013).
F. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan
wanita adalah sebagai berikut:
1. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
2. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
3. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
4. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari
pengobatan bedah dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan
sex theraphy, obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani).
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah
disfungsi seksual. Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien tidak
dapat mengutarakan masalahnya semua kepada dokter, serta perbedaan
persepsi antara pasien dan dokter terhadap apa yang diceritakan pasien.
Banyak pasien dengan disfungsi seksual membutuhkan konseling seksual
dan terapi, tetapi hanya sedikit yang peduli. Oleh karena masalah disfungsi
seksual melibatkan kedua belah pihak yaitu pria dan wanita, dimana
masalah disfungsi seksual pada pria dapat menimbulkan disfungsi seksual
ataupun stres pada wanita, begitu juga sebaliknya, maka perlu dilakukan
dual sex theraphy. Baik itu dilakukan sendiri oleh seorang dokter ataupun
dua orang dokter dengan wawancara keluhan terpisah.
Pria yang mengalami disfungsi ereksi harap mengurangi konsumsi
rokok, menghindari kegemukan, dan meningkatkan aktivitas fisik. Kadang
diperlukan terapi psikoseksual untuk mengatasi penyebab psikogenik
seperti kecemasan dan depresi.
Penanganan disfungsi ereksi dengan farmakologi dan bedah dibagi
menjadi 3 lini terapi, yaitu:
1. Terapi lini pertama
Terapi lini pertama yaitu memberi oral pada pasien. Untuk tahap ini,
Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan telah mengizinkan tiga
jenis obat yang beredar di Indonesia, masing-masing dikenal dengan
jenis obat
a. Sildenafil (viagra),
b. Tadalafil (Cialis) dan
c. Vardenafil (Levitra).
Ketiga jenis obat ini merupakan obat untuk menghambat enzim
Phosphodiesterase-5 (PDE-5), suatu enzim yang terdapat di organ penis
dan berfungsi untuk menyelesaikan ereksi penis. Ketiga jenis obat ini
memiliki kelebihan dan kekurangan :
a. Sildenafil merupakan preparat erektogenik golongan PDE-5 yang
pertama kali ditemukan. Mula kerja Sildenafil antara ½-1 jam.
Sedangkan masa kerjanya berkisar 5-10 jam. Dari segi profilnya,
Sildenafil tidak begitu selektif dalam menghambat PDE-5 karena, zat
ini ternyata juga menghambat PDE-6, jenis enzim yang letaknya di
mata. Kondisi ini menyebabkan penglihatan mata menjadi biru (blue
vision). Obat ini juga tidak bisa diminum berbarengan dengan
makanan karena absorsi (penyerapannya) akan terganggu jika
lambung dalam kondisi penuh.
b. Vandenafil, lebih selektif dalam menghambat PDE-5 mengingat
dosisnya tergolong kecil yaitu antara 10-20 mg. Mula kerjanya lebih
cepat, 10-30 menit, dengan masa kerja 5-10 jam. Keunggulan
Vandenafil adalah absorsinya tidak dipengaruhi oleh makanan.
Kelemahannya, akan terjadi vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah
di hidung sehingga menyebabkan hidung tersumbat). Biasanya
minum pertama akan menyebabkan sakit kepala.
c. Tadalafil, masa kerjanya jauh lebih panjang yaitu 36 jam. Mula
kerjanya sekitar 1 jam dan tidak dipengaruhi oleh makanan sehingga
absorsinya tidak terganggu. Kekurangannya, obat ini juga
menghambat PDE-11 enzim yang letaknya di pinggang sehingga jika
mengkonsumsi ini, akan mengalami rasa sakit di pinggang.
2. Terapi lini kedua
Pada terapi lini kedua yang terdiri dari suntikan intravernosa dan
pemberian alprostadil melalui uretra. Terapi suntikan intrakarvenosa
yang digunakan adalah penghambat adrenoreseptor dan prostaglandin.
Prinsip kerja obat ini adalah dapat menyebabkan relakasasi otot polos
pembuluh darah dan karvenosa yang dapat menyebabkan ereksi.
3. Terapi lini ketiga
Terapi lini ketiga yaitu implantasi prosthesis pada penis. Tindakan ini
dipertimbangkan pada kasus gagal terapi medikamentosa atau pada
pasien yang menginginkan solusi permanen untuk masalah disfungsi
ereksi (Sadock, 2010).
G. Prognosis
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

Sadock, Benjamin. J. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta:
EGC

You might also like