You are on page 1of 9

2.

1 Patogenesis
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain.
Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm: 1,2,3,4

2. 5. 1 Aktivasi aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu: stres


Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang mengancam
atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan akitivasi prematur
hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko
penting untuk persalinan preterm. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga 100%
kenaikan angka kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan
gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin,
kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan persalinan preterm
terkait stres. Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran
preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini
dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta. 1,2,3,4

2.5.2 Infeksi dan inflamasi


Patogenesis dari persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar.8 Namun,
infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam persalinan preterm.1,8
Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan persalinan preterm pun hingga
kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh
aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak mikroorganisme. 1,2,3,4
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi intrauterin,
infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik, dan periodontitis ibu.11
Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp,
dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia
bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum selaput
amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya
cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui mekanisme sebagai berikut: 2,3,4
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah penyebaran
secara ascending dari vagina dan serviks. 2,3,4 Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang
disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina
predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob,
Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama
dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan preterm, dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0. 1,2,3,4

Gambar 2.3 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi8

2.5.3 Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)


Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskular dari plasenta
biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta
dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35% dari wanita dengan ketuban pecah
dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai
kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau
janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm
ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan
memainkan peran utama. 2,3,4
2.5.4 Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai persalinan
preterm yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan makrosomia.
Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted
reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan
merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari persalinan preterm di negara-negara
maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17%
dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak
kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan persalinan
preterm masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi
protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya
yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. 2,3,4,5

2.5.5 Insufisiensi serviks


Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada trimester
kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks berhubungan dengan
outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk persalinan
preterm. Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat
pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima
penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero
diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti
Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang bersifat
traumatis; dan (5) infeksi.5
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm juga meningkat
pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko persalinan preterm pada wanita yang merokok
sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang
masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon
monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta
serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya
pertumbuhan janin dan persalinan preterm.3,4,5

Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami Persalinan Preterm


Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak awal,
sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang berisiko, untuk
diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan preterm serta pengenalan
kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan
serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan antenatal, padahal sebenarnya pemeriksaan
tersebut mempunyai manfaat yang cukup besar dalam meramalkan terjadinya persalinan preterm.
Bila dijumpai seviks pendek (< 1 cm) disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks
matang/inkompetensi serviks, maka pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya persalinan
preterm 3-4 kali.1,2,3,4
Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang
berisiko mengalami persalinan preterm: 1,2,3,4

2.6.1 Skoring risiko


Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh Creasly dkk.
Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor risiko, antara lain
sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta penyulit kehamilan yang dihadapi saat ini.
Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap berisiko tinggi mengalami persalinan preterm.1,4
Meskipun Creasy dkk. serta Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang
disertai program pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik. 12 Pada
prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan karena metode ini sangat
bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai untuk nulipara.
Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari penilaian klinis lainnya,
dan tidak dapat direkomendasikan.1

2.6.2 Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring
Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada wanita yang
berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan pencatatan telematika dari
kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen,
dan dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang, kemudian
hasil aktivitas uterus akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan
tersebut, para praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap
pasien tersebut melalui telepon. 1,2,3,4
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas uterus di
rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan preterm, baik pada wanita yang berisiko
rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan metode ini akan meningkatkan
kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang
signifikan terhadap terapi obat tokolisis profilaktik pada wanita hamil.1,4 Selain itu metode ini
membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, metode ini tidak
direkomendasikan pada praktek klinis rutin.4

2.6.3 Estriol saliva


Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan konsentrasi estriol
saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian mengenai
fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA)
janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya
persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada
persalinan preterm akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat
menjadi perediktor dimulainya persalinan preterm. Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol
akan dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami
persalinan preterm atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam
serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko persalinan preterm dengan atau
tanpa gejala. 1,2,3,4
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam
memprediksi persalinan preterm dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat positif palsu yang sangat
tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan karena intervensi yang tidak perlu.
Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat dengan menggunakan radioimmunoassay. Heine
dkk. menunjukan bahwa tingkat estriol saliva positif satu (≥ 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan
suatu peningkatan risiko persalinan preterm 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah
maupun tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan peningkatan
akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit penurunan sensitivitas. Tes estriol
saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel
saliva yang mudah didapatkan, dan dapat memberikan hasil positif beberapa minggu sebelum
dimulainya persalinan. Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta
pemberian betametason untuk produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat estriol saliva ibu,
dapat mempersulit interpretasi hasil.4 Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai
intervensi dan pengobatan yang potensial pada wanita dengan peningkatan kadar estriol saliva
yang tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.1,2,3,4

2.6.4 Skrining bacterial vaginosis (BV)


Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan persalinan preterm spontan, ketuban
pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. Platz-Christense dkk. (1993)
telah memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis dapat mencetuskan persalinan
preterm dengan suatu mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan sitokin yang diusulkan
untuk bakteri cairan amnion. Banyak penelitian klinis secara konsisten menemukan bahwa
wanita dengan vaginosis bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko mengalami persalinan
preterm yang meningkat 2 kali lipat.1 Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3
dari 4 kriteria berikut ini:
1. pH vagina > 4,5
2. adanya “clue cells” (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada pewarnaan gram
3. adanya duh vagina homogen
4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.
Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil yang
ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan riwayat persalinan
preterm sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah persalinan
preterm pada sebagian dari wanita. Namun, meta-analisis terbaru menunjukan banyak perbedaan
diantara 6 penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan kesimpulan yang pasti.1
Telah banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak memberikan manfaat dari skrining
vaginosis bakterialis yang bertujuan untuk memprediksi persalinan preterm, terutama pada
kelompok risiko rendah.2,4,5

2.6.5 Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)


Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk molekul yang
berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas, fibroblast, sel endotel, dan amnion
janin. Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta
dianggap memainkan peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta
dalam mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin diukur dengan
menggunakan enzyme linked immunosorbent assay. Normalnya, fibronektin janin terdeteksi pada
sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih,
kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih dianggap sebagai hasil positif dan mengindikasikan
risiko persalinan preterm. 1,2
Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin pada sekret
servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu pertanda adanya ancaman
persalinan preterm.12 Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks
dan cairan amnion memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan
desidua. 3,4,5
Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan normal
aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya memperlihatkan remodeling stroma serviks
sebelum persalinan. Cox dkk. (1996) menemukan bahwa dilatasi serviks lebih bermakna untuk
mendeteksi fibronektin daripada untuk meramalkan kelahiran preterm.12 Namun demikan,
banyak penelitian telah menunjukan adanya peningkatan risiko persalinan preterm, jika fFN
positif pada sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya terdapat penurunan
risiko jika didapatkan fFN negatif.2
Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi persalinan preterm dalam 1 dan 2
minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi persalinan preterm dalam 3 minggu
kemudian ialah 92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi dimulainya persalinan preterm
dalam 1 minggu dan 3 minggu kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.2
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi peripartum dapat
merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal tersebut, Jackson dkk. (1996)
memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro menghasilkan fibronektin janin bila
dirangsang oleh produk-produk radang yang dicurigai mengawali persalinan preterm akibat
infeksi.2

2.6.6 Pengukuran panjang serviks


Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan isi uterus
terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine sampai persalinan, dan serviks akan
berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari isi uterus untuk melintasinya selama proses
persalinan. Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi biokimia
dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau dimulainya persalinan ialah
terjadinya pemendekan dari serviks. Perhatian terhadap penilaian panjang serviks menggunakan
ultrasonografi sebagai prediktor persalinan preterm muncul setelah Iams dkk. (1996)
menentukan distribusi normal dari panjang serviks setelah umur kehamilan 22 minggu. Hal ini
kemudian diterima secara luas, bahwa panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan
24-28 minggu dapat meningkatkan risiko persalinan preterm. Suatu penelitian prospektif yang
melibatkan 2.915 wanita yang dievaluasi menggunakan ultrasonografi pada serviks secara serial
menunjukan suatu risiko relatif terhadap persalinan preterm ialah 9.57, 13.88, dan 24,94 untuk
panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm, pada usia kehamilan 28 minggu.
Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan penilaian panjang serviks sebagai prediktor
persalinan preterm tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi yang luas pada nilai prediksinya.
Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang melibatkan penilaian panjang serviks menunjukan
variasi yang sangat luas dalam sensitivitas (68-100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu
hingga saat ini tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan penilaian panjang serviks
dengan menggunakan USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam memprediksi persalinan
preterm sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi
atau dalam kombinasi dengan test fFN.2

2.6.7 Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks


Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret vaginoserviks pada
wanita yang berisiko tinggi mengalami persalinan preterm mungkin bermanfaat. Suatu penelitian
yang menilai risiko terulangnya persalinan preterm spontan pada wanita yang memiliki riwayat
persalinan preterm sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari
25 mm dan fFN positif. Namun, jika fFN negatif, risiko persalinan preterm hanya sebesar 25%.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah, risiko terulangnya persalinan preterm pada wanita
dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN negatif, hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi
penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu
memprediksi terulangnya persalinan preterm pada wanita risiko tinggi.4

Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam memprediksi risiko
terulangnya persalinan preterm4
Risiko terulangnya persalinan preterm
Panjang serviks
fFN positif fFN negatif
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%

You might also like