You are on page 1of 26

JURNAL ILMIAH

KEABSAHAN PERJANJIAN MELALUI AGEN ELEKTRONIK DALAM SISTEM

HUKUM KONTRAK INDONESIA

ARTIKEL ILMIAH
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat
Untuk Mencapai Gelar Magister Kenotariatan

OLEH :
ILHAMI GINANG PRATIDINA, S.H.
NIM. 031424253069 N

Mengetahui:

DOSEN PEMBIMBING

PROF.DR. YOHANES SOGAR SIMAMORA, S.H., M.HUM.


NIP. 196101271986011003

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
1

KEABSAHAN PERJANJIAN MELALUI AGEN ELEKTRONIK DALAM SISTEM


HUKUM KONTRAK INDONESIA

Oleh : Ilhami Ginang Pratidina, S.H.

ABSTRACT
In the establishment of electronic contracts, one through media websites, vendor
(operator) as the organizer of electronic systems, can not be 24 (twenty four) hours without
stopping at the computer to check and confirm each request it receives from the consumer
(user). In practice, the vendor (operator) or termed in Law No. 11/2008 and Government
Regulation No. 82/2012 as the "penyelenggara sistem elektronik", operate the electronic
systems using an artificial intelligence (artificial intelligence) is termed by Law No. 11/2008
and Government Regulation No. 82/2012 as "agen elektronik" who can work alone to make
an offer and acceptance in electronic transactions, without interference or intervention from
humans. This raises legal questions relating to the validity of electronic contracts made
through electronic agent contract in terms of the legal system of Indonesia, particularly
related to the subjective requirements as set out in Article 1320 BW. Related to the above, in
international practice there has been a debate over the legal status of electronic agents in
electronic transactions. Some scholars argue that the electronic agent is only a tool or a
communication system that represents the will of the vendor (operator) of his. But there is
also a view that is based on the analogy of the position of electronic agents can be equated
with human agency since it represents the will of the vendor (operator) as principal. The other
view states that the electronic agent is a legal entity by analogy to the granting of legal status
to a woman, a slave, companies, ships and temples by English Law. While the latest outlook
assumes that the electronic agent must obtain status as an electronic person. For this reason
this thesis seeks to elaborate the position of electronic agents in the establishment of
electronic contract linked to the validity of electronic agreements formed via electronic
agents as well as accountability and / or responsibility of the organizers of the electronic
system on electronic contracts are made through an electronic agent.

Keywords : validity, electronic contract, electronic agent, e-commerce

Latar Belakang dan Rumusan Masalah


Keberadaan agen dalam suatu transaksi perdagangan merupakan hal yang sangat
diperlukan di era globalisasi yang memungkinkan suatu peredaran barang dan/ atau jasa
berjalan dengan cepat sehingga dapat mewujudkan pemerataan di berbagai daerah di
1
Indonesia. Begitu pula dalam pelaksanaan transaksi elektronik, dimana dalam
perkembangannya, pelaksanaan transaksi elektronik juga melibatkan suatu perantara yang
diistilahkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU No. 11/2008) dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

1
Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Edisi 4, ANDI, 2015, h. 185.
2

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP No. 82/2012) 2 sebagai “agen
elektronik” atau yang dalam United Nations Convention on the Use of Electronic
Communications in International Contracts yang dibentuk oleh The United Nations
Commision on International Trade Law (UNCITRAL) diistilahkan sebagai “automated
message system” atau “electronic agents”.
Pada awalnya keberadaan agen elektronik sebagai perantara dalam suatu transaksi
elektronik hanya berperan dan berfungsi untuk mengumpulkan informasi elektronik yang
ditujukan kepada penyelenggara sistem elektronik baik yang berkedudukan sebagai penjual
(vendor/ operator) maupun yang berkedudukan sebagai pembeli/ konsumen (buyer/ user),
dimana seluruh informasi elektronik yang ada dalam suatu transaksi elektronik, baik dalam
bentuk penawaran (offer), undangan untuk melakukan penawaran (invitation to treat) 3
maupun penerimaan (acceptatie) yang dipertukarkan dalam transaksi elektronik diterima dan/
atau disimpan oleh agen elektronik untuk kemudian pihak penjual (vendor/ operator) atau
pembeli/ konsumen (buyer/ user) melakukan penawaran (offer) atau penerimaan (acceptatie)
berdasarkan informasi elektronik yang telah terkumpul tersebut. Dalam penyelenggaraan
agen elektronik generasi pertama ini, pembentukan kesepakatan sepenuhnya masih
melibatkan penjual (vendor/ operator) dan pembeli/ konsumen (buyer/ user), selayaknya
pembentukan kesepakatan yang dilakukan melalui media surat.4
Selanjutnya, agen elektronik generasi kedua memiliki kemampuan sebagai
“automated system” atau suatu sistem otomatis yang menjalankan suatu perintah tertentu
yang telah diprogram untuk agen elektronik tersebut, sehingga dengan kata lain agen
elektronik hanya dapat menjalankan suatu transaksi yang bersesuaian dengan perintah yang
telah ada dalam programnya (specific program).5 Namun dewasa ini, agen elektronik tidak

2
Sebagai catatan, UU No. 11/2008 telah diubah, dimana perubahan atas UU No. 11/2008 tersebut telah
dibelakukan pada tanggal 26 November 2016, akan tetapi sampai dengan artikel ilmiah ini diuji, perubahan UU
No. 11/2008 tersebut belum terpublikasi. Akan tetapi secara normatif perubahan yang dilakukan terhadap UU
No. 11/2008 tersebut terdiri dari 7 (tujuh) poin yang tidak termasuk dalam ruang lingkup pembahasan dalam
artikel ilmiah ini. Lihat: Liputan 6, Ini 7 Poin UU ITE Hasil Revisi, Liputan 6,
http://news.liputan6.com/read/2663403/ini-7-poin-uu-ite-hasil-revisi, diakses pada tanggal 11 Desember 2016.
3
Penawaran (offer) adalah pernyataan salah satu pihak (offeror) tentang keinginannya untuk
melaksanakan suatu kewajiban menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan yang disampaikan dengan
maksud bahwa setelah ketentuan-ketentuan tersebut diterima oleh pihak lain (offeree) maka pihak offeror akan
terikat untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Sedangkan invitation to treat belum bisa dianggap sebagai
suatu penawaran, melainkan sekadar undangan untuk bertindak memulai negosiasi, sehingga belum ada
kehendak untuk terikat. Lihat: M. Arsyad Sanusi, M. Arsyad Sanusi, Hukum dan Teknologi Informasi,
KemasBuku, Bandung, 2001, h. 262-265; lihat juga: Richard Stone, Principles of Contract Law, Cavendish
Publishing Limited, London, 2000, p. 9.
4
Stephen M. Mc John, “Artificial Legal Intelligence”, Harvard Journal of Law & Technology, Vol. 12,
No. 1, 1998, p. 242.
5
Minghua He, et.al., “On Agent-Mediated Electronic Commerce”, IEEE Transactions on Knowledge
3

hanya bersifat automated system, melainkan bersifat autonomous system atau sistem otonom
yang mampu membuat keputusan berdasarkan self-created instructions dengan cara
mempelajari lingkungannya dan mengambil suatu keputusan dengan keleluasaan melakukan
perombakan atas perintah yang telah diprogram dalam agen elektronik tersebut.6 Secara
ekstrim dapat dikatakan bahwa dalam pembentukan kontrak elektronik melalui agen
elektronik generasi saat ini, pihak (vendor/ operator/ penyelenggara sistem elektronik) dan
pembeli/ konsumen (buyer/ user/ pengguna sistem elektronik) dapat dimungkinkan tidak
mengetahui bahwa di antara mereka telah lahir suatu hubungan kontraktual, karena dalam
pembentukan kontrak elektronik tersebut dilakukan secara otomatis dan otonom oleh agen
elektronik masing-masing pihak, dimana agen elektronik yang saling bernegosiasi dan saling
memberikan keputusan untuk membuat kontrak elektronik tersebut.7
Secara yuridis, kedudukan agen dalam transaksi konvensional baik berupa orang
perorangan (naturlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon) telah diakui sebagai
subjek hukum, dimana agen tersebut bekedudukan sebagai wakil atau kuasa dari prinsipalnya
berdasarkan suatu kontrak pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 Burgerlijk
Wetboek (BW) yang berwenang untuk menutup suatu kontrak dengan pihak ketiga, untuk dan
atas nama prinsipalnya tersebut.8 Akan tetapi, kedudukan agen elektronik sebagai suatu
kecerdasan buatan atau yang umumnya diistilahkan sebagai artificial intelligent yang
tersusun atas suatu alogaritma tertentu yang diciptakan dan/ atau diprogram oleh
penyelenggara agen elektronik untuk melakukan suatu perintah yang diinginkan oleh pihak
penjual (vendor/ operator/ penyelenggara sistem elektronik) dalam proses transaksi
elektronik masih dipertanyakan, mengingat agen elektronik tersebut secara kasat mata tidak
dapat dipersamakan sebagai agen berupa orang perorangan (naturlijk persoon) maupun agen
berupa badan hukum (recht persoon) yang dalam pelaksanaannya diwakili pula oleh orang
perorangan, karena tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas layaknya manusia yang memiliki
indra pengelihatan, pendengaran dan lain sebagainya. 9
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan hukum terkait dengan kedudukan hukum dari
agen elektronik dalam pembentukan kontrak elektronik, apakah kemudian agen elektronik

and Data Engineering, Vol. 15, No. 4, Juli/ Agustus 2003, p. 985.
6
Ibid.
7
L.M. Wein, “The Responsibility of Intellegent Artifacts: Towards an Automation Jurisprudence”,
Harvard Journal of Law and Technology, Vol. 6, No. 103, 1992, p. 103.
8
Ezra Ridel Moniung, “Perjanjian Keagenan dan Distributor dalam Perspektif Hukum Perdata”, Lex
Privatum, Vol. iii, No. 1, Januari-Maret 2015, h. 1.
9
Steffen Wettig and Eberhard Zehendner, “A Legal Analysis of Human and Electronic Agents”,
Artificial Intellegence and Law 12, Springer, 2004, p. 112.
4

tersebut dapat analogikan sebagai agen pada umumnya baik berupa orang perseorangan
(naturlijk persoon) atau badan hukum (recht persoon) sehingga dapat pula dikategorikan
sebagai subjek hukum yang dapat memiliki hak dan kewajibannya sendiri. Selain itu,
berkaitan dengan kedudukan agen elektronik dalam proses pembentukan kontrak elektronik
tersebut juga menimbulkan pertanyaan terkait dengan terpenuhi atau tidaknya syarat sepakat
dan cakap sebagaimana ditentukan Pasal 1320 BW dalam pembentukan kontrak elektronik
yang dibuat melalui agen elektronik, mengingat dalam pembentukan kontrak elektronik
tersebut dilakukan tanpa adanya intervensi dari manusia, yang kemudian menimbulkan
pertanyaan pula terkait tanggunggugat dan/ atau tanggung jawab pihak penyelenggara sistem
elektronik yang menggunakan agen elektronik, dalam hal terjadi kesalahan yang dilakukan
oleh agen elektroniknya. Untuk itulah, maka artikel ilmiah ini mencoba untuk mengelaborasi
lebih lanjut terkait dengan kedudukan hukum agen elektronik dalam pembentukan kontrak
elektronik serta pemenuhan syarat sepakat dan cakap dalam kontrak elektronik yang dibuat
melalui agen elektronik yang dikaitkan pula dengan tanggunggugat dan/ atau tanggungjawab
penyelenggara sistem elektronik atas berfungsinya agen elektronik yang dipergunakan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Kedudukan agen elektronik dalam pembentukan kontrak elektronik berdasarkan
sistem Hukum Kontrak Indonesia.
2. Pemenuhan syarat sepakat dan syarat cakap dalam pembentukan kontrak elektronik
yang dibuat melalui agen elektronik berdasarkan sistem Hukum Kontrak Indonesia.

Kedudukan Agen Elektronik dalam Pembentukan Kontrak Elektronik Berdasarkan


Sistem Hukum Kontrak Indonesia
Pada dasarnya, konsep agen di bidang artificial intelligence telah dikenal sejak lama,
tepatnya pada tahun 1977 yang diperkenalkan oleh seorang peneliti bernama Carl Hewitt
melalui concurrent actor model yang diciptakannya. Dalam model yang diciptakannya
tersebut, Hewitt mengemukakan suatu teori tentang objek yang disebut sebagai actor yang
mempunyai karakteristik menguasai dirinya sendiri, interaktif dan dapat merespon pesan
yang datang dari objek lainnya yang sejenis, yang dalam perkembangannya diistilahkan
sebagai agen elektronik (electronic agent).10

10
Dari berbagai penelitian yang berhubungan dengan hal tersebut, lahir cabang ilmu besar yang
merupakan turunan dari artificial intelligence, yakni distributed artificial intelligence (DAI), yang antara lain
5

Perkembangan agen elektronik sendiri dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga)


generasi, yakni agen elektronik generasi pertama pada periode 1970-1990, agen elektronik
generasi kedua pada tahun 1990-2000 dan agen elektronik generasi ketiga pada tahun
2000-sampai saat ini. 11 Agen elektronik generasi pertama memiliki kemampuan untuk
mengumpulkan dan menyimpan informasi elektronik yang ditujukan kepada penyelenggara
sistem elektronik. Generasi pertama dari agen elektronik ini hanya berfungsi sebagai sarana
atau perangkat penyaluran informasi elektronik, sehingga aturan di bidang Hukum Kontrak
dan Hukum Perbuatan Melanggar Hukum masih dapat mengakomodir kerugian-kerugian
yang timbul dari transaksi yang dilakukan melalui agen elektronik. Sebagai contoh, hakim
menganalogikan ketentuan tradisional mengenai pengujian dan alasan dari seseorang yang
melakukan perubahan atas suatu perangkat untuk membuat suatu informasi elektronik dapat
diterima oleh suatu sistem tanpa melakukan pengecekan 12 atau dalam hal seseorang
melakukan penyebarluasan informasi yang mengandung konten pornografi. 13
Selanjutnya, agen elektronik generasi kedua memiliki kemampuan sebagai
“automated system” atau suatu sistem otomatis yang menjalankan suatu perintah tertentu
yang telah diprogram untuk agen elektronik tersebut, sehingga dengan kata lain agen
elektronik hanya dapat menjalankan suatu transaksi yang bersesuaian dengan perintah yang
telah ada dalam programnya (specific program), di luar itu, agen elektronik tidak akan dapat
memproses perintah yang diajukan kepadanya. Terhadap agen elektronik generasi kedua yang
hanya memiliki kemampuan untuk menjalankan perintah yang telah diprogram kepadanya
tersebut, juga masih dapat diakomodir oleh sistem hukum dengan cara penganalogian dengan
kasus-kasus hukum di bidang Hukum Kontrak dan Hukum Perbuatan Melanggar Hukum.
Sedangkan pada agen elektronik generasi ketiga yang ada saat ini tidak hanya bersifat
automated system, melainkan bersifat autonomous system atau sistem otonom yang mampu
membuat keputusan berdasarkan self-created instructions dengan cara mempelajari
lingkungannya dan mengambil suatu keputusan dengan keleluasaan melakukan perombakan
atas perintah yang telah diprogram dalam agen elektronik tersebut atau dengan kata lain agen
elektronik memiliki kapabilitas untuk menemukan sumber informasinya sendiri dan membuat
suatu keputusan, bahkan dimungkinkan pula membuat suatu keputusan yang tidak menjadi

membawahi bidang penelitian lain, yakni Distributed Problem Solbing (DPS), Parallel Artificial Intelligence
(PAI) dan Multi Agent System (MAS). Lihat: Romi Satria Wahono, “Pengantar Software Agent: Teori dan
Aplikasi”, Ilmu Komputer, 2003, h. 2.
11
Hyacinth Nwana, “Software Agents: An Overwiew”, Knowledge Engineering Review, Vol. 11, No. 3,
1996, p. 205.
12
Periksa: Newberger v. State of Florida, 641 So. 2d 419, 1994.
13
Periksa: Shea v. Reno, 930 F. Supp. 916, 1996.
6

kewenangannya. Sebagai contoh, agen elektronik dapat menjalankan bisnis personal


seseorang sebagai penyelenggara sistem elektronik, dimana agen elektronik tersebut
memegang kendali atas trading stock dan mengatur rekening bank yang bekerja berdasarkan
aturan dan/ atau batasan program konservatif yang telah ditentukan. Dari waktu ke waktu,
agen elektronik tersebut menjadi semakin pintar dengan belajar dari perintah-perintah yang
diberikan dan belajar dari agen elektronik lainnya dan penyelenggara sistem elektronik
tersebut secara berangsur-angsur memperbolehkan agen elektroniknya untuk menoleransi
risiko-risiko bisnis yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Agen elektronik tersebut
menghasilkan uang untuk penyelenggara sistem elektronik melalui investasi yang tinggi
risiko. Namun suatu hari, pihak auditor menemukan bahwa dari akun penyelenggara sistem
elektronik tersebut terdapat transaksi-transaksi illegal, dimana pemasukan yang diterima oleh
penyelenggara sistem elektronik tersebut tidak pernah dilaporkan kepada pihak auditor.
Pelanggaran tersebut tentunya harus dipertanggungjawabkan oleh penyelenggara sistem
elektronik, walaupun secara faktual agen elektroniklah yang melakukan pelanggaran
tersebut.14 Hal tersebut menunjukkan bahwa agen elektronik generasi ketiga ini mampu
melakukan tindakan yang melanggar dan/ atau melawan hukum yang menimbulkan kerugian.
Menghadapi perkembangan agen elektronik generasi ketiga ini, terdapat beberapa
sarjana yang berusaha menemukan teori yang dapat mengakomodir keberadaan agen
elektronik generasi ketiga sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi
pihak yang dirugikan atas perbuatan agen elektronik yang bersangkutan. Terdapat 4 (empat)
teori yang diajukan sebagai dasar penentuan kedudukan agen elektronik dalam suatu
transaksi elektronik, yakni teori yang hanya memandang agen elektronik sebagai bagian dari
sistem komunikasi, teori yang menganalogikan agen elektronik sebagai agen pada umumnya,
teori yang mengupayakan agar agen elektronik mendapatkan kedudukan sebagai badan
hukum yang mandiri dan teori yang memandang agen elektronik sebagai electronic person
yang dapat bertanggunggugat dan/ atau bertanggungjawab atas tindakannya. 15
Teori agen elektronik sebagai suatu sistem atau perangkat sistem (mere a tools) ini
didasarkan pada “traditional approach” yang hanya memandang agen elektronik sebagai
bagian dari sistem komunikasi atau dengan kata lain menjadikan agen elektronik sebagai alat
yang hanya menjalankan perintah dari penyelenggara sistem elektroniknya, karena apa yang
dilaksanakan oleh agen elektronik adalah perintah dari penyelenggara sistem elektronik.

14
Suzanne Smed, “Intelligent Software Agents and Agency Law”, Santa Clara High Technology Law
Journal, Vol. 14, Issue 2, Article 8, 1998, p. 504. Dapat diakses di http://digitalcommons.law.scu.edu/chtlj.
15
Steffen Wettig and Eberhard Zehendner, Op.Cit., p. 112.
7

Berdasarkan teori ini, pengadilan akan mempertimbangkan bahwa penyelenggara sistem


elektronik sebagai pihak yang mempergunakan alat wajib melakukan pengawasan terhadap
alat yang dipergunakannya dalam transaksi elektronik, sehingga apabila terdapat kerusakan
dari agen elektronik, hal tersebut menjadi tanggung gugat penyelenggara sistem elektronik
secara mutlak.16 Namun demikian, terdapat kritik terhadap teori ini dimana teori ini tidak
mempertimbangkan terkait kemampuan khusus agen elektronik yang dapat belajar dari
lingkungannya, sehingga mampu membuat keputusan secara otonom tanpa adanya intervensi
dari penyelenggara sistem elektronik atau dengan kata lain, bahkan penyelenggara sistem
elektronik maupun pengguna sistem elektronik pun tidak dapat memprediksi keputusan yang
akan diambil oleh agen elektronik. Keadaan tersebut jelas tidak dapat diakomodir dalam
ketentuan hukum yang ada yang bersifat kaku, sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan akibat perbuatan otonom dari agen elektronik, maka penyelenggara sistem
elektronik harus tetap bertangungjawab dan/ atau bertanggunggugat atas kerugianyang
ditimbulkan dari perbuatan agen elektronik tersebut.17
Selanjutnya pandangan yang menyatakan agen elektronik sebagai suatu subjek hukum
(legal person) sendiri terbagi atas pandangan yang menganalogikan agen elektronik
sebagaimana agen konvensional pada umumnya yang berupa orang perseorangan (naturlijk
persoon) atau suatu badan hukum (recht persoon) dan pandangan yang menginginkan agar
agen elektronik diberikan status sebagai suatu bentuk baru dari badan hukum (recht persoon)
yang mandiri.
Teori agen elektronik sebagai agen konvensional pada umumnya, baik berupa orang
perseorangan (naturlijk persoon) atau badan hukum (recht persoon) ini didasarkan pada
“modern approach” terkait dengan teori tanggung gugat, dimana teori ini berkaitan dengan
peran komputer, khususnya agen elektronik yang dipandang sebagai agen atau dipersamakan
dengan manusia biasa atau suatu badan hukum yang berkedudukan sebagai agen, dimana
penyelenggara sistem elektronik selaku prinsipal akan selalu bertanggungjawab atas segala
tindakan agen elektronik yang berada di bawah kuasanya dan merepresentasikan kehendak
dari penyelenggara sistem elektronik.18 Akan tetapi, teori ini banyak bertentangan dengan

16
Periksa: McEvens v. Citibank, 408 NYS 2d 870, NY Country Civ. Ct., 1978; periksa juga: State
Farm Mutual Automobile Ins, Co. v. Bockhorst, 453 F.2d 533 (10 th Cir. 1972).
17
Steffen Wettig and Eberhard Zehendner, Loc.Cit.
18
Dalam contoh lain, pengadilan menyatakan bahwa komputer atau agen elektronik merupakan suatu
agen yang berkompeten untuk mengikat prinsipalnya, dimana setiap keputusan yang dibuat oleh agen elektronik
tidak mungkin tidak melibatkan unsur prinsipalnya, karena hal tersebut merupakan kehendak dari prinsipal. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dalam suatu waktu pengadilan juga mempertimbangkan agen elektronik sebagai
peserta dalam transaksi elektronik, dimana prinsipal selaku pemegang lisensi dari agen elektronik tersebut akan
8

sistem hukum beberapa negara, di antara di Jerman yang hanya mengakui bahwa manusia
(recht persoon) sebagai subjek hukum karena dapat menyandang hak dan kewajiban,
sedangkan agen elektronik sebagai “sesuatu” atau ciptaan (hak kekayaan intelektual) tidak
dapat menyandang hak dan kewajiban. Dalam sistem hukum Jerman, hak kekayaan
intelektual seperti agen elektronik hanya dipandang sebagai suatu objek hukum, bukan subjek
hukum, sehingga agen elektronik tidak memiliki kapasitas dan kewenangan dalam menutup
suatu kontrak.19 Begitu pula badan hukum dalam sistem Hukum Jerman dianggap sebagai
subjek hukum karena dapat menyandang hak dan kewajiban, sedangkan agen elektronik tidak
dapat menyandang hak dan kewajiban tersebut.20
Di samping itu, penganalogian agen elektronik sebagai agen pada umumnya menemui
hambatan apabila tindakan agen elektronik tersebut di luar hal-hal yang ditetapkan oleh
penyelenggara sistem elektronik. Dalam hukum keagenan, maka pihak yang harus
bertanggungjawab dan/ atau bertanggunggugat atas kerugian yang timbul adalah agen
elektronik itu sendiri, sedangkan secara faktual agen elektronik tidak memiliki kapabilitas
dan harta kekayaan untuk dapat bertanggungjawab dan/ atua bertanggunggugat secara
pribadi.21 Sedangkan teori agen elektronik sebagai badan hukum (korporasi) yang mandiri
ini didasarkan pada “historical approach” yang berusaha membandingkan agen elektronik
sebagai perangkat lunak dapat memperoleh status hukum layaknya sejarah perempuan, budak
dan perusahaan memperoleh status hukumnya. Namun demikian, teori ini menjadi perdebatan
khususnya dalam hal syarat sebagai badan hukum yang wajib dipenuhi oleh agen elektronik
tidak memungkinkan untuk dipenuhi, di antaranya adanya harta kekayaan tersendiri yang
harus dimiliki oleh agen elektronik, sedangkan secara faktual agen elektronik hanyalah suatu
ciptaan atau objek hukum.
Kemudian teori agen elektronik sebagai electronic person ini didasarkan pada
“progressive approach” yang memandang bahwa agen elektronik harus mendapatkan status
sebagai electronic person yang dapat bertanggung gugat atas tindakannya. Pandangan ini
yang paling memungkinkan untuk memberikan kedudukan hukum bagi agen elektronik,
mengingat dapat diatur terkait syarat-syarat yang harus dimiliki oleh agen elektronik untuk
mendapatkan status sebagai electronic person tanpa harus merujuk pada syarat yang harus
dipenuhi agen elektronik untuk dapat dikategorikan sebagai manusia (naturlijk persoon) atau

bertanggung gugat atas tindakan agennya. Periksa: Allen v. Beneficial Fin. Co., 531 F.2d 797 (7 th Cir. 1976).
19
Steffen Wettig and Eberhard Zehendner, Loc.Cit.
20
Ibid.
21
Ibid.
9

badan hukum (recht persoon). Di samping itu, tidak terdapat teori hukum yang dapat
menghambat adanya penambahan subjek hukum dalam sistem hukum yang ada. Hal tersebut
ditegaskan dengan adanya pendaftaran agen elektronik, layaknya pendaftaran yang ada dalam
badan hukum. Pemilik atau pencipta agen elektronik dapat saja diatur untuk wajib
menyisihkan sebagian uangnya sebagai bagian dari harta kekayaan yang dimiliki oleh agen
elektronik untuk bertanggungjawab dan/ atau bertanggunggugat apabila terjadi kerugian yang
ditimbulkan dari perbuatannya kepada pihak ketiga. Dengan pengaturan tersebut,
penyelenggara sistem elektronik dan penyelenggara agen elektronik serta pengguna sistem
elektronik akan terjaga dan memperoleh keadilan, karena nantinya agen elektronik tersebut
akan bersifat seperti badan hukum yang memiliki kekayaan yang terpisah dari pemiliknya.
Hal ini berkaitan dengan pembentukan hukum yang baru, sehingga tidak menjadi
permasalahan terkait pengaturan agen elektronik sebagai electronic person.
Setidaknya kritik yang dilontarkan terhadap teori ini adalah adanya
pertanggungjawaban dan/ atau pertanggungugatan pemilik atau pencipta dalam hal ini
penyelenggara agen elektronik terhadap ciptaannya, namun kritik tersebut dapat diakomodir
dengan adanya pendaftaran agen elektronik, sehingga sebelum penyelenggara sistem
elektronik mempergunakan agen elektronik tersebut dapat mengecek kapabilitas dan
kemampuan dari agen elektronik yang bersangkutan, sehingga terdapat keterbukaan atas
reputasi agen elektronik yang bersangkutan.22
Secara yuridis, peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui subjek hukum
terbatas pada manusia (naturlijk persoon) dan badan hukum (recht persoon), misalnya
perseroan terbatas, yayasan, koperasi dan sebagainya. 23 Istilah subjek hukum sendiri berasal
dari Bahasa Belanda rechtsubject atau dalam bahasa Inggris law of subject yang secara umum
diartikan sebagai “pendukung hak dan kewajiban” atau “segala sesuatu yang pada dasarnya
memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum”. 24 Black’s Law Dictionary juga
memberikan definisi legal person sebagai “An entity such as corporation, created by law
given certain legal rights and duties of a human being; a being; real or imaginary, who for
the purpose of legal reasoning is treated more or less as a human being”.25
Begitu pula konsep agen konvensional yang selama ini dikenal dalam sistem hukum

22
Ibid.
23
A. Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, h. 29.
24
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media Group, Jakarta,
2008, h. 40.
25
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing Co. St. Paul Minn, 2004, p.
1178.
10

Indonesia adalah agen sebagai subjek hukum yang dapat berupa manusia (naturlijk persoon)
dan badan hukum (recht persoon). Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian yang
menyatakan bahwa “Agen Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang
kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama
penanggung”.
2. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang
menyatakan bahwa “Agen Umum adalah perusahaan angkutan laut nasional atau
perusahaan nasional yang khusus didirikan untuk melakukan usaha keagenan kapal,
yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing untuk mengurus kepentingan
kapalnya selama berada di Indonesia.”
3. Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M/DAG/PER/3/2006
tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau
Distributor Barang dan/ atau Jasa yang menyatakan bahwa, “Agen adalah perusahaan
perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama
prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa pemindahan hak
atas fisik barang dan/ atau jasa yang dimiliki/ dikuasai oleh prinsipal yang
menunjuknya.”

Selain itu, ditinjau dari beberapa definisi yang diberikan untuk agen itu sendiri menunjukkan
bahwa yang dapat diklasifikasikan sebagai agen adalah manusia (naturlijk persoon) atau
badan hukum (recht persoon), diantaranya:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan bahwa,
Agen adalah: 1. orang atau perusahaan perantara yang mengusahakan penjualan
bagi perusahaan lain atas nama pengusaha; perwakilan; 2) kaki tangan atau
mata-mata negara asing; 3) wakil pengusaha yang merundingkan, memberikan
jasa layanan atau menutup perjanjian asuransi dengan ketentuan yang ada. 26

2. Ridwan Syahrani dalam buku Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata
menyatakan bahwa,
Agen adalah seseorang atau badan yang usahanya adalah menjadi perantara yang
diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tetentu, misalnya melakukan
transaksi atau membuat perjanjian antara seseorang dengan siapa ia mempunyai

26
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/agen, diakses pada 22 Januari 2017.
11

hubungan yang tetap (prinsipal) dengan pihak ketiga, dengan mendapatkan


imbalan jasa.27
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh beberapa sarjana dan beberapa peraturan
perundang-undangan tersebut dapat diketahui bahwa konsep agen yang selama ini dikenal
dalam sistem hukum Indonesia adalah agen sebagai subjek hukum yang dapat berupa
manusia (naturlijk persoon) atau badan hukum (recht persoon). Di samping itu, konsep
keagenan yang selama ini dikenal dalam sistem hukum Indonesia adalah suatu hubungan
kontraktual antara prinsipal dengan agen, dimana prinsipal mempekerjakan agen untuk
melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal. Hubungan kontraktual antara agen dengan
prinsipalnya itu sendiri berupa kontrak keagenan yang bersumber dari pemberian kuasa
sebagai ketentuan umum (lex generalis) yang mengakomodasi dasar hukum hubungan
keagenan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 BW yang menyatakanbahwa “Pemberian
kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang
lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.28
Berkaitan dengan hal tersebut, ditinjau dari segi definisi agen elektronik yang
diberikan oleh Pasal 1 angka 8 UU No. 11/2008 jo. Pasal 1 angka 3 PP No. 82/2012, yakni
“Agen elektronik adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan
tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan
oleh orang”, dapat diketahui bahwa istilah “agen” yang diberikan oleh UU No. 11/2008 jo.
PP No. 82/2012 terhadap “agen elektronik” tidak bersesuaian dengan konsep agen pada
umumnya yang terbatas pada manusia (naturlijk persoon) atau badan hukum (recht persoon).
Agen elektronik sebagai suatu “perangkat”, tidak dapat dianalogikan dengan konsep manusia
(naturlijk persoon) maupun konsep badan hukum (recht persoon) sebagai subjek hukum,
mengingat manusia (naturlijk persoon) dianggap sebagai subjek hukum karena di hadapan
hukum, manusia (naturlijk persoon) dianggap mampu mengemban hak dan kewajiban, begitu
pula badan hukum (recht persoon). Sehingga sebagai konsekuensinya, baik manusia
(naturlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon) tersebut mampu bertanggunggugat
dan/ atau bertanggungjawab secara pribadi di hadapan hukum atas tindakan yang
dilakukannya, atau dengan kata lain, sebagai subjek hukum, manusia (naturlijk persoon)
maupun badan hukum (recht persoon) tersebut memiliki harta kekayaan yang dapat

27
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992, h. 7.
28
Pada dasarnya BW tidak mengatur mengenai keagenan secara khusus, namun ketentuan Pasal 1792
BW yang mengatur mengenai pemberian kuasa dianggap sebagai ketentuan umum yang mengakomodasi dasar
hukum hubungan keagenan. Lihat: I Ketut Oka Setiawan, Lembaga Keagenan: Dalam Perdagangan dan
Pengaturannya di Indonesia, Ind Hill Co., Bandung, 1996, h. 16.
12

dipergunakan dalam rangka bertanggunggugat dan bertanggungjawab terhadap pihak


ketiga.29
Sedangkan secara faktual, agen elektronik sebagai suatu perangkat yang diciptakan
oleh seorang programmer, jelas tidak memiliki kekayaan yang terpisah dari programmer
tersebut, atau dengan kata lain, agen elektronik tersebut tidak dapat bertanggunggugat dan/
atau bertanggungjawab pribadi atas tindakan yang ia lakukan dalam transaksi elektronik. Hal
ini ditegaskan pula dalam Pasal 21 ayat (3), (4) dan (5) UU No. 11/2008 yang mengatur
sebagai berikut,
(3) Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen
elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap sistem
elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggungjawab penyelenggara agen
elektronik.
(4) Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen
elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum
menjadi tanggungjawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat
dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan dan/ atau kelalaian pihak
pengguna sistem elektronik.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa agen elektronik pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dari penyelenggara agen elektronik sebagai pihak yang membuat dan/ atau
memprogram agen elektronik tersebut. Sehingga pertanggungjawaban atas tindakan agen
elektronik tidak dapat dibebankan kepada agen elektronik itu sendiri, mengingat agen
elektronik tersebut juga tidak memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari penyelenggara
agen elektronik yang bersangkutan. Lebih jauh lagi, apabila ditinjau dari hubungan hukum
antara para pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik yang dibuat melalui agen elektronik,
pada dasarnya tidak dapat dianalogikan sebagaimana hubungan hukum yang terjadi dalam
transaksi perdagangan konvensional yang dilakukan melalui agen, karena pihak-pihak yang
terlibat dalam transaksi perdagangan konvensional yang dilakukan melalui agen adalah pihak
prinsipal/ produsen/ penjual yang membuat suatu kontrak keagenan yang berisikan
pemberikan kuasa kepada agen untuk melakukan penjualan suatu barang dan/ atau jasa
kepada pihak ketiga/ konsumen/ pembeli, untuk dan atas nama prinsipal/ produsen/ penjual
dengan imbalan jasa berupa komisi bagi agen.
Sedangkan hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi elektronik yang dibuat
melalui agen elektronik adalah pihak penjual/ penyelenggara sistem elektronik (vendor/

29
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 26.
13

operator) membuat suatu kontrak kerjasama dengan penyelenggara agen elektronik untuk
menggunakan agen elektronik yang telah dibuat atau diprogram oleh penyelenggara agen
elektronik, untuk kemudian agen elektronik tersebut dipergunakan oleh pihak penjual/
penyelenggara sistem elektronik (vendor/ operator) dalam sistem elektroniknya untuk
melakukan transaksi elektronik dengan pihak pembeli/ konsumen (buyer/ user/ pengguna
sistem elektronik).
Hal tersebut semakin mempertegas bahwa agen elektronik dalam kontrak kerjasama
tersebut bukan merupakan pihak (subjek) melainkan sebagai objek yang diperjanjikan.
Sehingga agen elektronik tidak pandang oleh hukum sebagai pihak dalam transaksi elektronik,
melainkan hanya sebagai instrumen atau perangkat yang menghubungkan transaksi
elektronik. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa sistem hukum di
Indonesia saat ini belum mengakui keberadaan agen elektronik sebagai subjek hukum, baik
berupa manusia (naturlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon). Sistem hukum
Indonesia juga tidak mempersamakan kedudukan agen elektronik sebagai agen pada
umumnya dalam transaksi perdagangan konvensional. Dengan demikian, teori agen
elektronik sebagai subjek hukum (legal person) maupun teori agen elektronik sebagai
electronic person tidak dapat diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Sampai dengan saat
ini, sistem hukum Indonesia hanya memandang agen elektronik sebagai suatu perangkat
sistem atau instrumen sistem (mere a tools) dalam transaksi elektronik, sebagaimana
ditegaskan dalam teori agen elektronik sebagai suatu perangkat seperti halnya telepon atau
handphone dalam transaksi melalui media telepon atau handphone, surat dalam transaksi
melalui surat dan sebagainya. Oleh karenanya, penggunaan istilah “agen” dirasa kurang tepat
dipergunakan untuk merujuk kepada agen elektronik, mengingat istilah “agen” dalam sistem
hukum Indonesia mengarah pada subjek hukum baik berupa manusia (naturlijk persoon)
maupun badan hukum (recht persoon).

Syarat Sepakat dan Cakap Dalam Pembentukan Kontrak Elektronik Melalui Agen
Elektronik Berdasarkan Sistem Hukum Kontrak Indonesia
Pasal 1320 BW telah mengatur 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi suatu kontrak
untuk dapat dikatakan sebagai suatu kontrak yang sah, yakni sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu kontrak; suatu hal tertentu; dan suatu
sebab (causa) yang diperbolehkan. Syarat sepakat dan cakap adalah mengenai subjeknya atau
pihak-pihak dalam kontrak sehingga disebut sebagai syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga
14

dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek suatu kontrak. Pembedaan
mengenai syarat subjektif dan syarat objektif ini penting berkaitan dengan akibat hukum
apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi.30
Kata sepakat di dalam kontrak pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian
kehendak antar pihak di dalam kontrak. Seseorang dikatakan memberi persetujuannya dan
31
kesepakatannya jika memang menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus
Badrulzaman menggambarkan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang
disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran
dinamakan akseptasi (acceptatie). 32 Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan
pernyataan bahwa kedua belah pihak menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian
kehendak antara keduanya belum dapat melahirkan kontrak, karena kehendak itu harus
dinyatakan, harus nyata bagi yang lain.33 Suatu kontrak dapat mengandung cacat kehendak
atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu
adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan adanya penipuan
(bedrog), dan dalam perkembangan lebih lanjut, dikenal pula cacat kehendak yang lain, yakni
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).34
Pada prinsipnya, kontrak lahir begitu para pihak mencapai kata sepakat dan sekali
suatu kontrak itu lahir, maka salah satu pihak tidak dapat menarik diri atau membatalkannya
secara sepihak. Dalam hal komunikasi dilakukan melalui jasa pos, terdapat beberapa teori
saat lahirnya kontrak, antara lain:35
1. Teori Pernyataan (Uitings Theorie/ Expedition Theory), yang menyatakan bahwa
perjanjian/ kontrak telah ada pada saat, atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban
penerimaan. Dengan kata lain, kontrak ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/ akseptasinya.

30
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi,
Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2012, h. 87.
31
J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian), Buku I, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1955 (selanjutnya disingkat J. Satrio I), h. 164.
32
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, h. 24.
33
“Hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia.” Lihat: J. Satrio I, Op.Cit., h. 165.
34
Ibid, h. 268; Lihat juga: Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., h. 26.
35
J. Satrio, Hukum Perikatan pada Umumnya, Bandung, Alumni, 1993 (selanjutnya disingkat J. Satrio
II), h. 180; Lihat juga: Yahya Ahmad Zein, Kontrak Elektronik & Penyelesaian sengketa Bisnis E-Commerce,
Mandar Maju, Bandung, 2009, h. 64-67.
15

2. Teori Pengiriman (Verzendings Theorie/ Transmission Theory) yang menyatakan bahwa


saat pengiriman jawaban akseptasinya adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos
dapat dijadikan salah satu patokan utama dalam menentukan saat lahirnya kontrak.
3. Teori Penerimaan (Ontvangs Theorie/ Reception Theory) yang menyatakan bahwa saat
lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tidak peduli apakah surat
tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang terpenting adalah saat surat tersebut
sampai pada alamat si penerima surat, itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
kontrak.
4. Teori Pengetahuan (Vernemings Theorie/ Information Theory) yang menyatakan bahwa
saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak
yang menawarkan.
Di negara-negara civil law, ajaran yang lazim dianut sekarang adalah teori penerimaan
(Ontvangs Theorie/ Reception Theory), di mana kontrak dianggap lahir pada saat pernyataan
akseptasi/ penerimaan dari pihak yang menerima penawaran (offeree) diterima oleh pihak
yang melakukan penawaran (offerror) atau berada di bawah kekuasaan dari pihak yang
melakukan penawaran, tanpa mensyaratkan pihak yang melakukan penawaran mengetahui isi
dari akseptasi tersebut. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak pernah
membuka surat akseptasi itu, adalah menjadi tanggungan atau risikonya sendiri.36 Berbeda
dengan negara-negara common law, misalnya di Inggris dan Australia, penentuan saat
terjadinya akseptasi umumnya menggunakan teori pengiriman (Verzendings Theorie/ Postal
Acceptance), yakni akseptasi dianggap terjadi sejak surat akseptasi telah dimasukkan ke
dalam kotak surat/ kantor pos dengan dasar pemikiran bahwa pihak yang menawarkan sejak
semula menggunakan media surat, sehingga akseptasi dianggap terjadi sejak surat akseptasi
tersebut diposkan.37 Penentuan saat terjadinya kesepakatan ini sangat penting karena pada
dasarnya suatu penawaran dapat ditarik kembali sebelum penawaran tersebut diterima oleh

36
Yohanes Sogar Simamora, Buku Ajar Hukum Kontrak, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2005 (selanjutnya disingkat Yohanes Sogar Simamora I), h. 19. Misalnya dalam Pasal 6: 217 NBW
Belanda menyatakan bahwa, “Kontrak dianggap terbentuk ketika penawaran yang disampaikan oleh salah satu
pihak telah diterima (accepted) oleh pihak lain.” Kemudian dalam Pasal 3: 37 (3) NBW Belanda menyatakan
bahwa, “suatu pernyataan dianggap telah diterima (accepted) apabila pernyataan tersebut benar-benar telah
sampai (reach, mencapai) pada pihak penerima atau semestinya telah sampai pada pihak penerima, tetapi pada
kenyataannya tidak demikian, karena tindakan atau sikap diam (inaction) yang dapat dikaitkan dengan pihak
penerima tersebut.” Lihat: M. Arsyad Sanusi, Op.Cit., h. 336-337.
37
Yohanes Sogar Simamora, “Catatan Singkat tentang Konvensi PBB tentang Penggunaan
Komunikasi Elektronik dalam Kontrak Internasional”, Yuridika, Volume 23, Nomor 3, 2008 (selanjutnya
disingkat Yohanes Sogar Simamora II), h. 11; Lihat juga: David P. Twomey dan Marianne Moody Jennings,
Anderson’s Business Law and the Legal Environment Standart Volume, 21st Edition, Cengage Learning,
Amerika Serikat, 2008, p. 509.
16

pihak offeree.38
Dalam hal transaksi dibentuk melalui media internet, waktu terjadinya kesepakatan
dibedakan berdasarkan media pembentukan kontrak yang digunakan, yakni melalui chatting,
VoIP (Voice over Internet Protocol),39 instant message (MSN) dan e-mail atau website.
Apabila dilihat dari sifatnya, pembentukan kontrak melalui chatting, VoIP, dan instant
message (MSN) terjadi seketika (instantaneous communications) sedangkan e-mail atau
website tidak seketika (not instantaneous communications),40 walaupun keduanya memiliki
proses yang sama-sama terkait dengan hubungan antara client dan servers. Perbedaan sifat
yang ada dalam media pembentukan kontrak di internet tersebut juga berpengaruh pada cara
akseptasi yang dilakukan terhadap offer (penawaran) yang dilakukan melalui media
tersebut.41 Terhadap pembentukan kontrak melalui chatting, VoIP dan instant message yang
terjadi seketika, maka akseptasi terjadi secara langsung karena komunikasi pada media
tersebut terjadi secara dua arah dan tanpa jeda. Sedangkan cara akseptasi terhadap offer
(penawaran) yang dilakukan melalui media e-mail dipersamakan dengan surat.42
Penentuan waktu terjadinya pembentukan kesepakatan melalui media internet juga
dipengaruhi oleh sifat media pembentukan kontrak yang digunakan. Pembentukan kontrak
yang bersifat seketika, misalnya melalui chatting, VoIP, dan instant message (MSN), maka
teori yang digunakan adalah teori penerimaan, karena kontrak dalam chatting, VoIP, dan
instant message (MSN) dilakukan dalam satu sistem di bawah kendali pengelola situs itu
sendiri dan bersifat dua arah, sehingga tidak ada kemungkinan keterlambatan untuk
mengetahui informasi. Oleh karena itu, kesepakatan dapat terjadi seketika itu juga. 43

38
M. Arsyad Sanusi, Op.Cit., h. 380.
39
VoIP (Voice over Internet Protocol) adalah teknologi yang memungkinkan komunikasi suara dan
faksimile melalui jaringan yang berbasis IP (Internet Protocol). Lihat: Niniek Suparni, Cyberspace
Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 7.
40
Pada instantaneous communications, tidak ada jeda waktu untuk mengetahui isi informasi yang
dikirim, sedangkan pada not instantaneous communications, terdapat jeda waktu untuk mengetahui isi informasi
yang dikirim. Lihat: Jill Poole, Textbook on Contract Law, Blackstone Press, London, 2001, p. 51, dikutip dari:
Yohanes Sogar Simamora I, Op.Cit., h. 13.
41
Hal tersebut juga disebabkan karena sifat dari penawaran yang dilakukan melalui media internet
berbeda-beda. Terhadap penawaran yang dilakukan melalui media chatting, VoIP, instant message dan e-mail
ditujukan pada individu tertentu yang diinginkan, sehingga komunikasi yang terjadi bersifat dua arah dan
terdapat kemungkinan untuk menegosiasikan substansi kontrak. Sedangkan penawaran yang dilakukan melalui
website ditujukan untuk khalayak ramai, sehingga umumnya terms of contract pada transaksi ini menggunakan
format yang baku yang tidak memberi kesempatan untuk bernegosiasi. Lihat: Jani Purnawanty dan Intan
Innayatun Soeparna, Buku Ajar Hukum Perdagangan Melalui Media Internet (Yurisdiksi dan Perpajakan pada
Transaksi I-Commerce), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2006, h. 6-8.
42
Thomas J. Smedinghoff, “Electronic Contracts and Digital Signatures and Overview of Law and
Legislation”, 564 Prac. Law Inst. 125, 1999, p. 85.
43
Jika tidak terdapat potensi terjadinya keterlambatan atau tidak sampainya pesan, maka mailbox rule
tidak berlaku. Lihat: Niniek Suparni, Op.Cit., h. 79.
17

Sedangkan untuk pembentukan kontrak yang bersifat tidak seketika, misalnya melalui e-mail
atau website, tunduk pada teori mailbox rule, karena dalam e-mail atau website, laporan
penerimaan hanya tanda bahwa jawaban telah dikirim ke kotak surat (mailbox) pihak yang
menawarkan, bukan pada pihak yang menawarkan itu sendiri.44 Sehingga, pengirim tidak
dapat memastikan apakah penerima telah mengetahui isi informasi yang dikirim. Oleh karena
itu, pembentukan kontrak melalui media e-mail atau website tunduk pada mailbox theory.
Menurut teori mailbox rule,45 kesepakatan dianggap terjadi pada saat jawaban yang berisi
akseptasi dimasukkan ke dalam kotak pos.46 Dengan kata lain, mailbox rule sama dengan
teori pengiriman, yakni akseptasi terjadi pada saat jawaban dikirimkan. 47 Mailbox rule
merupakan antisipasi dalam hal terjadi keterlambatan atau tidak sampainya pesan jika tidak
ada klausul pembatasan hari untuk melakukan akseptasi dari pihak yang menawarkan.48
Di Indonesia, pengaturan mengenai saat terjadinya kesepakatan melalui media internet
diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 11/2008 yang menyatakan bahwa, “(1)
Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran
transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui Penerima. (2) Persetujuan atas
penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.” Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa
Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah
diterima dan disetujui Penerima. Kemudian pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa
persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik harus dilakukan dengan pernyataan
penerimaan secara elektronik. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka dapat diketahui
bahwa Indonesia, sebagaimana negara-negara civil law lainnya juga menganut teori
penerimaan (Ontvangs Theorie/ Reception Theory) untuk menentukan saat terjadinya

44
: Rosa Agustina, et al., Hukum Perikatan (Law of obligations), Pustaka Larasan, Denpasar, 2012, h.
10-11; Bandingkan dengan: Yohanes Sogar Simamora II, Op.Cit., h. 16. “Dalam instantaneous communications
tidak dapat disimpulkan menggunakan teori penerimaan.”
45
Teori mailbox rule berasal dari negara-negara common law system. Ada yang menyebut the postal
rule, the receipt rule atau the dispatch rule. Lihat: Ibid.
46
Sukarmi, Cyber Law Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Pustaka Sutra,
Bandung, 2008, h. 34. Pasal 24 Vienna Sales Convention menyatakan bahwa, “suatu penawaran, pernyataan
penerimaan penawaran, atau indikasi-indikasi kehendak lainnya dianggap telah sampai ke alamat tujuan yang
dikehendaki pada saat penawaran, pernyataan penerimaan penawaran atau indikasi-indikasi kehendak lainnya
tersebut disampaikan secara lisan kepada alamat tujuan yang dikehendaki, atau dikirim secara personal ke
sarana-sarana lainnya yang dimiliki oleh alamat tujuan, ke alamat perusahaan, atau ke alamat surat menyurat
penerima yang dikehendaki.” Dengan demikian, dalam hal transaksi dilakukan melalui e-mail, maka
kesepakatan dianggap terjadi pada saat akseptasi dikirim ke mail box pihak offeror. Lihat: M. Arsyad Sanusi,
Op.Cit., h. 400-401.
47
Yohanes Sogar Simamora II, Op.Cit., h. 12.
48
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., h. 87.
18

kesepakatan.49
Berdasarkan penjabaran di atas, apabila dikaitkan dengan keberadaan agen elektronik
dalam pembentukan transaksi elektronik, dapat diketahui bahwa waktu pembentukan
kesepakatan dalam transaksi elektronik yang dibuat melalui agen elektronik dianggap terjadi
pada saat akseptasi yang dikirim oleh agen elektronik di bawah kendali offeree memasuki
sistem informasi terakhir yang berada di bawah kendali agen elektronik offerror atau sistem
elektronik yang ditunjuk oleh offerror dan tempat pembentukan kesepakatan dapat dianggap
terjadi di tempat offerror melakukan kegiatan usaha atau di tempat offerror senyatanya
berada. Dalam pembentukan kontrak elektronik melalui agen elektronik, syarat sepakat
merupakan syarat yang kerap diperdebatkan terkait terpenuhi atau tidaknya kata sepakat ini
apabila kontrak elektronik dibuat melalui agen elektronik. Sebagaimana telah dijabarkan pada
sub-bab sebelumnya, bahwa kata sepakat merupakan persesuaian antara penawaran (offer)
dan penerimaan (acceptance), dimana masing-masing penawaran (offer) dan penerimaan
(acceptance) itu sendiri terbentuk dari kehendak dan pernyataan.50
Apabila terjadi ketidaksamaan antara kehendak yang diinginkan dengan pernyataan
yang diutarakan, terdapat beberapa teori yang diajukan oleh beberapa sarjana dalam
menghadapi permasalahan tersebut, yakni teori kehendak (wilstheorie), yang menyatakan
bahwa faktor yang menentukan adanya kontrak adalah kehendak, sehingga apabila terdapat
ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian;51
teori pernyataan (verklaringstheorie), dimana menurut teori ini pembentukan kehendak
terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang, sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian antara
kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan menghalangi terbentuknya kontrak;52 dan
teori kepercayaan (vertrouwenstheorie), dimana menurut teori ini, tidak semua pernyataan
melahirkan perjanjian, apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat menimbulkan suatu kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar
dikehendaki atau dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan
keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan kontrak.53
Berkaitan dengan ketiga teori tersebut, pada dasarnya kehendak dan pernyataan yang
dilakukan oleh agen elektronik merupakan representasi dari kehendak dan pernyataan dari

49
Yohanes Sogar Simamora II, Op.Cit., h. 8.
50
Mariam Darus Badrulzaman, Loc.Cit.
51
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, h. 76.
52
Ibid, h. 78.
53
Ibid, h. 80.
19

penyelenggara sistem elektronik, dimana dalam pembentukan atau pemprograman agen


elektronik tersebut oleh penyelenggara agen elektronik, telah disesuaikan dengan kehendak,
batasan dan hal-hal yang diinginkan oleh penyelenggara sistem elektronik. Hal ini
sebagaimana teori agen elektronik sebagai suatu sistem atau perangkat sistem (mere a tools)
yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Dengan kata lain, selama agen elektronik dalam
melakukan penawaran (offer) maupun penerimaan (acceptance) atas suatu transaksi
elektronik sesuai dengan program yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh penyelenggara
sistem elektronik, maka pernyataan kehendak dari agen elektronik tersebut, baik berupa
penawaran (offer) maupun penerimaan (acceptance) dianggap oleh hukum, sebagai
pernyataan kehendak yang dinyatakan sendiri oleh penyelenggara agen elektronik. Hal
tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) UU No. 11/2008 yang menyatakan
bahwa “Pengirim atau penerima dapat melakukan transaksi elektronik sendiri, melalui pihak
yang dikuasakan olehnya atau melalui agen elektronik”. Dengan demikian, dalam hal
pernyataan yang disampaikan oleh agen elektronik sesuai dengan kehendak yang diinginkan
oleh penyelenggara sistem elektronik, maka timbulah kontrak. Sedangkan apabila pernyataan
yang disampaikan oleh agen elektronik tidak bersesuaian dengan kehendak yang diinginkan
oleh penyelenggara sistem elektronik, maka pihak yang dirugikan atas kontrak tersebut dapat
mengajukan pembatalan atas dasar adanya cacat kehendak, berupa kekhilafan, khususnya
mengenai hakikat barang dan/ atau jasa yang menjadi objek kontrak, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1322 BW.
Selanjutnya, di samping syarat sepakat, syarat cakap juga merupakan syarat subjektif
yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan sebagai kontrak yang sah. Syarat ini
juga tidak hanya mengikat pada kontrak-kontrak konvensional sebagaimana diatur dalam
Buku III BW (kontrak bernama/ nominaat), melainkan juga mengikat kontrak diluar Buku III
BW (kontrak tak bernama/ innominaat), termasuk kontrak elektronik yang dibuat melalui
agen elektronik, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1319 BW. Kecakapan melakukan
perbuatan hukum termasuk di dalamnya kecakapan membuat perikatan adalah kemungkinan
untuk melakukan perbuatan hukum secara otonom yang mengikat diri sendiri tanpa dapat
diganggu gugat atau diancam kebatalan.54
Ketentuan dalam BW tidak menyebutkan kriteria orang yang cakap melakukan
perbuatan hukum, akan tetapi hanya menguraikan kriteria ketidakcakapan seseorang

54
J.H. Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (terjemahan Djasadin Saragih), Universitas
Airlangga, Surabaya, 1985, h. 20.
20

(onbekwaam) yang berkaitan dengan kedewasaan seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal
330 BW jo. Pasal 66 jo. Pasal 47 jo. Pasal 50 UU No. 1/197455 yang mengatur ukuran
kedewasaan seseorang adalah berusia lebih dari 18 tahun atau telah melakukan perkawinan;
berkaitan dengan ketidakcakapan terkait dengan seseorang yang berada di bawah
pengampuan harus merujuk pada ketentuan Pasal 433 jo. 452 BW yang menyatakan bahwa
selama seseorang berada di bawah pengampuan, maka ia dinyatakan tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Sedangkan berkaitan dengan perempuan, melalui SEMA No. 3 Tahun 1963
jo. Pasal 31 ayat (2) UU No. 1/1974 menetapkan bahwa perempuan dewasa cakap melakukan
kontrak.56 Dengan adanya SEMA No. 3/1963 tersebut, ketentuan Pasal 1330 BW, khususnya
ketentuan ketiga yang mengatur mengenai ketidakcakapan perempuan tidak diterapkan lagi.
Dalam hal kontrak melibatkan badan hukum (korporasi), syarat kecakapan ini diartikan
sebagai syarat kewenangan (authority) dari pengurus. Pengurus yang berwenang mewakili
korporasi bergantung pada jenis badan hukumnya.57
Pada dasarnya, terpenuhi atau tidaknya syarat cakap dalam pembentukan kontrak
elektronik merupakan hal yang bersifat sekunder, mengingat dalam pembentukan kontrak
elektronik, para pihak tidak saling bertemu, sehingga untuk menentukan cakap atau tidaknya
rekan sekontrak adalah hal yang tidak begitu krusial. Di samping itu, kedudukan syarat cakap
sebagai syarat subjektif yang apabila tidak terpenuhi tidak serta merta menjadikan kontrak
yang telah disepakati menjadi batal demi hukum juga mendukung tersisihkannya syarat cakap
ini dalam transaksi elektronik. Tolok ukur syarat cakap dalam pembentukan kontrak
elektronik pada hakikatnya adalah sama dengan tolok ukur syarat cakap dalam transaksi
konvensional pada umumnya, yakni terhadap orang perorangan (naturlijk persoon)
didasarkan pada usia dan/ atau status perkawinan, sedangkan terhadap badan hukum (recht
persoon) didasarkan pada kewenangan pihak yang mewakili badan hukum tersebut dalam
menutup suatu kontrak.58
Berkaitan dengan penentuan syarat cakap dalam pembentukan kontrak elektronik
yang dibuat melalui agen elektronik, sebagaimana syarat sepakat, pada hakikatnya syarat
cakap ditentukan dari cakap atau tidaknya penyelenggara sistem elektronik yang melakukan
transaksi elektronik melalui agen elektronik, sebagaimana ditegaskan dalam teori agen
elektronik sebagai suatu sistem atau perangkat sistem (mere a tools). Dalam hal
55
Periksa: Putusan MARI No. 447/SIP/1976 tanggal 13 Oktober 1976.
56
Ridwan Khairandy, Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi Elektronic
Commerce, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 16, November 2001, h. 48.
57
Yohanes Sogar Simamora I, Op.Cit., h. 20.
58
Ibid.
21

penyelenggara sistem elektronik yang menggunakan agen elektronik dalam menutup suatu
kontrak adalah pihak yang cakap, maka secara yuridis kontrak elektronik yang lahir dari
transaksi elektronik tersebut adalah kontrak yang sah. Akan tetapi, apabila penyelenggara
sistem elektronik yang menggunakan agen elektronik dalam menutup suatu kontrak tersebut
adalah pihak yang tidak cakap, tidak seperti halnya apabila syarat sepakat tidak terpenuhi
dalam kontrak elektronik yang dibuat melalui agen elektronik yang memungkinkan pihak
yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk menuntut pembatalan kontrak, baik pihak
penyelenggara sistem elektronik maupun pengguna sistem elektronik, namun dalam hal
syarat cakap yang tidak terpenuhi, maka hanya pihak yang tidak cakap pada saat kontrak
elektronik tersebut ditutuplah yang berhak untuk menuntut pembatalan kontrak elektronik
yang bersangkutan dengan syarat ketidakcakapan tersebut tidak diketahui pada saat kontrak
ditutup. Hal ini merupakan bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang beritikad baik dalam
kontrak tersebut.
Kemudian berkaitan dengan tanggung gugat dan/ atau tanggungjawab atas agen
elektronik secara yuridis, UU No. 11/2008 telah mengatur mengenai tanggunggugat dan/ atau
tanggungjawab atas transaksi elektronik yang dibuat melalui agen elektronik sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 21 UU No. 11/2008, khususnya dalam Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat
(4) dan ayat (5) UU No. 11/2008. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya
yang bertanggungjawab dan/ atau bertanggunggugat atas bekerja atau tidak bekerjanya agen
elektronik dengan baik adalah pihak penyelenggara agen elektronik. Namun demikian, secara
teoritis ketentuan tersebut tidak serta merta dapat ditegakkan. Hal ini disebabkan adanya
prinsip privity of contract sebagaimana diatur dalam Pasal 1340 BW yang mengatur bahwa
“Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat
merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberikan keuntungan kepada pihak
ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317”. Ketentuan tersebut menegaskan
bahwa suatu kontrak hanya mengikat para pihak yang membuat kontrak tersebut. Dalam hal
ini, pihak yang menutup kontrak elektronik melalui agen elektronik adalah pihak
penyelenggara sistem elektronik dan pihak pengguna sistem elektronik. Dengan kata lain,
pihak penyelenggara agen elektronik merupakan pihak di luar para pihak, sehingga
penyelenggara agen elektronik pada hakikatnya tidak dapat dituntut oleh pengguna sistem
elektronik dalam hal terjadi kegagalan fungsi agen elektronik. Walaupun secara normatif
ketentuan Pasal 21 UU No. 11/2008 mengatur yang sebaliknya.
Secara teoritis, apabila terjadi kegagalan fungsi agen elektronik yang tidak disebabkan
22

oleh pengguna sistem elektronik maupun pengguna jasa layanan (dalam hal ini
penyelenggara sistem elektronik), maka gugatan kepada penyelenggara agen elektronik hanya
dapat dilakukan secara beruntun, dimana pertama-tama pihak pengguna sistem elektronik
mengajukan gugatan atas dasar hubungan kontraktual kepada penyelenggara sistem
elektronik, baru setelah itu, pihak penyelenggara sistem elektronik dapat mengajukan gugatan
kepada penyelenggara agen elektronik. Hal ini disebabkan karena, pihak yang memiliki
hubungan kontraktual dengan penyelenggara agen elektronik adalah penyelenggara sistem
elektronik, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 82/2012.
Berdasarkan penjabaran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya secara
langsung, pihak yang bertanggungjawab dan/ atau bertanggunggugat atas bekerjanya agen
elektronik adalah penyelenggara sistem elektronik, sedangkan pihak penyelenggara agen
elektronik bertanggungjawab dan/ atau bertanggunggugat secara tidak langsung atas
bekerjanya agen elektronik yang notabenya merupakan hasil karya atau ciptaannya.

Kesimpulan
Secara normatif, peraturan perundang-undangan di Indonesia memandang agen
elektronik sebagai suatu perangkat sistem (just mere a tools) yang tidak memiliki legal
personality dan bukan merupakan pihak dalam kontrak elektronik, sehingga agen elektronik
tidak dapat dipersamakan sebagai agen pada transaksi konvensional umumnya, maupun
sebagai subjek hukum yang dapat menyandang hak dan kewajiban, melainkan hanya dapat
dipersamakan dengan media telepon atau handphone, telegram, surat dan perangkat lainnya.
Sehingga istilah “agen” sebagaimana dipergunakan dalam UU No. 11/2008 jo. PP No.
82/2012 untuk merujuk “agen elektronik” adalah tidak tepat.
Tolok ukur syarat sepakat dan syarat cakap dalam pembentukan kontrak elektronik
melalui agen elektronik, tidak didasarkan pada agen elektronik, melainkan didasarkan pada
sesuai atau tidaknya pernyataan agen elektronik dengan kehendak yang diinginkan oleh
penyelenggara sistem elektronik dan cakap atau tidaknya penyelenggara sistem elektronik,
dalam hal ini pihak penjual (vendor/ operator) yang kepentingannya dalam pembentukan
kontrak elektronik tersebut dilaksanakan atau disampaikan melalui sarana agen elektronik.

Saran
Perlu adanya perubahan penggunaan istilah “agen” dalam merujuk “agen elektronik”
dalam UU No. 11/2008 dan PP No. 82/2012, mengingat istilah agen merujuk pada subjek
23

hukum, baik manusia (naturlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon), sedangkan
agen elektronik tidak dapat diklasifikasikan sebagai subjek hukum. Disarankan agar istilah
“agen elektronik” diubah mengikuti istilah yang dipergunakan dalam United Nations
Convention on the Use of Electronic Communications in International Contracts tahun 2005,
yakni “automated message system” atau dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai
“sistem pesan otomatis”. Selain itu, Indonesia juga perlu merativikasi konvensi tersebut
sebagai dasar pengaturan mengenai agen elektronik di Indonesia.
Selanjutnya mengingat perkembangan agen elektronik yang semakin berkembang dan
memungkinkan agen elektronik tidak dapat lagi dikualifikasikan hanya sebagai perangkat
(mere a tools) sehingga ke depannya berpotensi menyebabkan pendekatan analogi hukum
tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan agen elektronik, maka sudah sepatutnya
dipertimbangkan terkait pemberian status legal personality kepada agen elektronik, karena
secara teoritis pada dasarnya tidak terdapat hambatan untuk memberikan legal personality
kepada agen elektronik, meskipun hal tersebut dapat dinilai terlalu dini.

Daftar Bacaan
Buku
Agustina, Rosa, et al., Hukum Perikatan (Law of obligations), Pustaka Larasan, Denpasar,
2012
Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994
Budiono, Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing Co. St. Paul
Minn, 2004
H.S, Salim., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Halim, A. Ridwan, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985
Niewenhuis, J.H., Pokok-Pokok Hukum Perikatan (terjemahan Djasadin Saragih),
Universitas Airlangga, Surabaya, 1985
Poole, Jill, Textbook on Contract Law, Blackstone Press, London, 2001
Purnawanty, Jani dan Intan Innayatun Soeparna, Buku Ajar Hukum Perdagangan Melalui
Media Internet (Yurisdiksi dan Perpajakan pada Transaksi I-Commerce), Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2006, h. 6-8.
Sanusi, M. Arsyad, Hukum dan Teknologi Informasi, KemasBuku, Bandung, 2001
Satrio, J., Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian), Buku I, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1955
Satrio, J., Hukum Perikatan pada Umumnya, Bandung, Alumni, 1993
Setiawan, I Ketut Oka, Lembaga Keagenan: Dalam Perdagangan dan Pengaturannya di
Indonesia, Ind Hill Co., Bandung, 1996
Simamora, Yohanes Sogar, Buku Ajar Hukum Kontrak, Fakultas Hukum, Universitas
Airlangga, Surabaya, 2005
Stone, Richard, Principles of Contract Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2000
24

Sugeng, Bambang dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen
Litigasi, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2012, h. 87.
Sukarmi, Cyber Law Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Pustaka
Sutra, Bandung, 2008
Suparni, Niniek, Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009
Syahrani, Ridwan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992
Tjiptono, Fandy, Strategi Pemasaran, Edisi 4, ANDI, 2015
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media
Group, Jakarta, 2008
Twomey, David P. dan Marianne Moody Jennings, Anderson’s Business Law and the Legal
Environment Standart Volume, 21st Edition, Cengage Learning, Amerika Serikat, 2008
Zein, Yahya Ahmad, Kontrak Elektronik & Penyelesaian sengketa Bisnis E-Commerce,
Mandar Maju, Bandung, 2009

Jurnal
He, Minghua, et.al., “On Agent-Mediated Electronic Commerce”, IEEE Transactions on
Knowledge and Data Engineering, Vol. 15, No. 4, Juli/ Agustus 2003
John, Stephen M. Mc, “Artificial Legal Intelligence”, Harvard Journal of Law &
Technology, Vol. 12, No. 1, 1998
Khairandy, Ridwan, “Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi
Elektronic Commerce”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 16, November 2001
Moniung, Ezra Ridel, “Perjanjian Keagenan dan Distributor dalam Perspektif Hukum
Perdata”, Lex Privatum, Vol. iii, No. 1, Januari-Maret 2015
Nwana, Hyacinth, “Software Agents: An Overwiew”, Knowledge Engineering Review, Vol.
11, No. 3, 1996
Simamora, Yohanes Sogar, “Catatan Singkat tentang Konvensi PBB tentang Penggunaan
Komunikasi Elektronik dalam Kontrak Internasional”, Yuridika, Volume 23, Nomor 3,
2008
Smed, Suzanne, “Intelligent Software Agents and Agency Law”, Santa Clara High
Technology Law Journal, Vol. 14, Issue 2, Article 8, 1998
Smedinghoff, Thomas J., “Electronic Contracts and Digital Signatures and Overview of
Law and Legislation”, 564 Prac. Law Inst. 125, 1999
Wahono, Romi Satria, “Pengantar Software Agent: Teori dan Aplikasi”, Ilmu Komputer,
2003
Wein, L.M., “The Responsibility of Intellegent Artifacts: Towards an Automation
Jurisprudence”, Harvard Journal of Law and Technology, Vol. 6, No. 103, 1992
Wettig, Steffen and Eberhard Zehendner, “A Legal Analysis of Human and Electronic
Agents”, Artificial Intellegence and Law 12, Springer, 2004

Putusan Badan Peradilan


Allen v. Beneficial Fin. Co., 531 F.2d 797 (7th Cir. 1976)
McEvens v. Citibank, 408 NYS 2d 870, NY Country Civ. Ct., 1978
Newberger v. State of Florida, 641 So. 2d 419, 1994
Shea v. Reno, 930 F. Supp. 916, 1996
State Farm Mutual Automobile Ins, Co. v. Bockhorst, 453 F.2d 533 (10 th Cir. 1972)

Website
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/agen
25

Liputan 6, Ini 7 Poin UU ITE Hasil Revisi, Liputan 6,


http://news.liputan6.com/read/2663403/ini-7-poin-uu-ite-hasil-revisi
Putusan MARI No. 447/SIP/1976 tanggal 13 Oktober 1976

You might also like