Professional Documents
Culture Documents
SEMEN
Campuran antara batu kapur/gamping (bahan utama) dan lempung / tanah liat atau bahan pengganti
lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk bubuk, tanpa memandang proses
pembuatannya, yang mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air.
Cement is a hydraulic binder, it sets and hardens on reacting with water and once hardened retains
its strength even under water.
Komposisi semen:
1. Clinker
2. Gypsum
3. Additives (Mineral additives)
Example: flyash, granulated blast furnace slag, silica fume, calcined clay, limestone
4. Chemical Admixtures
Example: grinding aids, air entraining agent, etc
Properties of Cement:
1. Setting Time
Initial time for setting should not be less than 30 minutes and final time should not be more
than 10 hours
2. Soundness / Expansion
a. Le chatelier : no more than 0,78 %
b. Autoclave : no more than 0,8 %
3. Compressive Strength
a. 3 hari : min 160 kg/cm2: 16 MPa
b. 7 hari : min 220 kg/cm2: 22 MPa
c. 28 hari : min 330 kg/cm2: 33 MPa
4. Rate of Strength Gain
5. Rate of Hydration
CLINKER
Clinker is an intermediate product of cement. Cement can be produced by mixing clinker with
other material which will then differentiate type of cement as follows:
1. OPC : Ordinary Portland Cement
(clinker 95 % + gypsum 5 %)
2. PSC : Portland Slag Cement
(clinker 25 % + gypsum 5 % + slag 70 %)
3. PPC : Portland Pozzolan Cement
(clinker 65 % + gypsum 5 % + pozzolan 30 %)
Pozzolan can be either flyer (soda abu) or CCP (calcined clay pozzolan)
REAKSI YANG TERJADI SAAT PEMBAKARAN RAW MATERIAL
C3A : hydrated very fast resulting early strength/immediate strength development within 1 day
C3S : strength development within 3 – 7 days
C2S : late strength development after 7 days
C4AF : no strengthening developmetn for cement
Gypsum (hydrated calcium sulphate) is added to cement in order to control the early rate of
hydration of cement. The overall reaction of cement hydration is as follows:
2 C3 S + 7 H C3S2H4 + 3 Ca(OH)2
C3S / C2S / C3A + H2O CSH + Ca(OH)2
When mixed with water the C3S phase hydrates to form crystalline Ca(OH)2 or commonly known
as CH (calsium hydroxide) and gel of hydrated CaO.SiO2 (CSH). Formation of CSH gives cement
its strength. C3S forms CSH more rapidly than C2S. The rate of hydrations are important. C2S
hydrates more slowly thus it gives the cement its increase in strength over the long period of time.
Tipe I
Semen portland biasa (regular) yaitu produk umum yang digunakan untuk bangunan biasa. Semen
ini ada beberapa jenis misalnya semen putih yang kandungan feri oksidanya kecil, semen cepat
mengeras dan beberapa jenis lain untuk penggunaan khusus. Dipakai untuk keperluan konstruksi
umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus terhadap panas hidrasi dan kekuatan tekan awal.
Cocok dipakai pada tanah dan air yang mengandung sulfat antara 0,0%-0,10% dan dapat
digunakan untuk bangunan rumah pemukimam, gedung-gedung bertingkat dan lain-lain.
Tipe II
Semen portland dengan kalor pengerasan sedang (moderate heat of hardening) atau semen tahan
sulfat (sulfat resisting) yang digunakan dalam situasi yang memerlukan kalor hidrasi yang tidak
terlalu tinggi atau untuk bangunan beton biasa yang dapat terkena aksi sulfat sedang. Dipakai untuk
konstruksi bangunan dari beton massa (tebal) yang memerlukan ketahan sulfat (pada lokasi tanah
dan air yang mengandung sulfat antara 0,10%-0,20%) dan panas hidrasi sedang, misalkan
bangunan dipinggir laut, bangunan di bekas tanah rawa, saluran irigasi, beton massa dan dam-dam
dan landasan jembatan.
Tipe III
Semen dengan kekuatan awal tinggi (high early strength, HES) yang terbuat dari bahan baku yang
mengandung perbandingan gamping silika lebih tingi dari yang digunakan di tipe I dan
penggilingannya juga lebih halus dari tipe I. Semen ini mengandung trikalsium silikat C3S lebih
banyak daripada semen portland biasa. Hal ini disamping kehalusannya menyebabkan semen ini
lebih cepat mengeras dan lebih cepat mengeluarkan kalor. Dipakai untuk konstruksi bangunan
yang memerlukan kekuatan tekan awal tinggi pada fase permulaan setelah pengikatan terjadi,
misalnya untuk pembuatan jalan beton, bangunan-bangunan tingkat tinggi, bangunan-bangunan
dalam air yang tidak memerlukan ketahanan terhadap serangan sulfat.
Tipe IV
Semen portland kalor rendah (low heat), persen kandungan C3S dan C2A lebih rendah sehingga
pengeluaran kalornya pun lebih rendah (slower strength). Akibatnya persen C4AF lebih tinggi
karena adanya Fe2O3 yang ditambahkan untuk mengurangi C3A. Low heat for use in large dam
construction or very hot weather.
Tipe V
Semen portland tahan sulfat (sulfate resisting) adalah semen yang karena komposisinya atau cara
pengolahannya lebih tahan sulfat daripada keempat jenis lainnya. Semen tipe V ini digunakan bila
penerapannya memerlukan ketahanan tinggi terhadap sulfat. Semen ini mengandung C3A lebih
rendah dari ketiga semen lain. Akibatnya kandungan C4AF nya lebih tinggi. Dipakai untuk
konstruksi bangunan pada tanah/air yang mengandung sulfat melebihi 0,20% dan sangat cocok
untuk instalasi pengolahan limbah pabrik, konstruksi dalam air, jembatan, terowongan, pelabuhan
dan pembangkit tenaga nuklir.
MODULI VALUES
• Kapur: berlebihan, menyebabkan perpecahan semen setelah timbul ikatan. Tinggi tapi tak
berlebihan memperlambat pengikatan dan menghasilkan kekuatan awal yang tinggi.
Kekurangan kapur mengakibatkan semen yang lemah, kurang sempurna pembakaran dan
menyebabkan ikatan yang cepat.
• Silika dan Alumina: silika tinggi dan alumina rendah menghasilkan semen dengan ikatan
lambat, berkekuatan tinggi dan meningkatkan ketahanan terhadap agresi kimia.
• Silika dan Alumina: silika rendah dan alumina tinggi menghasilkan semen dengan ikatan cepat
dan berkekuatan tinggi.
• Besi Oksida: memberi warna abu-abu pada semen dan memiliki sifat seperti alumina.
• Komposisi kecil dari magnesium (MgO) dibatasi sampai 4 %, dan belerang (SO3) dibatasi
antara 2,5 dan 3 %. Jumlah yang berlebihan, kurang baik.
• Komposisi kecil dari alkali (Na2O dan K2O) dapat bereaksi dengan beberapa jenis agregat
mengakibatkan perpecahan semen dan pengurangan kekuatan.
C3S 40 % 50 % 25 % 40 %
C2S 30 % 21 % 45 % 40 %
C 3A 11 % 9% 6% 2%
C4AF 11 % 9% 14 % 9%
Range of Mineral Composition
I. Trikalsium Aluminat (tiga molekul kapur terikat pada satu alumina) C3A
• Hidrasi sangat cepat disertai pelepasan sejumlah besar panas
• Pengerasan awal
• Kurang kontribusi pada kekuatan batas
• Kurang ketahanannya terhadap agresi kimiawi
• Disintegrasi oleh sulfat air tanah
• Tendensi sangat besar untuk retak-retak oleh perubahan volume
Semen Pozzolanic
• Diproduksi dengan mencampur 85-60% semen portland dengan 15-40% pozzolana, yang
merupakan bahan aktif alamiah seperti abu volkanis atau batu apung atau bahan buatan
seperti abu bahan bakar, tanah liat bakar atau batu tulis
• Kecepatan pertambahan kekuatan relatif rendah
• Mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap agresi sulfat
• Mempunyai tahanan yang lebih tinggi terhadap disintegrasi kimia dari pada semen
portland
CEMENT MANUFACTURING
The main operations involved in the process of manufacture of portland cement types are:
i) Mining of raw materials
ii) Transportation of materials from one stage to another
iii) Crushing;
iv) Grinding;
v) Mixing
vi) Burning and finally
vii) Grinding of the sintered product.
The operation of mining and crushing are common to all factories – whatever the capacity of
production. At the grinding stage – there can be either dry grinding of the raw mix or wet grinding
of the raw mix. Thus, at the burning stage we have either dry process burning or wet process. At
the final grinding stage we have, necessarily, the dry process grinding.
There are different means of attaining these objectives and one has to decide upon the one or the
other of the various processes and equipment available. There is no one straight road to the
production of good and cheap cement, but a number of avenues leading to the same goal. There is
a wide choice of processes and equipment and one has to make the selection on the basis of:
a. Raw materials available,
b. Type or types of cement required to be manufactured
c. Past experience and
d. Proved performance of the process and the equipment.
Manufacture of cement is a chemical process and starts with the mining and transportation of the
raw materials to the factory and ends with packing and loading of the finished material cement.
Being a Chemical Engineering process the unit operations start with transportation of raw
materials and end with packing of cement.
Thus, it will be seen that around 30 distinct chemical Engineering unit operations have to be carried
out in the manufacture of Portland cement types, but all these fall under four main categories:
(a) Movement and/or storage of materials; solids; liquids or gases.
(b) Size reduction (crushing and grinding)
(c) Mixing and Homogenisation
(d) Heat treatment
PROCESS IN CEMENT MANUFACTURING
CRUSHING
The limestone must be crushed to a size less than 25 mm, preferably less than 20 mm for better
energy efficiency of the process. For crushing of coal, clay or shale, gypsum and if necessary some
additives, smaller capacity secondary crushers have to be used. Again, for better energy efficiency
it is desirable to crush the clinker also from the product size to less than 10 mm. Sieve analysis for
crushed material is required. Crushing may also be combined with predrying.
PREBLENDING
Two types of preblending are Circular Preblending and Horizontal Preblending to produce lump
phase (dry process). The process itself include Stacking and Reclaiming.
One of the problem in Cement manufacturing is the wide range of limestone concentration from 8
– 70 % which will then lead to different thermal energy requirement. Stcaking and reclaiming in
preblending unit will help to reduce the variety of CaCO3 concentration in raw meal. Test is taken
randomly after preblending for 10 % CaCO3.
GRINDING
Grinding operation consumes 60 % of total electricity consumption in cement manufacturing.
Equipment used :
The ground material passes through the mill only once. This kind of grinding is also
Coarse particles separated from the finer one mechanically or pneumatically are returned
to the mill for comminution to the required size by passing the mill two or more times.
PYROPROCESSING
Equipment used : Rotary Kiln
of cement compound
DIFFERENT ZONE FOR DIFFERENT KILN PROCESS
CLINKERIZATION REACTION
1st view –
At 700 C CA + C12A7 + C2S appears which rises in quantity upto 900-1000 0C and poorly
CF C 2F C4AF
CS C 3S 2 C2S
At 1300 C solid state reaction complete, melt phase is formed by complete melting of C3A &
Berdasarkan jenisnya, reaksi dalam proses pembuatan semen dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Reaksi Disosiasi (Clay)
Al2Si2O7. x H2O Al2O3 + 2 SiO2 + xH2O
(Al2O3.2SiO2.xH2O)
2. Reaksi Sintesa
a. Fase Solid:
2 CaO + SiO2 2 CaO. SiO2 (C2S)
3 CaO + Al2O3 3 CaO. Al2O3 (C3A)
4 CaO + Al2O3 + Fe2O3 4 CaO. Al2O3. Fe2O3 (C4AF)
b. Fase Liquid
2 CaO. SiO2 + CaO 3 CaO. SiO2 (C3S)
Mekanisme terjadinya setting dan hardening pada pencampuran semen dengan air diawali
dengan bereaksinya C3A menghasilkan 3CaO.Al2O3.3H2O. Senyawa ini berupa pasta yang
bersifat cepat set (kaku) sehingga akan mengontrol setting time. Pasta yang terbentuk akan
bereaksi dengan gypsum membentuk etteringite yang akan membungkus permukaan pasta itu
sendiri dan C3A. Lapisan tersebut membuat reaksi hidrasi C3A terhalangi dan proses pengerasan
yang cepat (flash set) dapat dicegah. Reaksi aluminat dan gypsum:
Peristiwa osmosis membuat lapisan ettringite pecah dan reaksi hidrasi C3A akan terjadi lagi dan
segera pula terbentuk ettringite yang baru. Hal ini berlangsung terus hingga gypsum habis
terpakai. Proses ini akhirnya menghasilkan perpanjangan setting time. Makin banyak gypsum
yang dipakai, makin panjang setting time. Pada peristiwa ini gipsum dikenal sebagai retarder.
Kecepatan hidrasi bertambah seiring dengan hampir habisnya gipsum dan C3A bereaksi dengan
silika. Akibatnya kristal C3S diubah bentuknya menjadi kristal yang lebih besar. Periode ini
diiringi dengan pecahnya coating. Coating terbentuk pada awal reaksi hidrasi yaitu berupa
endapan Ca(OH)2, etteringite dan C-S-H pada partikel semen. Periode ini menghambat reaksi
hidrasi dan disebut Induction Period.
Selama beberapa jam reaksi hidrasi C3S terjadi dan menghasilkan 3CaO.2SiO2.3H2O (C-S-H).
C-S-H akan mengisi rongga dan membentuk titik kontak yang menghasilkan kekakuan.
Konsentrasi dari C-S-H dan titik kontak akan menghalangi mobilitas partikel-partikel semen. Hal
ini menyebabkan semen menjadi kaku dan terjadinya final set. Pada tahap ini mulai terjadi
proses pengerasan secara steady.
2 C3 S + 7 H C3S2H4 + 3 Ca(OH)2
C3S / C2S / C3A + H2O CSH + Ca(OH)2
Initial Setting Time
Penambahan Air
(min 45 mnt)
SIFAT FISIK:
1. Fineness, m2/Kg (Kehalusan)
Kehalusan semen menentukan luas permukaan partikel semen. Kekuatan semen juga akan
bertambah seiring bertambah halus semen. Bila semen terlalu kasar, maka kekuatan, keplastisan
dan konsistensinya akan berkurang.
Untuk ordinary semen, kandungan senyawa diatas adalah: MgO max 2 %, SO3 max 3,5 %, Total
alkali max 0,6 % dan free lime max 1 %.
a. Le Chatelier, mm
b. Autoclave, %, dengan cara diproses dengan autoclave selam 3 jam.
5. Heat of Hydration
Syarat ini digunakan untuk mengontrol agar panas yang digunakan pada reaksi hidrasi semen
tidak terlalu besar. Panas yang terlalu besar dapat menimbulkan keretakan pada semen.
6. False Set
Terjadi apabila proses grinding clinker dilakukan pada suhu > 120 C sehingga gipsum sudah
mengalami dehidrasi dan kehilangan fungsinya sebagai retarder. Hasilnya semen akan sangat
cepat mengeras hanya dalam waktu beberapa menit.
CaSO4.2H2O CaSO4.0,5 H2O + 1,5 H2O
Istilah False Set berbeda dengan Fast Set/Fash Set. Fast Set terjadi ketika semen cepat mengeras
akibat tidak adanya penambahan gipsum sebagai retarder.
SIFAT KIMIA:
1. Insoluble Residue, %
Adalah impuritas yang tetap tinggal setelah semen direaksikan dengan HCl dan Na2CO3. Residu
tak larut biasanya dibatasi untuk mencegah tercampurnya portland semen dengan bahan alami
lainnya
2. Loss of Ignition, %
LOI diisyaratkan untuk mencegah adanya mineral-mineral yang dapat diuraikan pada pemijaran.
Kristal mineral tersebut umumnya dapat mengalami perubahan dalam waktu beberapa tahun dan
menimbulkan kerusakan.
3. SO3, %
Gipsum adalah sumber utama SO3 dalam semen. Kandungan SO3 yang terlalu banyak akan
menyebabkan kerugian pada sifat ekspansi dan menurunkan kuat tekan semen. Maksimum SO3
adalah 3,5 %. Kandungan SO3 yang optimal berdampak pada peningkatan kuat tekan awal,
pengurangan dalam penyusutan dan peningkatan ekspansi.
4. MgO, %
MgO menyebabkan Magnesia Expansion atai periclase setelah jangka waktu lebih dari 1 tahun.
Banyaknya kandungan MgO pada semen adalah 5 %, apabila lebih maka periclase akan cepat
berlangsung. Periclase sangat merugikan karena akan bereaksi dengan air dan menghasilkan
Mg(OH)2 yang mempunyai volume lebih besar sehingga akan menyebebkan keretakan.
MgO + H2O Mg(OH)2
6. Free Lime
Adalah bagian dari kapur yang tidak bereaksi dengan komponen asam selama proses clinkerisasi.
Free lime sebesar 2 % akan mengalami kegagalan dalam test Soundness. Free lime tertinggal
dalam semen dalan keadaan bebas. Hal ini terjadi karena:
- Ukuran partikel clay tidak cukup halus
- Pembakaran clinker kurang sempurna
- Kandungan alkali dalam tepung baku terlalu tinggi
- Dekomposisi mineral clinker selama proses pendinginan
7. Modulus
Senyawa utama dalam semen adalah CaO, SiO2, Al2O3, Fe2O3 dan senyawa mineralnya adalah
C2C, C3A, C3S dan C4AF. Rumus empiris dari mineral clinker adalah sebagai berikut:
C3S = 4,07 CaO – 7,6 SiO2 – 6,72 Al2O3 – 1,43 Fe2O3 – 2,85 SO3
C2S = 2,87 SiO2 – 0,754 C3S
C3A = 2,65 Al2O3 – 1,69 Fe2O3
C4AF = 3,04 Fe2O3
Modulus semen adalah bilangan yang menyatakan perbandingan kuantitatif dari senyawa-senyawa
seperti CaO, SiO2, Al2O3, Fe2O3. Modulus ini digunakan sebagai dasar untuk mneghitung
perbandingan bahan baku yang diperlukan untuk pembuatan clinker dengan komposisi yang
diinginkan, sehingga menghasilkan jenis semen yang sesuao dengan standar produk berlaku.
Modulus semen antara lain: