You are on page 1of 10

KAJIAN SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI TANAH RHIZOSFER BAMBU

SEBAGAI DISEASE SUPPRESIVE SOIL1

Winda Ika Susanti2, Suryo Wiyono3, Rahayu Widyastuti3

ABSTRACK
Bamboo rhizosphere known as disease suppresive soil. The objectives of this
research was to (i) study the role and mechanism of bamboo rhizosphere on disease
suppresive soil phenomena (ii) study the functional diversity of bamboo rhizosphere
and, (iii) determine the benefits of bamboo rhizosphere in increasing plant growth and
suppressing soil borne disease, especially Phytopthtora palmivora. This research was
conducted from July 2014 to April 2015. Bamboo rhizosphere samples were taken at
depth 0-20 cm from several locations in the district of Bogor, West Java province.
There are four species successfully obtained, namely: Gigantochloa apus,
Dendrocalamus asper, Schizostacyum longispiculatum, and Bambusa vulgaris. This
research was conducted in two parts; (i) bioassay in the greenhouse to determine the
influence of bamboo rhizosphere of plant growth and the disease incidence,(ii)
laboratory investigation of the functional biodiversity of bamboo rhizosphere,
including: P and K solubilizing microbes, N fixing bacteria, chitinolytic bacteria,total
of Indole Acetic Acid (IAA) and antibiosis bacteria and fungi of bamboo rhizosphere.
The research result showed that the chemical and biological properties of bamboo
rhizosphere influent increasing of plant growth and suppresing soil borne pathogen.
Microbes in the rhizosphere of bamboo has a high diversity. Compared to microbes in
the non bamboo rhizosphere, microbes in the rhizosphere of bamboo has a better ability
to promote plant growth and suppress the growth of P. palmivora relative to non
bamboo rhizosphere. The death percentage of D. asper was 12.50% and of B. vulgaris
was 16.70%. The highest death percentage under non bamboo rhizosphere was abot
54.20%. Effectiveness of bamboo rhizosphere as disease suppresive soil determined by
chemical properties, including: pH, KTK, C-organik and, biological properties,
including: total bacteria, chitinolitic bacteria, N-fixer bacteria, IAA total, and
abundance of microbes antibiosis.
Keywords: bamboo rhizosphere, Phytophthora palmivora, disease suppresive soil.

PENDAHULUAN
Tanaman bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh di beberapa daerah di
Indonesia. Banyak sekali spesies bambu dengan keragaman fungsinya. Di Indonesia
terdapat 60 spesies tanaman bambu dari 200 spesies yang ada di kawasan Asia
Tenggara dan dapat dijumpai di daerah yang bebas dari genangan air, mulai dari dataran
rendah hingga pegunungan. Sifat adaptasi bambu yang tergolong tinggi membuat
tanaman ini dapat tumbuh baik hampir di setiap jenis tanah (Widjaja 1995). Para petani
sering menggunakan tanah perakaran (rhizosfer) bambu sebagai media persemaian yang
sudah menjadi indigenous knowledge. Diduga rhizosfer bambu memiliki peranan dalam
fenomena disease suppresive soil. Mekanisme suppresive soil dipengaruhi oleh faktor
tidak langsung yaitu kondisi fisik dan kimia tanah yang meliputi: tekstur, pH,
kandungan bahan organik, C-organik, KTK serta faktor secara langsung dan paling
berperan yaitu total populasi serta aktivitas mikrob tanah (Hadiwiyono 2010).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan tanah rhizosfer bambu dalam
mengendalikan penyakit yang dikenal sebagai fenomena disease suppresive soil pada
pengendalian penyakit tanaman pepaya. Pepaya digunakan sebagai objek penelitian
karena merupakan tanaman buah yang penting di Indonesia. Menurut Badan Pusat
Statistik (2010), produksi pepaya termasuk dalam kelompok tiga besar produksi buah-
buahan setelah mangga dan jeruk. Salah satu penyakit terpenting yang menyerang
tanaman pepaya adalah penyakit busuk akar dan pangkal batang yang disebabkan oleh
Phytophthora palmivora (Chliyeh et al. 2014). Sampai saat ini belum ada cara
pengendalian yang efektif untuk menanggulangi penyakit ini, baik secara fisik maupun
kimia sehingga diperlukan upaya yang bijaksana untuk mengendalikan patogen ini.
Terdapat mikrob antagonis asal rhizosfer bambu yang memiliki daya
antagonisme terhadap patogen tular tanah (soil borne disease) melalui mekanisme
antagonis berupa persaingan hidup, parasitisme, antibiosis dan induced systemic
resistence. Selain menekan perkembangan patogen, mikrob rhizosfer juga dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme. Di dalam tanah
banyak mikrob yang mempunyai kemampuan dalam melarutkan fosfat dan kalium,
menambat N2, dan menghasilkan fitohormon. Mikrob ini dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman dengan memproduksi senyawa fitohormon Indole Acetic Acid
(IAA) sebagai nutrisi bagi tanaman (Aryantha et al. 2004).
Penelitian terhadap keberadaan dan keragaman mikrob rhizosfer bambu telah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Menurut Sharma et al. (2010) pada
rhizosfer tanaman bambu sehat ditemukan cendawan antagonis seperti Aspergillus,
Penicillium, Trichoderma yang mampu menekan patogen Fusarium dan Phytophthora.
Penelitian yang dilakukan oleh Asniah (2013) menunjukkan bahwa inokulasi fungi
Paecilomyces sp dan Chaetomium globosum asal rhizosfer bambu ke dalam tanah
persemaian berpengaruh nyata terhadap penurunan indeks penyakit akar gada dan
peningkatan bobot basah tanaman brokoli. Penelitian yang dilakukan Tu et al. (2013) di
Cina terhadap rhizosfer 6 spesies bambu menunjukkan bahwa total populasi cendawan
dan bakteri serta aktivitas mikrob pada tanah rhizosfer bambu sangat tinggi dan
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan tanah rhizosfer bambu
dalam fenomena disease suppresive soil, yang menekan penyakit busuk pangkal batang
yang disebabkan oleh P. palmivora dan meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya.
Penelitian ini juga bertujuan mengetahui mekanisme disease suppresive soil yang
terjadi pada rhizosfer bambu tersebut dilihat dari sifat kimia dan biologi tanah.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2014 sampai bulan April 2015 di
Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan dan
Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Uji pengaruh
tanah rhizosfer bambu terhadap pengendalian P. palmivora dan pertumbuhan bibit
tanaman pepaya dilakukan di kebun percobaan Cikabayan IPB.
Bahan dan Alat
Bahan- bahan yang digunakan adalah tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu,
media Marthin Agar, PDA, NA, NB, Alexandrov, kitin agar, dan Pikovskaya, benih
pepaya var. California, isolat P. palmivora, larutan fisiologis, alkohol 70%, aquadest,
buffer fosfat, L-triptofan, larutan stok IAA, bahan fase gerak HPLC. Alat yang
digunakan di laboratorium adalah autoklaf, bunsen, cawan petri, erlenmeyer, inkubator,
ose, kaca objek, kaca penutup, magnetic stirrer, mikroskop, pipet serologis, shaker, soil
tester, spatula, tabung reaksi, timbangan, vortex, unit HPLC. Alat yang digunakan di
lapangan adalah sekop tanah, GPS, pH meter, thermometer, kamera.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Tanah dan Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Pengambilan sampel tanah rhizosfer bambu dilakukan pada beberapa lokasi di
Kabupaten Bogor Jawa Barat dengan empat spesies bambu: Gigantochloa apus (bambu
apus) asal hutan bambu IPB, Schizostacyum longispiculatum (bambu jalur) asal Desa
Cangkurawok Dramaga, Dendrocalamus asper (bambu betung) serta Bambusa vulgaris
(bambu kuning) asal kaki Gunung Salak dan hutan bambu IPB. Sebagai pembanding,
diambil pula sampel tanah non rhizosfer bambu di sekitar hutan IPB dengan vegetasi
berupa ilalang, perdu, dan herba. Sampel tanah diambil secara komposit dengan sekop
tanah dari sekitar perakaran bambu dengan kedalaman 0-20 cm sebanyak 5 titik per
tanaman. Setiap lokasi pengambilan sampel diwakili oleh 4-5 tanaman. Setelah itu,
sampel tanah dicampurkan. Sebanyak 500 g tanah dimasukkan dalam kantung plastik
tipis untuk analisis mikrob serta 3000-4000 g tanah untuk uji sifat fisik dan kimia tanah
serta percobaan rumah kaca. Setiap sampel tanah dianalisis sifat kimia tanahnya yang
meliputi: pH, kadar air, C-organik, N-total, P-total, K-total, KTK, dan silikat kasar.

Pengujian Pengaruh Tanah Rhizosfer Bambu terhadap Penyakit Busuk Batang


dan Pertumbuhan Bibit Pepaya
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan tanah rhizosfer bambu
dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menekan penyakit busuk pangkal
batang yang disebabkan oleh P. palmivora. Media tanam yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tanah rhizosfer bambu dan sebagai kontrol digunakan tanah non
rhizosfer bambu. Tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu dibersihkan dari akar-akar
tanaman dan dimasukkan ke dalam polibag diameter 11x14 cm. Benih pepaya var.
Calina ditanam pada media tanah tersebut di dalam polibag dengan setiap polibag 1
benih pepaya. Setelah berumur 1 minggu, media tanah tersebut diinokulasikan P.
palmivora kepadatan 103 spora g-1 berat kering tanah dengan cara disiramkan, kemudian
dilakukan pengamatan. Penanaman bibit pepaya dilakukan selama 30 hari dengan
pemeliharaan yang meliputi penyiraman, pemupukan, dan pengendalian hama.
Pengamatan meliputi persentase kematian tanaman, tinggi tanaman, jumlah daun,
volume akar, dan bobot basah. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan (media tanah non rhizosfer
bambu, rhizosfer D. asper KGS, rhizosfer D. asper hutan IPB, rhizosfer B. vulgaris
KGS, rhizosfer B. vulgaris hutan IPB, rhizosfer S. longispiculatum, rhizosfer G. Apus)
dan 6 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 4 sub unit sehingga total seluruh unit adalah
168 polibag. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam pada taraf α0.05.
Apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test)
pada taraf α0.05.

Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu


Kajian Populasi Mikrob Total dan Kandungan IAA
Isolasi mikrob dilakukan dengan teknik pengenceran dengan dua ulangan.
Sebanyak 10 g contoh tanah rhizosfer bambu dari kedalaman 0-20 cm disuspensikan ke
dalam labu Erlenmeyer yang berisi 90 ml aquadest dan diguncang menggunakan shaker
dengan kecepatan 120 rpm selama 15 menit. Suspensi yang dihasilkan dibuat seri
pengenceran hingga 10-7 dalam tabung reaksi. Untuk isolasi bakteri, diambil sebanyak
0.1 ml pada pengenceran 10-6 dan 10-7 kemudian dibiakkan pada media Nutrient Agar
(NA), sedangkan cendawan pada pengenceran 10-3 dan 10-4 dan dibiakkan pada media
Martin Agar (MA). Semua isolat bakteri dan cendawan yang diperoleh dihitung jumlah
koloninya dan dimurnikan. Perhitungan kandungan IAA potensial dari ekstrak tanah
menggunakan metode analisis spektrofometri.

Kajian Fungsional Biodiversity Group Mikrob Rhizosfer Bambu


Dalam mengisolasi mikrob pelarut fosfat, pelarut kalium, bakteri kitinolitik, bakteri
penambat N2 media yang digunakan masing-masing adalah Pikovskaya, Alexandrov,
kitin agar, dan NFM. Sampel tanah yang akan diisolasi diencerkan hingga pengenceran
10-6 dalam tabung reaksi. Untuk mengisolasi bakteri pelarut fosfat dan bakteri penambat
N2, diambil 0.1 ml dari hasil pengenceran 10-5 dan 10-6, sedangkan untuk mikrob pelarut
kalium, bakteri kitinolitik dan cendawan pelarut fosfat pada pengenceran 10-3 dan 10-4.
Hasil isolasi kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 28 – 310C selama
3 – 7 hari. Koloni cendawan atau bakteri yang tumbuh dan membentuk zona bening
pada media Pikovskaya merupakan mikrob pelarut fosfat (Sharma 2011), bakteri yang
membentuk zona bening pada media Alexandrov adalah bakteri pelarut kalium (Parmar
et al. 2013), sedangkan yang membentuk zona bening pada media kitin agar adalah
bakteri kitinolitik (Muharni 2009). Bakteri penambat N2 ditandai dengan adanya bakteri
yang tumbuh pada media bebas N dengan koloni yang berlendir.

Kajian Antibiosis Mikrob Rhizosfer Bambu Secara in vitro


Uji antagonisme secara in vitro dilakukan dengan metode dual culture pada
medium Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan Petri. Mekanisme penghambatan
yang terjadi adalah antibiosis yang diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai
zona penghambatan pertumbuhan P. palmivora. Untuk uji antagonisme bakteri,
sebanyak 1 lup inokulan digoreskan ke dalam cawan Petri yang telah berisi media PDA
dengan jarak 2 cm dari patogen. Untuk uji antagonisme cendawan, ke dalam cawan
Petri yang berisi media PDA diletakkan isolat cendawan antagonis dan isolat patogen
dengan diameter masing-masing sebesar 3 mm dengan jarak 3 cm. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu ruang dan dilakukan pengamatan terhadap zona bening yang
dihasilkan serta perhitungan persentase antibiosis bakteri dan cendawan asal rhizosfer
bambu. Persen bakteri dan cendawan antibiosis dihitung dari jumlah bakteri dan
cendawan yang menunjukkan zona bening dibanding total.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini membuktikan bahwa tanah rhizosfer bambu bersifat disease
suppresive soil yang ditunjukkan dalam menekan patogen P. palmivora penyebab busuk
pangkal batang (damping off) dan meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya.
Pertumbuhan tanaman yang baik diperlihatkan oleh tinggi tanaman, volume akar, dan
bobot basah tanaman (Tabel 1). Tinggi dan jumlah daun bibit pepaya yang ditanam di
tanah rhizosfer bambu lebih baik, kecuali rhizosfer G. apus tidak berbeda nyata dengan
non rhizosfer bambu. Penanaman bibit pepaya pada rhizosfer bambu D. asper KGS dan
B. vulgaris berpengaruh nyata terhadap volume akar dan memberikan nilai volume akar
tertinggi. Demikian halnya dengan bobot basah bibit pepaya yang ditanam di tanah
rhizosfer bambu juga lebih tinggi dan berbeda nyata dengan non rhizosfer bambu,
kecuali rhizosfer G. apus. Bobot basah bibit pepaya tertinggi adalah bibit yang ditanam
di tanah rhizosfer D. asper dan B. vulgaris asal kaki Gunung Salak. Persentase kematian
terendah adalah pada rhizosfer D. asper KGS dan B. vulgaris Hutan IPB (Tabel 1).
Tabel 1 Pengaruh rhizosfer bambu terhadap pertumbuhan dan kejadian penyakit busuk
batang pepaya
Jenis Rhizosfer Parameter Pertumbuhan Tanaman Kejadian
Bambu 30 HST Penyakit
Tinggi Jumlah Volume Bobot (%)
Tanaman Daun Akar (ml) Basah (g)
(cm) (helai)
Non Rhizosfer Bambu 13.77 e 7.0 d 0.257 b 4.07 d 54.20 a
G. apus 14.92 de 7.0 d 0.286 b 3.99 d 41.70 ab
S. longispiculatum 15.85 d 8.0 c 0.357 ab 5.79 c 33.40 b
D. asper KGS 22.55 a 10.0 a 0.457 a 8.12 a 12.50 c
D. asper Hutan IPB 17.46 c 9.0 b 0.320 b 5.69 c 25.00 bc
B. vulgaris KGS 17.84 c 8.0 c 0.277 b 7.04 b 29.20 bc
B. vulgaris Hutan IPB 20.20 b 10.0 a 0.437 a 6.07 c 16.70 c
Keterangan: Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Nilai volume akar yang tinggi akan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang
baik karena penyerapan unsur hara, nutrisi, air dan garam-garam mineral dari tanah ke
tubuh tanaman menjadi lebih baik. Volume akar yang baik akan berpengaruh positif
terhadap populasi mikrob yang terdapat pada tanah sekitar bambu. Nilai volume akar
yang tinggi diindikasikan oleh banyaknya rambut-rambut akar yang akan berpengaruh
pula terhadap kuantitas dari eksudat akar yang dihasilkan. Selain itu, volume akar juga
akan berpengaruh terhadap hasil tanaman. Terdapat hubungan yang baik antara volume
akar, eksudat akar yang dihasilkan dan juga total komunitas mikrob yang mendiami
rhizosfer bambu. Tanah rhizosfer bambu bersifat lebih suppresive dalam menekan
penyakit yang disebabkan P. palmivora. Penekanan penyakit pada tanaman terjadi
karena adanya mekanisme antibiosis. Mikrob tersebut menghasilkan antibiotik yang
menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi dan biokimia patogen. Selain itu, peranan
mikrob rhizosfer bambu terhadap pertumbuhan tanaman yaitu menyebabkan perubahan
fisiologis tanaman sehingga tanaman tahan terhadap stres air dan kekeringan (Asniah
2013).
Mekanisme Suppresive Soil Tanah Rhizosfer Bambu
Mekanisme disease suppresive soil tanah rhizosfer bambu dalam menekan
intensitas penyakit dan meningkatkan pertumbuhan bibit pepaya berkaitan dengan sifat
kimia tanah yang meliputi: C-organik, pH dan KTK, serta sifat biologi tanah yang
meliputi: total populasi mikrob, keragaman fungsional mikrob, kelimpahan cendawan
dan bakteri antibiosis. Hasil analisis sifat kimia tanah menunjukkan bahwa nilai C-
organik dari beberapa rhizosfer bambu lebih tinggi dibandingkan dengan non rhizosfer
bambu, kecuali pada rhizosfer S. longispiculatum (Tabel 2). Semakin tinggi kandungan
C- organik dalam tanah, maka total populasi bakteri, cendawan, maupun populasi
mikrob fungsional juga akan tinggi karena ketersediaan bahan organik terpenuhi secara
optimal. C-organik merupakan penyusun utama bahan organik tanah yang mampu
meningkatkan aktivitas mikrob tanah yang bersifat antagonis terhadap P. palmivora
(Handoko 2014). Hal ini diduga karena tersedianya nutrisi lebih banyak bagi tanaman
dan mikrob tanah sehingga dapat berkembang lebih baik sebagai agen antagonis serta
meningkatkan kesehatan akar tanaman. Kandungan C-organik tanah yang tinggi juga
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman karena kandungan C-organik
berkorelasi positif dengan kandungan bahan organik tanah. Bahan organik tanah
merupakan pengatur dan pemasok hara tanaman melalui kemampuannya berinteraksi
dengan ion-ion logam dengan membentuk ikatan yang disebut khelat yang dapat
meningkakan ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Munawar 2011).
Tabel 2 Analisis sifat fisik dan kimia tanah rhizosfer dan non rhizosfer bambu
Parameter Kimia Non D. asper D.asper S. longi- B. B. G.apus
Rhizosfer KGS Hutan spiculatu vulgaris vulgaris
Bambu IPB m KGS Hutan
IPB
pH H2O 6.2 4.4 5.2 5.3 4.0 4.8 3.9
pH KCl 5.4 3.8 4.5 4.5 3.6 4.2 3.6
C-Organik (%) 2.69 8.54 4.75 2.55 6.06 4.65 3.23
N-Kjeldahl (%) 0.27 0.29 0.33 0.25 0.30 0.45 0.31
C/N 10 29 14 10 20 10 10
P2O5 (ppm) - 9.6 4.6 9.5 6.9 - 9.3
K2O (ppm) 309 78 73 72 136 259 67
KTK (cmolc/kg) 18.95 24.70 17.97 19.45 22.72 23.19 19.43
 Ca 16.02 5.50 9.50 7.90 3.08 10.07 1.04
 Mg 2.34 1.78 1.70 1.35 0.76 1.12 0.82
 K 0.61 0.15 0.14 0.14 0.27 0.51 0.12
 Na 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
Silikat Kasar (%) 17.66 17.58 50.56 45.96 14.54 47.96 8.44
Tekstur (% pasir, 5:14:81 36:2:62 15:10:75 16:9:75 31:9:60 25:6:69 7:13:80
debu, liat)
Selain C-organik, nilai KTK dari tanah rhizosfer bambu juga lebih tinggi dan
berpengaruh terhadap populasi mikrob fungsional serta pertumbuhan tanaman, seperti
diperlihatkan pada rhizosfer D. asper dan B. vulgaris asal Kaki Gunung Salak (Tabel 2).
KTK tanah yang tinggi mampu meningkatkan efisiensi dan penyerapan unsur hara
sehingga pada tanah dengan nilai KTK yang tinggi ketersediaan unsur haranya juga
akan meningkat. Berdasarkan penelitian Handoko (2014), KTK yang tinggi
berpengaruh terhadap serapan unsur hara oleh akar tanaman. Tanah dengan KTK tinggi
mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik sehingga pertumbuhan
tanaman juga akan lebih baik. Tanah dengan KTK tinggi didominasi oleh kation basa
yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, karena unsur hara terdapat dalam kompleks
jerapan koloid sehingga tidak mudah hilang tercuci oleh air. Dengan KTK tanah yang
tinggi, pertumbuhan tanaman lebih baik dan sehat sehingga lebih tahan terhadap
penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan P. palmivora.
Pada penelitian ini, pH tanah juga berpengaruh dalam fenomena disease suppresive
soil. Nilai pH dari beberapa tanah rhizosfer bambu lebih rendah dibandingkan dengan
non rhizosfer bambu. Hal ini diduga berkaitan dengan sekresi asam-asam organik oleh
mikrob dan akar tanaman. Berdasarkan penelitian Ruangsanka (2014) terhadap rhizosfer
8 spesies bambu, diketahui bahwa kelimpahan mikrob dan total populasi mikrob pelarut
fosfat berkorelasi negatif dengan nilai pH tanah. Semakin tinggi populasi mikrob
pelarut fosfat, maka pH tanah cenderung turun karena sekresi asam organik oleh
mikrob. Penelitian yang sama dilakukan oleh Tu et al. (2013) terhadap 5 spesies bambu
di Cina yang menunjukkan bahwa total populasi dan aktivitas mikrob tanah berkorelasi
negatif dengan pH tanah. Semakin tinggi populasi mikrob dalam tanah rhizosfer bambu,
nilai pH tanahnya cenderung turun. Nilai pH tanah yang rendah ini akan berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan P. palmivora. Dengan demikian, tanaman akan lebih
tahan terhadap penyakit yang disebabkan P. palmivora pada pH masam.

Kajian Biologi Tanah Rhizosfer Bambu


Selain faktor kimia tanah, fenomena suppresive soil juga dipengaruhi oleh faktor
biologi tanah. Dalam penelitian ini, sifat biologi tanah yang menentukan disease
suppresive soil diantaranya: total populasi bakteri, bakteri penambat N2, bakteri
kitinolitik, kandungan IAA potensial, kelimpahan bakteri dan cendawan antibiosis.
Total populasi bakteri yang berasal dari rhizosfer bambu lebih tinggi dibandingkan
tanah non rhizosfer bambu. Total populasi bakteri tertinggi adalah pada rhizosfer D.
asper di dua lokasi dan B. vulgaris KGS. Demikian halnya dengan kandungan IAA
potensial tanah rhizosfer bambu yang lebih lebih tinggi dibandingkan tanah non
rhizosfer bambu (Tabel 3). Kandungan IAA rhizosfer G. apus tergolong sedang, dan
kandungan IAA potensial seluruh rhizosfer bambu lainnya tergolong tinggi berdasarkan
penelitian Astuti (2008) bahwa konsentrasi IAA 0-30 ppm merupakan kategori rendah,
31-60 ppm kategori sedang, dan > 60 ppm kategori tinggi. Konsentrasi IAA dari ekstrak
tanah menggambarkan sejauh mana komunitas mikrob yang terdapat dalam rhizosfer
bambu tersebut dalam memproduksi hormon IAA (Saraswati et al. 2007). Hormon IAA
berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan adaptasi tanaman
dari cekaman kekeringan. Selain itu, IAA juga berperan sebagai agen biokontrol fungi
patogen sehingga tanaman akan lebih tahan terhadap serangan penyakit (Husen et al.
2011).
Tabel 3 Total populasi mikrob dan kandungan IAA potensial tanah rhizosfer bambu
Kategori Rhizosfer Bambu Total Populasi Total Populasi Kandungan IAA
Bakteri Cendawan Potensial (ppm)

--x 107 cfu g-1-- --x 104cfu g-1--


Non Rhizosfer Bambu 24.5 2.52 37.935
G. apus 75.1 7.27 53.665
S. longispiculatum 62.7 12.60 89.373
D. asper KGS 428.0 3.38 92.006
D. asper Hutan IPB 269.0 6.27 64.185
B.vulgaris KGS 127.0 17.70 62.466
B. vulgaris Hutan IPB 83.9 19.40 75.336
Mikrob fungsional yang berperan dalam disease suppresive soil adalah mikrob
pelarut fosfat, bakteri penambat N2 dan bakteri kitinolitik (Tabel 4). Populasi bakteri
kitinolitik hanya terdapat pada rhizosfer D. asper, B. vulgaris KGS, dan bambu B.
vulgaris hutan IPB. Adanya aktivitas dari bakteri kitinolitik pada 3 rhizosfer bambu
tersebut mengindikasikan bahwa bibit pepaya yang ditanam pada rhizosfer bambu
tersebut memiliki ketahanan terhadap patogen dan pertumbuhan tanaman yang jauh
lebih baik dibandingkan rhizosfer bambu lainnya. Bakteri kitinolitik berperan dalam
pertahanan tanaman terhadap patogen karena memiliki kemampuan dalam
mendegradasi dinding sel patogen yang tersusun dari kitin (Muharni 2009). Mikrob
pelarut fosfat dan penambat N2 berperan sebagai Plant Growth Promoting
Rhizobacteria yang meningkatkan pertumbuhan tanaman (Karlidag et al. 2011).
Tabel 4 Fungsional Group Mikrob Rhizosfer Bambu
Rhizosfer Bambu Fungsional Group
BPF CPF Bakteri Bakteri BPK
Penambat N2 Kitinolitik
---x 10-4 cfu g-1---
Non Rhizosfer Bambu 5.3 0.23 323 - 7.23
G. apus 34.5 4.10 916 - -
S. longispiculatum 333.0 6.62 447 - 41.4
D. asper KGS 119.0 4.85 2620 8.22 18.5
D. asper Hutan IPB 47.6 3.84 2220 - 81.7
B. vulgaris KGS 97.2 2.59 1390 4.44 38.6
B. vulgaris Hutan IPB 161.0 4.18 1660 2.54 16.9
Keterangan: BPF=bakteri pelarut fosfat; CPF=cendawan pelarut fosfat; BPK=bakteri pelatur kalium;
cfu=colony forming unit; tanda (-) = tidak ditemukan koloni mikrob
Penekanan P. palmivora dapat diamati melalui fenomena antibiosis melalui uji
dual culture secara in vitro. Peristiwa antibiosis ditunjukkan dengan adanya zona
bening sebagai zona penghambatan. Persentase bakteri dan cendawan antibiosis asal
rhizosfer bambu lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri yang berasal dari tanah non
rhizosfer bambu. Persentase bakteri antibiosis tertinggi adalah pada rhizosfer D. asper
KGS dan persentase cendawan antibiosis tertinggi D. asper pada dua lokasi dan B.
vulgaris asal hutan IPB, sedangkan cendawan asal tanah non rhizosfer bambu tidak ada
yang menghambat patogen P. palmivora pada uji dual culture secara in vitro (Tabel 5).
Tabel 5 Uji Antibiosis Mikrob Rhizosfer Bambu
Kategori Tanah Bakteri Cendawan

Jumlah Antibiosis Persentase Jumlah Antibiosis Persentase


Isolat (+) Antibiosis Isolat (+) Antibiosis
(%) (%)
Non Rhizosfer Bambu 7 3 42.85 4 0 0
G.apus 9 4 44.45 5 1 20.00
S. longispiculatum 10 5 50.00 5 2 40.00
D. asper KGS 8 7 87.50 5 4 80.00
D. asper Hutan IPB 8 5 62.50 5 4 80.00
B. vulgaris KGS 8 6 75.00 5 3 60.00
B. vulgaris Hutan IPB 7 5 71.42 5 4 80.00

Hasil uji antibiosis bakteri dan cendawan secara in vitro dirangkum pada Gambar 1.

(a) (b)
Gambar 1. Persentase antibiosis (a) bakteri (b) cendawan
Gambar 1 menunjukkan bahwa persentase antibiosis bakteri dan cendawan
tertinggi adalah pada rhizosfer D. asper dan B. vulgaris dari dua lokasi yang
mengindikasikan bahwa kedua rhizosfer bambu tersebut paling potensial dalam
menekan patogen P. palmivora. Pada tanah non rhizosfer bambu tidak ditemukan
cendawan yang berpotensi menekan P. palmivora. Persentase antagonisme bakteri dan
cendawan berkaitan dengan kejadian penyakit tanaman. Semakin tinggi nilai persentase
antibiosis mikrob dalam menekan patogen, maka akan semakin kecil pula kejadian
penyakittanaman tersebut.
Mikrob ini dapat meningkatkan serapan elemen nutrisi tanaman, baik unsur-
unsur makro maupun mikro. Peningkatan serapan mineral oleh tanaman disebabkan
karena peningkatan akumulasi mineral di batang dan daun. Pada fase reproduktif,
akumulasi mineral akan ditransfer ke bagian reproduktif tanaman. (Elkoca et al. 2008,
Ipek et al. 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa bakteri yang diisolasi
dari rhizosfer bambu memiliki kemampuan dalam menghambat P. palmivora dengan
menghambat pertumbuhan dan pembentukan miselia patogen sehingga dapat digunakan
sebagai agen biokontrol untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menurunkan
indeks penyakit serta persentase kematian tanaman (Abdulkareem et al. 2014).
Beberapa bakteri memproduksi metabolit yang secara luas dapat mengontrol patogen
tanaman dan menyebabkan lisis pada beberapa patogen (Huang et al. 2012). Tingkat
efektivitas dari metabolit yang dihasilkan tergantung pada kualitas dan kuantitas
antibiotik yang disekresikan (Fekadu and Tesfaye 2013)
Beberapa genus cendawan yang ditemukan di tanah rhizosfer bambu merupakan
agen biologi yang mengendalikan P.palmivora melalui mekanisme antibiosis. Selain
itu juga meningkatkan pertumbuhan akar dan produktivitas tanaman serta serapan
nutrisi tanaman. Beberapa spesies cendawan memiliki kemampuan memproduksi
metabolit yang bersifat antifungi dan menghasilkan enzim litik ekstraseluler yang
bertanggung jawab terhadap aktivitas antagonistik (Anoop et al. 2014; Reddy et al.
2014). Fenomena disease suppresive soil didasarkan pada interaksi mikrob antara
patogen dengan semua atau sebagian mikrob antagonis. Dengan demikian, semakin
tinggi kelimpahan bakteri dan cendawan antibiosis, makan kejadian penyakit akan
menurun.
SIMPULAN
Tanah rhizosfer bambu bersifat suppresive soil yang ditunjukkan oleh
pertumbuhan bibit pepaya yang meliputi tinggi tanaman, volume akar, bobot basah
tanaman yang lebih tinggi serta persentase kematian tanaman yang lebih rendah.
Fenomena disease suppresive soil berkaitan dengan sifat kimia serta biologi tanah
rhizosfer bambu yang saling mempengaruhi. Sifat kimia tanah yang berpengaruh dalam
disease suppresive soil meliputi: pH tanah, KTK, dan C-organik. Sifat biologi tanah
yang berpengaruh diantaranya adalah: total populasi bakteri, kandungan IAA potensial,
bakteri penambat N2, bakteri kitinolitik, serta kelimpahan bakteri dan cendawan
antibiosis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkareem M, Aboud HM, Saood HM, Shibly MK. 2014. Antagonistic activity of
some plant growth rhizobacteria to Fusarium graminearum. Int J Phytopathol 3
(01): 49-54.
Anoop K, Suseela BR. 2014. Evaluation of antagonistic potential of indigenous
Trichoderma isolates againts Pythium aphanidermatum Fitz causing rhizome rot
in turmeric (Curcuma longa L). Journal of Science 4(2): 99-105
Asniah, Widodo, Wiyono S. 2013. Potensi cendawan asal tanah perakaran bambu
sebagai endofit dan agen biokontrol penyakit akar gada pada tanaman brokoli.
JHPT Tropika 1: 61-68
Chliyeh M, Rhimini Y, Selmaoui K, Touhami AO, Maltouf AF, Modafar CE, Moukhli
A, Oukabli A, Benkirane R, Douira A. 2014. Geographical distribution of
Phytophthora palmivora in different olive growing regions in Maroco. Int J of
Plant, Animal, and Environment Science. 4(01): 297-303.
Elkoca E, Kantar F, Sahin F. 2008. Influent nitrogen fixing and phosphorus solubilizing
bacteria on the nodulation , plant growth and yield of chickpea. Journal of
Plant Nutrition 31: 157-171.
Fekadu A, Tesfaye A. 2013. Antifungal activity of secondary metabolite of
Pseudomonas fluoresence isolates as a biocontrol agent of chocolate spot
disease of faba bean in Ethiopia. African Journal of Microbiology Research
(7): 5364-5373.
Huang X, Zhang X, Yong X, Yang X, Shen Q. 2012. Biocontrol of Rhizoctonia solani
damping off disease in cucumber with Bacillus pumilus SQR-N43. J Microbiol
167. 135-143.
Husen E, Wahyudi AT, Suwanto A, Giyanto. 2011. Growth enhancement and disease
reductionof soybean by 1-aminocyclopropane-1-carboxylate deaminase-
producing Pseudomonas. Am J Appl Sci 8: 1073-1080.
Ipek M, Pirlak L, Esitken A, Donmez F, Turan M, Sahin F. 2014. Plant growth
promoting rhizobacteria increase yield, growth and nutrition of strawberry
under high calcareous soil condition. Journal of Plant Nutrition 37: 990-1001.
Karlidag H, Esitken A, Yildirim E, Donmez MF, Turan M. 2011. Effect of plant growth
promoting bacteria on yield, growth, leaf water content, membrane
permeability and ionic composition of strawberry under saline condition.
Journal of Plant Nutrition 34: 34-45.
Muharni. 2009. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penghasil Kitinase dari Sum ber Air
Panas Danau Ranau Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains 09:12-15.
Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor: IPB Press.
Reddy BN, Saritha KV, Hindumathi A. 2014. In vitro screening for antagonistic
potential of seven species of Trichoderma againts different plant pathogenic fungi.
J Biology 2: 29-36.
Reena, Dhanya T, Deepthi H, Pravitha MS, Lecturer D. 2013. Isolation of phosphate
solubilizing bacteria and fungi from rhizospheres soil from Banana Plants and its
effect on the growth of Amaranthus cruentus L. Journal of Pharmacy and
Biological Sciences. 5 (3): 6 – 11
Reetha S, Bhuvaneswari G, Tharmizhiniyan P, Ravi T. 2014. Isolation of indole acetic
acid (IAA) producing rhizobacteriaof Pseudomonas fluorescens and Bacillus
subtillis and enhance growth of onion. International Journal of Current
Microbiology and Applied Sciences 3(2): 568-574.
Sharma R, Rajak RC, Pandey AC. 2010. Evidence of antagonistic interaction between
rhizosphere end mycorrhizae fungi associated with Dendrocalamus strictus
(Bamboo). Journal of yeast and fungal research 1(7):112-117.
Sharma S, Kumar V, Tripathi RB. 2011. Isolation of phosphate solubilizing
microorganism from soil. J Microbiol Biotech Research. 1 (2): 90 - 95
Widjaja EA, Sastrapradja S, Prawiroatmodjo S, Soenarko S. 1995. Jenis- Jenis Bambu.
Jakarta: Balai Pustaka.

You might also like