You are on page 1of 16

TEORI INSTITUSI DAN KORUPSI: STUDI EMPIRIS PADA

ORGANISASI SEKTOR PUBLIK DI CINA DAN INDONESIA

YUDHA ARYO SUDIBYO1


SUN JIANFU2
ICUK RANGGA BAWONO3

Abstract
Most research on corruption examine macro factors such
decentralization, political democracy,press freedom,economics freedom
(Lecuna, 2012; Alexeef and Habodazzova, 2012; Goel and Nelson, 2005),
however organizational approach study on corruption is limited. The main
purpose of this paper to investigates institutional theory explaining
corruption behavior within Asian public sector organizations.
A total of 171 questionnaires were distributed to public services and
government employees who were being accounting postgraduate students in
China and Indonesia. Hypotheses testing using multiple regressions analysis
to determine influence task environment and institutional environment toward
corruption. ANOVA is used to examine differences of perceptions of
corruption between respondentsin both of countries.
The results discussed in this paper support institutional theoretical
model for developing corruption in public sector organizations. Task
environment and institutional environment toward corruption influenced
significantly p-value 0,026 and 0,000, respectively, α = 0,05. However, a
difference culture of democracy was not influence on respondent’s perception
concerning corruptions in both of countries.

Keywords: Institutional Theory, Corruption,Public Sector, Task


Environment, Institutional Environment.

                                                            
1
Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman/ Mahasiswa Program
Doktor Hebei University, Cina (yudha_aryos@yahoo.com)
2
Profesor Keuangan Publik Hebei University, Cina
3
Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman/ Mahasiswa Program
Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Indonesia (cukycutes@yahoo.com)
PENDAHULUAN
Asia merupakan wilayah yang potensial untuk dilakukan penelitian berkaitan
dengan isu-isu di bidang korupsi (Luo, 2002).Transparency International (2013)
menunjukkan tingkat korupsi pada organisasi sektor publik dengan
menggunakanCorruption Perceptions Index (CPI) untuk 34 negara di Asia, hanya
Singapura, Hongkong SAR dan Jepang yang mempunyai nilai cukup tinggi secara
berurutan yaitu 86, 75 dan 74. Sedangkan, Uni Emirat Arab, Qatar, Buthan, Taiwan,
Brunei, Korea Selatan dan Malaysia mempunyai skor antara 50 sampai dengan 70.
Negara sisanya mempunyai skor dibawah 50, yang mengindikasikan adanya korupsi
dengan tingkatan yang serius.
Penelitian pada bidang korupsi selama ini lebih menekankan pada pengujian
faktor-faktor makro seperti desentralisasi, demokrasi politik, kebebasan media,
kebebasan ekonomi serta desentralisasi fiskal (Lecuna, 2012; Alexeef dan Habodazzova,
2012; Goel dan Nelson, 2005).Sedangkan untuk penelitian yang menguji hubungan
korupsi pada konteks organisasional masih sangat terbatas (Luo, 2002; Pillay dan
Kluvers, 2014).
Luo (2005) menjelaskan bahwa pendekatan organisasional terkait korupsi
merupakan hal yang penting dengan beberapa alasan yaitu pertama, sebuah organisasi
merupakan unit dasar terjadinya praktik korupsi.Kedua, organisasi bertanggung jawab
untuk mengetahui penyebab sulitnya memberantas korupsi pada organisasi
tersebut.Ketiga, organisasi merupakan jendela untuk melihat tingkat korupsi pada
sebuah negara. Keempat, mengetahui dampak terjadinya korupsi pada level organisasi
merupakan hal yang penting. Korupsi akan menghambat kinerja organisasi dan
menambah kos yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.
The Global Economic Crime Survey tahun 2011 yang dilakukan oleh
Pricewaterhouse Coopers menunjukkan bahwa penyalahgunaan aset, kecurangan
akuntansi, suap dan korupsi merupakan bentuk kecurangan yang sering terjadi pada
organisasi sektor publik.Penelitian ini bertujuan untuk menambah bukti empiris
terjadinya korupsi pada organisasi sektor publik dengan pendekatan
organisasional/institusional.Pendekatan pada penelitian ini mengacu pada model
institusional yang digunakan oleh Eisenhardt (1988), yang kemudian dikembangkan
oleh Luo (2005) menjadi sebuah model institusional yang dapat menjelaskan terjadinya
korupsi.
Model institusional menjelaskan bahwa terjadinya korupsi pada level
organisasi sektor publik disebabkan oleh task environment yang tidak mendukung
seperti pemahaman dan implementasi peraturan yang lemah, tidak adanya komitmen
yang kuat dari pemimpin untuk memberantas praktik korupsi; serta institusional
environment yang tidak transparan dan mempunyai sistem administrasi yang kompleks
(Luo, 2005; Pillay dan Kluvers, 2014).
Pillay dan Kluvers (2014) telah menggambarkan terjadinya korupsi pada
organisasi sektor publik dengan obyek penelitian di negara berkembang yang menganut
asas demokrasi yaitu Afrika Selatan.Penelitian tersebut hendak menguji kesesuaian
model institutional yang dikembangkan oleh Luo (2005) untuk menggambarkan
bagaimana terjadinya korupsi pada tingkat organisasional.
Berdasarkan CPI 2013 yang dikeluarkan oleh Transparency International,
Cina mempunyai skor 39, lebih tinggi daripada Indonesia dengan skor 32. Kedua
Negara tersebut masih termasuk dalam lingkup yang sama, atau tingkat korupsi yang
cukup tinggi. Pada kondisi kedua negara yang mempunyai tingkat korupsi cukup tinggi,
penelitian ini juga mempertimbangkan cultures dalam memengaruhi terjadinya korupsi.
Penelitian yang dilakukan oleh Treisman (2000) dan Pellegrini dan Gerlagh (2008)
menjelaskan terjadinya korupsi di berbagai negara dengan cultures sebagai variabel
independennya.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan terjadinya korupsi
pada organisasi sektor publik dengan pendekatan organizational, sedangkan tujuan
khususnya adalah untuk mengetahui apakah variabel task environment dan institusional
environment mempunyai pengaruh terhadap terjadinya korupsi, serta pengaruh variabel
kultur demokrasi dalam memengaruhi persepsi mengenai korupsi di Cina dan Indonesia.

KERANGKA TEORETIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


Teori Institusional dan Korupsi
Korupsi dapat didefinisikan secara luas maupun sempit.Pendefinisian tersebut
tergantung pada fokus studi dan batasannya. Definisi secara sempit adalah perilaku
menyimpang dari norma atau pelanggaran terhadap aturan, dengan motivasi untuk
memperoleh keuntungan pribadi dengan memanfaatkan jabatan sebagai birokrat
pemerintah. Sedangkan arti luasnya adalah sebuah perilaku menyimpang terhadap
tanggung jawab formalnya yang terjadi diberbagai lembaga/organisasi (tidak hanya
pemerintah atau organisasi sektor publik) demi mendapatkan keuntungan pribadi (Luo,
2002). Sedangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsimenyebutkan bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang
dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berdasarkan definisi tersebut, konsep alamiah terjadinya korupsi dapat
digolongkan menjadi beberapa aspek:
1. Corruption is perceptual. Perilaku seorang individu terkait korupsi disebabkan
karena persepsi yang salah terhadap pegawai pemerintah yang melakukan tindak
korupsi. Kondisi tersebut membuat persepsi yang berkembang di masyarakat seolah-
olah korupsi merupakan hal yang biasa.
2. Corruption is contextual. Perilaku korupsi dipengaruhi oleh ideologi, paradigma,
budaya dan konteks lainnya yang melekat pada pelaku korupsi. Politik tidak hanya
memengaruhipemahaman dan penjelasan terkait korupsi, tetapi juga menghasilkan
perilaku sosial seperti korupsi.
3. Corruption is power-related. Untuk melanggengkan tindakan korupsi, seorang
koruptor harus berada pada posisi yang kuat di pemerintahan atau organisasi.
4. Corruption is illegal or norm-deviated. Korupsi merupakan sebuah tindakan ilegal
yang ditandai dengan adanya transfer of money yang tidak diautorisasi dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Pelanggaran terhadap regulasi menjadi ciri
sebuah korupsi, sehingga pemerintah harus membuat aturan terkait korupsi yang
mudah untuk dipahami sehingga masyarakat dapat membedakan antara korupsi
dengan gift-giving.
5. Corruption is intentional. Motivasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi melekat
pada konotasi korupsi.
6. Corruption’s mode of expression is almost always covert. Korupsi cenderung
dilakukan secara sembunyi ataupun informal, sehingga sulit untuk mendeteksinya.

Penelitian ini menggunakan definisi korupsi secara sempit dan


mengintepretasikan definisi tersebut kedalam konteks akuntansi sektor publik. Tindakan
korupsi secara spesifik yang dimaksudkan dalam penelitian ini menggunakan hasil studi
yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers, 2011 yaitu mencakup pencurian aset
(asset misappropriation), kecurangan pajak (tax fraud), kecurangan akuntansi
(accounting fraud), penyuapan (bribery) dan pencucian uang (money laundering).
Model institusional Luo menjelaskan bahwa task environment dan institutional
environmentakanmemengaruhi individu dalam sebuah organisasi untuk melakukan
tindakan curang (malfeasant behaviour). Tindakan curang (malfeasant behavior)
memicu berkembangnya deterrent outcomes seperti kurangnya fokus dalam pencapaian
strategi, organisasi menjadi lemah dan tidak mampu merespon lingkungannya dengan
baik.
Organizational anti-corruption system dijelaskan oleh Luo sebagai alat untuk
mencegah terjadinya praktik korupsi yang terdiri dari unsur organizational culture,
organizational structure dan compliance system.Organizational culture adalah sebuah
organisasi yang mempunyai landasan moral dalam setiap pengambilan
keputusannya.Organizational structure bertujuan untuk mendeteksi dan mengoreksi
setiap perbuatan curang yang terjadi dalam organisasi.Sedangkan compliance system
disusun untuk mencegah praktik korupsi melalui penyusunan kode etik organisasi dan
program antikorupsi.

Korupsi di Cina dan Indonesia


The Corruption Perception Index (CPI), mengurutkan negara-negara
berdasarkan tingkat korupsi pada organisasi sektor publik di negara-negara tersebut.
Skor pada sebuah Negara mengindikasikan persepsi tentang tingkat korupsi sektor
publik dengan skala 0 – 100.Angka 0 menunjukkan negara dengan tingkat korupsi
paling tinggi, sedangkan angka 100 menunjukkan tingkat korupsi yang rendah.
Berdasarkan CPI 2013, Cina mempunyai skor 39, lebih tinggi daripada Indonesia
dengan skor 32. Data tersebut menempatkan kedua negara dalam lingkup yang sama
dengan tingkat korupsi yang masih cukup tinggi.
Cina saat ini merupakan raksasa perekonomian di dunia dan menjadi destinasi
investasi dunia.Akan tetapi seiring dengan meningkatnya laju perekonomian di negara
tersebut tingkat korupsi pun masih cukup tinggi.The Corruption Perception Index (CPI)
yang dikeluarkan oleh Transparency International pada tahun 2013 Cina menempati
peringkat ke 80 dari 177 negara dengan skor 39.
Presiden Xi Jinping berusaha untuk menurunkan tingkat korupsi di Cina, hal
ini terlihat dari salah satu pilar strateginya adalah pemberantasan korupsi. Pada tahun
2013, Pemerintah Cina telah memecat 17 pejabat seniornya (setingkat wakil menteri dan
wakil gubernur), melakukan investigasi 197.000 kasus korupsi,dan telah menjatuhkan
hukuman pada 182.000 Pegawai Negeri Sipil di negara tersebut (Pei, 2014).
Sementara itu, negara asia lainnya yaitu Indonesia,juga mempunyai
pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, akan tetapi masih mempunyai skor CPI yang
cukup rendah dan menduduki peringkat ke 114 dibawah Cina. Selama tahun 2004 -
2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan terhadap tindak
pidana korupsi sebanyak 604 perkara, penyidikan 365 perkara, penuntutan 290 perkara,
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje) 246 perkara, dan eksekusi 260 perkara
(KPK, 2014).

Pengembangan Hipotesis
Luo (2005) menjelaskan bahwa task environment terdiri dari informasi,
sumberdaya eksternal atau kondisi-kondisi yang dapat memengaruhi pencapaian
strategi.Adanya konsentrasi kekuatan pada pemerintah dan pengawasan regulasi yang
lemah, memungkinkan agen pemerintah untuk mengintervensi kebijakan dan akses
terhadap sumber daya.Kondisi tersebut mengakibatkan adanya celah bagi para pelaku
dunia usaha untuk bekerjasama dengan agen pemerintah dalam upaya mencapai
keuntungan individu.
Institutional environment terdiri dari tiga elemen yaitu transparansi, keadilan
dan kompleksitas.Transparansi merupakan tingkat keterbukaan dan kemudahan dalam
memahami aturan-aturan yang berlaku. Luo berpendapat bahwa aturan yang ambigu
akan memberikan kesempatan kepada agen pemerintah untuk melakukan korupsi
dengan memanfaatkan kelemahan tersebut. Keadilan menjelaskan sebuah aturan dapat
ditegakkan dan diberlakukan secara adil dan tidak ada diskriminasi dalam
implementasinya.Sedangkan kompleksitas adalah sistem aturan dan lingkungan sosial
kultural yang sulit dimengerti, sehingga memicu seseorang untuk berbuat curang/korup
(Luo, 2005;Pillay dan Kluvers, 2014). Penjabaran diatas kemudian diturunkan dalam
hipotesis H1 dan H2 sebagai berikut:
H1 : Task environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi
H2 : Institutional environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi

Kultur Demokrasi
Penilaian tingkat korupsi antar negara berdasarkan riset empiris merupakan
sebuah tantangan yang berat karena definisi korupsi sulit untuk diseragamkan,
dipengaruhi oleh cultures yang berbeda, dan juga sulit untuk dideteksi karena sifatnya
tertutup (Pellegrini dan Gerlagh, 2008). Oleh karena itu penelitian ini membandingkan
persepsi responden pada kedua negara yang mempunyai latar belakang tingkat korupsi
yang cukup tinggi, namun memilikicultures yang berbeda.
Cina merupakan sebuah negara dengan sistem politik satu partai yaitu partai
komunis sehingga dalam indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist
Intelligence Unit (2007) digolongkan ke dalam kelompok authoritarian regimes,
sedangkan Indonesia yang terdiri dari multi-partai politik termasuk dalam kelompok
flawed democracies. Indeks tersebut disusun berdasarkan lima kategori yaitu proses
pemilihan dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintah, partisipasi politik, serta
kultur politik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa demokrasi dapat
mengurangi level korupsi di suatu negara (Hill, 2003; Chowdhury, 2004; Bohara dkk,
2004; Pellegrini dan Gerlagh, 2008), sedangkan Treisman (2000) membuktikan bahwa
level demokrasi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengurangi level
korupsi sebuah negara. Penjabaran diatas kemudian diturunkan dalam H3 sebagai
berikut:
H3 : Tingkat demokrasi mempunyai pengaruh terhadap persepsi tentang
korupsi antara Cina dan Indonesia

METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada government
employee dan public services yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana
akuntansi di College of Management Hebei University (HBU) dan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) dengan rincian distribusi seperti
pada tabel 1.
--------------------------------------Masukkan tabel 1 kira-kira disini--------------------------
Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah task environment dan
institutional environment sebagai variabel independen, sertadeterrent outcomes untuk
mengukur dampak terjadinya korupsi pada organisasi sektor publik.Model penelitian
tersebut dikembangkan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Luo (2005) dan
Pillay dan Kluvers (2014).
Kuesioner dikembangkan dari penelitian Pillay dan Kluvers (2014) dan
diterjemahkan ke dalam Bahasa Cina dan Indonesia serta telah ditelaah oleh ahli bahasa
Cina dan Indonesia untuk menghindari bias yang terjadi karena perbedaan bahasa.Task
environmentdijelaskan dengan 7 item pertanyaan, institutional environment dengan 8
item pertanyaan dan deterrent outcomes dengan 2 pertanyaan.Semua item pertanyaan
diukur dengan menggunakan skala likert, skor 1 diberikan untuk menilai jawaban
sangat tidak setuju, dan skor 5 untuk jawaban sangat setuju.

Uji Validitas dan Reliabilitas


Uji validitas dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Pearson Product
Moment. Pada tabel 2 ditunjukkan hasil pengujian validitas variabel task environment,
institutional environment dan deterrent outcome yang mempunyai nilai r hitung lebih
besar dari r tabel ( 0,126) sehingga keseluruhan item pertanyaan dinyatakan valid.
--------------------------------------Masukkan tabel 4 kira-kira disini--------------------------
-----------
Sedangkan pada tabel 3 menunjukkan hasil uji reliabilitas dari ketiga variabel
tersebut. Nilai Cronbach’s Alpha > 0,60 untuk masing-masing variabel penelitian. Hal
ini berarti bahwa variabel dalam penelitian ini reliabel.
--------------------------------------Masukkan tabel 3 kira-kira disini--------------------------
-----------

Pengujian Hipotesis pertama (H1) dan kedua (H2)


Pengujian H1 dan H2 menggunakan uji regresi linier berganda, setelah melalui
uji asumsi klasik, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel task environment
dan institutional environmentterhadap variabel dependen deterrent outcome.Hasil uji
regresi linier berganda dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini.
--------------------------------------Masukkan tabel 4 kira-kira disini--------------------------
Hasil pengujian regresi linier berganda pada tabel 5 diperoleh nilai Adjusted R
Square sebesar 0,535. Hal tersebut menunjukkan bahwa variasi perubahan pada variabel
deterrent outcome dipengaruhi oleh variabel independen yaitu variabel task
environment dan institutional environment sebesar 53,5%. Sedangkan 46,5% lainnya
dipengaruhi oleh variabel lainnya diluar penelitian ini.
--------------------------------------Masukkan tabel 5 kira-kira disini--------------------------
Berdasarkan hasil uji t yang ditunjukkan pada tabel 4, nilai t hitung untuk
variabel task environmentsebesar 2,246 > t tabel 1,653 dan nilai signifikansinya adalah
0,026< α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan hipotesis pertama (H1) yang menyatakan
task environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi berhasil terdukung secara
statistik.
Sedangkan, untuk variabel institutional environment nilai t hitung sebesar
6,492 > t tabel 1,653 dan nilai signifikansinya 0,000 < α = 0,05, sehingga hipotesis
kedua (H2) yang menyatakan institutional environment berpengaruh terhadap terjadinya
korupsi berhasil terdukung secara statistik.

Pengujian Hipotesis Ketiga (H3)


Pengujian hipotesis ketiga menggunakan Analysis of Variance (ANOVA),
untuk membedakan persepsi responden terhadap faktor yang memengaruhi terjadinya
korupsi yaitu task environment dan institutional environment serta variabel
dependennya yaitu deterrent outcome pada kedua Negara dengan kultur demokrasi yang
berbeda yaitu Cina dan Indonesia.
--------------------------------------Masukkan tabel 6 kira-kira disini--------------------------
Uji Homogeneity of Variances pada tabel 6 menunjukkan p-value> 0,05 yang
berarti bahwa varian dari kedua kelompok adalah sama, sehingga uji ANOVA dapat
digunakan untuk menguji hubungan ini. Pada tabel 7 dibawah ini menunjukkan hasil uji
ANOVA, p-value dari ketiga variabel tersebut menunjukkan p-value> 0,05. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan persepsi responden di kedua negara
tersebut, sehingga hipotesis ketiga (H3) tidak berhasil terdukung secara statistik.
--------------------------------------Masukkan tabel 7 kira-kira disini--------------------------

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Statistik Deskriptif
Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 171
responden (89 dari Cina dan 82 dari Indonesia) dengan demografi sebagai berikut,
berdasarkan jenis kelamin 42 % pria dan 57% wanita (tabel 8). Sedangkan pada tabel 9
menunjukkan komposisi responden berdasarkan hirarki pekerjaan. Data menunjukkan
sebagian besar responden berada pada manajemen tingkat bawah sebanyak 63,7%,
tingkat menengah 24%, sedangkan tingkat atas dan lainnya adalah 4,1% dan 8,2%
secara berurutan.
Pada tabel 10 dijelaskan bahwa responden mempersepsikan Penghilangan Aset
merupakan tipe kecurangan yang umum terjadi pada organisasi sektor publik di kedua
negara tersebut (Cina 47,2% dan Indonesia 31,7%). Temuan ini memperkuat hasil
survei yang pernah dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers (2011) pada organisasi
sektor publik di negara-negara di dunia. Tipe korupsi yang paling sering terjadi
berdasarkan riset tersebut adalah penghilangan aset, kecurangan akuntansi dan
penyuapan.
Penyuapan juga merupakan tipe kecurangan yang dipersepsikan responden
sering terjadi di Cina dengan angka 37,1% . Luo (2002) menjelaskan bahwa terjadinya
korupsi di Asia berakar dari adanya budaya saling menukar bingkisan (gift-giving
culture) sebagai simbol untuk menjalin dan menjaga terwujudnya hubungan antar
personal yang baik dalam dunia bisnis. Budaya tersebut di Cina dikenal dengan
namaGuanxi, wa di Jepang dan inhwadi Korea. Akan tetapi dalam perkembangannya
terjadi pergeseran nilai (norm deviated) dalam praktik di dunia bisnis, pemberian
bingkisan antar personal ditujukan untuk kepentingan bisnis yang berorientasi jangka
pendek dan terciptanya kemudahan bisnis yang tidak melalui prosedur yang benar serta
melanggar hukum.
Responden di Indonesia 28 % mempersepsikan penyuapan sebagai hal yang
umum terjadi dalam organisasi sektor publik, sedangkan 31,7% berpendapat bahwa
kecurangan akuntansi merupakan bentuk korupsi yang sering terjadi. Hasil tersebut
mengindikasikan korupsi yang terjadi di Cina dan Indonesia mempunyai pola “Big
Three” yang hampir sama, yaitu Penggelapan Aset, Kecurangan Akuntansi dan
Penyuapan (Pricewaterhouse Coopers, 2011).

Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan terjadinya korupsi pada organisasi
sektor publik dengan menggunakan Teori Institusi yang menjelaskan faktor lingkungan
(task environment dan institutional environment) mendasari terjadinya
korupsi.Hipotesis pertama (H1) dalam penelitian ini menyatakan bahwa task
environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi berhasil terdukung secara
statistik.Nilai t hitung untuk variabel task environment sebesar 2,246 > t tabel 1,653
dan nilai signifikansinya adalah 0,026 < α = 0,05 (tabel 4).
Sedangkan hipotesis kedua (H2) yang menyatakan bahwa institutional
environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi berhasil terdukung secara
statistik.Pada tabel 4 terlihatnilai t hitung sebesar 6,492 > t tabel 1,653 dan nilai
signifikansinya 0,000 < α = 0,05. Hasil ini memberikan bukti empiris terhadap model
institusional yang dikemukakan oleh Luo (2005) dan dikembangkan oleh Pillay dan
Kluvers (2014) dengan mengambil latar belakang studi komparasi antar negara dengan
tingkat korupsi yang relatif tinggi.Task Environment seperti kontrol terhadap regulasi,
ketidakpastian struktur, pemusatan kekuatan pada kelompok tertentu dan Institutional
Environment seperti transparansi, keadilan, kompleksitas institusi dapat memengaruhi
terjadinya korupsi dalam konteks organisasi sektor publik.
Penelitian menambah kontribusi empiris dalam studi tentang korupsi dalam
lingkup organisasi dengan menguji validitas dan reliabilitas instrument pengukuran
untuk variabel task environment dan institutional environment yang dikembangkan oleh
Pillay dan Kluvers (2014), serta menguji hubungan variabel independen tersebut dengan
variabel deterrent outcome untuk mengukur dampak terjadinya korupsi pada institusi
sektor publik.
Pada tabel 7, p-value uji ANOVA dari variabel task environment, institutional
environment dandeterrent outcomemenunjukkan p-value> 0,05. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan persepsi responden di kedua negara
tersebut, sehingga hipotesis ketiga (H3)yang menyatakan bahwa tingkat demokrasi
mempunyai pengaruh terhadap persepsi tentang korupsi antara Cina dan
Indonesiatidak berhasil terdukung secara statistik.
Hal ini kemungkinan disebabkandesain organisasi yang baik dengan
mengoptimalkan task environment dan institutional environment dapat mengurangi
terjadinya korupsi pada level organisasional, sedangkan variabel kultur demokrasi yaitu
demokrasi (Indonesia) dan non demokrasi/sentralistik (Cina) tidak berpengaruh
terhadap terjadinya korupsi dalam level organisasional. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Treisman (2000) yang membuktikan bahwa demokrasi
tidak berpengaruh terhadap level korupsi yang terjadi di sebuah negara.

KESIMPULAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN


Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Teori institutional dapat menjelaskan terjadinya korupsi pada level organisasi, yaitu
dengan memberikan bukti secara empiris bahwa faktor lingkungan (task environment
dan institutional environment) memengaruhi terjadinya korupsi dalam organisasi
sektor publik;
2. Kultur demokrasi tidak berpengaruh terhadap terjadinya korupsi dalam sudut
pandang organisasional;
3. Keterbatasan penelitian ini adalah responden penelitian yang tidak mewakili
government employee dan public services pada tiap-tiap departemen/dinas. Saran
untuk penelitian selanjutnya adalah menambah sampel penelitian dengan melibatkan
responden dari tiap provinsi dan lintas departemen/dinas sehingga akan menambah
tingkat generalisasi hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Alexeev, M., dan Habodaszova, L. 2012. Fiscal Decentralization, Corrruption and The
Shadow Economy. Public Finance and Management, Vol 12, No.1, 74-99.
Bohara, AK., Mitchell, NJ., dan Mittendorff, CF. 2004. Compound Democracy and the
Control of Corruption : A cross-country Investigation. Policy Studies Journal,
32 (4), 481-499.
Chowdhury, SK. 2004. The Effect of Democracy and Press Freedom on Corruption :
An Empirical Test. Economics Letters, 85 (1), 93-101.
Eisenhardt, K.M. 1988. The Case of Retail Sales Compensation.The Academy of
Management Journal, Vol. 31, No. 3, 488-511.
Goel, R.K., dan Nelson, M.A. 2005. Economic Freedom Versus Political Freedom :
Cross Country Influences on Corruption.Australian Economic
Papers.University of Adelaide and Flinders University.
Hill, KQ. 2003. Democratization and Corruption : Systematic Evidence from the
American States. American Politics Research, 31 (6), 613-631.
Kekic, L. 2007. The Economist Intelligence Unit’s Index of Democracy.
www.economist.com.
Komisi Pemberantasan Korupsi. 2014. Tabulasi Data Penanganan Korupsi Tahun 2004-
2014.http : acch.kpk.go.id.
Lecuna, A. 2012.Corruption and Size of Decentralization.Journal of Applied Economics,
Vol XV, No.1,139-168.
Luo, Y. 2002. Corruption and Organization in Asian Management Systems.Asia Pacific
Journal of Management, 19, 405-422.
Pei, M. 2014. How Xi Jinping Can Sustain His Anti-Corruption Drive.
www.chinausfocus.com/political-social-development.
Pellegrini, L., dan Gerlagh, R. 2008. Causes of Corruption : a Survey of Cros- Country
Analyses and Extended Results. Economics of Governance, 9, 245-263.
Pillay, S., dan Kluvers, R. 2014.An Institutional Theory Perspective on Corruption :
The Case of a Developing Democracy. Financial Accountability and
Management 30(1) :95-119.
Pricewaterhouse Coopers. 2011. Fighting Fraud in Government. www.psrc.pwc.com.

Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001


Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Transparency International. 2013. Corruption Perceptions Index 2013.
Treisman, D. 2000. The Causes of Corruption : A Cross-national Study. Journal of
Public Economics, 76, 3, 399-457.
LAMPIRAN
Tabel 1. Distribusi kuesioner
Kuesioner Kuesioner Kuesioner Respond Rate
Disebarkan tidak lengkap diolah
Indonesia 90 8 82 91,12%
(UNSOED)
Cina 120 31 89 74,17%
(HBU)
210 39 171 81,42%

Tabel 2. Uji Validitas


Variabel Task Environment
Item r hitung r tabel keterangan
1 0,339 0,126 Valid
2 0,493 0,126 Valid
3 0,611 0,126 Valid
4 0,485 0,126 Valid
5 0,593 0,126 Valid
6 0,636 0,126 Valid
7 0,565 0,126 Valid

Variabel Institutional Environment


Item r hitung r tabel keterangan
1 0,360 0,126 Valid
2 0,522 0,126 Valid
3 0,660 0,126 Valid
4 0,657 0,126 Valid
5 0,656 0,126 Valid
6 0,577 0,126 Valid
7 0,576 0,126 Valid
8 0,530 0,126 Valid

Variabel Deterrent Outcome


Item r hitung r tabel keterangan
1 0,905 0,126 Valid
2 0,896 0,126 Valid

Tabel 3. Uji Reliabilitas


Variabel Nilai Cronbach’s Alpha Keterangan
Task Environment 0,659 Reliabel
Institutional Environment 0,709 Reliabel
Deterrent Outcome 0,767 Reliabel
Tabel 4. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Variabel Koefisien t hitung t tabel Signifikansi F hitung F tabel
Task 0,193 2,246 1,653 0,026 98,782 3,05
Environment
Institutional 0,573 6,492 1,653 0,000 98,782 3,05
Environment

Tabel 5. Hasil Analisis Koefisien Determinasi


Model R R Square Adjusted R Square
1 0,735 0,540 0,535

Tabel 6. Uji Homogeneity of Variances


Variable Levene Statistic Sign
Task Environment 0,126 0,723
Institutional Environment 0,146 0,703
Deterrent Outcome 0,102 0,749

Tabel 7. Uji ANOVA


Variabel Nilai F Sign
Task Environment 0,000 0,992
Institutional Environment 0,327 0,568
Deterrent Outcome 1,145 0,286

Tabel 8. Jenis Kelamin Responden


Jenis Kelamin Jumlah Prosentase
Pria 72 42,1%
Wanita 99 57,9%

Tabel 9. Hirarki Pekerjaan


Hierarki Pekerjaan Persentase
Bawah 63,7%
Menengah 24%
Atas 4,1%
Lainnya 8,2%
Tabel 10. Tipe Kecurangan
Cina Indonesia
Penghilangan Aset 47,2% 32,9%
Kecurangan Pajak 11,2% 7,3%
Kecurangan Akuntansi 4,5% 31,7%
Penyuapan 37,1% 28%
Pencucian Uang - -

You might also like