Professional Documents
Culture Documents
Abstract
Most research on corruption examine macro factors such
decentralization, political democracy,press freedom,economics freedom
(Lecuna, 2012; Alexeef and Habodazzova, 2012; Goel and Nelson, 2005),
however organizational approach study on corruption is limited. The main
purpose of this paper to investigates institutional theory explaining
corruption behavior within Asian public sector organizations.
A total of 171 questionnaires were distributed to public services and
government employees who were being accounting postgraduate students in
China and Indonesia. Hypotheses testing using multiple regressions analysis
to determine influence task environment and institutional environment toward
corruption. ANOVA is used to examine differences of perceptions of
corruption between respondentsin both of countries.
The results discussed in this paper support institutional theoretical
model for developing corruption in public sector organizations. Task
environment and institutional environment toward corruption influenced
significantly p-value 0,026 and 0,000, respectively, α = 0,05. However, a
difference culture of democracy was not influence on respondent’s perception
concerning corruptions in both of countries.
1
Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman/ Mahasiswa Program
Doktor Hebei University, Cina (yudha_aryos@yahoo.com)
2
Profesor Keuangan Publik Hebei University, Cina
3
Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman/ Mahasiswa Program
Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Indonesia (cukycutes@yahoo.com)
PENDAHULUAN
Asia merupakan wilayah yang potensial untuk dilakukan penelitian berkaitan
dengan isu-isu di bidang korupsi (Luo, 2002).Transparency International (2013)
menunjukkan tingkat korupsi pada organisasi sektor publik dengan
menggunakanCorruption Perceptions Index (CPI) untuk 34 negara di Asia, hanya
Singapura, Hongkong SAR dan Jepang yang mempunyai nilai cukup tinggi secara
berurutan yaitu 86, 75 dan 74. Sedangkan, Uni Emirat Arab, Qatar, Buthan, Taiwan,
Brunei, Korea Selatan dan Malaysia mempunyai skor antara 50 sampai dengan 70.
Negara sisanya mempunyai skor dibawah 50, yang mengindikasikan adanya korupsi
dengan tingkatan yang serius.
Penelitian pada bidang korupsi selama ini lebih menekankan pada pengujian
faktor-faktor makro seperti desentralisasi, demokrasi politik, kebebasan media,
kebebasan ekonomi serta desentralisasi fiskal (Lecuna, 2012; Alexeef dan Habodazzova,
2012; Goel dan Nelson, 2005).Sedangkan untuk penelitian yang menguji hubungan
korupsi pada konteks organisasional masih sangat terbatas (Luo, 2002; Pillay dan
Kluvers, 2014).
Luo (2005) menjelaskan bahwa pendekatan organisasional terkait korupsi
merupakan hal yang penting dengan beberapa alasan yaitu pertama, sebuah organisasi
merupakan unit dasar terjadinya praktik korupsi.Kedua, organisasi bertanggung jawab
untuk mengetahui penyebab sulitnya memberantas korupsi pada organisasi
tersebut.Ketiga, organisasi merupakan jendela untuk melihat tingkat korupsi pada
sebuah negara. Keempat, mengetahui dampak terjadinya korupsi pada level organisasi
merupakan hal yang penting. Korupsi akan menghambat kinerja organisasi dan
menambah kos yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.
The Global Economic Crime Survey tahun 2011 yang dilakukan oleh
Pricewaterhouse Coopers menunjukkan bahwa penyalahgunaan aset, kecurangan
akuntansi, suap dan korupsi merupakan bentuk kecurangan yang sering terjadi pada
organisasi sektor publik.Penelitian ini bertujuan untuk menambah bukti empiris
terjadinya korupsi pada organisasi sektor publik dengan pendekatan
organisasional/institusional.Pendekatan pada penelitian ini mengacu pada model
institusional yang digunakan oleh Eisenhardt (1988), yang kemudian dikembangkan
oleh Luo (2005) menjadi sebuah model institusional yang dapat menjelaskan terjadinya
korupsi.
Model institusional menjelaskan bahwa terjadinya korupsi pada level
organisasi sektor publik disebabkan oleh task environment yang tidak mendukung
seperti pemahaman dan implementasi peraturan yang lemah, tidak adanya komitmen
yang kuat dari pemimpin untuk memberantas praktik korupsi; serta institusional
environment yang tidak transparan dan mempunyai sistem administrasi yang kompleks
(Luo, 2005; Pillay dan Kluvers, 2014).
Pillay dan Kluvers (2014) telah menggambarkan terjadinya korupsi pada
organisasi sektor publik dengan obyek penelitian di negara berkembang yang menganut
asas demokrasi yaitu Afrika Selatan.Penelitian tersebut hendak menguji kesesuaian
model institutional yang dikembangkan oleh Luo (2005) untuk menggambarkan
bagaimana terjadinya korupsi pada tingkat organisasional.
Berdasarkan CPI 2013 yang dikeluarkan oleh Transparency International,
Cina mempunyai skor 39, lebih tinggi daripada Indonesia dengan skor 32. Kedua
Negara tersebut masih termasuk dalam lingkup yang sama, atau tingkat korupsi yang
cukup tinggi. Pada kondisi kedua negara yang mempunyai tingkat korupsi cukup tinggi,
penelitian ini juga mempertimbangkan cultures dalam memengaruhi terjadinya korupsi.
Penelitian yang dilakukan oleh Treisman (2000) dan Pellegrini dan Gerlagh (2008)
menjelaskan terjadinya korupsi di berbagai negara dengan cultures sebagai variabel
independennya.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan terjadinya korupsi
pada organisasi sektor publik dengan pendekatan organizational, sedangkan tujuan
khususnya adalah untuk mengetahui apakah variabel task environment dan institusional
environment mempunyai pengaruh terhadap terjadinya korupsi, serta pengaruh variabel
kultur demokrasi dalam memengaruhi persepsi mengenai korupsi di Cina dan Indonesia.
Pengembangan Hipotesis
Luo (2005) menjelaskan bahwa task environment terdiri dari informasi,
sumberdaya eksternal atau kondisi-kondisi yang dapat memengaruhi pencapaian
strategi.Adanya konsentrasi kekuatan pada pemerintah dan pengawasan regulasi yang
lemah, memungkinkan agen pemerintah untuk mengintervensi kebijakan dan akses
terhadap sumber daya.Kondisi tersebut mengakibatkan adanya celah bagi para pelaku
dunia usaha untuk bekerjasama dengan agen pemerintah dalam upaya mencapai
keuntungan individu.
Institutional environment terdiri dari tiga elemen yaitu transparansi, keadilan
dan kompleksitas.Transparansi merupakan tingkat keterbukaan dan kemudahan dalam
memahami aturan-aturan yang berlaku. Luo berpendapat bahwa aturan yang ambigu
akan memberikan kesempatan kepada agen pemerintah untuk melakukan korupsi
dengan memanfaatkan kelemahan tersebut. Keadilan menjelaskan sebuah aturan dapat
ditegakkan dan diberlakukan secara adil dan tidak ada diskriminasi dalam
implementasinya.Sedangkan kompleksitas adalah sistem aturan dan lingkungan sosial
kultural yang sulit dimengerti, sehingga memicu seseorang untuk berbuat curang/korup
(Luo, 2005;Pillay dan Kluvers, 2014). Penjabaran diatas kemudian diturunkan dalam
hipotesis H1 dan H2 sebagai berikut:
H1 : Task environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi
H2 : Institutional environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi
Kultur Demokrasi
Penilaian tingkat korupsi antar negara berdasarkan riset empiris merupakan
sebuah tantangan yang berat karena definisi korupsi sulit untuk diseragamkan,
dipengaruhi oleh cultures yang berbeda, dan juga sulit untuk dideteksi karena sifatnya
tertutup (Pellegrini dan Gerlagh, 2008). Oleh karena itu penelitian ini membandingkan
persepsi responden pada kedua negara yang mempunyai latar belakang tingkat korupsi
yang cukup tinggi, namun memilikicultures yang berbeda.
Cina merupakan sebuah negara dengan sistem politik satu partai yaitu partai
komunis sehingga dalam indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist
Intelligence Unit (2007) digolongkan ke dalam kelompok authoritarian regimes,
sedangkan Indonesia yang terdiri dari multi-partai politik termasuk dalam kelompok
flawed democracies. Indeks tersebut disusun berdasarkan lima kategori yaitu proses
pemilihan dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintah, partisipasi politik, serta
kultur politik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa demokrasi dapat
mengurangi level korupsi di suatu negara (Hill, 2003; Chowdhury, 2004; Bohara dkk,
2004; Pellegrini dan Gerlagh, 2008), sedangkan Treisman (2000) membuktikan bahwa
level demokrasi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengurangi level
korupsi sebuah negara. Penjabaran diatas kemudian diturunkan dalam H3 sebagai
berikut:
H3 : Tingkat demokrasi mempunyai pengaruh terhadap persepsi tentang
korupsi antara Cina dan Indonesia
METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada government
employee dan public services yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana
akuntansi di College of Management Hebei University (HBU) dan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) dengan rincian distribusi seperti
pada tabel 1.
--------------------------------------Masukkan tabel 1 kira-kira disini--------------------------
Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah task environment dan
institutional environment sebagai variabel independen, sertadeterrent outcomes untuk
mengukur dampak terjadinya korupsi pada organisasi sektor publik.Model penelitian
tersebut dikembangkan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Luo (2005) dan
Pillay dan Kluvers (2014).
Kuesioner dikembangkan dari penelitian Pillay dan Kluvers (2014) dan
diterjemahkan ke dalam Bahasa Cina dan Indonesia serta telah ditelaah oleh ahli bahasa
Cina dan Indonesia untuk menghindari bias yang terjadi karena perbedaan bahasa.Task
environmentdijelaskan dengan 7 item pertanyaan, institutional environment dengan 8
item pertanyaan dan deterrent outcomes dengan 2 pertanyaan.Semua item pertanyaan
diukur dengan menggunakan skala likert, skor 1 diberikan untuk menilai jawaban
sangat tidak setuju, dan skor 5 untuk jawaban sangat setuju.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan terjadinya korupsi pada organisasi
sektor publik dengan menggunakan Teori Institusi yang menjelaskan faktor lingkungan
(task environment dan institutional environment) mendasari terjadinya
korupsi.Hipotesis pertama (H1) dalam penelitian ini menyatakan bahwa task
environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi berhasil terdukung secara
statistik.Nilai t hitung untuk variabel task environment sebesar 2,246 > t tabel 1,653
dan nilai signifikansinya adalah 0,026 < α = 0,05 (tabel 4).
Sedangkan hipotesis kedua (H2) yang menyatakan bahwa institutional
environment berpengaruh terhadap terjadinya korupsi berhasil terdukung secara
statistik.Pada tabel 4 terlihatnilai t hitung sebesar 6,492 > t tabel 1,653 dan nilai
signifikansinya 0,000 < α = 0,05. Hasil ini memberikan bukti empiris terhadap model
institusional yang dikemukakan oleh Luo (2005) dan dikembangkan oleh Pillay dan
Kluvers (2014) dengan mengambil latar belakang studi komparasi antar negara dengan
tingkat korupsi yang relatif tinggi.Task Environment seperti kontrol terhadap regulasi,
ketidakpastian struktur, pemusatan kekuatan pada kelompok tertentu dan Institutional
Environment seperti transparansi, keadilan, kompleksitas institusi dapat memengaruhi
terjadinya korupsi dalam konteks organisasi sektor publik.
Penelitian menambah kontribusi empiris dalam studi tentang korupsi dalam
lingkup organisasi dengan menguji validitas dan reliabilitas instrument pengukuran
untuk variabel task environment dan institutional environment yang dikembangkan oleh
Pillay dan Kluvers (2014), serta menguji hubungan variabel independen tersebut dengan
variabel deterrent outcome untuk mengukur dampak terjadinya korupsi pada institusi
sektor publik.
Pada tabel 7, p-value uji ANOVA dari variabel task environment, institutional
environment dandeterrent outcomemenunjukkan p-value> 0,05. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan persepsi responden di kedua negara
tersebut, sehingga hipotesis ketiga (H3)yang menyatakan bahwa tingkat demokrasi
mempunyai pengaruh terhadap persepsi tentang korupsi antara Cina dan
Indonesiatidak berhasil terdukung secara statistik.
Hal ini kemungkinan disebabkandesain organisasi yang baik dengan
mengoptimalkan task environment dan institutional environment dapat mengurangi
terjadinya korupsi pada level organisasional, sedangkan variabel kultur demokrasi yaitu
demokrasi (Indonesia) dan non demokrasi/sentralistik (Cina) tidak berpengaruh
terhadap terjadinya korupsi dalam level organisasional. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Treisman (2000) yang membuktikan bahwa demokrasi
tidak berpengaruh terhadap level korupsi yang terjadi di sebuah negara.