You are on page 1of 123

Perempuan sebagai Korban dalam Kasus Kekerasan

dalam Rumah Tangga


(Studi terhadap Pengalaman Lima Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan)

Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Sosial (S.Sos) Pada Program Studi Sosiologi

Oleh: Retno

Setyowati

1113111000016

Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

2018
PPEE
RRNN
YYAA
T TAA
AANNBB
EEBB
ASA SPP
LLAA
GGIAIA
RIRSIM
SEME

SSkrkirpispisiyan
yagngbebrejurjduudl:ul:

PPEE
RREE
MMPU AN A
PU ANSSEEBBAA
GGAA
I IKK
OORB
RABN
ANDD
AALL
AAMMKK
AASUS SKK
SU EK
EEKREARSASNAN
DD
AALL
AAMMRR
UUMM
AH GA
AHTTAA
NNGG A
((SStutu
did iteterh adaadpapPPeenn
gaglaalm ananLL
im a aKK
orobrabnanKK n dalam Rumah Tangga
ekeekrearsan
rh am im an dalam Rumah Tangga
ddi iKKeecam
camataatnanPP
am
amulualnagn, g,TT
anagnegrearnagngSS
elealtaatna)n)

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
1. M erupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan basil karya asli
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan basil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Syarif Hidayatullah Jakarta.
J

Jakarta, 08 November 2017

Retno Setyowati
NIM: 1113111000016
NIM: 1113111000016

i
PERRSSEETTUUJJU
PE AN PE
UA PEMMBBIIM G SK
B ING
MB RRIP
SK IPSSII

DD
enegnagnaniniin, iP, ePmbibm
em bbininggSkSrkiprispisimm
im eneynaytaatkakaannbabhawa amm
hw ahaahsaisiw
swa:a:

NN
am
ama:aR
: eRtentonoSeSteytoyw
owataiti
NN
IM 0000000001166
I:M1: 11113113111
PrPorgorgarmamStSutduid:iS:oSsoiosiloolgoigi
TeTleahlahmm eneyneyleeleasikaaiknapnepneunlis
ulaisnansksrkiprispi sdiednegnagnanjujduudlu: l:
PE
PERR
EEMMPPUUAANN SESB
EBAAGGAA
I I KK
OORR
BBAA
NN DA
DLAAMM KK
LA AASUS S KE
SU KK EE
EK RR
AASS
AANN
DD
ALAALMAMRUM
RUM AA
HHTTAANNGGG
GAA
(S(tSutduidti etrehrahdaadpapPePnegnaglaalm
amaannLiLmim
a aKK
orobrabnanKek
Keekrearsaasanndadlalm
amRuRmahaT
um h aTnagnggaga
didK
i eKceacmatatnanPaPm
am ulualanngg, ,TaTnagnegrearannggSeSlaeltaatna)n)
am
DD
ananteltaehlahmm eneunhuihpiepresyrsayraatraantaunnutn
emem uktudkiduijui.ji.

JakaJrtaak,a0r8ta,N0o8veNmobveerro2~017:2.o\7

MM
enegnegtaehtauhi,ui, MM
eneyneytuejtuuij,ui,
KK
etueatuParPorgorgarmam
StSutduidi PePmebmim
bibminbgin, g,

- '

r. rC.uCcuucN
DD uNuruhrahyaaytia,tM
i, M
.S.iSi D
NN 3112222003333
IPI.P1. 917967069019812802003 9 911003322000022
NINPI.P1.91695605101515919
ra. Vinita Susanti, M.Si

ii ii
PENGESAHAN PENELITIAN UJIAN SKRIPSI
PENGESAHAN PENELITlAN UJIAN SKRIPSI

PEREMPUAN SEBAGAI KORBBA


PEREMPUAN SEBAGAI KORB A N DALLA
AN DAL AM
AMM KK ASUS KEKERASAN DALAM
KASUS KEKERASAN DALAM
RRUUM AH T
A
MA A
TAANNG
N G
GGGAA

(Stu(Sdtui dtiertherahdadaapp PePnegnagalalam


m aann LL
m imimaa KKoorrb
bb aann Kee kkeerarsaasnan ddaa
Ke d"l:anmRRum
umah ahTT
anagn
gagga
di di
KeKceacm
amaatttaaann PP
aammuulllang
ggg, , Taa nnggee
Ta rarnagng SSeelala
tatna)n)
hh
OOlleeh
Retno Settyyo
R e t n o S e oo waatiti

1 1113311110000000010616
1
1 00
aa hankan dalam sidang ujian skrip akkuultas Ilmu Sosial dan Il.nu Politik
TelaTheladhipdeirptacrhta nkan dalam sidang ujian skripp sii ddii FFa ltas Ilmu Sosia l dan Ilm u Politik
s e ka ta p 1
UniUvenrisvictarssitaIs laIsmlamNeNge grieriSySayraifrifHH ka rtta p ada tanggal 111 Januari 2018.
idiadyaaytautulllalahh JJaak ada tangga l 1 Janua ri 201 8.
Skripsi ini tclah diterima scbagai salah satu syarat m meem
mpcrolch gclar Sarjana Sosial
Skripsi in i telah diterima sebagai salah satu syarat peroleh gelar Sarjana Sosial
(S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
(S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Ketua,
Dr. CK
uceutuNau, rhayati, M.Si Sekretaris,
Dr. Cucu Nurhayati, M.S i Dr. Joharotul Jamilah, M.Si

NIP. 197609181003122033 NIP. 1968


NIP. 197609182003122033 NIP. 196808161997032002
Penguji I, Penguji U,
Ora. PIdeangRuojsiidIa, h, MA ngouyijbi aIhI,, ~1. si., M.A
DzuriyatuPneT

v
Dra. Ida Rosyidah, M.A Dzuriyatun Thoyibah, M.Si., M.A

NIP. 197608032003122003
nenuhi syarat kelulusan pada tanggal 13 April 2017.
dinyatakan mer Ketua Program Studi SosiologN
NIP. 196306161990032002 i IP. 197608032003122003
Diterima dan dinyatakan memenuhiFsISyIaPr aUIN
t kelJAKARTAulusangal 13 April 2017.
Ketua Progpada tang
FISIP ram Studi Sosiologi
UIN JAKARTA

Dr. Cu u Nurhayati, M .Si


NIP. !97609182003122033
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122033

iii

3
ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji tentang „Perempuan Sebagai Korban Kekerasan dalam
Rumah Tangga (Studi terhadapp Lima Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan).‟ Penelitian feminis ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui mengapa perempuan selalu menjadi korban pada
kasus kekerasan dalam rumah tangga serta mengetahui faktor pendukung adanya
kekerasan tersebut.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
teknik wawancara dan studi kepustakaan. Subjek pada penelitian ini adalah lima
orang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Proses analisis data
dilakukan dengan menggunakan pengklasifikasian bentuk-bentuk kekerasan
dalam rumah tangga menurut Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah dan Kristi
Poerwandari untuk melihat bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan temuan dan hasil analisis, didapatkan bahwa bentuk-bentuk


kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis,
bahasa, seksual, ekonomi, dan spiritual. Selain itu dibahas pula faktor pendorong
(budaya patriarki dan interpretasi agama yang bisa) dan faktor pemicu
(perselingkuhan suami, keterbatasan ekonomi, stereotip, dan campur tangan pihak
ketiga). Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi akan melahirkan dampak-
dampak, seperti dampak pada kesehatan mental, kesehatan reproduksi, dan pada
ekonomi.

Kata Kunci: Kekerasan dalam Rumah Tangga: Bentuk-bentuk, Faktor, dan


Dampak.

4
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Subhanau Wa Ta‟ala dan Nabi besar kita,
Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam yang sudah memberikan nikmat dan
karunia sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini. Puji dan syukur
penulis panjatkan karena melancarkan segala urusan penulis terkait dalam
penulisan skripsi ini. Kendala dan hambatan yang penulis dapatkan dalam
merampungkan tugas akhir skripsi ini yang datang dari pihak luar maupun pihak
dalam berhasil penulis kesampingkan berkat adanya semangat dan doa dari orang-
orang terdekat yang selalu memberikan support hingga akhirnya tulisan ini
selesai. Oleh sebab itu, dikesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si, selaku Ketua Prodi Sosiologi yang telah
memberi saran dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku Sekertaris Prodi Sosiologi yang telah
membantu dan melancarkan skripsi ini.
4. Dra. Vinita Susanti, M.Si, sebagai dosen pembimbing yang selalu
memberikan arahan, waktu, dan ilmunya dalam membimbing penulis. Serta
semangat yang dia berikan hingga selesainya tulisan ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Program Studi Sosiologi,
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dan pembelajaran yang
sangat berharga selama kurang lebih empat tahun.
6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Suyadi dan Ibunda Sumarni yang tidak
pernah kenal lelah dalam memberikan semangat, nasihat agar penulis tidak
bermalas-malasan, kerja keras, serta doanya ketika penulis sedang
menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula untuk kedua adik penulis, yaitu

5
Arif Furqoon dan Putra Hilmi Nurrahman yang telah menghibur ketika
penulis merasa kekurangan semangat. Skripsi ini untuk kalian.
7. Seluruh pengurus dan petugas Kepolisian Sektor (KAPOLSEK) Pamulang,
Tangerang Selatan yang telah membantu penulis dalam memperoleh data
yang akurat seputar jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga pada
kurun waktu tahun 2016 hingga 2017 awal.
8. Herlina Mustikasari, S.Pd, MA selaku Ketua Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) beserta Bapak Muhamad
Rizki Firdaus, S.H selaku Konselor Hukum, dan Ibu Nur Wal Jiniyana, S.
Pd selaku Pengurus P2TP2A karena telah memberikan izin kepada penulis
untuk melakukan penelitian.
9. Seluruh informan yang telah bersedia untuk diwawancarai dan berbagi
pengalaman kepada penulis, yaitu Ibu S, Ibu LY, Ibu M, Ibu TST, dan Ibu
A. Terima kasih karena telah memberikan penulis data yang lengkap dan
pembelajaran melalui cerita-cerita yang tidak sungkan untuk dibeberkan
kepada penulis demi kepentingan data dalam skripsi ini.
10. Bidadari surga, teman semasa SMP, SMA, bahkan hingga bangku
perkuliahan ini, yaitu Dhiafah Rahmawati yang telah banyak sekali
membantu penulis ketika sebelum turun ke lapangan, saat turun lapangan,
bahkan setelah selesai turun lapangan. Terima kasih untuk waktu, tenaga,
dan idenya selama ini.
11. Teman yang merangkap menjadi dosen pembimbing kedua penulis, yaitu
Tino Pratama yang telah memberikan arahan, masukan, nasihat, semangat,
dan bimbingannya (yang lebih banyak ngerumpinya haha) yang tiada henti.
Terima kasih sekali lagi penulis ucapkan.
12. Kalian yang tergabung dalam grup Park Shin Hye yang isinya manusia-
manusia konyol, Siti Zahara Putri, Novilia Anggraeni, dan Hima Hafiya
Fitri. Berkat kalian, penulis tidak merasakan stres selama proses
penyelesaian skripsi ini walaupun ketika bertemu yang dibicarakan tidak
jauh seputar skripsi dan KKN (obrolan ini yang sebenarnya membuat

6
penulis semakin stres haha). Terima kasih pula karena kalian tidak jarang
untuk membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi ini.
13. Keluarga Sosiologi A 2013 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
terima kasih untuk rasa kebersamaannya, dukungan, dan pembelajarannya
selama empat tahun ke belakang.
14. Teman seperjuangan semasa SMP dan SMA yang kalian tidak ketahui
namanya akan ditulis, yaitu Sri Yuningsih, Shabrina Khansa, Diena
Adyanthy, Dian Harianti, Farhana Awaliyah Daufayanti, Putri Fauziyah
Yuniyanti, Rayditya Maulana Yusuf (Yudit), yang telah memberikan
informasi seputar keberadaan korban kekerasan dalam rumah tangga di
Wilayah Pamulang, Tangerang Selatan.
15. Terakhir, terima kasih kepada kalian yang telah memberikan semangat serta
doa tiada henti yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Maka dari
itu, penulis membuka kritik, saran, serta masukannya dari beberapa pihak.
Demikian ucapan terima kasih penulis sampaikan, semoga segala bantuan dan
kebaikan kalian mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu Wa Ta‟ala. Semoga
skripsi ini akan bermanfaat untuk kemudian hari.

Tangerang, 08 November 2017

Penulis,

Retno Setyowati
NIM. 1113111000016

vii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................... i


PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...................................................... ii
PENGESAHAN PENELITIAN UJIAN SKRIPSI ............................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah ....................................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian..................................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka............................................................................................ 8
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual .............................................................. 13
F. Kerangka Pemikiran .................................................................................... 20
G. Metodologi Penelitian.................................................................................. 20
H. Sistematika Penulisan .................................................................................. 29
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN................................. 30
A. Letak Geografis dan Demografis Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan .
.............................................................................................................. 30
B. Kondisi Sosial dan Ekonomi Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan.... 32
C. Isu Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kecamatan Pamulang, Tangerang
Selatan.......................................................................................................... 35
D. Budaya Patriarki dalam Keluarga di Kecamatan Pamulang, Tangerang
Selatan.......................................................................................................... 40
E. Profil Informan ............................................................................................ 42
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS ................................................................ 51
A. Faktor-Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kecamatan Pamulang,
Tangerang Selatan ....................................................................................... 51
1. Faktor Pendorong ............................................................................... 51

88
8
2. Faktor Pemicu .................................................................................... 58
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kecamatan Pamulang,
Tangerang Selatan ....................................................................................... 70
1. Kekerasan Fisik .................................................................................. 70
2. Kekerasan Psikis ................................................................................ 74
3. Kekerasan Bahasa .............................................................................. 76
4. Kekerasan Seksual.............................................................................. 77
5. Kekerasan Ekonomi ........................................................................... 79
6. Kekerasan Spiritual ............................................................................ 83
C. Dampak Adanya Kekerasan dalam Rumah Tangga .................................... 84
1. Dampak terhadap Kesehatan Mental.................................................. 84
2. Dampak terhadap Kesehatan Reproduksi .......................................... 86
3. Dampak terhadap Ekonomi ................................................................ 87
D. Perempuan sebagai Objek Kekerasan dalam Rumah Tangga ..................... 88
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 89
A. Kesimpulan .................................................................................................. 89
B. Saran ............................................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 92
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. xii

9
DAFTAR TABEL
Tabel I.A.1. Data Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Jakarta,
Tangerang, dan Bogor Tahun 1997-2011……………………………………...4

Tabel I.A.2. Data Kekerasan dalam Rumah Tangga di Tangerang Selatan Tahun
2012-2015........................................................................................................... 5
Tabel I.D.3. Matriks Tinjauan Pustaka ................................................................. 11
Tabel I.G.4. Sumber Data Penelitian dan Metode Penelitian ............................... 11
Tabel II.A.5. Daftar Kelurahan di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan
Tahun 2016 ....................................................................................................... 30
Tabel II.A.6. Tabel Rasio Jenis Kelamin di Kecamatan Pamulang Tahun 2016 ......
.............................................................................................................. 32
Tabel II.B.7. Rumah Tangga Miskin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2014 .... 33
Tabel II.B.8. Penduduk Menurut Keyakinan Agama di Kecamatan Pamulang
Tahun 2014 ....................................................................................................... 35
Tabel II.C.9. Data Korban yang Melapor ke Polri Daerah Metro Jaya Resort
Tangerang Selatan Sektor Pamulang Tahun 2016-2017 .................................. 39
Tabel II.E.10. Daftar Ringkasan Korban beserta Jenis Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang Diterima ...................................................................................... 50

1
0
DAFTAR GAMBAR

Gambar I.F.1 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 20


Gambar III.D.2 Skema Perempuan sebagai Objek Kekerasan dalam Rumah
tangga .............................................................................................................. 88

1
1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah
Kekerasan dalam ranah rumah tangga merupakan permasalahan yang cukup

krusial dan sudah ada sejak dahulu. Dibanyak pemberitaan media cetak

maupun media online, tindak kekerasan dalam rumah tangga banyak dialami

oleh perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku (dalam

www.cnnindonesia.com, 2016). Hal ini terlihat jelas bahwa perempuan

memiliki sifat feminin dan lemah lembut yang dimiliki perempuan sering

diintimidasi oleh laki-laki yang cenderung memiliki sifat yang kuat.

Menurut Rochmat Wahab (2006: 2), terdapat dua faktor mengapa

perempuan mengalami suatu tindak kekerasan, yaitu secara internal, lemahnya

adaptasi setiap anggota keluarga sehingga ada yang memiliki kekuasaan dan

kekuatan dan mengeksploitasi anggota keluarga yang lemah. Sedangkan secara

eksternal, adanya campur tangan dari pihak luar yang dapat mempengaruhi

sikap anggota keluarga yang biasanya, ditunjukan dengan eksploitasi dalam

pemberian hukuman fisik maupun psikis.

Adanya dominasi peran laki-laki merupakan akar permasalahan yang terjadi

pada kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan guna mempertahankan

ego terhadap suatu permasalahan, bahkan sering dilakukan sebagai bentuk dari

dominasi tersebut. Dominasi peran laki-laki ini biasa dikenal dengan istilah

patriarki. Secara etimologis, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di mana

1
pihak laki-laki menguasai seluruh anggota keluarga, harta, sumber-sumber

ekonomi, serta membuat keputusan penting (Retnowulandari, 2010: 27). Laki-

laki dinilai memiliki kedudukan yang tinggi dari perempuan yang dipercayai

berdasarkan sistem sosial, budaya, dan keagamaan. Sehingga, perempuan

adalah harta milik laki-laki yang harus dikuasai (Retnowulandari, 2010: 27).

Selain budaya patriarki, pemahaman agama yang keliru juga menjadi salah

satu penyebab adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan

dipaksa mengabdi dan berbakti secara total kepada suami dengan cara bersikap

wajar ketika menerima suatu kekerasan dari suami, serta menuruti semua

keinginan suami. Pemahaman ini menjadi keliru karena perempuan seperti

dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan yang dinginkan oleh suami. Hal ini

selaras dengan dua informan yang ditemui dan menjadi korban

kesalahpahaman atas interpretasi agama tersebut.

Tindak kekerasan dalam rumah tangga yang bersifat universal seolah-olah

tidak dapat dihindarkan dalam cakupan dunia sekalipun. Menurut situs web

dari internasional.kompas.com, data menunjukkan The World Health

Organization (WHO) mencatat bahwa sebanyak 35% perempuan mengalami

kekerasan seksual. Negara Korea Selatan dan India termasuk dalam presentase

tersebut.

Menurut laman yang dilansir oleh internasional.kompas.com, Korea Selatan

menempati peringkat ke-117 dari 142 negara berdasarkan peringkat Global

Gender Gap Report pada tahun 2015 yang dikekeluarkan oleh World Economic

Forum (2016). Kekerasan yang terjadi di Korea Selatan terbilang unik.

2
Berawal ketika laki-laki mengungkapkan rasa kebenciannya melalui sebuah

forum online yang berisi konten pornografi, lalu mengunggah foto perempuan

yang di kemaluannya terdapat benda-benda dengan tulisan, “Pacarku

tersayang, teler hanya karena dua bir,” atau, “Saya sudah membiarkan tiga

laki-laki lain memperkosanya. Hari ini saya ingin mengundang kalian.”

Kejadian ini terjadi sebelum pembunuhan pada tanggal 17 Mei 2016 lalu di

Gangnam, Korea Selatan. Seorang perempuan berusia 23 tahun dibunuh oleh

laki-laki berusia 34 tahun yang dipilih secara acak karena kebenciannya

terhadap perempuan yang selalu memandangnya rendah.

Kekerasan seksual juga terjadi di jalan layang di Munirka, New Delhi, India.

Berita yang dimuat pada news.detik.com pada tahun 2014 silam tersebut

memberitakan seorang korban bernama Jyoti Singh (23) bersama teman

lelakinya, Awindra Pandey, dilempar dari mobil bus setelah diserang dan

diperkosa oleh enam orang pelaku yang sedang mabuk. Awindra pingsan

setelah dihajar dan dipukuli, sehingga para pelaku bisa memperkosa Jyoti di

bagian belakang bus. Kemaluan, rahim, dan usus Jyoti dirusak oleh salah satu

pelaku dengan memasukkan batangan besi panjang berkarat yang kemudian

kunci L tersebut dicabut keras-keras hingga ususnya terburai. Setelah kritis dan

dioperasi berkali-kali, akhirnya Jyoti meninggal 13 hari kemudian di salah satu

rumah sakit di Singapura.

Sedangkan untuk di Indonesia, menurut data yang terlampir dalam Lembar

Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016, terdapat 16.217 kasus yang masuk dari

lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, kekerasan yang terjadi di ranah

3
kekerasan dalam rumah tangga atau ranah personal tercatat 69% atau 11.207

kasus. Dalam 11.207 kasus di ranah kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan

fisik menempati peringkat pertama dengan persentase sebanyak 38% atau

4.304 kasus, diikuti dengan kekerasan seksual sebanyak 30% atau 3.325 kasus,

kekerasan psikis sebanyak 23% atau 2.607, dan ekonomi 9% atau 971 kasus.

Lain halnya untuk di wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bogor berdasarkan pada

situs perempuan.or.id, data yang diperoleh mengenai kekerasan dalam rumah

tangga dimulai pada tahun 1997 hingga tahun 2011. Berikut data statistik yang

diperoleh dari Mitra Perempuan: Women‟s Crisis Center (dalam

http://perempuan.or.id):

Tabel I.A.1. Data Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Jakarta, Tangerang,
dan Bogor Tahun 1997-2011
No. Tahun Jumlah Kasus Kekerasan
dalam Rumah Tangga
1. 1997 64 Kasus
2. 1998 101 Kasus
3. 1999 113 Kasus
4. 2000 232 Kasus
5. 2001 258 Kasus
6. 2002 226 Kasus
7. 2003 272 Kasus
8. 2004 329 Kasus
9. 2005 455 Kasus
10. 2006 323 Kasus
11. 2007 284 Kasus
12 2008 279 Kasus
13. 2009 204 Kasus
14. 2010 287 Kasus
15. 2011 209 Kasus
Sumber: http://perempuan.or.id, 2017.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga

terus mengalami kenaikan dari tahun 1997 sampai tahun 2005 dan mengalami

kenaikan serta penurunan pada tahun 2006 sampai tahun 2011. Berbeda dengan

4
data yang berada di wilayah Tangerang Selatan sendiri, faktor paling dominan

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah karena faktor ekonomi.

Dalam pemberitaan online tangselpost.co.id, Yanti Sari selaku sekretaris

BPMPPKB menjelaskan bahwa dari tahun 2012 hingga 2015, telah terjadi

penurunan kekerasan dalam rumah tangga. Berikut adalah data statistik yang

diperoleh dari pemberitaan tangselpost.co.id (2015):

Tabel I.A.2. Data Kekerasan dalam Rumah Tangga di Tangerang Selatan Tahun
2012-2015.
No. Tahun Jumlah Kasus Kekerasan
dalam Rumah Tangga
1. 2012 116 Kasus
2. 2013 187 Kasus
3. 2014 447 Kasus
4. 2015 86 Kasus
Sumber: http://tangselpost.co.id, 2017

Dari data yang terlampir terlihat bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang

terjadi di Tangerang Selatan mengalami kenaikan dan penurunan. Berawal dari

tahun 2012 yang memiliki 116 kasus sampai pada tahun 2014 yang mengalami

kelonjakan hingga mencapai 447 kasus kekerasan. Yang mencengangkan

dalam kurun waktu satu tahun, dari 447 kasus yang terjadi pada tahun 2014

hanya tersisa 86 kasus pada tahun 2015 (tangselpost, 2015).

Menurut pemberitaan tangselpost.co.id (2015), Yanti menjelaskan bahwa

86 kasus ini tersebar di tujuh Kecamatan yang ada di Tangerang Selatan, terdiri

dari Kecamatan Pamulang sebanyak 16 kasus, Kecamatan Serpong dan

Serpong Utara sebanyak 15 kasus, Kecamatan Pondok Aren sebanyak 13

kasus, Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur sebanyak 14 dan 5 kasus

5
Kecamatan Setu sebanyak 3 kasus, dan di luar wilayah sebanyak 5 kasus.

Kecamatan Pamulang menempati posisi pertama dengan kasus terbanyak di

Tangerang Selatan.

Maraknya jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga yang fluktuasi di

setiap tahunnya ini menandakan bahwa aturan yang telah dibentuk pada

tanggal 22 September 2004 silam tidak sepenuhnya dapat berjalan dengan

efektif. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga seharusnya bisa menjadi solusi

untuk menghentikan korban-korban selanjutnya untuk kasus kekerasan dalam

rumah tangga. Menurut Ni'mah (2012: 56), aturan ini diberlakukan untuk

memenuhi tuntutan masyarakat, khususnya perempuan untuk menjadikan

tindakan kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindakan pidana yang

memungkinkan pelakunya untuk dihukum.

Penghukuman untuk para pelaku yang telah melakukan tindak kekerasan

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dalam Bab VIII

Ketentuan Pidana dalam pasal 44 butir 4 menyatakan kekerasan fisik yang

dilakukan suami dapat dikenakan pidana selama 4 bulan atau denda paling

banyak Rp5.000.000,00,- (lima juta rupiah). Pasal 45 butir 2 menyatakan

kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami dapat dikenakan pidana selama 4

bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00,- (tiga juta rupiah). Terakhir,

pasal 46 menyatakan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami

6
dapat dikenakan pidana selama 12 tahun atau denda paling banyak

Rp36.000.000,00,- (tiga puluh enam juta rupiah).

Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan merupakan kecamatan yang

tergolong tinggi memiliki kasus kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini

menjadi alasan peneliti untuk memilih wilayah tersebut untuk diteliti. Selain

itu, pengambilan studi kasus di Kecamatan Pamulang ini berpengaruh terhadap

akses dari tempat kediaman peneliti ke lapangan. Berdasarkan latar belakang

masalah di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan ini

dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “Perempuan sebagai Korban

dalam Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi terhadap

Pengalaman Lima Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di

Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan).”

B. Pertanyaan Penelitian
1. Apa saja faktor yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga di

Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan?

2. Apa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga di Kecamatan

Pamulang, Kota Tangerang Selatan?

3. Apa dampak dari adanya kekerasan dalam rumah tangga di Kecamatan

Pamulang, Kota Tangerang Selatan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Menjelaskan faktor penyebab apa sajakah yang menjadi alasan terjadinya

tindak kekerasan dalam rumah tangga meskipun sudah ada Undang-

7
Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga yang mengatur.

2. Menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga di

Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan.

3. Menjelaskan dampak yang dirasakan oleh para korban kekerasan dalam

rumah tangga.

Sedangkan untuk manfaat penelitian dari hasil penelitian yang akan dikaji

dari segi teoritis sebagai sumbangan pengetahuan bagi perkembangan ilmu

pengetahuan di Indonesia, baik untuk lembaga pendidikan formal, nonformal,

maupun informal. Serta dapat dijadikan pengembangan dari sosiologi terapan,

yaitu sosiologi gender, sosiologi keluarga, maupun sosiologi kriminologi.

Sedangkan dari segi praktis untuk menambah wawasan dan cakrawala bagi

orang tua, mahasiswa/i Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

terutama jurusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta masukan untuk

para penegak hukum untuk lebih serius menjalankan visi dan misi yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga.

D. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan peneliti mengkaji karya-karya ilmiah, belum ada

penelitian yang sama dengan penelitian ini. Namun dalam melakukan kajian

pustaka, peneliti menemukan empat tema karya ilmiah yang berhubungan erat

dengan tema penelitian, „Perempuan sebagai Korban dalam Kasus Kekerasan

8
dalam Rumah Tangga (Studi terhadap Pengalaman Lima Korban Kekerasan

dalam Rumah Tangga di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan).‟

Penelitian pertama, dilakukan oleh Novita Diniyanti dan I Gede Sidemen

yang merupakan Mahasiswa Program Sarjana dan Staf Pengajar Jurusan

Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung.

Penelitian ini tertuang dalam Jurnal Sosiologi, Vol. 14, No. 1: 69-82 yang

berjudul, „Hubungan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami

Pada Istri Dengan Perilaku Kekerasan Ibu Pada Anak (Studi Di Wilayah

Kelurahan Kaliawi Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar

Lampung).‟ Jurnal yang tidak menjelaskan teori ini menggunakan analisis

dengan metode eksplanatori dengan menggunakan teknik pengambilan data

kuesioner dan dokumentasi, dan analisa data menggunakan data statistik

berupa uji korelasi Rank Spearman. Penelitian ini membahas tentang kekerasan

yang dilakukan oleh suami terhadap istri dan akan berdampak kepada

kekerasan yang dilakukan istri ke anak. Dapat terlihat bahwa kekerasan yang

dilakukan oleh istri kepada anak merupakan proses meniru dari kekerasan yang

diterima dari suami (Diniyanti dan Sideman, 78).

Penelitian kedua, dalam jurnal yang berjudul, „Hubungan Antara

Pergeseran Peran Keluarga Luas Matrilineal Dengan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (Kajian Jender Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga di

Masyarakat Minangkabau Perkotaan),‟ ditulis oleh Indraddin, S.Sos, M.Si dan

Dra. Dwiyanti Hanandini, M.Si, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Andalas. Penelitian ini hanya menjelaskan teori yang

9
dapat digunakan dalam kasus kekerasan rumah tangga, seperti Teori Goode,

Teori Sub-budaya, dan Teori Rachel Jewkes. Dengan menggunakan metode

analisis kualitatif dan membahas tentang bentuk-bentuk dan prakondisi

terjadinya kekerasan, motif kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, dan

peran keluarga luas di masyarakat Minangkabau perkotaan. Peran mamak

dalam menghadapi kekerasan dalam rumah tangga di masyarakat Minangkabau

dilihat bergeser karena dengan menguatnya keluarga inti, mamak juga punya

tanggung jawab yang besar terhadap rumah tangganya (Indraddin dan

Hanandini, 4).

Penelitian ketiga, dalam karya ilmiah tahun 2007 yang ditulis oleh Vera

A.R Pasaribu S.Sos., MSP dengan judul, „Penghapusan KDRT (Kekerasan

dalam Rumah Tangga)‟ Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

HKBP Nommensen. Karya ilmiah yang tidak menjelaskan teori ini memiliki

hasil penelitian upaya untuk pencegahan dan penangggulangan masalah

kekerasan dalam rumah tangga juga harus dilakukan melalui pendidikan

publik. "Pendidikan publik tentang KDRT dan UU Nomor 23 tahun 2004 harus

dilakukan dengan metode pendidikan publik yang sesuai dengan spesifikasi

komunitas” (Pasaribu, 2007: 39).

Penelitian keempat, skripsi tahun 2014 yang ditulis oleh Fita Khairul

Umami dengan judul, „Peran Forum Penanganan Korban Kekerasan Daerah

Istimewa Yogyakarta Dalam Upaya Perlindungan Perempuan dan Anak

Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga‟ Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu

Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

10
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian ini

menggunakan teori Tiga Pilar Lembaga milik W. Richard Scott dan memiliki

hasil yang sesuai dengan teori tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa FPKK sudah memiliki regulatif, kognitif, dan normative dan sudah

berusaha menjadi forum yang berfungsi sebagai jejaring bagi lembaga-lembaga

anggota. Namun sampai saat ini FPKK masih banyak kekurangan dalam faktor

internal maupun eksternal (Umami, 2014: 88).

Dan penelitian kelima, merupakan jurnal pada tahun 2007 yang ditulis oleh

Dra. Fachrina, Msi dan Dra. Nini Anggraini, Mpd dengan judul, „Kekerasan

Terhadap Perempuan Dalam Keluarga Pada Masyarakat Minangkabau

Kontemporer‟ Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif yang

menggunakan strategi studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

dari 30 responden, kekerasan fisik memiliki persentase terbanyak, yaitu 70%,

lalu kekerasan emosional dan ekonomi masing-masing 57,14% serta seksual

(66,66%) (Fachrina dan Anggraini, 2007: 15).

Tabel I.D.3. Matriks Tinjauan Pustaka


No Data Penulis Teori Temuan/Hasil Persamaan Perbedaan
1. Penulis: Novita Diniyanti Tidak Sebanyak tiga puluh Membahas Membahas
dan I Gede Sidemen. dijelaskan. enam responden atau kekerasan kekerasan
76,6% menyatakan rumah rumah
Judul: Hubungan Kekerasan bahwa dalam enam tangga tangga dari
Dalam Rumah Tangga Yang bulan terakhir ini pernah dalam segi faktor,
Dilakukan Suami Pada Istri mengalami tindak konteks bentuk-
Dengan Perilaku Kekerasan kekerasan dalam rumah suami dan bentuk, dan
Ibu Pada Anak (Studi Di tangga yang dilakukan istri. dampak
Wilayah Kelurahan Kaliawi oleh suaminya. kekerasan
Kecamatan Tanjung Karang Sedangkan sebanyak dalam
Pusat Kota Bandar 66,0% menyatakan rumah
Lampung). bahwa istri pernah tangga.

11
melakukan tindak
Metode: Metode kekerasan kepada anak
eksplanatori dengan dalam enam bulan
menggunakan teknik terakhir ini.
pengambilan data kuesioner
dan dokumentasi, dan
analisa data menggunakan
data statistik berupa uji
korelasi Rank Spearman.
2. Penulis: Indraddin, S.Sos, Hanya Peran keluarga luas Membahas Membahas
M.Si. menjelaska dalam menyelesaikan kekerasan kekerasan
Dra. Dwiyanti Hanandini, n teori-teori KDRT pada masyarakat dalam dalam
M.Si. yang dapat Minangkabau perkotaan rumah rumah
dipergunak umumnya menasehati tangga dari tangga
Judul: Hubungan Antara an dalam keluarga yang sedang segi sebagai
Pergeseran Peran Keluarga kasus mengalami kasus gender. akibat dari
Luas Matrilineal Dengan kekerasan KDRT, apabila sudah adanya
Kekerasan Dalam Rumah dalam mengarah kepada sistem
Tangga (Kajian Jender rumah tindakan kriminal patrilineal
Terhadap Kekerasan Dalam tangga, biasanya membantu (garis
Rumah Tangga di seperti teori melaporkan kepada keturunan
Masyarakat Minangkabau Goode, polisi. Peran mamak bapak).
Perkotaan). teori sub- tidak lagi banyak karena
budaya, dengan menguatnya
Metode: Analisis Kualitatif. dan teori keluarga inti, mamak
milik juga punya tanggung
Rachel jawab yang besar
Jawkes. terhadap rumah
tangganya.
3. Penulis: Vera A.R Pasaribu Tidak Selain dengan Membahas Membahas
S.Sos., MSP. dijelaskan. melakukan penegakan bentuk- faktor,
hukum (Undang-undang bentuk bentuk, dan
Judul: Penghapusan KDRT Penghapusan Kekerasan kekerasan dampak
(Kekerasan dalam Rumah Dalam Rumah dalam kekerasan
Tangga). Tangga/PKDRT), upaya rumah yang dalam
pencegahan dan tertera rumah
Metode: Analisis Kualitatif. penangggulangan dalam tangga.
masalah kekerasan Undang-
dalam rumah tangga Undang
juga harus dilakukan No. 23
melalui pendidikan Tahun
publik. 2004.
4. Penulis: Fita Khairul Tiga Pilar Forum Penanganan Membahas Membahas
Umami. Lembaga Korban Kekerasan tentang kekerasan
W. Richard (FPKK) adalah forum kekerasan dalam
Judul: Peran Forum Scott yang sudah memiliki dalam rumah
Penanganan Korban tiga pilar dari lembaga rumah tangga
Kekerasan Daerah Istimewa dari W. Richard Scott tangga di melalui
Yogyakarta Dalam Upaya karena memiliki lihat dari pendekatan
Perlindungan Perempuan regulatif, kognitif, dan korban. feminis

12
dan Anak Korban Kekerasan normatif. radikal.
dalam Rumah Tangga.

Metode: Kualitatif
Deskriptif.
5. Penulis: Dra. Fachrina, Msi Tidak Dari 30 orang responden Membahas Membahas
dan dijelaskan. dperoleh data sebanyak tentang tentang
Dra. Nini Anggraini, Mpd. 33,33% mengalami kekerasan kekersan
KDRT mayoritas terhadap dalam
Judul: Kekerasan Terhadap responden yang perempuan rumah
Perempuan mengalami KDRT pada tangga yang
Dalam Keluarga Pada secara fisik (70%), masyarakat terjadi di
Masyarakat emosional dan ekonomi Minangkab Kecamatan
Minangkabau Kontemporer. masing-masing 57,14% au Pamulang,
serta seksual (66,66%) kontempore Tangerang
Metode: Kualitatif memilih sikap r. Selatan.
Deskriptif. diam/pasrah saja.

Beberapa penelitian yang telah dijabarkan memiliki persamaan tema dan

judul yang ingin penulis teliti dan memiliki permasalahan yang berbeda-beda.

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis memiliki kesamaan pada

penelitian kelima dengan membahas bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah

tangga. Namun yang membedakan dengan penelitian tersebut adalah

pembahasannya metitikberatkan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga

di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan. Analisa yang akan dibahas

berdasarkan pengklasifikasian bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga

menurut Kristi Poerwandari dan Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah yang akan

menjadi penguat data di lapangan.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual


Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu topik permasalahan

yang menjadi perhatian para feminis. Feminis radikal menilai bahwa kekerasan

dalam rumah tangga sebagai suatu tindakan yang tidak rasional karena relasi

13
laki-laki dan perempuan menurut mereka harus setara (Tong, 2008: 69).

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menunjukan ada pihak yang lebih

dominan. Mengingat korban KDRT pada umumnya perempuan, maka dalam

KDRT pada umumnya terjadi relasi laki-laki dan perempuan (dalam hal ini

suami dan istri) yang timpang (Tong, 2008: 95).

Secara teoritis, kekerasan menurut Mansour Fakih (Ridwan, 2006: 5) adalah

sebuah serangan secara fisik atau mental terhadap seseorang. Sedangkan

menurut pasal 2 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap

Perempuan menyatakan bahwa kekerasan muncul dari perbedaan jenis kelamin

sehingga salah satu pihak menderita secara fisik, psikologis, atau seksual,

termasuk ancaman dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-sewenang

(Soeroso, 2012: 60). Menurut Hasbianto kekerasan dalam rumah tangga

dijadikan sebagai kontrol terhadap pasangan melalui disakiti secara fisik

maupun psikologis (Indraddin dan Hanandini, 5). Pengertian lain mengenai

kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang membuat pasangan

menderita, seperti rasa sakit, luka, penganiayaan, dan tidak memberikan nafkah

lahir batin (Diniyanti dan Sideman, 70).

Dalam konteks sosial, kekerasan dalam rumah tangga dinilai sebagai kasus

yang jarang terekspos karena berada pada ranah privat dan lebih dianggap

sebagai aib keluarga daripada suatu tindak kejahatan (Jurnal Cita Hukum,

2014: 256). Sedangkan dalam konteks agama, kuatnya budaya patriarki yang

digambarkan melalui hak-hak istimewa yang dimiliki oleh laki-laki membuat

perempuan dinilai sulit jika disejajarkan dengan laki-laki (Rofiah, 2017: 39).

14
Hal ini membuat relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan

sehingga menimbulkan kekerasan.

Lain halnya dalam konteks hukum, lahirnya undang-undang penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga merubah yang awalnya ranah privat menjadi

ranah publik (Abdurrachman, 2010: 477). Namun, penerapan aturan yang tidak

sungguh-sungguh, tidak adanya prioritas karena dianggap sebagai persoalan

privat, adanya persepsi bahwa kekerasan dalam rumah tangga hanyalah

kekerasan fisik sehingga pembuktiannya dinilai kasatmata, belum adanya

persamaan persepsi penegakan hukum, dan kedudukan korban tidak

diperhatikan adalah alasan mengapa korban jarang sekali melaporkan

permasalahannya pada jalur hukum (Abdurrachman, 2010: 477).

1. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Bentuk dan Faktor


Dalam hal bentuk-betuk kekerasan, Fajriyah (2007: 126-142)

membaginya menjadi lima bentuk, yaitu kekerasan fisik yang

menyebabkan seseorang terluka seperti menampar, menendang, memukul,

menginjak, dan sebagainya. Kekerasan seksual meliputi adanya tindakan

dari seseorang yang aktif dengan memaksa pihak pasif ketika berhubungan

seksual. Kekerasan bahasa adalah pengucapan kata-kata yang dapat

merendahkan dan melecehkan seseorang. Kekerasan magis adalah

kekerasan yang sulit diidentifikasikan secara fisik, namun terlihat pada

perubahan perasaan atau perilaku seseorang secara tiba-tiba yang bertolak

belakang dengan perilaku aslinya. Seperti, merasa baru bangun dari mimpi,

timbul perasaan linglung dan heran karena melakukan sesuatu yang

15
bertentangan dengan hatinya. Kekerasan psikis adalah kekerasan yang

menyebabkan seseorang kehilangan otonomi diri yang dinilai telah

merampas hak orang tersebut.

Sedangkan menurut Poerwandari (2006: 21), bentuk-bentuk kekerasan

dalam rumah tangga dibagi menjadi lima macam, yaitu: kekerasan fisik

seperti menampar, mencekik, memukul, dan lain-lain. Kekerasan psikis

berupa kekerasan yang menimbulkan rasa takut dan kehilangan percaya diri,

seperti menghina, mengancam, dan tidak mampu lagi bekerja. Kekerasan

seksual berupa tindakan seksual yang dinilai menyakitkan, merendahkan,

dan menimbulkan luka serta penderitaan. Kekerasan ekonomi terjadi jika

salah satu pihak lepas tanggungjawab sehingga menelantarkan pihak lain,

memaksa untuk bekerja, dan mengeksploitasi secara ekonomi. Kekerasan

interpretasi agama berupa memaksakan satu pihak untuk mempraktikan

ritual keyakinan tertentu dan merendahkan kepercayaan serta keyakinan

salah satu pihak.

Menurut LKBHUWK (Soeroso, 2012: 76), kekerasan dalam rumah

tangga terjadi karena adanya faktor internal yang terjadi akibat sifat agresif

dari pelaku ketika menghadapi situasi yang frustasi atau kemarahan.

Biasanya, sifat agresif ini dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau

lingkungan sosial. Sedang faktor esternal terjadi di luar dari diri pelaku

dan biasanya tindak kekerasan terjadi jika pelaku dihadapkan pada situasi

yang menyebabkan frustasi, seperti kesulitan ekonomi, penyelewengan

suami atau istri, anak terjerumus pada pergaulan bebas, dan sebagainya.

16
Konsep bentuk-bentuk dan faktor tersebut akan digunakan untuk melihat

dan menganalisis temuan-temuan selama di lapangan.

2. Konsep Korban dan Pelaku

Kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa terlepas dari adanya korban

dan pelaku. Seseorang yang menderita secara fisik, psikis, maupun ekonomi

oleh suatu tindak pidana disebut dengan korban (Malinda, 2016: 63).

Sedangkan pengertian korban menurut Arif Gosita seperti dikutip oleh

Malinda, “Korban adalah seseorang yang menderita baik jasmani maupun

rohani akibat dari kepentingan orang lain yang bertentangan dengan hak

asasi korban,” (Malinda, 2016: 63).

Pelaku merupakan seseorang yang melakukan perbuatan menyimpang

berupa melakukan tindak kejahatan kepada korban. Dalam hal ini, tindakan

kejahatan yang dilakukan pelaku dapat dilakukan dengan faktor kesengajaan

atau ketidaksengajaan yang telah melanggar aturan yang ada. Biasanya

pelaku melakukan tindak kekerasan sesuai dengan kepentingannya sendiri

maupun orang lain.

3. Konsep Gender
Relasi antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai salah satu

penyebab bertahannya kekerasan dalam rumah tangga karena perempuan

hanya berperan pada ranah domestik sedangkan laki-laki berperan pada

ranah publik. Relasi yang timpang ini diperkuat dengan adanya sosialisasi

terhadap laki-laki untuk melihat perempuan hanya sekedar objek pelengkap,

tidak penting, dan dapat diperlakukan semena-mena. Sedangkan perempuan

17
ditekankan untuk bersikap pasrah, selalu mendahulukan kepentingan orang

lain, mempertahankan ketergantungannya pada laki-laki, serta menuntutnya

untuk mengutamakan peran sebagai pendamping suami dan pengasuh anak-

anaknya (Susanti, 2015: 26). Hal ini dapat menimbulkan kekerasan dalam

rumah tangga.

Gender seringkali disamakan dengan jenis kelamin atau sex, padahal

keduanya berbeda namun saling berkaitan. Gender adalah perbedaan antara

laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial dan budaya yang melihat cara

berpakaian, peran, perilaku, emosi, serta mentalitas. Pengkotakan gender ini

diperoleh dari masyarakat secara turun temurun yang bersifat nonbiologis.

Gender lebih mengarah kepada sikap maskulinitas dan feminitas seseorang.

Sedangkan jenis kelamin atau sex adalah perbedaan laki-laki dan perempuan

dari segi biologisnya, seperti organ-organ reproduksi, ukuran badan,

pertumbuhan otot, dan hormon (Susanti, 2015: 25). Jenis kelamin atau sex

lebih mengarah kepada aspek biologis dalam tubuh seseorang.

Dapat disimpulkan bahwa gender adalah perbedaan antara laki-laki dan

perempuan dari segi sosial dan konstruksi budaya (nonbiologis). Sedangkan

jenis kelamin atau sex merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan

berdasarkan kodrat Tuhan (biologis). Keterkaitan antara keduanya dapat

terlihat dari peran gender dalam sebuah keluarga, seperti perempuan pergi

ke pasar dan mengurus anak sedangkan laki-laki pergi bekerja di luar rumah

untuk mencari nafkah. Dapat terlihat bahwa perempuan selalu dikaitkan

dalam ranah privat sedangkan laki-laki pada ranah publik.

18
4. Konsep Budaya Patriarki
Budaya patriarki meletakan kekuasaan di tangan laki-laki sebagai

penguasa dalam lingkup rumah tangga (Rokhmansyah, 2016: 32). Hal ini

menimbulkan dominasi laki-laki yang akan menekan dan menindas

perempuan sehingga menyebabkan hubungan yang tidak setara dan

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Budaya patriarki memainkan

peran penting dalam hubungan gender di mana menurut Therborn (dalam

Susanti, 2015: 51) menyatakan, “patriarki mengacu pada generasi dan

hubungan suami-istri keluarga atau, lebih jelas, untuk generasi dan

hubungan gender.” Patriarki memanifestasikan aturan ayah dan aturan

suami.

Menurut Kate Millet (Munti, 2005: 43) dalam karyanya yang berjudul

Sexual Politics menekankan bahwa perbedaan perilaku laki-laki dan

perempuan bukanlah berasal dari dalam (biologis), tetapi diciptakan oleh

budaya patriarki. Perbedaan antara femininn dan maskulin diciptakan

dalam patriarki dan bukan berasal dalam alam manusia. Menurutnya,

Agama, sikap-sikap popular dan untuk beberapa derajat, ilmu pengetahuan yang
bersifat patriarkis mengasumsikan perbedaan-perbedaan psikososial yang
diletakkan di atas perbedaan biologis di antara kedua jenis kelamin. Jadi
budayalah yang membentuk perilaku (Munti, 2005: 43).

Bagi Millet, patriarki memiliki prinsip tersendiri, “prinsip-prinsip

patriarki muncul dengan dua jalan: laki-laki harus mendominasi

perempuan, laki-laki lebih tua harus mendominasi yang lebih muda,”

(Munti, 2005: 44).

19
F. Kerangka Pemikiran
Berikut adalah gambar skema kerangka pemikiran untuk lebih memahami

dan memperjelas isi keseluruhan dalam penulisan skripsi ini:

Gambar I.F.1 Kerangka Pemikiran


Budaya Patriarki dan
Interpretasi Agama yang Bias
Bentuk KDRT Menurut
Poerwandari (2006: 21):
1. Kekerasan Fisik,
Kekerasan dalam Rumah
2. Kekerasan Psikis,
Tangga
3. Kekerasan Seksual,
4. Kekerasan Ekonomi, dan
5. Kekerasan Spiritual.
Laki-laki Perempuan
Mendominasi Terdominasi

Skema di atas merupakan kerangka pemikiran bagaimana budaya patriarki

dan intepretasi agama yang bias dapat menyebabkan kekerasan dalam rumah

tangga dengan laki-laki yang mendominasi sedangkan perempuan terdominasi.

Hal ini memunculkan klasifikasi bentuk kekerasan yang beraneka macam.

Menurut Poerwandari (2006: 21) bahwa terdapat kekerasan ekonomi dan

kekerasann spiritual dalam bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

G. Metodologi Penelitian
Pada penelitian ini akan menggunakan penelitian feminis. Hal ini diperlukan

guna membela serta memihak perempuan selaku korban kekerasan dalam

rumah tangga atas dominasi oleh laki-laki. Selain itu berbagi pengalaman

kepada orang lain dapat membuka diri terhadap penderitaan yang dialami

orang tersebut sehingga menimbulkan perasaan penuh kepedulian.

20
Pembelajaranpun dapat diperoleh dari pengalaman-pengalaman korban

sehingga dapat menjadi sebuah strategi dalam bertahan hidup di kemudian hari.

Tabel I.G.4. Sumber Data Penelitian dan Metode Penelitian


Pertanyaan Penelitian Sumber Data Metode Penelitian

Bagaimana perempuan atau istri Istri korban kekerasan Wawancara mendalam


mengalami kekerasan dalam rumah dalam rumah tangga (kualitatif).
tangga? di Kecamatan
Pamulang, Tangerang
Selatan.
Faktor-faktor apa sajakah yang Istri korban kekerasan Wawancara mendalam
menyebabkan kekerasan dalam dalam rumah tangga (kualitatif).
rumah tangga terjadi? di Kecamatan
Pamulang, Tangerang
Selatan.
Bentuk-bentuk kekerasan apa saja Istri korban kekerasan Wawancara mendalam
yang terjadi? Bagaimana dalam rumah tangga (kualitatif).
dampaknya terhadap perempuan? di Kecamatan
Pamulang, Tangerang
Selatan.
Sumber: Olahan Penulis, 2017.

1. Pendekatan Penelitian
Karena penelitian ini merupakan penelitian feminis, maka penulis

mengamati korban dari bagaimana cara mereka menceritakan

pengalamannya saat melakukan wawancara untuk berada pada posisi

mereka. Dengan demikian, penulis merasa ingin membela dan memihak

korban yang cenderung dinilai lemah di mata laki-laki. Bentuk pembelaan

dan bentuk pemihakan pada posisi perempuan selaku korban merupakan

salah satu bagian dari penelitian feminis.

Berbicara mengenai pendekatan, penulis menggunakan pendekatan

kualitatif yang akan menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat

diperoleh dengan prosedur-prosedur statistik (Salam dan Jaenal, 2006: 30).

Dengan menggunakan pola deskriptif, penemuan-penemuan tersebut

21
digambarkan secara cermat dan deskriptif sesuai dengan keadaan yang

terjadi. Selain itu, metode ini dipilih untuk memahami korban kekerasan

dalam rumah tangga secara mendalam serta memandang para informan

(korban) sebagaimana mereka mengungkapkan pandangan dan makna

tentang kekerasan yang diterimanya.

2. Sebjek Penelitian
Penulis memperoleh lima informan yang sesuai dengan syarat dari

korban kekerasan dalam rumah tangga, seperti korban adalah perempuan

dan memiliki pengalaman kekerasan dalam rumah tangga baik

pengalaman dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan

ekonomi, dan kekerasan seksual. Penarikan informan yang digunakan

adalah dengan metode purposive, di mana informan diperoleh berdasarkan

pertimbangan penulis yang mengacu pada syarat-syarat yang sesuai

dengan kasus yang dipermasalahkan.

Awalnya penulis memiliki sedikit permasalahan karena minimnya

pengetahuan penulis terhadap keberadaan para korban kekerasan dalam

rumah tangga khususnya perempuan. Kebingungan tersebut membawa

penulis untuk bertanya kepada Polsek Pamulang karena data menunjukkan

pada tahun 2015, kasus kekerasan dalam rumah tangga tertinggi di

Wilayah Tangerang Selatan adalah Kecamatan Pamulang. Berbekal

beberapa kali mengunjungi Polsek Pamulang dan penulis tidak

mendapatkan informan untuk diwawancarai, akhirnya penulis mencari

informasi seputar lokasi tempat pelayanan untuk para korban kekerasan

22
dalam rumah tangga yang berada di Kecamatan Pamulang melalui dunia

maya.

Pencarian tersebut akhirnya membawa penulis pada tempat P2TP2A

(Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) yang

merupakan bagian dari program nasional yang diharuskan ada pada tiap

kabupaten atau kota untuk memberikan perlindungan, pemberdayaan,

pengaduan, serta pelayanan untuk perempuan dan anak yang mengalami

kekerasan. Penulis menjelaskan maksud dan tujuan untuk meminta

informan yang berkenan untuk diwawancara dan akan dijadikan sebagai

data dalam penulisan skripsi ini. Setelah itu penulis memberikan proposal

penelitian serta syarat-syarat korban yang akan diwawancara yang

diajukan agar pihak P2TP2A tidak kesulitan untuk mencari data korban

kekerasan dalam rumah tangga. Metode purposive memudahkan penulis

untuk mencari informan karena korban kekerasan dalam rumah tangga

merupakan populasi khusus yang sulit untuk dijangkau serta pengetahuan

penulis yang minim mengenai adanya tempat pemberdayaan untuk

perempuan dalam cakupan Wilayah Tangerang Selatan.

3. Teknik Pengumpulan Data


Wawancara dan studi kepustakaan menjadi teknik dalam pengumpulan

data dalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan data secara primer.

Wawancara adalah suatu proses interaksi dan komunikasi (Salam dan

Jaenal, 2006: 79). Pengumpulan data dengan teknik wawancara atau

interview adalah teknik pengambilan data dengan mengajukan pertanyaan

23
oleh pewawancara kepada responden, kemudian jawaban-jawaban

responden dicatat atau direkam dengan alat perekam atau tape recorder.

Menrut Soehartono (2011:67), kelebihan dari teknik wawancara adalah

tidak menyulitkan informan yang buta huruf. Wawancara yang

menggunakan alat perekam biasanya termasuk dalam interaksi primer

karena antara pewawancara dan responden saling bertatap muka.

Wawancara juga dilakukan melalui chatting di sosial media seperti

WhatsApp dan pesan singkat (SMS) ketika penulis mengalami kekurangan

data untuk melengkapi penelitian ini yang termasuk interaksi yang bersifat

sekunder. Hal ini dilakukan guna berjaga-jaga ketika penulis kekurangan

data dan bertanya melalui sosial media maupun pesan singkat.

Selain melalui perantara sosial media, studi literaturpun dapat menjadi

penunjang guna mencari data-data yang bersangkutan dengan penelitian

yang dilakukan, serta mencari penelitian-penelitian sebelumnya yang

dapat dijadikan sebagai rujukan. Dengan kata lain, studi literatur adalah

suatu metode yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk

memperoleh data penelitian. Metode ini membatasi kegiatannya hanya

pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja, seperti buku, jurnal, artikel,

dan sebagainya (Zed, 2004: 1).

4. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian yang dipilih oleh peneliti di Kecamatan Pamulang,

Tangerang Selatan karena kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi

selama tahun 2015-2016, dari beberapa kecamatan yang berada di

24
Tangerang Selatan, yang menempati urutan pertama adalah Kecamatan

Pamulang dengan kasus yang tergolong tinggi. Sedangkan untuk waktu

penelitian, penulis mulai observasi ke Polsek Pamulang sejak bulan April

2017 hingga awal bulan Mei 2017. Dikarenakan penulis tidak

mendapatkan informan untuk diwawancara dan hanya mendapatkan data-

data seputar perempuan yang menjadi korban dalam kurun waktu 2016-

2017 awal, akhirnya pada awal bulan Mei 2017 tersebut peneliti mencari

informan ke P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak).

Setelah akhirnya disetujui dan pihak P2TP2A mencarikan korban,

waktu yang dibutuhkan adalah dari bulan Mei 2017 hingga akhir bulan

Juli 2017 untuk diberi kesempatan wawancara. Hal ini terbilang lama

mengingat dari pihak P2TP2A sendiri sedang disibukkan dengan berbagai

kasus kekerasan dalam rumah tangga. Wawancara pertama dilakukan pada

17 Mei 2017 dengan dua informan. Kemudian tiga informan berikutnya

membutuhkan waktu satu bulan lamanya untuk diwawancara karena selain

pihak P2TP2A sibuk, untuk mencari korban kekerasan dalam rumah

tangga yang bersedia untuk diwawancara terbilang sulit.

5. Proses Penelitian
a. Tahap Pertama

Pada tahap awal penelitian ini, penulis sempat merasa kebingungan

karena tidak memiliki satu informanpun. Keinginan penulis

mengangkat tema kekerasan dalam rumah tangga ini berbekal pada

25
permasalahan terhadap kekerasan dalam rumah tangga cenderung

fluktuasi setiap tahunnya. Selain itu media-media, salah satunya

televisi banyak menayangkan berita kekerasan dalam rumah tangga di

mana perempuan selalu menjadi korban.

b. Tahap Kedua

Pada tahap kedua, peneliti berinisiatif untuk mendatangi Polsek

Pamulang untuk bertanya di mana penulis dapat menemukan informan

untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dapat diwawancarai.

Setelah itu peneliti diminta untuk menyerahkan surat permohonan

wawancara atau mencari data dari kampus. Setelah surat tersebut

diberikan, akhirnya penulis diberikan data berupa kasus kekerasan

dalam rumah tangga pada tahun 2016-2017. Saat itu penulis

meyakinkan pihak Polsek akan sangat menjaga kerahasiaan dari

korban jika diberikan izin untuk wawancara. Namun, pihak tersebut

tidak memberikan izin kepada peneliti untuk mewawancarai korban-

korban tersebut.

c. Tahap Ketiga

Terhitung ada delapan kali penulis mendatangi Polsek Pamulang

untuk meminta izin wawancara namun akhirnya ditolak. Pada tahap

ini, penulis sempat dilanda kebingungan kembali. Namun tidak lama

penulis mengingat bahwa terdapat tempat pemberdayaan di Wilayah

Tangerang Selatan, tetapi penulis tidak mengetahui letak tempat

pemberdayaan tersebut. Akhirnya penulis mencari informasi

26
mengenai lokasi tempat pemberdayaan tersebut dan mendatanginya

untuk memberikan surat izin wawancara atau mencari data dan

menyerahkan proposal penelitian.

d. Tahap Keempat

Pada tahap ini, penulis dihubungi oleh pihak P2TP2A untuk datang

ke kantor karena ada korban yang bersedia untuk diwawancara. Saat

itu penulis mewawancarai dua orang informan dalam satu hari karena

sudah dijadwalkan oleh pihak P2TP2A pada 17 Mei 2017. Setelah

wawancara berakhir, penulis mengobrol dengan pihak P2TP2A dan

meminta untuk dicarikan informan kembali. Pihak P2TP2A tidak

merasa keberatan dan akan menghubungi kembali jika sudah ada

korban yang bersedia untuk diwawancarai.

e. Tahap Kelima

Pada tahap ini penulis dihubungi kembali pada 19 Juli 2017 oleh

pihak P2TP2A memberitahukan bahwa ada tiga orang korban

kekerasan dalam rumah tangga yang bersedia untuk diwawancara.

Peneliti harus menunggu satu bulan lamanya karena pihak P2TP2A

disibukkan oleh kasus-kasus kekerasan pada anak dan perempuan

yang terlapor. Tanggal 21 Juli 2017 penulis mewawancara dua

informan secara bergantian sedangkan satu informan penulis

wawancarai pada keesokan harinya, 22 Juli 2017. Setelah wawancara,

penulis mengatakan akan kembali lagi jika data yang dibutuhkan

27
kurang dan jika masih memerlukan korban kekerasan dalam rumah

tangga untuk diwawancara.

6. Analisis Data
Setelah data selama berada di lapangan terkumpul melalui teknik

wawancara, kemudian data diolah dan dianalisis menggunakan metode

kualitatif deskriptif. Menurut Soehartono (2011: 35), tujuan dari metode

kualitatif deskriptif adalah memberikan gambaran secara cermat dan rinci

sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Berusaha mendeskripsikan dan

menggambarkan hasil penelitian sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan.

7. Hambatan dan Keterbatasan Penelitian


Penyusunan tugas akhir skripsi ini sudah pasti memiliki hambatan dalam

proses pembuatannya. Hambatan yang dialami penulis adalah dalam

mendapatkan data di mana penulis harus perpindah dari satu instansi ke

instansi lain karena masalah perizinan. Selain itu penulis memiliki jeda

waktu yang cukup panjang, yaitu satu bulan untuk menunggu dihubungi

oleh pihak P2TP2A untuk wawancara korban selanjutnya. Lamanya waktu

tersebut berpengaruh terhadap keterbatasan penulis yang hanya

mendapatkan lima informan yang bersedia untuk diwawancarai. Hal ini

dikarenakan beberapa korban kekerasan dalam rumah tangga merasa

sungkan dan menutup diri untuk diwawancara karena dinilai sebagai suatu

aib yang bersifat sensitif dan tidak diceritakan kepada orang lain. Namun,

lima informanpun dirasa sudah cukup untuk menjawab pertanyaan

penelitian yang ada pada skripsi ini.

28
H. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini akan diuraikan lebih lanjut ke dalam 4 (empat) bab

dengan pembagian yang rinci lagi kedalam sub bab-sub bab yang disusun

secara sistematis mencakup sebagai berikut:

Dalam Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan diuraikan mengenai

keseluruhan isi penelitian yang akan digali dengan tujuan untuk membuka

pemahaman isi penelitian dan alasan penelitian tentang perempuan sebagai

korban dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (studi kasus terhadap

korban kekerasan dalam rumah tangga di Kecamatan Pamulang, Tangerang

Selatan). Selanjutnya akan membahas mengenai kerangka teoritis dan kerangka

konseptual yang digunakan untuk menganalisa permasalahan. Selain itu juga

mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dan

sistematika penulisan.

Dalam Bab II Gambaran Umum, akan diuraikan mengenai kondisi sosial

ekonomi, isu kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, budaya patriarki di

wilayah tersebut, profil P2TP2A, serta ulasan para korban kekerasan rumah

tangga yang berada di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan.

Selanjutnya Bab III Temuan dan Analisis, akan diuraikan hasil penelitian

dan jawaban dari pokok permasalahan mengenai faktor-faktor penyebab,

bentuk-bentuk, serta dampak yang dialami korban kekerasan dalam rumah

tangga di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan.

Terakhir, pada Bab IV Penutup, yang merupakan keseluruhan di mana Bab

I, II, III, dan IV akan diketengahkan rangkuman hasil penelitian dan analisa

bab-bab sebelumnya sehingga dapat ditarik kesimpulan.

29
BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis dan Demografis Kecamatan Pamulang, Tangerang


Selatan
Wilayah Kecamatan Pamulang merupakan bagian dari wilayah Kota

Tangerang Selatan di Provinsi Banten. Kecamatan Pamulang terletak pada

posisi 6° 20' 34" LS dan 106° 44' 18" BT. Menurut data Statistik Daerah

Kecamatan Pamulang, luas Kecamatan Pamulang adalah 2.682 Ha atau 28,82

km² dengan persentase terhadap luas kota sebesar 18.22% dari total luas

wilayah Tangerang Selatan (2016: 3). Secara geografis, Pamulang berbatasan

dengan Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur di bagian Utara, lalu

di bagian Timur berbatasan dengan Kota Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta,

bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Serpong dan Kecamatan Setu, dan

pada bagian Selatan berbatasan dengan Kota Depok Provinsi Jawa Barat

(Kecamatan Pamulang dalam Angka, 2016: 3). Kecamatan Pamulang memiliki

beberapa kelurahan, yaitu (2016, 4):

Tabel II.A.5. Daftar Kelurahan di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan Tahun


2016
Kelurahan/Desa Luas Wilayah Persentase
Pondok Benda 3,86 14,39
Pamulang Barat 4,16 15,51
Pamulang Timur 2,59 9,65
Pondok Cabe Udik 4,83 18,00
Pondok Cabe Ilir 3,96 14,77
Kedaung 2,56 9,56
Bambu Apus 2,20 8,20
Benda Baru 2,66 9,92
Kecamatan Pamulang 26,82 100
Sumber: Kecamatan Pamulang dalam Angka, 2017.

30
Bentuk topografi wilayah Kecamatan Pamulang merupakan wilayah daratan

di mana masing-masing kelurahan memiliki ketinggian yang sama dan ada juga

yang berbeda. Kelurahan Pondok Benda, Bambu Apus, dan Benda Baru

memiliki ketinggian 83 m di atas permukaan laut (dpl). Sedangkan kelurahan

Pamulang Barat, Pamulang Timur, Pondok Cabe Udik, dan Pondok Cabe Ilir

memiliki ketinggian 84 mdpl. Sedangkan kelurahan Kedaung memiliki

ketinggian 82 mdpl (Statistik Daerah Kecamatan Pamulang, 2016: 3).

Menurut data Statistik Daerah Kecamatan Pamulang (2016: 6), jumlah

penduduk Kecamatan Pamulang pada tahun 2015 mengalami kenaikan

dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena banyaknya warga pendatang

yang ingin mencari pekerjaan di Kecamatan Pamulang dan Jakarta Selatan.

Sebanyak 332.984 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 168.052

jiwa, penduduk perempuan 164.932 jiwa, dan jumlah rumah tangga sebanyak

82.127 rumah tangga menempati Kecamatan Pamulang.

Sex Ratio atau perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan yang di

Kecamatan Pamulang adalah sebesar 102 yang menandakan bahwa setiap 100

perempuan, terdapat 102 laki-laki (laki-laki lebih banyak 2% dibanding

perempuan). Sex ratio terbesar terdapat di Kelurahan Pondok Cabe Ilir sebesar

103,21, sedangkan sex ratio terkecil terdapat di Kelurahan Pamulang Timur

sebesar 99,56 (Statistik Daerah Kecamatan Pamulang, 2016: 7). Berikut

terdapat data rasio jenis kelamin di Kecamatan Pamulang:

31
Tabel II.A.6. Tabel Rasio Jenis Kelamin di Kecamatan Pamulang Tahun 2016

Rasio Jenis
Penduduk Kelamin
No. Kelurahan

Sex Ratio
Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Pondok Benda 26.553 26.22 52.773 101,27
2. Pamulang Barat 28.994 28.275 57.269 102,54
3. Pamulang Timur 19.726 19.813 39.539 99,56
4. Pondok Cabe Udik 12.612 12.445 25.057 101,34
5. Pondok Cabe Ilir 18.862 18.274 37.136 103,21
6. Kedaung 23.754 23.053 46.807 103,04
7. Bambu Apus 16.17 15.373 31.907 102,75
8. Benda Baru 21.381 21.115 42.496 101,26
Kecamatan Pamulang 168.052 164.932 332.984 101,89
Sumber: Kecamatan Pamulang dalam Angka, 2017.

Untuk penduduk tertinggi berada di Kelurahan Pamulang Barat sebanyak

57.269 jiwa sedangkan terendah berada di Kelurahan Pondok Cabe Udik

sebanyak 25.057 jiwa. Rata-rata penduduk per km² Kecamatan Pamulang pada

tahun 2015 mencapai 12.416 penduduk per km² atau untuk setiap satu

kilometer persegi wilayah Kecamatan Pamulang dihuni oleh sekitar 12.416

jiwa. Rata-rata penduduk terbesar terdapat di Kelurahan Benda Baru yang

mencapai 15.975 penduduk per km². Sedangkan kepadatan penduduk terkecil

berada di Kelurahan Pondok Cabe Udik mencapai 5.187 per km² (Statistik

Daerah Kecamatan Pamulang, 2016: 3).

B. Kondisi Sosial dan Ekonomi Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan


Kondisi kehidupan sosial dan ekonomi di Kecamatan Pamulang dapat

dikatakan memiliki berbagai keragaman, mulai dari kesejahteraan sosial,

kemiskinan, dan lainnya. Keberagaman ini akan berimbas terhadap rumah

32
tangga yang berada di Kecamatan Pamulang, salah satunya yaitu masalah

kemiskinan. Menurut data yang terlampir pada tangseloke.com, pada tahun

2014, RTM atau yang biasa dikenal dengan Rumah Tangga Miskin di

Kecamatan Pamulang memiliki angka tertinggi dibandingkan dengan

kecamatan-kecamatan lainnya. Berikut data Rumah Tangga Miskin di Kota

Tangerang Selatan dikutip menurut laman tangseloke.com (2014):

Tabel II.B.7. Rumah Tangga Miskin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2014
No. Kecamatan Jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM)
1. Ciputat 2.711
2. Ciputat Timur 1.938
3. Pamulang 4.668
4. Pondok Aren 2.865
5. Serpong 1.850
6. Serpong Utara 1.078
7. Setu 1.567
Total 16.677
Sumber: tangseloke.com, 2017.

Dapat dibuktikan melalui data tersebut bahwa Kecamatan Pamulang pada

tahun 2014 memiliki angka kemiskinan cukup tinggi, yaitu sebanyak 4.668

Rumah Tangga Miskin. Lalu disusul oleh Kecamatan Pondok Aren sebesar

2.865, Kecamatan Ciputat sebanyak 2.711, Kecamatan Ciputat Timur yaitu

1.938, lalu ada Kecamatan Serpong memiliki 1.850, Kecamatan Setu sebesar

1.567, dan yang terakhir Kecamatan Serpong Utara sebanyak 1.078 Rumah

Tangga Miskin. Perbedaan tingkat kemiskinan yang berbeda di rumah tangga

pada setiap kecamatan di Tangerang Selatan dapat menunjukan kondisi

ekonomi serta permasalahan yang dihadapi.

Permasalahan ekonomi merupakan permasalahan yang cukup krusial dan

sensitif. Pasalnya, mereka rela melakukan 1001 macam cara apapun demi

33
menutupi permasalahan ekonomi yang dialami. Tindakan kekerasanpun

terkadang sering menjadi jalan keluar untuk permasalahan ekonomi yang

dialami. Dalam rumah tangga, jika mengingat tingginya angka kemiskinan

yang terjadi di Kecamatan Pamulang, maka dapat memicu keributan bahkan

tindak kekerasan. Seperti yang dilansir oleh tangerangnews.com:

Herman (46) memukul istrinya, Herawati (43) lantaran belum membayar listrik.
Insiden pemukulan tersebut terjadi di pinggir jalan dekat rumah Suzan, adik
Herawati, di Blok F1 No.15 Kompleks Villa Dago To, Pamulang, Kota
Tangerang Selatan. Persoalan sepele tersebut berujung pada keributan hingga
mengundang polisi. “Maklum suami kakak saya belum kerja lagi,” ujar Susan.
Walaupun telah didatangi polisi, pihak keluarga tidak mau melaporkannya karena
dianggap salah paham dan bias diperbaiki. Wakapolsek Ciputat AKP Basuki yang
datang ke lokasi kejadian mengatakan, polisi dalam hal ini hanya menjadi
penengah dalam kasus salah paham ini.

Dalam kutipan berita tersebut, Herawati dapat dikatakan sebagai korban

kekerasan dalam rumah tangga karena menerima pukulan dari suami. Tindakan

kekerasan fisik yang dilakukan oleh suaminya tersebut terbilang sepele,

lantaran tidak memiliki pekerjaan, sehingga melampiaskan bentuk

kekesalannya tersebut secara fisik terhadap istrinya.

Selain permasalahan ekonomi yang perlu disinggung, permasalahan dalam

konteks keagamaan juga mendapat peranan penting dalam setiap kasus

kekerasan dalam rumah tangga. Di Kecamatan Pamulang, pada tahun 2014

rata-rata penduduknya memiliki keyakinan untuk beragama Islam (Kecamatan

Pamulang dalam Angka, 2016: 79). Berikut data penduduk menurut keyakinan

agama di Kecamatan Pamulang:

34
Tabel II.B.8. Penduduk Menurut Keyakinan Agama di Kecamatan Pamulang
Tahun 2014
No. Kelurahan Islam Katoli Protes Hindu Budha Kongh
k tan ucu
1. Pondok Benda 39.687 1.367 3.763 168 348 5
2. Pamulang Barat 43.738 2.266 4.700 179 667 20
3. Pamulang Timur 29.503 1.006 1.725 130 175 12
4. Pondok Cabe Udik 19.178 501 1.438 81 271 178
5. Pondok Cabe Ilir 36.140 230 1.107 78 62 -
6. Kedaung 47.890 700 1.843 115 103 5
7. Bambu Apus 21.734 404 924 48 116 3
8. Benda Baru 33.492 1.063 2.821 140 211 12
Kecamatan 271.362 7.537 1.831 889 1.953 234
Pamulang
Sumber: Kecamatan Pamulang dalam Angka, 2017.

Untuk memperkuat argumen, berdasarkan data pada tahun 2014 menyatakan

bahwa agama Islam merupakan agama mayoritas yang ada di Kecamatan

Pamulang, Tangerang Selatan. Hal ini sangat berkaitan dengan kasus kekerasan

dalam rumah tangga yang terjadi. Pasalnya, dalam agama Islam disebutkan

bahwa laki-laki adalah pemimpin dari perempuan yang diperkuat dengan kisah

dari Nabi Adam Salallahu Alaihi Wassalam yang diciptakan terlebih dahulu

daripada Hawa. Berkaca dari kisah tersebut, perempuan ditakdirkan untuk

menjadi pengikut laki-laki, tunduk, serta patuh jika menginginkan ke surga

kelak.

C. Isu Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kecamatan Pamulang,


Tangerang Selatan
Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi oleh siapa saja dan di mana

saja. Salah satunya yang menjadi isu dalam penelitian ini yaitu Kecamatan

Pamulang yang memiliki angka kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 16

kasus yang kemudian disusul oleh Kecamatan Serpong dan Kecamatan

35
Serpong Utara masing-masing 15 kasus, Kecamatan Pamulang memiliki angka

kekerasan dalam rumah tangga tertinggi pada tahun 2015 di Wilayah

Tangerang Selatan. Sallah satu contoh kekerasan yang ada di Kecamatan

Pamulang adalah kekerasan seksualitas yang terjadi pada tahun 2014. Berikut

berita yang dilansir dari tangerangonline.id:

Pelaku kejahatan seksual, ET (40) terhadap teman anaknya sekolah di Kelas IV


SD tersebut telah ditahan Polsek untuk proses penyelidikan. Aiptu Sucito,Pjs
Kasi Humas Polsek Pamulang memaparkan, keterangan yang diperoleh dalam
peristiwa mengerikan itu. Awalnya korban, D, bersama anak pelaku, T,
berkunjung ke rumah kontrakan pelaku di Pamulang Permai 2. “Pada saat itu di
TKP hanya ada korban, anak pelaku dan pelaku, lalu pelaku menyuruh T untuk
membeli kue, kemudian ET melakukan aksi bejatnya di kamar mandi kontrakan
barunya,” ujar Aiptu Sucito. Pelaku dijerat pasal 81 atau 82 Perpu No. 1 tahun
2016 perubahan kedua atas Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 JO Undang-
Undang RI No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan ancaman hukaman
selama-lamanya 15 tahun kurungan.

Kutipan berita tersebut menyatakan bahwa kekerasan tidak pernah memandang

umur. anak-anak, remaja, bahkan orang dewasapun bisa menerima tindakan

kekerasan. Kekerasan yang diterima korban adalah kekerasan seksualitas

karena sejak awal, pelaku sudah merencanakan niat jahatnya terhadap korban

dengan cara menyuruh anaknya membeli kue. Dalam hal ini, dapat pula

dikatakan korban mengalami kekerasan psikis lantaran akan merasa takut dan

trauma terhadap laki-laki karena menerima perlakuan yang tidak pantas

untuknya.

Dalam bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, terdapat pula

kekerasan ekonomi yang termasuk ke dalam kategori tersebut adalah

penelantaran salah satu anggota keluarga, membuat ketergantungan secara

ekonomi, serta pembatasan atau larangan untuk bekerja di luar rumah. Di

36
Kecamatan Pamulang pada tahun 2014, terdapat kasus penelantaran anak di

kawasan Pamulang Timur. Berikut kutipan berita yang dilansir oleh

metro.sindonews.com:

Diduga jadi korban kekerasan keluarganya, seorang bocah perempuan depresi


dan terlunta-lunta di jalan. Bocah tersebut mengaku bernama Dia (14). Aay
Samudra selaku Ketua Laskar Barisan Muda Betawi, warga yang menemukan
anak itu mengatakan, saat ditemukan anak tersebut sedang berjalan sendiri di
kawasan Pamulang Timur. Karena menurutnya anak perempuan tersebut diduga
anak hilang, akhirnya anak itu dibawa ke Mapolsek Pamulang untuk diketemukan
dengan keluarganya. Namun karena cukup depresi, anak tersebut sulit untuk
diajak berkomunikasi sehingga polisi kesulitan mengetahui keluarganya.
Berdasarkan kondisi tubuhnya, anak tersebut nampaknya tertekan dengan
perlakuan bapaknya yang selalu marah-marah. Bahkan salah sedikit saja, si anak
selalu dimarahi keras. Padahal jika dilihat dari tubuhnya tidak ditemukan tanda-
tanda kekerasan. Saat ditemukan, anak ini menggunakan kaos kuning dengan
celana jeans selutut.

Dari kasus tersebut dapat dikatakan bahwa kekerasan yang dialami adalah

kekerasan ekonomi karena korban diterlantarkan oleh keluarganya. Hal ini

diperkuat juga oleh kekerasan dalam bentuk psikis berupa bapaknya yang

selalu memarahi korban dengan keras jika melakukan kesalahan sedikitpun.

Melihat kondisi korban ketika ditanya tentang keluarganya dan hanya diam

saja, maka kondisi psikologisnya dapat dikatakan terganggu atas kekerasan

yang dilakukan oleh bapaknya sendiri.

Sementara pada tahun 2016 dan tahun 2017 berdasarkan data yang diperoleh

dari Polri Daerah Metro Jaya Resort Tangerang Selatan Sektor Pamulang,

terdapat lima kasus kekerasan dalam rumah tangga yang termasuk dalam

kategori kekerasan fisik. Kasus pertama terjadi di Jl. Sumbawa, Benda Baru,

pada 13 Mei 2016. Pelaku dengan inisial LAR telah melakukan kekerasan

terhadap istrinya, yaitu I selaku korban pada pukul 23:00 WIB dengan cara

menjambak rambut korban lalu membenturkan wajah korban ke lutut pelaku.

37
Kerugian yang dialami oleh korban berupa luka memar pada wajah di bagian

bawah mata sebelah kanan. Kasus ini ditutup dengan penyelesaian secara

kekeluargaan dengan menggunakan Pasal 44 UU RI Nomor. 23 Tahun 2004

KUHP Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kasus kedua, dialami oleh seorang istri berinisial Y yang beralamatkan di

Jl. Kemiri, Pondok Cabe Udik. Kejadian kekerasan dalam rumah tangga

tersebut berlangsung pada 17 Mei 2016, pukul 20:00 WIB. Korban mengalami

luka bengkak di bibir sementara kepala dan wajah korban tergores. Modus

tersebut dilakukan oleh suami korban berinisial S dengan memukul korban,

membenturkan ke tembok, dan wajah korban dicakar oleh pelaku. Namun

kasus tersebut telah ditutup dengan penyelesaian secara kekeluargaan dengan

Pasal 44 UU RI Nomor. 23 Tahun 2004 KUHP Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.

Lalu pada kasus ketiga, terjadi di Jl. Aria Putra, Kedaung, pada 15 Juni

2016 pada pukul 23:00 WIB. Dalam kasus ini, istri yang menjadi korban

dengan inisial NA telah mengalami kerugian berupa luka memar pada bagian

lengan tangan kiri dan paha sebelah kanan. Luka-luka tersebut diperoleh dari

suaminya yang berinisial AA lantaran pelaku telah menyeret korban serta

menekan tangan dan kaki korban dengan tangan dan kaki pelaku. Kasus inipun

ditutup dengan penyelesaian secara kekeluargaan dengan Pasal 44 UU RI

Nomor. 23 Tahun 2004 KUHP Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pada kasus keempat kasus kekerasan dalam rumah tangga telah menimpa

seorang istri berinisial TA pada 07 Januari 2017. Korban mengalami luka tusuk

38
di bagian paha sebelah kiri, dada sebelah kiri, dan pinggang sebelah kiri.

Kejadian ini terjadi pada pukul 15:30 WIB di Jl. Tabanas Raya, Kedaung.

Pelaku yang merupakan suami korban berinisial AIS telah menusuk korban

dengan menggunakan senjata tajam sejenis pisau kecil. Korban melakukan

penyelesaian terhadap kasusnya dengan cara kekeluargaan berdasarkan Pasal

44 UU RI Nomor. 23 Tahun 2004 KUHP Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dan pada kasus kelima dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi

pada sepasang suami istri, yaitu suami berinisial MRN yang menjadi pelaku

dan istrinya yang berinisial RP selaku korban. Kejadian tersebut terjadi di Jl.

Aria Putra RT 06 RW 15, Kedaung, pada pukul 20:00 WIB. Tidak dijelaskan

modus yang dilakukan pelaku kepada korban, namun korban mengalami

kerugian berupa luka memar. Kasus ini ditutup dengan penyelesaian secara

kekeluargaan dengan Pasal 44 UU RI Nomor. 23 Tahun 2004 KUHP

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berikut terdapat rangkuman data korban

kekerasan dalam rumah tangga yang melapor ke Polri Daerah Metro Jaya

Resort Tangerang Selatan Sektor Pamulang pada tahun 2016-2017:

Tabel II.C.9. Data Korban yang Melapor ke Polri Daerah Metro Jaya Resort
Tangerang Selatan Sektor Pamulang Tahun 2016-2017
No No. LP dan Pasal Identitas Pelaku TKP dan Modus Kerugian Penyelesa
Pelapor/ Waktu ian
Korban
1. LP/666/K/V/2016/SE Inisial I, Suami Jl. Menjambak Mengalami Diselesaik
KPAM Perempua Korban Sumbawa Rambut Luka Memar an Secara
13 Mei 2016 n. Inisial , Benda Pelapor, Lalu Pada Wajah di Kekeluarg
LAR. Baru Membenturk bawah Mata aan.
Pasal 44 UU RI No. 23 an Wajah Sebelah
Tahun 2004 KUHP Pelapor ke Kanan.
Kekerasan Dalam Lutut Pelaku.
Rumah Tangga
2. LP/689/K/V/2016/SE Inisial Y, Suami Jl. Dipukul, Mengalami Diselesaik

39
KPAM Perempua Korban Kemiri, Dibenturkan Luka Bengkak an Secara
17 Mei 2016 n. Pondok ke Tembok, di Bibir, Kekeluarg
Inisial Cabe dan Wajah Kepala, Wajah aan.
Pasal 351 JO 44 UU S. Udik dicakar. Tergores.
RI No. 23 Tahun 2004
KUHP Kekerasan 20:00
Dalam Rumah Tangga WIB.
3. LP/822/K/VI/2016/SE Inisial Suami Jl. Aria Menyeret, Mengalami Diselesaik
KPAM NA, Korban Putra, Menekan Luka Memar an Secara
15 Juni 2016 Perempua Kedaung Tangan, dan Pada Bagian Kekeluarg
n. Inisial Kaki Korban Lengan aan.
Pasal 44 UU RI No. 23 AA. 23:00 dengan Tangan Kiri
Tahun 2004 KUHP WIB. Tangan dan dan Paha
Kekerasan Dalam Kaki Pelaku. Sebelah
Rumah Tangga Kanan.
4. LP/12/K/I/2016/SEKP Inisial Suami Jl. Menusuk Mengalami Diselesaik
AM TA, Korban Tabanas dengan Luka Tusuk di an Secara
7 Januari 2017 Perempua Raya, Menggunaka Paha, Dada, Kekeluarg
n. Inisial Kedaung n Senjata dan Pinggang aan.
Pasal 44 UU RI No. 23 AIS. Tajam Sebelah Kiri.
Tahun 2004 KUHP 15:30 Sejenis Pisau
Kekerasan Dalam WIB. Kecil.
Rumah Tangga
5. LP/131/K/ Inisial Suami Jl. Aria Melakukan Mengalami Diselesaik
III/2017/SEKPAM RP, Korban Putra RT Kekerasan di Luka Memar. an Secara
6 Maret 2017 Perempua 16 RW Dalam Kekeluarg
n. Inisial 15, Rumah aan.
Pasal 44 UU RI No. 23 MRN. Kedaung Tangga.
Tahun 2004 KUHP
Kekerasan Dalam 20:00
Rumah Tangga WIB.
Sumber: Polri Daerah Metro Jaya Resort Tangerang Selatan Sektor
Pamulang, 2017.

D. Budaya Patriarki dalam Keluarga di Kecamatan Pamulang, Tangerang


Selatan
Garis keturunan berdasarkan bapak atau laki-laki, adalah suatu istilah lain

dari budaya patriarki. Disebut budaya karena patriarki sudah ada sejak dahulu

yang terkonstruk secara turun temurun dan tertanam dalam pemahaman

masyarakat bahwa perempuan dinilai lebih rendah daripada laki-laki. Berakar

dari pemahaman tersebut, laki-laki cenderung merasa berkuasa dan bebas

40
mengatur perempuan sesuai keinginannya. Inilah yang menimbulkan

ketimpangan gender dalam ranah rumah tangga.

Pada tahun 2015, Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan memiliki angka

kekerasan dalam rumah tangga yang tergolong tinggi dibandingkan kecamatan

lain di Tangerang Selatan lainnya dengan jumlah 16 kasus. Selain tingginya

angka Rumah Tangga Miskin (RTM), kuatnya budaya patriarkipun menjadi

salah satu indikator yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga.

Jika melihat insiden pemukulan yang dilakukan oleh suami kepada istri

yang terdapat dalam laman tangerangnews.com, belum membayar listrik

merupakan permasalahan yang cukup kecil. Namun dikarenakan posisi suami

adalah kepala keluarga dan memegang kendali atas istrinya, permasalahan

tersebut berujung pada pemukulan yang terjadi di pinggir jalan dekat rumah

adik korban. Tak hanya itu, suamipun belum bekerja lagi sehingga tidak

menjalankan posisinya sebagai kepala rumah tangga untuk menafkahi

keluarganya. Dalam kasus ini, budaya patriarki terlihat pada saat suami kesal

sehingga menyalahkan otoritasnya dengan cara memukul istrinya dan tidak

memberikan nafkah untuk keluarganya.

Data terbaru pada tahun 2016 dan tahun 2017 menunjukan terdapat lima

data korban perempuan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masuk ke

dalam laporan Polsek Pamulang. Pada kasus pertama, korban berinisial I

mengalami kerugian berupa memar pada wajah dibagian bawah mata sebelah

kanan disebabkan oleh penyiksaan yang dilakukan pelaku dengan cara memar

41
pada wajah dibagian bawah mata sebelah kanan. Untuk kasus kedua, kerugian

yang dialami Y selaku istri dari pelaku, S, adalah mengalami luka bengkak

dibibir sementara kepala dan wajah korban tergores.

Sementara untuk kasus ketiga, luka memar pada bagian lengan tangan kiri

dan paha sebelah kanan merupakan kerugian yang dialami oleh NA akibat

perbuatan suaminya, yaitu AA. Kasus keempat, NA selaku korban distusuk

menggunakan pisau kecil oleh suaminya, AIS, mengalami luka tusuk dibagian

paha sebelah kiri, dada sebelah kiri, dan pinggang sebelah kiri. Dan pada kasus

terakhir, RP yang merupakan seorang istri menerima kekerasan dalam rumah

tangga dan mengalami kerugian luka memar akibat ulah dari suaminya, yaitu

MRN. Keenam kasus tersebut termasuk dalam kekerasan fisik dan

menempatkan perempuan sebagai korban, sedangkan laki-laki merupakan

pelaku dalam kekerasan rumah tangga.

E. Profil Informan
Penulis memperoleh data pengalaman kekerasan dalam rumah tangga dari

lima informan yang masing-masing berasal dari Wilayah Tangerang Selatan

dan memiliki latar belakang pendidikan, ekonomi, pengalaman kekerasan, dan

pekerjaan yang berbeda-beda. Penulis hanya menyebutkan inisial nama dari

para informan agar identitas mereka terjaga kerahasiaannya mengingat kasus

kekerasan dalam rumah tangga merupakan aib yang seharusnya ditutupi dan

cukup sensitif. Berikut adalah kelima informan yang bersedia untuk

memberikan data kepada penulis:

42
1. Informan S
S merupakan seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai

pedagang cilok. Ibu dari tiga orang anak ini berasal dari daerah L,

namun sekarang bertempat tinggal di wilayah S dengan menempati

rumah orang tuanya. S memiliki tingkat pendidikan D3 di Jurusan Ilmu

Gizi ini dan berusia 31 tahun. Dia menceritakan bahwa mengenal

suaminya yang selisih empat tahun dari seorang sahabat kakak iparnya.

S tidak melewati masa-masa pacaran sebelum menikah dengan

suaminya, namun dengan melalui proses ta‟aruf yang merupakan

pilihannya sendiri. Semasa proses ta‟aruf, S menilai bahwa suaminya

sangat santun, lembut, agamis, dan tidak bersifat kasar sama sekali.

Namun S menyadari bahwa proses ta‟aruf tersebut merupakan

keputusan yang tergesa-gesa. S mengatakan,

Memang pilihan sendiri. Cuman memang ada faktor ketergesaan. Ketika


saya melihat ada sosok yang seperti kakak ipar saya, yang kira-kira satu
pemikiran (dengan saya) dan ketika saya lihat, “Sosoknya bagus ya baik,”
itu saya sangat subjektif tadi. Saya tidak meneliti lebih lanjut, gak
melakukan eksperimen lebih. Padahal sebenarnya tuntunannya kan
harusnya, “Cari tahu nih, dari adeknya, dari tetangganya, temen kost-
kostannya,” gitu. Itu gak saya cari. Saya tidak melakukan tuntunan itu
100%. Subjektifitas (Wawancara pada 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

Faktor ketergesaan dalam menikahi suaminya, penilaian yang subjektif

terhadap suami, serta tidak menelusuri asal-usul suaminya lebih

mendalam membuat S harus mengalami kekerasan dalam rumah tangga

setelah dua tahun usia pernikahannya, yaitu pada tahun 2008 ketika

anak pertamanya lahir. Dia menceritakan,

Jadi memang ketika awal menikah tahun 2006 itu saya liat nih, emang
udah mulai keliatan nih orang gampang badmood dan sekali badmood itu
sembuhnya lama, cuman itu aja. Tapi sebagai yang namanya pasutri awal

43
ya, saya gak langsung bilang, “Gak cocok,” gitu. Pastinya kita sebagai
muslimah berpikir bahwa kita harus jadi istri yang baik. Jadi ini adalah
masa adaptasi. Nah yang mulai saya tuh gak sreg, sangat gak sreg itu
ketika udah punya anak di tahun 2008 (Wawancara pada 17 Mei 2017 di
Kantor P2TP2A).

Akibat dari faktor-faktor tersebut, S menerima perlakuan kasar dari

sang suami selama 10 tahun pernikahan hingga akhirnya berani

membuka diri untuk mendiskusikan permasalahannya dengan pihak

P2TP2A. S mengalami kekerasan secara fisik, psikis, seksual, maupun

kekerasan ekonomi selama berumah tangga.

2. Informan LY
LY adalah informan kedua merupakan seorang ibu rumah tangga

berusia 38 tahun yang bertempat tinggal di wilayah PA. Ibu dari tiga

orang anak ini merupakan lulusan pada tahun 1997 di tingkat

pendidikan SMEA. Dia mengaku bahwa pertama kali mengenal suami

karena orang tua mereka sebelumnya sudah saling mengenal dan

memiliki bisnis yang serupa, yaitu berdagang di toko, sehingga orang

tuanya memiliki rencana untuk menikahi LY dengan suaminya. LY

juga menilai bahwa suaminya adalah sosok yang pendiam, baik, tidak

merokok, dan suka berolahraga. Setelah menikah, LY menyadari bahwa

suaminya semakin lama semakin berubah, dia menceritakan,

Yang saya lihat awalnya itu dia mudah gelisah ya, orangnya mudah
panik, terus saya baru tahu kalo ternyata dia tertekan oleh orang tuanya.
Sikap orang tuanya yang sering menyalahkan suami. Apa-apa masalah
keluarga suami yang dibebankan, suami juga yang disalahkan gitu,
banyak tekanan. Jadi di situ dia keliatan gampang panik gitu, suka gelisah
gitu (Wawancara pada 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

44
Sebelum sikap suaminya berubah menjadi gampang gelisah dan

panik, LY dan suami di awal pernikahan sempat merasakan

harmonisnya berumah tangga. Namun, ketika LY tengah mengandung

anak pertamanya, dia mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Dia

mengatakan,

Masih terasa (harmonis di awal pernikahan), cuma waktu saya hamil


enam atau tujuh bulanan anak pertama itu pertama kali saya dibentak
sama suami. Jadi bertengkar masalahnya waktu itu saya lupa ya masalah
persisnya apa. Cuma dalam hati saya gini, “Inikan bukan masalah besar
gitu gak seharusnya dia marah-marah. Tapi marah-marahnya tuh
meledak-meledak, mencaci maki, membentak-bentak sampai saya nangis-
nangis diapun gak kasian gitu.” Itu yang saya pertama kali ngerasa, “Kok
dia begini ya?” (Wawancara pada 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

Perubahan sikap suaminya tersebut membuat LY harus menderita

selama 14 tahun dalam berumah tangga. Semua bentuk kekerasanpun

dialami, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun kekerasan

ekonomi. Diapun merupakan seorang istri yang rela untuk dipoligami

karena merasa sudah tidak bisa membuat suaminya bahagia.

3. Informan M
Berikutnya adalah informan yang berinisial M dan menjadi seorang

ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di wilayah P. Saat ini, M

berusia 37 tahun dan merupakan lulusan S1 Akuntansi. Ibu dari

keempat anak ini menceritakan bahwa pertama kali mengenal suami

karena satu divisi dalam kantor yang sama, namun memiliki pekerjaan

yang berbeda. Kesan pertama yang dilihat oleh M terhadap suami

adalah baik. Perkenalan pada bulan Maret 2010 membuat M dan suami

menjadi dekat berdasarkan adanya sifat saling menghargai satu sama

45
lainnya. Memutuskan untuk menikah pada bulan Agustus 2010, dan

akhirnya pernikahanpun berlangsung pada Maret 2011. Namun

permasalahan pertama muncul ketika mereka sudah menikah, memiliki

anak pertama, dan mengontrak rumah, dia bercerita,

Mungkin kalo perubahan sikap sih yang paling keliatan setelah kita
ngontrak rumah sendiri ya. Itu di tahun 2012 setelah dia (putri pertama)
lahir ya. Kan setelah kita nikah itu tinggal sama orang tua saya di J.
Cuma pas begitu anak pertama saya lahir, kita mutusin ngontrak. Yaudah
ngontrak di sana, baru mulai sering pulang jam 10 malem, jam 12 malem.
Lama-lama jam 4 pagi (Wawancara 21 Juni 2017 di Kantor P2TP2A).

Berawal dari seringnya suami pulang malam ketika sudah mengontrak

sendiri, sifat kasarpun mulai ditunjukkan oleh suami. Dia mengatakan,

Awal mulanya itu (karena pulang malam). Kalau kasar mungkin ketika di
rumah kontrakan juga sih. Mungkin ketika saya sudah berhenti kerja,
terus saya nanyain permasalahan hutang. Disitu saya bertanya, “Masih
ada berapa sih hutang-hutang dari persiapan kita nikah sampai dia
(putri pertama) keluar,” itu tuh kalo udah menanyakan masalah uang itu
yang pertama diem aja gak dijawab. Lama-lama kok responnya nadanya
kenceng gitu (Wawancara 21 Juni 2017 di Kantor P2TP2A).

Perubahan sikap tersebut ternyata akibat dari adanya pihak ketiga

dalam kehidupan rumah tangga mereka. Pihak ketiga tersebut

merupakan seorang anak dibawah umur yang bekerja sebagai Pekerja

Seks Komersial (PSK). Selain itu, suami M seringkali tidak pulang ke

rumah dengan alasan sedang lembur, bahkan sampai berbulan-bulan

tidak pulang dan M jarang sekali diberi nafkah. Hal ini membuat M

selalu menerima kekerasan dari segi psikis dan ekonomi selama enam

tahun pernikahannya.

46
4. Informan TST
Selanjutnya merupakan informan yang berinisial TST dan telah

berusia 49 tahun. TST bertempat tinggal di BD dan merupakan lulusan

S1 pada jurusan Administrasi. Untuk menghidupi dirinya dan anaknya,

dia bekerja sebagai pedagang pakaian. TST menceritakan bahwa

suaminya merupakan rekan dari kakaknya sendiri yang cenderung

penurut, baik, dan pendiam. Akhirnya TST dan suami berpacaran

selama tiga bulan sebelum memutuskan untuk menikah pada tahun

1998. Namun keputusan untuk menikah tersebut merupakan desakan

dari orang tua dan kakaknya hingga membuat TST merasa takut. Dia

menceritakan,

Yaa gini ya, karena diiniin (ditekan) sama Mamak saya juga. Sebenernya
pilihan saya sendiri juga ya kurang bener juga ya. Karena Mamak saya
juga bilang, “Nanti tuh dia (suami) kasihan udah dateng terus,” teruskan
saya suka pergi sama kakak saya, terus kakak saya, “Lihat tuh kamu udah
berumur.” Jadikan ketakutan juga saya begitu. Terus Mamak saya
akhirnya, “Itu kasihan dia (suami) datang-datang terus,” gitu
(Wawancara 21 Juni 2017 di Kantor P2TP2A).

Akibat dari desakan orang tua dan kakaknya, TST harus menerima

kekerasan secara seksual di hari pertama menikah. Dia mengatakan,

Married satu hari itu udah ketahuan galaknya. Waktu pacaran enggak
ketahuan sifat jahatnya. Terus, kan, malem pertama lagi menstruasikan
ya, dia pake juga. Kita bilang jangan, tapi ya tetep aja dia begitu. Saya
kalo mau berhubungan intim sama dia tuh takut gara-gara itu
(Wawancara 21 Juni 2017 di Kantor P2TP2A).

Berawal dari mendapatkan kekerasan seksual tersebut, kurang lebih

selama 19 tahun usia pernikahannya, TST selalu mendapatkan

kekerasan fisik, psikis, dan ekonomipun kerapkali dia terima. Selain itu,

47
TST juga harus menerima bahwa suaminya telah selingkuh dengan

perempuan lain.

5. Informan A
Informan terakhir merupakan seorang ibu rumah tangga berinisial A

yang bertempat tinggal di wilayah P. Dia merupakan ibu dari dua orang

anak yang kini tengah menyelesaikan studi S1-nya pada Jurusan

Psikologi di salah satu universitas swasta di wilayah D. A pada tahun

ini baru menginjak usia 25 tahun dan memiliki usaha pada bidang

kuliner. A menceritakan bahwa awal mula kenal dengan suami di

lingkungan indekos yang berada di belakang kampusnya dan

dikenalkan oleh para senior-seniornya. Dia mengaku bahwa suaminya

termasuk orang yang pendiam yang hanya mau mengobrol dengan

teman-teman akrab yang seangkatan dengannya. Setelah proses

perkenalan dan berteman tersebut, akhirnya A dan suami memutuskan

untuk berpacaran selama satu tahun lebih. Selama masa-masa pacaran

tersebut, permasalahan yang sering muncul disebabkan karena

suaminya suka mengulur-ulur waktu.

A menceritakan bahwa menikah dengan suaminya tersebut

dikarenakan mendapat tekanan dan paksaan dari ayahnya karena pada

saat itu, A telah hamil di luar nikah. Saat mengetahui dirinya hamil, dia

kabur dari rumah dan tinggal di rumah sahabatnya. Ketika A

melahirkan dan tersendat pada permasalahan biaya persalinan cesar,

akhirnya teman-teman A meminta bantuan kepada Ayah A. Namun,

48
Ayah A menolaknya dan membuat A harus turun tangan langsung.

Akhirnya, A dijemput oleh ayah serta adiknya dan sesampainya di

rumah A dimarahi habis-habisan. Karena pernikahannya diundur-undur

oleh suaminya dengan alasan ingin wisuda dan bekerja terlebih dahulu,

akhirnya Ayah A memberikan mandat ke suami harus menikahi A pada

bulan Mei 2015 dan tidak perlu memikirkan biaya apapun.

Selain hamil di luar nikah, A mengakui bahwa suaminya telah

selingkuh darinya. Selingkuhannya tersebut sudah memililki suami dan

merupakan teman main suaminya. A mengaku telah mengenali

selingkuhan suaminya. A mengatakan,

Ya tahulah, orang dia (selingkuhan suami) pernah dateng ke rumah minta


maaf. Kan saya bukan tipe orang yang dateng, kita marah-marah, terus
kita usir, enggak. Aku suruh masuk, dia minta maaf tuh nangis-nangis
bulan November. Desember awal malah cuti tuh berdua liburan ke B
(Wawancara 22 Juni 2017 di Kantor P2TP2A).

Akibat dari selingkuh tersebut, suaminya menjadi jarang pulang ke

rumah dan akhirnya menelantarkan A dan anak-anaknya. Selain

mendapatkan kekerasan dari segi ekonomi, A juga seringkali mendapat

kekerasan secara psikis ketika dirinya melakukan sedikit kesalahan,

maka suaminya akan marah-marah.

Berikut ini merupakan ringkasan kekerasan dalam rumah tangga

yang diterima oleh kelima informan yang telah bersedia untuk

membagikan pengalamannya selama berumah tangga dengan suaminya

yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga:

49
Tabel II.E.10. Daftar Ringkasan Korban beserta Kekerasan dalam Rumah Tangga
yang Diterima
No Nama (Inisial) Jenis Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
Diterima
1. Ibu S Kekerasan fisik, psikis, seksual, spiritual, dan
ekonomi.
2. Ibu LY Kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.
3. Ibu M Kekerasan psikis dan ekonomi.
4. Ibu TST Kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.
5. Ibu A Kekerasan psikis, bahasa, dan ekonomi.
Sumber: Olahan Penulis Pribadi berdasarkan pada Data Wawancara, 2017.

50
BAB III TEMUAN DAN

ANALISIS

Persoalan mengenai geografi dan demografi wilayah yang terdiri dari posisi

geografis, ekonomi, pendidikan, dan jumlah korban kekerasan dalam rumah

tangga di Kecamatan Pamulang telah dibahas pada bab sebelumnya. Penulis

akan memaparkan mengenai faktor-faktor kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan,

serta dampak yang dialami korban kekerasan dalam rumah tangga dengan

subjek perempuan.

A. Faktor-Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kecamatan


Pamulang, Tangerang Selatan
Penulis menarik kesimpulan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga

terjadi karena disebabkan oleh faktor pendorong, seperti budaya patriarki

dan interpretasi agama yang bias. Serta faktor pemicu, seperti

perselingkuhan suami, keterbatasan ekonomi, stereotip, dan adanya campur

tangan pihak ketiga. Faktor-faktor tersebut menjadi saling berkaitan sehingga

mengakibatkan kekerasan. Berikut secara rinci akan penulis jabarkan faktor

pendorong dan faktor pemicu berdasarkan hasil wawancara penulis dengan

kelima informan.

1. Faktor Pendorong
1.1. Budaya Patriarki

Patriarki merupakan garis keturunan berada di tangan laki-laki

yang telah membudaya sejak lama, sehingga menimbulkan relasi

gender yang timpang karena laki-laki dinilai sebagai sosok yang

mendominasi perempuan. Kelima informan yang penulis

51
wawancarai, S, LY, TST, dan A yaitu menempatkan suami mereka

sebagai orang yang berkuasa di dalam keluarga karena statusnya

sebagai kepala keluarga.

Dalam kehidupan berumah tangga, S mengatakan bahwa

suaminya yang mengatur dan berkuasa atas rumah tangganya. S

mengaku bahwa ketika dirinya dan suami sedang dihadapkan pada

suatu pilihan, pilihan tersebut hanya dibicarakan kepada S untuk

meminta persetujuan tanpa mempertimbangkan pendapat yang

dikeluarkan S. Pola yang cenderung represif (satu arah) ini

diceritakan oleh S,

Iya pernah. Masalah rancangan rumah dulu. Dia bilang, “Silahkan


Umi yang rancang,” “Bi, rancangannya kayak gini jadinya,” “Tapi
kalo misalkan ininya kayak gini, biayanya begini,” “Katanya mau
diserahkan ke Umi?” “Ya itu berarti harganya sekian.” “Oh berarti
intinya rancangan itu tadi, ya, yang Abi rancang?” “Ya terserah ke
Umi,” “Ya kan biayanya di Abi, yaudah gapapa.” Jadi ya tetep
pendapatnya dia cuma minta persetujuan aja ke kita, gitu
(Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

Selain itu, suami S menetapkan sebuah aturan, yaitu ketika

suaminya menelepon S, aktifitas apapun yang sedang dilakukan S

harus ditinggal untuk mengangkat telepon suaminya tersebut. Jika

aturan tersebut tidak dilakukan oleh S, suaminya akan marah-

marah. Hal ini pernah terjadi ketika S tidak mengangkat telepon

dari suaminya tersebut lantaran dirinya merasa kecapekan hingga

muncul lebam berwarna biru yang timbul dengan sendirinya.

Dirinya mengatakan,

Saya fotoin itu (luka lebam) dan saya kirim ke suami. Saya bilang,
“Maaf kalo misalkan Abi enggak percaya. Nih, Umi enggak

52
ngangkat telepon karna kecapekan.” Jadi dia nelpon saya, tapi
enggak saya angkat-angkat karena saya kecapekan dan enggak
denger. Padahal itu volumenya udah maksimal. Capek banget,
sampai saya enggak kedengeran (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor
P2TP2A).

Saat kejadian tersebut, S sedang berlibur ke rumah mertuanya dan

terdapat ibu mertua yang sedang sakit, bapak mertuanya yang

sedang kecapekan, dan adik iparnya yang sedang sibuk mengurusi

anak pertama. S mengatakan bahwa mereka sedang sibuk dengan

urusannya masing-masing sehingga tidak ada yang mengangkat

telepon dari suami S. Selain dimarahi, S juga mengaku

mendapatkan ancaman dari suaminya,

Nah di situ, orang di rumah itu gak tau kalo suami saya itu
menerapkan sebuah aturan kalo misalkan Abi nelepon harus
langsung diangkat. Tidak ada yang tau aturan itu, cuma sayakan. Dia
tuh marah besar. Marah tuh sampe dua jam, maki-maki saya
ditelepon. Sebenernya saya tuh gak mau meloudspeaker itu. Tapi
karena puanasnya kuping saya, “Aduh panas banget, udah gitu maki-
maki pula,” akhirnya saya loudspeaker, kan. Saya taruh di meja
biarlah dia mau ngomong apa gitu. (Wawancara 17 Mei 2017 di
Kantor P2TP2A).

Selanjutnya adalah LY. Dirinya mengaku selalu merasa kurang

tidur ketika sedang bertengkar karena suaminya selalu meminta

untuk dilayani. LY mengatakan,

Jadi ya itu, saya jadi kurang tidur karena sehabis bertengkar tuh dia
pasti minta dilayanin. Dan cara mintanya tuh cuma pake kode aja,
kurang ajar kan itu ya. Kan saya minta maaf, “Yaudah deh,” kan
untuk meredakan amarahnya dia. Terus nanti dia bilang, “Orang
bayangannya udah ngebayangin kalo pulang tuh bisa main gitu,”
maksudnya kalo bilangnya hubungan intim tuh dia bilangnya main
(Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

Selain kasus tersebut, LY juga menceritakan bahwa dirinya

kerapkali diatur-atur ketika suaminya sering pulang larut malam.

53
LY harus selalu standby untuk membukakan pintu ketika suaminya

tiba di rumah. Pada saat yang sama, suaminya langsung menyuruh

LY untuk membuatkan makanan tengah malam. LY menuturkan,

Dalam hati saya, “Ih kurang ajar banget. Dia pulangnya gak
nyenengin,” kan saya abis bukain pintu saya langsung tidur ya, “L, L,
ayok bikin minum. Bikinin abang mie.” Saya, kan, tidur lagi sampai
akhirnya tangan saya ditarik, didudukin, “Aduh nih tulang punggung
rasanya gimanaaa gitu. Sampe gemeteran gitu.” Akhirnya saya ke
kamar mandi cuci muka, sikat gigi, terus saya masakin indomie sama
bikin teh anget (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

TST merupakan informan selanjutnya yang menerapkan sistem

patriarki selain S, LY, dan M. TST mengatakan bahwa dalam

pengambilan keputusan seperti permasalahan nama anak dan

sekolah untuk anak-anaknya, dia tidak pernah dilibatkan pada

permasalahan-permasalahan tersebut dan tidak diperbolehkan

untuk berpendapat. Selain itu, suami TST juga menerapkan atuan

berupa seluruh harta benda yang dimiliki oleh TST, harus

diatasnamakan suaminya. TST menceritakan,

Ngatur-ngatur semua motor juga atas nama dia semua. Sampe-


sampe, Dek, kalo punya televisi kabel itu ya, itu waktu pertama atas
nama saya. Diganti harus nama dia. Itu aja harus nama dia. Makanya
itu atas nama dia semua, Dek, enggak ada nama saya apapun
(Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

TST menceritakan bahwa ketika dirinya mengambil salah satu

motor miliknya, dia justru dituduh mencuri hanya karena motor

tersebut atas nama milik suaminya. Padahal, suami TST sama

sekali tidak memberinya uang untuk membayar semua harta benda

tersebut, melainkan TSTlah yang membayar semuanya. TST

mengungkapkan,

54
Saya dibilang mencuri motor padahal motornya ada dua waktu saya
setelah kecelakaan, motornya ditaro sana (di rumah), Dek. Terus
saya ngambil motor saya itu, eh motor yang biru ini dikatain
mencuri. Mencuri motor, makanya make nama dia semua
(Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

Selain motor dan televisi kabel miliknya yang harus berpindah

nama pemilik, TST mengaku bahwa rumah yang dirinya tempati

sekarang bersama anak-anaknya juga atas nama suaminya. Padahal

pelunasan rumah yang ditempatinya sekarang sebagian dibantu

oleh Mamaknya dan sebagian lagi merupakan hasil jerih payah

TST selama bekerja. “Ada saya juga emas-emas habis gara-gara

demi keluarga saya, berlian-berlian yang dikasih Mamak saya

habis. Demi punya rumah atas nama saya. Sampe-sampe yang di

daerah BD juga pertamanya Mamak saya juga bantuin, Dek.”

Informan terakhir selain S, LY, M, dan TST adalah A yang

menerapkan budaya patriarki dengan suaminya suka mengatur-

ngatur dirinya, khususnya dalam hal berpakaian. A berjanji bahwa

setelah melahirkan anak pertama, pergi kemanapun harus memakai

jilbab. A menambahkan bahwa sebenarnya dirinya sudah memakai

jilbab sejak kuliah, namun hal tersebut belum dilakukannya secara

mantap. A menuturkan,

Dia tuh emang enggak suka aku pake kerudung. Maksudnya


dia bilang tuh gini, “Udah sih pake kerudung tuh entar aja,”
gitu. “Lha? Enggak bisa gitu dong. Harusnya lo bersyukur
punya istri yang mau berkerudung, tanpa diminta, lho. Coba
sama perempuan lain,” gitukan (Wawancara 22 Juni 2017 di
Kantor P2TP2A).

55
Selain mengatur-ngatur dalam hal berpakaian, A juga dilarang

melakukan tugas rumah tangga seperti bersih-bersih, mencuci

pakaian, dan lain-lain. Namun suaminya tetap menginginkan agar

rumahnya selalu bersih dan rapi. Mau tidak mau, A tetap harus

melakukan pekerjaan rumah tersebut walaupun suaminya sudah

melarangnya.

Pengalaman yang dialami oleh kelima informan tersebut adalah

contoh dari budaya patriarki yang dicetuskan oleh Bhasin bahwa

ayah merupakan penguasa keluarga dimana tempat kaum laki-laki

berkuasa atas kaum perempuan dan anak-anak (Jayanthi, 2009: 43).

Pengertian lain diungkapkan oleh Usman yang dikutip oleh Sri

Meiyanti dalam bukunya yang berjudul Kekerasan terhadap

Perempuan dalam Rumah Tangga (1999) yang mengatakan bahwa

peranan sosial antara laki-laki dan perempuan dibingkai oleh sistem

patriarki dimana laki-laki ditempatkan pada posisi kunci atau posisi

yang lebih dominan. Selanjutnya sistem tersebut melahirkan sebuah

status dan peran perempuan berada di bawah perwalian laki-laki

(Jayanthi, 2009: 43).

1.2. Interpretasi Agama yang Bias

Jika istri melanggar atau tidak menuruti keinginan suami, maka

istri harus menerima hukuman baik dalam bentuk kekerasan fisik

maupun kekerasan psikis yang dinilai wajar. Bentuk hukuman

seperti inipun pernah dialami dan dirasakan oleh S di mana ketika

56
dirinya melakukan kesalahan, suaminya langsung mengaitkan

kepada doktrin-doktrin agama. S menceritakan,

Dogma-dogma itu lho kayak, “Istri yang durhaka.” Jadi sampe saya
bilang gini, “Abi menikah sama umi karena umi akhwat, ya?” Bener,
saya sampe kayak gitu, kenapa? Kan dia pernah bilang, “Selera Abi
tuh yang akhwat.” Iyalah kalo akhwat kan bisa didogma ya kalo
salah sedikit, “Kamu gimana sih? Enggak pernah liat fikih
wanitanya, ya?” gitu. Jadi mereka menuntut wanita itu untuk bisa
sesuai fikih wanita karena mereka gak ngacak, mereka suami kayak
apa (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

Dapat dikatakan dengan adanya doktrin agama tersebut membuat

wanita semakin tunduk kepada suami dan tidak berani melanggar

keinginan suami. Hal ini semakin menguatkan posisi suami untuk

mendominasi dan melemahkan kontrol istri atas dirinya sendiri.

Akhirnya istri hanya bisa pasrah dan menerima seluruh tindakan

suaminya dengan wajar karena dibenarkan oleh doktrin agama

tersebut.

Pengalaman serupa turut dirasakan oleh LY yang merasa tidak

percaya diri jika suaminya sudah mencaci maki ketika melakukan

sedikit kesalahan. Terlebih lagi jika sedang berada di depan banyak

orang. LY mengatakan,

Bahkan jalan sama dia (suami) aja, saya gak pede (percaya diri)
karena saya terlalu sering kayak dikatain anjing, bangsat, gitu.
Pokoknya saya merasa jelek gitu. Karena setiap ngomong tuh kasar
di depan orang-orang. Kesalahan saya yang kecil aja itu
dimarahinnya berlebihan, bentak-bentaknya depan orang-orang
(Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

Kejadian teresebut terjadi secara berulang-ulang dan tampak seperti

alami ketika istri dihukum jika berbuat salah. Hal ini membuat LY

kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

57
TST merupakan informan selanjutnya yang menerima ucapan

kasar ketika dirinya melakukan sedikit kesalahan. Dirinya

menuturkan, “Dulukan sering saya kalo salah sedikit gitu,

dimarahin. Sedikit aja masalah, pasti dia marah. Marahnya lebih

ke ngomel-ngomel, kuat gitu.” Memilih untuk diam dan berusaha

menuruti keinginan suami merupakan cara TST agar suaminya

tidak marah ketika dirinya berbuat kesalahan. Hal ini merupakan

bentuk tunduk dan patuh istri terhadap suami.

2. Faktor Pemicu
2.1. Perselingkuhan Suami

Pengertian selingkuh dalam kehidupan rumah tangga adalah

tindakan yang dilakukan oleh pasangan dengan orang lain di mana

dalam konteks ini membicarakan tentang suami menikah atau

mempunyai istri atau pacar lagi (Jayanthi, 2009: 40). Pengalaman

pahitnya diselingkuhi pernah dirasakan oleh empat dari kelima

informan yang diwawancarai, yaitu LY, M, TST, dan A.

LY diselingkuhi karena merasa selalu salah di mata suaminya.

Kesalahan sekecil apapun yang dilakukan selalu berujung pada caci

maki. Hal ini menimbulkan perasaan kurang percaya diri yang

dirasakan oleh LY. LY menenuturkan,

Jadi saat saya dicaci maki saya selalu bilang, “Yaudah kalo emang
saya ini salah, mudah-mudahan kamu dapet istri yang lebih baik,”
sampai saya ngomongnya begitu. Saking saya gini, “Coba deh cari
perempuan lain yang bisa ngertiin dia dan keluarganya gitu. Kok
saya dicaci maki,” maksud saya begitu. Tapi akhirnya dia beneran

58
nikah sama orang lain (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor
P2TP2A).

Setelah suaminya memutuskan untuk menikah kembali, LY

semakin kurang percaya diri dan mulai meragukan perasaan

suaminya. LY mengaku menerima untuk dipoligami lantaran sudah

tidak sanggup untuk membahagiakan suaminya dan untuk

mengejar status baik. Hal ini serupa dengan salah satu poin yang

ditulis oleh Satardama (2010: 41) yang dikutip oleh Lina

Rahmawati dalam tulisannya yang berjudul Problematika

Perselingkuhan Suami Dan Upaya Penanganannya Menurut Julia

Hartley Moore Dan Mohamad Surya (Perspektif Fungsi Bki) yang

mengatakan bahwa salah satu dampak dari adanya perselingkuhan

adalah marah kepada diri sendiri, karena ia kemudian menilai

dirinya sebagai individu yang telah gagal membina kelangsungan

perkawinan (2015: 44).

Selain LY, M merupakan salah satu informan yang diselingkuhi

oleh suaminya karena memiliki orientasi seksual yang tinggi

sehingga menyalurkannya bukan pada dirinya, melainkan kepada

seorang PSK (Pekerja Seks Komersial) yang pada saat itu masih

berusia 15 tahun. M juga menambahkan bahwa gadis PSK tersebut

sudah dikenali oleh suaminya sebelum suaminya mengenal M. M

menuturkan,

Dia tidak melakukan itu ke saya (kekerasan secara seksual) karena


biasanya dia kecanduan seks. Jadi saya baru tahu semuanya tahun ini
ternyata dia kecanduan seks sama PSK. Itulah wanitanya, wanita

59
PSK, penari telanjang. Saya baru tahu semuanya. (Wawancara 21
Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

M mengaku tidak mengenal selingkuhan suaminya lantaran gadis

tersebut bekerja pada salah satu klub PSK dan hanya melihat

wajahnya ketika dirinya melakukan penggerebekan. M juga

mengatakan bahwa selingkuhan suaminya tersebut tidak

memperbolehkan suami M untuk menemuinya. Hal ini

menyebabkan suami M jarang sekali pulang ke rumah.

Selain LY dan M, TST merupakan informan berikutnya yang

diselingkuhi oleh suami. Dahulu, TST pernah mengalami

kecelakaan yang mengakibatkan tangannya patah. Sejak kejadian

tersebut, TST mengenal selingkuhan suaminya tersebut. Lalu pada

saat dirinya berusaha meminta haknya kepada salah satu universitas

swasta di daerah T sebagai istri dari seorang dosen, dirinya

mendapat banyak informasi mengenai suami dan selingkuhannya.

TST mengatakan,

Saya dikasih tahu oleh salah satu orang di universitas tersebut kalau
suami saya mengambil gajinya bersama dengan seorang perempuan.
Saya enggak dikasih tahu kalau suami langsung transfer gaji ke
rekening perempuan itu (Wawancara 21 Juni 2017 di Kantor
P2TP2A).

Informan terakhir selain LY, M, dan TST yang diselingkuhi oleh

suami adalah A. Dirinya mengaku awalnya suami dan

selingkuhannya hanya sebatas teman main dan teman satu kantor.

A menuturkan,

Sebenernya (selingkuhan suami) itu temennya (suami). Jadi itu


temen deket dia satu kantor, eh bukan satu kantor ya beda cabang,

60
cuma temen main. Si perempuan ini nih pacaran sama temen dia
(suami) namanya B. B resign dari salah satu bank, deketlah sama
suami saya (Wawancara 22 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

A mengetahui bahwa suaminya selingkuh karena diberitahu oleh

atasan suami yang sekaligus teman curhat dari selingkuhan

suaminya.

2.2. Keterbatasan Ekonomi

Faktor kedua yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga yaitu faktor ekonomi. Menurut Jayanthi

(2009: 42), dalam sebuah keluarga, suami memiliki kewajiban

untuk menafkahi keluarganya sedangkan anak dan istri memiliki

hak untuk mendapatkan nafkah. Namun jika seorang suami tidak

melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya, maka terjadilah

kekerasan ekonomi, seperti yang terjadi pada informan yang

penulis wawancara, yaitu TST, A, dan M.

TST mengaku bahwa selama suaminya tidak menafkahi dirinya

dan anak-anaknya, orang tuanya selalu terlibat dalam permasalahan

tersebut. TST juga jadi memiliki hutang dan merasa tidak

bertanggung jawab jika melibatkan ibunya. TST menceritakan,

Ya banyak ya (kerugian yang dialami akibat kekerasan dalam rumah


tangga). Anak saya jadi enggak sekolah. Saya juga ada utang juga
gara-gara keadaan saya susah gini ya. Terus orang tua saya juga, kan
kasihan. Kita udah di sekolahin sampe S1 tiba-tiba dia (orang tua)
juga yang kasih kita nafkah. Sampe anak saya juga, dia (orang tua)
yang biayain (Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

TST berusaha meringankan beban orang tuanya agar tidak lagi

terbebani dengan biaya sekolah anaknya serta untuk membayar

61
hutang-hutangnya dengan bekerja sebagai pedagang pakaian di

wilayah P, tempat tinggalnya terdahulu. TST menuturkan,

Saya tukang dagang kok. Di wilayah P aja banyak temen saya,


tempat saya dulu tinggal. Malah mereka kasihan melihat keadaan
saya begini ya. Malah mereka bilang, “Udah, cerai aja. Kamu kan
bisa nyari duit,” mereka bilang gitu. (Wawancara 21 Juli 2017 di
Kantor P2TP2A).

TST mengaku sangat sakit hati dengan perlakuan suaminya

yang tidak bertanggungjawab. Semua barang-barang yang dimiliki

oleh TST mulai dari motor dan rumah harus menjadi milik suami.

Bahkan, emas dan berlian yang dimiliki oleh TST yang diberikan

oleh Mamaknya juga habis untuk menghidupi keluarganya.

Selain TST, adapula A yang memiliki nasib sama dengan TST.

A mengatakan bahwa dirinya jarang sekali dinafkahi oleh suaminya

sehingga tidak jarang dirinya meminta bantuan kepada Ayahnya. A

mulai berusaha untuk terbuka ketika dirinya sedang membutuhkan

uang untuk membayar kontrakan rumah yang ditempati karena

disuruh oleh suami untuk mencari pinjaman. A menceritakan,

Kalo saya tuh ngadu (ke Ayah) baru bulan April kemarin gara-gara
saya disuruh (suami) minjem nyari uang kontrakan. Itu saya udah
ngomong sama Ayah saya. Ayah saya bilang, “Suamimu, dong,
telepon saya,” kata dia suruh tanggung jawab. Akhirnya saya
telepon, saya tuh enggak bisa ngehubungin si K (suami) karena
nomor saya diblokir, WhatsApp saya diblokir, Line saya diblokir.
Jadi saya cuma dari Path, itupun dari PathTalk enggak pernah
dibaca sama dia. Dan saya suruh ibunya nelepon, “Suruh telepon
saya, Mak. Bilangin A (saya) mau ngomong,” dan itupun enggak
nelepon-nelepon (Wawancara 22 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).
.
Karena ibu mertuanya tidak kunjung menghubungi anaknya, A

berinisiatif untuk menghubungi suaminya dengan nomor adiknya.

62
Karena tidak diangkat, akhirnya A menelepon suaminya dengan

nomor baru dan telepon tersebut kemudian diangkat.

A sadar dirinya kekurangan dalam ekonomi dan membuatnya

harus memutar otak untuk bertahan hidup jika tidak dinafkahi oleh

suaminya. Akhirnya, A memutuskan untuk membuka suatu usaha

kuliner, yaitu ayam geprek. Modal usaha tersebut diperoleh ketika

anak-anaknya diberi uang oleh saudara, kemudian dikumpulkan

oleh A.

M merupakan informan terakhir yang mengaku ketika suaminya

menganggur, demi mempertahankan kehidupan dirinya rela

menggunakan uang tabungannya. Setelah uang tabungannya habis,

orang tua M turut membantu masalah perekonomiannya. Tak

jarang keluarganya mulai dari kakak dan tantenya memberi anak-

anaknya sedikit rezeki. Hal tersebut bisa menjadi sumber

kehidupannya ketika suaminya tidak bisa memberinya nafkah.

Ketiga kasus yang telah dijabarkan sebelumnya merupakan

salah satu faktor yang menyebabkan kekerasan dalam rumah

tangga. Menurut Fathul Djannah (2002) seperti yang dikutip oleh

Sukerti dalam tulisannya yang berjudul Kekerasan Terhadap

Perempuan Dalam Rumah Tangga (Kajian Dari Perspektif Hukum

Dan Gender) menyatakan bahwa kemandirian istri dalam

pemenuhan ekonomi dengan cara bekerja di luar rumah membuat

istri menjadi korban kekerasan karena suami mengetahui bahwa

63
istrinya sudah memiliki penghasilan sendiri. Sehingga tidak

membutuhkan nafkah lagi dan suami menjadi lepas dari

tanggungjawabnya begitu saja sebagai seorang kepala keluarga.

Berdasarkan asumsi tersebut dan dibuktikan dengan data-data yang

diperoleh, maka penulis menyimpulkan bahwa faktor ekonomi

merupakan salah satu penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah

tangga.

2.3. Stereotipe

Banyak penilaian dari masyarakat yang sudah mengakar sejak

dahulu dalam kaitannya dengan laki-laki dan perempuan. Misalnya

seperti, perempuan memiliki sifat yang lemah lembut sedangkan

laki-laki cenderung kasar dan kuat. Keempat informan yang penulis

wawancara, yaitu S, LY, TST, dan M mengaku tidak berani jika

harus melawan suami karena semakin dilawan, maka akan semakin

manjadi-jadi.

S merupakan salah satu informan yang pernah melakukan

perlawanan ketika dicekik, yaitu dengan cara menggigit tangan

suaminya. S mengaku bahwa dengan melakukan perlawanan

tersebut dirasa percuma, tidak menyelesaikan permasalahan yang

ada, dan justru berujung pada pertengkaran yang semakin rumit.

LY tidak jauh berbeda dengan S yang sempat melakukan

perlawanan dengan berani menjawab tuduhan dari suaminya

tersebut. LY menuturkan,

64
Saya jawab omongannya karena dia banyak nuduh saya. Tapi dia
yang suka nendang pintu lemari sampe engselnya copot. Nendang
lemari plastik sampe bolong, banting piring sampe ancur. Saya mah
ngomong marahpun, saya duduk aja (Wawancara 17 Mei 2017 di
Kantor P2TP2A).

LY menceritakan lebih lanjut jika dirinya sedang merasa capek dan

suaminya mulai mengomel, dirinya hanya mendengarkan perkataan

suaminya tersebut. “Iya, soalnya dia kalo dilawanin tambah jadi.

Saya dengerin aja. Saya (menjawab) dalem hati aja, „Ih kok jadi

ngomongin itu dah? Ih emang dia begitu dah?‟ Gitu.” LY

mengatakan jika dirinya senang bisa lebih menguasai emosinya

daripada suaminya yang tidak bisa mengontrol emosinya.

Selain S dan LY, M pun mengaku jika dirinya lebih memilih

pasrah dan tidak berani melawan perlakuan suaminya ketika

lehernya ditekan oleh siku suaminya dan anaknya menyaksikan

kejadian tersebut. M menceritakan,

Jadi saya pada saat itu ya kalo memang sudah waktunya meninggal,
ya meninggal aja. Toh saya tahu hidup saya kenapa dalam lima
tahun terakhir. Kalo kemarin-kemarinkan masih tanda
tanya,”Kenapa, ya? Kenapa begini? Kenapa begitu?” gitu, lho.
Kalopun saya mati, saya enggak mau mati penasaran gitu. Jadi
waktu kemarin pas saya digituin (ditekan lehernya dengan siku),
yaudah kalo memang mau bunuh, bunuh. Tapi jangan di depan anak-
anak (Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

Informan terakhir yang hanya menerima kekerasan dari suami

dan tidak berusaha melawan adalah TST. Ketika dirinya

mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dalam bentuk

penyiksaan fisik maupun psikis, dirinya hanya diam saja. TST

mengatakan,

65
Waktu saya kecil katanya saya dikatain kayak orang hilang ingatan.
Saya selalu dikatain bego, tolol, selalu dikatain gitu. Enggak bisa
nulis, enggak bisa baca, enggak bisa segala macem. Katanya
pendengaran saya terganggu. Pokoknya itu semua, dijelek-jelekin.
Tapi saya diem aja, enggak digubris (Wawancara 21 Juli 2017 di
Kantor P2TP2A).

TST menambahkan jika dirinya melawan, justru akan

memperpanjang permasalahan. “Kalo saya sendiri, karena saya tau

dia jadi saya takut sama dia gitu. Nurutin aja karena saya takut

diapa-apain dia.” Hal ini dilakukan TST agar suaminya tidak

semakin menjadi-jadi jika melampiaskan kekesalan kepadanya.

Tindakan untuk tidak melawan yang diambil oleh keempat

informan tersebut terpaksa dilakukan agar suami mereka tidak

semakin menjadi-jadi karena laki-laki dinilai lebih kuat daripada

perempuan. Hal ini serupa dengan pernyataan oleh Mufidah Ch

yang dikutip dari tulisan Jayahthi dalam bukunya yang berjudul

Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Dijelaskan bahwa

salah satu faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah

adanya pandangan dan pelabelan negatif (stereotip) dari

masyarakat yang sangat merugikan. Mufidah memberikan contoh

seperti laki-laki kasar dan perempuan lemah (Jayanthi, 2009: 38).

2.4. Campur Tangan Pihak Ketiga

Campur tangan pihak ketiga biasanya melibatkan keluarga-

keluarga dari pihak suami di mana fungsi keluarga bukan menjadi

66
salah satu jembatan antara anak dan menantunya untuk mencegah

jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, namun justru

mengacaukan rumah tangga anak dan menantunya. Tiga informan

memiliki pengalaman serupa berkaitan dengan mertua mereka yang

terlalu ikut campur dalam kehidupan rumah tangganya. Mereka

adalah LY, TST, dan A.

LY merupakan salah satu dari tiga informan yang mertuanya

terlalu ikut campur dalam rumah tangganya. Hal ini terbukti jika

LY dan suami sedang tidak harmonis, mertuanya suka berkata

ketus, mengancam, suka menuduh, dan suka membuat hatinya

sedih. Tindakan yang dilakukan mertuanya tersebut mengakibatkan

suaminya meniru tindakan tersebut. Bahkan mertuanya mengetahui

bahwa LY kerapkali menerima kekerasan dari suaminya. LY

mengatakan,

Tahu (mertua tahu jika LY diperlakukan kasar oleh suaminya).


Sekali saya ada cerita (dengan mertua), tapi mereka enggak peduli.
Cuma ke orang tua saya, saya enggak cerita karena saya khawatir dia
cemas ya. Kalo saya cerita ke keluarga mertua kayak mertua saya
atau tantenya suami, harapan saya bisa menasehati suami saya gitu.
Tapi enggak ada perubahan. Soalnya karakternya sama sih, mertua
saya, suami saya, itu karakternya sama (Wawancara 17 Mei 2017 di
Kantor P2TP2A).

Jika suaminya memiliki permasalahan dengan keluarga dan

teman-temannya, LY mengaku bahwa dirinya merupakan

seseorang yang bisa menjadi penengah antara suami dengan

keluarga atau teman-temannya. LY menuturkan,

Tapi kalo ada masalah-masalah ke orang tuanya, ke adik-adiknya,


sama temen-temennya itu banyak curhat sama saya gitu, minta

67
pandangan saya. Tapi dia jalanin saran saya. Saya diberi kesempatan
untuk berpendapat. (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

LY merasa tidak tahan tinggal satu rumah bersama mertua

merupakan tindakan yang menggambarkan bahwa dirinya sudah

tidak sanggup jika kehidupan rumah tangganya selalu

diikutcampuri oleh mertua dan adik suaminya.

Selain LY, adapula TST yang mengalami hal serupa dengan LY

di mana mertua dan adik iparnya terlalu ikut campur. TST

mengaku bahwa setelah pernikahannya, selama empat bulan

mertuanya tinggal di rumahnya. TST menceritakan,

Saya waktu baru kawin, tinggal di rumah Adik saya. Adik saya di
Amerika, saya tempatin rumahnya di wilayah S. Di situ tiba-tiba
mertua saya dateng, itu mertua saya bikin masalah, lah. Ya
pokoknya saya enggak tahu ya waktu itu masalah apa. Kayaknya
mertua saya tuh cemburu bahwa saya, “Kok ada, sih, baru kawin
punya itu?” sedangkan itukan disiapin orang tua saya, misalnya
rumah gitu ya, terus punya pembantu (Wawancara 21 Juli 2017 di
Kantor P2TP2A).

Selama mertuanya tinggal di rumah TST, mertuanya selalu

menjelek-jelekkan dirinya di depan suaminya. Selain harus

berurusan dengan mertua, adik iparnya juga terlalu ikut campur

kehidupan rumah tangga TST. TST mengatakan,

Sampe dia (mertua) pulang dari rumah saya di wilayah B, saya


didamprat (dicaci maki) sama adiknya. Disangkanya saya enggak
kasih makan dia (suami), “Enggak ngasih makan gimana
maksudnya?” Kata saya gitu. Akhirnya saya dibegituin (dicaci maki)
tapi saya enggak mau kasih tahu ke suami saya kalo saya didamprat
(dicaci maki) sama adiknya, saya enggak pernah nyeritain. Soalnya
saya tau dia (suami) lebih bela adiknya daripada saya (Wawancara
21 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

Informan terakhir adalah A. Setelah empat hari melahirkan anak

pertamanya, mertua A mulai ikut campur terhadap

68
permasalahannya. Karena anak A ditahan oleh bidan, mertuanya

menghubungi A dan mengatakan, “A enggak bisa ya izin keluar

dulu buat nyari pinjeman (uang)?” Namun setelah A bertanya dan

akan membiarkan anaknya tetap bersama bidan, bidan tersebut

menjawab, “Lho, Mbak. Saya bukannya takut Mbak kabur. Tapi

Mbak itu abis operasi, cesar. Kalo ada apa-apa sama Mbak di

jalan, siapa yang mau tanggung jawab? Ibu mertuanya mau

tanggung jawab?”

Bukan saja setelah melahirkan anak pertama, namun ketika

dirinya sedang mengandung anak keduanya dan sedang memasuki

usia tujuh bulan, mertua A kerap kali bercerita mengenai A kepada

tetangga-tetangganya. A menuturkan,

Ibu mertuaku suka cerita gini…gini…gini (ke tetangga) dan


akhirnya tetangga suka nyindir. Kan ibu mertua aku suka dipanggil
„Mbak‟, “Eh.. Eh.. Eh.. Mbak itu bilangin, dong, ke bapaknya si A,
nanti kalo misalnya si A tau-tau kenapa-kenapa, gimana? Kan
enggak ada orang karena suaminya jarang pulang,” gitu
(Wawancara 22 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

A mengaku bahwa selama mengandung anak keduanya, dirinya

kerap kali mengalami permasalahan kram pada perutnya. Jika kram

perut tersebut sedang dirasakannya, untuk pergi ke kamar

mandipun A hanya bisa berjalan dengan merembet-merembet ke

tembok. Dirinyapun mengaku jika merasa benar-benar capek, yang

bisa dilakukan hanyalah tiduran selama dua hari.

Menurut Thobroni dan Aliyah Munir (2010) seperti dikutip oleh

Susy Nur Cahyanti (2017: 4) mengatakan bahwa salah satu pihak

69
baik suami maupun istri yang tinggal satu atap bersama mertua

akan mengalami kekerasan psikis. Hal ini disebabkan pihak yang

tinggal satu atap dengan mertua dituntut untuk mengikuti gaya

hidup yang berbeda karena latar belakang keluarga serta

lingkungan yang berbeda pula.

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kecamatan


Pamulang, Tangerang Selatan
Dalam kurun waktu kurang lebih tiga bulan lamanya melakukan studi

lapangan, penulis mengklarifikasikan bahwa secara umum terdapat empat

bentuk dalam kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik, psikis,

ekonomi, dan seksual. Hanya tiga dari lima orang informan mengalami

keempat bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan sisanya hanya mengalami

dua bentuk kekerasan lainnya. Berikut merupakan bentuk-bentuk kekerasan

dalam rumah tangga yang terjadi berdasarkan hasil wawancara, yaitu:

1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan salah satu bentuk serangan berupa fisik

seperti menendang, memukul, mencubit, dan semua kekerasan yang

berkaitan dengan menyakiti fisik seseorang. Kekerasan fisik ini

dirasakan oleh empat dari lima informan mereka diantaranya adalah S,

LY, M, dan TST.

Kekerasan fisik yang diterima oleh S adalah dicekik oleh suaminya

dan sempat melakukan aksi perlawanan ketika dirinya dicekik, yaitu

menggigit lengan suaminya hingga ada kaca yang terjatuh di atas

70
kepalanya. Saat dirinya sedang menerima kekerasan fisik tersebut,

anak pertama S menyaksikan kekerasan tersebut. S menceritakan,

Untungnya gak sampe nancep (kacanya). Kalo sampe nancepkan


bahaya. Pada saat itu sudah ada anak pertama itu. Umur satu setengah
tahun anak saya, saya peluk, saya lindungin gini (mendekap). Kalo
enggak, kena pecahan kaca (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor
P2TP2A).

Ketika menerima kekerasan, S menangis untuk pertama kalinya di

hadapan anak pertamanya yang masih kecil. Mengetahui ibunya

menangis karena perlakuan ayahnya, akhirnya anaknya menghapus air

mata ibunya.

Selanjutnya adalah LY yang mengatakan bahwa dirinya tidak

pernah mendapat kekerasan fisik. Namun, LY sempat mengatakan

ketika mengandung anak ketiga, dirinya menerima tendangan di

bagian paha sebelah kiri oleh suaminya. Selain itu, suaminya juga

disuruh oleh selingkuhannya untuk memukul LY. Namun, pemukulan

tersebut tidak dilakukan. LY menceritakan,

Tapi saya enggak dipukul, saya ditendang aja. Waktu itu kena ini saya
(paha sebelah kiri). Jadi posisinya dia berdiri, saya duduk di lantai, gitu.
Dan dia tendang itu (paha kiri) lumayan keras ya dan saya kaget kok dia
berani, belum pernah soalnya. Ternyata, dia sambil on telponnya.
Telponan sama yayangnya (selingkuhan suami) (Wawancara 17 Mei
2017 di Kantor P2TP2A).

Setelah digugat cerai, suami LY meminta maaf karena dulu pernah

menendang LY lantaran disuruh oleh selingkuhannya. LY baru

mengetahui fakta tersebut dan berusaha untuk memaklumi karena pada

saat itu suaminya sedang dimabuk cinta hingga akhirnya menuruti

perkataan selingkuhannya.

71
Informan terakhir yang menerima kekerasan secara fisik, yaitu M

yang mendapatkan kekerasan sejak pertama kali pindah ke rumah

sendiri. Saat itu, kekerasan yang dilakukan oleh suami M hanya

perkataan-perkataan yang kasar dan nada bicaranya terdengar tinggi.

Namun dari perkataan kasar suaminya tersebut, akhirnya M menerima

kekerasan secara fisik. M mengaku bahwa telah menerima kekerasan

fisik dua kali, yaitu pada tahun 2016 di mana kepalanya ditekan

dengan kuku sehingga membentuk bekas cakaran kuku. Sedangkan

kekerasan yang diterima pada tahun 2017 karena M mengetahui

bahwa suaminya memiliki selingkuhan. M mengatakan,

Iya tahun kemarin sama tahun ini. Tahun kemarin saya dicekik. Bukan
dicekik, sih. dia kayaknya gak mau ninggalin fingerprint (sidik jari), ya.
Jadi pake ini (siku) terus diteken (leher). Jadi saya gak bisa bangun dan
tangan saya diginiin (dipelintir) (Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor
P2TP2A).

Kejadian tersebut berlangsung pada pukul tiga subuh di saat

anaknya bangun dari tidur karena minta untuk menyusui. Kejadian

tersebut bermula karena M pada malam hari menyimpulkan kepada

suaminya bahwa rumah tangga yang selama ini dibangun merupakan

sandiwara belaka dan sebelumnya sudah direncanakan oleh suami.

Perkataan M tersebut membuat suaminya berpikir panjang hingga

membuat tidak tidur. M menceritakan,

Saya cuma bisa bilang, “Kalau memang mau mutusin nadi saya, jangan
di depan anak-anak. Di luar rumah aja,” saya bilang. Saya langsung aja
sambil tidur tuh saat menyusui anak. Terus dia, “Ma.. Ma..” ya nadanya
juga biasa, “Bentar lagi, M (anak) masih nyusu,” saya bilang. Tapi kok
sakit banget, bahu saya diginiin (ditekan dengan tangan) kayak keras.
Terus badan saya dibalik dan dia bilang, “Kamu punya bukti apa?

72
Kamu nemu bukti apa?” gitu (Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor
P2TP2A).

Setelah lehernya ditekan, M merasa kesakitan ketika sedang

memandikan anak-anaknya pada pagi hari dan akhirnya melapor ke

Polsek. Setelah pulang dari melapor, dirinya tidak menemui suaminya

di rumah. Sejak kejadian itu, suaminya tidak pulang-pulang selama

delapan bulan lamanya.

Informan terakhir yang menerima kekerasan fisik adalah TST yang

ditampar ketika memberikan anaknya sebuah sepeda motor dan

ketika mengalami kecelakaan sepeda motor. Selain tamparan yang

diterima TST, tangannya pun ditarik-tarik dan dipelintir pada saat

dirinya memiliki hutang dengan temannya. TST juga menambahkan

jika dirinya tidak menuruti perkataan suaminya, maka tangannya akan

ditarik-tarik oleh suaminya. Selain tamparan dan tangannya dipelintir

serta ditarik-tarik, TST menceritakan kekerasan fisik lainnya, “Jari

tangan dia dipaksa masukkan ke mulut saya. Kukunya, kan, panjang

dia. Dimasukin ke mulut saya sampe kena dinding tenggorokan dan

lidah juga.” Bentuk-bentuk kekerasan tersebut diterimanya jika tidak

menuruti keinginan suami.

Kekerasan yang dialami oleh keempat informan tersebut

merupakan bagian dari kekerasan fisik dan selaras dengan pengertian

menurut Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah bahwa kekerasan fisik

dapat membuat seseorang terluka seperti dicekik, ditendang, ditampar,

tangan dipelintir, dan sebagainya (2007: 128).

73
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis merupakan bentuk kekerasan yang menjadi

korbannya merasa tidak percaya diri, takut, trauma, bahkan merasa

tidak berdaya. Kelima informan yang penulis wawancarai mengakui

pernah mendapatkan kekerasan psikis. Mereka adalah S, LY, M, dan

TST. Selain mengalami kekerasan fisik, kekerasan psikis pernah

dialami oleh S. Memiliki suami yang mudah memiliki suasana hati

yang buruk, membuat S tidak bisa terlepas dari kekerasan psikis

selama 10 tahun pernikahannya. S menceritakan,

Kalo enggak kekerasan fisik paling tidak kekerasan psikologi (dalam


sehari), mulut ya. Karena memang posisinya dia ini gampang sekali
badmood dan sekalinya badmood tuh lamaaa sekali gak sembuh-
sembuh. Ya sampe berhari-hari. Itu sudah didinginkan dengan aktivitas
hubungan suami istri, lho. Tetep gak sembuh (Wawancara 17 Mei 2017
di Kantor P2TP2A).

S juga mengaku jika dirinya tidak bisa menuruti keinginan suaminya,

maka suaminya tidak segan-segan mengancam akan mengambil hak

asuh anaknya. S mengatakan,

Sudah begitu, ancamannya sudah semakin jelas, “Kalo Umi gak


menuruti setiap kata Abi, maka Umi harus menandatangani surat
perjanjian akta notaris yang disaksikan oleh teman-teman Abi, orang-
orang TNI dan kepolisian, bahwa hak asuh harus jatuh ditangan abi.”
Dia tahu kelemahan saya tuh di anak-anak (Wawancara 17 Mei 2017 di
Kantor P2TP2A).
LY pun mengalami kekerasan secara psikis selama menikah

dengan suaminya dan selalu mendapatkan gertakan jika tidak

menuruti keinginan suaminya atau jika melakukan perlawanan.

Ancaman tersebut berupa ingin memukul yang seringkali

didapatkannya. Namun, LY juga pernah mendapatkan ancaman

74
melalui benda-benda, seperti pisau dan palu yang ingin dipukulkan ke

kepalanya.

Selain bentuk ancaman tersebut, LY juga menuturkan, “Iya

mencaci maki, mengancam, „Gua bunuh lu! Gua bunuh sama anak-

anak!‟ Dan dia tuh pernah menancapkan pisau ke springbed dekat

anak saya tidur, jadi deket lehernya gitu. Jadi di situ saya enggak

berani deh ngeladenin emosinya.” LY juga menambahkan jika sedang

berbicara atau meminta sesuatu ke suaminya namun setelah

mendengar ucapan tersebut suaminya langsung badmood, maka dia

memilih untuk diam. Namun kadangkala LY melawan perkataan

suami ketika kondisinya sedang capek dan kecewa. Namun suaminya

saat itu bertambah semakin marah ketika LY melawan suaminya.

M adalah informan selanjutnya yang menerima kekerasan psikis

dari suami berupa nada bicaranya yang tinggi disertai mendebrak

meja. Bukan hanya M saja, namun anak-anaknya pun menjadi korban

kekerasan. Karena perlakuan suaminya yang semakin menjadi-jadi,

perceraian merupakan jalan terakhir yang bisa dirinya tempuh. M

menuturkan, “Bukan fisik aja tapi nada bicara (psikis) kayak gitu ya,

mendebrak meja. Jadi sayanya ngerasa, „Ini udah waktunya saya

(cerai),‟ karena udah tau kok ada orang lain (selingkuhan suami).

Anak-anak udah kena, yaa itu udah gak sehatlah.” Anak-anak

mengalami kekerasan dan adanya pihak ketiga dalam rumah

75
tangganya membuat M semakin mantap untuk menggugat cerai

suaminya tersebut.

Informan lainnya yaitu, TST yang mengaku bahwa telah menerima

kekerasan secara psikis ketika berbuat salah sedikitpun langsung

dimarahi oleh suaminya. TST mengatakan, “Kalo waktu dulukan

sering, saya kalo salah sedikit gitu, dimarahin. Sedikit, sedikit aja

masalah, pasti dia marah. Marahnya lebih ke ngomel-ngomel, kuat

gitu.”

Kekerasan psikis yang dialami oleh keempat informan tersebut

merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga. Menurut

Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah, kekerasan psikis adalah kekerasan

yang membuat seseorang kehilangan otonomi diri karena haknya telah

dirampas, seperti takut, trauma, dan tidak berdaya ketika digertak atau

diancam (2007: 142).

3. Kekerasan Bahasa
Kekerasan bahasa merupakan kekerasan dalam bentuk pengucapan

kata-kata yang menimbulkan seseorang tersinggung atau malu. Jenis

kekerasan ini pernah dialami oleh LY dan S. Menerima ucapan

“anjing” dan “bangsat” merupakan hal yang biasa bagi LY. Hal ini

membuat LY tidak percaya diri ketika bersama suaminya. LY

menceritakan, “Bahkan jalan sama dia aja, saya gak percaya diri

karena saya terlalu sering kayak dikatain anjing, bangsat gitu.

76
Pokoknya saya merasa jelek gitu. Karena setiap ngomong tuh kasar,

di depan orang-orang.”

Selain LY, A yang memiliki kelebihan berat badan merasa malu

ketika suaminya mempermasalahkan hal tersebut. A mengatakan,

“Dulukan saya gemuk banget, „Kok badan lo gemuk banget, sih?‟ Ya

kan sebenernya saya sakit hati, ya. Jadi ngerasa malu juga kadang

kalo misalnya dia abis ngomong gitu.” Kata “gemuk” yang diterima

A adalah bagian dari kekerasan bahasa karena membuatnya merasa

tersinggung terhadap perkataan tersebut meskipun hanya sebuah

candaan.

Kasus yang dialami oleh LY dan A sesuai dengan pernyataan

Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah bahwa kekerasan bahasa berupa

kata-kata yang diucapkan dan dapat merendahkan bahkan melecehkan

seseorang (2007: 135).

4. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan suami kepada

istri dengan cara memaksa dalam hubungan seksual dan tidak wajar,

serta tidak disukai pasangan dengan tujuan tertentu. Tiga dari lima

informan, yaitu S, LY, dan M merasakan kekerasan seksual yang

dilakukan oleh pasangannya. S yang memiliki suami yang mudah

sekali badmood jika ada suatu masalah, harus didinginkan dengan

berhubungan intim. S mengaku jika dalam berhubungan intim tersebut

mood suaminya tidak kunjung membaik, maka anak-anak yang

77
terancam. Selain itu, S pun mengatakan bahwa setiap berhubungan

intim, suaminya selalu meminta melakukan hal-hal yang tidak wajar. S

mengatakan,

Dan maaf ya, seksualnya itu dia mintanya tuh, enggak yang normally.
Tapi yang harus oral seks, yang minta ancaman ditelanlah spermanya
gitukan. Yang dipancurkan di wajah atau di dada, yang tidak pada
tempatnya. Jadi itu merendahkan martabat perempuan (Wawancara 17
Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

Selain itu, S pun pernah mendapatkan ancaman ketika suaminya dalam

keadaan sangat emosi akan melakukan siksaan secara seksual dari

dubur ataupun ketika S sedang haid. Ancaman-ancaman tersebut

membuatnya takut dan trauma.

Serupa dengan S, LY juga mengalami ekeraasan yang sama dan

mengatakan bahwa suaminya meminta untuk berhubungan intim di

saat LY sedang capek dan kecewa karena sebelumnya telah dicaci

maki. LY menceritakan,

Saat kami berdua lagi melakukan hubungan, dia suka ngomongin


perempuan lain. “Jadi kalo cewek kurus, begini kali ya. Kalo cewek
gemuk, begini kali yah,” jadi dia suka berfantasi mungkin ya. Tapi
menurut saya, fantasinya tuh karena sikap dia yang udah nyakitin saya,
fantasinya itu lebih menyakitkan saya, gitu. Jadi saya ini apa?
Pikirannya mungkin membayangkan siapa tapi enggak ada orangnya,
saya jadi pelampiasan, gitu (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor
P2TP2A).

Fantasi suami LY ketika melakukan hubungan intim merupakan

bagian dari kekerasan seksual. Pasalnya, dengan suaminya berfantasi

terhadap bentuk-bentuk tubuh perempuan baik gemuk maupun kurus,

hal tersebut sudah menghancurkan harga diri LY sebagai istri yang

sedang melayani suaminya.

78
Adapula TST mengalami kekerasan seksual hampir serupa dengan

yang dirasakan oleh LY dan S. TST mengaku jika suaminya tidak puas

dalam behubungan intim, maka akan dianggap tidak melayani

suaminya dengan baik. TST menceritakan,

Dia kalo sekarang-sekarang ini kalo main itu ya, padahal dia yang
kurang, tapi malah saya yang dikatain enggak bener. Dia lebih seneng
diginiin, Dek (dioral), dipegang alat kelaminnya, dijilat-jilat itunya.
Saya enggak mau itu, kalo jilat-jilat saya enggak mau. Yang begini
(oral) bisalah kita giniin (pegang). Tapikan dia juga kurang. Waktu pas
saya hisap juga, keadaan itunya enggak bangun juga. Tapi kita yang
disalahin (Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

TST juga mengaku bahwa suaminya suka sekali menonton film-film

BF atau Blue Film. Hal ini membuatnya merasa tidak sreg dengan

suaminya. Selain itu, TST pun pernah mengalami kekerasan seksual di

malam pertama setelah menikah. Walaupun sudah mengatakan sedang

haid, namun suaminya memaksa dan akhirnya berhubungan intim saat

itu juga.

Ketiga informan bertindak pasif ketika suami memaksa istri dalam

berhubungan intim. Hal ini diperkuat dengan pengertian menurut

Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah bahwa kekerasan seksual

ditimbulkan dari tindakan memaksa seseorang yang aktif kepada yang

pasif dala mberhubungan intim (2007: 130).

5. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah kekerasan berupa diterlantarkan dengan

tidak diberi nafkah dan adanya pembatasan atau larangan untuk

bekerja oleh suami. Larangan untuk bekerja ini akan menimbulkan istri

atau pihak yang dilarang memiliki ketergantungan secara ekonomi

79
terhadap suami atau pihak yang melarang. Semua informan yang

penulis wawancara mengalami kekerasan dalam segi ekonomi, yaitu S,

LY, M, TST, dan A.

S mengalami kekerasan ekonomi berupa diterlantarkan oleh

suaminya dengan tidak diberi nafkah. S mengaku hanya dinafkahi satu

kali pada tanggal 22 Desember 2016 sebesar Rp2.500.000,- (duajuta

limaratus ribu rupiah) dari gaji suaminya sejumlah Rp 70.000.000,-

itupun menafkahi karena ada laporan ke kepolisian. S mengatakan,

“Dia itu minta maaf karena hanya takut karena ada laporan pengaduan ke

kepolisian. Buktinya apa ya? Ya salah satunya tidak ada niatan untuk

menafkahi. Makanya langsung dinafkahi.” Selain tidak dinafkahi oleh

suaminya, S juga mengaku bahwa suaminya merupakan orang yang

sangat perhitungan. Untuk larangan bekerja, suami S tidak

melarangnya bekerja. S menceritakan,

Gak ada larangan untuk bekerja. Kalo secara eksplisit, enggak kayak
misalnya gini, “Bi, umi nih kepingin usaha ini,” gitu. Secara di mulut
enggak akan dilarang. Cuma secara dukungan, kan beda ya antara orang
yang boleh kemudian bener-bener mendukung sama yang „100% iya‟
antara yang sekedari „iya‟ itu beda gitu (Wawancara 17 Mei 2017 di
Kantor P2TP2A).

Tidak adanya larangan bekerja tersebut tidak disertai dengan dukungan

secara materiil untuk membuka usaha. Hal inilah yang membuat S

menjadi sangat bergantung kepada suaminya.

LY pun mengalami kekerasan ekonomi semenjak suaminya

memiliki selingkuhan dan tinggal satu rumah dengan selingkuhannya,

sehingga suami LY pulang hanya satu bulan sekali. LY mengatakan,

80
Kadang ngirim uang tuh kadang kan saya minta sehari Rp100.000,-
(seratus ribu rupiah) ya. Awalnya si perempuan itu gak ngomentar
apa-apa dan gak bilang, “Oh iya baik,” gak ngomong gitu. Marahpun
enggak, jadi diem. Tapi setelah mereka nikah dan saya bilang, “Bang,
abang ngirim Rp200.000,- (duaratus ribu rupiah) tapi udah tiga hari
abang gak ngirim uang lagi. L tuh abis nyari pinjeman kemana-mana.”
Ternyata di situ istrinya denger, “Mewah banget kamu Rp100.000,-
(seratus ribu rupiah) sehari. Sebulan Rp3.000.000,- (tiga juta
rupiah), gaji saya jadi PNS itu.” (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor
P2TP2A).

LY merasa uang tersebut tidak cukup untuk biaya hidup sehingga

harus berhutang kesana-kemari. Terkadang suaminya memberi uang

sebesar Rp300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) namun untuk tujuh hari ke

depan dan suaminya tidak mengirim lagi. Untuk larangan bekerja, LY

mengaku mendapatkan larangan tersebut lantaran suaminya adalah

orang yang sangat pencemburu. LY mengatakan,

Kalo dibatasi untuk bekerja, iya, dari awal nikah karena dia cemburu.
Dia takut kalo ada yang saya pergi keluar, saya usaha buka warung,
nanti ada laki-laki yang belanja suka sama saya segala macem yang
berinteraksi dengan saya ya. Saya tuh mikirnya lebay gitu ya.
(Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor P2TP2A).

LY mengaku karena suaminya sangat pencemburu, dirinya hanya

berkutat pada dirinya sendiri agar suaminya percaya. Namun di saat

LY sibuk meladeni keinginan suaminya, justru suaminya yang

berselingkuh di belakangnya.

M merupakan informan berikutnya yang mengalami kekerasan

ekonomi semenjak suaminya tidak pulang ke rumah dengan tidak

memberikannya nafkah. M menceritakan,

Saya enggak dinafkahin. Kalau diterlantarkan yang seperti saya


sekarang, suami saya hilang. Tahun lalu juga pernah. Kan dia abis
mukul itu pergi terus balik lagi Februari. Waktu pas dia kerja juga kita
enggak dikasih makan, enggak dikasih apa. Penghasilan ada ternyata,
cuma dia bilang belum digaji, gak digaji, telat digaji, gajinya cuma

81
setengah. Ternyata di sana diakan punya kartu kredit, punya mobil,
punya rumah, punya segala macem. Iya dia belikan semuanya untuk
wanita itu jadi kesedot ke sana semua (selingkuhan suami) (Wawancara
21 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

M menceritakan bahwa bukti-bukti nafkah tidak pernah ada karena

suaminya memberikan uang tersebut dengan cash. M menuturkan,

Oh dia pinter, bukti nafkah tidak pernah ada. Dia kasih cash. Bukti
nafkahkan saya enggak tahu dia bisa bilang gitu aja tiap bulan bayar
cash dan kenyataannya ada memang. Misalnya Januari ada, Februari
enggak ada, Maret ada, April enggak ada, Mei enggak ada, Juni enggak
ada, itu terus enggak ada gitu (Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor
P2TP2A).

Untuk masalah bekerja, M mengaku bahwa suaminya tidak melarang

jika ingin bekerja karena menilai bahwa suaminya terlalu cuek

terhadap rumah tangganya.

TST pun merupakan informan berikutnya yang mengalami

kekerasan ekonomi berupa suaminya tidak memberikan nafkah

sehingga membuatnya terpaksa harus bekerja sebagai pedagang

pakaian. Jika dirasa kebutuhannya lebih banyak dari biasanya, TST

meminta uang kepada Mamak. Pekerjaan sebagai pedagang pakaian

sebenarnya dilarang oleh suami, namun TST merasa harus bekerja

mengingat suaminya tidak memberi nafkah. TST menceritakan,

Kalo kerja memang saya enggak boleh bekerja di kantor pake rok
pendek. Saya bisnis juga sebenernya enggak boleh juga sama dia,
dilarang. Cuma mertua saya ngomong begini, “Ikut bantu suami,” gitu
ya. Makanya saya ikut sedikit-sedikit bantuin dia jugalah ya, gitu.
(Wawancara 21 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

TST mengaku sesusah apapun kondisi perekonomiannya, suaminya

tidak pernah menafkahi, justru yang menafkahi adalah Mamaknya.

Bantuan ini menimbulkan prasangka buruk jika orang tua TST terlalu

82
ikut campur dalam permasalahan ekonomi keluarganya. Namun TST

menyangkal karena dengan bantuan dari keluarganya, anak-anaknya

masih bisa bersekolah sampai sekarang.

Informan terakhir yang mengalami kekerasan ekonomi adalah A

yang telah dirasakannya sebelum suaminya selingkuh. Saat itu, suami

A masih menjalankan tanggungjawabnya sebagai seorang ayah dan

suami. A menuturkan,

Sebenernya dia itu dari kita baik-baik aja, dia itu masih belanjain
bulanan kayak pampersnya anak dulu itukan. Pampersnya dia, beli
beraskan dua minggu sekali, itu bapaknya yang beli. Cuma kalo untuk
sehari-hari itu pasti Rp70.000,- (tujuh puluh ribu rupiah) buat satu
minggu. Kalo kata ayah saya sih itu gila. Cuma kalo kata saya ya yang
namanya kita lagi ngerangkak dari bawah, ya kita belajar nerima gitu
(Wawancara 22 Juli 2017 di Kantor P2TP2A).

A mengaku bahwa suaminya mulai melalaikan tanggungjawabnya

ketika sudah mulai selingkuh dan jarang pulang ke rumah. Selama dua

minggu sekali, A hanya diberi nafkah sebesar Rp200.000,- (dua ratus

ribu rupiah) untuk kebutuhan-kebutuhan anak keduanya yang saat itu

baru lahir dan anak pertamanya.

Kasus di atas merupakan kekerasan ekonomi seperti yang

dicetuskan oleh Kristi Poerwandari bahwa kekerasan ekonomi terjadi

jika salah satu pihak tidak bertanggungjawab sehingga keluarganya

terlantar, adanya paksaan untuk bekerja, dan peeksploitasian dalam

konteks ekonomi (2006: 21).

6. Kekerasan Spiritual
Kekerasan yang dinilai merendahkan dan melecehkan kepercayaan

agama, serta memaksa salah satu pihak untuk melakukan suatu ritual

83
termasuk dalam kekerasan spiritual. Hal ini pernah dialami oleh S

ketika perannya terbentur sebagai istri dan ibu sekaligus. Jika tidak

menyeimbangkan kedua peran tersebut, maka S akan dicap sebagai

istri durhaka dan tidak mengerti tentang fikih wanita. S mengatakan,

Dogma-dogma itu lho kayak, “Istri yang durhaka.” Iyalah kalo


akhwat kan bisa didogma ya kalo salah sedikit, “Kamu gimana sih?
Enggak pernah liat fikih wanitanya, ya?” gitu. Jadi mereka menuntut
wanita itu untuk bisa sesuai fikih wanita karena mereka gak ngacak,
mereka suami kayak apa (Wawancara 17 Mei 2017 di Kantor
P2TP2A).

Kekerasan yang dialami oleh s sesuai dengan pernyata Kristi

Poerwandari bahwa kekerasan spiritual merendahkan kepercayaan dan

keyakinan salah satu pihak (2006: 21). Kepercayaan S mengenai

agama telah direndahkan karena adanya peran yang terbentu sebagai

ibu dan istri.

C. Dampak Adanya Kekerasan dalam Rumah Tangga


Setelah menjabarkan faktor-faktor serta bentuk-bentuk dari kekerasan dalam

rumah tangga, tak bisa dipungkiri bahwa dampak akan dirasakan oleh korban.

Berikut dampak yang dirasakan istri setelah menerima kekerasan dalam rumah

tangga:

1. Dampak terhadap Kesehatan Mental


Perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga

cenderung akan mengalami permasalahan pada mentalnya seperti

munculnya rasa takut, trauma, rasa tidak percaya diri, bahkan hingga

stres. Hal ini dialami oleh S yang merasa trauma menerima kekerasan

dari suaminya. “Jadi ya, traumanya, kejahatan psikis. Kemudian

84
ancaman-ancaman, kemudian kekerasan seksual, baru kemudian

pukulan-pukulan itu tadi. Jadi kompleks.” Selain S, LY mengatakan

tidak pernah merasa percaya diri selama menjadi seorang istri. “Nah

kesalahan saya satu aja dan menurut saya sepele itu bukan main

meledak-meledaknya (amarah suami). Jadi saya makin hari menikah

jadi istrinya, saya makin enggak pede.” Ancaman dan caci maki

tersebut membuat S dan LY merasa trauma dan tidak percaya diri.

Selanjutnya ada TST yang merasa ketakutan jika suami meminta

untuk berhubungan intim karena pengalaman pada saat malam pertama

sedang haid, namun suaminya tetap melakukan hubungan tersebut.

“Saya suka kalo mau dalam hal bersetubuh sama dia tuh takut gara-

gara pengalaman itu.” Lain TST, lain juga A yang akan melampiaskan

stresnya jika ada masalah dengan cara merokok. “Kemarinpun sempet

sih stres lagi mikirin dia. Bukan mikirin dia sih tapi mikirin masalah.

Balik lagi ngerokok, kalo udah ke Kota D pasti ngerokok lagi sama

temen-temen tapi kalo udah pada tidur.” Dalam hal ini, dampak yang

diterima oleh TST dan A sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga

berupa rasa takut dan stres.

Menurut Sutrisminah (2017: 8) menyebutkan dampak terhadap istri

yang menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga berupa

depresi, penyalahgunaan atau pemakaian obat-obatan dan alkohol,

kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma, dan

rendahnya percaya diri. Senada dengan pendapat tersebut, Heise (1994)

85
seperti yang dikutip oleh Nurrachmawati (2013: 35) mengelompokkan

dampak dari kekerasan yang berujung pada kesehatan mental

perempuan yaitu berupa stres pasca trauma, depresi, kecemasan,

phobia, gangguan pola makan, disfungsi seksual, dan rendah diri.

2. Dampak terhadap Kesehatan Reproduksi


Pemaksaan dalam berhubungan intim terhadap istri yang sedang

mengalami haid dan tidak sehat akan berakibat fatal terhadap kesehatan

reproduksi. Hal ini dialami oleh M yang mengalami penyakit herves

akibat berhubungan intim dengan suaminya. M mengatakan,

Saya juga sempat kena herves di bagian paha karena hubungan badan
dengan dia. Kalo herves biasa tuh kenanya di bagian yang terbuka nih
kena angin, seperti di leher. Kalo saya kenanya di bagian sini nih (paha
dalam) (Wawancara pada 21 Juni 2017 di Kantor P2TP2A).

M menceritakan bahwa penyakitnya tersebut menimbulkan rasa panas

dan gatal. Untuk membersihkannya, M mengambil darah bagian dalam

dan harus disuntikkan kembali mengingat penyakit tersebut muncul di

daerah kelamin.

Selain M, TST merasakan dampak akibat berhubungan seksual pada

malam pertama pernikahannya ketika dirinya sedang haid. TST

mengatakan, “Akhirnya berhubungan intim juga, Dek. Kalo sakit sih

pasti sakit karena saya sedang haid. Besoknya juga dia masih

melakukan lagi dan saya masih haid.” Pemaksaan berhubungan seksual

yang terjadi ketika TST sedang haid menimbulkan rasa sakit pada perut

dan kelaminnya.

86
Menurut Dixon-Mudler seperti yang dikutip oleh Nurrachmawati,

dkk (2013: 15) mengatakan bahwa pemaksaan hubungan seksual atau

tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri.

Hal ini akan berdampak terhadap berbagai macam penyakit sekaual

seperti HIV atau AIDS, dan penyakit lainnya di sekitar kelamin wanita.

3. Dampak terhadap Ekonomi


Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga juga mengalami

dampak dari segi ekonomi yang dirasakan oleh perempuan yang bekerja

maupun tidak bekerja. Pengalaman ini dirasakan oleh M di mana

dirinya sudah tidak memiliki uang lagi untuk bertahan hidup karena

suaminya menganggur. M mengatakan,

Ya kalo ekonomi jelas ya, saya udah enggak punya apa-apa. Tabungan
saya kan habis, hasil kerja saya, masa pensiun saya juga habis untuk
ngehidupan kita (keluarga) selama dia (suami) pengangguran
(Wawancara pada 21 Juni 2017 di Kantor P2TP2A).

TST juga mengalami hal serupa karena dirinya tidak diberi nafkah

oleh suaminya. “Saya juga ada emas-emas habis gara-gara demi

keluarga saya. Berlian-berlian yang dikasih Mamak saya juga habis.

Semua demi keluarga, berkorban.” Pernyataan M dan TST selaras

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakimi di Purwerejo, Jawa

Tengah, seperti yang dikutip oleh Nurrachmawati (2013: 35) yang

menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena suami

menganggur, suami menggunakan alkohol, dan mempunyai hubungan

dengan wanita lain.

87
D. Perempuan sebagai Objek Kekerasan dalam Rumah Tangga

Gambar III.D.2 Skema Perempuan sebagai Objek Kekerasan dalam Rumah tangga
Budaya Patriarki dan
Interpretasi Agama yang Bias
Bentuk KDRT Menurut
Poerwandari (2006: 21):
1. Kekerasan Fisik,
Kekerasan dalam Rumah
2. Kekerasan Psikis,
Tangga
3. Kekerasan Seksual,
4. Kekerasan Ekonomi, dan
5. Kekerasan Spiritual.
Laki-laki Perempuan
Mendominasi Terdominasi

Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Faktor Terjadinya Kekerasan


Terjadi di Kecamatan Pamulang, Tangerang dalam Rumah Tangga:
Selatan: 1. Faktor Pendorong: Budaya
1. Kekerasan Fisik: S, LY, dan TST Patriarki dan Interpretasi
2. Kekerasan Psikis: S. LY, M, TST, dan A Agama yang Bias.
3. Kekerasan Seksual: S, LY, dan TST 2. Faktor Pemicu: perselingkuhan
4. Kekerasan Ekonomi: S, LY, M, TST, dan A suami, keterbatasan ekonomi,
5. Kekerasan Bahasa: A dan LY stereotip, dan campur tangan
6. Kekerasan Spiritual: S pihak ketiga.

Dampak yang Diterima Akibat Adanya Kekerasan dalam Rumah Tangga:


1. Dampak terhadap Kesehatan Mental
2. Dampak terhadap Kesehatan Reproduksi
3. Dampak terhadap Ekonomi
Skema tersebut dapat menjawab pertanyaan masalah pada skripsi ini bahwa

bentuk kekerasan yang ada di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan adalah

kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, bahasa, seksual, dan interpretasi

agama. Hal ini disebabkan oleh faktor pendorong, seperti budaya patriarki dan

interpretasi agama yang bias, serta faktor pemicu, seperti perselingkuhan

suami, keterbatasan ekonomi, stereotip, dan campur tangan pihak ketiga.

Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dapat menimbulkan dampak untuk

korbannya, seperti dampak terhadap kesehatan dari segi mental, reproduksi,

serta dampaknya terhadap ekonomi.

88
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa serta hasil temuan di lapangan menunjukan bahwa

kekerasan dalam rumah tangga pada masyarakat modern ini masih saja terjadi.

Salah satu faktor yang paling menonjol terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga adalah adanya budaya patriarki. Selain itu, pemahaman agama yang

keliru pun menjadi faktor pendukung lainnya. Pertemuan antara budaya

patriarki dan pemahaman agama yang keliru ini jelas akan menimbulkan

kekerasan dalam rumah tangga. Kesimpulan yang dapat diambil adalah:

1. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang ditemui di lapangan adalah

kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang dialami oleh tiga dari lima

informan, kekerasan psikis dan kekerasan ekonomi dialami oleh kelima

informan, kekerasan bahasa dialami oleh dua dari lima informan, dan

satu informan mengalami kekerasan spiritual.

2. Penyebab kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi setiap tahunnya

karena adanya faktor pendorong, yaitu budaya patriarki dan interpretasi

agama yang bisa, serta faktor pemicu, yaitu perselingkuhan suami,

keterbatasan ekonomi, stereotip, dan campur tangan pihak ketiga.

3. Dampak yang terjadi kepada perempuan sebagai korban kekerasan

dalam rumah tangga adalah gangguan kesehatan dari segi mental,

mengalami gangguan kesehatan reproduksi, dan dampaknya akan terasa

pada permasalahan ekonomi.

89
B. Saran
Berdasarkan pada hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dijabarkan

sebelumnya, maka penulis memberikan saran berikut:

1. Akademis

Penulis menyarankan kepada penulis selanjutnya terutama dalam

bidang sosiologi, khususnya sosiologi keluarga untuk lebih berfokus

kepada interaksi sosial serta masalah sosial bagi mereka yang mengalami

kekerasan dalam rumah tangga.

2. Praktis

a. Pemerintah

Pemerintah diharapkan lebih gencar dalam mensosialisasikan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga. Keterlibatan seluruh elemen

masyarakat dalam proses sosialisasi ini sangat dibutuhkan agar

mereka yang menempati posisi sebagai korban kekerasan dalam

rumah tangga dapat mengetahui adanya aturan ini dan upaya dalam

penanganan permasalahan kekerasan tersebut.

b. Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan

Anak (P2TP2A)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti P2TP2A sangat

dibutuhkan untuk mendampingi perempuan selaku korban kekerasan

dalam rumah tangga. Dengan memberikan perlindungan,

pemberdayaan, beserta pembelaan terhadap hak-hak perempuan

90
yang selama ini bisu, maka P2TP2A diharapkan mampu untuk

menjadi wadah bagi perempuan-perempuan yang mengalami

kekerasan dalam rumah tangga.

c. Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Korban kekerasan dalam rumah tangga diharapkan untuk lebih

berani dan tidak merasa segan untuk melapor jika mengalami

kekerasan dalam rumah tangga agar permasalahan kekerasan

tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan aturan perundangan yang

berlaku.

d. Masyarakat

Masyarakat diharapkan mampu untuk lebih peka terhadap

lingkungan sekitar. Hal ini diperlukan jika salah satu sanak keluarga

atau tetangga di sekitar mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Kepekaan terhadap lingkungan sekitar diperlukan untuk menolong

para korban kekerasan dalam rumah tangga agar terbebas dari

penindasan-penindasan yang selama ini telah ditutup rapat karena

dinilai sebagai sebuah aib dalam keluarga.

91
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 2007. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Alison M. Jaggar and Paula S. Rothenberg. 1993. Feminist Frameworks. Cet. III;
New York: McGraw-Hill.

Asmarawati, Tina. 2014. Sosiologi Hukum: Petasan Ditinjau dari Perspektif


Hukum dan Kebudayaan. Yogyakarta: Deepublish.

Atherton, C.R., & Klemmarck, D.L. 1982. Research Methods in Social Work: An
Introduction. Lexington, Massachusetts: D.C. Health & Co.

Jamaluddin dan Nanda Amalia. 2016. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Sulawesi:
Unimal Press.

Malinda, Anggun. 2016. Perempuan dalam Sistem Peradilan Pidana (Tersangka,


Terdakwa, Terpidana, Saksi, Korban). Yogyakarta: Penerbit
Garudhawaca.

Munti, Ratna Batara. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global.


Yogyakarta: LKiS.

Neuman, W Laurence. 2013. Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif


dan Kuantitatif. Jakarta: PT. Indeks.

Ollenburger, C. Jane, dan Helen A. Moore. 2002. A Sociology of Women.


(Terjemahan Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana dengan Judul Sosiologi
Wanita). Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.

Poerwandari, Kristi. Penguatan Psikologis Untuk Menanggulangi Kekerasan


Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual. 2006. Program Kajian
Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Ridwan. 2006. Kekerasan Berbasis Gender. Yogyakarta: Fajar Pustaka.

Ritzer, George dan Douglas, J, Goodman. 2014. Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Sosiologi Modern. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

92
Rokhmansyah, Alfian. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme:Pemahaman
Awal Kritik Sastra Feminisme. Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca.

Salam, Syamsir dan Jaenal Aripin. 2006. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press.

Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian


Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Soeroso, Moerti Hadiati. 2012. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Dalam


Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika.

Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought: Pengantar Paling


Komperhensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan dari
Feminist Thougth: A More Comprehensive Introduction, Second Edition
(Westview Press: Colorado, 1998). Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Zed, Mustika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia.

Sumber Jurnal, Skripsi, Tesis, dan Disertasi:

Abdurrachman, Hamida. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Korban


Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri
Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban. Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli
2010: 475-491. Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Jawa
Tengah.

Apriani, Fajar. Berbagai Pandangan Mengenai Gender Dan Feminisme


(http://portal.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2013/06/GENDER_FEMINISME%20(06-10-13-07-50-
50).pdf, diakses dan diunduh pada Jum‟at, 17 Maret 2017. Pukul 10:20
WIB).

Bahasoan, Aminah dan Amir Faisal Kotarumalo. 2014. Praktek Relasi Wacana
dan Kuasa Foucaltdian dalam Realias Multi Profesi di Indonesia. ISSN
1907-9893 Populis, Volume 8 No. 1 Maret 2014

93
(ejournal.unpatti.ac.id/ppr_iteminfo_lnk.php?id=960, diakses dan diunduh
pada Kamis, 12 Januari 2017. Pukul 23:09 WIB).

Cahyanti, Susy Nur. 2017. Dampak Campur Tangan Orang Tua Terhadap Rumah
Tangga Anak (Studi Kasus Tentang Pasangan Suami Istri Yang
Mengalami Ketidakharmonisan Dalam Kehidupan Rumah Tangga Di
Desa Panerusan Kulon Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara).
Skripsi Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Fakultas Dakwah IAIN
Purwokerto
(http://repository.iainpurwokerto.ac.id/2423/1/COVER_BAB%20I_BAB
%20V_DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, diunduh dan diakses pada Rabu, 09
Agustus 2017. Pukul 14:03 WIB).

Diniyanti, Novita dan I Gede Sideman. 2014. Hubungan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Pada Istri Dengan Perilaku
Kekerasan Ibu Pada Anak (Studi Di Wilayah Kelurahan Kaliawi
Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar Lampung). Jurnal
Mahasiswa dan Staf Pengajar program sarjana Jurusan Sosiologi FISIP
Universitas Lampung Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=258248&val=7021&
title=HUBUNGAN%20KEKERASAN%20DALAM%20RUMAH%20TA
NGGA%20YANG%20DILAKUKAN%20SUAMI%20PADA%20ISTRI
%20DENGAN%20PERILAKU%20KEKERASAN%20IBU%20PADA%
20ANAK%20(Studi%20di%20Wilayah%20Kelurahan%20Kaliawi%20Ke
camatan%20Tanjung%20Karang%20Pusat%20Kota%20Bandar%20Lamp
ung, diakses dan diunduh pada Rabu, 22 Februari 2017. Pukul 18:44
WIB).

Fachrina dan Anggraini. 2007. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga


Pada Masyarakat Minangkabau Kontemporer. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Andalas
(http://repository.unand.ac.id/3972/1/Facrina.pdf, diakses dan diunduh
pada Rabu, 22 Februari 2017. Pukul 21:27 WIB).

Fajriyah, Iklilah Muzayyanah Dini. 2007. Kuasa Konsep Ijbar Terhadap


Perempuan (Studi atas Pengalaman Kawin Paksa di Keluarga Ndalem
Pesantren Jawa Timur. Tesis Program studi Kajian Wanita, Program
Pascasarjana, Universitas Indonesia.

Harnoko, B. Rudi. 2010. Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. Jurnal


MUWÂZÂH, Vol. 2, No. 1, Juli 2010
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=251187&val=6754&
title=DIBALIK%20TINDAK%20KEKERASAN%20TERHADAP%20PE

94
REMPUAN, diakses dan diunduh pada Kamis, 10 Agustus 2017. Pukul
10:06 WIB).

Indraddin dan Dwiyanti Hanandini. Hubungan Antara Pergeseran Peran


Keluarga Luas Matrilineal Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Kajian Jender Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di
Masyarakat Minangkabau Perkotaan). Artikel ilmiah Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
(http://repository.unand.ac.id/3994/1/Indraddin_artikel.pdf, diakses dan
diunduh pada Rabu, 22 Februari 2017. Pukul 20:02 WIB).

Jayanthi, Evi Tri. 2009. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam


Rumah Tangga Pada Survivor Yang Ditangani Oleh Lembaga Sahabat
Perempuan Magelang. Jurnal DIMENSIA, Volume 3, No. 2, September
2009 (http://download.portalgaruda.org/article.php, diakses dan diunduh
pada Rabu, 02 Agustus 2017. Pukul 11:38 WIB).

Jurnal Cita Hukum. 2014. Jurnal Vol. II No. 2 Desember. Diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi dan
Legislasi Nasional (POSKO-LEGNAS) UIN Jakarta.

Ni‟mah, Zulfatun. 2012. Efektivitas Penegakan Hukum Penghapusan Kekerasan


dalam Rumah Tangga. Mimbar Hukum Volume 24, nomor 1, Februari
2012, halaman 1-186. (http://i-
lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=12268, diakses dan diunduh pada
Sabtu, 07 Januari 2017. Pukul 14:59 WIB).

Nurrachmawati, Annisa dkk. 2013. Potret Kesehatan Perempuan Korban


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Di Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak Kalimantan Timur). Jurnal
Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013: 24-37
(http://download.portalgaruda.org/article.php, diakses dan diunduh pada
Senin, 11 September 2017. Pukul 23:48 WIB).

Pasaribu, Vera AR. 2007. Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah


Tangga). Karya Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
HKBP Nommensen
(https://perpustakaan.uhn.ac.id/adminarea/dataskripsi/Karya%20Ilmiah%2
0-%203.pdf, diakses dan diunduh pada Rabu, 22 Februari 2017. Pukul
22:32 WIB).

Rahayu, Rena Dwitiya. 2015. Pelayanan Sosial Bagi Perempuan Korban


Kekerasan dalam Rumah Tangga di Pusat Layanan Terpadu

95
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan.
Skripsi Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
(repository.uinjkt.ac.id/dspace/.../1/RENA%20DWITIYA%20RAHAYU
%20-FDK.pdf, diakses dan diunduh pada Rabu, 25 Oktober 2017. Pukul
13:19 WIB).

Rahmawati, Lina. 2015. Problematika Perselingkuhan Suami Dan Upaya


Penanganannya Menurut Julia Hartley Moore Dan Mohamad Surya
(Perspektif Fungsi Bki). Skripsi Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam
(BPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Islam
Walisongo Semarang.
(http://eprints.walisongo.ac.id/4933/1/101111020.pdf, diakses dan diunduh
pada Minggu, 06 Agustus 2017. Pukul 22:48 WIB).

Retnowulandari, Wahyuni. 2010. Budaya Hukum Patriarki Versus Feminis :


Dalam Penegakan Hukum Dipersidangan Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan. Jurnal Hukum, Vol 8 No, 3 Januari 2010
(http://portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/714/1/Budaya%2520Hu
kum%2520Patriarki%2520Versus%2520Feminis%2520Dalam%2520Pene
gakan%2520Hukum%2520dipersidangan%2520Kasus%2520Kekerasan%
2520Terhada.pdf, diakses dan diunduh pada Jum‟at, 7 April 2017. Pukul
17:01 WIB).

Rofiah, Nur. 2017. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta DPK Institut PTIQ.

Sukerti, Ni Nyoman. 2015. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah


Tangga (Kajian Dari Perspektif Hukum Dan Gender). 2005. Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Udayana
(https://download.dokumen.tips/getdownload/document/?id=fTOnLjdbnc4
xuXxKaaL2rZsmLBwE1uuY9VE2bfkWNrZ8BfDbc01QG2DZjX%2FaC
owJMKYhIMB2NtW081YU5dZ%2FCg%3D%3D, diakses dan diunduh
pada Minggu, 06 Agustus 2017. Pukul 13:19 WIB).

Susanti, Vinita. 2015. Pembunuhan Oleh Istri Dalam Konteks Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Kdrt) (Studi Terhadap Empat Terpidana Perempuan Di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bandung). Disertasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Program Pascasarjana
Departemen Sosiologi.

Sutrisminah, Emmi. 2017. Dampak Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga
Terhadap Kesehatan Reproduksi.
(https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/45214983/62-112-1- .

96
SM.pdf, diakses dan diunduh pada Selasa 11 September 2017. Pukul 23:56
WIB).

Umami, Fita Khairul. 2014. Peran Forum Penanganan Korban Kekerasan


Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Upaya Perlindungan Perempuan dan
Anak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Skripsi Jurusan Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta (http://digilib.uin-
suka.ac.id/13744/2/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR%20PUSTAK
A%20.pdf, diakses dan diunduh pada Rabu, 22 Februari 2017. Pukul 22:59
WIB).

Wahab, Rochmat. 2006. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif. Psikologis


dan Edukatif
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rochmat%20Wahab,%2
0M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/KEKERASAN%20DALAM%20
RUMAH%20TANGGA(Final).pdf, diakses dan diunduh pada Sabtu, 7
Januari 2017. Pukul 13:19 WIB).

Westa, I Putu Darma Aditya. 2013. Tesis: Efektivitas Pemberian Hak


Tanggungan Terhadap Hak Atas Tanah Berasal dari Konversi Hak Lama
yang Belum Terdaftar dalam Praktek Perbankan di Kota Denpasar.
Universitas Udayana. (http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-
879-1099752969-
tesis%20kenotariatan%20_darma%20aditya%20westa_%20pdf.pdf,
diakses dan diunduh pada Sabtu, 7 Januari 2017. Pukul 15:19 WIB).

Sumber Elektronik:

http://abouttng.com/asal-muasal-nama-pamulang/, diakses pada Sabtu, 22 April


2017. Pukul 10:28 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161221090434-20-181158/survei-bps-
25-persen-kdrt-istri-jadi-korban-pukul, diakses pada Sabtu, 14 Januari
2018. Pukul 19:29 WIB.
http://internasional.kompas.com/read/2016/05/31/10234261/ketika.korea.selatan.t
ak.sekadar.k-pop.yang.ceria, diakses pada Selasa, 09 Mei 2017. Pukul
14:02 WIB.
https://metro.sindonews.com/read/836644/31/anak-ini-terlantar-di-pamulang-
1392649409, diakses pada Minggu, 23 April 2017. Pukul 22:19 WIB.

https://news.detik.com/berita/2488918/malam-tragis-sang-mahasiswi-di-sudut-
new-delhi, diakses pada Selasa, 09 Mei 2017. Pukul 14:49 WIB.

97
http://perempuan.or.id, diakses pada Kamis, 23 Februari 2017. Pukul 19:14 WIB.

http://www.tangerangnews.com/tangsel/read/3150/Dipukul-Suami-Polisi-Datangi-
Villa-Dago, diakses pada Minggu, 23 April 2017. Pukul 14:12 WIB.

http://tangseloke.com/2014/03/28/dinsosnakertras-siap-salurkan-rp14934-miliar-
bansos/, diakses pada Minggu, 23 April 2017. Pukul 13:45 WIB.

http://tangselpos.co.id/2015/11/03/2015-kasus-kdrt-di-tangsel-menurun/, diakses
pada Kamis, 23 Februari 2017. Pukul 19:12 WIB.

Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016: Kekerasan terhadap Perempuan


Meluas: Mendesak Negara Hadir Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan
di Ranah Domestik, Komunitas dan Negara
(http://www.komnasperempuan.go.id/wp-
content/uploads/2016/03/Lembar-Fakta-Catatan-Tahunan-_CATAHU_-
Komnas-Perempuan-2016.pdf, diakses dan diunduh pada Sabtu, 7 Januari
2017. Pukul 22:39 WIB).

Statistik Daerah Kecamatan Pamulang 2016. Badan Pusat Statistik Kota


Tangerang Selatan.
(https://tangselkota.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-
Kecamatan-Pamulang-2016.pdf) diakses dan diunduh pada Sabtu, 22 April
2017. Pukul 11:20 WIB).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


(https://kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf diakses pada
Jum‟at, 08 September 2017. Pukul 19:18 WIB).

Wawancara
Wawancara dengan S, 17 Mei 2017
Wawancara dengan LY, 17 Mei 2017
Wawancara dengan M, 21 Juni 2017
Wawancara dengan TST, 21 Juni 2017
Wawancara dengan A, 22 Juni 2017

98
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Pedoman Wawancara
Nama (alias): Alamat:

Usia: Kasus kekerasan yang diterima:

Pekerjaan: Tempat Wawancara:

Etnis: Tanggal/Waktu:

Agama: Lama Wawancara:

Pendidikan terakhir:
(Pertanyaan Sebelum Menikah)

1. Bagaimanakah pertama kali Ibu mengenali sosok calon suami Ibu?

2. Baimanana sikap calon suami Ibu ketika Ibu mengenal suami?

3. Jika Ibu dan calon suami sedang mengalami suatu permasalahan,

bagaimana cara calon suami mengendalikan diri (emosi) dihadapan Ibu?

4. Apakah calon suami pernah melakukan kekerasan terhadap Ibu?

5. Bentuk kekerasan apa yang diterima dan seberapa banyak frekuensi calon

suami Ibu melakukan kekerasan?

6. Apakah Ibu pernah melakukan perlawanan ketika calon suami melakukan

kekerasan? Contohnya seperti apa?

7. Jika memang calon suami pernah melakukan kekerasan terhadap Ibu,

mengapa Ibu tetap memilih menikah dengan calon suami Ibu?

8. Apakah Ibu mengetahui bagaimana sikap dan sifat calon suami ketika

sedang berada di dalam keluarganya?

xii
9. Apakah Ibu menikah dengan calon suami karena dijodohkan atau karena

pilihan sendiri?

(Pertanyaan Setelah Menikah)

1. Sejak kapan Ibu menikah?

2. Apakah ada perubahan sikap suami Ibu di awal pernikahan sampai

sekarang?

3. Apakah di tahun pertama pernikahan, keluarga Ibu masih terasa harmonis?

4. Seperti apa bentuk keharmonisan tersebut? Bisa dijelaskan?

5. Apakah Ibu tahu tentang KDRT? Bisa dijelaskan?

6. Kapan untuk pertama kalinya Ibu menerima kekerasan dalam rumah

tangga yang dilakukan oleh suami?

7. Sudah berapa kali Ibu menerima KDRT?

8. Biasanya dalam permasalahan atau konflik seperti apa yang memunculkan

KDRT?

9. Apakah Ibu pernah menerima kekerasan fisik seperti ditampar, digigit,

memutar tangan, ditikam, dicekek, ditendang, diancam dengan suatu

benda atau senjata?

10. Apakah Ibu pernah menerima kekerasan psikis seperti perilaku yang

diintimidasi dan disiksa, diberi ancaman kekerasan, dikurung di rumah,

penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan

anaknya, pemisahan, dicaci maki, dan dihina secara terus menerus?

13
11. Apakah Ibu pernah menerima kekerasan seksual seperti pemaksaan

hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai dan

pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial

atau tujuan tertentu?

12. Apakah Ibu pernah menerima kekerasan ekonomi seperti diterlantarkan,

dibatasi atau dilarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar

rumah?

13. Apakah ketika menerima KDRT, Ibu melakukan perlawanan?

14. Apakah Ibu hanya menerima KDRT begitu saja?

15. Kerugian apa yang Ibu terima akibat dari KDRT yang suami Ibu perbuat?

16. Apa yang Ibu rasakan setelah menerima kekerasan dari suami?

17. Ketika Ibu merasa kesakitan setelah menerima KDRT dari suami, apa

yang suami Ibu lakukan?

18. Ketika mendapatkan KDRT, apakah Ibu pernah mengadu atau bercerita ke

orang tua atau tetangga sekitar?

19. Apa alasan Ibu berani melaporkan KDRT yang diterima ke Polsek

Pamulang?

20. Setelah melapor ke Polsek Pamulang, apa yang Ibu cari atau harapkan?

21. Bagaimana cara Ibu menyelesaikan kasus KDRT yang telah dilaporkan?

22. Mengapa Ibu menyelesaikan kasus KDRT tersebut secara kekeluargaan?

(Pertanyaan pilihan jika KDRT yang diterima diselesaikan secara

kekeluargaan).

14
23. Setelah menerima KDRT, mengapa Ibu tidak memilih untuk kabur dari

rumah?

24. Bagaimana hubungan antara Ibu dan suami jika mengambil suatu

keputusan?

25. Biasanya keputusan seperti apa yang diperdebatkan? Dan siapa yang

paling mendominasi?

26. Apakah Ibu diberi kesempatan untuk mengambil keputusan? Keputusan

seperti apa?

27. Apakah Ibu mengetahui adanya aturan hukum UU No 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga?

28. Menurut Ibu, apakah peraturan tersebut berjalan sesuai dengan aturan yang

ada?

29. Apa harapan Ibu agar pemerintah dapat mengurangi KDRT sesuai dengan

aturan UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga?

(Pertanyaan Tambahan)

1. Selama Ibu berumah tangga dengan suami, apakah suami Ibu pernah

mengatur-ngatur Ibu? Jika pernah, dalam hal yang seperti apa?

2. Apakah ada aturan yang diterapkan oleh suami Ibu untuk dipatuhi oleh

Ibu? Bentuk aturan tersebut seperti apa?

15
Proses Penelitian

a. Tahap Pertama

Pada tahap awal penelitian ini, penulis sempat merasa kebingungan karena

kasus kekerasan dalam rumah tangga pada penelitian ini sama sekali tidak

memiliki satu orang informanpun untuk diwawancarai. Keinginan penulis

mengangkat tema kekerasan dalam rumah tangga ini berbekal pada

permasalahan yang ada pada media-media, salah satunya televisi yang masih

menayangkan berita tentang kekerasan dalam rumah tangga dan perempuan

yang selalu tertindas dan selalu menjadi korban meskipun sudah ada aturan

yang diberlakukan sejak tahun 2014 silam.

Sebenarnya selain berlandaskan pada informasi di televisi, penulis juga

memiliki pengalaman melihat seorang istri menjadi korban ketika terjadi

kekerasan dalam rumah tangganya. Kejadian tersebut terjadi di depan mata

penulis langsung dan ketika penulis masih menginjak bangku Sekolah Dasar

(SD). Pengalaman tersebut membuat penulis bertanya-tanya seputar kekerasan

dalam rumah tangga hingga akhirnya penulis mengetahui sendiri melalui hasil

penelitian ini faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan kekerasan dalam

rumah tangga masih saja terjadi. Berbekal pada informasi di televisi dan

pengalaman secara langsung, akhirnya penulis berniat untuk mengetahui akar

permasalahan langgengnya kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan

oleh adanya budaya patriarki.

Sebelum melakukan penelitian, sebenarnya penulis tidak terlalu mengenal

Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan dengan baik karena penulis jarang

16
sekali bepergian keluar rumah. Hal ini sangat berpengaruh terhadap sulitnya

penulis mengenali lokasi penelitian hingga akhirnya penulis membutuhkan

bantuan dari salah seorang teman yang tinggal di Kecamatan Pamulang,

Tangerang Selatan.

b. Tahap Kedua

Pada tahap kedua, penulis memiliki sedikit kebingungan untuk mencari data

yang akan dimasukkan ke dalam Bab II pada skripsi ini. Penulis mencari data

melalui sumber internet namun tidak kunjung ketemu. Akhirnya atas inisiatif

dari penulis, pada tanggal 16 April 2017 penulis mendatangi tempat bernama

Graha Mitra yang merupakan salah satu perpustakaan umum yang berada di

KecamatanPamulang. Karena perpustakaan umum tersebut tidak memiliki

arsip-arsip mengenai Kecamatan Pamulang, akhirnya penulis diarahkan untuk

pergi ke Walikota Tangerang Selatan yang berada di Kecamatan Pamulang.

Karena berhubung waktu sudah sore, sekitar pukul 16:00 WIB dan pada saat

itu Kantor Walikota sudah sepi karena para staf sudah tidak memiliki jam

kerja, maka diputuskan untuk kembali lagi pada esok hari.

Setelah penulis sampai di Kantor Walikota Tangerang Selatan keesokan

harinya, penulis menemui salah seorang staf yang bergerak di bidang HUMAS

(Hubungan Masyarakat). Penulis menjelaskan maksud dan tujuan penulis

kepada staf tersebut dan akhirnya penulis dimintai nomor telepon jika nantinya

terdapat arsip yang diinginkan, maka penulis akan dihubungi ke nomor

tersebut.

xvii
Permasalahan selanjutnya terletak pada Bab III mengenai Temuan dan

Analisis. Bagaimana bisa penulis menganalisis korban kekerasan dalam rumah

tangga jika tidak ada informan untuk diwawancarai? Akhirnya setelah dari

Kantor Walikota tersebut, penulis berinisiatif untuk mendatangi Polsek

Pamulang hanya sekedar ingin bertanya di mana penulis dapat menemukan

informan untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga dan dapat diwawancarai.

Setelah itu peneliti diminta untuk menyerahkan surat permohonan wawancara

atau mencari data dari kampus. Setelah surat tersebut diberikan, akhirnya

penulis diberikan data berupa kasus kekerasan dalam rumah tangga pada tahun

2016-2017. Saat itu penulis meyakinkan pihak Polsek bahwasannya akan

sangat menjaga kerahasiaan dari korban jika diberikan izin untuk wawancara.

Namun akhirnya, pihak tersebut tidak memberikan izin kepada peneliti untuk

mewawancarai korban-korban tersebut.

c. Tahap Ketiga

Terhitung ada delapan kali penulis mendatangi Polsek Pamulang untuk

meminta izin wawancara namun akhirnya ditolak. Pada tahap ini, penulis

sempat dilanda kebingungan kembali. Namun tidak lama penulis mengingat

bahwa terdapat tempat pemberdayaan di Wilayah Tangerang Selatan namun

penulis tidak mengetahui letak dari tempat pemberdayaan tersebut. Akhirnya

penulis mencari informasi di mana lokasi tempat pemberdayaan tersebut dan

setelahnya mendatangi kantor P2TP2A di mana tempat pemberdayaan yang

dimaksud oleh penulis untuk memberikan surat izin wawancara atau mencari

data dan menyerahkan proposal penelitian.

181
818
Sebelum mengetahui adanya tempat pemberdayaan P2TP2A, penulis

disarankan oleh dosen pembimbing untuk mencari korban di LBH APIK yang

berada di Jakarta Timur. Namun karena setelah dosen pembimbing

menyarankan lembaga tersebut penulis mengatakan terdapat tempat

pemberdayaan yang berlokasi di Wilayah Pamulang, Tangerang Selatan,

akhirnya dosen pembimbing setuju mengambil para korban yang diberdayakan

di P2TP2A. Namun dengan catatan, ketika pihak P2TP2A tidak memberikan

izin untuk melakukan penelitian, maka penulis harus mendatangi tempat LBH

APIK tersebut.

Selang beberapa hari setelah penulis memasukkan surat izin penelitian dari

kampus beserta proposal skripsi yang berisikan Bab I, penulis dihubungi oleh

Kak Nur selaku pengurus P2TP2A bahwa keesokan harinya ada dua informan

yang bersedia untuk diwawancarai. Dengan begitu, penulis tidak perlu

mendatangi LBH APIK karena telah diberikan izin untuk penelitian di

P2TP2A.

d. Tahap Keempat

Pada tahap ini, penulis dihubungi oleh pihak P2TP2A untuk datang ke

kantor karena ada korban yang bersedia untuk diwawancara. Saat itu penulis

mewawancarai dua orang informan dalam satu hari karena sudah dijadwalkan

oleh pihak P2TP2A pada 17 Mei 2017. Setelah wawancara berakhir, penulis

mengobrol dengan pihak P2TP2A dan meminta informan kembali. Pihak

P2TP2A tidak merasa keberatan dan akan menghubungi kembali jika sudah

ada korban yang bersedia untuk diwawancarai.

19
Penulis awalnya sedikit ragu ketika dihadapkan oleh informan, “Apakah

informan-informan ini akan terbuka dalam menceritakan pengalamannya

kepada penulis?” Pasalnya, kekerasan dalam rumah tangga merupakan

permasalahan keluarga yang seharusnya tidak diumbar dan merupakan aib

dalam keluarga yang seharusnya tidak diceritakan kepada orang asing. Namun,

karena penulis menunjukkan rasa simpati yang dicurahkan melalui pertanyaan

demi pertanyaan yang penulis ajukan, otomatis keraguan tersebut hilang.

Penulis akui memang mewawancarai korban kekerasan dalam rumah tangga

tidak seseram yang dibayangkan sebelumnya karena penulis merasa sedikit

takut jika penulis melakukan sedikit kesalahan, maka para informan akan

merasa sakit hati. Namun sebisa mungkin penulis menjaga ucapan agar tidak

melukai perasaan para informan.

Sampai penulis telah mewawancarai dua orang informan, pihak staf bagian

humas tidak menghubungi penulis mengenai gambaran umum Wilayah

Tangerang Selatan. Merasa bingung namun tidak berputus asa, akhirnya

penulis berinisiatif untuk mencari kembali di internet dan bertanya-tanya

kepada teman penulis. Tidak disangka perjuangan penulis untuk mencari

gambaran umum seputar Kecamatan Pamulang terbayar ketika salah satu

teman penulis memiliki data tersebut dalam format .pdf. Akhirnya data tersebut

menjadi rujukan untuk penulis dalam mengerjakan Bab II.

e. Tahap Kelima

Selang satu bulan lamanya setelah mewawancarai dua informan

sebelumnya, akhirnya penulis dihubungi kembali oleh pihak P2TP2A untuk

20
memberitahukan bahwa ada tiga orang korban kekerasan dalam rumah tangga

yang bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara. Untuk mewawancara

tiga informan tersebut, peneliti harus menunggu karena pihak P2TP2A

disibukkan oleh kasus-kasus kekerasan pada anak dan perempuan yang

melapor pada saat itu. Tanggal 21 Juli 2017 penulis mewawancarai dua

informan secara bergantian sedangkan satu informan penulis lakukan

wawancara pada keesokan harinya, 22 Juli 2017. Setelah wawancara, penulis

mengatakan akan kembali lagi jika data yang dibutuhkan kurang dan jika

masih memerlukan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk diwawancara.

Setiap akhir wawancara, penulis selalu meminta kontak para informan yang

bisa dihubungi. Tujuannya adalah ketika penulis melewatkan salah satu atau

beberapa pertanyaan, maka penulis akan menghubungi para informan sesuai

dengan kontak yang diberikan. Penulis juga meminta alamat persis yang

informan tinggali dengan maksud ketika nomor yang diberikan tidak dapat

dihubungi, penulis berinisiatif untuk mendatangi rumah para informan dan

menanyakan langsung mengenai data-data yang kurang.

21

You might also like