You are on page 1of 13

Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No.

2, April 2018, Halaman 98-110 p-ISSN : 2086-2695, e-ISSN : 2527-4716

MODEL TRANSFORMASI FIQH JINÂYAH KE DALAM


HUKUM PIDANA NASIONAL; KRITIK NAZHARIYAT AL-'UQÛBAH TERHADAP
MATERI KUHP

Junaidi Abdillah, Suryani


UIN Raden Intan Lampung, IAIN Lhokseumawe
junaidiabdillah02@gmail.com, suryapijar@yahoo.com

Abstract

The transformation of jinayah fiqh (Islamic criminal law) in national law (c.q. KUHP) has always
been a debatable theme among experts, both in theoretical and implementation level. In addition,
these efforts are constrained by both external and internal factors. Whereas in a formal juridical, the
existence of Islamic law is recognized as a sub-system of national law, but the reality of this
transformation which is in line with the reform of the Criminal Code (KUHP) is still running in
place. This paper aims to analyze the urgency of jinayah fiqh transformation into national criminal
law. Secondly, is to know the transformation paradigm and the model of Islamic criminal integration
and its relation with the reform of national criminal law in Indonesia. The approach used is
juridical-philosophical method of study with critical documentation. This paper yields the
conclusion that the existence of Islamic criminal law has an urgency to be accommodated into
national criminal law based on philosophical arguments. In addition, the positivization paradigm of
jinayah fiqh must use a critical paradigm. Also, the integration model maqashidy istishlahy is the
most ideal model to unite jinayah fiqh with the national criminal law.

Key Words: integration, renewal, jinayah fiqh, national criminal law

Abstrak

Transformasi fiqh jinayah ke dalam hukum pidana nasional (c.q. KUHP) hingga saat ini masih
memantik perdebatan di kalangan ahli. Baik dalam tataran teoritis maupun implementasinya. Selain
itu upaya tersebut terkendala faktor baik eksternal maupun internal. Padahal secara yuridis formal
eksistensi hukum Islam diakui menjadi sub sistem hukum nasional. Namun realitas transformasi ini
yang seiring dengan pembaruan KUHP masih berjalan di tempat. Paper ini bertujuan menganalisis
urgensi transformasi fiqh jinayah ke dalam hukum pidana nasional. Kedua untuk mengetahui
paradigma transformasi serta model integrasi pidana Islam kaitannya dengan pembaruan hukum
nasional pidana di Indonesia.Pendekatan yang dipakai adalah yuridis-filosofis dengan metode studi
dokumentasi kritis. Paper ini menghasilkan simpulan bahwa eksistensi hukum pidana Islam
mempunyai urgensi untuk diakomodir ke dalam hukum pidana nasional berdasarkan argumentasi
argumentasi filosofis. Kedua, paradigma positivisasi fiqh jinayah menggunakan harus memakai
paradigma kritis. Serta, model integrasi maqashidy istishlahy merupakan model paling ideal untuk
menyatukan fiqh jinayah dengan hukum pidana nasional.

Kata Kunci: integrasi, fiqh jinayah, pembaruan, hukum pidana nasional

A. Pendahuluan jinâyah -- menjadi bahan baku bagi


Legislasi hukum Islam dalam bidang pembangunan hukum pidana nasional yang
pidana (jinâyah) menjadi hukum nasional dapat menggantikan Kitab Undang-undang
Indonesia tidak semudah dalam bidang ahwâl Hukum Pidana (KUHP) yang dipandang
al-syakhsyiyyah, mu'âmalah dan lain-lainnya sudah tidak relevan lagi dengan semangat
(Burdah, 2008, p. 114). (Burdah, 2008: 114) zaman –(Jaspan, 1988, pp. 250251).
Padahal, kebijakan hukum pemerintah telah (Jaspan,1988: 250-251). Namun demikian,
menetapkan hukum Islam --termasuk fiqh sampai saat ini, upaya transformasi dan

98
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah

legislasi hukum pidana Islam (fiqh jinâyah)ke Menjawab pertanyaan-pertanyaan


dalam atau atau sebagai pengganti Kitab tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan.
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Terdapat sejumlah hambatan-hambatan baik
hingga kini masih keinginan semata. bersifat internal maupun eksternal. Pertama,
Kondisi tersebut di atas berbanding tidak secara internal tidaklah sepenuhnya umat
lurus dengan eksistensi Hukum Islam lainnya Islam, baik dari kalangan ahli maupun
yang telah sukses bertransformasi menjadi praktisi, setuju dan sepakat hukum pidana
hukum nasional. Hal ini dapat dilihat dengan Islam harus diadopsi atau diformalkan
lahirnya berbagai peraturan perundang- menjadi hukum negara. Mereka
undangan baik dalam bidang perdata, berpandangan bahwa formalisasi dan
peradilan agama, perbankan syari'ah positivisasi pidana Islam hanya akan
(mu'amalah), perwakafan dan perzakatan dan membuka peluang intervensi kekuasaan
sebagainya –(Rofiq, 2000, pp. 99101). (politik) dalam agama (Wahid, 2002)(Wahid,
(Rofiq,2000: 99-101) Sekadar menyebut 2002) Artinya, biarkan hukum pidana Islam
contoh untuk beberapa Peraturan Perundang- menjadi bagian internal umat Islam secara
undangan yang mengakomodasi hukum privat sebagai hukum yang tumbuh dalam
Islam adalah: (1) UU Nomor 1 Tahun 1971 sanubari kehidupan umat Islam. Pandangan
tentang Perkawinan, (2) PP Nomor 28 Tahun semacam ini banyak diusung oleh para
1977 tentang Perwakafan, (3) UU Nomor 7 teoritisi Islam kultural (Ghofur, 2002)(Ghofur,
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (4) 2002)
UU Nomor 7 Tahun 1992 jo. UU Nomor 10 Sementara tidak sedikit pula dari ahli
Tahun 1998 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 pidana Islam yang menuntut bahwa saatnya
tentang Sistem Perbankan Nasional yang hukum pidana Islam sudah saatnya menjadi
mengizinkan beroperasinya Bank Syari'ah, bagian dari sistem hukum nasional baik dari
(5) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang aspek simbol maupun substansinya: termasuk
Kompilasi Hukum Islam, (6) UU Nomor 17 sepenuhnya mengadopsi sepenuhnya bentuk-
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, bentuk pidana yang secara literal tercantum
dan (7) UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang dalam Alqur'an dan Sunnah –(Mujani, 2007,
Pengelolaan Zakat dan lain-lainnya. pp. 2627)(Mujani,26-7) Mereka membangun
Puncaknya adalah dengan argumentasi melalui prinsip bahwa eksistensi
diresmikannya Mahkamah Syari'ah di hukum pidana Islam bisa berjalan efektif serta
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam pada mempunyai daya paksa kekuatan hukum
tanggal 4 Maret 2003, yang bertepatan apabila telah diundangkan (baca: taqnin al-
dengan 1 Muharram 1424 H. Sebelumnya ahkam)menjadi hukum resmi negara. Melalui
pemerintah telah memberikan hak istimewa pranata taqnin inilah hukum pidana Islam
dan otonomi daerah bagi Nanggroe Aceh mampu bersifat al-ilzam (memaksa) dan al-
Darussalam untuk menjadikan syari'at Islam ijaz wal al-ijmal atau dapat mengikat semua
sebagai hukum yang berlaku di sana. lapisan masyarakat (Hidayat, 1991:
Melalui deskripsi problema di atas, pada 36)(Hidayat, 1991, p. 36)
titik inilah sejatinya telah nampak problema Kedua, secara eksternal adalah adanya
terkait formalisasi dan transformasi hukum stigma dari kalangan umat non-Muslim yang
pidana Islam (fiqh jinâyah) dalam konteks berpandangan kuat bahwa hukum pidana
berbangsa dan bernegara. Singkat kata, di sini Islam sangat sarat dengan hukum pidana yang
dapat diajukan sebuah pertanyaan bagaimana usang dan ketinggalan zaman. Hukum pidana
memformalkan (baca: positivisasi) Islam merefleksikan hukum yang sadis,
ketentuan-ketentuan hukum pidana barbar dan jauh dari prinsip-prinsip Hak Asasi
Islam(HPI) dalam konteks kehidupan Manusia (HAM). Mereka melihat bagaimana
berbangsa dan bernegara? Atau dengan kerasnya hukum rajam, pancung, potong
bahasa yang lebih lugas, bagaimana tangan, cambukdan lain-lainnya. Bentuk-
memasukkan dan atau mengintegrasikan bentuk hukuman inilah menghantui dari
ketentuan hukum pidana Islam(fiqh kalangan non-Muslim yang pada gilirannya
jinâyah)sebagai bagian dari sistem tata mendatangkan phobia akan keberadaan
hukum nasional bangsa Indonesia? pidana Islam.
99
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 2, April 2018, Halaman 98-110

Selain kedua faktor di atas, tentunya jinayah ke dalam hukum pidana nasional?
terdapat faktor lainnya yang membuat hukum Bagaimana paradigma transformasi
pidana Islam hingga kini sulit diformalkan (positivisasi) hukum pidana Islam dalam
menjadi hukum Negara. Di antaranya adalah pembaruan hukum pidana nasional? Dan
faktor sosiologis, politik, yuridis dan filosofis. bagaimana model integrasi pidana Islam
Berangkat dari uraian di atas, tampak kaitannya dengan pembaruan hukum nasional
bahwa upaya melakukan transformasi pidana di Indonesia?Tulisan ini bermaksud
(positivisasi) pidana Islam (fiqh menjawab ketiga pertanyaan di atas.
jinayah)sebagai hukum nasional di
Indonesiabukanlah upaya yang mudah B. Pembahasan
direalisasikan. Artinya upaya formalisasi 1. Dinamika Hukum Pidana Islam di
hukum pidana Islam (HPI) di Indonesia Indonesia
terkendala oleh dua pendekatan yang seakan- Secara empiris hukum pidana Islam
akan terus bertentangan. Yaitu pendekatan merupakan hukum yang telah hidup di
yang bersifat formalistik yang banyak masyarakat (the living law) dalam interaksi
diusung oleh kaum fundamentalisme Islam keseharian masyarakat Indonesia. Sejarah
dan pendekatan kulturalistik yang banyak telah menunjukkan bahwa eksistensi hukum
diusung oleh kaum modernisme. pidana Islam dalam sistem hukum Indonesia
Selain itu, upaya transformasi telah terbukti mempunyai “akar historis”
(positivisasi) hukum pidana Islam juga dalam kesadaran masyarakat Islam, seiring
didukung oleh kebutuhan terhadap dengan pertumbuhan dan perkembangan
pembaharuan KUHP yang hingga detik ini ajaran agama Islam itu sendiri. Akar sejarah
masih berproses di lembaga Legislatif. ini dibuktikan dan direpresentasikan dengan
Diakui, setelah bangsa Indonesia merdeka, berbagai teori pemberlakuan hukum Islam di
bangsa ini belum memiliki sistem hukum Indonesia di antaranya adalah teori Receptio
yang bersumber dari tradisinya sendiri. in Complexu dan teori Receptie (Ali, 1999, p.
Pemberlakuan Hukum Pidana Nasional saat 219). (Ali, 1999: 219)
ini masih menggunakan peraturan Jauh sebelum pemerintahan kolonial
perundang-undangan peninggalan atau Belanda menginjakkan kakinya di bumi
warisan kolonial Belanda (Arifin, 2001, p. Nusantara, komunitas Muslim telah
46). (Arifin, 2001: 46) Kendati peraturan terbangun secara mapan. Di beberapa daerah
perundang-undangan tersebut telah di Indonesia, Islam bukan saja menjadi agama
mengalami proses nasionalisasi --semisal yang resmi, melainkan juga sebagai hukum
pergantian nama Kitab Undang-undang yang berlaku di daerah-daerah tersebut.
Hukum Pidana (KUHP) merupakan Beberapa kerajaan di Indonesia seperti
nasionalisasi dari Wetboek van Strafrechts, kerajaan Sultan Pasai di Aceh, kerajaan Pagar
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dari Ruyung yang terkenal dengan rajanya Dang
Burgerlijk Wetboek dan lain-lain--KUHP Tuangku dan Bundo Kanduang, kerajaan
yang ada sekarang sejatinya hukum warisan Paderi dengan Tuanku Imam Bonjol di
kolonial Belanda –(Asshiddiqie, 1996, pp. Minangkabau, kerajaan Demak, Pajang
1925).(Asshiddiqie, 1996: 19-25)Tidak Mataram dan Sultang Ageng di Banten,
mengherankan apabila para ahli hukum terus bahkan Malaka serta Brunai (sekarang Brunei
menggelorakan suara dan upaya-upaya Darussalam) di semenanjung Melayu dan
terkait kebutuhan pembaharuan terhadap H a s s a n u d d i n d i M a k a s a r, t e l a h
KUHP yang ada saat ini. Terlebih hukum mempergunakan hukum Islam di wilayah
pidana nasional yang ada dipandang belum kerajaannya (Ramulyo, 1997, p.
mengakomodir hukum yang tumbuh dalam 48).(Ramulyo, 1997: 48)
masyarakat Indonesia termasuk hukum Sejumlah konsep tindak pidana dan
pidana Islam. sanksinya telah diterapkan di wilayah-
Berpijak pada uraian latar dan wilayah Indonesia saat itu. Pidana rajam
problematika di atas, muncul beberapa misalnya pernah diterapkan di Aceh, pidana
rumusan pertanyaan sebagai potong-tangan dan sebagainya pernah
berikut:Bagaimana urgensi transformasi fiqh menghiasi lembaran sejarah masa silam
100
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah

bangsa Indonesia. Bahkan di Semarang Islam utamanya pidana hudūd dipandang


misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan sebagai sosok hukum yang kejam, primitif
nama Kitab Hukum Mogharraer (dari kata al- dan identik dengan cara-cara balas dendam
Muharrar). Dalam kitab ini mengandung dan kekerasan –(Santilana, 1952, pp.
kaidah-kaidah hukum pidana Islam. 303304). (Santilana: 1952: 303-4)Penulis
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus menduga, pandangan demikian lahir dan
berlangsung bahkan hingga menjelang muncul karena kajian umumnya para ahli
peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris terfokus pada bentuk-bentuk pemidanaan
kepada Kerajaan Belanda kembali. yang terdapat dalam hukum pidana Islam.
Nusantara di bawah Kolonialisme Pada saat yang sama, kajian-kajian terkait
Belanda berada dalam kehidupan hukum tujuan(filosofi) pemidanaan dalam hukum
pidana Islam yang begitu melemah. Bahkan pidana Islam sering terlupakan dan jarang
ketika Belanda semakin mencekeram, politik ditelisik lebih dalam.
hukum Belanda mulai menerapkan apa yang Satu hal yang sering dilupakan para ahli
dikenal dengan politik “belah bambu”, yang hukum dan sejarawan adalah visi dan misi
secara padu hendak menyingkirkan hukum akan koreksi dan perbaikan yang dibawa
Islam dari masyarakat Indonesia. pidana Islam terhadap ajaran-ajaran
Diciptakanlah teori represi dan sebelumnya. Sistem hukum pidana Islam
“ditemukanlah” hukum adat. sesungguhnya diawali dengan koreksi
Hukum Islam yang telah mentradisi saat terhadap sistem hukum Arab pra-Islam yang
itu diberlakukan sebagai hukum adat, bukan diskriminatif dan tidak manusiawi. Diketahui
sebagai hukum Islam. Pemerintah Hindia bahwa, suku dan kabilah yang kuat di kala itu
Belanda sejak awal abad ke-19 sangat berhak dalam persoalan intervensi
memberlakukan kodifikasi hukum pidana, hukum, sementara suku yang lemah hanya
yang pada mulanya masih pluralistis. Ada sebagai pelengkap penderita (tertindas)
kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk karena ketidakberdayaanya. Islam datang
orang-orang Eropa, dan ada Kitab Undang- dengan membawa panji menegakan hukum
undang Hukum Pidana untuk orang-orang dengan prinsip keseimbangan dan keadilan
Bumiputra dan yang dipersamakan (Sjadzali: 1990: 12-15)
(inlanders). Akan tetapi, mulai tahun 1918 Terkait ini, dapat dicontohkan dengan
diberlakukan satu Kitab Undang-undang penerapan pidana potong tangan bagi pelaku
Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang pencurian. Pidana ini berdasarkan oleh
ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum keumuman perintah normatif tentang pidana
pidana). Itulah hukum yang berlaku sampai potong tangan (Al-Qurthubi, 1967, p. 388).
sekarang. Sejak kemerdekaan Indonesia, (al-Qurthubi, 1967: 388) Dilihat dari latar
kitab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa belakang turunnya (asbāb al-nuzūl) ayat ini
Indonesia dan menjadi Kitab Undang-undang adalah adanya kasus penjatuhan pidana
Hukum Pidana dalam hal ini KUHP (Arifin, potong tangan yang terjadi di masyarakat
2001, p. 44). (Arifin, 2001: 44) Unifikasi jahiliyah (pra-Islam) yang tidak
tersebut tampaknya telah menghilangkan memperhatikan besar kecilnya barang yang
penerapan hukum pidana Islam di bumi dicuri. Pidana ini berlaku secara umum
Nusantara. berdasarkan keumuman teks Alqur'an.
Realitas demikian semakin diperparah Diceritakan bahwa orang yang pertama kali
dengan pandangan sebagian ahli hukum dijatuhi pidana potong tangan adalah Dawik,
mengenai pidana Islamyang kurang positif. Budaknya Malih bin Umar, karena mencuri
Te r u t a m a b e r k a i t a n d e n g a n h u k u m kelambu Ka'bah –(Katsir, 1989, pp.
hudūd(pidana yang bentuk dan kadarnya 5657).(Ibnu Katsir: 1989: 56-7) Demikian
telah ditentukan Alquran dan Sunnah) dalam halnya dengan kasus pidana dera dan rajam
hukum pidana Islam yang mengalami stigma dalam kejahatan zina, Islam membuat syarat
dan reduksi. Pendek kata, hukum pidana dan rukun yang sedemikian ketat dan sulit.Di
Islam identi dengan hukum yang klasik, antaranya adalah dengan syarat
kejam, ketinggalan dan dehumanis. Ironisnya menghadirkan empat orang saksi. Syarat
mayoritas orientalis memandang Pidana semacam ini tidak ditemukan pada praktik
101
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 2, April 2018, Halaman 98-110

pemidanaan Arab pra-Islam. sebagai bangsa beragama, di sisi lain terlihat


Dengan demikian di sini dapat dikatakan dalam penyusunan tata hukum nasional masih
bahwa hukum pidana Islam sejatinya tidak tetap dipertahankan nilai-nilai agama
lahir (muncul) dalam ruang kosong yang sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan
hampa. Pada saat hukum pidana Islam lahir UUD 1945 yang sangat berbeda dengan
telah berlaku hukum-hukum pidana warisan penyusunan KUHP yang kosong dari norma-
agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama norma religius dan penuh dengan nuansa cita
yang dianut masyarakat Arab pra-Islam. Oleh kolonialis, di samping itu tata hukum tersebut
Islam, pranata-pranata hukum yang telah ada (KUHP dan KUHAP) dimaksudkan hanya
diadopsi dengan diperhalus dan diperingan sekedar kitab hukum transisi sampai
bentuk hukuman dan syarat yang begitu ketat. terbentuknya hukum nasional Indonesia yang
Jadi, semangat yang ditangkap dalam pidana baku (Basuki, 2004, p. 96).(Basuki, 2004: 96)
Islam adalah prinsip meringankan hukuman,
mengurangi beban dan mengangkat kesulitan 2. Kritik Nadzariyah al-'Uqubah atas
utamanya dalam hal penjatuhan sanksi dan Materi KUHP
hukuman. Bangsa Indonesia sendiri --dalam hal ini
Berdasarkan uraian di atas dapat adalah pemerintah-- terkait pembangunan
dipahami bahwa perjalanan hukum pidana sistem hukum nasional, telah mengambil
Islam di Indonesia mengalami pasang surut kebijakan untuk menjadikan tiga sistem
dari masa ke masa. Hukum pidana Islam hukum yang ada yaitu hukum adat, hukum
tumbuh dan berkembang mengiringi Islam dan hukum Barat sebagai bahan baku
kehidupan pemeluknya. Faktor-faktor sosial pembangunan dan pembentukkan hukum
politik menjadikan hukum pidana Islam nasiona –(Arifin, 1996, pp. 3940)(Arifin,
nyaris hilang gaungnya dengan ilmu 1996:39-40) Ketiganya --baik hukum Islam,
pemidanaan-pemidanaan kontemporer. Adat dan Barat-- secara yuridis-formal telah
Dewasa ini, utamanya pasca era diakui menjadi pranata yang tumbuh dalam
reformasi bergulir keinginan memasukkan masyarakat Indonesia dan diharapkan mampu
hukum pidana Islam melalui pembaruan berkontribusi bagi pembangunan hukum
KUHP terus bergelora. Harapan ini tentunya nasional.
tidak berlebihan. Cita telah didukung Namun demikian, keberhasilan hukum
berbagai macam argumentasi. Islam dengan bertransformasi ke dalam
Terdapat beberapa argumen menjadi hukum Nasional di Indonesia sebagaimana
pijakan terkait upaya menjadikan hukum tersebut di atas, justru berbanding tidak lurus
Islam menjadi bagian dari hukum dengan eksistensi hukum pidana Islam (al-
nasional.Pertama, secara filosofis dapat fiqh al-jina'ī). Artinya, hingga kini
dikatakan bahwa substansi sendi-sendi keberadaan hukum pidana Islam (HPI) belum
normatif ajaran Islam dapat melahirkan mampu berkontribusi bagi pembangunan
epistemologi hukum yang memberi hukum pidana nasional. Kendati hukum
sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan pidana Islam (HPI) telah eksis dalam arti
hidup, cita modal dan cita hukum masyarakat menjadi hukum yang hidup (living law) dan
Indonesia; kedua, secara sosiologis, diamalkan di tengah-tengah masyarakat,
masyarakat hukum Indonesia memiliki cita sebagian kalangan umat Islam masih menilai
dan kesadaran hukum serta sebagai bentuk kelemahan apabila Hukum
berkesinambungan, seperti adanya gejala Pidana Islam (HPI) tidak dilegal-formalkan
(tradisi) meminta putusan hukum kepada dalam Undang-undang yang mendapatkan
orang yang difigurkan (tokoh) sebagai dukungan politik dari pemerintah
seorang “hakim” yang selanjutnya (Trigiyatno, 2005, p. 99)(Trigiyatno, 2005:
membudaya menjadi sebuah tradisi 99)
“tauliyyah” (penyerahan wewenang) dalam Bahkan perjuangan umat Islam secara
sistem kekuasaan kehakiman; ketiga, secara yuridis dalam melakukan formalisasi hukum
yuridis, perjalanan sejarah hukum nasional pidana Islam menjadi bagian hukum Nasional
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai religius atau menjadi hukum positif tersebut, sejatinya
yang kemudian menjadi ciri bangsa Indonesia
102
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah

tidak terlepas dari tuntutan akidah yang pihak yang merasa dirugikan. Secara sekilas
menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mungkin benar, akan tetapi jika dikaji lebih
menegakkan konsep ke-khilafah-andalam jauh, perbuatan tersebut bukan saja akan
menjalankan syariꞌah Islam secara kāffah merugikan keluarga dan masyarakat
(total dan sempurna) di mana, kapan, setempat, bahkan kedua pelaku tersebut. Zina
bagaimana, dan oleh siapa pun tanpa dibatasi dapat merusak tatanan masyarakat,
oleh paham apapun (Faisal, 2012, p. bertentangan dengan akhlak yang mulia
44)(Faisal, 2012: 44) bertentangan dengan agama, bahkan
Kendati didukung oleh sejumlah bertentangan dengan budaya nasional yang
argumen yuridis-logis yang kuat, upaya untuk ketimuran. Delik zina ini pun seharusnya bisa
melakukan pembaruan KUHP, melalui bahan diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.
baku (sub-sistem) hukum pidana Islam ini, Kasus lain misalnya meminum
diakui tidaklah semudah yang dibayangkan. minuman keras. Dalam kasus ini, KUHP
Realitas sejarah panjang telah menunjukkan memandang perbuatan tersebut bukan suatu
bahwa upaya ini berjalan terseok-seok sarat delik, selama tidak membahayakan orang
dengan kepentingan dan konflik ideologi. lain. Sedangkan hukum pidana Islam
Upaya penyusunan RUU-KUHP dengan menganggapnya sebagai jarimah, walaupun
menjadikan hukum pidana Islam, yang telah pelakunya tidak membahayakan orang lain.
dirintis sejak tahun 1963 hingga sekarang ini Hal ini disebabkan hukum Islam berpijak
belum terwujud. pada akhlak mulia dan kemaslahatan
Diakui, hukum pidana nasional yang masyarakat, termasuk individu itu sendiri.
termaktub melalui KUHP yang berlaku Tentu banyak lagi jarimah yang bisa
sekarang ini, dianggap kurang mewakili dijadikan delik dalam hukum pidana positif
budaya Indonesia yang ketimuran dan yang tidak mungkin diuraikan satu-persatu
dianggap pula tidak memadai lagi untuk dalam makalah sederhana ini. Namun
merespons perkembangan masyarakat dan demikian jarimah-jarimah tersebut haruslah
peradabannya yang sudah jauh berbeda. dipahami secara kontekstual, dinamis dan
Dalam persoalan kesusilaan misalnya, KUHP elastis, sehingga benar-benar layak dijadikan
masih membolehkan hubungan seksual yang bagian dari hukum pidana nasional. Sebagai
dilakukan secara suka sama suka, selama contoh adalah jarimah riddah yang konsepnya
kedua pelaku belum menikah, ataupun sudah belum jelas dan penjatuhan sanksinya
menikah tetapi tidak ada aduan dari suami diwarnai suasana perang pada masa Nabi
atau isteri pelaku. KUHP juga belum Sedangkan jika ditelusuri lebih dalam,
mengatur penyimpangan seksual homoseks ruang lingkup kajian fiqh Jinayah yang
ataupun hubungan seks dengan binatang dan mencakup aspek-aspek: pencurian,
kumpul kebo. Bagi masyarakat yang masih perzinaan, menuduh orang berbuat zina (al-
memegang teguh agama, moral dan susila, qadzaf), mengonsumsi barang yang
kebebasan seperti di atas jelas tidak bisa memabukkan (khamr), membunuh atau
diterima. melukai, mencuri, merusak harta orang lain,
Tidak mengherankan jika dalam muatan jarimah (melakukan kekacauan dan
KUHP belum mengakomodir fiqh jinayah semacamnya berkaitan dengan hukum
sebagai hukum masyarakat mayoritas kepidanaan) dan jarimah dibagi dalam tiga
Indonesia. Dalam kasus zina misalnya, hal: qishash/diyat, jarimah hudūd, dan
KUHP tidak menganggap kasus zina ghairu jarimah ta'zir (Praja, 2011, p. 233)( Praja,
muhsan (persetubuhan ilegal antara dua orang 2011: 233)
yang belum menikah atau tidak terikat dalam Bentuk hukuman yang diterapkan bagi
perkawinan, atas dasar suka sama suka) pelaku pidana dikategorikan dalam dua
sebagai suatu tindak pidana. Delik “zina” bentuk yaitu: hudūddan ta'zir. Pidana
dalam KUHP hanya mencakup persetubuhan hudūdadalah segala bentuk hukuman yang
ilegal antara dua orang, atau salah-satunya, telah ditentukan oleh Alqur'an dan Sunnah.
yang sudah menikah. Nampaknya, KUHP Sedangkan ta'zir adalah bentuk hukuman
tidak melihat adanya unsur kejahatan pada yang tidak ditentukan bentuknya oleh
kasus zina ghairu muhsan, karena tidak ada Alquran dan Sunnah. Dalam kasus qishash
103
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 2, April 2018, Halaman 98-110

dan diyat, para ulama berbeda pendapat. Ada sebuah keniscayaan. Integrasi di sini
yang memandang qishash dan diyat masuk dimaknai sebagai upaya menjadikan fiqh
dalam kategori hudud. Namun mayoritas jinayah bisa bertemu dengan hukum pidana
ulama berpandangan keduanya tidak nasional. Integrasi jika menggunakan teori
termasuk hudūd(Djazuli: 2000: 10-14) Ian G. Barbour adalah hubungan yang
–(Djazuli, 2000, pp. 1014) bertumpu pada keyakinan bahwa pada
Hukuman dan pidana qishashterkait dasarnya kawasan telaah, rancangan
dengan pembunuhan dan pencederaan penghampiran dan tujuan fiqh jinayah dan
anggota badan yang pelakunya diancam hukum nasional adalah sama dan satu.
dengan tindakan yang sama. Sementara Singkatnya, integrasi adalah kemitraan yang
hukuman atau pidana diyatmerupakan ganti sistematis dan ekstensif antara fiqh jinayah
rugi (denda) bagi pelaku tindak pidana ketika yang berbasis agama dengan hukum nasional
qishash tidak jadi dilaksanakan karena sebagai hasil cipta karsa manusia. (Barbour,
pemaafan dan bagi pembunuh semi sengaja 2005: 80-85) –(Barbour, 2005, pp. 8085)
dan tidak sengaja. Sedangkan hudūdadalah
haqqullah yang hukumannya telah pasti 3. Dari Transformasi ke Integrasi
ketentuannya. Semisal haddzina, had Ketika membedah model ideal
qadzaf,hadd sariqah (pencurian), hadd penerapan hukum Islam dalam praktik
hirabah (perampokan) hadd syurb al-khamr kenegaraan, Bahtiar Effendy dalam
(pemabuk),hadd riddah (murtad) danhadd disertasinya mengungkapkan setidaknya
baghyu (pemberontakan). Dan, ada satu adanya dua spektrum pemikiran yang saling
bentuk hukuman lagi selain hudud dan ta'zir berbeda. Pertama, mengatakan bahwa Islam
yakni kafarat. harus menjadi dasar negara dan bahwa
Melihat cakupan materi pemidanaan “Syari'ah” harus diterima sebagai konstitusi
('uqubah) dalam hukum pidana Islam negara. Aliran ini juga mengatakan bahwa
sebagian besar belum diakomodir dan kedaulatan politik ada di tangan Tuhan,
dianggap delik pidana. Di antaranya adalah gagasan tentang negara bangsa (nation-state)
d e l i k m e m i n u m k h a m r, r i d d a h d a n bertentangan dengan konsep ummah
baghyu(pemberontakan) belum menjadi delik (komunitas Islam) yang tidak mengenal
pidana dalam KUHP. Dan masih banyak batas-batas politik atau kedaerahan dan
bentuk delik pidana lainnya yang belum bahwa aplikasi prinsip syura berbeda dengan
terakomodir oleh KUHP. gagasan demokrasi yang dikenal dalam
Menurut hemat penulis, ketujuh materi diskursus politik modern dewasa ini. Dengan
pemidanaan ('uqubah) yang masuk dalam kata lain, dalam konteks pandangan seperti
kaegori hudud dan bentuk hukuman yang ini, sistem politik modern diletakkan dalam
kategori dalam ta'zir dipastikan bersifat delik posisi yang berseberangan dengan ajaran-
pidana yang di dalamnya mengandung motif ajaran Islam (Effendy, 1998) (Effendy, 1998)
kemaslahatan. Kendati para pakar fiqh Kedua, mengatakan bahwa Islam tidak
jinayah berbeda pandangan terkait bentuk- meletakkan suatu pola baku tentang teori
bentuk hukuman dalam tujuh materi negara yang harus dijalankan oleh ummah.
pemidanaannya apakah bersifat pasti Menurut aliran ini, bahkan istilah negara
(qath'iy) ataukah dzanny. Namun demikian, (daulah)-pun tidak dapat ditemukan dalam
dilihat dari jenisnya tujuh pemidanaan Alqur'an. Meskipun terdapat berbagai
tersebut diakui para ulama adalah bersifat ungkapan dalam Alqur'an yang merujuk
pasti (qath'iy) masuk ke dalam tindakan kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan
pidana (Audah, 1996)('Audah: 1996) sebab tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat
ketujuh tindak pidana di atas dipandang insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi
sebagai kejahatan yang luar biasa yang jika teori politik. Menurut alur pemikiran ini,
terjadi mampu menggoncang sendi-sendi Alqur'an bukanlah buku tentang ilmu politik,
kehidupan masyarakat bahkan bernegara. tetapi lebih kepada kitab yang mengandung
Dengan demikian, mengintegrasikan nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis
tujuh materi dalam pidana hudūdke dalam yang berkenaan dengan aktivitas sosial dan
KUHP di Indonesia, bagi penulis merupakan politik umat manusia.
104
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah

Dengan alur argumentasi seperti ini, sempat menjadi polemik di kalangan umat
pembentukan negara Islam dalam Islam sendiri, di mana masing-masing
pengertiannya yang formal dan ideologis pendapat --dalam perspektif akademik--
tidaklah begitu penting. Bagi mereka yang memang memiliki keabsahan-keabsahan
terpenting adalah bahwa negara menjamin argumentasi sebagai dasar pembenarnya.
tumbuhnya nilai-nilai dasar etis yang telah Terlepas dari adanya pro dan kontra
ditetapkan dalam Alqur'an. Jika demikian tentang formalisme dan substansialisme
halnya, maka tidak ada alasan teologis untuk dalam masalah penerapan hukum pidana
menolak gagasan-gagasan politik mengenai Islam dalam konteks ke-Indonesia-an ini,
kedaulatan rakyat, negara-bangsa sebagai merupakan sebuah keniscayaan adalah, umat
unit teritorial yang sah dan prinsip-prinsip Islam Indonesia memang sungguh dituntut
umum teori politik modern lainnya. Dengan kearifannya untuk bisa mempertimbangkan
kata lain, sesungguhnya tidak ada alasan yang secara proporsional berbagai aspek lain
kuat untuk meletakkan Islam dalam posisi mengenai nilai positif (mashlahah) maupun
yang berseberangan dengan sistem politik nilai negatif (mafsadat) yang bisa diprediksi
modern. sebagai konsekuensi dari masing-masing
Model teoritis yang pertama, seperti pendapat. Tujuannya adalah agar bentuk
yang telah dijelaskan di atas, merefleksikan pemberlakuan hukum pidana Islam yang
adanya kecenderungan untuk menekankan nantinya dipilih , dapat benar-benar
aspek legal dan formal idealisme politik mencerminkan dan sekaligus berada dalam
Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya koridor penciptaan maslahat bagi kehidupan
ditandai oleh keinginan untuk menerapkan manusia, khususnya bangsa Indonesia. Hal
“Syari'ah” secara langsung sebagai konstitusi ini mengingat esensi dari tujuan disyari'atkan
negara. Dalam konteks negara-bangsa yang hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum
ada dewasa ini seperti Turki, Mesir, Sudan, pidana Islam, untuk menciptakan
Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan kemaslahatan dan mencegah kerusakan
Indonesia, model formal ini mempunyai kehidupan manusia.
potensi untuk berbenturan dengan sistem Di samping itu, hal lain yang juga tidak
politik modern. boleh diabaikan pertimbangannya oleh umat
Sebaliknya, model pemikiran yang Islam ialah bahwa KUHP Baru yang
kedua lebih menekankan substansi dari pada diharapkan bisa menjadi wadah akomodatif
bentuk negara yang legal dan formal. Karena bagi pemberlakuan hukum pidana Islam yang
wataknya yang substansialis itu, dicita-citakan tersebut, nantinya merupakan
kecenderungan ini mempunyai potensi untuk produk hukum nasional yang bersifat publik.
berperan sebagai pendakatan yang dapat Sehingga dengan demikian pemberlakuannya
menghubungkan Islam dengan sistem politik akan menjangkau seluruh golongan
modern, di mana negara bangsa merupakan penduduk Indonesia, tidak hanya terhadap
salah-satu unsur utamanya. golongan umat Islam saja. Berdasarkan
Bila model penerapan hukum Islam atau pertimbangan demikian, maka gagasan yang
model hubungan antara agama dan negara di menghendaki pemberlakuan hukum pidana
atas ditarik dalam scope yang lebih kecil, di Islam secara formalistik, tentu harus
mana terjadi perbedaan pandangan tentang dipikirkan ulang secara matang(Santoso,
model penerapan hukum pidana Islam dalam 2001) (Santoso, 2001)
konteks ke-Indonesiaan, maka alur Dengan mempertimbangkan hal-hal
pertentangan yang terjadi tidak jauh berbeda tersebut di atas, maka opsi kedua dari dua
dengan pemikiran di atas. Pada satu ujung model yang dikemukakan oleh Bahtiar
spektrum ingin menerapkan hukum pidana Effendy di atas, penulis anggap sebagai model
Islam secara legal dan formal atau formal- yang paling tepat untuk penerapan hukum
tekstual, sedangkan pada ujung spektrum pidana Islam di Indonesia. Bahkan
yang lain ingin menerapkan hukum pidana seharusnya, hukum adat dan hukum
Islam secara substansial-kontekstual. internasionalpun dapat masuk mewarnai
Tarik menarik antara kedua pemikiran di integrasi tersebut. Walaupun mayoritas
atas, beberapa tahun yang lalu memang penduduk Indonesia adalah muslim, namun
105
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 2, April 2018, Halaman 98-110

hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk cukup tajam di antara beberapa mazhab. Hal
memberlakukan hukum pidana Islam secara ini belum ditambah lagi dengan perbedaan
formal-tekstual dalam skala nasional, karena kerangka berfikir di antara pemikir muslim
di samping pijakan ini menimbulkan friksi berkaitan dengan hukum yang ditetapkan
yang tajam, juga karena Indonesia bukanlah dalam nas, Alqur'an dan Hadis. Contoh,
negara Islam. Pemaksaan gagasan penerapan hukuman rajam, potong tangan,
pemberlakuan hukum pidana Islam secara cambuk, salib dan lain sebagainya oleh
formalistik dalam konteks pluralisme sosial sebagian fuqaha dianggap sesuatu yang
dan budaya seperti di Indonesia, bukan definitif dan tidak dapat diubah, sedangkan
mustahil justru dapat melahirkan mafsadat menurut fuqaha' (teoritisi) yang lain,
kemanusian yang lebih besar. Mafsadat(nilai hukuman-hukuman tersebut harus dipahami
kerusakan) tersebut bisa berupa Islamia- secara kontekstual. Dengan kata lain,
phobia secara berlebihan, reaksi penolakan hukuman-hukuman tersebut dapat saja
secara keras dari kelompok non-Islam, yang diubah, asalkan tujuan penjatuhan
tidak mustahil dapat menimbulkan konflik hukumannya mengenai sasaran. Di samping
horizontal yang bernuansa SARA. itu juga hukum pidana Islam dianggap statis
Penerapan hukum pidana Islam dalam dan belum komprehensif, karena kurangnya
bentuk yang formal-tekstual, merupakan pengkajian dan pengembangan terhadapnya.
sesuatu yang sangat sulit --atau bahkan Berdasar pada uraian di atas, tampak
mustahil- dan memerlukan perencanaan untuk melakukan formalisasi fiqh jinayah
yang matang dan berjangka panjang, serta sebagai hukum nasional di Indonesia,
realitas sosial-budaya yang kondusif. Untuk bukanlah persoalan yang mudah. Paling tidak
saat ini, kondisi tersebut belum tercipta dan dilihat dari dua aspek. Pertama, realitas
dengan demikian penerapan hukum pidana bangsa Indonesia yang plural harus
Islam secara substansial-kontekstual dipertimbangkan. Kedua, pembenahan dari
merupakan pilihan yang paling realistis. aspek konsepsi, strategi dan metode
perumusan fiqh jinayah, sehingga hukum
4. Model Integrasi Islam yang dihasilkan --meminjam istilah
Membincang agenda integrasi fiqh Roscuo Pound-- tidak bertentangan dengan
jinayah(HPI) dengan hukum pidana nasional, kesadaran hukum masyarakat Indonesia dan
maka ada terdapat kendala. Pertama, kendala kompatibel dengan karakteristik tatanan
historisitas. Berbeda dengan hukum-hukum hukum nasional yang didambakan.
Islam yang lainnya, bidang hukum publik Berangkat dari realitas di atas, maka
(jinayah), hukum Islam tidak diakui agenda yang paling mendesak untuk
keberadaannya secara formal oleh Hindia dilakukan adalah membongkar dan merajut
Belanda. Pemberlakuan hukum pidana Islam kembali bangunan fiqh jinayah. Disadari
secara formal, akan berpotensi konflik dengan bahwa bentuk-bentuk hukum fiqh jinayah
kepentingan penjajah Belanda. Dalam selama ini sarat dengan tradisi hukum adat
beberapa hal, hukum Islam di bidang hukum Arab pra-Islam. Karenanya untuk
publik yang telah mentradisi dalam mempertemukan fiqh jinayah dan hukum
masyarakat, diberlakukan sebagai hukum pidana nasional tidak ada jalan jalan kecuali
adat, bukan hukum Islam. (Ramulyo, 1997) dengan mengkaji aspek filosofis (teori
(Ramulyo, 1997) pemidanaan) dalam fiqh jinayah itu sendiri.
Kedua, faktor sosial-budaya yang plural. Karenanya, tulisan ini akan terfokus dengan
Pemaksaan penerapan hukum pidana Islam aspek bangunan keilmuannya (Marjono,
yang “kaku” akan menimbulkan gelombang 1997).(Marjono, 1997) Sebab teori tentang
protes dan permusuhan yang berkepanjangan, pengetahuan (nilai-nilai filosofis) merupakan
serta melanggar jaminan negara bagi warga bagian dari filsafat ilmu yang menjadi pijakan
negaranya untuk menjalankan agamanya awal penentuan asal muasal hukum.
sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Singkatnya, sesuai fungsinya teori
Ketiga, faktor internal. Formulasi fiqh pengetahuan sebagai science of knowledge
jinayah yang dibahas dalam kitab-kitab fikih dan ilmu yang paling menentukan corak dan
klasik, diwarnai dengan perbedaan yang karakteristik konstruksi sebuah ilmu
106
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah

pengetahuan (baca: hukum). Dengan Pelaksanaan Syariat Islam, Perda/Qanun


membedah aspek ini, penulis berharap NAD No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan
menemukan model integrasi fiqh jinayah ke Kehidupan Adat, Qanun No. 11/2002 tentang
dalam sistem hukum nasional. Syariat Bidang Ibadah, Akidah, dan Syiar
Dengan demikian, maka terkait dengan Islam di Aceh, Qanun NAD No. 12/2003
metode hukum Islam, teori pengetahuan fiqh tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya,
jinayah Indonesia harus mampu mengambil Perda/Qanun NAD No. 13/2003 tentang
tradisi lama yang tentunya masih relevan Maisir (perjudian), Perda/Qanun No. 14/2003
dengan tradisi modern dan sesuai dengan tentang Khalwat (Mesum).
perkembangan ilmu pengetahuan modern Selain pendekatan jawabir, menurut
dengan model integrasi maqashidy dan penulis, ada pendekatan yang lebih elegan
eklektisisme. Dalam rangka memanfaatkan yang lebih kompatibel jika diterapkan di
tradisi lama yang baik, epistemologi di Indonesia, yakni pendekatan zawajir. Dalam
Indonesia harus mampu membangkitkan tiga pendekatan ini, epistemologi fiqh jinayah
nalar: bayani, burhani dan irfani sekaligus. Indonesia hukuman dalam pidana Islam yang
Tentunya dengan fokus pada kajian sosial- dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
historis fiqh jinayah termasuk tidak harus persis atau sama dengan apa yang
mengakomodasi tradisi masyarakat lokal, secara tekstual tercantum dalam Alqur'an dan
rasionalisasi hukum Islam dan hadits. Pelaku boleh dihukum dengan bentuk
pengembangan teori maslahat. Sesuai dengan hukuman apa saja. Dengan catatan hukuman
kaidah fikih yang berbunyi: al-Muhafazhatu tersebut mampu mencapai tujuan hukum
'ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi jadid yaitu membuat jera pelaku dan menimbulkan
al-ashlah(merawat tradisi lama yang dinilai rasa takut bagi orang lain untuk melakukan
baik dan mengambil sesuatu yang baru yang tindakan pidana.
dipandang lebih baik).Selain itu, menurut Pendekatan zawajir memang mirip
penulis, yang tidak kalah penting dalam dengan teori batas (hudud) yang ditawarkan
berijtihad juga menggunakan ilmu-ilmu alam Syahrur. Perbedaannya, teori hudud
dan sosial yang berkembang di Barat selama mempunyai kelemahan pada sisi penetapan
perangkat keilmuan tersebut sesuai dengan hukum potong tangan bagi pencuri sebagai
problema hukum pidaana yang dikaji. hukuman maksimal (hadd al'ala). Dengan
Terkait dengan pendekatan legislasi fiqh model yang demikian maka teori batas tidak
jinayah paling tidak ada dua model bisa diterapkan secara dalam segala bentuk
pendekatan yang dilakukan oleh para ahli ruang dan waktu. Sebab, jika hukuman
hukum. Yaitu pendekatan jawabir (paksaan) potong tangan dipandang sebagai hukuman
dan pendekatan zawajir atau pencegahan yang maksimal, maka tujuan dari pemberian
–(Praja, 2011, pp. 8687)(Praja, 2011:86- hukuman agar membuat jera bagi pelaku dan
7)Pendekatan jawabir adalah menghendaki orang lain, dimungkinkan tidak tercapai.
pelaksanaan hukuman pidana persis seperti Dalam kasus seorang pencuri kambuhan
hukuman yang secara tekstual literal misalnya, tentunya hukuman yang tepat
disebutkan di dalam nash Alqur'an dan hadits. tentunya tidak cukup dengan dipotong
Semisal potong tangan bagi pencuri, rajam tangannya. Pada titik inilah, pendekatan
dan jilid bagi pezina, cambuk bagi peminum zawajir yang sifatnya lebih umum akan lebih
khamr dan sebagainya. Bentuk hukuman sesuai diterapkan di Indonesia. Sebab dalam
semacam ini dilaksanakan dengan tujuan pendekatan ini, hukuman bisa maksimal dan
untuk menebus dosa dan kesalahan yang telah bisa minimal tergantung pada kebutuhan.
dilakukan (Susanto, 2002)(Susanto,2002). Teori zawajir ini ternyata sejalan dengan
Pendekatan jawabir ini yang nampaknya teori behavioral prevention. Artinya,
dijadikan model penerapan perda syariat di hukuman pidana harus dilihat sebagai cara
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang agar yang bersangkutan tidak lagi berada
dalam praktiknya banyak menuai badai dalam kapasitas untuk melakukan tindak
kritikan dari para pemikir hukum Islam.Lihat pidana (incapacitation theory) dan
detailnya dalam Perda NADQanun Provinsi pemidanaan dilakukan untuk memudahkan
Daerah Istimewa Aceh No.5/2000 tentang dilakukannya pembinaan, yang bertujuan
107
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 2, April 2018, Halaman 98-110

untuk merahibilitasi si terpidana sehingga ia membunuh dapat dituntut balas untuk


dapat merubah kepribadiannya menjadi orang dibunuh juga. Demikian di Papua, Madura
baik yang taat pada aturan (rehabilitation dan lain-lainnya. Nyawa harus dibalas dengan
theory). Teori ini merupakan pengembangan nyawa. Dalam perspektif fiqh jinayah ada
dari deterrence theory yang beraharp efek kesamaan dengan qishash selain juga harus
pencegahan dapat timbul sebelum pidana membayar denda yang sama dengan
dilakukan (before the fact inhabition), hukuman diyat. Dan memungkinkan pula bisa
misalnya melalui ancaman, contoh dimaafkan tanpa kompensasi apapun. Dalam
keteladanan dan sebagainya; dan intimidation kasus masyarakat Lampung dan Papua
theory yang memandang bahwa pemidanaan misalnya seseorang pembubuh bisa bebas
itu merupakan sarana untuk mengintimidasi bahkan menjadi kerabat terbunuh setelah
mental si terpidana. (Effendy, 1998) sebelumnya melakukan ritual tertentu.
(Effendy, 1998). Semisal menyembelih kerbau dalam kasus
Jika ditelaah lebih mendalam, masyarakat Lampung dan memotong babi
sebenarnya ada korelasi kuat antara bentuk bagi masyarakat Papua. Kesadaran-
hukuman dan tingkat kejeraan para pelaku kesadaran sosiologis-historis semacam inilah
tindak pidana. Hanya saja, dalam kasus yang mestinya dipahami betul oleh para ahli
hukum potong tangan yang terdapat dalam hukum kita. Dengan model pendekatan
fiqh jinayah, epistemologi (teori semacam inilah upaya memasukkan fiqh
pengetahuan) hukum Indonesia tidak jinayah ke dalam rancangan KUHP baru lebih
menjadikannya sebagai satu-satunya bentuk mudah dilakukan.
hukuman yang diterapkan. Namun bisa saja Saatnya, kajian-kajian pidana Islam
dalam bentuk yang lebih berat --hukuman tidak lagi terfokus pada bentuk-bentuk
mati misalnya-- atau justru bisa jadi lebih hukuman yang termaktub di dalamnya.
ringan. Semuanya tergantung pada kondisi Saatnya kajian dan analisis pidana
objektif lingkungan dan pelaku. Kondisi Islamsaatnya ditempatkan pada porsi yang
objektif lingkungan bisa saja berkaitan ideal dan berada pada kajian filosofis ilmiah.
dengan tradisi (proses pidana) yang terdapat Dengan demikian, hukum pidana Islam dapat
dalam suatu masyarakat atau kondisi sosial- berkontribusi bukan lagi didasarkan sebagai
ekonomi dan faktor lainnya. Sedang kondisi ajaran agama semata. Melainkan dapat
objektif pelaku bisa saja berkaitan dengan berkontribusi pada pembaruan KUHP karena
tingkat kesadaran beragama dan tingkat sosial didasarkan pada kajian-kajian ilmiah dengan
ekonomi. Kerdua kondisi objektif berbasiskan aspek keilmuan.
tersebutlah, menurut penulis, merupakan Dikaji dalam perspektif teori ilmu
faktor yang paling menentukan untuk pengetahuan, khususnya ketika membedah
pemberian hukuman berat, sedang atau aspek ontologi atau hakikat pidana hudūd,
ringan. rumusan ulama klasik yang terfokus pada
Dikaji dari perspektif historis, kisah bentuk-bentuk hukuman, dalam pandangan
kasus dari Umar ibn Khattab yang tidak penulis justru akan menjadikan pidana hudūd
memotong tangan pencuri dalam kondisi lebih statis dan kurang responsif dengan
paceklik dapat dijadikan pembelajaran. Tesis perubahan zaman. Harus diakui, bahwa jenis-
al-Jabiri, bahwa hukuman potong tangan bagi jenis sanksi yang termaktub dalam pidana
pencuri dalam konteks masyarakat era awal Islam merupakan produk sejarah yang
Islam merupakan bentuk hukuman yang eksistensinya sangat dipengaruhi entitas-
dipandang paling rasional. Ketika kehidupan entitas lain. Memfokuskan kajian pidana
masyarakat yang nomaden dan infra struktur Islampada bentuk ancaman-ancaman ini yang
masyarakat belum lengkap. Kasus-kasus sudah saatnya digeser ke arah pendekatan
tersebut memberikan pelajaran bahwa hukum kritis.Akhirnya, dalam konteks kajian
permasalahan ekonomi menjadi kajian utama fiqh jinayah ke-Indonesiaan, epistemologinya
sebelum memberlakukan potongan tangan. lebih memilih untuk melakukan upaya
Berbeda lagi jika masalah hukum pidana akomodasi akan adat dan tardisi hukum
dibicarakan dalam konteks keindonesiaan. Di pidana lokal (local wisdom) yang
masyarakat Lampung misalnya, orang yang berkembang. Tentunya setelah dilakukannya
108
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah

objektivikasi baik dari aspek istilah-istilah syari'ah (tujuan-tujuan hukum).


teknis dan bentuk-bentuk hukumannya. Dari Paradigma ini menekankan prinsip-
apek peristilahan sedapat mungkin tidak prinsip fundamental dan universal yang
menggunakan istilah atau huruf Arab dan dari terkandung, maka niscaya fiqh jinayah
aspek bentuk dapat dikompromikan dengan dapat diintegrasikan ke dalam hukum
teori-teori pemidanaan modern. Upaya pidana nasional.
objektivikasi ini bukan bertujuan untuk
menghilangkan fiqh jinayah itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA
Melainkan semata-mata untuk menghindari
kesalahpahaman yang tiada perlu. Dengan Al-Qurthubi. (1967). al-Jamīꞌ li Ahkām al-
metode ini diharapkan fiqh jinayah secara Quran. Kairo Mesir: Dar al-Kutub al-
substansial tetap bisa menjadi bagian dari Arabi.
masyarakat muslim, meski simbol-formal Ali, M. D. (1999). Hukum Islam: Pengantar
tidak begitu nampak di permukaan. Inilah Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
yang menurut penulis sesuai dengan kaidah Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu(apa Persada.
yang tidak dapat dicapai seluruhnya, jangan Arifin, B. (1996). Pelembagaan Hukum
ditinggal semuanya) Islam di Indonesia: Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya. Jakarta:
C. Simpulan Gema Insani Press.
Beradasarkan uraian dan analisis di atas, Arifin, B. (2001). Hukum Pidana (Islam)
maka dapat diambil beberapa simpulan dalam Lintasan Sejarah. In J. Aripin &
sebagai berikut: Arskal Salim M.A. GP (Eds.), Pidana
a. Ek s is ten s i h ukum pidan a I s lam Islam di Indonesia: Peluang, Prospek
mempunyai urgensi untuk diakomodir dan Tantangannya. Jakarta: Pustaka
ke dalam hukum pidana nasional (c.q. Firdaus.
KUHP baru) berdasarkan argumentasi Asshiddiqie, J. (1996). Pembaharuan Hukum
yuridis, sosiologis dan filosofis. Pidana Indonesia; Studi tentang Bentuk-
Utamanya argumentasi filosofis yang bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum
terkandung dalam fiqh jinayah berdaya Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha
relevan dengan teori pemidanaan Pembaharuan KUHP Nasional.
kontemporer. Bandung: Angkasa.
b. Paradigma positivisasi fiqh jinayahke Audah, A. al-Q. (1996). al-Tasyrî al-Jinâ`î al-
dalam KUHP baru adalah dengan Islâmî;Muqaranan bi al-Qanun al-
menggunakan paradigma kritis. Dalam Wadli. Beirut: Muassasah al-Risalah.
paradigma ini saatnya menggeser dari Barbour, I. G. (2005). Juru Bicara Tuhan:
fiqh jinayah yang wahyu sentris menjadi antara Sains dan Agama. Bandung:
akal sentris. Yaitu menjadikan peran Mizan.
akal, indera juga berperan dalam Basuki, Z. D. (2004). Mazhab Sejarah dan
Pengaruhnya Terhadap Pembentukan
melahirkan hukum yang bercitarasakan
Hukum Nasional Indonesia. Bandung:
Indonesia dengan memanfaatkan
Remaja Rosdakarya.
kearifan lokal, dimensi sejarah, dan
Burdah, I. (2008). Membumikan Hukum
tradisi lama yang masih relevan dengan Langit: Nasionalisasi Hukum Islam dan
ilmu pidana dan pemidanaan Islamisasi Hukum Nasional Pasca
kontemporer. Reformasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
c. Integrasi maqashidy istishlahy Djazuli, A. (2000). Fiqh Jinayah. Jakarta:
merupakan model paling ideal untuk Raja Grafindo Persada.Effendy, B.
menyatukan fiqh jinayah dengan hukum (1998). Islam dan Negara: Transformasi
pidana nasional.Model ini Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
meniscayakan upaya desimbolisasi dan Indonesia. Jakarta: Paramadina.
objektivikasi pidana Islam selama dalam F a i s a l . ( 2 0 1 2 ) . M e n i m b a n g Wa c a n a
bingkai merawat prinsip maqashid al- Formalisasi Hukum Pidana Islam di
109
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 2, April 2018, Halaman 98-110

Indonesia. Jurnal Ahkam, 12(1), 4445.


Ghofur, A. (2002). Demokratisasi dan
Prospek Hukum Islam di Indonesia:
S t u d i a t a s P e m i k i r a n G u s D u r.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, N. (1991). Ibnu al-Muqaffa dan
Gagasannya tentang Taqnin. Jurnal
Mimbar Studi Hukum, 12(37), 36.
Jaspan, M. A. (1988). Hukum, Politik dan
Perubahan Sosial. Jakarta: YLBHI.
Katsir, I. (1989). Tafsīr al-Qurān al-ꞌAdzīm.
Beirut: Dār al-Marifah.
Marjono, H. (1997). Menegakkan Syariat
Hukum Islam dalam Konteks Ke-
Indonesia-an. Bandung: Mizan.
Mujani, S. (2007). Muslim Demokrat: Islam,
Budaya Demokrasi dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca Orde Baru.
Jakarta: Gramedia.
Praja, J. S. (2011). Teori Hukum dan
Aplikasinya. Bandung: Pustaka Setia.
Ramulyo, M. I. (1997). Asas-asas Hukum
Islam: Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum
Islam dalam Sistem Hukum di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, A. (2000). Pembaruan Hukum Islam
di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.
Santilana, D. (1952). Law and Society.
London: Oxford University Press.
Santoso, T. (2001). Menggagas Hukum
Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam
dalam Konteks Modernitas. Bandung:
Asyaamil Press& Grafika.
Susanto, M. A. (2002). Paradigma Baru
Hukum Pidana. Malang: Pustaka
Pelajar &Averroes Press.
Trigiyatno, A. (2005). Positifisasi Hukum
Islam di Era Reformasi: Studi atas UU
No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat.
Jurnal Al-Ahkam, 3(1), 99.
Wahid, W. (2002). Syariat Islam: Antara
Pemberlakuan, Formalisasi dan
Politisasi, Bacaan Kritis atas Wacana
dan Gerakan Syariat Islam Pasca Orde
Baru. In Memoar H. Achmadi. Dari
Gontor Ke Pulau Buru. Yogyakarta:
Syarikat.

110

You might also like