Professional Documents
Culture Documents
Abstract
The transformation of jinayah fiqh (Islamic criminal law) in national law (c.q. KUHP) has always
been a debatable theme among experts, both in theoretical and implementation level. In addition,
these efforts are constrained by both external and internal factors. Whereas in a formal juridical, the
existence of Islamic law is recognized as a sub-system of national law, but the reality of this
transformation which is in line with the reform of the Criminal Code (KUHP) is still running in
place. This paper aims to analyze the urgency of jinayah fiqh transformation into national criminal
law. Secondly, is to know the transformation paradigm and the model of Islamic criminal integration
and its relation with the reform of national criminal law in Indonesia. The approach used is
juridical-philosophical method of study with critical documentation. This paper yields the
conclusion that the existence of Islamic criminal law has an urgency to be accommodated into
national criminal law based on philosophical arguments. In addition, the positivization paradigm of
jinayah fiqh must use a critical paradigm. Also, the integration model maqashidy istishlahy is the
most ideal model to unite jinayah fiqh with the national criminal law.
Abstrak
Transformasi fiqh jinayah ke dalam hukum pidana nasional (c.q. KUHP) hingga saat ini masih
memantik perdebatan di kalangan ahli. Baik dalam tataran teoritis maupun implementasinya. Selain
itu upaya tersebut terkendala faktor baik eksternal maupun internal. Padahal secara yuridis formal
eksistensi hukum Islam diakui menjadi sub sistem hukum nasional. Namun realitas transformasi ini
yang seiring dengan pembaruan KUHP masih berjalan di tempat. Paper ini bertujuan menganalisis
urgensi transformasi fiqh jinayah ke dalam hukum pidana nasional. Kedua untuk mengetahui
paradigma transformasi serta model integrasi pidana Islam kaitannya dengan pembaruan hukum
nasional pidana di Indonesia.Pendekatan yang dipakai adalah yuridis-filosofis dengan metode studi
dokumentasi kritis. Paper ini menghasilkan simpulan bahwa eksistensi hukum pidana Islam
mempunyai urgensi untuk diakomodir ke dalam hukum pidana nasional berdasarkan argumentasi
argumentasi filosofis. Kedua, paradigma positivisasi fiqh jinayah menggunakan harus memakai
paradigma kritis. Serta, model integrasi maqashidy istishlahy merupakan model paling ideal untuk
menyatukan fiqh jinayah dengan hukum pidana nasional.
98
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah
Selain kedua faktor di atas, tentunya jinayah ke dalam hukum pidana nasional?
terdapat faktor lainnya yang membuat hukum Bagaimana paradigma transformasi
pidana Islam hingga kini sulit diformalkan (positivisasi) hukum pidana Islam dalam
menjadi hukum Negara. Di antaranya adalah pembaruan hukum pidana nasional? Dan
faktor sosiologis, politik, yuridis dan filosofis. bagaimana model integrasi pidana Islam
Berangkat dari uraian di atas, tampak kaitannya dengan pembaruan hukum nasional
bahwa upaya melakukan transformasi pidana di Indonesia?Tulisan ini bermaksud
(positivisasi) pidana Islam (fiqh menjawab ketiga pertanyaan di atas.
jinayah)sebagai hukum nasional di
Indonesiabukanlah upaya yang mudah B. Pembahasan
direalisasikan. Artinya upaya formalisasi 1. Dinamika Hukum Pidana Islam di
hukum pidana Islam (HPI) di Indonesia Indonesia
terkendala oleh dua pendekatan yang seakan- Secara empiris hukum pidana Islam
akan terus bertentangan. Yaitu pendekatan merupakan hukum yang telah hidup di
yang bersifat formalistik yang banyak masyarakat (the living law) dalam interaksi
diusung oleh kaum fundamentalisme Islam keseharian masyarakat Indonesia. Sejarah
dan pendekatan kulturalistik yang banyak telah menunjukkan bahwa eksistensi hukum
diusung oleh kaum modernisme. pidana Islam dalam sistem hukum Indonesia
Selain itu, upaya transformasi telah terbukti mempunyai “akar historis”
(positivisasi) hukum pidana Islam juga dalam kesadaran masyarakat Islam, seiring
didukung oleh kebutuhan terhadap dengan pertumbuhan dan perkembangan
pembaharuan KUHP yang hingga detik ini ajaran agama Islam itu sendiri. Akar sejarah
masih berproses di lembaga Legislatif. ini dibuktikan dan direpresentasikan dengan
Diakui, setelah bangsa Indonesia merdeka, berbagai teori pemberlakuan hukum Islam di
bangsa ini belum memiliki sistem hukum Indonesia di antaranya adalah teori Receptio
yang bersumber dari tradisinya sendiri. in Complexu dan teori Receptie (Ali, 1999, p.
Pemberlakuan Hukum Pidana Nasional saat 219). (Ali, 1999: 219)
ini masih menggunakan peraturan Jauh sebelum pemerintahan kolonial
perundang-undangan peninggalan atau Belanda menginjakkan kakinya di bumi
warisan kolonial Belanda (Arifin, 2001, p. Nusantara, komunitas Muslim telah
46). (Arifin, 2001: 46) Kendati peraturan terbangun secara mapan. Di beberapa daerah
perundang-undangan tersebut telah di Indonesia, Islam bukan saja menjadi agama
mengalami proses nasionalisasi --semisal yang resmi, melainkan juga sebagai hukum
pergantian nama Kitab Undang-undang yang berlaku di daerah-daerah tersebut.
Hukum Pidana (KUHP) merupakan Beberapa kerajaan di Indonesia seperti
nasionalisasi dari Wetboek van Strafrechts, kerajaan Sultan Pasai di Aceh, kerajaan Pagar
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dari Ruyung yang terkenal dengan rajanya Dang
Burgerlijk Wetboek dan lain-lain--KUHP Tuangku dan Bundo Kanduang, kerajaan
yang ada sekarang sejatinya hukum warisan Paderi dengan Tuanku Imam Bonjol di
kolonial Belanda –(Asshiddiqie, 1996, pp. Minangkabau, kerajaan Demak, Pajang
1925).(Asshiddiqie, 1996: 19-25)Tidak Mataram dan Sultang Ageng di Banten,
mengherankan apabila para ahli hukum terus bahkan Malaka serta Brunai (sekarang Brunei
menggelorakan suara dan upaya-upaya Darussalam) di semenanjung Melayu dan
terkait kebutuhan pembaharuan terhadap H a s s a n u d d i n d i M a k a s a r, t e l a h
KUHP yang ada saat ini. Terlebih hukum mempergunakan hukum Islam di wilayah
pidana nasional yang ada dipandang belum kerajaannya (Ramulyo, 1997, p.
mengakomodir hukum yang tumbuh dalam 48).(Ramulyo, 1997: 48)
masyarakat Indonesia termasuk hukum Sejumlah konsep tindak pidana dan
pidana Islam. sanksinya telah diterapkan di wilayah-
Berpijak pada uraian latar dan wilayah Indonesia saat itu. Pidana rajam
problematika di atas, muncul beberapa misalnya pernah diterapkan di Aceh, pidana
rumusan pertanyaan sebagai potong-tangan dan sebagainya pernah
berikut:Bagaimana urgensi transformasi fiqh menghiasi lembaran sejarah masa silam
100
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah
tidak terlepas dari tuntutan akidah yang pihak yang merasa dirugikan. Secara sekilas
menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mungkin benar, akan tetapi jika dikaji lebih
menegakkan konsep ke-khilafah-andalam jauh, perbuatan tersebut bukan saja akan
menjalankan syariꞌah Islam secara kāffah merugikan keluarga dan masyarakat
(total dan sempurna) di mana, kapan, setempat, bahkan kedua pelaku tersebut. Zina
bagaimana, dan oleh siapa pun tanpa dibatasi dapat merusak tatanan masyarakat,
oleh paham apapun (Faisal, 2012, p. bertentangan dengan akhlak yang mulia
44)(Faisal, 2012: 44) bertentangan dengan agama, bahkan
Kendati didukung oleh sejumlah bertentangan dengan budaya nasional yang
argumen yuridis-logis yang kuat, upaya untuk ketimuran. Delik zina ini pun seharusnya bisa
melakukan pembaruan KUHP, melalui bahan diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.
baku (sub-sistem) hukum pidana Islam ini, Kasus lain misalnya meminum
diakui tidaklah semudah yang dibayangkan. minuman keras. Dalam kasus ini, KUHP
Realitas sejarah panjang telah menunjukkan memandang perbuatan tersebut bukan suatu
bahwa upaya ini berjalan terseok-seok sarat delik, selama tidak membahayakan orang
dengan kepentingan dan konflik ideologi. lain. Sedangkan hukum pidana Islam
Upaya penyusunan RUU-KUHP dengan menganggapnya sebagai jarimah, walaupun
menjadikan hukum pidana Islam, yang telah pelakunya tidak membahayakan orang lain.
dirintis sejak tahun 1963 hingga sekarang ini Hal ini disebabkan hukum Islam berpijak
belum terwujud. pada akhlak mulia dan kemaslahatan
Diakui, hukum pidana nasional yang masyarakat, termasuk individu itu sendiri.
termaktub melalui KUHP yang berlaku Tentu banyak lagi jarimah yang bisa
sekarang ini, dianggap kurang mewakili dijadikan delik dalam hukum pidana positif
budaya Indonesia yang ketimuran dan yang tidak mungkin diuraikan satu-persatu
dianggap pula tidak memadai lagi untuk dalam makalah sederhana ini. Namun
merespons perkembangan masyarakat dan demikian jarimah-jarimah tersebut haruslah
peradabannya yang sudah jauh berbeda. dipahami secara kontekstual, dinamis dan
Dalam persoalan kesusilaan misalnya, KUHP elastis, sehingga benar-benar layak dijadikan
masih membolehkan hubungan seksual yang bagian dari hukum pidana nasional. Sebagai
dilakukan secara suka sama suka, selama contoh adalah jarimah riddah yang konsepnya
kedua pelaku belum menikah, ataupun sudah belum jelas dan penjatuhan sanksinya
menikah tetapi tidak ada aduan dari suami diwarnai suasana perang pada masa Nabi
atau isteri pelaku. KUHP juga belum Sedangkan jika ditelusuri lebih dalam,
mengatur penyimpangan seksual homoseks ruang lingkup kajian fiqh Jinayah yang
ataupun hubungan seks dengan binatang dan mencakup aspek-aspek: pencurian,
kumpul kebo. Bagi masyarakat yang masih perzinaan, menuduh orang berbuat zina (al-
memegang teguh agama, moral dan susila, qadzaf), mengonsumsi barang yang
kebebasan seperti di atas jelas tidak bisa memabukkan (khamr), membunuh atau
diterima. melukai, mencuri, merusak harta orang lain,
Tidak mengherankan jika dalam muatan jarimah (melakukan kekacauan dan
KUHP belum mengakomodir fiqh jinayah semacamnya berkaitan dengan hukum
sebagai hukum masyarakat mayoritas kepidanaan) dan jarimah dibagi dalam tiga
Indonesia. Dalam kasus zina misalnya, hal: qishash/diyat, jarimah hudūd, dan
KUHP tidak menganggap kasus zina ghairu jarimah ta'zir (Praja, 2011, p. 233)( Praja,
muhsan (persetubuhan ilegal antara dua orang 2011: 233)
yang belum menikah atau tidak terikat dalam Bentuk hukuman yang diterapkan bagi
perkawinan, atas dasar suka sama suka) pelaku pidana dikategorikan dalam dua
sebagai suatu tindak pidana. Delik “zina” bentuk yaitu: hudūddan ta'zir. Pidana
dalam KUHP hanya mencakup persetubuhan hudūdadalah segala bentuk hukuman yang
ilegal antara dua orang, atau salah-satunya, telah ditentukan oleh Alqur'an dan Sunnah.
yang sudah menikah. Nampaknya, KUHP Sedangkan ta'zir adalah bentuk hukuman
tidak melihat adanya unsur kejahatan pada yang tidak ditentukan bentuknya oleh
kasus zina ghairu muhsan, karena tidak ada Alquran dan Sunnah. Dalam kasus qishash
103
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 2, April 2018, Halaman 98-110
dan diyat, para ulama berbeda pendapat. Ada sebuah keniscayaan. Integrasi di sini
yang memandang qishash dan diyat masuk dimaknai sebagai upaya menjadikan fiqh
dalam kategori hudud. Namun mayoritas jinayah bisa bertemu dengan hukum pidana
ulama berpandangan keduanya tidak nasional. Integrasi jika menggunakan teori
termasuk hudūd(Djazuli: 2000: 10-14) Ian G. Barbour adalah hubungan yang
–(Djazuli, 2000, pp. 1014) bertumpu pada keyakinan bahwa pada
Hukuman dan pidana qishashterkait dasarnya kawasan telaah, rancangan
dengan pembunuhan dan pencederaan penghampiran dan tujuan fiqh jinayah dan
anggota badan yang pelakunya diancam hukum nasional adalah sama dan satu.
dengan tindakan yang sama. Sementara Singkatnya, integrasi adalah kemitraan yang
hukuman atau pidana diyatmerupakan ganti sistematis dan ekstensif antara fiqh jinayah
rugi (denda) bagi pelaku tindak pidana ketika yang berbasis agama dengan hukum nasional
qishash tidak jadi dilaksanakan karena sebagai hasil cipta karsa manusia. (Barbour,
pemaafan dan bagi pembunuh semi sengaja 2005: 80-85) –(Barbour, 2005, pp. 8085)
dan tidak sengaja. Sedangkan hudūdadalah
haqqullah yang hukumannya telah pasti 3. Dari Transformasi ke Integrasi
ketentuannya. Semisal haddzina, had Ketika membedah model ideal
qadzaf,hadd sariqah (pencurian), hadd penerapan hukum Islam dalam praktik
hirabah (perampokan) hadd syurb al-khamr kenegaraan, Bahtiar Effendy dalam
(pemabuk),hadd riddah (murtad) danhadd disertasinya mengungkapkan setidaknya
baghyu (pemberontakan). Dan, ada satu adanya dua spektrum pemikiran yang saling
bentuk hukuman lagi selain hudud dan ta'zir berbeda. Pertama, mengatakan bahwa Islam
yakni kafarat. harus menjadi dasar negara dan bahwa
Melihat cakupan materi pemidanaan “Syari'ah” harus diterima sebagai konstitusi
('uqubah) dalam hukum pidana Islam negara. Aliran ini juga mengatakan bahwa
sebagian besar belum diakomodir dan kedaulatan politik ada di tangan Tuhan,
dianggap delik pidana. Di antaranya adalah gagasan tentang negara bangsa (nation-state)
d e l i k m e m i n u m k h a m r, r i d d a h d a n bertentangan dengan konsep ummah
baghyu(pemberontakan) belum menjadi delik (komunitas Islam) yang tidak mengenal
pidana dalam KUHP. Dan masih banyak batas-batas politik atau kedaerahan dan
bentuk delik pidana lainnya yang belum bahwa aplikasi prinsip syura berbeda dengan
terakomodir oleh KUHP. gagasan demokrasi yang dikenal dalam
Menurut hemat penulis, ketujuh materi diskursus politik modern dewasa ini. Dengan
pemidanaan ('uqubah) yang masuk dalam kata lain, dalam konteks pandangan seperti
kaegori hudud dan bentuk hukuman yang ini, sistem politik modern diletakkan dalam
kategori dalam ta'zir dipastikan bersifat delik posisi yang berseberangan dengan ajaran-
pidana yang di dalamnya mengandung motif ajaran Islam (Effendy, 1998) (Effendy, 1998)
kemaslahatan. Kendati para pakar fiqh Kedua, mengatakan bahwa Islam tidak
jinayah berbeda pandangan terkait bentuk- meletakkan suatu pola baku tentang teori
bentuk hukuman dalam tujuh materi negara yang harus dijalankan oleh ummah.
pemidanaannya apakah bersifat pasti Menurut aliran ini, bahkan istilah negara
(qath'iy) ataukah dzanny. Namun demikian, (daulah)-pun tidak dapat ditemukan dalam
dilihat dari jenisnya tujuh pemidanaan Alqur'an. Meskipun terdapat berbagai
tersebut diakui para ulama adalah bersifat ungkapan dalam Alqur'an yang merujuk
pasti (qath'iy) masuk ke dalam tindakan kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan
pidana (Audah, 1996)('Audah: 1996) sebab tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat
ketujuh tindak pidana di atas dipandang insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi
sebagai kejahatan yang luar biasa yang jika teori politik. Menurut alur pemikiran ini,
terjadi mampu menggoncang sendi-sendi Alqur'an bukanlah buku tentang ilmu politik,
kehidupan masyarakat bahkan bernegara. tetapi lebih kepada kitab yang mengandung
Dengan demikian, mengintegrasikan nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis
tujuh materi dalam pidana hudūdke dalam yang berkenaan dengan aktivitas sosial dan
KUHP di Indonesia, bagi penulis merupakan politik umat manusia.
104
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah
Dengan alur argumentasi seperti ini, sempat menjadi polemik di kalangan umat
pembentukan negara Islam dalam Islam sendiri, di mana masing-masing
pengertiannya yang formal dan ideologis pendapat --dalam perspektif akademik--
tidaklah begitu penting. Bagi mereka yang memang memiliki keabsahan-keabsahan
terpenting adalah bahwa negara menjamin argumentasi sebagai dasar pembenarnya.
tumbuhnya nilai-nilai dasar etis yang telah Terlepas dari adanya pro dan kontra
ditetapkan dalam Alqur'an. Jika demikian tentang formalisme dan substansialisme
halnya, maka tidak ada alasan teologis untuk dalam masalah penerapan hukum pidana
menolak gagasan-gagasan politik mengenai Islam dalam konteks ke-Indonesia-an ini,
kedaulatan rakyat, negara-bangsa sebagai merupakan sebuah keniscayaan adalah, umat
unit teritorial yang sah dan prinsip-prinsip Islam Indonesia memang sungguh dituntut
umum teori politik modern lainnya. Dengan kearifannya untuk bisa mempertimbangkan
kata lain, sesungguhnya tidak ada alasan yang secara proporsional berbagai aspek lain
kuat untuk meletakkan Islam dalam posisi mengenai nilai positif (mashlahah) maupun
yang berseberangan dengan sistem politik nilai negatif (mafsadat) yang bisa diprediksi
modern. sebagai konsekuensi dari masing-masing
Model teoritis yang pertama, seperti pendapat. Tujuannya adalah agar bentuk
yang telah dijelaskan di atas, merefleksikan pemberlakuan hukum pidana Islam yang
adanya kecenderungan untuk menekankan nantinya dipilih , dapat benar-benar
aspek legal dan formal idealisme politik mencerminkan dan sekaligus berada dalam
Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya koridor penciptaan maslahat bagi kehidupan
ditandai oleh keinginan untuk menerapkan manusia, khususnya bangsa Indonesia. Hal
“Syari'ah” secara langsung sebagai konstitusi ini mengingat esensi dari tujuan disyari'atkan
negara. Dalam konteks negara-bangsa yang hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum
ada dewasa ini seperti Turki, Mesir, Sudan, pidana Islam, untuk menciptakan
Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan kemaslahatan dan mencegah kerusakan
Indonesia, model formal ini mempunyai kehidupan manusia.
potensi untuk berbenturan dengan sistem Di samping itu, hal lain yang juga tidak
politik modern. boleh diabaikan pertimbangannya oleh umat
Sebaliknya, model pemikiran yang Islam ialah bahwa KUHP Baru yang
kedua lebih menekankan substansi dari pada diharapkan bisa menjadi wadah akomodatif
bentuk negara yang legal dan formal. Karena bagi pemberlakuan hukum pidana Islam yang
wataknya yang substansialis itu, dicita-citakan tersebut, nantinya merupakan
kecenderungan ini mempunyai potensi untuk produk hukum nasional yang bersifat publik.
berperan sebagai pendakatan yang dapat Sehingga dengan demikian pemberlakuannya
menghubungkan Islam dengan sistem politik akan menjangkau seluruh golongan
modern, di mana negara bangsa merupakan penduduk Indonesia, tidak hanya terhadap
salah-satu unsur utamanya. golongan umat Islam saja. Berdasarkan
Bila model penerapan hukum Islam atau pertimbangan demikian, maka gagasan yang
model hubungan antara agama dan negara di menghendaki pemberlakuan hukum pidana
atas ditarik dalam scope yang lebih kecil, di Islam secara formalistik, tentu harus
mana terjadi perbedaan pandangan tentang dipikirkan ulang secara matang(Santoso,
model penerapan hukum pidana Islam dalam 2001) (Santoso, 2001)
konteks ke-Indonesiaan, maka alur Dengan mempertimbangkan hal-hal
pertentangan yang terjadi tidak jauh berbeda tersebut di atas, maka opsi kedua dari dua
dengan pemikiran di atas. Pada satu ujung model yang dikemukakan oleh Bahtiar
spektrum ingin menerapkan hukum pidana Effendy di atas, penulis anggap sebagai model
Islam secara legal dan formal atau formal- yang paling tepat untuk penerapan hukum
tekstual, sedangkan pada ujung spektrum pidana Islam di Indonesia. Bahkan
yang lain ingin menerapkan hukum pidana seharusnya, hukum adat dan hukum
Islam secara substansial-kontekstual. internasionalpun dapat masuk mewarnai
Tarik menarik antara kedua pemikiran di integrasi tersebut. Walaupun mayoritas
atas, beberapa tahun yang lalu memang penduduk Indonesia adalah muslim, namun
105
Masalah - Masalah Hukum, Jilid 47 No. 2, April 2018, Halaman 98-110
hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk cukup tajam di antara beberapa mazhab. Hal
memberlakukan hukum pidana Islam secara ini belum ditambah lagi dengan perbedaan
formal-tekstual dalam skala nasional, karena kerangka berfikir di antara pemikir muslim
di samping pijakan ini menimbulkan friksi berkaitan dengan hukum yang ditetapkan
yang tajam, juga karena Indonesia bukanlah dalam nas, Alqur'an dan Hadis. Contoh,
negara Islam. Pemaksaan gagasan penerapan hukuman rajam, potong tangan,
pemberlakuan hukum pidana Islam secara cambuk, salib dan lain sebagainya oleh
formalistik dalam konteks pluralisme sosial sebagian fuqaha dianggap sesuatu yang
dan budaya seperti di Indonesia, bukan definitif dan tidak dapat diubah, sedangkan
mustahil justru dapat melahirkan mafsadat menurut fuqaha' (teoritisi) yang lain,
kemanusian yang lebih besar. Mafsadat(nilai hukuman-hukuman tersebut harus dipahami
kerusakan) tersebut bisa berupa Islamia- secara kontekstual. Dengan kata lain,
phobia secara berlebihan, reaksi penolakan hukuman-hukuman tersebut dapat saja
secara keras dari kelompok non-Islam, yang diubah, asalkan tujuan penjatuhan
tidak mustahil dapat menimbulkan konflik hukumannya mengenai sasaran. Di samping
horizontal yang bernuansa SARA. itu juga hukum pidana Islam dianggap statis
Penerapan hukum pidana Islam dalam dan belum komprehensif, karena kurangnya
bentuk yang formal-tekstual, merupakan pengkajian dan pengembangan terhadapnya.
sesuatu yang sangat sulit --atau bahkan Berdasar pada uraian di atas, tampak
mustahil- dan memerlukan perencanaan untuk melakukan formalisasi fiqh jinayah
yang matang dan berjangka panjang, serta sebagai hukum nasional di Indonesia,
realitas sosial-budaya yang kondusif. Untuk bukanlah persoalan yang mudah. Paling tidak
saat ini, kondisi tersebut belum tercipta dan dilihat dari dua aspek. Pertama, realitas
dengan demikian penerapan hukum pidana bangsa Indonesia yang plural harus
Islam secara substansial-kontekstual dipertimbangkan. Kedua, pembenahan dari
merupakan pilihan yang paling realistis. aspek konsepsi, strategi dan metode
perumusan fiqh jinayah, sehingga hukum
4. Model Integrasi Islam yang dihasilkan --meminjam istilah
Membincang agenda integrasi fiqh Roscuo Pound-- tidak bertentangan dengan
jinayah(HPI) dengan hukum pidana nasional, kesadaran hukum masyarakat Indonesia dan
maka ada terdapat kendala. Pertama, kendala kompatibel dengan karakteristik tatanan
historisitas. Berbeda dengan hukum-hukum hukum nasional yang didambakan.
Islam yang lainnya, bidang hukum publik Berangkat dari realitas di atas, maka
(jinayah), hukum Islam tidak diakui agenda yang paling mendesak untuk
keberadaannya secara formal oleh Hindia dilakukan adalah membongkar dan merajut
Belanda. Pemberlakuan hukum pidana Islam kembali bangunan fiqh jinayah. Disadari
secara formal, akan berpotensi konflik dengan bahwa bentuk-bentuk hukum fiqh jinayah
kepentingan penjajah Belanda. Dalam selama ini sarat dengan tradisi hukum adat
beberapa hal, hukum Islam di bidang hukum Arab pra-Islam. Karenanya untuk
publik yang telah mentradisi dalam mempertemukan fiqh jinayah dan hukum
masyarakat, diberlakukan sebagai hukum pidana nasional tidak ada jalan jalan kecuali
adat, bukan hukum Islam. (Ramulyo, 1997) dengan mengkaji aspek filosofis (teori
(Ramulyo, 1997) pemidanaan) dalam fiqh jinayah itu sendiri.
Kedua, faktor sosial-budaya yang plural. Karenanya, tulisan ini akan terfokus dengan
Pemaksaan penerapan hukum pidana Islam aspek bangunan keilmuannya (Marjono,
yang “kaku” akan menimbulkan gelombang 1997).(Marjono, 1997) Sebab teori tentang
protes dan permusuhan yang berkepanjangan, pengetahuan (nilai-nilai filosofis) merupakan
serta melanggar jaminan negara bagi warga bagian dari filsafat ilmu yang menjadi pijakan
negaranya untuk menjalankan agamanya awal penentuan asal muasal hukum.
sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Singkatnya, sesuai fungsinya teori
Ketiga, faktor internal. Formulasi fiqh pengetahuan sebagai science of knowledge
jinayah yang dibahas dalam kitab-kitab fikih dan ilmu yang paling menentukan corak dan
klasik, diwarnai dengan perbedaan yang karakteristik konstruksi sebuah ilmu
106
Junaidi Abdillah, Suryani, Model Transformasi Fiqih Jinayah
110