You are on page 1of 14

Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

OTONOMI KHUSUS DI ACEH DAN PAPUA


DI TENGAH FENOMENA KORUPSI, SUATU STRATEGI PENINDAKAN HUKUM
(Special Autonomy in Aceh and Papua in the Middle of Corruption Phenomenon, A
Law Enforcement Strategy)

Suharyo
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
Badan Penelitian Hukum dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
Jl. H.R. Rasuna Said Kav.4-5, Kuningan Jakarta Selatan 12920
Telp. (021) 2526438, Faksimili (021) 2526438
masusuharyo@ymail.com

Tulisan Diterima: 29-06-2018; Direvisi: 13-09-2018: Disetujui Diterbitkan: 14-09-2018


DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2018.V18.305-318

ABSTRACT
Special Autonomy in Aceh and Papua, is a form of asymmetrical decentralization, as a middle road to realize
the public prosperity, in settling armed conflicts demanding separation from the independent Unitary State.
The implementation of special autonomy is based on the Law No. 18 of 2001 regarding Special Autonomy For
the Special Region of Aceh as the Province of Nangroe Aceh Darussalam, and the Law No. 18 of 2001
Regarding Special Autonomy for the Province of Papua. The implementation of special autonomy in Aceh,
cannot operate as expected before. Hard reaction rejecting special autonomy came from the armed movement
of Gerakan Aceh Merdeka (GAM). However due to the national disaster of Tsunami in December 2004, and
total destruction of Banda Aceh, Meulaboh and surrounding areas, with death tolls of reaching more than
112.000, and by the government transparency policies, an MOU was signed in Helsinki, Finland, leading to
the issuance of the Law No. 11 of 2006 Regarding the Administration of Aceh. While the subjects of this
research are the issues in the background of corruption cases in Aceh and Papua, and the strategy of
combating the same. The method employed in this research is juridical normative method. During the
development of the Province of Papua, a new province has been established by the Law No. 35 of 2008
Regarding Establishment of the Province of West Papua. Ironically, the endeavors to make the special
autonomy success, both in Aceh and in Papua, have given a raise to the corruption cases. Until now, the efforts
in combating the corruptions by the law enforcers, i.e. the Police, Public Prosecutors, and KPK, tend to be
ineffective. For such purpose, more repressive actions in combating the corruption are required.
Keywords: Special Autonomy, Aceh, Papua, Corruption and Law Enforcement

ABSTRAK
Otonomi khusus di Aceh dan Papua, merupakan suatu desentralisasi asimetrik, sebagai jalan tengah untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dalam menyelesaian konflik bersenjata yang menginginkan pemisahan
dari Negara Kesatuan yang merdeka. Penerapan otonomi khusus tersebut didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Pemberlakuan otonomi khusus di Aceh, tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Reaksi keras
menolak otonomi khusus dilakukan oleh gerakan perlawanan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Namun berkenaan adanya bencana nasional Tsunami Desember 2004, dengan kehancuran Banda Aceh
total, Meulaboh dan daerah sekitarnya, dengan korban tewas mencapai lebih dari 112.000 jiwa, dan dengan
keterbukaan pemerintah, akhirnya tercapai MOU Helsinki Finlandia, yang berujung dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah apa yang melatarbelakangi fenomena korupsi di Aceh dan Papua, dan bagaimana strategi penindakannya.
Metode yang dipakai adalah yuridis normatif. Dalam perkembangan di Provinsi Papua, dibentuk provinsi
baru melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat. Ironisnya
upaya mensukseskan otonomi khusus tersebut, baik di Aceh maupun di Papua, justru terjadi fenomena korupsi.
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 305 - 318 305
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Sampai sekarang, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh jajaran penegak hukum yaitu Polri, Kejaksaan,
maupun KPK, cenderung kurang maksimal Untuk itu sangat diperlukan strategi penindakan dengan langkah
yang represif.
Kata Kunci: Otonomi Khusus Aceh, Papua, Korupsi dan Penindakan Hukum

PENDAHULUAN bersifat antar teritorial, harus diselenggarakan


oleh satuan teritorial tersebut dan tidak boleh
Dalam peraturan perundang-Undangan,
diselenggarakan oleh satuan teritorial yang lebih
eksistensi otonomi khusus dalam sejarah
tinggi”.
ketatanegaraan Indonesia, diundangkannya
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pola penyelesaian melalui perwujudan
Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa pendekatan kesejahteraan (welfare approach),
Aceh jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 serta pendekatan hukum (law approach) yang
Tentang Pemerintahan Aceh. Dalam waktu yang berkeadilan dan harmonis, melalui rekonsiliasi
tidak terlalu lama setelah dikeluarkan Undang- yang panjang dan mengikat, pada gilirannya
Undang Nomor 18 Tahun 2001, diundangkan mampu menyepakati otonomi khusus. Model
pula Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 otonomi khusus, di tengah keberlangsungan
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. otonomi daerah sebagaimana diamanatkan
Dalam perkembangan selanjutnya, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Perpu Nomor 1 Tahun 2008, yang pada akhirnya Pemerintahan Daerah, sempat menjadi perdebatan
Perpu tersebut setelah mendapat persetujuan DPR, yang sangat serius dari banyak kalangan. Namun
disepakati menjadi Undang-Undang Nomor 5 demikian, dalam perjalanan waktu pelaksanaan
Tahun 2008 Tentang Pembentukan Provinsi Papua otonomi khusus tersebut, perdebatan yang menolak
Barat. dan menerima otonomi khusus tidak terjadi lagi.
Dalam artian, otonomi khusus yang oleh beberapa
Faktor yang melatarbelakangi munculnya
pakar disebut sebagai “desentralisasi asmetrik”
Undang-Undang tentang Otonomi Khusus baik di
diterima secara meluas di kalangan masyarakat
Aceh maupun di Papua, merupakan jalan tengah
Indonesia. Otonomi khusus tersebut dengan
untuk nenegakkan Negara Kesatuan Repblik
alasan yang berbeda, tujuan yang berbeda, serta
Indonesia (NKRI). Pergolakan politik yang panas,
model yang berbeda menyusul DKI Jakarta dan
konflik kekerasan bersenjata selama bertahun-
Yogyakarta.
tahun yang menyebabkan jatuhnya korban tewas
baik warga sipil maupun aparat keamanan, serta Urusan pilihan melalui otonomi khusus
kerugian moril dan materiil yang besar, dan adanya bukan tanpa masalah. Semua urusan yang
dugaan pelanggaran HAM, harus diselesaikan menjadi khusus tampak mengalami kendala di
untuk kebersamaan sebagai bangsa. tingkat implementasi, maupun pada aspek
regulasi di level daerah masing-masing. Sejauh
Pemahaman tentang otonomi khusus, secara
ini kekhususan DKI Jakarta berkenaan dengan
umum dikemukakan oleh Edie Toet Hendratno
pengembangan lintas area provinsi berhadapan
(Hendratno, 2009: 431), menyatakan bahwa
dengan sekat-sekat otonomi daerah lain, di luar
pemberian kewenangan atau pembagian urusan
persoalan tumpang tindih dan sedikit banyak
pemerintahan di kedua Undang-Undang Otonomi
inkonsistensi kewenangan pemerintah. Dalam
Khusus, mencerminkan prinsip subsidiaritas yang
hal keistimewaan Yogyakarta tampak begitu sulit
cukup kental. Prinsip subsidiaritas merupakan
untuk dikembangkan pada tingkat teknis. Hal ini
prinsip pelimpahan tugas dan kewenangan
disebabkan ketatnya tradisi kesultanan untuk
pemerintah dalam sistem federal. Eko Prasodjo
bersikap lentur dalam hal pengembangan budaya
mengatakan: “Sebagai kriteria dalam pembagian
(pikiran, rasa, dan karsa masyarakat).
kompetensi dan tugas-tugas pemerintahan,
prinsip subsidiaritas memberikan bingkai dan Dalam kasus Aceh berupa kewenangan
kerangka nilai bahwa kompetensi dan tugas-tugas pengelolaan migas, partai lokal dan syariat Islam,
pemerintahan yang dapat diselenggarakan oleh tampak semuanya tersamar oleh ketegangan
dan/atau berhubungan langsung dengan satuan kreatif antara daerah dan pusat lewat simbol
teritorial terkecil (local unit), tidak terkait dan tidak bendera Aceh yang tak substansial. Redistribusi
migas dalam bentuk bagi hasil tampak jauh dari

306 Otonomi Khusus di Aceh dan Papua... (Suharyo)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

evaluasi yang mensejahterakan sekalipun telah terkesan adanya pembiaran dari aparatur penegak
diterima dengan lapang dada (Labolo, 2014:19- hukum.
20).

Rumusan Masalah
Pada kasus Papua dan Papua Barat problem
penting yang dihadapi relatif sama, yaitu Beranjak dari fenomena korupsi di Aceh dan
kegagalan mencairkan makna otonomi khusus ke Papua, akan dilakukan pendekatan melalui
dalam regulasi teknis berupa Peraturan daerah rumusan penelitian, yaitu:
Khusus (Perdasus). Selain itu sulitnya pemerintah 1. Faktor apa yang melatarbelakangi fenomena
daerah menciptakan stabilitas keamanan dan korupsi di Aceh? Bagaimana strategi
ketertiban. Keruwetan agenda akibat rendahnya penindakannya?
kualitas sumber daya manusia dan kekurangan 2. Faktor apa yang melatarbelakangi fenomena
kontrol pemerintah menimbulkan semacam korupsi di Papua? Bagaimana strategi
perasaan frustasi yang berujung pada upaya untuk penindakannya?
mengembangkan derajat otonomi Papua ke tingkat
tertentu (Labolo, 2014: Ibid.). METODE PENELITIAN
Dalam aspek kebersamaan sebagai NKRI,
Untuk menjawab dan menjelaskan rumusan
otonomi khusus telah melewati ujian dan berhasil
penelitian diatas, metode yang dipakai dalam
dengan baik. Ironisnya untuk mewujudkan
penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif,
kesejahteraan rakyat baik di Aceh maupun Papua,
yang merupakan penelitian kepustakaan (library
setelah melewati masa 10 tahun, justru mengalami
research), yaitu melalui pengumpulan data
kegagalan. Yang paling terlihat dalam upaya
kepustakaan. Pendekatan normatif sangat relevan
memenuhi harapan pada rakyat, yang diwarnai
guna menganalisis peraturan perundang-undangan
kegagalan adalah fenomena korupsi yang dilakukan
yang berlaku dalam pelaksanaan otonomi khusus
oleh elit-elit yang berkuasa. Padahal pemberian
di Aceh dan Papua, dan juga peraturan perundang-
otonomi khusus juga dibarengi pengucuran dana
undangan dalam pemberantasan korupsi. Di
yang sangat besar, yang merupakan pendekatan
samping itu, untuk mendukung pendekatan
politik serta ekonomi untuk memberi loyalitas
normatif, dimungkinkan adanya suatu wawancara
wilayah konflik dan bekas separatis (Cahyono,
yang merupakan salah satu aspek dari data
2001: 2).
sekunder.
Korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa
(extra ordinary crime), merupakan penyakit TUJUAN PENELITIAN
masyarakat dunia, dan semakin tidak terkendali,
serta membebani dan merusak tatanan Tujuan Penelitian ini adalah untuk
masyarakat. Korupsi juga merusak sistem hukum mendapatkan data dan pemikiran dari para pakar,
dan meruntuhkan negara, serta menjadi kendala dan praktisi berkaitan dengan berbagai masalah
terbesar dalam pelaksanaan otonomi khusus di hukum (issues), berkenaan dengan fenomena
Aceh dan Papua. korupsi diAceh dan Papua. Hal ini dilakukan dalam
Dalam pemberitaan di media massa, hampir rangka mendorong dan mendukung keberhasilan
tidak pernah ada penangkapan dan penahanan otonomi khusus baik di Aceh maupun di Papua.
tersangka korupsi, baik di Aceh maupun di Papua. Di samping itu juga untuk membuat strategi
Kalaupun ada penangkapan dan penahanan penindakan fenomena korupsi dalam pelaksanaan
tersangka korupsi di dua daerah tersebut, hanya otonomi khusus.
merupakan konsumsi media massa lokal. Padahal
dalam laporan yang disampaikan Lembaga PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Swadaya Masyarakat (LSM) lokal berkenaan Berkenaan diangkatnya 2 (dua) rumusan
dengan fenomena dan kasus-kasus korupsi di Aceh masalah di daerah provinsi yang berbeda dengan
dan Papua, dan laporan hasil pemeriksaan BPK peraturan perundang-undangan yang berbeda, dan
di daerah itu, dapat dikatakan pasti ada korupsi. budaya masyarakat yang berbeda, maka dalam
Bahkan ada kecenderungan korupsi di Aceh dan penyajian hasil penelitian dan pembahasannya
Papua, tidak terkendali atau dengan perkataan lain sengaja dipisahkan yaitu Aceh dan Papua. Hal

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 305 - 318 307
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

itu disatukan dalam rangkaian penutup, yang bagi rakyat Aceh dan pada gilirannya membangun
merupakan kesimpulan dan saran. sikap perlawanan rakyat Aceh (Ali, 2008: 2)
(Djumala, 2015: 17).
A. Aceh Pemerintah Orde Baru yang mengedepankan
Eksistensi Negara Kesatuan Republik pendekatan sentralistik melalui Undang-Undang
Indonesia (NKRI) dilahirkan pada proklamasi Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan
17 Agustus 1945, Aceh bersedia mendukung dan Daerah, gagal dalam menyelesaikan konflik
bergabung dalam NKRI. Hal ini tercermin bersenjata di Aceh. Tuntutan Gerakan Aceh
dalam pernyataan yang ditandatangi oleh Daud Merdeka (GAM) terus menerus berlangsung,
Beurreuh pada tanggal 15 Oktober 1945 yang untuk merdeka sebagai negara berdaulat, terpisah
mengajak rakyat Aceh untuk melancarkan Perang dari NKRI. Tuntutan tersebut berlangsung sampai
Sabil terhadap Belanda, guna mempertahankan berakhirnya era pemerintahan Orde Baru.
Republik Indonesia yang telah diproklamasikan Munculnya Era Reformasi yang mengakhiri
oleh Soekarno. pemerintah Orde Baru, dan tampilnya
Perjalanan Aceh di dalam NKRI sampai pemerintahan transisi demokrasi, secara nyata
dengan tahun 2004, diwarnai berbagai gejolak mulai menunjukkan pergeseran dari pemerintahan
politik yang memanas antara pemerintah pusat yang sentralisasi menjadi desentralisasi dalam
dan Aceh, yang berakibat timbulnya konflik konteks NKRI. Dengan dikeluarkannya Undang-
bersenjata. Gejolak politik dan konflik bersenjata Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menggantikan
berkenaan dengan munculnya gerakan separatis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, semakin
bersenjata yang menginginkan Aceh berdiri dirasakan adanya desentralisasi sesuai harapan
sendiri sebagai negara merdeka dan bedaulat. dan kemauan seluruh rakyat Indonesia.
Yang pada gilirannya menimbulkan korban tewas Paradigma desentralisasi tersebut, ternyata
dari rakyat Aceh dan pasukan TNI dan Polri dalam tidak dapat menyelesaikan konflik di Aceh.
jumlah besar. Di samping itu, juga menimbulkan Kekerasan bersenjata kerap terjadi, walaupun
kerugian moril serta material yang sangat besar upaya pedamaian selalu ditempuh antara kedua
serta munculnya pelanggaran HAM berat. pihak. Baik pemerintah pusat maupun GAM tidak
Dari perspektif sejarah, konflik Aceh menemukan titik temu. Melalui pembentukan
merupakan resultan dari usaha rakyat Aceh untuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1001 Tentang
membangun profil ke-Aceh-an dalam konteks Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh
relasinya, baik dengan kekuatan asing maupun sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, juga
dengan Republik Indonesia. Seperti ditolak oleh GAM.
dikonstruksikan oleh Petter Riddell, untuk Sampai terjadi suatu fenomena alam yang
membangun persepsi dirinya (self perception), sangat luar biasa. Pada 26 Desember 2004, terjadi
rakyat Aceh lebih melihat wilayahnya sebagai gempa bumi dengan kekuatan lebih dari 9 skala
“Serambi Mekah”. Istilah ini membentuk identitas Richter di bumi Aceh, dan beberapa kawasan di
(identity formation) bagi rakyat Aceh, baik dalam Malaysia, Thailand, dan beberana negara di
hubungannya dengan dunia luar mupun dalam sekitarnya. Akibat adanya gempa bumi tersebut,
konteks internalnya, menawarkan katalis bagi terjadi bencana tsunami dengan korban jiwa lebih
pembentukan identitas mereka (Reid, 2006: 46- dari 112.000 jiwa meninggal dunia, dan kehancuran
47). luar biasa di kota Banda Aceh, Meulaboh dan
Dalam bahasa lain, pembentukan identitas sepanjang daerah sekitarnya. Bencana tsunami
Aceh ini adalah hasil dari pertautan antara fakta juga terjadi dalam skala terbatas di luar wilayah
sejarah Aceh dan kesadaran sejarah yang Indonesia dengan korban jiwa mencapai ribuan
berkembang di kalangan masyarakat Aceh sendiri. orang, dengan kerusakan yang sifatnya lokal.
Proses pembentukan identitas ini jugalah yang AkibatdaritsunamidiAceh,konflikbersenjata di
pada akhirnya membangun kesadaran rakyat Aceh dan panasnya situasi politik, langsung
Aceh yang lebih sensitif dan rentan terhadap mereda bahkan hilang. Presiden saat itu Soesilo
setiap upaya pihak luar yang ingin mengeliminasi Bambang Yudhoyono langsung melakukan upaya
identitas itu. Fakta sejarah dan kesadaran sejarah untuk menanggulangi bencana tsunami. Kegiatan
diyakini telah menentukan identitas yang distingtif penanggulangan tersebut dibantu masyarakat

308 Otonomi Khusus di Aceh dan Papua... (Suharyo)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

internasional, dan seluruh komponen TNI, Polri, berdasarkan pemeringkatan, Aceh mendapatkan
serta seluruh komponen masyarakat. Pihak GAM peringkat pertama daerah terkorup di wilayah
juga tidak melakukan aksi bersenjata, dan mulai Sumatera jika dilihat dari hasil audit BPK.
memikirkan langkah memberikan pertolongan. Terdapat beberapa definisi tentang korupsi,
Dari peristiwa bencana tsunami, mulai dirintis pertama, discretionary corruption, yaitu korupsi
upaya perdamaian terakhir, setelah beberapa kali yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam
upaya perdamaian yang selalu gagal, akhirnya menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya
dilakukan upaya perdamaian yang diadakan di bersifat sah. Kedua, illegal corruption, adalah
Helsinki Finlandia tahun 2005. suatu jenis tindakan yang bermaksud
Sebagai tindak lanjut dari MOU Helsinki mengacaukan bahasa ataupun maksud-maksud
2005 antara Pemerintah Indonesia dengan hukum, peraturan dan regulasi tertentu. Dalam
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berhasil hal terjadi aksi-aksi seperti ini, resiko yang
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun terjadi cukup implisit. Ketiga, mencenery
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini sebagai corruption, adalah suatu jenis tindakan korupsi
bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan
pembangunan sosial, ekonomi, politik dan pribadi. Hal tersebut meliputi kegiatan pemberian
hukum secara berkelanjutan. Dengan Undang- uang sogok dan uang semir. Keempat, ideological
Undang tersebut, banyak kewenangan yang corruption atau korupsi ideologis adalah jenis
diperoleh. Diantaranya dinyatakan dalam Pasal korupsi yang bersifat ilegal maupun diskresionari
7 (1) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan-tujuan
berwenang mengatur dan mengurus urusan kelompok (Benvenioste, Simamora, 1989).
pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali Evaluasi Kementerian Dalam Negeri
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan menemukan 33 pos penganggaran bermasalah.
pemerintah Pusat. Diantaranya berwenang Selain melanggar ketentuan, belanja Aceh juga
mengelola pelabuhan dan bandar udara umum. didominasi pembenaran hibah dan bansos. Hasil
Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun evaluasi Kemendagri yang diterima DPRD Aceh
2006, terjadi penggelontoran dana dalam jumlah dan salinannya diterima Kompas menunjukkan
4-5 triliyun rupiah per tahun. Bidang ekonomi dari total belanja RAPBD-P Tahun 2013 Aceh
mendapat porsi sangat besar jika dibandingkan senilai Rp.13,3 trilyun, Rp.5,037 atau 40,63
dengan provinsi lain dengan otonomi daerah persen untuk Hibah dan bansos. Selain ke
yang asli. Selama hampir 10 tahun otonomi perguruan tinggi dan kelompok masyarakat lain,
khusus di Aceh, kesejahteraan rakyat di Aceh juga dialokasikan untuk Komite Peradilan Aceh
tidak meningkat. Kemiskinan masih menjadi (KPA) yang merupakan organisasi wadah mantan
permasalahan utama. Badan Pusat Statistik (BPS) anggota Gerakan Aceh Merdeka (Kompas, 2013:
Aceh pada awal Januari 2012 menyebutkan angka 21).
kemiskinan di Aceh bertambah selama 6 bulan, Fenomena korupsi di Provinsi Aceh
bahkan kemiskinan di Aceh menduduki peringkat merupakan fenomena negatif dan menunjukkan
pertama di Pulau Sumatera. Terrkait dengan begitu ketidakberdayaan negara dalam menegakkan
banyaknya pengelolaan dana Otsus ini, Gerakan hukum dan keadilan. Pada saat di seluruh wilayah
Anti Korupsi (Gerak) Aceh menduga penggunaan hukum Indonesia digelar secara meluas
dana otonomi khusus Aceh tidak bersih alias pemberantasan korupsi oleh Komisi
terindikasi korupsi (Djumala, 2015: 17). pemberantasan Korupsi (KPK), di ujung barat
Dana Otsus dari tahun 2008-2013 secara wilayah NKRI, ternyata justru dikecewakan oleh
akumulatif telah mencapai senilai 27,3 trilyun para elite yang mempunyai kekuasaan dan
rupiah yang digelontorkan untuk Aceh dalam wewenang di daerah itu.
jangka waktu 5 tahun terakhir. Dengan dana yang Korupsi hampir merata berlangsung di bumi
sangat besar idealnya mampu memberikan Aceh pasca perdamaian, beberapa diantaranya
dampak positif pada Aceh, namun berdasarkan berlangsung dengan amat vulgar seperti di Aceh
data BPS tahun 2013 Aceh menjadi urutan ketujuh Utara. Akan tetapi, terdapat kesan kuat bahwa
dan tingkat persentase kemiskinan tertinggi dari pemerintah pusat sengaja menutup mata atas
berbagai daerah lain di Indonesia. Bahkan gejala tersebut. Ini karena pemerintah pusat

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 305 - 318 309
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

memperhitungkan faktor keamanan bahwa Aceh Kedua, adalah konsistensi, baik dalam
dalam masa transisi dari konflik (Djumala, 2015: pengertian waktu dan tempat maupun orang.
17). Artinya, layanan kepolisian harus disajikan secara
konsisten pada sepanjang waktu, di semua tempat
Pengamalan negara hukum yang demokratis dan oleh segenap petugas. Nampaknya kasus
dan berkeadilan, dalam penegakan hukum inilah yang mewarnai kelemahana pelaksanaan
terhadap korupsi di Aceh, seolah-olah tidak tugas khususnya penegakan hukum oleh Polri
berjalan dan dapat dikatakan mandul. Eksistensi sehingga menimbulkan kesan kurang adanya
Polri dengan Polda Aceh yang didasari Undang- kepastian hukum di negeri kita
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara, dan ditunjang melalui Undang-Undang Ketiga, yang berkenaan dengan kualitas
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan pelayanan Polri adalah keberadaban (civilite) yang
Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor banyak berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan
20 tahun 2001, tidak dijalankan sebagaimana dan nilai-nilai sosial suatu masyarakat. Dalam hal
mestinya. Demikian pula Undang-Undang Nomor ini pengemban profesi kepolisian dituntut untuk
8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian memiliki integritas kepribadian yang tinggi
Uang, seperti hukum yang mati (black law) di sehingga mampu: 1) mengendalikan emosi; 2)
wilayah Aceh. Paling tidak, untuk mendukung menghindarkan diri dari godaan/pengaruh negatif;
fakta ini kita perlu memperhatikan penegasan Din 3) membatasi penggunaan kekerasan/upaya paksa;
Minimi tokoh GAM yang kembali ke pangkuan 4) menjunjung tinggi HAM dan menghargai hak-
NKRI tahun 2016, bahwa KPK perlu dan harus hak individu; dan 5) berlaku sopan dan simpatik.
aktif di Aceh Kendala pemberantasan korupsi di Aceh
Untuk menjawab problematika oleh jajaran kepolisian, secara implisit dan
pemberantasan korupsi di Aceh, ada tiga aspek eksplisit bukan karena adanya Undang- Undang
yang harus di perhatikan oleh Polri: (Faruk Nomor 11 Tahun 2006, yang tercantum pada
Muhammad, 2003:28) Pasal 204 Ayat (3). Ayat (3) menyatakan bahwa,
kebijakan ketenteraman dan ketertiban
Pertama, adalah kompetensi dari masyarakat dikoordinasikan oleh Kepala
pengembangan profesi. Kompetensi tersebut Kepolisian Aceh kepada Gubernur. Selanjutnya
berkaitan dengan kemampuan petugas-petugas ayat (4) menyatakan bahwa, pelaksanaan tugas
kepolisian untuk mengaplikasikan secara cepat kepolisian di bidang ketenteraman dan ketertiban
pengetahuan dan keterampilan sesuai ketentuan masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (3)
hukum. Dalam menghadapi kasus pelanggaran dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian
hukum dan gangguan kamtibmas, Polri dituntut Aceh kepada Gubernur.
untuk mampu:
Kejaksaan RI juga seolah-olah mendiamkan
1. mengambil tindakan segera dan tepat korupsi yang terus disorot oleh warga masyarakat.
sehingga suatu kasus tidak berkembang Dukungan peraturan perundang-Undangan yang
merugikan suatu pihak; berlaku tidak menjadikan jajaran Kejaksaan Tinggi
2. mengidentifikasikan suatu kasus sehingga Aceh berani memberantas korupsi di wilayah
dapat membedakan kasus pidana dan kasus Aceh. Sementara itu, instansi BPK dengan segala
perdata, dan pelanggaran hukum pidana apa resiko dan tanggung jawab yang harus diemban,
yang telah terjadi; dan dapat melakukan fungsi pemeriksaan, walaupun
3. mengembangkan konsep pembuktian yang tentu berbeda jika bertugas di daerah lain.
diperlukan untuk mendukung sangkaan Keterbatasan dan kelemahan Kejaksaan
pelanggaran hukum dan mengumpulkan alat dalam melakukan pemberantasan korupsi di
buktinya secara legal (sesuai prosedur hukum) Aceh, perlu didorong dan didukung oleh semua
dan obyektif (scientific). Lebih dari itu, pihak, diantaranya perlunya pengembangan dan
seorang polisi yang profesional juga dituntut peningkatan profesionalitasme (Nitibaskara,
untuk mampu menjelaskan mengapa suatu 2006: 44). Untuk menguji tingkat profesionalitas
kasus terjadi dan memperkirakan timbulnya Jaksa setidaknya dapat diajukan 4 (empat)
suatu kejahatan jika variabel- variabel pertanyaan. Pertama, apakah terdapat kemauan
independen tersedia/berkulminasi pada suatu yang kuat dari para jaksa untuk selalu
kesempatan (ruang dan waktu).

310 Otonomi Khusus di Aceh dan Papua... (Suharyo)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

menampilkan perilaku yang mendekati standar diarahkan untuk menghasilkan keadilan ataukah
ideal, yaitu sebagaimana telah digariskan Undang- sedang bekerja untuk menutup-nutupi sesuatu
Undang Kejaksaan. Kedua, adakah dorongan yang (cover up) (Rahardjo, 2003: 170-171).
kuat dari para jaksa untuk meningkatkan profesi Korupsi di Aceh ataupun di seluruh wilayah
jaksa? Ketiga, apakah terdapat kecenderungan hukum Indonesia, sebagai extra ordinary crime,
dari para jaksa untuk senantiasa memanfaatkan merupakan kejahatan yang sangat tidak dapat
setiap kesempatan guna mengembangkan ditolerir. Tidak ada dispensasi dalam
profesionalitas? Keempat, apakah terdapat pemberantasan korupsi, baik di jajaran aparatur
motivasi yang kuat pada diri setiap jaksa untuk pemerintahan pusat, maupun pemerintah daerah.
senantiasa mewujudkan cita-cita keadilan seperti Terdapat dua strategi yang harus dilakukan
yang diharapkan masyarakat? secara bersama-sama dan konsisten.
Adanya hambatan kejaksaan dalam 1. Pengawasan atas penggunaan kewenangan
memproses, mulai dari penyidikan sampai dengan dan dana sebagai implikasi dari Otsus harus
penuntutan kasus korupsi di Aceh, berasal dari ditingkatkan. Perlu dibentuk Direktorat
kinerja kejaksaan itu sendiri. Hal ini bukan khusus di KPK yang konsen mengawasi
karena adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun daerah otonomi khusus, sehingga kebocoran
2006, Pasal 209 (1), yang menyatakan bahwa anggaran dapat diminimalisir. Hal ini sejalan
pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dengan tugas KPK yang tidak hanya bergerak
dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan di hulu (penangkapan dan penyidikan) saja,
Gubernur. Selanjutnya Pasal 210, yang tetapi juga bertanggung jawab dalam hal
menyatakan bahwa seleksi dan penempatan jaksa koordinasi dan supervisi pemberantasan
di Aceh dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan korupsi (Labolo, 2014: 68).
memperhatikan ketentuan hukum, syariat Islam, 2. Penguatan jajaran pengawasan pada
budaya, dan adat istiadat Aceh. Inspektorat Daerah Provinsi di Aceh yang
Para pelaku tindak pidana korupsi masih dapat mempunyai tugas pokok dan fungsi
menikmati kebebasan di Aceh. Resiko keamanan pembinaan, pengawasan dan penindakan
dan sekaligus nyawa baik pada jajaran Kepolisian terhadap sejumlah jajaran aparatur
maupun Kejaksaan untuk memberantas korupsi pemerintahan daerah di Aceh untuk
merupakan ketidakberdayaan negara menegakkan meminimalisir korupsi.
hukum di suatu daerah. Fenomena ini juga dapat 3. Jajaran aparatur penegak hukum di daerah
dilihat dari aktivitas Komisi Pemberantasan Aceh, yaitu Polri dan Kejaksaan harus dipilih
Korupsi (KPK) yang terlihat belum pernah sampai orang-orang yang berani dan konsisten untuk
mengadakan operasi tangkap tangan di Aceh. memberantas korupsi. Pemerintah Pusat
Sosiologi hukum menjelaskan bahwa hukum harus selalu mengawasi dan mendukung
itu adalah instrumen yang dapat dipakai oleh pihak penegakan hukum terhadap penanganan kasus
yang menggunakannya untuk kepentingan sendiri. korupsi di Aceh. Dalam hal terdapat kendala
Kita ingat bahwa geng bandit besar Al Capone di keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri
tahun 1930-an pun mempunyai bagian hukum dan Kejaksaan bila tidak mampu mengatasi
sendiri. Hal itu berarti bahwa kejahatan pun ingin gangguan keamanan yang mendukung
dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambu tersangka korupsi, dapat meminta bantuan
hukum, atau melakukan kejahatan dengan dipandu Polri dari pusat. Aan apabila dipandang
oleh hukum. sangat perlu dapat meminta bantuan dari TNI
Pengamatan sosiologi selama ini sebagai perwujudan Operasi Militer Selain
menunjukkan bahwa jalannya penegakan hukum Perang (OMSP).
di Indonesia sudah didorong masuk ke jalur 4. Penerapan strategi sepresif terhadap kasus
lambat. Dari jauh memang kelihatannya orang korupsi di Aceh merupakan kebijakan
sibuk melakukan sesuatu, tetapi hasilnya tidak hukum. Perubahan pemberatan sanksi hukum
kunjung muncul. Dalam keadaan yang serba kepada pelaku korupsi harus dirumuskan
lambat seperti itu, tidak dapat disalahkan dalam suatu perundang-undangan dengan
munculnya pikiran dalam masyarakat yang sanksi pidana. Suatu organisasi, yang
mempertanyakan apakah hukum kita ini memang

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 305 - 318 311
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

melaksanakan pemberantasan korupsi, perlu DPR menyepakati dan mengeluarkan Undang-


dilakukan melalui prosedur hukum yang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
berlaku (Nitibaskara, 2009: 90-91). Khusus Bagi Provinsi Papua. Berdasarkan Pasal
4 (1), Kewenangan Provinsi Papua mencakup
B. Papua kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
Perjalanan sejarah Provinsi Papua memiliki kecuali kewenangan bidang politik luar negeri,
keunikan tersendiri dibandingkan dengan provinsi pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama,
lainnya di Indonesia yang sama-sama merupakan dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang
jajahan kolonial Belanda dan Jepang pada waktu lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
itu. Ketika provinsi-provinsi lain bersama-sama perundang-undangan.
merdeka dan berdaulat secara de facto dan de jure Otonomi khusus di Papua sekaligus memberi
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Negara keleluasaan dalam bidang ekonomi, politik,
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada hukum, dan pemerintahan untuk mewujudkan
tanggal 17 Agustus 1945, Provinsi Papua baru kesejahteraan rakyat di Papua dalam konteks
kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada tanggal 1 NKRI. Keleluasaan tersebut sangat jauh berbeda
Mei 1963. Itupun masih harus melewati proses dengan banyak hal serupa dalam Undang-Undang
Penentuan Pendapa Rakyat (Pepera) pada tahun Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan
1969. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari daerah. Namun ternyata, gerakan separatisme di
konstelasi politik dunia, terutama di tahun 1940an Papua tidak serta merta dapat diredam dengan
sampai 1960-an, yaitu ketika banyak wilayah produk hukum otonomi khusus.
jajahan berjuang untuk bebas dari cengkeraman Paling tidak ada 3 (tiga) persoalan yang harus
negara-negara penjajah (Solossa, 2006: 5). diatasi oleh pemerintah pusat. Menurut Ketua
Eksistensi Papua menjadi bagian tidak Institut Titian Perdamaian yang juga staf pengajar
terpisahkan dari NKRI, yang dilandasi hasil Pepera, Psikologi Perdamaian Universitas Indonesia
tidak serta merta menjawab semua persoalan. Ichsan Malik, yaitu: (Purwanto, 2013: 7)
Terutama masalah integrasi nasional dan integrasi Pertama, adanya distorsi sejarah. Ini sumber
politik di dalam NKRI, yang masih ditentang oleh konfliknya, banyak warga yang meyakini bahwa
kelompok-kelompok yang menginginkan Belanda telah memberikan kemerdekaan pada
merdeka, yang dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua tahun 1960, sedangkan RI baru masuk
Papua Merdeka). Konflik bersenjata terjadi di tahun 1961. Setelah perang dunia kedua
banyak tempat dengan adanya penyerangan berakhir, Belanda melihat gelagat adanya tuntutan
bersenjata OPM menyerang berbagai pos terdepan kemerdekaan pada tahun 1960. Sebagian kecil
dari kesatuan TNI dan Polri. Bersamaan dengan warga merasa mereka sudah merdeka. Barulah
itu, kekuatan-kekuatan asing yang berada di RI masuk dan menyatakan semua jajahan Hindia
Papua, dan di negara-negara lain dengan sistematis Belanda menjadi bagian Indonesia.
membantu secara finansial dan dukungan politik Menurutnya, konflik Papua bercampur-
di tengah masyarakat internasional. baur mulai dari sejarah politik dan sejarah bisnis.
Sampai dengan berakhirnya periode Mengapa sejarah bisnis? Karena pada tahun
pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1998, 1967, dua tahu sebelum Pepera Papua tahun 1969
persoalan gerakan separatis, di Papua belum dapat Freeport masuk ke Bumi Cenderawasih. Ketika
ditanggulangi. Pendekatan keamanan (security itu, Papua bisa dikatakan belum sepenuhnya
approach) dan pendekataan kesejahteraan berada dibawah kekuasaan RI. Ketika kekuasaan
(prosperity approach) yang dibarengi dengan di Papua kosong masuklah Freeport yang juga
pendekatan budaya (cultural approach), telah berkepentingan di Papua. Persoalan distorsi
gagal dalam menyelesaikan gerakan separatis di sejarah hingga saat ini belum bisa diatasi sampai
Papua. sekarang.
Tampilnya pemerintahan transisi demokrasi Kedua, adanya masalah ketidakadilan.
yang diawali oleh kepemimpinan Presiden BJ Disadari atau tidak, masyarakat Papua belum
Habibie dan dilanjutkan oleh Presiden KH mendapat banyak dari hasil kekayaan sumber
Abdurrahman Wahid, serta diteruskan oleh daya alam yang dimiliki mereka. Ini menyangkut
Presiden Megawati Soekarnoputri, bersama

312 Otonomi Khusus di Aceh dan Papua... (Suharyo)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

persoalan ketidakadilan yang diterima oleh orang nyang dilakukan pimpinan dan bendahara proyek
Papua. (Purwanto, Ibid: 175).
Ketiga, yang membuat persoalan konflik Paling tidak, Bupati Biak Numfor dituntut
Papua tidak pernah selesai adalah persoalan 6 tahun penjara. Sedangkan penyuapnya Teddy
tindakan represif pemerintah pusat. Tak jarang Renyut dituntut 4 tahun penjara. Namun Teddy
tindakan aparat menimbulkan pelanggaran HAM meminta Jaksa untuk menghadirkan Menteri PDT
berat. Helmy Faishal Zain dihadirkan di persidangan
Pengadilan Tipikor Jakarta (Forum Keadilan,
Dalam berbagai event dan kesempatan, 2014). Sebagai fenomena korupsi, yang dipastikan
gerakan pro kemerdekaan lebih bersuara keras dilakukan secara berkelompok, dapat dipastikan
untuk menuntut keadilan. Otonomi khusus di masih banyak pelaku korupsi dalam pelaksanaan
Papua juga banyak dikritisi oleh simpatisan Otsus Papua yang belum tersentuh hukum.
gerakan pro kemerdekaan, karena dianggap tidak
berguna dan membudayakan korupsi. Sedangkan Secara umum modus-modus korupsi dapat
warga masyarakat yang tetap menginginkan dilihat melalui rumusan The Habibie Center
berintegrasi dengan Indonesia selalu tiarap dan (Syamsudin, 2012: 169):
selalu bertindak netral, serta tetap mendukung No. Jenis Proyek Modus
otonomi khusus yang dapat mengeliminir korupsi. 1. Pengadaan Penggelembungan (mark
Jumlah dana yang diberikan oleh pemerintah barang up) nilai barang dan jasa
dari harga pasar. Kolusi
pusat kepada pemerintah provinsi Papua yang dengan kontraktor dalam
dirasa tidak seimbang dengan perkembangan proses tender
pembangunan, seharusnya menjadi tanda tanya 2. Penghapusan Mengambil inventaris
besar bagi pemerintah, mengapa hal ini bisa inventaris/aset kantor untuk kepentingan
terjadi. Fenomena ini ternyata tidak membuat negara pribadi.
Badan pemeriksa Keuangan (BPK) tinggal dia 3. Kenaikan Memungut biaya
saja, akan tetapi pada tahun 2011 terdapat pangkat dan tambahan diluar
pengurusan ketentuan resmi.
dugaan penyelewengan dana otonomi mencapai
pensiun.
Rp.42, triyun, namun kerugian yang dialami
4. Bantuan sosial Pemotongan dana bantuan
negara diyakini mencapai Rp.319 miliar. Anggota dan subsidi sosial yang besarnya
BPK Rizal Jalil melaporkan hasil temuan dalam dilakukan secara
pengucuran dana Otsus Papua periode 2002-2010, 5. Bantuan fiktif abertingkat
Membuat surat
bahkan masih ada Rp.566 miliar yang dianggap permohonan fiktif seolah-
berpotensi merugikan negara. Bahkan berita yang olah bantuan pemerintah
paling menyedihkan datang dari pejabat politik, kepada pihak luar.
yaitu Anggota DPRD Provinsi Papua Barat yang 6. Penyelewengan Mengambil dana proyek
dana proyek pemerintah di luar
seharusnya mampu mentransformasikan aspirasi
ketentuan resmi,
masyarakat, namun sebaliknya yang terjadi memotong dana proyek
terdapat 44 wakil rakyat Papua terbukti secara sah tanpa sepengetahuan orang
melakukan tindak pidana korupsi penyalahgunaan 7. Proyek fiktif lain.
Dana dialokasikan dalam
APBD Papua Barat tahun 2011 sebesar Rp.22 Fisik laporan resmi, padahal
miliar. Sementara itu jaksa Agung Basrief Arief 8. Manipulasi hasil nihil.
Jumlah riil penjualan dan
menjelaskan ke 44 anggota DPRD Papua Barat penjualan dan pajak tidak dilaporkan,
baru divonis bersalah melakukan tindak pidana retribusi penetapan target
penerimaan pajak lebih
korupsi di pengadilan tingkat pertama, alias belum rendah dari penerimaan
ber kekuatan hukum tetap (in kracht) (Labolo, riil.
9. Manipulasi Mark up nilai proyek.
Op.cit: 14). proyek proyek Pungutan komisi tidak
Disadari atau tidak, persoalan korupsi di fiktif. resmi terhadap kontraktor
Papua sungguh sebuah situasi dan kondisi yang 10. Daftar gaji atau Pembuatan pekerjaan fiktif
justru mengancam tercapainya tujuan kebijakan honor fiktif
Otsus. Hasil investigasi memperlihatkan bahwa 11. Manipulasi data Pemotongan dana
renovasi fisik pemeliharaan mark up
tahun 2003 ditemukan 22 kasus yang diindikasikan
dana renovasi fisik.
sebagai penyelewengan dana pembangunan

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 305 - 318 313
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
masyarakat Aceh, otonomi khusus di Papua
No. Jenis Proyek Modus berkali-kali ditentang oleh gerakan seperatis
12. Pemotongan Pemotongan langsung atau yang menginginkan kemerdekaan Papua. Dalam
dana bantuan tidak langsung oleh pegawai menyikapi situasi dan kondisi demikian, pakar
atau pejabat berwenang.
politik asal Papua Demmy Antok menyatakan:
13. Proyek SDM Tidak ada proyek/tidak ada
“Kesamaan sikap menerima otonomi khusus
Fiktif laporan (kegiatan dua hari
dilaporkan empat hari). dengan lapang dada sangat penting agar seluruh
14. Pungli perizinan Memungut biaya tidak resmi
kekuasaan bangsa Papua dapat bersinergi, justru
kepada masyarakat; mark up karena di dalamnya masih banyak bagian kecil dari
biaya pengurusan izin. upaya mengatasi persoalan yang membelit bangsa
15. Pungli Memungut biaya tidak resmi Papua. Persoalan papua tidak hanya diselesaikan
kependudukan kepada masyarakat, mark up melalui otonomi khusus dengan mengeluarkan
dan Imigrasi biaya izin. dana pembangunan miliaran sampai trilyunan
Menurut dr. Nourman yang bertugas di rupiah memalui DAK, DAU, APBD dan dana
Puskesmas Nabire (Paniae) (Wawancara: 2015), dekonsentrasi, dana perimbangan dan lain-lain.
pemberitaan korupsi di Papua tergolong berbeda Berbagai persoalan besar yang menggurita dan
dengan daerah lain. Para tersangka korupsi yang membelit anak Papua memerlukan kerja keras dari
ditangkap atau diproses baik Polri maupun semua pihak dengan tekad dan niat bersih dan
Kejaksaan, semuanya berasal dari masyarakat dilakukan dengan cara-cara yang dialogis,
pendatang. Sementara tersangka korupsi dari transparan dan demokratis (Antoh, 2007).
warga masyarakat asli dibiarkan begitu saja tanpa Rentanitas yang selalu terjadi dalam masalah
ada proses hukum selanjutnya. Dikatakan bahwa pemberantasan korupsi adalah keterbatasan
jika tersangka korupsi asli warga Papua ditangkap, pejabat publik sebagai bagian tatanan instansi
bisa jadi akan melumpuhkan pemerintahan daerah politik sehingga masalah pemberantasan korupsi
dari semua tingkatan. Tersangka korupsi warga ini seakan-akan hanya sebagai sarana berputarnya
asli Papua yang ditangkap Polri, Kejaksaan roda kekuasaan politik saja. Bahkan benang merah
maupun KPK dipastikan ditangkap di luar wilayah antara pemberantasan korupsi dengan intervensi
hukum Provinsi Papua. Hal itu dapat diikuti juga kekuasaan politik demikian ketat dan eratnya,
dengan adanya penahanan mantan Gubernur sehingga akan terlihat pada sisi implementasi
Papua Barnabas Suebu Jum’at 27 Februari 2015 hukum yang menimbulkan sikap diskriminastif
oleh KPK, setelah beberapa bulan yang lalu telah yang inkonsistensi. Apabila penegakan hukum
ditetapkan sebagai tersangka korupsi PLTA. telah menyentuh upper power level (pejabat
Otonomi khusus dalam desentralisasi fiskal tinggi publik) maupun upper economic level
menunjukkan pola dan strategi yang sangat (konglomerat) atau diantara upper power level itu
menguntungkan bagi Provinsi Papua. Dana bagi sendiri, maka yang akan tampak adalah
hasil sumber daya alam (SDA), dana alokasi diskriminasi hukum yang sangat dominan. Hal
umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK) itu menyebabkan isu pemberantasan korupsi tetap
dalam otonomi khusus di Papua sungguh luar tidak tersentuh hukum, mengingat pihak yang
biasa. Kita senantiasa berharap terjadi perubahan terlibat tersebut adalah bagian dan level politik
yang signifikan dalam mengelola desentralisasi dan ekonomi yang berstatus beyond the law (Seno
fiskal di Provinsi Papua. Sudah saatnya untuk Adji, 2009: 238).
meletakkan berbagai kritikan dan kekecewaan dari Faktor keamanan jajaran penegak hukum
publik Papua sebagai pandangan dan ide-ide yang menjadi alasan yang sangat mendasar sehingga
konstruktif bagi perbaikan yang menyeluruh di adanya pembiaran terhadap korupsi di daerah itu.
Papua, terutama yang terkait dengan manajemen Contoh terbaru berkenaan dengan terpidana
dana otonomi khusus. Undang-Undang Nomor 21 Labora Sitorus dalam kasus tindak pidana
Tahun 2001 telah mengamanatkan bahwa Papua pencucian uang yang kemudian dibebaskan oleh
hanya menerima penerimaan khusus selama 20 Lembaga Pemasyarakatan Sorong, ternyata tidak
(dua puluh) tahun saja, yaitu sejak tahun 2002 dengan mudah dapat dieksekusi kembali baik oleh
hingga tahun 2022 (Wanggai, 2009: 72). Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan
Berbeda dengan otonomi khusus di Aceh Sorong, bahkan mulai dibantu oleh TNI.
yang diterima secara meluas oleh seluruh

314 Otonomi Khusus di Aceh dan Papua... (Suharyo)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan memberantas korupsi, harus memberikan tindakan
Agung Tonny Tribagus Spontana mengungkapkan nyata, konsisten serta memberikan harapan positif
adanya kesalahan prosedur di Kemenkumham pada seluruh warga Papua. Harapan-harapan yang
terkait surat bebas hukum pada Labora Sitorus. diarahkan pada penegakan hukum adalah bahwa
Pihak Lapas Sorong tidak berkoordinasi dengan proses tersebut dapat mewujudkan: (Soekanto,
Kejaksaan Agung terkait surat bebas hukum oleh 1983: 139)
Lapas Freddy Fakdower yang mengaku sebagai 1. Keadilan;
adik angkat Labora Sitorus di Kota Sorong papua 2. Penindakan dan penuntutan terhadap mereka
Barat Rabu 4 Februari 2015 lalu menyatakan : yang bersalah dan melanggar hukum;
“saat ini sekitar 1000 (seribu) warga bersiaga 3. Pentaatan terhadap hukum, melalui
di Tampa Garam. Apabila pihak keamanan dan pendidikan dan pemberian contoh yang baik
Kejaksaan bersikeras menangkap pemimpin (dalam hal kepatuhan hukum).
kami, pertumpahan darah akan terjadi” (Forum
Penerapan Undang-Undang Nomor 21
Keadilan, 2015 : 4041).
Tahun 2001 khususnya padaPpasal 52 Ayat
Upaya mensukseskan otonomi khusus di (2) “Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di
Papua yang bebas dari korupsi serta mewujudkan Provinsi Papua dilakukan oleh jaksa Agung
kesejahteraan rakyat, merupakan tujuan bernegara Republik Indonesia dengan persetujuan
hukum Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Gubernur”, seharusnya bukan sebagai faktor
Tahun 2001 merupakan upaya nyata dan serius pencegah dan penghalang upaya pemberantasan
dari negara untuk membangun kesejahteraan korupsi di Papua.
baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan
Di tengah keterbatasan dan ketidakseriusan
pemerintahan di Provinsi Papua.
melaksanakan penegakan hukum terhadap
Keseriusan dan konsistensi jajaran penegak tersangka korupsi di Papua, strategi penindakan
hukum utamanya Polri dan Kejaksaan di Papua, ataupun strategi represif perlu dilakukan oleh
untuk memberantas korupsi di Papua harus seluruh jajaran penegak hukum baik di Papua
ditumbuhkembangkan. Fungsi kepolisian yang maupun di pemerintah pusat. Agar kesan kuat
menyelenggarakan keamanan dan ketertiban tentang pembiaran kasus-kasus korupsi di Papua
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, dapat dihilangkan ataupun diminimalisir.
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat
Strategi yang harus dilakukan yaitu:
tertuju pada pemeliharaan dan menjaga tetap
berlakunya dan ditaatinya norma-norma yang ada. 1. Untuk memberikan efek yang luar biasa
Hal ini dengan tujuan agar masyarakat menjadi agar pelaku korupsi merasa takut dan jera,
aman, tenteram, tertib, damai dan sejahtera. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Apabila dicermati, tugas kepolisian di negara harus berani dan konsisten melakukan
manapun penyelenggaraannya tertuju pada pemanggilan, penyidikan dan penahanan di
kepentingan negara, pemerintah dan masyarakat, Rutan KPK Jakarta bagi warga Papua, yang
agar terjaga, terbina dan terpeliharanya keamanan melakukan tindak pidana korupsi. Kendala
dan ketertiban masyarakat (Sadjiono, 2010: 232). gangguan keamanan dan ancaman bersenjata
terhadap penyidik KPK yang melakukan
Eksistensi Undang-Undang Nomor 21
penggeledahan di Papua, dapat ditanggulangi
Tahun 2001 yang menyangkut Pasal 48 Ayat (2),
dengan bantuan pengamanan dari Polri dan
menyatakan bahwa kebijakan mengenai keamanan
kalau masih diperlukan dapat meminta
di Provinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala
bantuan dari TNI.
Kepolisian Daerah Provinsi Papua, dan ayat (5)
menyatakan, Pengangkatan Kepala Kepolisian 2. Jajaran aparatur penegak hukum di Papua
Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala yaitu Polri dan Kejaksaan tidak perlu takut
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan dan ragu dalam melakukan pemberantasan
persetujuan Gubernur Provinsi Papua; bukan korupsi. Instansi Mabes Polri dan Kejaksaan
sebagai hambatan taktis, dan strategis dalam Agung harus selalu mengawasi, mendukung
pemberantasan korupsi di Papua. dan mengerahkan personilnya apabila ada
gangguan terhadap jajarannya di Papua,
Sedangkan Kejaksaan yang juga berwenang
dalam menangani kasus korupsi. Dalam
melakukan penyidikan dan penuntutan dalam

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 305 - 318 315
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

hal situasi keamanan semakin mengancam KESIMPULAN


keselamatan jiwa jajaran penegak hukum di Otonomi Khusus baik di Aceh maupun di
Papua, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri Papua, merupakan kebijakan negara yang harus
harus minta bantuan TNI di daerah itu. dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan
3. Apabila persidang terdakwa korupsi rakyat di Aceh dan Papua. Berbagai keleluasaan
di tempat terjadinya korupsi ditempat di bidang politik, ekonomi, hukum, dan
terjadinya korupsi (locus delicti) tidak dapat pemerintahan, dalam konteks NKRI merupakan
diselenggarakan di Pengadilan Negeri pilihan terbaik dan final. Persoalan korupsi di
setempat karena ancaman besar dari Aceh dan Papua sudah menjadi epidemi yang
keamanan dan ketertiban, dapat meminta izin cenderung dibiarkan oleh jajaran Inspektorat
dari Mahkamah Agung untuk memindahkan Daerah pada masing-masing Kabupaten/Kota
persidangan di Pengadilan Negeri yang lain. sampai dengan provinsi. Jajaran Polda di Aceh dan
Papua, berkewajiban mendukung, mendorong,
4. Sanksi represif merupakan pilihan hukum
serta menegaskan bahwa korupsi harus diberantas.
yang harus dilakukan dalam pemberantasan
Harus ada keberanian dan keseriusan untuk
korupsi, termasuk korupsi di Papua. Menurut
memberantas korupsi seperti di wilayah hukum
Schwarz dan Orleans yang dikutip oleh
Indonesia lainnya. Jajaran penegak hukum di
Soeryono Soekanto, tentang efektivitas
pusat, yaitu Mabes Polri dan Kejaksaan Agung,
sanksi negatif (Soekanto, 1982).
dan KPK terkesan kurang maksimal dalam
a. Sanksi negatif (c.q. hukuman) pemberantasan korupsi di Aceh dan Papua. Alasan
mengurangi pelanggaran, baik yang keamanan merupakan fenomena umum yang
dilakukan oleh pelanggar maupun dibungkus dengan keterbatasan personil.
pihak-pihak lainnya;
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
b. Semakin keras sanksi negatif, semakin dengan keterbatasan jumlah penyidik, belum
tinggi derajat efektifitasnya; banyak berbuat banyak untuk melakukan
c. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi,
mengakibatkan terjadinya kerugian- baik menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan
kerugian; dari BPK, maupun laporan dari LSM di Aceh
d. Kemungkinan-kemungkinan lain maupun di Papua. Keterbatasan SDM dan
tidak dapat dianggap sebagai alternatif anggaran pada KPK, merupakan problem yang
sederajat dengan penekanan sanksi serius, dan harus segera diatasi.
negatif. Beranjak dari konsistensi pengamalan negara
Permasalahan penegakan hukum di Indonesia hukum Republik Indonesia yang demokratis dan
utamanya dalam pemberantasan korupsi, menurut berkeadilan, fenomena korupsi di Aceh dan Papua
Indriyanto Seno adjie (2006: 373-374), tidaklah merupakan salah satu bentuk kegagalan negara,
sekedar diamati dari sisi substansial Perundang- dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Dengan
undangan saja, tetapi juga berkaitan dengan adanya pergantian kepala daerah hasil Pilkada
sistem hukum pidana, karena korupsi itu tahun 2017 yang lalu, semangat dan keseriusan
kenyataannya telah merusak sistim (destructed to kepala daerah untuk memperkecil korupsi di
the system). Dalam konteks yang komprehensif daerahnya, sangat diharapkan. Disamping itu,
tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi merupakan melalui pendekatan strategi penindakan terhadap
white collar crime dengan perbuatan yang selalu kasus korupsi seperti di seluruh wilayah hukum
mengalami dinamisasi modus operandinya dari Indonesia lainnya, justru sangat mendukung
segala sisi. Sehingga dikatakan sebagai invisible keberhasilan otonomi khusus di Aceh dan Papua
crime yang sangat sulit memperoleh prosedural dalam konteks NKRI.
pembuktiannya, karena seringkali memerlukan Otonomi khusus baik di Aceh maupun di
pendekatan sistem (systemic approach) terhadap Papua dapat dipastikan akan mengalami kegagalan
pemberantasannya (Suharyo, 2016 : 21-22). dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, apabila
epidemi korupsi tidak dapat ditanggulangi secara
komprehensif, sistematis, dan penegakan hukum
yang represif. Kegagalan pembangunan ekonomi

316 Otonomi Khusus di Aceh dan Papua... (Suharyo)


Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

di banyak negara akibat epidemi korupsi, sangat


sulit terbantahkan. Yang sejahtera dengan epidemi
korupsi tersebut, tidak lain sementara elit politik
dan pemerintahan di daerah yang sejak awal
memang bertujuan untuk melakukan korupsi.
Bahkan keadaan ini juga dapat dimanfaatkan oleh
sementara penegak hukum yang mencari peluang
dan kesempatan.

SARAN
Beranjak dari kesimpulan tersebut dapat diberikan
suatu saran atau rekomendasi bahwa
pemberantasan korupsi dalam pelaksanaan
otonomi khusus di Aceh dan Papua harus
dioptimalkan secara konsisten dan konsekuen.
KPK harus lebih responsif dan proaktif dalam
melakukan penindakan setiap adanya fakta-fakta
hukum yang kuat. Keterbatasan jumlah penyidik
KPK, khusus untuk menangani fenomena korupsi
di Aceh dan Papua harus diperkuat. Kepolisian
Negara Republik Indonesia harus memperkuat,
mendukung, dan mengoptimalkan pemberantasan
korupsi di Aceh dan Papua. Kejaksaan Agung
Republik Indonesia juga perlu memperkuat dan
menambah jumlah SDM untuk mensukseskan
pemberabtasan korupsi di Aceh dan Papua. Warga
masyarakat melalui LSM perlu meningkatkan
partisipasi dan keseriusannya, agar pelaksanaan
otonomi khusus di Aceh dan Papua, dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat
meminimalisir perilaku korupsi.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 18 No. 3, September 2018: 305 - 318 317
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016
Hukum De Jure, Volume 16 Nomor 1 Tahun
Buku & Jurnal: 2016)
Adji, Indriyanto Seno. Humanisme dan Syamsudin, M. Konstruksi Baru Budaya Hukum
Pembaruan Penegakan Hukum (Penerbit Hakim Berbasis Hukum Progresif, Cetakan I
Buku Kompas: Jakarta, 2009) (Penerbit Kencana Prenada Media Group,
Antoh, Demmy. Dekonstruksi dan Transformasi 2012)
Nasionalisme Papua (Penerbit Sinar Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman. Perangkap
Harapan: Jakarta; 2007) Penyimpangan Dan Kejahatan Teori Baru
Benveniste, Guy. "Birokrasi” Penerjemah Sahat Dalam Kriminologi (Penerbit YPKIK: Jakarta,
Simamora, (Penerbit CV Rajawali: Jakarta, 2009)
1989) Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman. Tegakkan Hukum
Cahyono, Heru. “Evaluasi Asas Pelaksanaan Gunakan Hukum (Penerbit Buku Kompas:
Otonomi Khusus Aceh: Gagal Jakarta, 2006)
Menyejahterakan Rakyat dan Sarat Konflik Wanggai, Velix V. New Deal For Papua: Menata
Internal” (Jurnal Penelitian Politik LIPI Kembali Papua Dengan Hati, Cetakan
Volume 9 Nomor 2 Tahun 2012) Pertama Juli 2009 (Penerbit Indonesia Pers dan
Djumala, Darmansyah. Soft Power Untuk Aceh The Irian Institute: Jakarta 2009)
Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi
Surat Kabar & Majalah
(Penerbit Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,
2013) Kompas, Senin 28 Oktober 2013, Anggaran Aceh
Hendratno, Edie Toet. Negara Kesatuan, Dikoreksi: Belanja Hibah dan Bantuan Sosial
Desentralisasi dan Federalisme, Edisi Dominasi Perubahan RAPBD 2013
Pertama, (Penerbit Ghalia Ilmu: Yogyakarta, Forum Keadilan Nomor 39 Tahun XXIII/09-15
2009) Februari 2015
Labolo, Muhadam. Desentralisasi Asimetrik di Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia, Peluang, Tantangan dan Recovery
(Penerbit WADI Pers: Jakarta, 2014) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Muhammad, Farouk. Menuju Reformasi Polri Pemerintahan Daerah.
(Penerbit PTIK Press & Restu Agung: Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Jakarta, 2003) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Purwanto, Wawan H. Papua Meradang Siapa Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang
Bermain (Penerbit CMB Pers: Jakarta, 2013) Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh
Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Indonesia (Penerbit Buku Kompas: Jakarta, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang
2003) Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Sadjijono. Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Good Governance (Penerbit Laksbang: Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Yogyakarta, 2010) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Soekanto, Soerjono. Kesadaran Hukum dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Kepatuhan Hukum (Penerbit CV Rajawali: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Jakarta, 1982) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Soekanto, Soerjono. Beberapa Aspek Sosio Yuridis Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
(Penerbit PT Alumni: Bandung 1983) Tindak Pidana Pencucian Uang.
Solosa, Jacobus Perbiddya. Otonomi Khusus Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang
Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua Pembentukan Provinsi Papua Barat.
di dalam NKRI (Penerbit Pustaka Sinar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Harapan: Jakarta, 2006) Pemerintahan Aceh
Suharyo. “Peranan Kejaksaaan Republik
Indonesia dalam Pemberantasan Korupsi di
Negara Demokrasi” (Jurnal Penelitian
318 Otonomi Khusus di Aceh dan Papua... (Suharyo)

You might also like