You are on page 1of 7

NEUROPLASTISITAS OTAK DAN CARA BERPIKIR

Muhammad Syaifudin Zuhri, Amanda Rachmadyastuti, Anggraeni


Setyaningrum, Nurfadila, Riasat Ulhabibah
Program Studi Pendidikan Agama Islam, Universitas Ahmad Dahlan
Email : riasatulhabibah14@gmail.com. HP : 085314421156

ABSTRACT

Classroom management is one of the obstacles faced by teachers in learning.


Classroom management is an effort made by teachers to create, maintain, and
develop a conducive learning climate. A conducive classroom atmosphere will be
able to deliver students to academic and non-academic achievements. There are
conducive class characteristics, namely: calm, dynamic, orderly, an atmosphere
of mutual respect, mutual encouragement, high creativity, strong brotherhood,
good interaction, and healthy competition for progress. So that learning
objectives are expected to be achieved effectively and efficient.
The problems that occur in class management are due to the variety of
characteristics or behaviors that vary from learners, there are many methods
used by an educator. However, not many of a teacher knows that educating
children can also make the workings of the child's brain change.
In general, brain plasticity is more precisely interpreted as changes in the neural
pathway and synapse with regard to changes in properties, environment, nerve
processes, thought processes, and emotions, and changes that occur due to
physical injury. With the discussion on this matter, we can convey a message to
an educator also to parents who educate their children at home to pay more
attention to their students so that they grow and develop with good and right
education. It can also be interpreted that an educator must know how to change
the mindset of children to be more critical, creative, and innovative with the
diversity of attitudes and characteristics of different children.
Keywords: Neuroplasticity, Education, Brain.
ABSTRAK

Pengelolaan kelas merupakan salah satu kendala yang dihadapi oleh guru dalam
pembelajaran. Pengelolaan kelas adalah suatau usaha yang dilakukan oleh guru untuk
menciptakan, memelihara, dan mengembangkan iklim belajar yang kondusif. Suasana kelas
yang kondusif akan dapat mengantarkan siswanya pada prestasi akademik maupun
nonakademik. Adapaun ciri-ciri kelas yang kondusif, yaitu: tenang, dinamis, tertib, suasana
saling menghargai, saling mendorong, kreativitas tinggi, persaudaraan yang kuat,
berinteraksi dengan baik, dan bersaing sehat untuk kemajuan.Sehingga tujuan pembelajaran
yang diharapkan dapat tercapai secara efektif dan efesien.
Adapun permasalahan yang terjadi di dalam pengelolaan kelas itu dikarenakan adanya
berbagai macam karakteristik atau tingkah laku yang bervariasi dari peserta didik, ada
banyak sekali metode yang digunakan oleh seorang pendidik. Namun, tak banyak dari
seorang guru mengetahui bahwa mendidik anak juga bisa membuat cara kerja otak anak
tersebut berubah.
Pada umumnya Plastisitas otak lebih tepat diartikan sebagai perubahan jalur saraf dan
sinapse berkenaan dengan perubahan sifat, lingkungan, proses saraf, proses berpikir, dan
emosi, serta perubahan yang terjadi akibat cedera fisik. Dengan adanya pembahasan
mengenai hal ini, kita dapat menyampaikan pesan kepada seorang pendidik juga kepada
orang tua yang mendidik anak-anaknya dirumah agar lebih memperhatikan anak-anak
didiknya supaya ia tumbuh dan berkembang dengan didikan yang baik dan benar. Juga dapat
diartikan bahwa seorang pendidik harus mengetahui bagaimana cara mengubah pola pikir
anak menjadi lebih kritis ,kreatif, dan inovatif dengan keberagaman sikap dan sifat anak-
anak yang berbeda-beda.
Kata Kunci : Neuroplastisitas, Pendidikan, Otak.
PENDAHULUAN
Neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk mengorganisasi dirinya, baik pada struktur
dan fungsi. Otak dapat melakukan perubahan pada dirinya dengan melakukan Neurogenesis
(pembentukan saraf baru), koneksi saraf baru, penguatan saraf yang didapat dari proses
pengulangan, pelemahan saraf yang terjadi karena jarang dipakai. Neuroplastisitas otak
dapat terjadi apabila seseorang mengalami peristiwa trauma, mengalami stres, melakukan
interaksi sosial, melakukan meditasi, pada kondisi emosi / mood tertentu, belajar berulang-
ulang, dan lain sebagainya.
Salah satu dari faktor penyebab neuroplastisitas tersebut, disebutkan bahwa salah satunya
adalah interaksi sosial. Hal ini merupakan kegiatan yang tak lepas dari sifat sosial kita
sebagai manusia yang selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Dari kegiatan tersebut
dapat kita ambil contoh salah satunya adalah kegiatan belajar mengajar, yang mana pada
kegiatan itu banyak sekali terjadi interaksi sosial antara pendidik dan peserta didik. Namun,
tak banyak para pendidik yang mengetahui bahwa kegiatan ini merupakan salah satu
penyebab dapat terjadinya neuroplastisitas otak atau perubahan yang dapat terjadi pada otak
peserta didik.
Perkembangan yang sangat pesat di bidang Neurosains menunjukkan bukti bahwa antara
kerja otak dan perilaku (karakter) manusia terdapat hubungan yang erat, dalam arti bahwa
proses pembentukan karakter yang mengikuti cara kerja otak maka akan menjadi lebih
mudah. Melalui sebuah instrumen yang disebut dengan Positron Emission Tomography
(PET) dapat diketahui bahwa semua perilaku manusia dikendalikan secara terpadu oleh
brain system yang terdiri dari cortex prefrontalis, sistem limbik, gyros cingulatus, ganglia
basalis, lobus temporalis, dan cerebellum. Pengendalian ini berupa pengaturan kognisi,
afeksi, dan psikomotorik, termasuk didalamnya adalah pengaturan IQ, EQ, SQ.
Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa perkembangan otak dimulai dengan overproduksi
neuron pada minggu-minggu petama kehamilan. Setiap hari diproduksi 250.000 neuroblast,
sehingga bagian otak paling dalam menjadi penuh sesak. Neuron-neuron selanjutnya akan
bermigrasi ke lapisan otak paling luar. Setiap neuron mempunyai cabang hingga 10 ribu
cabang dendrit, kemudian dendrit menerima impuls listrik dari neuron yang lain dan
mengirimkannya melalui akson. Impuls akan berhenti setelah berada pada ujung akson yang
membentuk sinapsis, kemudian neurotransmiter menyeberangi celah sinapsis untuk diterima
oleh penerima khusus pada neuron berikutnya. Neurotransmiter mampu menyampaikan
pikiran dan perasaan seseorang ke seluruh jaringan saraf yang merupakan esensi memori,
kecerdasan, kreativitas, dan kemauan
Otak manusia merupakan bagian tubuh paling kompleks yang pernah dikenal di
alam semesta. Inilah satu satunya organ yang senantiasa berkembang sehingga ia dapat
mempelajari dirinya sendiri. Jika dirawat oleh tubuh yang sehat dan lingkungan yang
menimbulkan rangsangan, otak itu akan berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih
dari seratus tahun. Diharapkan naskah akademik ini dapat membekali para pendidik atau
guru untuk menemukan system pembelajaran yang berkualitas yang dapat membantu anak
didik dalam meningkatkan moral yang tinggi.
Setiap anak yang dilahirkan memiliki karakteristik kemampuan otak yang berbeda-
beda dalam menyerap, mengolah, dan menyampaikan informasi. Tentu saja bahwa belajar
bukanlah hanya kegiatan menghafal saja. Banyak hal yang akan hilang (bersifat tidak
permanen) dalam beberapa jam. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, peserta didik
harus mengolah informasi tersebut dan memahaminya. Sebagaimana kita ketahui bahwa kita
memiliki otak dengan karakteristik unik antara otak kiri dan otak kanan manusia. Otak
kanan memiliki karakteristik Long term memory sedangkan belahan otak kiri tergolong
dalam Sort term memory. Di dalam bukunya yang berjudul Revolusi Belajar untuk Anak,
Bob Samples (2002) mengungkapkan gagasan terkait: (a) fungsi otak-pikiran sebagai sistem
terbuka; (b) modalitas, kecerdasan, gaya belajar, dan kreativitas dalam belajar, serta cara-
cara pengembangannya; (c) pemanfaatan musik, suara, relaksasi, gambar, humor, dan mimpi
untuk membangun suasana bermain dan belajar secara efektif serta mengasyikkan dengan
anak-anak, tanpa mengurangi hakikat pembelajaran; serta (d) aktivitas, kiat, dan saran yang
mudah dilakukan untuk mengembangkan kemampuan belajar dan mengakses informasi
melalui seluruh modalitas belajar yang kita miliki.
Ironisnya, selama berabad-abad pendidik mengubah otak anak (mengembangkan
potensi peserta didik) tanpa pengetahuan sedikitpun tentang neurosains. Artinya, selama
berabad-abad pula pendidik belum mengoptimalkan potensi peserta didik. Itulah sebabnya
meengapa manusia rata-rata hanya mampu memanfaatkan potensi otaknya sebesar 4%,
bahkan Einstein baru memanfaatkan potensi otaknya sebesar 8%. Hal ini disebabkan oleh
salah satunya tabunya pendidik terhadap neurosains.
Implikasi jangka panjang secara luas adalah hanya 10% sampai dengan 15% orang
yang meneliti karier sesuai dengan penidikan yang ditekuninya. Sekedar contoh, banyak
alumni Sarjana Hukum yang berkarier sebagai pegawai banker (pegawai bank). Berdasarkan
kasus tersebut, dapat dipahami pendidik selama ini hanya “meraba-raba” otak *peserta didik
yang kemudian diubahnya secara semena-mena. Konsekuensi yang tidak dapat dihindari
adalah “melesetnya” tujuan pendidikan (optimalisasi potensi/kecerdasan) sehingga banyak
peserta didik yang gagal mengarungi samudra kehidupan. Jika terdapat peserta didik yang
berhasil, sebagian besar dari mereka bukan by design atau produk pendidikan semata, tetapi
lebih karena by accident atau pembelajaran secara otodidak.
Memang, pendidikan tidak membandingi neurosains (ilmu otak), tetapi pendidikan
adalah bagian dari salah satu lembaga profesi yang pekerjaannya setiap hari mengubah otak
manusia. Semakin luas pengetahuan seorang pendidik terhadap neurosains, semakin mudah
ia menyukseskan pembelajaran. Sebaliknya, semakin awam wawasan pendidik terhadap
neurosains, semakin sulit menyukseskan pembelajaran.

PEMBAHASAN
Cara Kerja Otak
Pada tahun 1990 Paul Mc. Lean memperkenalkan dan mengembangkan teori
“The Triune Brain” yang membagi otak menjadi tiga lapis, yaitu batang atau otak reptile,
sistem limbic atau otak mamalia dan neocorteks Ketiga bagian itu masing-masing
berkembang pada waktu yang berbeda dan mempunyai struktur syaraf tertentu serta
mengatur tugasnya masing-masing. Batang atau otak reptile adalah komponen kecerdasan
manusia terendah manusia. Ia bertanggung jawab terhadap fungi-fungsi sensor motorik
sebagai insting mempertahankan hidup dan pengetahuan tentang realitas fisik yang berasal
dari pancaindra. Apabila otak reptile ini dominan, maka seseorang tidak dapat berpikir pada
tingkat yang sangat tinggi.
Proses berpikir ini tidak lepas dari proses belajar. Dimana terdapat perubahan perilaku
atau tindakan yang permanen hasil dari pengalaman atau latihan yang dilakukan secara
berulang-ulang. Belajar adalah proses aksi dan reaksi. Aksi merupakan sebuah stimulasi
yang dapat menghasilkan respon. Aksi atau stimulasi ini dapat berupa materi, informasi,
konsep atau persepsi yang diberikan oleh pengajar. Sedangkan respon adalah tanggapan
pelajar terhadap stimulasi yang diberikan. Proses yang terjadi antara stimulasi dan respon itu
sendiri dapat diukur dan diamati.
Otak merupakan system yang hidup secara dinamis (living system). Otak bekerja
sepanjang hidup manusia, siang dan malam tanpa henti. Bahkan ketika dalam keadaan tidur,
otak kita bekerja. Inilah sebabnya, mengapa definisi kematian didunia kedokteran sekarang
tidak lagi “hilangnya nyawa/ruh manusia dari jasadnya”, melainkan ”berhentinya kerja
otak”. Fenomena mimpi disinyalir kuat juga bersumber dari kerja otak. Bahkan, seorang
siswa yang sangat serius dalm menyelesaikan tugas sekolah, tidak jarang di bawa mimpi.
Sebagai system yang hidup dan bekerja (berfikir dan merasa) secara terus menerus,
membawa konsekuensi logis bahwa otak berubah setiap saat. Perubahan otak terjadi pada
koneksi antar sel saraf yang semakin kompleks. Artinya, semakin besar otak berfikir tentang
suatu hal, semakin besar pula jumlah sel saraf yang saling berhubungan sehingga otak
mengalami perubahan tanpa memperbesar ukuran tengkorak manusia. Semakin besar juga
sel saraf yang berkoneksi dalam otak seseorang, semakin unik dan cerdas orang
tersebut.artinya, keunikan atau perbedaan tingkat kecerdasan seseorang-dalam pengertian
luas-ditentukan oleh jumlah sel saraf yang dapat dikoneksikan atau dihubungkan.
Dengan demikian, keunikan anak ditentukan oleh keunikan otaknya. Karena tidak ada
otak yang sama maka tidak ada anak yang sama. Dengan kata lain, tidak ada anak yang
dilahirkan dalam keadaan sama meskipun dalam satu kandungan, sebagai mana tidak ada
sidik jari yang sama meskipun dalam satu tangan. Setiap anak adalah unik (tiada duanya)
dan oleh karenanya istimewa. Letak keunikan atau keistimewaan, anak bertumpu pada
otaknya. Artinya, tidak ada otak atau pikiran yang sama antara anak yang satu dengan anak
yang lain. Konsekuensinya, setiap anak mempunyai gaya belajar tersendiri yang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Hal ini berimplikasi bahwa tidak ada satu jenis strategi
pembelajaran yang cocok untuk semua anak. Ini merupakan tantangan berat bagi guru untuk
menyusun strategi pembelajaran klasikal-meskipun tidak cocok untuk semua anak-tetapi
dapat diterima semua anak. Semakin banyak siswa yang dapat menerima strategi
pembelajaran yang digunakan guru, semakin baik perkembangan otak anak.

KESIMPULAN
Perkembangan yang sangat pesat membuktikan bahwa antara kerja otak dan perilaku
manusia memiliki hubungan yang erat dalam artian bahwa proses pembentukan karakter
yang mengikuti cara kerja otak maka akan lebih mudah. Otak manusia merupakan bagian
tubuh yang sangat kompleks. Otak merupakan satu – satunya organ yang senantiasa
berkembang sehingga ia dapat mempelajari dirinya sendiri. Oleh karena itu, setiap anak
yang dilahirkan memiliki karakteristik kemampuan otak yang berbeda-beda dalam
menyerap, mengolah, dan dalam menyampaikan informasi karena tidak ada otak yang sama
maka tidak ada cara berpikir yang sama bagi setiap anak.
DAFTAR PUSTAKA
Suyadi.2013.Teori Pembelajaran Anak Usia Dini dalam Kajian Neurosains.Yogyakarta:
Rosda
Eni Purwati, “Optimalisasi Pendidikan Islam Melalui Pembelajaran Berbasis Cara Kerja
Otak” Vol 11, no 1,(ISLAMICA:Jurnal Studi Keislaman, 2016,)87
Margono Budi Setyo.2018 “Integrasi Neurosains dalam Kurikulum untuk Memperkuat
Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar”
Herlina , Marwawi,dkk”Peningkatan Kemampuan Membaca Doa dalam Kegiatan sehari-
hari melalui pembiasaan pada anak usia 5-6”
Suyadi, Mawi Khusni Albar”Budaya Ngrowot dalam KAjian Neurosains di podok pesantren
Luqmaniyah Yogyakarta” Vol 16 no 1 (IBDA-Jurnal Kajian Islam dan Budaya)
Umi Budi Rahayu.2013 “Meningkatkan Kualitas Hidup paska stroke melalui aktifasi otak ”
Mevlana,Djon,dkk.2019”Gambaran kinerja otak mahasiswa fakultas kedokteran UNSRAT
dengan adiksi nikotin menggunakan instrument isha” Vol 1 no 3 Jurnal medik dan
rehabilitasi (JMR)
Ghoffar,Dody, dkk.2014”Pengaruh Terapi A I U E O terhadap kemampuan bicara pada
pasien stroke yang mengalami avasia motoric di RSUD Tugurejo Semarang”
Indra,Rahmatul.2015”Pengaruh Pembelajaran E Learning Berbasis Etmodo Terhadap hasil
belajar simulasi Digital kelas X SMK N 9 Padang” Vol 22 no 1 Majalah ilmiah UPI YPTK
Widayati,Tri.2013”Pengembangan Karakter Anak usia dini melalui simulasi kecakapan
hidup” Vol 8 no 2 (JUrnal Ilmiah Visi P2TK PAUDNI)
Arylien,Uda,dkk,2014”Pengaruh Gaya Belajar Visual Auditorial dan Kinestetik Terhadap
Prestasi Belajar Siswa ” Vol 44 no 2 (Jurnal Kependididkan )
Kartika Sari, Ariesta 2014”Analisis Karakteristik Gaya Belajar VAK(Visual, Auditorial,
Kinestetik ) Mahasiswa Pendidikan Informatika angkatan 2014”Vol 1 no 1 (Jurnal Ilmiah
Edutic)

You might also like