You are on page 1of 85

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN LAHAN DAN

BENTUK LAHAN DI WILAYAH BANDUNG UTARA DAN KAJIAN


RESIKO BENCANA ALAM VULKANIK

DWI SHANTY APRILIANI GUNADI


A24104077

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SUMMARY

DWI SHANTY APRILIANI GUNADI. The Analysis and Influence of The Region on
Landuse and Landforms at Northern Bandung Area and Study of Volcanic Disasters and
Risks. (supervised by BOEDI TJAHJONO and KHURSATUL MUNIBAH).

Northern Bandung area is an area that rapidly changes into recreation area, mainly
recreation about Mt. Tangkuban Perahu. With the increasing number of tourists that visits the
area, will give effect on the rapid changes of landuse and it’s dynamics on civilians fulfilling
their social-economic needs.

Mt. Tangkuban Perahu is considered as an active volcano, but rapid changes of


landuse near the volcano keeps increasing. Thus, evaluating and studying about landuse
changes will be interesting, mainly done by connecting with geomorphology conditions of the
area, and Volcanic Disasters and risks.
The purposes of this research are (1) to identify and map land cover/land use from 2
different years using Satellite Image SPOT 1987 and Landsat ETM+ 2005 (2) Analyze the
influence and connection between land cover/landuse with landforms (3) Analyze and map
volcanic disasters and risks within the research area.
Based on the results of analysis, landuse used for settlements and vegetable ranches
are 2 landuses that is dominantly increasing within the area. Vegetable ranches are mainly
spread in many landforms, but settlements are mainly spread in only 2 landforms (Lacustrine
Lands, and Plateau Ignimbritic).This was caused because of the two landforms that is mainly
flat in morphologic conditions.Settlements have a morphologic limitation that is, can only be
built on flat topographies.
Kecamatan Cimenyan has the lowest rate of volcanic disasters and volcanic disaster
risks that will threaten the area. On the contrary, Kecamatan Parongpong has the highest rate
of volcanic disasters and volcanic disaster risks that will threaten the area. Thus, Landuse
Planning that concentrates also on mitigation/prevention of volcanic disasters mainly in these
2 areas are needed to prevent further damage effects in the future.
RINGKASAN

DWI SHANTY APRILIANI GUNADI. Analisis Hubungan Antara Penggunaan Lahan dan
Bentuk Lahan di Wilayah Bandung Utara dan Kajian Resiko Bencana Alam Vulkanik.
(dibawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan KHURSATUL MUNIBAH)

Wilayah Bandung bagian utara merupakan wilayah yang saat sekarang berubah
menjadi daerah wisata, khususnya wisata gunungapi Tangkuban Perahu. Dengan besarnya
arus wisatawan menuju ke daerah ini, maka secara langsung akan berpengaruh terhadap
penggunaan lahan yang cenderung terus berubah sesuai dengan dinamika masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan sosial-ekonominya.

Mengingat bahwa gunungapi Tangkuban Perahu termasuk gunungapi aktif, sedangkan


perubahan penggunaan lahan terus berlanjut di daerah sekitar gunungapi tersebut, maka
melakukan studi tentang perubahan penggunaan lahan menjadi sangat menarik dilakukan
terutama dikaitkan dengan kondisi geomorfologi dan ancaman bahaya vulkanik.

Tujuan penelitian ini mencakup (1) identifikasi dan pemetaan penutupan/penggunaan


lahan pada 2 (dua) titik tahun yang berbeda dengan menggunakan Citra SPOT 1987 dan Citra
Landsat ETM+ (2) melakukan analisis hubungan antara penutupan/penggunaan lahan dengan
bentuklahan (3) Melakukan analisis dan pemetaan resiko bencana alam yang terdapat di
daerah penelitian.

Berdasarkan hasil analisis, penggunaan lahan permukiman dan tegalan merupakan 2


jenis penggunaan lahan yang paling besar mengalami pertambahan luas. Penggunaan lahan
tegalan merupakan penggunaan lahan yang paling tersebar di berbagai bentuklahan,
sedangkan penggunaan lahan permukiman paling banyak tersebar pada 2 jenis bentuk lahan,
yaitu dataran lakustrin dan plateau ignimbritik. Hal ini dikarenakan pada kedua bentuklahan
tersebut memiliki kemiringan lereng yang relatif datar yang sesuai untuk permukiman. Faktor
morfologi bentuklahan terutama lereng, merupakan faktor pembatas utama untuk
perkembangan areal permukiman.
Dari empat kecamatan yang ada di daerah penelitian, Kecamatan Cimenyan memiliki
tingkat bahaya vulkanik dan tingkat resiko vulkanik yang paling rendah, sebaliknya
Kecamatan Parongpong memiliki ancaman tingkat bahaya dan tingkat resiko vulkanik paling
tinggi. Hal ini menyebabkan perlu adanya penataan ruang yang memperhatikan mitigasi
bencana terutama di kedua kecamatan tersebut agar tidak terjadi bencana yang sangat besar
dikemudian hari.
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN LAHAN DAN
BENTUK LAHAN DI WILAYAH BANDUNG UTARA DAN KAJIAN
RESIKO BENCANA ALAM VULKANIK

OLEH:
DWI SHANTY APRILIANI GUNADI
A24104077

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada
Program Studi Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Antara Penggunaan Lahan dan Bentuklahan


di Wilayah Bandung Utara dan Kajian Resiko Bencana Alam
Vulkanik

Nama Mahasiswa : Dwi Shanty Apriliani Gunadi


Nomor Pokok : A24104077

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Boedi Tjahjono, DEA Dr. Khursatul Munibah, M.Sc.


NIP. 131 846 877 NIP. 131 918 502

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.


NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 4 April 1986 sebagai


anak kedua dari pasangan Dr.Ir.Bambang Gunadi M.Sc dan Nunung
Sumiarsih.

Penulis memulai pendidikan formal TK di Tadika Puri Bandung pada


tahun 1990-1991 lalu melanjutkan sekolah ke SD Kresna Bandung
dari kelas 1-2 SD dan sempat mengikuti pendidikan setara SD kelas
2-6 di South Knoll Elementary ( kelas 2-4), Oakwood Middle School
(kelas 5), dan Willow Branch Intermediate (kelas 6). Serta pendidikan setara SLTP di College
Station Junior High School pada tahun 1993-1999 di Amerika Serikat. Lalu meneruskan
SLTP kelas 2 di SLTP Cendrawasih II Tangerang kemudian kelas 3 di SLTP Negeri 1 Bogor.
Kemudian pada tahun 2001-2004 penulis meneruskan SLTA di SMU Negeri 7 Bogor. Tahun
2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis sempat menjadi asisten mata kuliah


Geomorfologi dan Analisis Lanskap dan Pengantar Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial
(PJIC), Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB pada tahun
2008.
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, nikmat, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian dari Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah mengenai Analisis Hubungan Antara
Penggunaan Lahan dan Bentuk Lahan di Wilayah Bandung Utara dan Kajian Resiko
Bencana Alam Vulkanik.

Selama melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat banyak
bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Boedi Tjahjono, DEA sebagai pembimbing skripsi yang senantiasa
dengan sabar dan menyemangati memberikan arahan, bimbingan, saran, dan
motivasi sejak penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. sebagai pembimbing skripsi yang telah
memberikan motivasi, arahan, serta saran dalam langkah-langkah skripsi selama
penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc. sebagai pembimbing akademik juga
sebagai penguji dalam sidang skripsi ini yang telah memberikan bentuk dorongan,
arahan, serta pembelajaran selama bimbingannya kepada penulis.
4. Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. yang telah memberikan bentuk dorongan,
arahan, dan semangat selama bimbingannya kepada penulis.
5. Staf Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah atas bantuan
dan informasi yang diberikan selama penelitian.
6. Bapak Dr. Ir. Bambang Gunadi, M.Sc. (daddy), Nunung Sumiarsih (mommy), drh.
Tanti Mulianti Gunadi, DVM (mba Tanti) , dan Trianto Adiputro Gunadi (otoy)
atas segala doa, dorongan, dukungan, dan semangat, yang tiada henti selama
penulis menyelesaikan pendidikannya di IPB.
7. Keluarga Syarief Hidayat, BSc. dan keluarga R. Andi Rismansyah atas segala
dukungan, semangat, yang penuh dengan kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan di IPB serta penulisan skripsi ini.
8. Keluarga besar R. Ahmadi dan keluarga besar R.E. Soelaeman Prawirasapoetra,
atas segala semangat, dukungan, dan doa kepada penulis.
9. Teman-teman satu laboratorium di Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial
(Alwan, Elissa, Nana, dan Nika) atas kekompakkan, dukungan, dan bantuannya.
Juga Mba Reni, Mba Ana, dan Mba Juju atas segala bantuannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
10. Fremy, Meilina, dan Marni (my sisters!), Ronni dan Bachtiar (My brothers!) yang
telah memberikan dukungan dan persahabatan yang kuat hingga sekarang dan
seterusnya. Serta rekan-rekan SOILERS 41 (PATAK 41) atas kekompakkan dan
kerjasama yang akan selalu terkenang. VIVA SOIL! Juga temen-temen KKP ‘
NAMBO GENK’ atas kenangan-kenangan yang indah selama 2 bulan di desa
Sukajaya, Bogor.
11. Teman-teman dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang
membutuhkan, meskipun masih banyak hal-hal yang perlu dikaji lebih dalam. Untuk itu saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Februari 2009

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Penginderaan Jauh 3
2.1.1 Satelit SPOT 5
2.1.2. Satelit Landsat 5
2.2. Analisis Citra Digital 7
2.3. Interpretasi Visual 8
2.4. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral 10
2.5. Fusi Citra 11
2.6. Penajaman Multispasial 12
2.7. Penutup/Penggunaan Lahan 12
2.8. Bentuklahan 12
2.9. Jenis-jenis Bentuklahan Berdasarkan Morfogenesis 13
2.10. Gunungapi Tangkuban Perahu 14
2.11. Kegiatan Gunung Tangkuban Perahu 14

III. BAHAN DAN METODE 18


3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 18
3.2. Bahan dan Alat Penelitian 18
3.3. Metode Penelitian 18
3.3.1. Persiapan 18
3.3.2. Pengumpulan Data 18
3.3.3. Pengolahan Data 19
3.3.4. Analisis Data 21
3.3.5. Penyajian Hasil 23
IV. LOKASI PENELITIAN 25
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 25
4.2. Gambaran Umum Kabupaten Bandung 26
4.2.1. Gambaran Umum Kecamatan Lembang 26
4.2.2. Gambaran Umum Kecamatan Parongpong 27
4.2.3. Gambaran Umum Kecamatan Cisarua 28
4.2.4. Gambaran Umum Kecamatan Cimenyan 29
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 31
5.1. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral 31
5.2. Karakteristik Penutup/Penggunaan Lahan Pada Citra 32
5.3. Penyebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987 di Wilayah Studi 37
5.4. Penyebaran Penggunaan Lahan Tahun 2005 Verifikasi 2008 di Wilayah
Studi 38
5.5. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008 43
5.6. Kondisi Geomorfologi Daerah Penelitian 46
5.6.1. Morfologi 46
5.6.2. Morfogenesis 47
5.6.3. Morfokronologi 49
5.6.4. Batuan 49
5.7. Bentuklahan di Daerah Penelitian 51
5.8. Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan 56
5.9. Bahaya dan Tingkat Bahaya Vulkanik 56
5.10. Resiko Bencana Vulkanik 61
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 67
6.1.Kesimpulan 67
6.2. Saran 68
VII. DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN 72
DAFTAR TABEL
No. Halaman
2.1. Saluran Citra dari Sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat 7)
Serta Kegunaanya 6
2.2. Saluran Citra Dari Citr SPOT-1 7
2.3. Ikhtisar Letusan Gunung Tangkuban Perahu Yang Nyata 13
2.4. Sejarah Keaktifan Gunung Tangkuban Perahu 16
5.1. Nilai OIF Setiap Kombinasi Pada Citra Landsat ETM+ 2005 32
5.2. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra SPOT 1987 dan Luasannya 37
5.3. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat ETM+ 2005 Revisi 2008
dan Luasannya 43
5.4. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008 44
5.5. Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008 44
5.6. Jenis Bentuklahan Wilayah Penelitian 51
5.7. Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Tahun 2008 58
5.8. Nilai (scoring) Tingkat Bahaya Vulkanik 60
5.9. Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik 60
5.10. Nilai (scoring) Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan 62
5.11. Kelas Kisaran Nilai Resiko dan Tingkat Resiko Bencana 63
5.12. Tingkat Resiko Bencana Vulkanik 63
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
2.1. Sistem Penginderaan Jauh 4
2.2. G. Tangkuban Perahu Dilihat Dari Sisi Selatan (Cihideung, Parongpong) 14
3.1. Diagram Alir Tahapan Penelitian 24
4.1. Peta Lokasi Wilayah Penelitian 25
5.1. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Hutan Pada Citra dan di Lapangan 33
5.2. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Badan Air Pada Citra 33
5.3. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Perkebunan
Pada Citra dan di Lapangan 34
5.4. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Tegalan
Pada Citra dan di Lapangan 35
5.5. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Permukiman
Pada Citra dan di Lapangan 36
5.6. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Sawah Pada Citra 36
5.7. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Kawah Pada Citra 37
5.8. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra SPOT 1987 dan Luasannya 38
5.9. Citra Landsat Yang Digunakan Untuk Klasifikasi 39
5.10. Citra SPOT Yang Digunakan Untuk Klasifikasi 40
5.11. Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987 Dari Citra SPOT 41
5.12. Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2008 Dari Citra Landsat 42
5.13. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat 2008 dan Luasannya 43
5.14. Contoh Gambar Penggunaan Lahan di Lapang 45
5.15. Peta Kelas Lereng Daerah Penelitian 48
5.16. Peta Geologi Daerah Penelitian 50
5.17. Peta Bentuklahan Daerah Penelitian 55
5.18. Peta Bahaya Bencana Daerah Penelitian 59
5.19. Jumlah Persen Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik Setiap Kecamatan 60
5.20. Jumlah Persen Tingkat Resiko Bencana Vulkanik 63
5.21. Peta Tingkat Bahaya Vulkanik Daerah Penelitian 64
5.22. Peta Tingkat Resiko Bencana Vulkanik Daerah Penelitian 65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

Gambar Lampiran 1: Contoh Gambar Morfogenesis 72


1. Bentuklahan Vulkanik Aktif (Gunungapi Tangkuban Perahu) 72
2. Bentuklahan Vulkanik Denudasional ( Gunung Burangrang) 72
3. Bentuklahan Tektonik (Patahan Lembang) 73
4. Bentuklahan Denudasional (Longsor Lahan) 73

Tabel Lampiran 1 : Kemiringan Lereng Setiap Kecamatan 74


I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penggunaan lahan adalah setiap intervensi manusia terhadap lahan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya baik materi maupun spiritual (Arsyad, 1989). Penggunaan lahan
merupakan salah satu sumberdaya lahan yang cepat mengalami perubahan (dinamis).
Perubahan penggunaan lahan selain dipengaruhi oleh aktifitas manusia juga dipengaruhi sifat
fisik wilayah.
Wilayah Kabupaten Bandung bagian Utara merupakan wilayah yang paling dekat
dengan gunungapi Tangkuban Perahu yang merupakan gunungapi aktif (active volcano). Hal
ini dapat dilihat dari adanya rangkaian kegiatan aktifitas gunung ini seperti hujan abu tipis
pada tahun 1969, erupsi lumpur di Kawah Ratu pada tahun 1971, bahkan terjadi gejala
kenaikan aktifitas gunung pada tahun 2002 dan 2005. Dengan adanya aktifitas gunungapi juga
adanya sejarah letusan Gunungapi Sunda dan adanya patahan tektonik yang membentang
sepanjang Barat hingga Timur wilayah penelitian mengakibatkan terbentuknya banyak variasi
bentuklahan (landform) berkaitan dengan aktifitas-aktifitas tersebut. Vulkanisme berasal dari
adanya gaya yang bersifat endogenetik di alam dan sebagai hasil dari perubahan fisik maupun
kimia yang terjadi di bagian dalam bumi. Dengan adanya berbagai variasi bentuklahan yang
ada pada wilayah ini, banyak berpengaruh terhadap jenis penggunaan lahannya. Hal ini tentu
berkaitan dengan faktor proses geomorfik yang berlangsung di atas bentuklahan selain
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti batuan induk wilayah, morfologi/topografi, serta
kondisi iklim yang ada di daerah penelitian.
Kegiatan gunungapi selain mempengaruhi topografi wilayah secara nyata, juga dapat
mengancam penduduk di sekitarnya dari bahaya erupsi gunungapi. Erupsi gunungapi tidak
dapat diprediksi kapan akan berlangsung, oleh karena itu mengantisipasi akan terjadinya
bencana tersebut menjadi sangat penting. Perencanaan tata ruang atau penggunaan lahan
wilayah di sekitar gunungapi aktif merupakan salah satu bentuk program mitigasi bencana.

1.2. Perumusan Masalah


Wilayah Bandung bagian Utara merupakan wilayah yang saat sekarang berkembang
menjadi daerah wisata, khususnya wisata gunungapi Tangkuban Perahu. Daya tarik wisata ini
cukup besar karena wisatawan dapat dengan mudah mengunjungi puncak gunung Tangkuban
Perahu dengan kendaraan roda empat untuk melihat kawah kembar gunungapi tersebut Kawah
Upas dan Kawah Ratu atau hanya menikmati pemandangan pegunungan yang indah di
wilayah Lembang dan sekitarnya. Dengan besarnya arus wisatawan menuju ke daerah ini,
maka secara langsung akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan yang cenderung terus
berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam kehidupannya yang sesuai dinamika
sosial-ekonomi di sekitarnya.
Mengingat bahwa wilayah di sekitar Gunungapi Tangkuban Perahu termasuk ke dalam
daerah bahaya letusan vulkanik, sedangkan penggunaan lahannya terus mengalami perubahan,
maka melakukan studi tentang perubahan penggunaan lahan menjadi sangat menarik
dilakukan terutama dikaitkan dengan kondisi geomorfologi dan ancaman bahaya vulkanik.

1.3. Tujuan Penelitian


Berkaitan dengan latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Identifikasi dan pemetaan penutupan/penggunaan lahan pada 2 (dua) titik tahun yang
berbeda dengan menggunakan Citra SPOT (1987) dan Landsat ETM+ (2005).
2. Melakukan analisis hubungan antara penutupan/penggunaan lahan dengan bentuklahan.
3. Melakukan analisis dan pemetaan resiko bencana alam vulkanik yang terdapat di daerah
penelitian.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penginderaan Jauh (inderaja)


Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu
alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan
Kiefer, 1990).
Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera
atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Sensor dipasang pada wahana (platform) dan
letaknya jauh dari obyek yang diindera. Tenaga elektromagnetik yang dipancarkan atau
dipantulkan oleh obyek akan ditangkap oleh sensor, sehingga dapat menghasilkan citra yang
sesuai dengan wujud aslinya. Setiap sensor mempunyai kepekaan spektral yang terbatas, tidak
ada satu sensorpun yang peka terhadap seluruh panjang gelombang elektromagnetik. Sensor
juga terbatas kemampuannya untuk mengindera obyek kecil. Batas kemampuan untuk
memisahkan setiap obyek dinamakan resolusi. Resolusi suatu sensor merupakan indikator
tentang kemampuan sensor atau kualitas sensor dalam merekam obyek. Di dalam citra,
resolusi merupakan parameter limit atau daya pisah obyek yang masih dapat dibedakan. Tiga
resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor yaitu, resolusi spasial,
resolusi spektral, dan resolusi radiometric (Purwadhi, 2001).
Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga, baik secara alamiah maupun
buatan. Tenaga ini mengenai obyek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke
sensor. Ia juga dapat berupa tenaga dari obyek yang dipancarkan ke sensor.Sumber tenaga
alamiah yang baik adalah matahari.
Gambar 2.1. Sistem Penginderaan Jauh.

Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu ( jam, musim) , lokasi,
dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang hari lebih banyak bila
dibandingkan dengan sore hari. Jumlah tenaga matahari yang diterima dipengaruhi oleh
kedudukan matahari terhadap tempat di bumi yang sesuai dengan perubahan musim juga oleh
letak tempat di permukaan bumi. Jumlah tenaga yang dapat mencapai bumi disajikan dalam
formula:
   

E = Tenaga yang mencapai bumi, f = fungsi, w = waktu (jam/musim pemotretan),


l = letak, c = kondisi cuaca.
Tenaga yang diterima oleh sensor dapat berupa tenaga pantulan maupun tenaga
pancaran yang berasal dari obyek di permukaan bumi. Semakin banyak tenaga yang diterima
oleh sensor akan semakin cerah wujud obyeknya pada citra (Sutanto, 1986).
Hasil perolehan tenaga yang diterima oleh sensor menghasilkan citra yang
menampilkan gambar keadaan wilayah yang diterima oleh sensor pada saat itu. Citra
kemudian dilakukan analisis dan interpretasi agar kemudian menghasilkan data informasi
seperti peta dan statistik untuk aplikasi yang menunjang untuk informasi lainnya.
2.1.1. Satelit SPOT
Menurut Curran (1985, dalam Sutanto, 1987) ‘Le Systeme Probatoire d I’Observation
de la Terre’ atau disebut SPOT adalah suatu system satelit Perancis yang merupakan satelit
sumberdaya bumi pertama yang diluncurkan oleh Eropa pada tahun 1985. Nama tersebut
kurang lebih berarti Sistem Percobaan Pengamatan Bumi. SPOT dikelola oleh Centre
National d’Etudes Spatiales (CNES) atau Pusat Nasional Studi Antariksa Perancis yang
bekerja sama dengan Belgia dan Swedia. Seri SPOT dirancang untuk beroperasi hingga
dasawarsa 1990-an. SPOT-1 baru diluncurkan dengan berhasil pada tanggal 27 Februari1986,
dan mengorbit hampir poler, sinkron matahari, dengan ketinggian orbit 832 km. SPOT-1 ini
mempunyai frekuensi perekaman ulang atau resolusi temporal 26 hari, dilengkapi dengan dua
penyiam bentuk sapu, dua pita perekam, dan perlengkapan telemetri untuk mengirimkan data
ke stasiun penerima data di bumi (Purwadhi, 2001). Resolusi spasial citra SPOT-1 adalah 20
m x 20 m untuk band multispektral dan 10 m x 10 m untuk band pankromatik. Saluran
spectral masing-masing disajikan pada tabel 2.2 (www.spotimage.com).

2.1.2. Satelit Landsat


Landsat (Land Satellite) 1 merupakan satelit sumberdaya bumi pertama yang pada
awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite-1) yang diluncurkan pada
tanggal 23 Juli 1972. Hingga kini, Landsat telah memiliki 7 seri yang diberi kode Landsat 1,
Landsat 2, Landsat 3, dan seterusnya.
Landsat merupakan satelit sistem pasif, yaitu satelit yang menggunakan sumber tenaga
alamiah berupa tenaga elektromagnetik ialah paket elektrisitas dan magnetisme yang bergerak
dengan kecepatan sinar pada frekuensi dan panjang gelombang tertentu, dengan sejumlah
tenaga tertentu (Chanlett, 1974 dalam Sutanto, 1986). Tenaga ini tidak tampak oleh mata. Ia
hanya tampak bila berinteraksi dengan benda-benda di atmosfer maupun di permukaan bumi.
Matahari memancarkan tenaga elektromagnetik ke segala arah, sebagian di antaranya
mencapai bumi (Sabin, Jr., 1978 dalam Sutanto, 1986). Landsat memiliki frekuensi
perekaman atau resolusi temporal 16 hari, dengan resolusi radiometrik yang mencakup 8 bit.
Landsat mencakup 7 band multispektral yang memiliki resolusi spasial sebesar 30 x 30 m dan
band pankromatik 15 x 15 m (Samsuri, 2004).
Tabel 2.1: Saluran citra dari sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat 7)
Serta kegunaan utamanya.

Kisaran Panjang
Saluran Kegunaan Utama
Gelombang
Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan
0.45 – 0.52
1 lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan
Gelombang biru
vegetasi dan lahan.
Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada
saluran hijau yang terletak diantara dua
0.52 – 0.60 saluran penyerapan. Pengamatan ini
2
Gelombang hijau dimaksudkan untuk membedakan jenis
vegetasi dan untuk membedakan tanaman
sehat dan tidak sehat.
Saluran terpenting untuk membedakan jenis
vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu
0.63 – 0.69
3 daerah penyerapan klorofil dan memudahkan
Gelombang merah
pembedaan antara lahan terbuka terhadap
lahan bervegetasi.
Saluran yang peka terhadap biomassa
0.76 – 0.90 vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis
4
Gelombang inframerah dekat tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan
tanaman serta air.
Saluran penting untuk penentuan jenis
1.55 – 1.75
5 tanaman, kandungan air tanaman, kondisi
Gelombang inframerah pendek
kelembaban tanah.
Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan
10.40 – 12.50termal vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan
6
Gelombang inframerah sejumlah gejala lain yang berhubungan
dengan panas.
2.085 – 2.35 Untuk membedakan formasi batuan dan untuk
7
Inframerah pendek pemetaan hidrotermal
Saluran ini digunakan untuk meningkatkan
8 0.50 – 0.90
resolusi spasial.
Pankromatik

Sumber: Lillesand dan Kiefer (1990, dalam Zakiah, 2007).

Tabel 2.2 : Saluran citra dari citra SPOT-1

Spektral (mikro
Mode Band Resolusi
meter)
XS Multispektral XS1 0,50 - 0,59 20 m
XS Multispektral XS2 0,61 - 0,68 20 m
XS Multispektral XS3 0,79 - 0,89 20 m
Panchromatique PAN 0,51 0,73 10 m
Sumber : SPOT Asia, 2006.
2.2. Analisis Citra Digital
Citra digital merupakan citra yang elemen-elemenya dinyatakan dengan suatu besaran
numerik yang membentuk suatu array. Elemen citra ini disebut sebagai piksel (picture
element) yang merupakan bagian terkecil dari gambar citra yang mengandung informasi
(Murni, 1992).
Analisis citra digital (Image Processing) adalah proses analisis gambar, dimana bentuk
masukannya adalah suatu gambar atau suatu berkas citra digital dan bentuk keluarannya
adalah suatu deskripsi. Murni (1992) menjelaskan kelebihan dari analisis citra digital sebagai
berikut:
- Pengolahan data dalam jumlah besar dapat dilakukan lebih cepat dan konsisten;
- Dapat melakukan suatu analisis numerik dengan cepat dan konsisten;
- Menghasilkan informasi terkuantifikasi;
- Memudahkan integrasi informasi-informasi kuantitatif lainnya.
- Mampu menganalisis seluruh derajat kecerahan citra secara kuantitatif;
- Mampu menganalisis informasi spektral secara kuantitatif.

2.3. Interpretasi Visual


Interpretasi visual merupakan pembuatan atau mengkaji foto udara dan/atau citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut
(Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986).
Di dalam interpretasi citra, penafsir citra mengkaji citra dan berupaya melalui proses
penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi dan menilai arti obyek citra tersebut, dengan
kata lain penafsir citra berupaya untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra dan
menterjemahkannya ke dalam disiplin ilmu tertentu seperti geologi, geografi, dan lainnya.
Di dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra diperlukan tiga rangkaian
kegiatan yaitu identifikasi, delimitasi, delineasi :
1. Identifikasi merupakan upaya mencirikan obyek yang telah terdeteksi dengan
menggunakan keterangan yang cukup (Sutanto, 1987).
2. Delimitasi merupakan proses pemisahan yang mengawali delineasi yaitu tahap
memisahkan sebaran antar kelas yang satu dengan kelas yang lainnya (Wiradisastra,
1978).
3. Delineasi merupakan suatu bagian dari proses pembuatan peta, yaitu kegiatan yang
berhubungan dengan menarik batas antar satuan-satuan peta (Wiradisastra, 1978).
Hasil interpretasi citra sangat tergantung kepada penafsiran citra beserta tingkat
referensinya. Tingkat referensi ialah keluasan dan kedalaman penafsiran citra. Ada tiga
tingkat referensi yaitu tingkat referensi umum, lokal dan khusus. Tingkat referensi umum
yaitu pengetahuan umum penafsiran citra tentang gejala dan proses yang diinterpretasi.
Tingkat referensi khusus ialah pengetahuan yang mendalam tentang proses dan gejala yang
diinterpretasikan.
Sutanto, (1986) menunjukkan sembilan buah kunci unsur interpretasi citra secara visual yaitu:
1. Rona dan warna : Rona (tone/color tone/ grey tone) ialah tingkat kegelapan pada
citra. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi obyek yang berinteraksi
dengan seluruh spektrum tampak yang sering disebut sinar putih. Jadi rona merupakan
tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Warna ialah wujud yang tampak oleh
mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak.
2. Bentuk : Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memeriksa konfigurasi atau
kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek
yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja.
3. Ukuran : Ukuran ialah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi,
lereng, dan volume. Karena ukuran obyek pada citra merupakan fungsi skala, maka
dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus selalu diingat
skalanya.
4. Tekstur : Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer,
1979) atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan
secara individual ( Estes dan Simonett, 1975).
5. Pola : Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek
bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah.
6. Bayangan : Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di
daerah gelap. Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya
tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar. Meskipun demikian,
bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek yang
justru lebih tampak dari bayangannya.
7. Situs : Bersama-sama dengan asosiasi, situs dikelompokkan ke dalam kerumitan yang
lebih tinggi. Situs diartikan dengan berbagai makna oleh berbagai pakar, salah satunya
adalah bahwa situs merupakan letak suatu obyek terhadap obyek lain disekitarnya
(Estes dan Simonett, 1975). Di dalam pengertian ini, Monkhouse (1974) menyebutnya
situasi, seperti misalnya letak kota (fisik) terhadap wilayah kota (administratif), atau
letak suatu bangunan terhadap persil tanahnya.
8. Asosiasi : Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antar obyek yang satu dengan
obyek yang lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu obyek pada
citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain.
9. Konvergensi bukti : Di dalam mengenali obyek pada foto udara atau pada citra
lainnya, dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu unsur interpretasi citra.
Sebaliknya digunakan unsur interpretasi citra sebanyak mungkin. Semakin ditambah
jumlah unsur interpretasi citra yang digunakan, semakin menciut lingkupnya ke arah
titik simpul tertentu. Inilah yang dimaksud dengan konvergensi bukti (converging
evidence).
2.4. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral
Menampilkan citra komposit dapat dilakukan dengan memilih kombinasi 3 saluran
yang dimasukkan ke dalam layer, yaitu merah, hijau, dan biru (Red Green Blue/RGB). Ketiga
layer ini merupakan warna dasar bagi pembentukan warna yang dapat dilihat di layar monitor.
Pemilihan jenis band menjadi pertimbangan dalam penggunaan data Landsat ETM+ yang
memiliki sistem sensor spektral. (Noviar 2004 dalam Zakiah 2007).
Masing-masing band pada Landsat 7 mempunyai informasi spektral dan kegunaan
yang berbeda seperti yang tercantum pada Tabel di bawah ini. Perbedaan ini dapat
dimanfaatkan untuk membedakan antara obyek yang satu terhadap obyek yang lain.
Putra (2003) menyatakan, berkaitan dengan reflektansi (sifat pantulan) obyek dan
karakteristik kanal yang dimiliki oleh Landsat ETM+, kombinasi optimum untuk
menampilkan citra komposit warna adalah dengan menggunakan 3 band yang terdiri atas satu
sinar tampak (band 1, 2, atau 3), satu band dari inframerah dekat (band 4), dan satu band dari
inframerah pendek (band 5 atau 7). Kombinasi ini cukup ideal karena menggunakan kanal-
kanal yang korelasi antar salurannya rendah dan simpangan baku nilai digital pixel (Digital
Number/DN) yang bersangkutan besar sehingga memberikan keterpisahan yang baik pada
saat klasifikasi.
Metode kuantitatif untuk memaksimalkan informasi 3 band komposit disebut Optimum
Index Factor (OIF) yang dikembangkan oleh Chavez et al. 1982 (dalam Wilkey and Finn,
1996). Metode ini digunakan untuk menentukan kombinasi band yang dapat menyajikan
informasi lebih banyak. OIF mampu mengurutkan kombinasi 3 kanal berdasarkan total
simpangan baku dan koefisien korelasi dari 3 saluran tersebut agar citra yang di-display
menyajikan informasi sebanyak mungkin. Semakin tinggi nilai OIF, maka semakin tinggi
pula variasi informasi yang disajikan. Secara matematis, OIF dihitung sebagai berikut:

  
 
   

Dimana Si, Sj, dan Sk adalah simpangan baku band ke i, j, dan k, sedangkan rij, rik, dan
rjk adalah koefisien korelsi antar band.

2.5. Fusi Citra


Fusi citra merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk mengintegrasikan data
spasial sehingga informasi spasial dan spektral dari setiap data tersebut digabungkan untuk
menghasilkan data baru yang lebih baik (Jurio dan Van Zuidam, 1998 dalam Tejo, 2003). Ada
tiga metode yang dapat digunakan untuk fusi citra (resolution merge), yaitu Principal
Components Merge; Multiplicative; dan Brovey Transform.
Principal Components Merge merupakan metode penggabungan 2 citra yang memiliki
resolusi spasial yang berbeda dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal
Components Analysis/PCA). Karson (1982 dalam Putra, 2003) menyatakan bahwa tujuan
dilakukannya analisis komponen utama adalah untuk memperoleh peubah baru (komponen
utama) yang tidak saling berkorelasi tetapi menyimpan informasi yang terkandung pada
peubah asal.
Multiplicative merupakan suatu teknik fusi yang digunakan untuk meningkatkan
intensitas citra sehingga kenampakan kultural di permukaan bumi dipertegas pada citra
tersebut. (Zakiah, 2007).
Brovey Transform merupakan suatu teknik fusi yang telah dikembangkan untuk
meningkatkan kontras secara visual pada citra. Oleh sebab itu, metode ini tidak cocok bagi
mereka yang ingin tetap mempertahankan nilai radiometer yang asli. Berbeda dengan kedua
metode diatas, dalam metoe ini 3 band telah ditentukan terlebih dahulu untuk dimasukkan ke
dalam perhitungan matematis. (Zakiah, 2007).

2.6. Penajaman Multispasial


Penajaman multispasial merupakan satu atau banyak operasi yang dapat digunakan
untuk memproses gambar secara digital agar dapat membantu dalam interpretasi secara visual
atau mengekstrak informasi kuantitatif yang penting bagi pengguna.
Filtering merupakan salah satu dari proses penajaman citra yang bertujuan untuk
meratakan distorsi (smooth noise), enhance edges, juga menonjolkan (highlight) fitur-fitur
linear atau spasial dalam citra (ER Mapper, 2006).

2.7. Penutup/Penggunaan Lahan


Istilah penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan
bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan
tersebut. Informasi tentang penutup lahan pada umumnya dapat dikenali dengan mudah pada
citra penginderaan jauh. Untuk menafsir penggunaan lahan pada citra penginderaan jauh
didasarkan pada informasi penutup lahannya. Karena informasi penggunaan lahan pada citra
penginderaan jauh didasarkan pada informasi penutup lahannya. (Fakultas Geografi UGM –
Bakosurtanal, 2000). Contoh penutup/penggunaan lahan adalah hutan, semak belukar,
persawahan, permukiman, dan sebagainya.

2.8. Bentuklahan
Istilah bentuklahan memiliki berbagai arti tergantung dari sudut pandang disiplin ilmu
tertentu. Ahli geologi mendefinisikan bentuklahan dalam arti sifat-sifat permukaan yang
memberikan fakta mengenai struktur geologi dan corak-corak kerak bumi. Ahli kehutanan
mengartikan bentuklahan sebagai petunjuk penting baik mengenai sifat-sifat fisik dan kimia
tanah maupun arti yang dapat tampak dari suatu corak permukaan bumi atau kombinasinya.
Ahli tanah menekankan bentuklahan untuk pengenalan bahan induk tanah, tekstur tanah,
potensi kesuburan, kelembaban tanah, drainase tanah, dan tingkat kepekaan terhadap erosi.
2.9. Jenis-jenis Bentuklahan Berdasarkan Morfogenesis
Jenis-jenis bentuklahan menurut morfogenesisnya dapat dibagi menjadi 11 macam, yaitu
(Demek, 1972):
1) Bentuklahan asal proses tektonik : Bentuklahan yang terbentuk akibat dari adanya
proses endogenetik (tenaga/gerakan dari dalam bumi). Contoh bentuklahan asal
proses tektonik antara lain adalah patahan.
2) Bentuklahan asal proses magmatik : Bentuklahan yang terbentuk akibat terjadinya
proses endogenetik dan aktifitas hidro-thermal. Contoh bentuklahan asal proses
magmatik adalah gunungapi.
3) Bentuklahan asal proses fluvial : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya aktifitas
aliran air.
4) Bentuklahan Marin : Bentuklahan sekitar laut dan danau. Pembentukannya tidak
hanya pada pengaruh dari gelombang air laut tapi juga aktifitas fluvial dan eolian.
5) Bentuklahan Aeolin : Bentuklahan yang terjadi akibat angin yang mengikis batuan-
batuan dan memindahkan hasil kikisan ke area lain. Contoh bentuklahan ini adalah
sand dunes.
6) Bentuklahan Glasial : Bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat dari aktifitas
gunung atau es kontinental.
7) Bentuklahan Lakustrin : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya genangan tubuh
air seperti danau.
8) Bentuklahan Denudasional : Bentuklahan yang mengalami proses erosi sehingga
terjadi degradasi.
9) Bentuklahan Biologik : Bentuklahan yang terbentuk akibat proses biologis dan
organisme.
10) Bentuklahan Pelarutan/Karst : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya proses
pelarutan oleh air. Salah satu contoh bentuklahan ini adalah terbentuknya sinkhole
pada dataran karst.
11) Antropogenik : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya perubahan aktivitas
manusia.
2.10. Gunungapi Tangkuban Perahu
Gunung Tangkuban Perahu merupakan Gunungapi Strato dengan tipe kawah kembar
yang terletak pada posisi 6o46’ LS – 107o36’ BT, Kabupaten Bandung Barat Kecamatan
Lembang. Gunung ini muncul sebagai fase paling muda dari komplek gunungapi Sunda,
sebelah Utara Bandung, setelah ini runtuh dan mengalami sesar. Gunung ini memiliki dua
kawah utama yaitu Kawah Upas dan Kawah Ratu dan kelompok kawah parasiter yaitu Kawah
Jurig, Kawah Siluman, Kawah Jarian, Kawah Domas, dan Kawah Badak.

Puncak G. Tangkuban Perahu

Gambar 2.2. G. Tangkuban Perahu di lihat dari sisi Selatan (Cihideung,


Parongpong).

2.11. Kegiatan Gunungapi Tangkubanparahu


Gunungapi Tangkuban Perahu adalah gunungapi baru yang muncul dan membangun diri
di bagian sebelah Timur Kaldera Sunda.
Riwayat letusan Gunungapi Tangkuban Perahu dapat dibagi menjadi 3 perioda
berdasarkan coraknya yakni:
A. Fase eksplosifa (ledakan)
Selama fase ini bahan lepas segala ukuran bertubi-tubi dilontarkan, menutupi
gunungapi sekelilingnya dan dihanyutkan sebagai lahar.
B. Fase efusiva
Fase ini menghasilkan aliran lava yang bersusunan andesit olivin augit basaltik.
C. Fase pembentukan Gunung Tangkuban Perahu yang sekarang.
(Van Bemmelen 1934 dalam Kusumadinata, 1979)
Letusan Gunungapi Tangkuban Perahu selama ini pada umumnya kecil, dapat dibahas
oleh para ahli Belanda Junghuhn, Verbeek-Fennema dan Stehn. Sedangkan gas lemas yang
mengandung H2S, CO2 dan CO yang muncul di beberapa tempat sekitar puncak. Sejarah
aktifitas Gunungapi Tangkuban Perahu secara singkat disajikan pada tabel 2.2. Menurut
Kusumadinata, 1972 Letusan Gunungapi Tangkuban Perahu dewasa ini tergolong perioda C,
atau letusan esplosifa yang relatif kecil dan aliran lava tidak terjadi dan letusan kecil terjadi
tahun 1952.
Diperkirakan bahwa jangka waktu istirahat antara dua letusan yang besar dari Gunungapi
Tangkuban Perahu adalah antara 30-75 tahun sekali. Hal ini dapat dilihat dari ikhtisar letusan
Gunung Tangkuban Perahu yang nyata (Tabel 2.1).

Tabel 2.3. Ikhtisar Letusan Gunungapi Tangkuban Perahu Yang Nyata (Reskowirogo,1990)
TAHUN KETERANGAN
1829-
Istirahat 17 tahun, kenaikkan kegiatan 1842.
1846
1846- Istirahat selama 50 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat selama 1862, 1864, 1888,
1896 1891, 1892, dan 1895.
1896-
Istirahat selama 4 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat dalam 1908 dan 1909.
1900
1900- Istirahat 52 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat dalam 1913, 1920, 1926, 1929, dan
1952 1935.

Istirahat (?) tahun. Kenaikkan kegiatan atau letusan kecil tercatat dalam 1957,
(?)
1960, 1961, 1965, 1967, 1969, 1971, 1984, 1986, 2002, dan 2005.
Tabel 2.4. Sejarah Keaktifan Gunung Tangkuban Perahu
TAHUN KETERANGAN
Antara 4-7 April, terus-menerus selama 3 hari 3 malam terjadi letusan abu dan
batu di Kawahratu dan Domas (Junghuhn, 1853). Neumann van Padang (1951,
1829
p.81) menulis bahwa letusannya bersifat esplosi normal dan hanya terjadi di
Kawahratu.
1846 Erupsi dalam Kawahratu
1862 Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas
1887 Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas
1888 Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas
1910 Letusan dalam Kawahratu menghasilkan abu dan skorea
Pada 20 Mei terjadi letusan lumpur dalam Kawahecoma (Natuurk. Tjidschr. Nedrl.
1929 Ind. 1930), semprotannya mencapai ketinggian 10 m. Neumann van Padang
(1951, p.81) lagi mencantumkannya sebagai letusan phreatik.
Kenaikan Kegiatan dalam Kawahratu. Terjadi sebuah celah di dasar Kawahratu,
sebelah Baratlaut Kawahecoma, selebar 1m dan sepanjang lk 50 m. Pada 27 April
1935
muncu beberapa fumarola baru di sebelah Utara dalam Kawahbadak.
(Mandrapport Vulkanol. Onderz., April 1935)
1946- Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu, awan uap mencapai ketinggian lk 100 m.
1947 Desember-Januari.
1950 Kenaikkan kegiatan (?)
Kegiatan dalam Kawahratu. Pada 22 April tampak bara api pada kelompok
1952 fumarola. Pada 9 Mei Kawahecoma giat, pada 11 Mei tampak awan hitam
mengepul setinggi lk 25 m. Hujan abu tipis sebelah Barat kawah (Suryo, 1952).
1957 Dalam Januari terjadi lubang letusan baru dalam Kawahbaru.
Kegiatan dalam Kawahratu. Pada 22 April tampak bara api pada kelompok
1952 fumarola. Pada 9 Mei Kawahecoma giat, pada 11 Mei tampak awan hitam
mengepul setinggi lk 25 m. Hujan abu tipis sebelah Barat kawah (Suryo, 1952).
1957 Dalam Januari terjadi lubang letusan baru dalam Kawahbaru.
Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu, peluasan tembusan fumarola. Lahirnya
1960
Lubangletusan 1 Mei.
1961 16 Juli, 1 Agustus.
1965 Februari, Maret, Oktober.
1967 April
Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu. Hujan abu tipis mencapai perkebunan the
1969
di sebelah Utara gunung. Mutu daun the karenanya turun.
Tabel 2.4. Lanjutan.
1971 Erupsi lumpur pada Kawahratu
1984 Kenaikkan kegempaan
1986 Kenaikan suhu solfatara pada Kawahratu
2002 Peningkatan kegempaan pada bulan Agustus-September
2005 Peningkatan kegempaan 13-15 April
III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Waktu penelitian dilakukan dalam rentang waktu Juli-September 2008, sedangkan
lokasi penelitian meliputi empat kecamatan yaitu Kecamatan Lembang, Kecamatan
Cimenyan, Kecamatan Parompong dan Kecamatan Cisarua. Keempat kecamatan ini
merupakan wilayah yang paling dekat dengan Gunung Tangkuban Perahu yang termasuk
dalam wilayah Kabupaten Bandung (Kecamatan Cimenyan) dan Kabupaten Bandung Barat

3.2. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan adalah Citra SPOT tahun 1987 dan Citra Landsat ETM+ tahun
2005. Peta Rupabumi skala 1:25000 Lembar Bandung, Lembar Cimahi, Lembar Lembang,
Lembar Ujungberung, Lembar Padalarang, Lembar Wanayasa, Peta Geologi Lembar Bandung
skala 1:100.000, Peta Bahaya bencana wilayah lokasi, GPS, dan camera digital.

3.3. Metode Penelitian


Penelitian ini terdiri dari 5 tahap, yaitu (1) Persiapan, (2) Pengumpulan Data, (3)
Pengolahan Data, (4) Analisis Data, dan (5) Penyajian Hasil. Adapun diagram alir penelitian
disajikan pada Gambar 3.1.
Persiapan meliputi studi pustaka dan penentuan lokasi penelitian. Studi pustaka
dilakukan untuk mempelajari sumber-sumber yang mendukung pelaksanaan penelitian.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan sebagai wilayah yang banyak
memiliki perubahan penggunaan lahan serta wilayah yang dekat dengan gunung berapi
(Tangkuban Perahu).
Pengumpulan data dikelompokkan menjadi dua tahap yaitu di laboratorium dan di
lapangan. Pengumpulan data di laboratorium di antaranya meliputi interpretasi citra,
pembuatan peta kelas lereng digital menurut sistem klasifikasi U.S. Soil Survey Manual, ,
digitasi peta geologi, geomorfologi, dan bahaya vulkanik lembar Bandung. Interpretasi citra
digital untuk penutup/penggunaan lahan dari citra satelit. Sementara pengumpulan data di
lapang meliputi pengamatan dan pengecekan hasil interpretasi penutup/penggunaan lahan
1987 dan 2005 dengan kenyataan di lapangan serta melakukan wawancara dengan penduduk
setempat mengenai penutup/penggunaan lahan saat sekarang dan di masa lalu. Masing-masing
titik wilayah dilakukan pengambilan gambar untuk dapat di sajikan dalam penyajian
hasil/laporan.
Pengolahan Data dilakukan dengan 3 tahap antara lain registrasi, fusi, dan
pemroresan citra digital.
Registrasi diawali dengan melakukan registrasi citra SPOT secara image to image
registration. Proses ini dilakukan dengan menggunakan software ERDAS IMAGINE 9.1
dimana citra SPOT dikoreksi dengan mengacu kepada citra Landsat ETM+ yang telah
terkoreksi. Hasil koreksi kemudian diperiksa tingkat kesalahannya melalui RMS error. Nilai
RMS error merupakan nilai tingkat koreksi geometri secara keseluruhan dimana rumusnya
adalah:
      
! "   "

x’,y’ = koordinat titik yang dianggap benar


x,y = koordinat titik hasil hitungan
(Sumber: Harintaka dan Kartini, 2001.)

Nilai RMS error sebaiknya <1, hal ini agar kesalahan titik dalam koreksi adalah tidak
lebih dari satu piksel. Bila lebih dari satu piksel, maka koreksi harus diulang kembali. Nilai
RMS error pada koreksi geometri citra SPOT adalah 0.95.
Fusi Dikarenaka Citra Landsat ETM+ dan citra SPOT memiliki resolusi yang berbeda,
maka citra Landsat dilakukan proses fusi citra melalui transformasi Brovey (Brovey
Transformation) dengan menggunakan software ERMapper 6.4. Sebelum melakukan fusi,
agar dapat menentukan kombinasi band yang terbaik, maka dilakukan pemilihan kombinasi
band multispektral dengan menggunakan rumus OIF. Nilai Standard Deviasi dan Korelasi
dapat ditentukan melalui software ER Mapper 6.4, dan nilai-nilai tersebut kemudian di
masukkan dalam perhitungan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007.
Hasil yang didapat adalah bahwa kombinasi yang terbaik untuk citra Landsat adalah
kombinasi band 2-4-5.Fusi citra bertujuan untuk meningkatkan resolusi, karena citra SPOT
mempunyai resolusi spasial 20 m, sedangkan citra Landsat mempunyai resolusi spasial 30 m.
Dengan fusi citra Landsat dengan band pankromatiknya (resolusi spasial band 8 = 30 m) maka
resolusi citra Landsat yang dipakai menjadi 15 m. Proses fusi dilakukan dengan metode
Brovey dimana kombinasi band yang akan dipakai ditentukan dan digabungkan terlebih
dahulu (pada citra Landsat ini saya gabungkan band 2-4-5 terlebih dahulu). Lalu hasil
penggabungan 3 band tersebut di fusikan dengan band pankromatiknya (band 8).
Setelah melakukan registrasi citra SPOT dan fusi band pankromatik citra Landsat, maka
masing-masing citra dilakukan proses filtering yang bertujuan untuk meratakan distorsi
(smooth noise), enhance edges, juga menonjolkan (highlight) fitur-fitur linear atau spasial
dalam citra (ER Mapper, 2006).
Pemroresan Citra Digital Setelah proses filtering, maka proses klasifikasi siap untuk
dilakukan. Proses klasifikasi ini dilakukan dengan menggunakan software ERDAS IMAGINE
9.1.
Penggunaan lahan di wilayah studi dilakukan berdasarkngan hasil klasifikasi
+
terbimbing (supervised) pada Citra SPOT (1987) dan Citra Landsat ETM (2005). Dalam
penelitian ini software yang digunakan untuk proses klasifikasi adalah ERDAS IMAGINE
9.1. Proses klasifikasi penggunaan lahan pada masing-masing citra dilakukan dengan
mengambil 10 contoh wilayah (polygon) untuk setiap jenis kelas penggunaan lahan (training
area).
Setelah menentukan polygon-polygon yang mewakili setiap training area, maka
dilakukan proses klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan menggunakan
parametric rule, parallelepiped. Setelah proses klasifikasi, ditentukan juga nilai akurasi
klasifikasi (accuracy assesment). Nilai akurasi pada hasil klasifikasi ditentukan berdasarkan
nilai Kappa, dimana semakin rendah nilai kappa maka semakin besar eror yang terjadi dalam
pemilihan polygon untuk training area. Nilai akurasi yang kurang dari 60 % (<60%) berarti
eror dalam klasifikasi adalah terlalu banyak sehingga perlu diulang. Nilai akurasi pada hasil
klasifikasi dengan masing-masing penentuan titik akurasi secara random dan jumlah poin 50
adalah 88% untuk citra Landsat, dan untuk citra SPOT 96%, sehingga tidak perlu dilakukan
pengulangan.
Agar dapat mempermudah dalam klasifikasi, hasil klasifikasi kemudian dilakukan post
classification dimana distorsi piksel-piksel disatukan dengan metode recode, clump, dan
eliminate. Clump adalah menggabungkan piksel-piksel yang sama menjadi satu kesatuan dan
eliminate adalah membuang piksel-piksel yang terlalu kecil hingga membaur kepada piksel
disekelilingnya yang memiliki kesatuan yang lebih besar. Minimal piksel yang dapat
tergabung dalam eliminate adalah 10 piksel.

Analisis Data. Tahap ini meliputi analisis perubahan penutup/penggunaan lahan,


analisis kemiringan lereng setiap bentuklahan, analisis hubungan peggunaan lahan dengan
bentuklahan, analisis tingkat resiko bahaya bencana vulkanik , dan analisis tingkat resiko
bencana vulkanik di dareah penelitian.
Analisis perubahan penutup/penggunaan lahan dilakukan setelah melalui proses
klasifikasi dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1. Setelah dilakukan proses
klasifikasi masing-masing gambar kemudian dirubah ke dalam bentuk vector (shp) melalui
software Arcview GIS 3.3. Dengan menggunakan fitur xtools dari software Arcview tersebut,
maka luasan masing-masing penggunaan lahan baik dari tahun 1987 dan 2005 yang di revisi
menjadi tahun 2008 yang kemudian disebut peta penggunaan lahan tahun 2008 dapat
ditentukan. Kemudian masing-masing hasil vektor baik pada tahun 1987 dan 2008 kemudian
di overlay sehingga dapat menentukan adanya perubahan penggunaan lahan dari tahun 1987
hingga 2008. Data disajikan dalam luasan hektar, dan diolah menjadi bentuk tabel
menggunakan microsoft excel melalui fitur pivot table.
Analisis kemiringan lereng setiap bentuklahan diawali dengan merubah peta
bentuklahan (landform) analog menjadi bentuk vektor melalui Arcview. Hal ini dilakukan
melalui digitasi on screen. Kemudian membuat peta kelas lereng wilayah penelitian melalui
digitasi kontur dari peta Rupabumi Indonesia. Hasil digitasi kontur kemudian dibuat peta
DEM dan kemudian dibuat peta kelas lereng melalui fitur model builder yang ada pada
software Arcview. Kelas lereng wilayah penelitian adalah berdasarkan ketentuan dari US Soil
Survey.
Hasil digitasi dari peta bentuklahan dan kelas kemiringan lereng kemudian di overlay.
Luasan masing-masing bentuklahan juga luasan dari kelas kemiringan lereng ditentukan
melalui fitur xtools yang kemudian diolah menjadi bentuk tabel melalui pivot table di
microsoft excel. Data tabel memperlihatkan luasan bentuklahan yang paling dominan (dalam
bentuk hektar) yang ada pada kemiringan lereng tertentu, sehinnga dapat menentukan berapa
kelas lereng yang paling dominan ada pada setiap bentuklahan di wilayah penelitian.
Analisis hubungan penggunaan lahan dengan bentuklahan. Analisis ini dilakukan
melalui tumpang tindih antara peta bentuklahan dengan peta penutup/penggunaan lahan.
Tumpang tindih antara peta bentuklahan dengan peta penutup/penggunaan lahan dilakukan
untuk mendapat informasi hubungan antara faktor fisik wilayah yang berpengaruh terhadap
penutup/penggunaan lahan. Faktor fisik wilayah meliputi morfologi, morfogenesis,
morfokronologi, dan batuan yang kesemuanya merupakan parameter dari landform. Peta
penggunaan lahan yag digunakan adalah peta penggunaan lahan tahun 2008. Luasan masing-
masing bentuklahan dan penggunaan lahan ditentukan melalui fitur xtools dan disajikan dalam
bentuk tabel melaui pivot table pada microsoft excel. Tabel ini menyajikan luasan penggunaan
lahan yang paling dominan pada masing-masing bentuklahan, sehingga dapat ditentukan
bentuklahan yang paling dominan digunakan untuk penggunaan lahan tertentu, terutama untuk
jenis penggunaan lahan yang paling pesat perkembangannya di wilayah penelitian.
Analisis tingkat resiko bahaya bencana vulkanik diawali dengan mempersiapkan
peta tingkat bahaya bencana vulkanik analog menjadi dalam bentuk vektor melalui digitasi on
screen pada software Arc View. Kemudian dilakukan skoring dari peta tersebut. Dikarenakan
jenis bahaya vulkanik yang mengancam bersifat menumpuk atau serentak pada kenyataanya
dilapang, maka faktor skoring ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah jenis bahaya yang
mengancam pada wilayah tertentu di wilayah penelitian. Dimana wilayah penelitian yang
paling banyak terancam oleh jenis bahaya penelitian menjadi wilayah yang paling bahaya
tingkat resikonya, sedangkan yang paling sedikit adalah yang paling rendah tingkat resiko
bahaya bencana vulkanik.
Analisis tingkat resiko bencana vulkanik di daerah penelitian. Analisis ini dilakukan
melalui perkalian nilai skoring tingkat resiko bahaya bencana vulkanik dengan nilai skoring
penggunaan lahan. Hasil perolehan skoring yang telah dikalikan kemudian dibagi melalui 30
interval sehingga menghasilkan 5 kelas. Skoring penggunaan lahan dilakukan dengan
pemberian nilai tertinggi untuk jenis penggunaan lahan yang paling banyak menyangkut jiwa
selanjutnya melaui nilai ekonomi pada jenis penggunaan lahan yang ada.
Penyajian Hasil adalah penyajian secara tertulis tentang hasil klasifikasi dan analisis
dan penyajiannya dalam bentuk peta-peta sehingga terbentuk sebuah laporan yang disajikan
dalam bentuk skripsi. Rangkaian metode penelitian ini disajikan secara diagrametis dalam
diagram alir seperti pada Gambar 3.1.
Bentuklahan Peta RBI Citra
Analog

Landsat ETM+ 2005 SPOT 1987


Multispektral Pankromatik

Digitasi Digitasi Kontur

Registrasi
Fusi Brovey
DEM

Bentuk Digital
Kelas Lereng
Pemroresan Citra Digital

Peta Bentuklahan

Post Classification

Peta Bahaya Analog

Tumpang
Tindih

Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan


Digitasi 2005 Tentatif 1987
Hubungan Antara
Penggunaan Lahan dengan
Bentuklahan
Peta Bahaya Bentuk
Digital
Analisis Di Lapang

Skoring
Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan
2005 Rev. 2008 1987

Peta Tingkat
Bahaya Bencana Skoring
Tumpang
Tindih

Peta Tingkat Resiko


Analisis Perubahan
Vulkanik
Penggunaan Lahan

Gambar 3.1. Diagram Alir Tahapan Penelitian


IV. LOKASI PENELITIAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian terdiri dari sebagian wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Bandung Barat. Batas wilayah penelitian yang digunakan adalah pada tingkat administrasi
kecamatan yang tercakup dalam Peta Rupa Bumi Indonesia pada skala 1:25.000. Daerah
penelitian terletak diantara daerah-daerah administrasi lain, yaitu sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta, di sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Padalarang, dan Kecamatan Cikalong Wetan, di sebelah Timur berbatasan dengan
Kecamatan Cilengkrang dan Kabupaten Sumedang, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Ngamprah, dan Kota Bandung (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Peta Lokasi Wilayah Penelitian

4.2. Gambaran Umum Kabupaten Bandung


Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah 3.073,70 km2 dan terletak antara 60,41’ -
70,19’ LS dan 1070,22’ - 1080,5’ BT. Kabupaten Bandung berbatasan dengan Kabupaten
Purwakarta dan Kabupaten Subang disebelah Utara, Kabupaten Cianjur disebelah Barat,
Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut disebelah Timur, dan Kabupaten Garut dan
Kabupaten Cianjur disebelah Selatan, dan Kota Bandung dan Kota Cimahi di bagian Tengah.
Pada tahun 2006, kabupaten yang mempunyai kepadatan penduduk berkisar di atas
2.000 jiwa/km2 sebanyak 19 kecamatan yaitu : Cicalengka, Rancaekek, Majalaya,
Solokanjeruk, Ciparay, Baleendah, Banjaran, Cangkuang, Pameungpeuk, Katapang, Soreang,
Cihampelas, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Cileunyi, Ngamprah, dan
Padalarang. Dengan 3 Kecamatan yang memiliki kepadatan tertinggi yaitu Margaasih (6.648
jiwa/km2), Dayeuhkolot (10.255 jiwa/km2), dan Margahayu (10.861 jiwa/km2). (BPS
Kabupaten Bandung, 2007).

4.2.1. Gambaran Umum Kecamatan Lembang


Kecamatan Lembang memiliki luas wilayah 982.654 km2 dan terletak berbatasan
dengan Kabupaten Subang di bagianUtara, Kecamatan Parongpong di sebelah Barat,
Kabupaten Sumedang di bagian Timur, dan Kecamatan Cimenyan di sebelah Selatan.
Kecamatan ini mempunyai topografi dataran hingga dataran bergelombang dengan
kemiringan lereng dominan 22-55% dan elevasi antara 1.200 m sampai dengan 1.475 m dari
permukaan laut.
Pada tahun 2006, Kecamatan Lembang memiliki 16 desa dan tidak memiliki
kelurahan. Jumlah penduduk Kecamatan Lembang adalah 161.205 jiwa dengan jumlah
penduduk laki-laki 83.219 jiwa dan perempuan 77.906 jiwa. Kepadatan penduduk di
Kecamatan Lembang adalah 1.641 jiwa/km2. Kelompok umur produktif di kecamatan ini
antara lain, 46.833 jiwa untuk penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, 107.198 jiwa untuk
penduduk yang berusia 15 – 64 tahun, dan 7.172 untuk penduduk yang berusia diatas 65
tahun.
Hingga tahun 2006, beberapa komoditas pertanian yang dapat dihasilkan di
Kecamatan Lembang antara lain Padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang
merah, bawang daun, bawang merah, kubis, tomat, cabe besar, kentang, kacang panjang,
buncis, dan labu siam. Di antara komoditi-komoditi tersebut, tanaman kubis adalah tanaman
yang paling menghasilkan yang ditanam di atas lahan dengan luas tanah sekitar 255 Ha dan
rata-rata produksi adalah 375 Kw/Ha.
Selain menghasilkan dalam bidang pertanian, Kecamatan Lembang dapat
menghasilkan produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2006, jumlah hasil produksi antara
lain 1,831,148 kg daging, 35.022.111 kg susu, dan 127.902 kg telur. Jumlah hewan ternak
besar di Kecamatan Lembang antara lain untuk sapi perah 17.164 dengan 2.405 ekor jantan
dan 14.759 ekor betina. Dan untuk sapi potong 296 ekor dengan 147 ekor jantan dan 149 ekor
betina. Sedangkan jumlah hewan ternak kecil di Kecamatan Lembang adalah jenis hewan
ayam buras 145.351 ekor dengan 56.642 ekor jantan dan 88.704 ekor betina (BPS Kabupaten
Bandung, 2007).

4.2.2. Gambaran Umum Kecamatan Parongpong


Kecamatan Parongpong memiliki luas wilayah 433.938 km2 dan terletak berbatasan
dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta di sebelah Utara, Kecamatan Cisarua di
sebelah Barat, Kecamatan Lembang di sebelah Timur, dan Kota Bandung di sebelah Selatan.
Kecamatan ini mempunyai topografi dataran hingga dataran bergelombang dengan
kemiringan lereng dominan 6-13% dan elevasi antara 1.100 m sampai dengan 1.700 m dari
permukaan laut.
Pada tahun 2006, Kecamatan Parongpong memiliki 7 desa dan tidak ada kelurahan.
Jumlah penduduk Kecamatan Parongpong adalah 84.608 jiwa dengan jumlah penduduk laki-
laki adalah sebesar 43.660 jiwa dan perempuan sebesar 40.948 jiwa. Kepadatan penduduk di
kecamatan ini adalah 1,716 jiwa/km2. Kelompok umur produktif di kecamatan ini antara lain
adalah 25.546 jiwa untuk penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, 55.790 jiwa untuk penduduk
yang berusia 15 – 64 tahun, dan 3.272 jiwa untuk penduduk yang berusia di atas 65 tahun.
Hingga tahun 2006, beberapa komoditas pertanian yang dapat dihasilkan di kecamatan
ini antara lain adalah padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, bawang daun, kubis, tomat, cabe
besar, sawi, kacang panjang, buncis, terung, bayam, labu siam, dan wortel. Diantara komoditi-
komoditi tersebut, tanaman labu siam merupakan tanaman yang paling menghasilkan produksi
terbesar dengan luas tanam 21 Ha, luas panen 16 Ha, produksi 209.570 Kw, dan rata-rata
produksi adalah 13.098 Kw/Ha.
Selain menghasilkan dalam bidang pertanian, Kecamatan Parongpong dapat
menghasilkan produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2006, jumlah hasil produksi antara
lain 384.496 kg daging, 11.214.163 kg susu, dan 82.558 kg telur. Jumlah hewan ternak besar
adalah untuk sapi perah 5.246 dengan 656 jantan dan 4.590 betina. Sedangkan jumlah hewan
ternak kecil adalah jenis hewan ayam buras 118.215 ekor dengan 33.629 ekor jantan dan
84.586 ekor betina (BPS Kabupaten Bandung, 2007).

4.2.3. Gambaran Umum Kecamatan Cisarua


Kecamatan Cisarua memiliki luas wilayah 553.641 km2 dan terletak berbatasan
dengan Kabupaten Purwakarta di sebelah Utara, Kecamatan Cikalong Wetan dan Kecamatan
Padalarang di sebelah Barat, Kecamatan Parongpong di sebelah Timur, Kota Bandung dan
Kecamatan Ngamprah di sebelah Selatan. Kecamatan ini mempunyai topografi dataran hingga
bergelombang dengan kemiringan lereng dominan 6-13% dan elevasi antara 1.000 m sampai
dengan 1.900 m dari permukaan laut.
Pada tahun 2006, Kecamatan Cisarua memiliki 8 desa dan tidak ada kelurahan. Jumlah
penduduk Kecamatan Cisarua adalah 62.212 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki adalah
sebesar 30.900 jiwa dan perempuan sebesar 31.312 jiwa. Kepadatan penduduk di kecamatan
ini adalah 1.124 jiwa/km2. Kelompok umur produktif di kecamatan ini antara lain adalah
15.038 jiwa untuk penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, 42.642 jiwa untuk penduduk yang
berusia 15 – 64 tahun, dan 4.532 jiwa untuk penduduk yang berusia di atas 65 tahun.
Hingga tahun 2006, beberapa komoditas pertanian yang dapat dihasilkan di kecamatan
ini antara lain adalah padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, bawang daun,
kubis, tomat, cabe besar, sawi, kacang panjang, buncis, bayam, dan wortel. Diantara
komoditi-komoditi tersebut, tanaman tomat merupakan tanaman yang paling menghasilkan
produksi terbesar dengan luas tanam 56 Ha, luas panen 56 Ha, produksi 21.870 Kw, dan rata-
rata produksi adalah 390,54 Kw/Ha.
Selain menghasilkan dalam bidang pertanian, Kecamatan Cisarua dapat menghasilkan
produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2006, jumlah hasil produksi antara lain 371.469
kg daging, 12.537.238 kg susu, dan 45.714 kg telur. Jumlah hewan ternak besar adalah untuk
sapi perah 6.187 ekor dengan 972 ekor jantan dan 5.215 ekor betina. Sedangkan jumlah
hewan ternak kecil adalah jenis hewan ayam buras 55.142 ekor dengan 19.521 ekor jantan dan
35.621 ekor betina (BPS Kabupaten Bandung, 2007).
4.2.4. Gambaran Umum Kecamatan Cimenyan
Kecamatan Cimenyan mulai tahun 2008 mulai masuk kedalam Kabupaten Bandung
Barat. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 528.712 km2 dan terletak berbatasan dengan
Kecamatan Lembang di sebelah Utara, Kecamatan Parongpong di sebelah Barat, Kecamatan
Cilengkrang dibagian Timur, dan Kota Bandung di sebelah Selatan. Kecamatan ini
mempunyai topografi bergelombang dengan kemiringan lereng dominan 22-55% dan elevasi
antara 812 m sampai dengan 1.550 m dari permukaan laut.
Pada tahun 2006, Kecamatan Cimenyan memiliki 7 desa dan 2 kelurahan. Jumlah
penduduk Kecamatan Cimenyan adalah 90.708 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 47.968
jiwa dan perempuan 42.740 jiwa. Kepadatan penduduk di Kecamatan ini adalah 1.716
jiwa/km2. Kelompok umur produktif di kecamatan ini antara lain adalah 22.132 jiwa untuk
penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, 61.932 jiwa untuk penduduk yang berusia 15 – 64 tahun,
dan 6.644 jiwa untuk penduduk yang berusia diatas 65 tahun.
Hingga tahun 2006, beberapa komoditas pertanian yang dapat dihasilkan antara lain
padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang merah, bawang daun, bawang
merah, kubis, tomat, cabe besar, dan kentang. Diantara komoditi- komoditi tersebut, tanaman
kubis merupakan tanaman yang paling menghasilkan produksi terbanyak dengan luas tanam
yang digunakan adalah 138 Ha, Luas panen 245 Ha, produksi yang dihasilkan sebesar 72.479
Kw, dan rata-rata produksi adalah sebesar 296 Kw/Ha.
Selain menghasilkan dalam bidang pertanian, Kecamatan Cimenyan dapat
menghasilkan produksi daging dan telur. Pada tahun 2006, jumlah hasil produksi antara lain
7.081.998 kg daging dan 248.231 kg telur. Jumlah hewan ternak besar di Kecamatan
Cimenyan adalah untuk sapi potong 1.521 ekor dengan 621 ekor jantan dan 900 ekor betina.
Sedangkan jumlah hewan ternak kecil di Kecamatan Cimenyan antara lain untuk jenis hewan
ayam buras 56.008 ekor dengan 18.992 ekor jantan dan 37.016 ekor betina. Dan untuk ayam
petelur 23.022 ekor dengan 23.022 ekor betina (BPS Kabupaten Bandung, 2007).
.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral


Pada penelitian ini dilakukan proses fusi terlebih dahulu terhadap citra Landsat ETM+
tahun 2005, hal ini dikarenakan resolusi citra Landsat (30 m) adalah lebih rendah di
bandingkan dengan resolusi citra SPOT (20 m), sehingga perlu dilakukan fusi. Pemilihan fusi
yang dilakukan untuk penelitian adalah dengan menggunakan metode Brovey (Brovey
Transformation) dimana pada metode ini, ditentukan terlebih dahulu kombinasi band yang
akan di pakai sebelum di lakukan fusi. Untuk menentukan kombinasi yang terbaik, ditentukan
berdasarkan nilai OIF.
Nilai OIF merupakan suatu metode kuantitatif memaksimalkan nilai kombinasi yang
terbaik untuk proses klasifikasi citra. Nilai OIF ditentukan dengan membagi antara nilai
standard deviasi dan nilai korelasi masing-masing citra pada setiap kombinasi yang ada
(rumus OIF pada Tinjauan Pustaka sub bab 2.4). Nilai standard deviasi dan nilai korelasi
dapat ditentukan melalui ER Mapper yaitu dengan mengkalkulasi nilai statistik citra. Hasil
nilai kalkulasi menampilkan nilai standard deviasi dan nilai korelasi pada setiap band yang
ada di citra. Dengan menggunakan rumus OIF, maka hasilnya adalah sebagai berikut (Tabel
5.1.)
Berdasarkan Tabel 5.1, dapat dilihat hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai OIF
yang tertinggi adalah pada kombinasi 123. Namun Kombinasi band 123 dan kombinasi lain
yang menggunakan band 1 tidak digunakan. Hal ini disebabkan band 1 memiliki kisaran
panjang gelombang yang kecil sehingga hamburannya tinggi. Maka meskipun nilai OIF
tinggi, tapi hasilnya akan tampak baur. Untuk itu, digunakan kombinasi band dengan nilai
OIF tertinggi selain dengan menggunakan band 1, pada hasil saya didapatkan kombinasi band
245 yang terbaik, dan kombinasi tersebut adalah yang digunakan untuk proses fusi.
Tabel 5.1. Nilai OIF setiap kombinasi pada Citra Landsat ETM+ 2005

Kombinasi jum std korelasi OIF

123 110,14 2,86 38,51

124 108,73 2,334 46,585

125 112,32 2,451 45,827

127 100,14 2,605 38,44

128 103,88 2,664 38,992

134 108,01 2,259 47,814

135 111,61 2,41 46,309

137 99,417 2,586 38,444

138 103,16 2,593 39,783

145 110,2 2,255 48,867

147 98,007 2,224 44,068

148 101,75 2,361 43,095

157 101,6 2,406 42,228

158 105,34 2,412 43,674

178 93,153 2,47 37,714

234 99,655 2,405 41,437

235 103,25 2,569 40,19

237 91,06 2,739 33,246

238 94,801 2,719 34,866

245 101,84 2,446 41,635

5.2. Karakteristik Penutupan Lahan/Penggunaan Lahan Pada Citra


Penggunaan Lahan yang didapatkan pada penelitian ini meliputi 7 kelas penggunaan
lahan antara lain (1) Badan air, (2) Hutan, (3) Perkebunan, (4) Tegalan, (5) Kawah, (6)
Permukiman, dan (7) Sawah. Masing-masing karakteristik pada masing-masing citra memiliki
kenampakan yang berbeda pada citra SPOT dan Landsat. (Gambar 5.1. dan Gambar 5.2).
Adapun karakteristik jenis penggunaan lahan pada masing-masing citra disajikan sebagai
berikut :
Hutan, kenampakan hutan di Citra SPOT berwarna biru sedangkan di citra Landsat
berwarna hijau gelap, dengan tekstur lebih kasar. Penutupan/Penggunaan Lahan dominan di
bagian Utara daerah penelitian dengan topografi berbukit. Hal ini dapat dilihat pada citra
pankromatik dimana kenampakan topografi terlihat secara lebih tegas. Berdasarkan
pengecekan lapang, kawasan hutan didominasi oleh tanaman pinus. Adapun contoh
kenampakan di citra disajikan pada gambar di bawah ini.

Citra Landsat Band 542

Gambar 5.1. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Hutan Pada Citra dan di Lapangan.

Badan air , kemanpakan badan air di citra SPOT berwarna gelap menyerupai
bayangan sedangkan di citra Landsat berwarna biru gelap. Badan air yang paling tampak pada
citra adalah di bagian Utara citra khususnya di danau Situ Lembang. Contoh kenampakan di
citra dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5.2. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Badan Air Pada Citra.


Perkebunan, kenampakan perkebunan di citra SPOT berwarna biru cerah sedangkan
pada citra Landsat berwarna hijau cerah dengan tekstur halus. Perkebunan memiliki topografi
yang relatif berbukit. Perkebunan pada wilayah penelitian terletak di bagian Utara penelitian.
Berdasarkan hasil pengecekan di lapang, perkebunan didominasi oleh tanaman teh.

Kenampakan di Lapang
(PTPN.Pangheotan)

Gambar 5.3. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Perkebunan Pada Citra dan di


Lapangan.

Tegalan, kenampakan tegalan di citra SPOT dan citra Landsat memiliki karakteristik
yang sama dengan penutupan/penggunaan lahan perkebunan, namun dari asosiasinya tegalan
terletak di antara/relatif dekat dengan permukiman. Tegalan menempati topografi yang datar
hingga berbukit. Berdasarkan hasil pengecekan lapang, tanaman tegalan didominasi oleh
tanaman sayuran seperti kol, tomat, cabai, dan lejet. Adapun contoh kenampakan di citra
disajikan pada gambar di bawah ini.
Citra Landsat Band 542

Gambar 5.4. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Tegalan Pada Citra dan di


Lapangan.

Permukiman, kenampakan permukiman di citra SPOT berwarna kuning cerah


sedangkan pada citra Landsat berwarna pink kemerahan. Penutupan/penggunaan lahan
permukiman menempati topografi yang datar. Pola permukiman cenderung mengelompok dan
berada pada wilayah yang datar, dominan pada bagian lereng tengah wilayah penelitian. Hasil
pengecekan lapang menunjukkan bahwa bangunan yang termasuk dalam kategori
permukiman adalah kompleks perumahan, rumah toko, dan tempat penginapan. Adapun
contoh kenampakan pada citra disajikan pada gambar dibawah ini.
Citra Landsat Band 542

Gambar 5.5. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Permukiman Pada Citra dan di


Lapangan.

Sawah, kenampakan sawah di citra SPOT berwarna lebih cerah daripada tegalan dan
memiliki pola berpetak-petak (apabila di zoom-in) sedangkan pada citra Landsat berwarna
biru muda dan umumnya pada lembah-lembah bekas sungai. Hal ini juga dipastikan dengan
mencocokkan melalui data penggunaan lahan pada peta Rupabumi Indonesia tahun 2001.
Contoh kenampakan pada citra disajikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 5.6. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Sawah Pada Citra.


Kawah, kenampakan kawah di citra SPOT berwarna kuning menyerupai permukiman
sedangkan pada citra Landsat berwarna ungu. Kawah ini terletak di bagian Utara wilayah
penelitian dan merupakan kawah dari G. Tangkuban Perahu. Contoh kenampakan pada citra
disajikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 5.7. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Kawah Pada Citra.

Hasil citra Landsat dan citra SPOT yang digunakan untuk proses klasifikasi dapat
dilihat pada Gambar 5.9 dan 5.10.

5.3. Penyebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987 di Wilayah Studi


Penggunaan lahan 1987 diperoleh dari pemroresan citra digital citra SPOT 1987
dengan nilai kappa 96%. Hal ini berarti nilai akurasi hasil klasifikasi adalah bagus. Adapun
penyebaran penggunaan lahan tahun 1987 disajikan pada Gambar 5.11, sedangkan penyebaran
luas penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.8.

Tabel 5.2. Jenis Penutupan.Penggunaan Lahan dari Citra SPOT 1987 dan Luasannya

Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas (%)


Air 57.15 0.23
Hutan 9073.04 36.96
Lahan Terbuka/Kawah 30.39 0.12
Perkebunan 145.26 0.59
Permukiman 2115.12 8.62
Sawah 5938.09 24.19
Tegalan 7187.30 29.28
Jumlah 24546.36 100
10000

8000

(Ha) 6000

4000

2000

Gambar 5.8.. Jenis Penutupan/Penggunaan lahan dari Citra SPOT 1987 dan
luasannya.

Berdasarkan pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.8 tampak bahwa hutan mendominasi
daerah penelitian seluas 9.073,04 Ha (36,96%). Luas penggunaan lahan hutan ini diikuti oleh
penggunaan lahan tegalan, sawah, dan permukiman masing
masing-masing
masing 29,28%, 24,19%, dan
8,62%. Adapun grafik masing
masing-masing
masing penggunaan lahan disajikan pada Gambar 5.8.

5.4. Penyebaran Penggunaan Lahan Tahun 2005 verifikasi 2008 di Wilayah


Studi
Penyebaran luas penutup/penggunaan lahan di daerah penelitian yang dihasilkan dari
citra Landsat tahun 2005 revisi 2008 disajikan pada Gambar 5.12. Berdasarkan hasil
klasifikasi penutup/penggunaan lahan dari citra Landsat tahun 2005 dan hasil cek lapangan
pada tahun 2008 (selanjutnya disebut penutup/penggunaan lahan 2008) terlihat bahwa jenis
penutup/penggunaan lahan tegalan menempati luas yang paling besar, yaitu 12
12.268,16 Ha atau
49,98% dari luas total
al wilayah penelitian (Tabel 5.3
5.3).
Jenis penggunaan lahan yang mendekati luas tegalan adalah penggunaan lahan hutan, seluas
(32.68%) disusul berturut-turut
turut permukiman (15,14%), sawah (0,
(0,97%), perkebunan
erkebunan (0.95%),
tubuh air (0,16%),
6%), dan lahan terbuka/kawah (0,
(0,11%).
.
Gambar 5.9. : Citra Landsat Yang Digunakan Untuk Klasifikasi Setelah Melalui Proses Fusi
dan Filtering.
Gambar 5.10. : Citra SPOT Yang Digunakan Untuk Klasifikasi.
Gambar 5.11. Contoh Penggunaan Lahan dan tampak pada Citra SPOT band 123
Gambar 5.12. Contoh Penggunaan Lahan dan tampak pada Citra Landsat ETM+ band 542
Berdasarkan Tabel 5.3 dan Gambar 5.13, penggunaan lahan untuk pertanian.(sawah dan
tegalan) masih dominan di daerah penelitian (sekitar 50%), namun mengalami penurunan
seluas 619.67 Ha atau 2.52%.

Tabel 5.3. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Ci


Citra
tra Landsat ETM+ 2008 dan luasannya

Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas(%)


Air 39,91 0,16
Hutan 8.021,48 32,68
Lahan Terbuka/Kawah 30,39 0,11
Perkebunan 232,3 0,95
Permukiman 3.716,57 15,14
Sawah 237,56 0,97
Tegalan 12.268,16 49,98
Jumlah 24.546,36 100

14000
12000
10000
8000
(Ha)
6000
4000
2000
0

Gambar 5.13.. Jenis Penutupan/Penggunaan lahan dari Citra LANDSAT ETM+


2008 dan luasannya.

5.5. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1987


1987-2008
Berdasarkan Tabel 5.4,, di antara 6 jenis penggunaan lahan yang ada, penggunaan lahan
sawah memiliki persentase perubahan penggunaan lahan yang paling ti
tinggi
nggi yaitu menurun
sebesar 23,22% (5.700,53
53 Ha). Sebaliknya penggunaan lahan permukiman dan tegalan
mengalami pertambahan luas berturut
berturut-turut
turut sebesar 6,52 % (1.601,45 Ha) dan 20,70%
(5.080,86 Ha).
Tabel 5. 4. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008
Jenis Penggunaan 1987 2008 Presentase
Lahan Luas (Ha) Luas(%) Luas(Ha) Luas(%) Perubahan
Air 57,15 0,23 39,91 0,16 -0,07%
Hutan 9.073,04 36,96 8.021,48 32,68 -4,28%
Kawah 30,39 0,12 30,39 0,11 Tetap
Perkebunan 145,26 0,59 232,30 0,95 0,35%
Permukiman 2.115,12 8,62 3.716,57 15,14 6,52%
Sawah 5.938,09 24,19 237,56 0,97 -23,22%
Tegalan 7.187,30 29,28 12.268,16 49,98 + 20,70%
Total 24.546,36 100 24.546,36 100

Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat dan hasil analisis spasial,
terlihat bahwa pola perubahan penggunaan lahan di daerah penelitian bersifat bertahap, yaitu
penggunaan lahan sawah berubah menjadi tegalan, lalu tegalan berubah menjadi permukiman.
Sedangkan untuk penggunaan lahan hutan umumnya berubah menjadi tegalan. Perubahan
penggunaan lahan ini dapat pula disimak dari Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008

Penggunaan Lahan Tahun Penutupan Penggunaan Lahan Tahun 2008


1987
Permukima
Air Hutan Kawah Kebun n Sawah Tegalan
Air 57,15 -2,87 * * +2,89 -0,65 +8,96
9.073,0 +1.302,2
Hutan -5,58 4 * +85,15 +209,25 -571,56 9
Kawah * * 30,39 * * * *
Perkebunan * -50,85 * 145,26 +16,30 -0,04 +2,31
Permukiman -2,69 -100,23 * * 2.115,12 -1.376,81 +0,42
+3.779,3
Sawah -0,61 -272,93 * +0,03 +1.372,59 5.983,09 5
Tegalan -8,36 -624,68 * +1,86 +0,42 -3.796,47 7.187,30
TOTAL LUAS TAHUN 2008 8.021,4 12.268,1
(Ha) 39,91 8 30,39 232,30 3.716,57 237,56 6
(Angka cetak tebal = Total Luas Tahun 1987)
Berdasarkan Tabel 5.5 terlihat bahwa penyusutan penggunaan lahan sawah sebagian
besar berubah menjadi lahan tegalan (sebesar 3.796,47 Ha) dan ini seiring waktu akan
berubah lagi menjadi permukiman (sebesar 1.376,81 Ha). Hal ini dapat di lihat berdasarkan
hasil pengecekan lapang juga melalui wawancara dengan penduduk dimana banyak terbentuk
komplek perumahan baru yang dibangun di atas lahan yang dahulu merupakan tegalan. Selain
itu, daerah penelitian secara dominan menghasilkan tanaman-tanaman hortikultura seperti kol,
cabai, tomat, waluh, dan tanaman hias. Tanaman sayuran dapat menghasilkan 10 ton per hari,
sedangkan tanaman hias dapat dijual dengan harga 10.000-100.000 per satuan pot bunga yang
tergantung pada jenis tanamannya. Adapun contoh gambar di lapang disajikan di bawah ini.

Rumah Komplek Perumahan Pasir Tegalan Yang Ditanami Tanaman Tomat


Kemiri Garden di Lembang di Desa Karyawangi

Rumah Semai Bibit Tanaman Hias


Di Desa Karyawangi

Gambar 5.14. Contoh Gambar Penggunaan Lahan di Lapang

5.6. Kondisi Geomorfologi Daerah Penelitian


Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang
berkembang di wilayah tersebut dimana proses vulkanisme mendominasi kenampakan
geomorfologi di daerah penelitian. Aspek-aspek geomorfologi yang diuraikan mencakup
morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan batuan.
5.6.1. Morfologi
Sekurangnya morfografi daerah penelitian terdiri atas dataran, perbukitan,
pegunungan, dan lembah, sedangkan gambaran morfometri daerah penelitian disajikan dalam
bentuk peta lereng (Gambar 5.15) yang dapat dibedakan menjadi datar (0-2%), landai (2-6%),
agak miring (6-13%), miring (13-22%), sangat miring (22-55%), dan curam (>55%).
Berdasarkan Gambar 5.15, terlihat bahwa kelas kemiringan lereng yang dominan adalah
22-55% (sangat miring). Penyebaran kelas kemiringan lereng ini terutama berada di bagian
Utara daerah penelitian yang mempunyai ketinggian di atas 1.200 m dari permukaan laut dan
di bagian tenggara daerah penelitian yang dibatasi oleh patahan Lembang di bagian Utaranya
(daerah yang berwarna merah tua). Hal ini menunjukkan bahwa proses patahan dan
pengangkatan blok Selatan patahan menyumbang terhadap besarnya kemiringan lereng di
wilayah ini yang mempunyai ketinggian antara 700-1.400 m.
Morfologi dataran di daerah penelitian terletak di bagian tengah dan berbentuk
memanjang arah Timur-Barat (Daerah yang berwarna kuning-biru-hijau). Dataran ini terletak
di sebelah Utara patahan Lembang. Hal ini menunjukkan patahan yang mengalami penurunan
dan kemudian terisi oleh bahan-bahan piroklastik letusan G. Tangkuban Perahu. Menurut
Tjahjono (1998) wilayah ini terisi oleh endapan abu-batuapung (ignimbrite) dari hasil letusan
Gunungapi Sunda-Tangkuban Perahu dari beberapa periode letusan plinian, yaitu sekitar 100
ribu, 50 ribu, dan 35 ribu tahun yang lalu.
Morfologi perbukitan yang tampak di daerah penelitian adalah Gunung Putri yang
merupakan kerucut parasit G. Sunda yang saat sekarang sudah tidak aktif lagi. Selain itu
beberapa perbukitan kecil tampak berada di atas patahan Lembang seperti G. Batu dan yang
lainnya.
Morfologi pegunungan di daerah penelitian membujur dari Barat ke Timur di sepanjang
bagian Utara daerah penelitian. Morfologi ini merupakan bagian dari tubuh kompleks
gunungapi Sunda (Sunda Complex) yang terletak di bagian Utara Bandung (Van Bemmelen,
1949).
Morfologi lembah merupakan salah satu penciri bentuklahan yang berkembang di daerah
penelitian. Bentuklahan ini merupakan hasil proses erosi vertikal yang berkembang pada
sungai-sungai di daerah penelitian yang mengalir ke arah Selatan. Berhubung material batuan
yang mengisi lembah-lembah sungai tersebut terdiri dari bahan ignimbrite maka hasil proses
erosi tersebut membentuk tebing-tebing lembah-lembah yang curam.

5.6.2. Morfogenesis
Morfogenesis bentuklahan di daerah penelitian didominasi oleh proses Vulkanik. Hal
ini sangat wajar disebabkan daerah penelitian merupakan bagian dari kompleks Gunungapi
Sunda. Namun demikian beberapa bentuklahan dari morfogenesis yang berbeda juga muncul,
seperti tebing patahan (fault scarp) yang dihasilkan oleh proses tektonik, dan dataran
Lakustrine yang dihasilkan dari proses genangan air (danau). Dataran ini terletak tepat di
bagian Utara patahan Lembang, yang mengindikasikan bahwa terbentuknya danau
diakibatkan oleh terbendungnya sungai yang berasal dari kompleks gunungapi Sunda oleh
adanya proses patahan yang menghasilkan tebing patahan Lembang. Danau tersebut saat
sekarang telah mengering dan menyisakan suatu dataran lakustrin (Tjahjono, 1998). Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 5.17.
G. Tangkuban Perahu

G. Burangrang

G. Putri

G. Batu

Gambar 5.15. Peta Kelas Lereng Daerah Penelitian

Sumber Peta : (Tjahjono, 1998)


5.6.3. Morfokronologi
Berdasarkan Peta Geologi, daerah penelitian (Gambar 5.16) seluruh bentuklahan di
daerah penelitian terbentuk pada zaman quarter (Quarternary), sedangkan Kerucut Vulkanik
Aktif Tangkuban Perahu terbentuk pada zaman Pleistosen-Halosen. Kerucut tersebut
terbentuk setelah terjadinya Kaldera Gunung Sunda pada zaman Pleistosen dan berkembang
hingga sekarang.

5.6.4. Batuan
Berdasarkan pada Peta Geologi pada Gambar 5.16. Jenis batuan induk pada wilayah
penelitian dapat dibedakan menjadi 6 formasi, yang diberi kode Qob, Qvu, Qyd, Qyl, Qyt,
dan Qyu. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Qob (Hasil gunungapi yang lebih tua)
Breksi dan lahar dan pasir tufa berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil.
2. Qvu (Hasil gunungapi yang lebih tua)
Breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang-seling.
3. Qyd (Tufa pasir) Tufa pasir coklat sangat sarang, mengandung kristal-kristal hornblende
yang kasar, lapisan lapilli, breksi, dan lahar lapuk kemerah-merahan.
4. Qyl (Hasil gunungapi tua, lava)
Lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya basal dan sebagian telah
terpropilitisasikan.
5. Qyt (Tufa berbatu apung)
Pasir tufaan, lapilli, bom-bom, lava berongga dan kepingan-kepingan andesit-basal padat
yang bersudut dengan banyak bongkah-bongkah dan pecahan batuapung. Berasal dari
G.Tangkuban Perahu.
6. Qyu (Hasil gunungapi tua tak teruraikan)
Pasir tufaan, lapilli, breksi, lava, aglomerat. Sebagian berasal dari G. Tangkuban Perahu
dan sebagian dari G. Tampomas.
Gambar 5.16. Peta Geologi Daerah Penelitian

Sumber Peta : Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa


(1973)
5.7. Bentuklahan Di Daerah Penelitian
Berdasarkan kondisi geomorfologi tersebut, daerah penelitian dibagi dalam beberapa
jenis bentuklahan yang selengkapnya disajikan pada Gambar 5.17 sedangkan luasannya
disajikan pada Tabel 5.6. Dari tabel tersebut terlihat bahwa bentuklahan Lereng Tengah
Kompleks Sunda merupakan bentuklahan terluas di daerah penelitian, yaitu 211,64 Ha
(45,12%).

Tabel 5.6. Jenis Bentuklahan Wilayah Penelitian


Jenis Bentuklahan di
Wilayah Penelitian Luas(Ha) Luas(%)
Danau 47,82 0,19
Dataran Dasar Kaldera 222,08 0,90
Dataran Laharik 192,49 0,78
Dataran Lakustrin 166,23 0,68
Dinding Kaldera
Gunung Sunda 186,23 0,76
Kerucut Lava
Denudasional 457.49 1,86
Kerucut Vulkanik
Denudasional 4.000,83 16,30
Kerucut Vulkanik
Gunung Tangkuban
Perahu 1.267,27 5,16
Lembah Ignimbritik
Denudasional 3.526,83 14,37
Lereng Talus Tebing
Kaldera 211,64 0,86
Lereng Tengah
Kompleks Sunda 11.076,49 45,12
Longsor Lahan 100,27 0,41
Plateau Ignimbritik 3.002,79 12,23
Tebing Patahan
Lembang 87,90 0,36
Grand Total 2.4546,36 100,00

Bentuklahan di wilayah penelitian terdiri dari 13 jenis seperti yang tersaji pada Gambar
5.17. Karakteristik singkat dari masing-masing bentuklahan diuraikan sebagai berikut
(Tjahjono, 1998) :
Dataran Dasar Kaldera. Bentuklahan ini terletak di sekitar lereng kaki kerucut vulkanik
Tangkuban Perahu yang mempunyai morfologi dataran atau mempunyai kelas lereng 0-2 %.
Bentuklahan ini merupakan endapan piroklastik yang tersusun atas bahan abu-batuapung
(ignimbrite) hasil letusan Gunungapi Sunda yang terperangkap di dalam kaldera Sunda. G.
Tangkuban Perahu sendiri lahir di dalam kaldera Sunda dan menempati sisi Timur, sehingga
pada sisi Barat dan Selatan masih menyisakan dasar dari kaldera yang dikelilingi oleh tebing
kaldera yang curam dan berbentuk melingkar di sisi Utara.
Dataran Laharik. Bentuklahan ini terletak di sekitar lereng kaki kerucut vulkanik
Tangkuban Perahu bagian Utara. Mempunyai bentuk seperti kipas dan di lapangan terdiri atas
bongkahan-bongkahan batuan vulkanik. Bentuklahan ini memiliki topografi yang relatif datar
dengan kemiringan lereng 6 – 13%. Dataran ini merupakan dataran hasil dari endapan laharik
dari G. Tangkuban Perahu.
Dataran Lakustrin. Dataran ini terletak di bagian tengah daerah penelitian. Dataran ini
memiliki topografi relatif datar dengan kemiringan lereng pada kelas kemiringan 6 – 13%.
Dataran ini merupakan dataran hasil pengendapan genangan air danau pada masa lampau yang
terbentuk karena tertahannya aliran air sungai diakibatkan oleh terbentuknya tebing patahan
Lembang. Seiring dengan waktu, air mencapai suatu celah dan membentuk aliran baru
sehingga air danau tersebut menyurut dan meninggalkan dasar danau yang berbentuk dataran.
Dinding Kaldera G.Sunda. Bentuklahan ini terdapat di bagian Utara wilayah penelitian,
memiliki topografi berbukit dan curam dan memiliki kelas kemiringan lereng 22 – 55%.
Bentuklahan ini merupakan bagian dari kaldera G. Sunda yang runtuh dan berbentuk dinding
yang melingkar, namun dinding di bagian Selatan dan Timur terkubur oleh endapan
ignimbritik.
Kerucut Lava Denudasional. Bentuklahan ini terletak di sepanjang patahan Lembang
yang merupakan bekas kerucut lava parasit dari G.Sunda yang terbentuk melalui celah
(lineament) Lembang pada saat patahan belum terjadi. Pada saat patahan tersebut terbentuk
maka sebagian dari tubuh kerucut lava tersebut terangkat dan sebagian yang lain turun. Yang
terakhir ini akhirnya terkubur oleh endapan ignimbrite. Gunung Batu di Lembang merupakan
contoh dari bentuklahan ini yang memiliki topografi yang berbukit dengan kemiringan lereng
dominan 22 – 55%.
Kerucut Vulkanik Denudasional. Bentuklahan ini terletak di sepanjang bagian Utara
wilayah penelitian, di sebelah Selatan Dataran Dasar Kaldera hingga di ujung Timur.
Bentuklahan ini merupakan bagian dari kerucut G.Sunda dan gunungapi-gunungapi lain di
Kompleks Sunda. Bentuklahan ini memiliki topografi yang berbukit dengan kemiringan
lereng dominan 22-55% dan tersusun oleh perselingan batuan lava dan piroklastik.
Kerucut Vulkanik G. Tangkuban Perahu. Bentuklahan ini terletak di bagian Utara
wilayah penelitian dan merupakan bagian dari kerucut G. Tangkuban Perahu. Gunungapi ini
merupakan gunungapi yang terbentuk di dalam kaldera G.Sunda yang dekat dengan dinding
bagian Timur. Topografi bentuklahan ini berbukit dengan kemiringan lereng yang relatif
curam antara 22 – 55%. G. Tangkuban Perahu merupakan gunungapi strato-volkano yang
berstatus aktif hingga saat ini.
Lembah Ignimbritik Denudasional. Lembah ini berada pada bagian tengah dan bagian
Selatan wilayah penelitian. Lembah-lembah ignimbritik merupakan lembah-lembah hasil erosi
dari sungai-sungai yang mengalir ke arah Selatan. Berhubungan endapan yang dikikis
merupakan endapan ignimbritik atau mengandung batu apung maka dinding-dinding lembah
tersebut tersusun dari endapan ignimbrite. Dinding-dinding lembah memiliki kemiringan
lereng yang relatif curam yaitu 22 -55%.
Lereng Talus Tebing Kaldera. Bentuklahan ini terletak di bawah tebing kaldera. Lereng
ini terbentuk oleh proses pengendapan hasil erosi dan jatuhan (fall) yang terjadi dari dinding
kaldera. Kemiringan lereng dataran ini cukup tinggi yaitu ada pada kemiringan lereng 22 – 55
%. Pada bentuklahan ini banyak ditemui bongkah-bongkah batuan dan kerikil.
Lereng Tengah Komplek Sunda. Bentuklahan ini berada di bagian Selatan Kerucut
Vulkanik Denudasional yang memiliki topografi relatif berbukit dengan kemiringan lereng
dominan 22 – 55 %. Lereng ini sebenarnya merupakan bagian dari lereng G.Sunda dan
gunungapi-gunungapi lainnya di dalam Kompleks Sunda, yang terpatahkan dan terangkat oleh
proses tektonik yang melahirkan patahan Lembang. Bentuklahan ini juga tersusun oleh batuan
lava dan piroklastik yang telah lapuk menjadi tanah.
Longsor Lahan. Bentuklahan ini ada pada bagian Utara wilayah penelitian pada sisi
bagian Barat Kerucut Vulkanik Tangkuban Perahu. Bentuklahan ini memiliki topografi yang
relatif datar dan pada kemiringan lereng 6 – 13%. Bentuklahan ini merupakan hasil endapan
dari longsor yang terjadi dari bagian-bagian kerucut vulkanik G.Tangkuban Perahu. Pada
bentuklahan ini di temukan banyak bongkahan-bongkahan batuan lava.
Plateau Ignimbritik. Dataran ini terletak di bagian tengah wilayah penelitian yang
memiliki kemiringan lereng relatif datar yaitu antara 0 – 2%, 2 – 6% dan 6 – 13%. Dataran ini
merupakan hasil dari endapan aliran piroklastik ignimbritik dari letusan G.Sunda yang
terperangkap di dalam blok patahan Lembang yang turun. Oleh karena itu bentuklahan ini
mempunyai topografi yang relatif datar.
Tebing Patahan Lembang. Tebing ini terbentang memanjang di bagian tengah wilayah
penelitian yang memiliki kemiringan lereng yang curam yaitu >55%. Tebing patahan di
daerah Timur adalah yang paling menonjol dikarenakan mempunyai ketinggian lebih dari 100
m dibandingkan dengan tebing yang berada di bagian Barat. Berhubung bentuklahan ini
terlihat vertikal, maka pada peta hanya terbentuk garis atau polygon yang sempit memanjang.
Tebing ini tersusun atas batu lava dan endapan piroklastik.
Gambar 5.17. Peta Bentuklahan Daerah Penelitian

Sumber Peta : (Tjahjono, 1998)


5.8. Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan hasil aktifitas manusia di atas bentuklahan, oleh sebab itu
hubungan antara keduanya cukup bervariasi tergantung pada kondisi sosial budaya
masyarakat dan geomorfologi wilayahnya.
Berdasarkan hasil Tabel 5.7, penggunaan lahan tegalan merupakan penggunaan lahan
yang paling banyak tersebar di berbagai bentuklahan, yaitu lebih dari 45% menempati
bentuklahan plateau ignimbritik, lereng tengah kompleks Sunda, lereng talus tebing kaldera,
lembah ignimbritik denudasional, dataran lakustrin, dan dataran
dasar kaldera. Adapun penggunaan lahan permukiman paling banyak menempati bentuklahan
plateau ignimbritik dan dataran lakustrin, yaitu menempati lebih dari 25% dari luas masing-
masing bentuklahan tersebut.
Hal ini disebabkan penggunaan lahan tegalan tidak mempunyai kendala morfologi
bentuklahan (pada berbagai kemiringan lereng), sedangkan permukiman mempunyai kendala
morfologi yaitu hanya pada morfologi yang datar.

5.9. Bahaya dan Tingkat Bahaya Vulkanik


Pada daerah penelitian terdapat 7 jenis bahaya vulkanik yang mengancam dan dapat
menimpa di dalam wilayah penelitian, yaitu bahaya gelombang piroklastik, bahaya jatuhan
piroklastik, bahaya jatuhan batu apung, bahaya aliran lahar, bahaya aliran lava, dan bahaya
aliran piroklastik (Tjahjono, 1998). Wilayah yang terancam oleh bahaya vulkanik tersebut
disajikan pada Gambar 5.18.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Bahaya Gelombang Piroklastik
Bahaya aliran turbulen suspensi campuran gas dan padatan yang bergerak di atas
permukaan tanah yang dikaitkan dengan kecepatan tinggi oleh pelepasan gas yang mendadak
yang tidak terlalu mengikuti topografi sebagaimana aliran piroklastik.
2. Bahaya Jatuhan Piroklastik
Bahaya tephra yang dilontarkan pada sudut tinggi dan diendapkan setelah jauh melewati
atmosfer.
TABEL 5.7.

Tabel 5.7. Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Tahun 2008


HUBUNGAN BENTUKLAHAN DAN PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 2008 (%

LRGTLUSTBKAL

LTTGHKMSUN
Jenis Penggunaan

LB.IGNMDN
Di.KALSUN
Lahan 2008

K.LVDN
DDKAL

K.VDN
D.LAK
D.LHR

K.VTP
Danau

AIR 0.38 17.1 0.05


HTN 80.99 4.82 76.38 1.02 98.04 37.6 65.97 83.43 18.06 27.65 22.21
KWH 2.35
KBN 46.97 0.02 18.12 0.01 14.38 13.43 9.62 12.65 19.41 10.91
PRMKMN 2.28 26.86 8.52 2.5 0.34 22.8 0.279 17.23
SWH 0.03 0.52 1.8
TGLN 18.63 45.93 6.5 54 1.95 18.07 4.26 45.97 52.67 47.81

Keterangan :
DDKAL = DATARAN DASAR KALDERA K.LVDN = KERUCUT LAVA DENUDASIONAL
LRGTLSTBGKAL = LERENG TALUS TEBING KALDERA
D.LHR = DATARAN LAHARIK K.VDN = KERUCUT VULKANIK DENUDASIONAL LONGLHN =
LONGSOR LAHAN
D.LAK = DATARAN LAKUSTRIN K.VTP = KERUCUT VULKANIK TANGKUBAN PERAHU PLTIGNM =
PLATEAU IGNIMBRITIK
D.KALSUN = DINDING KALDERA G. SUNDA LB.IGNMDN = LEMBAH IGNIMBRITIK DENUDASIONAL TBPTHLMB =
TEBING PATAHAN LEMBANG
3. Bahaya Aliran Piroklastik
Bahaya kepingan padat, dengan/ tanpa partikel yang mencair, tersuspensi dalam gas yang
panas dan mengembang didorong oleh gaya gravitasi bergerak/ mengalir secara turbulen di
atas permukaan tanah.
4. Bahaya Aliran Lahar
Aliran bahan rombakan dari gunungapi yang heterogen bercampur dengan air pada suhu
lebih rendah dari titik didih, mungkin dibentuk selama letusan atau proses setelahnya karena
lereng yang tidak stabil.
5. Bahaya Aliran Lava
Bahaya ini berupa aliran batuan cair pijar yang keluar dari sumber vulkanik dan menuruni
lereng melalui lembah yang ada.
6. Bahaya Jatuhan Batu Apung
Bahaya ini berupa jatuhan gelas felsic sangat berongga dengan komposisi menengah
sampai silika, yang berhubungan dengan letusan eksplosif magma kental yang kaya akan gas.
(letusan Plinian).
(Peraturan Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2008) dengan modifikasi.
Agar dapat melihat tingkat bahaya vulkanik yang menimpa daerah penelitian, maka
dilakukan pemberian nilai (scoring) yang ditentukan berdasarkan jumlah jenis bahaya yang
menimpa suatu area tertentu di wilayah penelitian dimana tingkat tertinggi merupakan area
yang paling banyak diancam oleh proses vulkanik, sedangkan tingkat terendah adalah yang
paling sedikit diancam oleh jenis bahaya. Mengingat bahwa sebagian besar jenis bahaya
vulkanik ini dapat terjadi bersamaan, dan dapat membahayakan jiwa maupun merusak
bangunan, maka jenis bahaya vulkanik ini tidak di beri bobot dalam penelitian ini atau
dianggap mempunyai bobot yang sama. Nilai scoring yang ditentukan adalah sebagai berikut.
(Tabel 5.8).
Gambar 5.18. Peta Bahaya Bencana Daerah Penelitian
Tabel 5.8.. Nilai (scoring) Tingkat Bahaya Vulkanik
Tingkat Bahaya Vulkanik Score Jumlah Jenis Bahaya Yang Mengancam
Tinggi 5 5-7
Agak Tinggi 4 4
Sedang 3 3
Agak Rendah 2 2
Rendah 1 0-1

Berdasarkan penilaian tersebut dapat dihasilkan peta tingkat bahaya vulkanik seperti
yang disajikan pada Gambar 5.20. Dari peta tingkat bahaya vulkanik tersebut apabila
ditumpang tindihkan dengan peta administrasi daerah penelitian, maka dapat diketahui luas
penyebaran wilayah tingkat bahaya vulkanik dari masing
masing-masing
masing kecamatan seperti yang
disajikan pada
da tabel 5.9 dan Gambar 5.19.

Tabel 5.9.. Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik


TINGKAT BENCANA VULKANIK
Grand RENDAH AGAK RENDAH SEDANG AGAK TINGGI TINGGI
Kecamatan
Total (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%)
Cimenyan 4.841,47 4.699,71 97,07 72,36 1,49 69,41 1,43 0 0 0 0
Cisarua 5.540,55 3.059,44 55,52 1.517,13 27,38 771,15 13,92 75,41 1,36 117,43 2,12
Lembang 9.849,17 3.977,55 40,39 847,5 8,61 2.715,64 27,57 305,55 3,1 2.002,41 20,33
Parongpong 4.314,73 1.138,08 26,38 408,9 9,48 980,38 22,72 53,71 1,24 1.733,72 40,18
Total 24.546,36 12.874,78 2.845,89 4.536,58 434,66 3.853,56

100 Rendah
Agak Rendah
80 Sedang
Agak Tinggi
60 Tinggi
(%)

40

20

0
Cimenyan Cisarua Lembang Parongpong

Gambar 5.19. Jumlah Persen Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik Setiap Kecamatan
Dari Tabel 5.9 tersebut terlihat bahwa Kecamatan Parongpong merupakan Kecamatan
yang paling terancam oleh bahaya vulkanik, karena 64,14% wilayahnya masuk ke dalam
tingkat bahaya sedang sampai tinggi sedangkan 35,86% wilayahnya masuk dalam kategori
agak rendah sampai rendah. Kecamatan lain yang masuk kedalam kategori terancam besar
adalah Kecamatan Lembang dimana 51% wilayahnya masuk ke dalam tingkat bahaya sedang
sampai tinggi dan selebihnya masuk ke dalam tingkat agak rendah sampai rendah. Adapun
Kecamatan yang paling aman di daerah penelitian adalah Kecamatan Cimenyan karena
98,56% wilayahnya masuk ke dalam kategori tingkat bahaya agak rendah sampai rendah.
Berdasarkan hasil tingkat bahaya vulkanik dapat diketahui bahwa untuk Kecamatan
Parongpong merupakan kecamatan yang beresiko tertinggi. Sebaliknya Kecamatan Cimenyan
merupakan kecamatan dengan tingkat bahaya terendah.

5.10. Resiko Bencana Vulkanik


Resiko adalah tingkat kemungkinan mengalami kerugian dari ancaman yang ada pada
suatu area tertentu. Dalam penelitian ini, resiko bencana diperoleh dari hasil analisis antara
peta tingkat bahaya vulkanik dengan peta penutup/penggunaan lahan tahun 2008. Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penilaian (scoring) terhadap jenis
penutup/penggunaan lahan yang ada di daerah penelitian.
Nilai (scoring) setiap jenis penggunaan lahan ditentukan berdasarkan adanya jumlah
jiwa dan nilai ekonomi pada setiap penggunaan lahan. Jiwa manusia dianggap mempunyai
nilai yang paling tinggi sehingga penggunaan lahan permukiman diberi score paling tinggi
(Tabel 5.10), sedangkan yang lainnya diperhitungkan berdasarkan nilai ekonominya.
Perkebunan diberi nilai kedua tertinggi dikarenakan perkebunan yang ada pada wilayah
penelitian memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan sawah dan tegalan yang
bersifat pribadi. Perkebunan yang ada pada wilayah penelitian merupakan perkebunan teh
milik negara (PTPN Pangheotan). Berdasarkan hasil wawancara pegawai PTPN Pangheotan
di tempat penelitian, produksinya memiliki kualitas eksport dimana harga teh dapat mencapai
$2 / kilogram. Selain hal tersebut, disekitar kawasan perkebunan disediakan tempat wisata
alam. Hutan diberi nilai ketiga tertinggi dikarenakan banyak dari kawasan hutan yang juga
dijadikan wisata alam yaitu Taman Hutan Raya Djuanda dan Taman Hutan Raya Cikole.
Tegalan dan sawah diberi nilai yang sama dan lebih rendah daripada hutan karena lahan
sawah dan tegalan masih bersifat pribadi, juga sering mengalami perubahan. Kawah diberi
nilai kedua terendah dari air, dikarenakan merupakan pusat terjadinya letusan, namun di
daerah sekitar kawah juga dijadikan wisata alam sehingga masih memiliki nilai ekonomis.
Badan air diberi nilai terendah karena jumlah badan air tidak terlalu mempengaruhi dinamika
ekonomi yang ada pada wilayah penelitian.
Resiko bencana selanjutnya dihasilkan dari perkalian antara Tingkat Bahaya x Jenis
Penggunaan Lahan, sedangkan Tingkat Resiko bencana dibagi dalam 5 kelas berdasarkan
hasil perkalian tersebut. Yang dibagi dengan interval 30 (Tabel 5.11). Berdasarkan cara
tersebut selanjutnya dapat dihasilkan Peta Resiko Bencana Vulkanik di daerah penelitian
seperti yang disajikan pada Gambar 5.22. Adapun luasan daerah tingkat resiko dari masing-
masing kecamatan disajikan pada Tabel 5.12 dan Gambar 5.21.

Tabel 5.10. Nilai (scoring) Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan

Penutupan/Penggunaan Lahan Score

Air 1
Hutan 15
Lahan Terbuka (Kawah) 5
Perkebunan 20
Permukiman 30
Sawah 10
Tegalan 10

Tabel 5.11. Kelas Kisaran Nilai Resiko dan Tingkat Resiko Bencana
Tingkat Resiko Bencana Nilai Resiko
Rendah 1 - 29.9
Agak Rendah 30 - 59.9
Sedang 60 - 89.9
Agak Tinggi 90 - 119.9
Tinggi 120 - 150
Tabel 5.12.. Tingkat Resiko Bencana Vulkanik
TINGKAT RESIKO BENCANA VULKANIK
Kecamatan Grand RENDAH AGAK RENDAH SEDANG AGAK TINGGI TINGGI
Total
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
Cimenyan 4.841,91 3.802,42 78,53 1.034,91 21,37 3,58 0,07 1,00 0,02 0,00 0,00
Cisarua 5.540,55 3.778,75 68,20 1.432,44 25,85 169,03 3,05 103,76 1,87 56,57 1,02
Lembang 9.849,17 4.085,80 41,48 3.287,02 33,37 1639,08 16,64 695,44 7,06 141,82 1,44
Parongpong 4.314,73 970,83 22,50 1.583,46 36,70 1.327,51 30,77 395,73 9,17 37,20 0,86
Total 2.4546,36 1.2637,80 7.337,83 3.139,20 1.195,93 235,59

80 Rendah

70 Agak Rendah

60 Sedang
Agak Tinggi
(%) 50
Tinggi
40
30
20
10
0
Cimenyan Cisarua Lembang Parongpong

Gambar 5.21. Jumlah Persen Tingkat Resiko Bencana Vulkanik


Gambar 5.20. Peta Tingkat Bahaya Vulkanik Daerah Penelitian
Gambar 5.22. Peta Tingkat Resiko Bencana Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil Tingkat Resiko Vulkanik, Kecamatan Parongpong merupakan
kecamatan dengan tingkat resiko bencana vulkanik tertinggi. Hal ini dikarenakan 40.80%
wilayahnya masuk ke dalam tingkat resiko sedang sampai tinggi. Hal ini diikuti oleh
Kecamatan Lembang yang memiliki 25.14% wilayahnya masuk ke dalam tingkat resiko
sedang sampai tinggi. Sebaliknya Kecamatan Cimenyan merupakan kecamatan dengan
tingkat resiko bencana vulkanik yang rendah. Hal ini dikarenakan Kecamatan Cimenyan
mempunyai 99.91% wilayahnya masuk ke dalam tingkat resiko agak rendah hingga rendah.
Tingkat Resiko Bencana Vulkanik tertinggi ditentukan berdasarkan hasil penjumlahan dari
tingkat sedang hingga tinggi dikarenakan tingkat resiko sedang dan agak tinggi dianggap
termasuk perlu dalam pertimbangan karena cukup mempengaruhi dalam resiko. Sedangkan
Tingkat Resiko Bencana Vulkanik terendah juga dipertimbangkan melalui penjumlahan agak
rendah hingga rendah dikarenakan yang tergolong agak rendah dianggap sudah termasuk
dalam tingkat yang rendah dalam perhitungan resiko.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Penggunaan lahan permukiman dan tegalan merupakan 2 jenis penggunaan lahan yang
paling besar mengalami pertambahan luas, berturut-turut sebesar 6.52 % (1601.45 Ha) dan
20.70% (5080.86 Ha).
Hal ini menunjukkan bahwa lokasi wisata di Bandung bagian Utara ini mengalami
banyak pertumbuhan khususnya pembangunan prasarana wisata seperti hotel, villa, cafe,
restoran dan yang lainnya dan juga permukiman baru. Disamping itu, banyak lahan sawah
yang berubah menjadi tegalan untuk sayuran, bunga hias, dan tanaman buah yang menjadi
komoditi pariwisata. Dengan demikian, aspek pariwisata merupakan sektor yang memicu
perubahan penutup/penggunaan lahan di daerah penelitian.
Penggunaan lahan tegalan merupakan penggunaan lahan yang paling banyak tersebar di
berbagai bentuklahan antara lain bentuklahan plateau ignimbritik, lereng tengah kompleks
Sunda, lereng talus tebing kaldera, lembah ignimbritik denudasional, Kerucut Vulkanik
Denudasional, Kerucut Lava Denudasional, Dinding Kaldera Gunung Sunda, Dataran Dasar
Kaldera, dan dataran lakustrin. Sebaliknya permukiman dominan tersebar hanya pada 2
bentuklahan yaitu bentuklahan plateau ignimbritik dan dataran lakustrin. Hal ini dikarenakan
pemakaian lahan untuk tegalan dapat di lakukan di berbagai kemiringan lereng ( tidak ada
kendala morfologi), sedangkan untuk permukiman mempunyai kendala morfologi, yaitu pada
morfologi yang datar. Dengan demikian, daerah penelitian sebenarnya terancam oleh bahaya
erosi yang berasal dari lahan-lahan tegalan, khususnya pada bentuklahan yang mempunyai
kemiringan tinggi, sedangkan bentuklahan yang mempunyai morfologi dataran terancam oleh
konversi lahan menuju ke ruang terbangun.
Kecamatan Cimenyan memiliki ancaman tingkat bencana vulkanik dan tingkat resiko
bahaya bencana vulkanik yang paling rendah. Sebaliknya Kecamatan Parongpong memiliki
ancaman tingkat bencana dan tingkat resiko paling tinggi diikuti oleh Kecamatan Lembang.
Dengan demikian Penataan Ruang di kedua kecamatan tersebut sangat perlu memperhatikan
aspek mitigasi agar tidak terjadi bencana yang sangat besar dikemudian hari.
6.2. Saran
• Sehubungan dengan adanya perubahan penggunan lahan sawah yang besar menjadi
penggunaan lahan permukiman dan tegalan, maka dikhawatirkan bila ini berlanjut terus akan
mengakibatkan berkurangnya daerah resapan di daerah penelitian. Selain itu, ancaman bahaya
erosi tanah juga cukup besar jika melihat bahwa di lapangan banyak lahan tegalan menempati
pada lereng-lereng yang sangat miring. Untuk itu disarankan adanya penelitian tersendiri
mengenai ke dua hal tersebut.
• Sehubungan dengan tingkat bahaya bencana dan resiko yang tinggi mengancam pada 2
kecamatan yaitu Parongpong dan Lembang, maka disarankan untuk kedua kecamatan tersebut
tidak menambah ruang terbangun (permukiman) di wilayahnya.
VII. DAFTAR PUSTAKA

A. Murni dan S. Setiawan, Pengantar Pengolahan Citra, PT. Elex Media Komputindo,
Kelompok Gramedia, Jakarta.
Aryad, S. 1r.989, Konservasi Tanah dan Air.Institut Pertanian Bogor Press, Bogor
Bemmelen, R.W. Van 1949. The Geology of Indonesia no IA General Geology of Indonesia,
Government Printing Office, The Habuc.
BPS Kabupaten Bandung. 2007, Kabupaten Bandung Dalam Angka, Kabupaten Bandung.
Chanlett, E.T. 1974. Enviromental Protection. McGraw-Hill Book Company, Inc. NewYork.
Demek J., 1972 Manual of Detailed Geomorphological Mapping. International
Geomorphological Union, Commision on Geomorphological Survey and
Mapping.Academic. Prague.
ER Mapper, 2006. ER Mapper Professional Tutorial Ver 7.1. Earth Resource Mapping Ltd.
Estes. J.E. and D.S. Simonett. 1975. Fundamentals Of Image Interpretation, In: Manual of
Remote Sensing Vol. 1. Second Edition. R.N. Colwell: ed-in-chief. American Society
of Photogrammetry. Falls Church. Virginia.
Fakultas Geografi UGM – Bakosurtanal, 2000. Pembakuan Spek Metodologi Kontrol Kualitas
Pemetaan Tematik Dasar Dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang, Yogyakarta.
Kerjasama Fakultas Geografi UGM dan Proyek Inventarisasi Evaluasi Sumberdaya
Nasional Matra Laut – Bakosurtanal.
Goudie, A. 1993, The Nature of The Environment 3rd Ed. Blackwell Publisher Ltd.
Harintaka dan Christine N. Kartini, 2001. Penggabungan Citra Satelite SPOT XS Dengan
Foto Udara Pankromatik (Studi Kasus Kodya Bandung). Penelitian. Fakultas Teknik-
UGM, Yogya.
Karson, M. J. 1982. Multivariate statistical Methods. The Iowa State University
Press. Iowa
Kusumadinata K., 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi Bandung
Kusumadinata K., 1972 MS, Tujuh Buah Terjemahan Mengenai Masalah Kegunungapian Di
Hindia Belanda Dan Jepang, Direktorat Geologi Bandung.
Lillesand, T.M dan R.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Monkhouse, F.J., 1974, A Dictionary of Geography, Second edition, Edward Arnold,
London.
Noviar, H. 2004. Interpretasi Citra Satelit Landsat-7 ETM+ untuk Mengidentifikasi
Areal Tanaman Semangka. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
PERKA, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2008. PERKA No. 2 Tentang Evaluasi Tapak
Reaktor Daya Untuk Aspek Kegunungapian.
Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT. Gramedia Widia Sarana
Indonesia. Jakarta.
Putra, E.H. 2003. Deteksi Kondisi Hutan Tanaman Menggunakan Citra Satelit Landsat ETM+
di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB,
Bogor.
Reksowirogo, 1990, Berita Berkala Vulkanologi, edisi khusus : Gunung Tangkubanparahu.
Direktorat Vulkanologi Bandung
Sabin, F.F.Jr. 1978. Remote Sensing, Principle and Interpretation. W.H. Freeman and Co. San
Francisco
Samsuri, 2004. Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pengelolaan sumberdaya Hutan.
Penelitian. Universitas Sumatera Utara (USU). Sumatera Utara.
Spot Asia, 2006. www.spotimage.com. Februari 8, 2009.
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh. Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.or.

Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh. Jilid 2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.or.
Tejo, R.K. 2003. Interpretasi Kenampakan Hasil Fusi Citra Landsat TM dengan Landsat
Pankromatik (Studi Kasus Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat).
Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor
Tjahjono B., 1998. Etude Geomorphologique du Volcan Sunda-Tangkuban Parahu et Des
Aleas Volcanique. Desertasi. Universitas Blaise Pascal, Clermont-Ferrand II, Perancis
Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia. The Hague. Government Printing
Office.
Wilkey, D.S. and Finn, J.T. 1996. Remote Sensing Imagery for Natural Resources
Monitoring: Guide for First Time Users. Columbia University Press. New York
Wiradisastra U.S., Tjahjono, B., Munibah, K., Gandasasmita K., 1999, Lecture Note:
Geomorfologi dan Analisis Lanskap, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian, IPB Bogor
Zakiah., 2007. Pemilihan Saluran Panjang Gelombang (Band) dan Fusi Citra Landsat ETM+
Untuk Interpretasi Penutup Lahan/Penggunaan Lahan. Laporan Praktek Lapang.
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Gambar Lampiran 1: Contoh Gambar Morfogenesis

1. Bentuklahan Vulkanik Aktif (Gunungapi Tangkubanparahu)

2. Bentuklahan Vulkanik Denudasional (Gunung Burangrang)


3. Bentuklahan Tektonik (Patahan Lembang)

4. Bentuklahan Denudasional (longsor lahan)


Tabel Lampiran 1: Kemiringan Lereng Setiap Kecamatan
Kemiringan Lereng
Setiap Kecamatan Luas (Ha)
Cimenyan 4841.914
>55 62.04
13-22 757.79
22-55 3825.22
6-13 196.86
Cisarua 5540.55

>55 579.88
0-2 97.89
13-22 798.72
22-55 1890.79
2-6 40.31
6-13 2132.97
Lembang 9849.166
>55 712.50
0-2 332.94
13-22 1021.93
22-55 5439.85
2-6 331.35
6-13 2010.59
Parongpong 4314.731

>55 298.07
0-2 202.964
13-22 744.21
22-55 1196.39
2-6 271.22
6-13 1601.87
Total 24546.361

You might also like