You are on page 1of 80

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

ANALISIS SPASIAL TINGKAT KERENTANAN LONGSOR DITINJAU


DARI ASPEK GEOLOGI DAN HIDROLOGI PADA SUBDAS JENELATA
KECAMATAN BUNGAYA KABUPATEN GOWA
PROVINSI SULAWESI SELATAN

SKRIPSI

APRI AL-FAJAR
D611 14 014

GOWA
2019

i
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

ANALISIS SPASIAL TINGKAT KERENTANAN LONGSOR DITINJAU


DARI ASPEK GEOLOGI DAN HIDROLOGI PADA SUBDAS JENELATA
KECAMATAN BUNGAYA KABUPATEN GOWA
PROVINSI SULAWESI SELATAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Teknik
Strata Satu (S1) Pada Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin

APRI AL-FAJAR
D611 14 014

GOWA
2019

ii
ANALYSIS SPASIAL OF LANDSLIDE SUSCEPTIBILITY FROM
GEOLOGICAL AND HYDROLOGICAL ASPECT IN SUBDAS
JENELATA BUNGAYA DISTRIC GOWA REGENCY SOUTH
SULAWESI PROVINCES

Abstract
Gowa was recorded as a district with high possibilities of hazards such as
landslide and flood. In early 2019, there were several landslides happened around the
villages at Gowa and they were affected by the high intensity of rainfall. Besides, the
geological condition of the study area itself that consist of volcanic rocks which are low
resistance towards weathering and its morphological characteristics that mostly covered
by hills had been impactful enough to become a great contributor for landslide to occur.
Administratively, the studies included DAS Jeneberang area that located at south of
Bilibili reservoir consisting DAS Jeneberang and Manuju districts of Gowa Regency,
South Sulawesi. The landslide was identified based on satellite imagery from “Sentinel”
between year of 2018 until 2019 with resolution of 10M that later been verified by field
research.
Methodologically, this research used spatial analysis by determining the
Frequency Ratio (FR) value of landslide within nine parameters that can contribute it
from happening including geological and hydrological aspects. Geologically, the
limitations included the type of lithology, distance between the structures with landslide,
height, slope and the direction of slope, plancurvature and landuse. Hydrologically, the
area were restricted by the distance of river from the landslide and the rainfall
distribution. These FR value with nine parameters had been overlay to produce Landslide
Hazard Index (LHI) that were classified into five zones of landslide susceptibility. The
LHI validation was determined by using area under curve (AUC) that generated from
receiver operating curve (ROC) analysis using SPSS software.

Keywords: Landslide, spatial analysis, frequency ratio.

iii
ANALISIS SPASIAL TINGKAT KERENTANAN LONGSOR DITINJAU
DARI ASPEK GEOLOGI DAN HIDROLOGI PADA SUBDAS JENELATA
KECAMATAN BUNGAYA KABUPATEN GOWA
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Sari
Kabupaten gowa tercatat sebagai daerah yang rawan bencana longsor dan banjir,
pada awal tahun 2019 terjadi peristiwa longsor di bebererapa desa dikabupaten gowa
yang diakibatkan oleh intensitas hujan yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan banjir
dan tanah longsor dibeberapa tempat. Selain itu kondisi geologi daerah penelitian yang
tersusun atas batuan-batuan vulkanik yang mudah lapuk dan kondisi morfologi berupa
perbukitan yang sangat berpotensi memicu terjadinya longsor. Daerah penelitian secara
adminstratif termasuk dalam wilayah kawasan DAS Jeneberang yang berada di sebelah
selatan dari waduk bilibili dengan mecakup beberapa kecamatan yaitu kecamatan
bungaya dan kecamatan manuju Kabupaten Gowa provinsi Sulawesi Selatan. Kejadian
longsor diidentifikasi berdasarkan citra satelit sentinel tahun 2018-2019 dengan resolusi
10 m dan kemudian dibantu dengan verifikasi langsung di lapangan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial dengan
mempertimbangkan nilai frekunsi rasio (FR) kejadian longsor terhadap sembilan
parameter-parameter kejadian longsor yang mencakup aspek geologi, dan hihdrologi.
Aspek geologi dibatasi oleh jenis litologi, jarak dari struktur terhadap kejadian longsor,
ketinggian, kemiringan lereng, arah lereng, plancurvature, dan tutupan lahan. Aspek
hidrologi dibatasi oleh jarak sungai terhadap kejadian longsor. serta kondisi curah hujan
yang mempengaruhi daerah penelitian. Nilai FR sembilan paramaeter ini akan di overlay
menjadi Landslide Hazard Indeks (LHI) yang kemudian dibagi menjadi lima kelas zona
kerentanan longsor. Validasi LHI dihitung menggunakan area under the curve (AUC)
yang dihasilkan dari analisis receiver operating curve (ROC) pada perngkat lunak SPSS.

Kata kunci: Longsor, analisis spasial, frekuensi rasio

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang

berjudul “Analisis Spasial Tingkat Kerentanan Longsor Ditinjau dari Aspek

Geologi dan Hidrologi Pada Subdas Jenelata Kecamatan Bungaya

Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan”.

Pada kesempatan ini penulis tidak lupa ingin menyampaikan ucapan

terima kasih kepada semua pihak yang telah membimbing, mengarahkan, dan

membantu penulis dalam menyusun tugas akhir ini, antara lain :

1. Bapak Ilham Alimuddin, S.T., MGIS, PhD sebagai pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan dan wawasan selama pengerjaan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Eng. Hendra Pachri, ST., M.Eng sebagai pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan dan wawasan baru selama penulisan skripsi

ini.

3. Ibu Dr. Ir. Hj. Rohaya Langkoke, M.T, bapak Ir. Jamal Rauf Husain, M.T

serta bapak Dr. Ir. Busthan Azikin, M.T sebagai dosen penguji yang

telah banyak memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi

ini

4. Bapak Andang Suryana Soma, S.hut, M.P, Ph.D selaku dosen Fakultas

kehutanan UNHAS, yang banyak membantu dalam pengolahan dan

analisis data penelitian ini

5. Bapak Dr. Eng. Asri Jaya HS, S.T., M.T sebagai Ketua Departemen Teknik

Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

v
6. Ibunda dan Ayahanda atas dukungannya baik moril maupun materil serta doa

restu yang senantiasa terucapkan tiada henti yang kemudian menjadi

sumber semangat bagi penulis selama ini

7. Bapak dan Ibu dosen Departemen Teknik Geologi Universitas Hasanuddin

yang telah memberikan bantuan dan mengajarkan ilmu geologi kepada

penulis

8. Staf Departemen Teknik Geologi Universitas Hasanuddin yang telah

memberikan bantuan dalam pengurusan administrasi kepada penulis.

9. Saudara-saudara Geologi 2014 “NEOGEN” yang sudah menemani selama ±

5 tahun berjuang bersama-sama dan selalu membantu ketika ada kesulitan

selama berproses di departemen teknik geologi

10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuan

dan dorongan yang diberikan selama ini.

Penulis mengharapkan adanya saran dan kritik dari pembaca yang bersifat

membangun demi kesempurnaan laporan ini. Segala kesalahan serta kekeliruan

yang ada tidak luput dari keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang

memiliki banyak kekurangan.

Akhir kata, semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh

pembaca, khususnya bagi penulis. Aamiin.

Gowa, November 2019

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.......................................................................................................I
Halaman Tujuan......................................................................................................II
Lembar Pengesahan...............................................................................................III
Abstrack.................................................................................................................IV
Sari..........................................................................................................................V
Kata Pengantar.......................................................................................................VI
Daftar Isi..............................................................................................................VIII
Daftar Foto.............................................................................................................XI
Daftar Gambar......................................................................................................XII
Daftar Tabel........................................................................................................XIV
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................2
1.3 Batasan Masalah..............................................................................2
1.4 Tujuan Penelitian.............................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian...........................................................................3
1.6 Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Penelitian..............................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian................................................5
2.1.1 Geomorfologi Daerah Penletian.........................................................5
2.1.2 Stratigrafi Regional............................................................................6
2.1.3 Struktur Geologi Regional.................................................................7
2.2 Gerakan Tanah.................................................................................8
2.2.1 Defenisi Gerakan Tanah.....................................................................8
2.2.2 Penyebab Gerakan Tanah...................................................................9
2.2.3 Jenis-Jenis Gerakan Tanah...............................................................14
2.3 Sistem Informasi Geografis...........................................................16
2.3.1 Definisi Sistem Informasi Geografis................................................16
2.3.2 Komponen Sistem Informasi...........................................................17

vii
2.3.3 Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh dalam
Studi Pemetaan Gerakan Tanah.....................................................17
2.4 Analisis Peta Rawan Longsor dengan Metode Statistik................18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................................22
3.1 Variabel Penelitian.........................................................................22
3.1.1 Variabel Dependen...........................................................................22
3.1.2 Variabel Independen........................................................................22
3.2 Metode Penelitian..........................................................................22
3.3 Tahapan Penelitian.........................................................................23
3.3.1 Tahap Pendahuluan..........................................................................23
3.3.2 Tahapan Pengumpulan Data............................................................24
3.3.3 Tahap Pengolahan dan Analisis Data...............................................26
3.3.4 Tahap Penyusunan Skripsi...............................................................29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................31
4.1 Peta Parameter...............................................................................31
4.1.1 Peta Litologi.....................................................................................31
4.1.2 Peta Jarak dari Struktur....................................................................31
4.1.3 Peta Ketinggian (Elevasi).................................................................32
4.1.4 Peta Kemiringan Lereng (Slope)......................................................33
4.1.5 Peta Arah Lereng (Aspect)...............................................................33
4.1.6 Peta Plan Curvature.........................................................................34
4.1.7 Peta Tataguna Lahan........................................................................35
4.1.8 Peta Jarak dari Sungai......................................................................35
4.1.9 Peta Curah Hujan.............................................................................37
4.2 Sebaran Kejadian Gerakan Tanah di daerah Penelitian.................38
4.3 Rasio Kejadian Longsor.................................................................42
4.4 Zona Kerentanan Gerakan Tanah ditinjau Aspek Geologi dan
Hidrologi 49
4.4.1 Zona Kerentanan Gerakan Tanah Ditinjau dari Aspek Geologi......49
4.4.2 Zona Kerentanan Gerakan Tanah Ditinjau dari Aspek Tataguna
Lahan..............................................Error! Bookmark not defined.
4.4.3 Zona Kerentanan Gerakan Tanah ditinjau dari Aspek Hidrologi....52
4.5 Zona Kerentanan Gerakan Tanah..................................................54

viii
4.5.1 Zona Kerentanan Sangat Rendah.....................................................54
4.5.2 Zona Kerentanan Rendah.................................................................55
4.5.3 Zona Kerentanan Menengah............................................................55
4.5.4 Zona Kerentanan Tinggi..................................................................56
4.5.5 Zona Kerentanan Sangat Tinggi......................................................57
4.6 Validasi dan Verifikasi..................................................................57
BAB V PENUTUP.................................................................................................60
5.1 Kesimpulan....................................................................................60
5.2 Saran..............................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................62
LAMPIRAN
1. PETA TOPOGRAFI
2. PETA GEOLOGI
3. PETA JARAK DARI STRUKTUR
4. PETA ELEVASI
5. PETA KEMIRINGAN LERENG
6. PETA ARAH LERENG (ASPECT)
7. PETA PLAN CURVATURE
8. PETA TATAGUNA LAHAN
9. PETA JARAK DARI SUNGAI
10. PETA CURAH HUJAN
11. PETA ZONASI KERENTANAN TANAH DITINJAU DARI ASPEK
GEOLOGI
12. PETA ZONASI KERENTANAN TANAH DITINJAU DARI ASPEK
HIDROLOGI
13. PETA TIGA DIMENSI (3D) ZONAS KERETNTANAN TANAH

ix
DAFTAR FOTO

Foto 4. 1 Tipe gerakan tanah berupa debris slide pada daerah Bontomanai dengan

arah foto N 310o E...................................................................................38

Foto 4. 2 Tipe gerakan tanah berupa debris slide pada daerah Mangempang

dengan arah foto N 240o E......................................................................39

Foto 4. 3 Tipe gerakan tanah berupa rock fall pada daerah Bontomanai dengan

arah foto N 75o E.....................................................................................39

Foto 4. 4 Jenis gerakan debris slide dengan litologi penyusun berupa tufa pada

daerah Bontomanai dengan arah pengambilan foto N 170o E................40

Foto 4. 5 Jenis gerakan rock fall dengan litologi penyusun berupa basal pada

daerah Bontomanai dengan arah pengambilan foto N170o E.................40

Foto 4. 6 Tipe gerakan tanah berupa debris slide yang dijumpai mengenai

pemukiman warga sekitar di daerah Mangempang dengan arah foto

N160o E...................................................................................................41

Foto 4. 7 Gerakan tanah yang dijumpai dipinggir jalan di daerah Jenebatu dengan

arah foto N84o E......................................................................................41

Foto 4. 8 Gerakan tanah yang dijumpai dipinggir jalan di daerah Sapaya dengan

arah foto N5o E........................................................................................42

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 (A) Daerah penelitian berada pada Pulau Sulawesi, (B) Lokasi

daerah penelitian ditandai dengan poligon berwarna coklat, (C) Peta

Administrasi daerah penelitian............................................................4

Gambar 2. 1 Proses terjadinya gerakan massa tanah/batuan dan komponen-

komponen penyebabnya (Karnawati, 2005).......................................9

Gambar 4. 1 Diagram alir pembuatan peta paramerer litologi..............................31

Gambar 4. 2 Diagram alir pembuatan peta parameter jarak dari struktur..............32

Gambar 4. 3 Diagram alir pembuatan peta parameter ketinggian.........................32

Gambar 4. 4 Diagram alir peta pembuatan peta parameter kemiringan lereng.....33

Gambar 4. 5 diagram alir peta pembuatan peta parameter arah lereng..................34

Gambar 4. 6 Diagram alir peta pembuatan peta parameter plan curvature............35

Gambar 4. 7 Diagram alir pembuatan peta parameter tataguna lahan...................35

Gambar 4. 8 Diagram aliran pembuatan aliran sungai dari data DEM..................36

Gambar 4. 9 Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai.................................36

Gambar 4. 10 Diagram alir pembuatan peta curah hujan......................................37

Gambar 4. 11 Grafik nilai frekuensi rasio masing-masing paramaeter A. Litologi

B. Jarak dari struktur C. Slope dan D. Elevasi...............................47

Gambar 4. 12 Grafik nilai frekuensi rasio masing-masing paramaeter E Arah

lereng (Aspect). Litologi F. Plan curvature G. Tataguna lahan H.

Jarak dari Sungai dan I Curah hujan..............................................48

xi
Gambar 4. 13 Diagram pembagian zona kerentanan tanah ditinjau dari aspek

geologi............................................................................................51

Gambar 4. 15 Diagram pembagian zona kerentanan tanah dengan parameter

hidrologi.........................................................................................53

Gambar 4. 16 Grafik hubungan antara zonasi longsor terhadap curah hujan........54

Gambar 4. 17 Hasil analisis menggunakan perangkat lunak SPSS A. Grafik

ploting kurva ROC, B. Nilai AUC pemodelan longsor.................58

Gambar 4. 18 Nilai AUC prediksi longsor............................................................59

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Sumber data dan parameter gerakan tanah...........................................25

Tabel 3.2 Klasifikasi Akurasi model prediksi berdasakan nilai AUC (Swets, J.A.,

1988).......................................................................................................28

Tabel 3. 3 Diagram alir tahapan penelitian............................................................30

Tabel 4. 1 Stasiun curah hujan yang diperoleh dari stasiun pengamatan BBWS

Jeneberang............................................................................................37

Tabel 4. 2. Nilai frekuensi rasio kejadian longsor setiap parameter......................42

Tabel 4. 3 Hubungan antara zona kerentanan longsor terhadap jenis litologi.......51

Tabel 4. 4 Hubungan antara zona kerentanan longsor terhadap kemiringan lereng

..............................................................................................................52

Tabel 4. 5 Hubungan antara zona kerentanan longsor terhadap ketinggian..........52

Tabel 4. 6 Hubungan antara zona kerentanan longsor terhadap curah hujan........53

Tabel 4. 7 Tingkat akurasi model prediksi longsor................................................59

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peristiwa tanah longsor atau dikenal dengan gerakan massa tanah, batuan

atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng alami atau lereng non alami dan

sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru

akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan

terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah

(Suryolelono, 2002 dalam Kuswaji, 2008).

Kabupaten gowa tercatat sebagai daerah yang rawan bencana longsor dan

banjir, pada awal tahun 2019 terjadi peristiwa longsor di bebererapa desa

dikabupaten gowa yang diakibatkan oleh intensitas hujan yang cukup tinggi

sehingga mengakibatkan banjir dan tanah longsor dibeberapa tempat.

Penelitian ini didasari pada kondisi geologi daerah penelitian yang

tersusun dari batuan-batuan vulkanik yang mudah lapuk dan pada keadaan

morfologi berupa perbukitan yang sangat berpotensi untuk terjadi longsor. Selain

itu pengaruh hidrologi berupa infiltrasi air pada derah ini sangat berpotensi

sebagai penyebab terjadinya tanah longsor.

Perencanan pembangunan pemerintah kabupaten gowa juga mendororng

pentingnnya penelitian ini dilakukan. Perencanaan pembangunan waduk pada

daerah penelitian dianggap perlu adanya penelitian detail terkait aspek-aspek

geologi yang dapat mempengaruhi terjadinya gerakan-gerakan tanah sehingga

dapat memitigasi potensi bahaya ketika pembangunan waduk ini berlangsung.

1
Salah satu metode untuk menganalisa tingkat kerentanan gerakan tanah

yaitu menggunakan analisa berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang

dikombinasikan dengan analisa statistik.

Salah satu analisa statistik yang digunakan yaitu frequency ratio. Metode

frequency ratio merupakan metode yang dibangun berdasarkan hubungan antara

lokasi kejadian tanah longsor dan faktor-faktor yang mengontrol terjadinya tanah

longsor (Lee dan Pradhan, 2006). Faktor-faktor tersebut dikonstruksikan dan

ditumpangtindihkan menggunakan SIG sehingga menghasilkan peta zonasi

bahaya tanah longsor.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kondisi geologi daerah penelitian?

2. Bagaimana pengaruh kondisi geologi terhadap potensi terjadi tanah longsor

pada daerah penelitian?

3. Bagaimana pengaruh kondisi hidrologi terhadap potensi terjadi tanah longsor

pada daerah penelitian?

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, hal-hal yang akan dijadikan batasan sebagai

pedoman pelaksanaan penelitian yaitu:

1. Analisis pengaruh geologi dibatasi pada jenis litologi, pengaruh struktur

geologi serta, kondisi morfologi yang terdiri atas keadaan lereng dan kondisi

topografi daerah penelitian terhadap kejadian longsor.

2
2. Analisis pengaruh hidrologi dibatasi pada jarak dari sungai terhadap kejadian

longsor serta pengaruh curah hujan terhadap kejadian longsor

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui kondisi geologi daerah penelitian.

2. Mengetahui pengaruh geologi terhadap terjadinya tanah longsor.

3. Mengetahui pengaruh hidrologi terhadap terjadinya tanah longsor

4. Membuat peta zonasi rawan longsor pada daerah penelitian.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan informasi

kepada pemerintah dan masyarakat pada daerah penelitian untuk dijadikan sebagai

referensi dalam melakukan pembangunan dan dapat melakukan mitigasi secara

dini terhadap daerah-daerah yang rentan terhadap kejadian tanah longsor.

1.6 Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Penelitian

Daerah penelitian secara administratif termasuk dalam wilayah Kawasan

DAS Jeneberang, yaitu berada di sebelah selatan dari waduk bilibili dengan

mencakup beberapa kecamatan didalamnya yaitu Kecamatan Bungaya dan

Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas area

penelitian 228.50 km2. Secara astronomis Subdas Jenelata terletak antara

119o35’00’’-119o49’00’’ bujur timur dan 5o19’00’’-5o26’00’’ lintang selatan.

Daerah penlitian dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda

dua dari kampus teknik gowa menuju daerah pentlitian dengan waktu tempuh

3
sekitar 45 menit. Penelitian ini dilaksanakan ±3 bulan yaitu bulan Agustus-

Oktober 2019.

4
Gambar 1. 1 (A) Daerah penelitian berada pada Pulau Sulawesi, (B) Lokasi daerah penelitian yang
termasuk dalam DAS Jeneberang, (C) Peta Administrasi daerah penelitian

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian

Pembahasan geologi regional terdiri dari penjelasan mengenai

geomorfologi, stratigrafi, dan struktur regional. Pembahasan tersebut berdasarkan

Rab Sukamto dan Supritana S. (1982) yang melakukan pemetaan geologi Lembar

Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai dengan skala 1: 250.000.

2.1.1 Geomorfologi Daerah Penletian

Pada sebelah barat lembar ini merupakan daratan rendah yang sebagian

besar terdiri dari daerah rawa dan daerah pasang-surut. Beberapa sungai besar

membentuk daerah banjir di dataran ini. Bagian timurnya terdapat buki bukit

terisolir yang tersusun oleh batuan klastika gunungapi berumur Miosen dan

Pliosen. Pesisir baratdaya ditempati oleh morfologi berbukit memanjang rendah

dengan arah umum kirar-kira baratlaut-tenggara. Pantainya berliku - liku

membentuk beberapa teluk, yang mudah dibedakan dari pantai di daerah lain pada

lembar ini. Daerah ini disusun oleh batuan karbonat dari Formasi Tonasa.

Secara fisiografi pesisir timur merupakan penghubung antara Lembah

Walanae di utara, dan Pulau Salayar di selatan. Di bagian utara, daerah berbukit

rendah dari Lembah Walanae menjadi lebih sempit dibanding yang di (Lembar

Pangkajene dan Watampone Bagian Barat) dan menerus di sepanjang pesisir

timur Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai ini. Pegunungan sebelah timur

5
dan Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat berakhir di bagian utara

pesisir timur lembar ini.

2.1.2 Stratigrafi Regional

Satuan batuan berumur Miosen Tengah sampai Pliosen menyusun Formasi

Camba (Tmc) yang tebalnya mencapai 4.250 m dan menindih tak selaras batuan-

batuan yang lebih tua. Formasi ini disusun oleh batuan sedimen laut berselingan

dengan klastika gunungapi, yang menyamping beralih menjadi dominan batuan

gunungapi (Tmcv). Batuan sedimen laut berasosiasi dengan karbonat mulai

diendapkan sejak Miosen Akhir sampai Pliosen di cekungan Walanae, daerah

timur, dan menyusun Formasi Walanae (Tmpw) dan Anggota Salayar (Tmps).

Batuan gunungapi berumur Pliosen terjadi secara setempat, dan menyusun Batuan

Gunungapi Baturape - Cindako (Tpbv). Satuan batuan gunungapi yang termuda

adalah yang menyusun Batuan Gunungapi Lompobatang (Qlv), berumur

Plistosen. Sedimen termuda lainnya adalah endapan aluvium dan pantai (Qac).

Tpbv BATUAN GUNUNGAPI BATURAPE CINDAKO: Lava dan

breksi, dengan sisipan sedikit tufa dan konglomerat. Bersusunan basal, sebagian

besar porfiri dengan fenokris piroksen besar-besar sampai 1 cm dan sebagian kecil

tansatmata, kelabu tua kehijauan hingga hitam warnanya; lava sebagian berkekar

maniang dan sebagian berkekar lapis, pada umumnya breksi berkomponen kasar,

dari 15 cm sampai 60 cm, terutama basal dan sedikit andesit, dengan semen tufa

berbutir kasar sampai lapili, banyak mengandung pecahan piroksen.

Komplek terobosan diorit berupa stok dan retas di Baturape dan Cindako

diperkirakan merupakan bekas pusat erupsi (Tpbc); batuan di sekitarnya terubah

6
kuat, amigdaloidal dengan mineral sekunder zeolit dan kalsit: mineral galena di

Baturape kemungkinan berhubungan dengan terobosan diorit ini; daerah sekitar

Baturape dan Cindako batuannya didominasi oleh lava Tpbl. Satuan ini tidak

kurang dari 1250 m tebalnya dan berdasarkan posisi stratigrafinya kira-kira

berumur Pliosen Akhir.

Qlv: BATUAN GUNUNGAPI LOMPOBATANG: aglomerat, lava.

breksi, endapan lahar dan tufa.

Membentuk kerucut gunungapi strato dengan puncak tertinggi 2950 m di

atas muka laut; batuannya sebagian besar berkomposisi andesit dan sebagian

basal, lavanya ada yang berlubang - lubang seperti yang disebelah barat Sinjai

dan ada yang berlapis; lava yang terdapat kira-kira 2½ km sebelah utara Bantaeng

berstruktur bantal; setempat breksi dan tufanya mengandung banyak biotit.

Bentuk morfologi tubuh gunungapi masih jelas dapat dilihat pada potret

udara: (Qlvc) adalah pusat erupsi yang memperlihatkan bentuk kubah lava; bentuk

kerucut parasit memperlihatkan paling sedikit ada 2 perioda kegiatan erupsi, yaitu

Qlvpl dan Qlvp2. Di daerah sekitar pusat erupsi batuannya terutama terdiri dari

lava dan aglomerat (Qlv), dan di daerah yang agak jauh terdiri terutama dan

breksi, endapan lahar dan tufa (Qlvb). Berdasarkan posisi stratigrafinya

diperkirakan batuan gunungapi ini berumur Plistosen.

2.1.3 Struktur Geologi Regional

Akhir dari pada kegiatan gunungapi Eosen Awal diikuti oleh tektonik yang

menyebabkan terjadinya pemulaan terban Walanae. yang kemudian menjadi

cekungan di mana Formasi Walanae terbentuk. Peristiwa ini kemungkinan besar

7
berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan menurun perlahan selama sedimentasi

sampai kala Pliosen.

Menurunnya cekungan Walanae dibarengi oleh kegiatan gunungapi yang

terjadi secara luas di sebelah baratnya dan mungkin secara lokal di sebelah

timurnya. Peristiwa ini terjadi selama Miosen Tengah sampai Pliosen. Semula

gunungapinya terjadi di bawah muka laut, dan kemungkinan sebagian muncul di

permukaan pada kala Pliosen. Kegiatan gunungapi selama Miosen meghasilkan

Formasi Camba, dan selama Pliosen menghasilkan Batuan Gunungapi Baturape-

Cindako. Kelompok retas basal berbentuk radier memusat ke G. Cindako dan G.

Baturape, terjadinya mungkin berhubungan dengan gerakan mengkubah pada kala

Pliosen.

2.2 Gerakan Tanah

2.2.1 Defenisi Gerakan Tanah

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan

bahwa tanah longsor bisa disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan

sebagai masa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir dan kerakal

serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng

karena faktor gravitasi bumi.

Longsor adalah gerakan massa batuan atau tanah pada suatu lereng karena

pengaruh gaya gravitasi. Gerakan massa batuan atau tanah terjadi karena adanya

gangguan terhadap keseimbangan gaya penahan (shear strength) dan gaya

peluncur (shear stress) yang bekerja pada suatu lereng. Ketidakseimbangan gaya

tersebut diakibatkan adanya gaya dari luar lereng yang menyebabkan besarnya

8
gaya peluncur pada suatu lereng menjadi lebih besar daripada gaya penahannya

(Karnawati, 2004 dalam Prawiradisastra, 2013).

2.2.2 Penyebab Gerakan Tanah

Secara umum kejadian gerakan tanah disebabkan oleh dua faktor yaitu

faktor pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor

yang menyebabkan bergeraknya material tersebut (Faizana, et al. 2015)

Faktor yang mempengaruhi kejadian gerakan tanah terdiri dari faktor

pemicu dan faktor pengontrol. Faktor pemicu gerakan tanah yaitu curah hujan,

kegempaan, aktivitas manusia. Faktor pengontrol gerakan tanah yaitu geologi,

litologi, kemiringan lereng, struktur geologi dan geohidrologi (Tejakusuma,

2013).

Menurut Karnawati (2005), penyebab gerakan massa tanah/batuan dapat

dibedakan menjadi penyebab yang merupakan faktor kontrol dan merupakan

proses pemicu gerakan (Gambar 2.1).

Gambar 2. 1 Proses terjadinya gerakan massa tanah/batuan dan komponen-komponen


penyebabnya (Karnawati, 2005).

9
Faktor kontrol merupakan faktor - faktor yang membuat kondisi suatu

lereng menjadi rentan atau siap bergerak meliputi kondisi morfologi, stratigrafi

(jenis batuan serta hubungannya dengan batuan yang lain di sekitarnya), struktur

geologi, geohidrologi dan penggunaan lahan. Faktor pemicu gerakan merupakan

proses-proses yang mengubah suatu lereng dari kondisi rentan atau siap bergerak

menjadi dalam kondisi kritis dan akhirnya bergerak. Umumnya proses tersebut

meliputi proses infiltrasi hujan, getaran gempa bumi ataupun kendaraan/alat berat,

serta aktivitas manusia yang mengakibatkan perubahan beban ataupun

penggunaan lahan pada lereng.

2.2.2.1 Litologi (Batuan penyusun)

Litologi adalah salah satu parameter terpenting dalam studi longsor karena

unit litologi yang berbeda memiliki tingkat kerentanan yang berbeda terhadap

terjadinya longsor. Setiap jenis batuan memiliki komposisi, sifat fisika dan

mekanika yang berbeda dan berpengaruh terhadap besarnya kemungkinan terjadi

gerakan tanah, misalnya batuan yang kurang resisten terhadap pelapukan, kedap

air, kurang kompak, memiliki porositas dan permeabilitas besar, terkekarkan

intensif cenderung lebih rentan mengalami pergerakan. (Dai et al., 2001 dalam

Yazdadim E.A & Ghanavati, E ,2016).

Kondisi tanah/batuan penyusun lereng sangat berperan dalam mengontrol

terjadinya gerakan tanah. Meskipun suatu lereng cukup curam, namun gerakan

tanah belum tentu terjadi apabila kondisi tanah/batuan penyusun lereng tersebut

cukup kompak dan kuat. Perlapisan batuan yang miring ke arah luar lereng dapat

menyebabkan terjadinya longsoran atau gerakan tanah, misalnya perlapisan pada

10
batubara, napal dan batulempung. Batuan-batuan tersebut umumnya terpotong-

potong oleh kekar-kekar (retakan-retakan), sehingga sangat labil atau berpotensi

untuk meluncur/bergerak disepanjang bidang perlapisan atau bidang kekar

tersebut. (Karnawati,2005).

2.2.2.2 Jarak dari Struktur (sesar)

Zona sesar meningkat potensi longsor dengan menciptakan lereng curam

dan menyebabkan batuan yang dilaluinya menjadi retak dan lemah. (Yazdadim

E.A & Ghanavati, E 2016). Daerah yang berada pada jalur sesar aktif rentan

terhadap gerakan tanah longsor. Patahan yang aktif bergerak menyebabkan tanah

dan batuan yang dilaluinya tidak stabil kerena ikut bergetar dan mengalami

dislokasi selama pergerakan sesar. (Devkota, K.C, Regmi, A.D, Pourghasemi H.R

& Yoshida K., 2012).

2.2.2.3 Ketinggian (Elevasi)

Ketinggian berpengaruh terhadap kondisi iklim dan vegetasi yang tumbuh

pada suatu daerah serta mengontrol energi potensial (Gorsevki P.V, Gessler P &

Foltz R.B ,2.000). Daerah dengan elevasi tinggi cederung memilki temperatur

rendah, kelembaman dan curah hujan yang tinggi dimana sangat mendukung

terjadinya proses pelapukan batuan pada lereng (proses pembentukan tanah).

(Karnawati, 2005).

2.2.2.4 Kemiringan Lereng (Slope)

Parameter yang paling penting dalam analisis stabilitas lereng adalah

kemiringan lereng. Secara umum, stabilitas kemiringan adalah interaksi slope

dengan sifat fisik material seperti sudut gesekan, permeabilitas, dan kohesi. (Lee

11
dan Min 2001 dalam Pourghasemi H.R, Pradhan B., Gocceougle C. & K. Deylami

M., 2012). Semakin besar tingkat kemiringan lereng dapat menambah

kemungkinan terjadinya gerakan tanah karena meningkatkan energi gaya gravitasi

yang menarik massa batuan dari atas ke bawah. Selain itu, kecepatan pergerakan

material longsor selama menuruni lereng juga akan meningkat seiring dengan

meningkatnya gradien kemiringan lereng. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak

semua lahan yang miring selalu rentan untuk bergerak. Jenis, struktur, dan

komposisi tanah/batuan penyusun lereng juga berperan penting dalam mengontrol

terjadinya gerakan tanah. (Karnawati, 2005).

2.2.2.5 Arah Lereng (Aspect)

Aspect merupakan arah kemiringan lereng yang mengontrol arah

pergerakan aliran air dan material saat menuruni lereng. Beberapa peristiwa

meteorologi dikontrol oleh aspek seperti arah curah hujan, jumlah insensitas

paparan sinar matahari dan struktur morfologi sehingga dapat mempengaruhi

stabilitas lereng. Intensitas dan lama penyinaran sinar matahari yang mengontrol

proses evaporasi dan evaopo-transpirasi pada suatu lereng. Dengan demikian

aspect juga berpengaruh terhadap tingkat kejenuhan air yang terkandung dalam

tanah. (Yazdadim E.A & Ghanavati, E, 2016).

2.2.2.6 Plan Curvature

Plan curvature adalah karakteristik geometri yang menggambarkan tingkat

kelengkungan lereng yang diamati tegak lurus terhadap arah slope maksimum.

Plan curvature mengontrol sifat penyebaran aliran air dan material saat bergerak

menuruni lereng. Nilai curvature bertanda positif menandakan bentuk konveks

12
dimana pergerakan aliran permukaan bersifat divergen, sedangkan pada curvature

bertanda negatif pergerakan material bersifat konvergen. Curvature bernilai nol

memiliki bentuk flat (datar). Plan curvuature dapat pula di gunakan untuk

membedakan bentuk topografi pematang dan lembah (Lucian, 2012).

2.2.2.7 Jarak dari Sungai

Parameter penting yang mengendalikan stabilitas lereng adalah saturasi

material di lereng. Kedekatan lereng dengan drainase (sungai) merupakan faktor

penting dalam stabilitas lereng. Aliran sungai dapat mempengaruhi stabilitas

dengan mengikis lereng (undercutting) atau dengan menjenuhkan bagian bawah

material sampai mengakibatkan kenaikan permukaan air. (Gokceoglu and Aksoy

1996 dalam Pourghasemi H.R, Pradhan B., Gocceougle C. & K. Deylami M.

2012, 2012)

2.2.2.8 Tataguna Lahan

Penggunaan lahan mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi air tanah,

hal ini akan mempengaruhi kondisi tanah dan batuan yang pada akhrinya juga

akan mempengaruhi keseimbangan lereng. Pengaruhnya dapat bersifat

memperbesar atau memperkecil kekuatan geser tanah pembentuk lereng.

Pengaruh tersebut antara lain terhadap intersepsi, evapotranspirasi dan

infiltrasi, sehingga mengurangi kejenuhan air tanah, mempengaruhi aliran air pada

suatu lereng, serta menjaga kelembaman tanah dan mencegah terbentuknya

retakan pada tanah. (Riyanto, H.D, 2016)

13
2.2.2.9 Curah Hujan

Curah hujan mendorong peningkatan tekanan air pori dalam tanah. Ketika

lereng terisi dengan air, tekanan fluida memberikan daya apung terhadap blok,

sehingga mengurangi resistensi terhadap gerakan. Selain itu, dalam beberapa

kasus tekanan cairan dapat menyebabkan terjadinya gerakan menuruni lereng

akibat aliran air tanah yang memberikan dorongan hidrolik terjadinya longsor

yang lebih lanjut karena berkurangnya stabilitas (Nursa’ban, 2010 dalam Susanti,

2016)

2.2.3 Jenis-Jenis Gerakan Tanah

Klasifikasi jenis gerakan massa tanah/batuan dapat berdasarkan

mekanisme gerakan serta tipe material yang bergerak (Varnes, 1978 dalam

Karnawati, 2006).

Tabel 2. 1 Klasifikasi Gerakan Massa tanah/ batuan (Varnes,1978 dalam Karnawati, 2006)

Jenis Material
Jenis Gerakan Massa Tanah/ Tanah
Batuan Batuan Berbutir Berbutir
Kasar Halus
Runtuhan
Runtuhan Runtuhan
Runtuhan bahan
batuan tanah
rombakan
Robohan
Robohan Robohan
Robohan bahan
batuan tanah
rombakan
Nendatan
Nendatan Nendatan
Rotasi bahan
batuan tanah
rombakan
Gerakan
Gerakan Beberapa Gerakan Gerakan
massa
Massa unit massa massa
tanah/
Tanah/Batuan Translas tanah/batuan tanah/
batuan
i blok bahan batuan
blok
rombakan blok tanah
batuan
Banyak Gerakan Gerakan Gerakan

14
Jenis Material
Jenis Gerakan Massa Tanah/ Tanah
Batuan Batuan Berbutir Berbutir
Kasar Halus
massa massa
massa tanah/
tanah/ tanah/
unit batuan bahan
batuan batuan
rombakan
batuan tanah
Pencaran
Pencaran Pencaran
Pencaran Lateral bahan
batuan tanah
rombakan
Aliran
Aliran bahan
pasir/lanau
rombakan
basah
Aliran
Solifluction pasir
Aliran kering
batuan
Aliran Lawina
(rayapan Aliran
bahan
dalam) tanah
rombakan
Rayapan
Aliran
bahan
lepas
rombakan
Aliran blok  
Campuran dari dua (atau lebih) jenis
Kompleks
gerakan
1. Jatuhan (Fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara,

termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu dan

bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain.

2. Jungkiran (Topples) adalah jenis gerakan memutar kedepan dari satu atau

beberapa blok tanah atau batuan terhadap titik putar (pivot point). Longsoran

ini disebabkan karena adanya tekanan air yang mengisi rekahan batuan.

Jungkiran ini biasanya terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidak

mempunyai bidang gelincir.

3. Gelinciran (Slides) adalah gerakan yang terjadi dari regangan geser dan

perpindahan sepanjang bidang longsor (gelincir) dimana massa berpindah

15
menggelincir dari tempat semula. Gelincir dibedakan menurut bentuk bidang

longsor yaitu rotasi (nendatan) dan translasi.

4. Sebaran (Spread) merupakan tipe pergerakan tanah dengan permukaan bidang

gerakan tanah tidak berada di lokasi terjadinya geseran terkuat. Sebaran dapat

terjadi karena likuifaksi atau keruntuhan tanah kohesif. Sebaran yang

termasuk gerakan tanah translasional juga disebut sebaran lateral (lateral

spreading).

5. Aliran (Flow) adalah longsoran dimana kuat geser tanah kecil sekali atau tidak

ada, dengan material yang bergerak berupa material kental. Pada material

yang tidak terkonsolidasi gerakan ini umumnya berbentuk aliran, baik cepat

atau lambat, kering atau basah.

6. Majemuk (Complex) merupakan gabungan dua atau lebih tipe-tipe longsoran

seperti yang diterangkan di atas.

2.3 Sistem Informasi Geografis

2.3.1 Definisi Sistem Informasi Geografis

Secara harfiah, Sistem Informasi Geografis dapat diartikan sebagai suatu

komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan

sumber daya manusia yang bekerja sama secara efektif untuk menangkap,

menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,

mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi

berbasis geografis (Puntodewo et al, 2003)

Menurut Agus Suryanto (2013), Sistem Informasi Geografis merupakan

ilmu pengetahuan yang berbasis pada perangkat lunak komputer yang digunakan

16
untuk memberikan bentuk digital dan analisa terhadap permukaan geografi bumi,

sehingga membentuk suatu informasi keruangan yang tepat dan akurat.

Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System

(GIS) adalah sebuah sistem yang didesain untuk menangkap, menyimpan,

memanipulasi, menganalisa, mengatur dan menampilkan seluruh jenis data

geografis (Irwansyah, 2013)

2.3.2 Komponen Sistem Informasi

Menurut Irwansyah (2013) Komponen-komponen yang membangun

sebuah sistem informasi geografis adalah:

1. Computer System and Software, Merupakan sistem komputer dan kumpulan

perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data.

2. Spatial Data, Merupakan data spasial (bereferensi keruangan dan kebumian)

yang akan diolah.

3. Data Management and Analysis Procedure, Manajemen data dan analisa

prosedur oleh Database Management System.

4. People, Entitas sumber data manusia yang akan mengoperasikan sistem

informasi geografis.

2.3.3 Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh dalam

Studi Pemetaan Gerakan Tanah

Menurut Sulistiyo (2016), untuk menyusun peta lokasi rawan longsor

idealnya berdasarkan pada survei lapangan atau survei terestris yang dilakukan

pada semua lokasi rawan longsor. Namun demikian cara tersebut sangat tidak

efektif, tidak efisien, memerlukan waktu yang lama, memerlukan tenaga survei

17
yang banyak dan memerlukan biaya yang besar. Sebagai gantinya maka dibuatlah

suatu model lokasi rawan longsor. Model merupakan penyederhanaan dari realita.

Model penentuan lokasi rawan longsor berarti mencoba melibatkan semua

parameter penyebab terjadinya longsor didalam analisis sedemikian rupa sehingga

diperoleh lokasi rawan longsor. Di Indonesia ada beberapa model dalam

penentuan lokasi rawan longsor yang sudah dikembangkan, diantaranya yang

dikembangkan oleh Kementerian Pertanian, oleh Kementerian Pekerjaan Umum,

oleh Kementerian Kehutanan, oleh UGM dan oleh Direktorat Vulkanologi dan

Mitigasi Bencana Geologi.

2.4 Analisis Peta Rawan Longsor dengan Metode Statistik

Menurut Lee, dkk (2005), analisa kerentanan dengan memanfaatkan data

kejadian gerakan tanah yang ada dalam inventaris maupun melalui identifikasi

penginderaan jauh dan peta pendukung lain yang telah tersedia akan dapat

mengurangi biaya survei lapangan sehingga dapat menekan pembiayaan dan

proses analisa. Metode analisa kerentanan gerakan tanah adalah metode stastistik

karena dapat menggunakan data/informasi yang tersedia dan hasilnya terukur

(kuantitatif) sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Analisa kerentanan gerakan tanah dapat dilakukan dengan metode statistik

diantaranya:

1. Frekuensi Rasio (FR)

Hubungan antara luas tanah longsor dan penyebabnya dapat disimpulkan

dari hubungan antara area kejadian longsor dan area ketidakjadian longsor dengan

mempertimbangkan faktor-faktor penyebab longsor. Frekuensi rasio untuk setiap

18
parameter atau rentang faktor penyebab dihitung dengan membagi rasio kejadian

longsor dengan rasio area. Jika rasio lebih besar dari 1,0, maka hubungan antara

tanah longsor dan faktor kejadian longsor lebih tinggi sedangkan, jika

hubungannya kurang dari 1, maka hubungan antara tanah longsor dan masing-

masing faktor penyebab rendah (Lee dan Lee, 2006 dalam Soma dan Kubota,

2017 ).

Nilai FR dihitung untuk masing-masing faktor dengan menggunakan data

atribut di ArcGIS 10.x. Asumsi kunci saat menggunakan pendekatan probabilitas

frekuensi rasio adalah kemungkinan kejadian longsor sebanding terhadap

frekuensi longsor yang sesungguhnya. Area longsor dideteksi dengan interpretasi

citra satelit. Kemudian, peta lokasi longsor yang diperoleh dari citra satelit

dikombinasikan dengan data GIS dan digunakan untuk mengevaluasi frekuensi

dan distribusi longsor di area yang sedang dianalisis (Lee, at al, 2005).

Secara detail, untuk menghitung nilai frekuensi rasio dilakukan dengan

membuat faktor turunan yang dianggap menyebabkan longsor. Faktor-faktor

kemiringan longsor ini kemudian ditransformasikan menjadi data raster dengan

resolusi 8 meter. Faktor pengontrol longsor tersebut ditumpangtindihkan dengan

titik kejadian longsor. Setiap zona dari faktor memiliki 2 atribut yaitu jumlah

piksel area dalam zona dan jumlah longsor yang terdapat di dalam zona. Kedua

atribut ini kemudian digunakan untuk menghitung nilai frekuensi rasio masing-

masing zona dengan rumus (1) (Lee dan Lee, 2006 dalam Soma dan Kubota,

2017)

. . . . (1)

19
FR = Frekuensi Rasio

PxcL = Jumlah piksel dengan tanah longsor didalam kelas

Piksel = Jumlah piksel dalam parameter

∑PnxL = Total piksel parameter

∑Pnx = Seluruh piksel area

Setelah nilai FR masing-masing zona faktor pengontrol longsor dihitung,

kemudian masing-masing peta ditumpang-tindihkan sehingga menghasilkan nilai

LHI (Landslide Hazard Index) seperti rumus (2) (Lee dan Lee, 2006 dalam Soma

dan Kubota, 2017).


...... (2)

Kemudian nilai LHI ini diklasifikasikan menjadi 5 zona yaitu zona tingkat

bahaya sangat rendah, rendah, menengah, tinggi dan zona tingkat bahaya sangat

tinggi yang disajikan dalam bentuk peta bahaya gerakan tanah. Peta bahaya

gerakan tanah divalidasikan dengan titik kejadian gerakan tanah. Validasi ini

menunjukkan seberapa baik model dalam memprediksi longsor. Hasil dari

validasi ini akan menghasilkan nilai akurasi prediksi berdasarkan AUC (Area

Under Curve).

2. Analytical Hierarchy Process (AHP)

Model AHP dikembangkan oleh Saaty pada awal 1970-an, adalah sejenis

proses pengambilan keputusan multi-kriteria yang dapat digunakan untuk

20
memeriksa masalah-masalah teknologi, ekonomi, dan sosial-politik yang rumit

(Saaty, 1977 dalam Park at al, 2013).

Proses AHP melibatkan perbandingan variabel keputusan yang

berpasangan (mis., tujuan, alternatif). Dalam pembangunan matriks perbandingan

berpasangan, setiap faktor dinilai terhadap setiap faktor lainnya dengan

menetapkan nilai dominan relatif antara 1 dan 9 ke sel yang berpotongan (Dai et

al. 2001 dalam Park et al, 2013).

3. Regresi Logistik

Analisis regresi logistik merupakan metode regresi yang digunakan untuk

mencari hubungan antara variabel respon yang bersifat kategorik berskala

nominal, ordinal dengan satu atau lebih variabel penjelas kontinyu maupun

kategorik. Pada regresi logistik biner, variabel respon terdiri dari dua kategori

(Hosmer dan Lemeshow, 2000).

Analisis regresi berganda adalah metode statistik yang paling umum

digunakan dalam ilmu bumi, dan dinyatakan sebagai persamaan linear: di mana Y

adalah variabel dependen yang mewakili kehadiran (1) atau tidak adanya (0), b0

intercept dari model, b1 ... bn koefisien regresi parsial, x1 ... xn variabel

independen.

Regresi logistik, yang merupakan model analisis multivariat, berguna

untuk memprediksi ada atau tidak adanya karakteristik atau hasil berdasarkan nilai

dari satu set variabel prediktor. Keuntungan dari regresi logistik adalah bahwa,

melalui penambahan fungsi tautan yang sesuai ke model regresi linier biasa,

21
variabel dapat berupa kontinu atau diskrit, atau kombinasi dari kedua jenis, dan

mereka tidak selalu memiliki distribusi normal (Lee dan Sambath, 2006).

Menurut Lee (2000) dalam Park (2013), setiap metode statistik memiliki

kelebihan. Metode frekuensi rasio dapat dengan mudah dan cepat diterapkan,

sedangkan model regresi logistik membutuhkan konversi data untuk diakses oleh

program perangkat lunak statistik dan memiliki nilai terbatas ketika dataset besar.

Selain itu, model AHP umumnya memerlukan survei kuesioner untuk menghitung

bobot relatif dan membutuhkan program perangkat lunak terpisah yang disebut

Idrisi GIS.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terbagi atas dua yaitu variabel dependen dan

independen.

3.1.1 Variabel Dependen

Variabel dependen adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi

oleh variabel independen. Pada penelitian ini, variabel dependen yang digunakan

berupa data lapangan dan data hasil interpretasi citra satelit. Variabel ini terdiri

dari data lokasi kejadian longsor yang disajikan dalam bentuk data spasial.

3.1.2 Variabel Independen

Variabel independen adalah tipe variabel yang menjelaskan atau

mempengaruhi variabel yang lain. Pada penelitian ini, variabel independen adalah

22
data Digital Elevation Model (DEM), peta jenis litologi, peta jarak dari struktur,

peta tata guna lahan, dan peta curah hujan.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial

mengunakan perangkat GIS (Geographical information system). Teknik analisis

spasial yang digunakan berupa tumpang tindih (overlay) spatial database gerakan

tanah terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dan sebaran (distribusi)

gerakan tanah di daerah penelitian.

Hubungan kejadian longsor terhadap faktor-faktor yang menjadi parameter

dianalisis secara statistik menggunakan metode frekuensi rasio. Dari hasil

frekuensi rasio ini kemudian akan ditumpangtindih kembali sehingga menjadi

peta zonasi kerentanan gerakan tanah. Selanjutnya dilakukan uji kelayakan model

dimana tingkat akurasi model ditentukan berdasarkan luas daerah dibawah kurva

(AUC).

3.3 Tahapan Penelitian

Secara sistematis tahapan penelitian ini terdiri atas tahap pendahuluan,

tahap pemerolehan data, tahap pengolahan dan analisis data serta tahap

penyusunan laporan. Berikut uraian lebih rinci setiap tahapan penilitian:

3.3.1 Tahap Pendahuluan

Tahapan pendahuluan terdiri dari indentifikasi dan perumusan masalah,

maksud dan tajuan penelitian, studi pustaka dan persiapan lapangan.

23
3.3.1.1 Identifikasi Masalah

Pada tahap ini dilakukan identifikasi dan perumusan masalah yang ada

pada daerah penelitian. Adapun permasalahan yang ada pada daerah penelitian

adalah tingginya frekuensi kejadian longsor yang terjadi pada daerah penelitian.

3.3.1.2 Penentuan Maksud dan Tujuan

Tahap selanjutnya setelah identifikasi dan perumusan masalah adalah

penentuan maksud dan tujuan penelitian. Adapun maksud penelitian ini adalah

untuk membuat peta zonasi kerentana gerakan tanah dengan tujuan

mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya gerakan

tanah longsor pada daerah penelitian dan mengidentifikasi tingkat kerentananya.

3.3.1.3 Studi Pustaka

Studi pustaka bertujuan untuk mengumpulkan referensi mengenai metode

yang paling tepat digunakan dalam penelitian, mengetahui gambaran umum

daerah penelitian dan sebagai data pendukung dalam penyusunan laporan.

3.3.1.4 Persiapan Lapangan

Tahap persiapan merupakan kegiatan pendahuluan yang dilakukan

sebelum pengambilan data di lapangan. Pada tahap ini dilakukan persiapan

berupa:

1. Penyusunan proposal penelitian kepada Departemen Teknik Geologi

Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin sebagai syarat untuk melakukan

kegiatan penelitian tugas akhir.

2. Pengurusan administrasi meliputi pengurusan perizinan kegiatan penelitian

3. Pembuatan peta dasar berupa peta topografi daerah penelitian

24
4. Persiapan perlengkapan lapangan meliputi peralatan yang akan digunakan

dalam pengambilan data di lapangan.

3.3.2 Tahapan Pengumpulan Data

Pada penelitian ini data-data yang digunakan adalah data spasial dan data

lapangan.

3.2.1.1 Data Spasial

Data spasial yaitu data yang berorientasi geografis yang berisikan

informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (atribut).

 Informasi lokasi (spasial), berkaitan dengan suatu koordinat baik koordinat

geografi (lintang dan bujur) dan koordinat XYZ termasuk diantaranya

informasi datum

 Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial berkaitan dengan

suatu lokasi yang memiliki beberapa keterangan berkaitan dengannya,

contohnya jenis vegetasi, jumlah populasi, luasan daerah dan sebagainya.

Data-data spasial yang digunakan dalam penelitian ini yaitu disajikan

dalam tabel 3.1 di bawah ini

Tabel 3. 1 Sumber data dan parameter gerakan tanah

JENIS
TAHUN KETERANGAN SUMBER SKALA HASIL PETA
DATA
1. Peta
Kemiringan
Lereng
Badan 2. Peta
 Data ketinggian
Informsi Resolusi Elevasi
DEM 2017 dalam meter
Geospasial 8 meter 3. Peta Jarak
 Format raster
(BIG) dari Sungai
4. Peta Aspect
5. Peta Plan
Curvature
Peta Rupa 2019  Jalan Badan Skala Data

25
pendukung
 Batas Kecamatan
Informasi dalam
Bumi  Batas Desa
Geospasial 1:50.000 pembuatan peta
Indonesia Format vektor: ESRI
(BIG) zonasi rawan
shapefile
longsor
Dinas
1. Peta Jenis
Pertambangan
Litologi
Format vektor: ESRI dan Energi Skala
Litologi 2007 2. Peta Jarak
shapefile Pemerintah 1:50.000
dari
Kabupaten
Struktur
Gowa
Badan
Tata Guna Format vektor: ESRI Informasi Skala Peta Tata Guna
2017
Lahan shapefile Geospasial 1:300.000 Lahan
(BIG)
 Data curah hujan Balai Besar
bulanan Wilayah
Curah 2018 - Peta Curah
kabupaten Gowa Sungai
hujan 2019 Hujan
 Koordinat stasiun Jeneberang
curah hujan (BBWS)
Berdasarkan tabel di atas, jenis sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu data vektor dan data raster.

Hubungan kejadian gerakan tanah terhadap seluruh peta parameter, yaitu peta

jenis litologi, peta jarak dari struktur, peta kemiringan lereng, peta ketinggian,

peta aspect, peta plan curvature, peta tata guna lahan, peta jarak dari sungai dan

peta curah hujan akan diolah dengan metode Frekuensi Rasio untuk melihat

probabilitas antara data kejadian gerakan tanah dengan parameter gerakan tanah.

3.2.1.2 Data Lapangan

Data lapangan diperoleh melalui pengambilan data lapangan secara

langsung untuk memverfikasi kejadian longsor yang telah ditentukan berdasarkan

interpretasi citra satelit.

26
3.3.3 Tahap Pengolahan dan Analisis Data

3.3.3.1 Pembuatan Peta Sebaran Longsor

Pembuatan peta sebaran longsor didahului dengan pengumpulan data

kejadian longsor yang diperoleh melalui identifikasi daerah-daerah yang dianggap

sebagai kejadian tanah longsor berdasarkan kenampakan pada data citra satelit

tahun 2019 yang dibandingkan dengan data citra satelit tahun 2018. Selanjutnya

hasil identifikasi longsor di digitasi kedalam bentuk poligon menggunakan

perangkat lunak ArcGIS. Dari poligon hasil digitasi kemudian dibagi menjadi dua,

yakni data untuk analisis (training data) dan data untuk validasi (validation data)

dengan proporsi 70% dan 30%. Selanjutnya masing-masing poligon yang masih

dalam bentuk data vektor dikonversi kedalam raster dengan ukuran piksel 8 x 8

meter, dengan nilai piksel 1 untuk area longsor dan 0 untuk area bukan longsor.

3.3.3.2 Pembuatan Peta Paramaeter Longsor

Dalam pembuatan peta parameter longsor sumber data yang digunakan

adalah hasil pemetaan geologi skala 1:50.000, Digital Elevation Model (DEM)

dengan resolusi spasial 8 m, interpolasi stasiun curah hujan, serta citra sentinel

beresolusi 10 m. Adapun perangkat lunak yang digunakan dalam mengolah data

terdiri dari ArcGIS. Hasil akhir dari tahap ini adalah peta 9 parameter dalam

bentuk raster dengan ukuran piksel 8 x 8 meter.

PARAMETER PERANGKAT TOOLS ANALISIS


1. Litologi ArcGIS Polygon to Raster Conversion
2. Jarak dari struktur ArcGIS Multiple ring buffer
3. Kemiringan lereng ArcGIS Raster Surface (Slope) tools
4. Elevasi ArcGIS Reclassify tools
5. Aspect ArcGIS Raster Surface (Aspect) tools
6. Plan Curvature ArcGIS Raster Surface (Curvature) tools

27
7. Jarak dari sungai ArcGIS Multiple ring buffer
8. Tutupan Lahan ArcGis Polygon to Raster Conversion
9. Curah Hujan ArcGis Interpolation tools
3.3.3.3 Analisis Frekuensi Rasio

Pada awal tahap ini dilakukan intersect antara raster training data longsor

dengan setiap peta raster parameter longsor. Hasil intersect ini berupa data raster

baru dengan atribut tabel hasil kombinasi kedua raster tersebut. Atribut tabel

tersebut kemudian dieksport ke program spread sheet Microsoft exel untuk

dihitung nilai frekunsi kejadian longsornya.

3.3.3.5 Pembuatan Peta Zona Kerentanan Tanah

Pembuatan peta ini dilakukan dengan teknik tumpang tindih semua peta

raster parameter longsor hasil look up yang setiap pikselnya memiliki nilai (value)

frekuensi rasio. Output dari proses ini adalah peta raster dengan setiap pikselnya

memilki nilai perhitungan rasio kejadian longsor. Selanjutnya dilakukan reclassify

dengan interval nilai dan jumlah kelas sesuai yang diinginkan.

3.3.3.6 Tahap Validasi dan Verifikasi

Pada tahap ini peta zona kerentanan yang didapatkan akan diuji tingkat

akurasi nya dengan cara validasi dan verifikasi. Tahap validasi dan verifikasi

dilakukan dengan metode yang sama yaitu dilakukan melalui pembuatan kurva

Relative Operating Characteristic (ROC). Kurva ROC merupakan kurva plotting

nilai sensitifity (True positif rate) dan 1-specifity (Negatif positif rate). Sensitivity

merupakan ukuran ketepatan dari suatu kejadian yang diinginkan. Specificity

merupakan suatu ukuran yang menyatakan presentase kejadian – kejadian yang

tidak diinginkan. Perbedaan nya pada tahap validasi data kejadian longsor yang

28
digunakan merupakan data latihan (training) kejadian longsor (70%) sedangkan

pada tahap verifikasi kejadian longsor yang digunakan merupakan data prediksi

(30%)

Setelah dilakuan plotting kurva ROC, selanjutnya dilakukan perhitungan

daerah dibawah kurva (Area Under Curve/AUC). Apabila nilai dibawah kurva

lebih besar dibandingkan 0.7 maka model dapat dikatakan layak untuk digunakan.

Tabel 3.2 Klasifikasi Akurasi model prediksi berdasakan nilai AUC (Swets, J.A., 1988)

No Nilai Tingkat Akurasi


1 0,5 – 0,6 Gagal
2 0,6 – 0,7 Kurang
3 0,7 – 0,8 Cukup
4 0,8 – 0,9 Baik
5 0,9 - 1 Sangat Baik
3.3.4 Tahap Penyusunan Skripsi

Data yang telah dianalisis akan disajikan dalam bentuk peta dan laporan.

Peta yang dihasilkan adalah peta litologi, peta jarak dari struktur, peta kemiringan

lereng, peta elevasi, peta arah lereng (aspect), peta plan curvature, peta tataguna

lahan, peta jarak dari sungai dan peta curah hujan.

Selanjutnya pembuatan peta zonasi yang berdasarkan hasil analisis dengan

metode Frekuensi Rasio Sub Das Jenelata Kecamatan Bungaya Kabupaten Gowa

Provinsi Sulawesi Selatan.

29
Tabel 3. 3 Diagram alir tahapan penelitian

30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Peta Parameter

4.1.1 Peta Litologi

Pembuatan peta parameter litologi dilakukan mengguankan perangkat

lunak ArcGIS, dimana data vektor yaitu shapefile batas litologi daerah penelitian

dikonversi kedalam data raster dengan ukuran piksel 8 x 8 m. Hasil akhir dari

proses rasterisasi menghasilkan peta raster sebaran litologi dengan 9 kelas dimana

masing-masing kelas mewakili satu satuan litologi yakni satuan intrusi diorit,

satuan intrusi basal, satuan breksi andesit, satuan breksi vulkanik, satuan tufa,

satuan batugamping terumbu, satuan tufa halus, satuan breksi basalt, dan satuan

laval basal.

Berikut dibawah ini diagram alir pembuatan peta paramerer litologi

(Gambar 4.1):

Gambar 4. 1 Diagram alir pembuatan peta paramerer litologi

4.1.2 Peta Jarak dari Struktur

Pembuatan peta parameter jarak dari struktur dilakukan menggunakan

perangkat lunak ArcGIS, dimana data vektor yaitu shapefile garis struktur daerah

penelitian akan di buffer menjadi dua belas zona yaitu jarak 1 km dari garis

31
struktur sampai 12 km dari garis struktur dengan menggunakan proximity tools,

setelah proses ini selesai maka akan menghasilkan peta jarak dari struktur dalam

bentuk data vektor. Selanjutnya untuk menganalisis peta ini maka akan dilakukan

konversi kedalam data raster dengan menggun conversion tools sehingga

menghasilkan peta raster jarak dari sungai dengan ukuran piksel 8 x 8 m.

Berikut di bawah ini diagram alir pembuatan peta parameter jarak dari

struktur (Gambar 4.2):

Gambar 4. 2 Diagram alir pembuatan peta parameter jarak dari struktur

4.1.3 Peta Ketinggian (Elevasi)

Pembuatan peta parameter ketinggian dilakukan menggunakan perangkat

lunak ArcGIS dimana sumber data yang digunakan adalah data digital elevation

model (DEM) resolusi 8 m. Nilai ketinggian yang terdapat dalam DEM

diklasifikasi kedalam beberapa kelas ketinggian mengguakan tools raster

reclassifiy. Adapun dasar klasifikasi yang digunakan adalah natural breaks

dimana nilai rentangnya ditentukan berdasarkan distribusi frekuensi data dan

dibagi jumlah kelas yang telah ditentukan

Berikut di bawah ini diagram alir pembuatan peta parameter ketinggian

(Gambar 4.3):

32
Gambar 4. 3 Diagram alir pembuatan peta parameter ketinggian

4.1.4 Peta Kemiringan Lereng (Slope)

Dalam pembuatan peta kemiringan lereng, informasi hipsografi yang

digunakan bersumber dari data DEM yang memilki resolusi spasial 8 m. Adapun

perangkat lunak yang digunakan adalah ArcGIS. Nilai slope (kerimingan lereng)

diturunkan dari data DEM menggunakan tools raster surface > slope pada

arctoolbox ArcGIS. Output dari processing tools tersebut adalah raster slope yang

masih belum diklasifikasi. Untuk dapat digunakan dalam analisis, raster slope

kemudian di reklasifikiasi kedalam beberapa kelas dengan dasar klasifikasi yang

digunakan adalah klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam.

Berikut di bawah ini diagram alir peta pembuatan peta parameter

kemiringan lereng (Gambar 4.4):

Gambar 4. 4 Diagram alir peta pembuatan peta parameter kemiringan lereng

4.1.5 Peta Arah Lereng (Aspect)

Pembuatan peta parameter arah lereng dilakukan menggunakan perangkat

ArcGIS dimana sumber data yang digunakan adalah citra digital elevation model

(DEM) beresolusi spasial 8 m. Adapun tools pada ArcGIS yang digunakan dalam

menghitung nilai aspek adalah tools raster surface. Output yang dihasilkan

setelah menjalankan tools ini adalah data raster dimana setiap pikselnya memiliki

33
nilai arah lerengnya. Raster yang dihasilkan masih belum terklasifikasi, oleh

karena itu perlu dilakukan reklasifikasi raster kedalam beberapa kelas (gambar

4.5), adapun dasar klasifikasi yang digunakanan mengacu pada klasifikasi aspek

yang dibuat oleh ESRI. Klasifikasi ini membagi aspek kedalam 9 kelas sesuai

dengan arah mata angin yaitu datar, utara, timurlaut, timur, tenggara, selatan,

baratdaya, barat, baratlaut.

Berikut di bawah ini diagram alir peta pembuatan peta parameter arah

lereng (Gambar 4.5):

Gambar 4. 5 diagram alir peta pembuatan peta parameter arah lereng

4.1.6 Peta Plan Curvature

Pembuatan peta parameter plan curvature dilakukan mengguankan

perangkat ArcGIS dimana sumber data yang digunakan adalah data DEM (Digital

Elevation Model) resolusi 8 m. Nilai plan curvature diturunkan dari data DEM

menggunakan tools curvature yang terdapat dalam raster surface analysis toolbox

ArcGIS. Adapun algoritma yang digunakan dalam perhitungan nilai plan

curvature adalah algoritma yang dibuat oleh Zevenbergen & Thorne (1897) dalam

Lucian (2012). Hasil akhir dari processing tools ini berupa data raster dimana

setiap pikselnya memiliki nilai (value) plan curvature raster kemudian

34
direklasifikasi kedalam tiga kelas berdasarkan bentuk curvaturenya menggunakan

raster reclassify tools yaitu cekung, datar dan cembung.

Berikut di bawah ini diagram alir peta pembuatan peta parameter plan

curvature (Gambar 4.6):

Gambar 4. 6 diagram alir peta pembuatan peta parameter plan curvature

4.1.7 Peta Tataguna Lahan

Pembuatan peta parameter tataguna lahan dilakukan menggunakan

perangkat lunak ArcGIS, dimana data vektor yaitu shapefile tataguna lahan

kabupaten gowa akan di potong terlebih dahulu menggunakan tools clip sehingga

sesuai dengan batas daerah penelitian. Setelah itu shapefile tataguna lahan daerah

penelitian akan dikonversi kedalam data raster dengan ukuran piksel 8 x 8 m.

Hasil akhir dari proses rasterisasi menghasilkan peta raster tataguna lahan.

Berikut di bawah ini diagram alir pembuatan peta parameter tataguna

lahan (Gambar 4.6):

Gambar 4. 7 Diagram alir pembuatan peta parameter tataguna lahan

35
4.1.8 Peta Jarak dari Sungai

Pembuatan peta jarak dari sungai dilakukan menggunakan perangkat

ArcGIS, dimana sumber data yang digunakan adalah data digital elvation model

(DEM) resolusi spasial 8 m. Secara garis besar dapat dibagi kedalam dua tahap,

yakni tahap ekstraksi sungai dari data DEM dan perhitungan nilai jarak dari

sungai.

Ekstarksi sungai dilakukan dengan menggunakan serangkaian tools

hodrology pada ArcGIS antara lain fill tool, flow direction tool, flow

accumulation tools, ratser calculator tool dan raster conversion tool. (Gambar

4.8)

Gambar 4. 8 Diagram aliran pembuatan aliran sungai dari data DEM

Perhitungan nilai jarak dari sungai dilakukan menggunakan Multiple ring

buffer pada ArcGIS. Output yang dihasilkan berupa shapefile jarak dari sungai.

Selanjtunya peta shapefile jarak dari sungai ini akan dikonversi kedalam bentuk

raster dimana setiap pikselnya memiliki nilai (value) jarak dari sungai. (Gambar

4.9)

36
Gambar 4. 9 Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai

4.1.9 Peta Curah Hujan

Data curah hujan diperoleh dari stasiun pengamatan Balai Besar Wilayah

Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang tahun 2018-2019 dengan jumlah stasiun

pos hujan sebanyak tiga stasiun.

Tabel 4. 1 Stasiun curah hujan yang diperoleh dari stasiun pengamatan BBWS Jeneberang

Kordinat Stasiun Curah hujan


X Y (mm/tahun)
119.5855 -5.27944 Bilibili 933
6
119.8541 -5.24833 Malino 130
7 Data
119.7347 -5.36333 Limbung 2910
curah 2 a hujan

kemudian diolah menggunakan metode Inverse Distance Weighted (IDW) pada

perangkat lunak ArcGIS. Penggunaan metode IDW dipilih karena nilai interpolasi

akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang lebih jauh.

Metode interpolasi IDW menghasilkan data raster dimana setiap pikselnya

memiliki nilai (value) curah hujan. Kemudian agar dapat digunakan untuk analisis

lebih lanjut, raster kemudian direklasifikasi kedalam 4 kelas. Metode klasifikasi

yang digunakan adalah metode secara statistik, berdasarkan sebaran data dan

bentuk histogramnya, natural breaks dimana nilai rentangnya ditentukan

37
berdasarkan distribusi frekuensi data dan dibagi jumlah kelas yang telah

ditentukan. (Gambar 4.10)

Gambar 4. 10 Diagram alir pembuatan peta curah hujan

4.2 Sebaran Kejadian Gerakan Tanah di daerah Penelitian

Lokasi kejadian gerakan tanah diperoleh dari data sejarah kejadian gerakan

tanah dan analisa citra satelit yang selanjutnya dilakukan proses pengecekan di

lapangan. Total kejadian gerakan tanah yang teridentifikasi di daerah penelitian

sebanyak 122 area kejadian longsor. Selanjutnya data area kejadian longsor ini

akan dikonversi kedalam bentuk raster sehingga menghasilkan 41433 piksel

kejadian longsor.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, secara umum tipe gerakan

tanah yang dijumpai pada daerah penelitian adalah debris slide. Debris slide yang

dijumpai di lapangan dicirikan dengan gerakan tanah yang melalui bidang gelincir

dengan material yang bergerak tersusun atas material yang tak terkonsolidasi yang

38
terdiri dari tanah, kemiringan lereng yang relatif terjal dan dipengaruhi oleh gaya

gravitasi. (Foto 4.1).

Foto 4. 1 Tipe gerakan tanah berupa debris slide pada daerah Bontomanai dengan arah
foto N 310o E

Foto 4. 2 Tipe gerakan tanah berupa debris slide pada daerah Mangempang dengan
arah foto N 240o E

39
Selain debris slide dijumpai juga tipe gerakan tanah berupa rock fall yang

dimana tipe gerakan tanah ini ditandai dengan jatuhan batuan yang menuruni

lereng. (Foto 4.3)

Foto 4. 3 Tipe gerakan tanah berupa rock fall pada daerah Bontomanai dengan arah
foto N 75o E

Kejadian gerakan tanah pada umumnya dijumpai pada litologi tufa yang

merupakan anggota dari satuan breksi vulkanik dan telah mengalami pelapukan

sehingga memicu terjadinya gerakan tanah. (Gambar 4.11)

40
Foto 4. 4 Jenis gerakan debris slide dengan litologi penyusun berupa tufa pada daerah
Bontomanai dengan arah pengambilan foto N 170o E

Selain itu pada beberapa tempat dijumpai gerakan tanah dengan litologi

penyusun berupa basalt. (Gambar 4.10)

Foto 4. 5 Jenis gerakan rock fall dengan litologi penyusun berupa basal pada daerah
Bontomanai dengan arah pengambilan foto N170o E

Kejadian gerakan tanah juga banyak dijumpai pada morfologi dengan

kemiringan lereng yang bergelombang sampai terjal dengan kemiringan antara 8-

55o. Kejadian gerakan tanah pada daerah penelitian banyak dijumpai pada daerah

dengan tata guna lahan berupa pemukiman, persawahan, hutan dan

tegalan/ladang.

41
Foto 4. 6 Tipe gerakan tanah berupa debris slide yang dijumpai mengenai pemukiman warga
sekitar di daerah Mangempang dengan arah foto N160o E

Selain itu, kejadian gerakan tanah banyak tersebar di sisi jalan, dimana pada

umumnya terjadi pemotongan lereng yang meningkatkan resiko terjadinya longsor

(Gambar 4.17 dan 4.18)

Foto 4. 7 Gerakan tanah yang dijumpai dipinggir jalan di daerah Jenebatu dengan arah foto N84 o
E

Foto 4. 8 Gerakan tanah yang dijumpai dipinggir jalan di daerah Sapaya dengan arah foto
N5o E

4.3 Rasio Kejadian Longsor

Dalam perhitungan frekunsi rasio (FR), hubungan kejadian longsor

terhadap faktor- faktor yang menjadi parameter dianalisis secara statistik dimana

42
kejadian gerakan tanah merupakan variabel terikat (variabel dependen) yang

bersifat kategorik dikotomi dengan nilai 1 untuk piksel gerakan tanah dan 0 untuk

piksel tanpa gerakan tanah, sedangkan faktor-faktor yang mejadi parameter dalam

analisis bertindak sebagai variabel bebas (variabel independen). Nilai frekuensi

rasio dihitung untuk masing-masing faktor dengan menggunakan data atribut di

ArcGIS dimana asumsi kunci saat menggunakan pendekatan probabilitas

frekuensi rasio adalah kemungkinan kejadian longsor sebanding terhadap

frekuensi longsor yang sesungguhnya. Frekuensi rasio untuk masing-masing tipe

dan faktor dihitung dengan membagi rasio kejadian longsor dengan rasio area.

Nilai frekuensi rasio kejadian longsor di daerah penelitian disajikan dalam tabel

4.1.

Tabel 4. 2. Nilai frekuensi rasio kejadian longsor setiap parameter

Faktor Kelas Piksel % Piksel kelas % Frekuensi


Longsor Longsor parameter Kelas Rasio (FR)
Intrusi Diorit 0 0.00% 21529 0.65% 0.00
Intrusi Basal 1528 5.27% 180453 5.44% 0.97
Breksi Andesit 0 0.00% 8164 0.25% 0.00
Breksi Vulkanik 22798 78.61% 1944717 58.63% 1.34

Litologi Tufa 0 0.00% 261675 7.89% 0.00


Batugamping 0 0.00% 583 0.02% 0.00
Tufa Halus 3855 13.29% 198299 5.98% 2.22
Breksi Basal 822 2.83% 681219 20.54% 0.14
Lava Basal 0 0.00% 20286 0.61% 0.00

1000 m 11806 40.71% 1118348 33.72% 1.21


2000 m 7658 26.40% 785619 23.69% 1.11
3000 m 5307 18.30% 476955 14.38% 1.27
4000 m 3375 11.64% 270033 8.14% 1.43
5000 m 380 1.31% 183593 5.54% 0.24
Jarak dari 6000 m 344 1.19% 140731 4.24% 0.28
Struktur
7000 m 133 0.46% 117045 3.53% 0.13
8000 m 0 0.00% 92558 2.79% 0.00
9000 m 0 0.00% 62528 1.89% 0.00
10000 m 0 0.00% 38720 1.17% 0.00
11000 m 0 0.00% 22995 0.69% 0.00

43
12000 m 0 0.00% 7800 0.24% 0.00
2◦ 474 1.63% 122202 3.68% 0.44
4◦ 610 2.10% 133401 4.02% 0.52
8◦ 2360 8.14% 378403 11.41% 0.71
16◦ 7105 24.50% 1002659 30.23% 0.81
35◦ 14761 50.89% 1480671 44.64% 1.14
Slope
55◦ 3584 12.36% 192314 5.80% 2.13
>55◦ 109 0.38% 7275 0.22% 1.71
170 m 220 0.76% 446204 13.45% 0.06
313 m 3397 11.71% 455077 13.72% 0.85
447 m 10363 35.73% 541710 16.33% 2.19
569 m 7634 26.32% 519422 15.66% 1.68

Elevasi 686 m 4091 14.11% 485420 14.63% 0.96


803 m 2224 7.67% 347967 10.49% 0.73
926 m 988 3.41% 240905 7.26% 0.47
1054 m 86 0.30% 197892 5.97% 0.05
1394 m 0 0.00% 82328 2.48% 0.00
Utara 3819 13.17% 423506 12.77% 1.03
Timurlaut 4260 14.69% 463631 13.98% 1.05
Timur 1667 5.75% 309113 9.32% 0.62
Tenggara 3455 11.91% 254500 7.67% 1.55
Aspect Selatan 4445 15.33% 386173 11.64% 1.32
Baratdaya 5186 17.88% 511969 15.44% 1.16
Barat 2715 9.36% 511941 15.43% 0.61
Baratlaut 3456 11.92% 456092 13.75% 0.87

Cekung 6053 20.87% 415580 12.53% 1.67

Plancurvature Datar 14556 50.19% 1770592 53.38% 0.94


Cembung 8394 28.94% 1130753 34.09% 0.85

Bangunan 285 0.98% 43329 1.31% 0.75


Lahan terbuka lain 0 0.00% 7086 0.21% 0.00
Sawah 11227 38.71% 820705 24.74% 1.56
Ladang/tegalan palawija 2915 10.05% 785319 23.68% 0.42
Semak belukar 0 0.00% 7516 0.23% 0.00
Perkebunan lain 0 0.00% 4462 0.13% 0.00
Tataguna lahan
Ladang/tegalan 0 0.00% 14818 0.45% 0.00
hortikultura
Hutan 14561 50.21% 1621615 48.89% 1.03
Lapangan 0 0.00% 490 0.01% 0.00
Permukaan diperkeras lain 0 0.00% 444 0.01% 0.00
Sungai 15 0.05% 11141 0.34% 0.15

100 m 14136 48.74% 1467778 44.25% 1.10


200 m 7632 26.31% 981009 29.58% 0.89

Jarak dari sungai 300 m 4318 14.89% 541628 16.33% 0.91


400 m 2279 7.86% 238053 7.18% 1.09
500 m 562 1.94% 76222 2.30% 0.84

44
600 m 76 0.26% 11814 0.36% 0.74
700 m 0 0.00% 421 0.01% 0.00

1251 64 0.22% 409535 12.35% 0.02


1662 1898 6.54% 335831 10.13% 0.65
Curah hujan 2049 3505 12.08% 252923 10.67% 1.13
2398 5360 18.48% 512297 15.45% 1.20

2669 7419 25.58% 814965 25.47% 1.04


2910 10757 37.09% 8900015 26.84% 1.38

Berdasarkan tabel 4.1 , nilai frekuensi rasio (FR) masing-masing kelas

pada setiap parameter bervariasi antara 0-2.22 dimana semakin tinggi nilai rasio

semakin besar hubungan atau korelasi antara kejadian longsor dengan faktor

yang menjadi parameter dalam longsor tersebut.

Dalam parameter litologi terlihat beberapa satuan yang memiliki nilai FR

yaitu tufa halus, breksi vulkanik, intrusi basal dan breksi basal. Dari keempat

satuan ini yang memiliki nilai FR paling tinggi adalah satuan tufa halus dan

breksi vulkanik. Tufa halus dengan nilai FR 2.22 mengindikasikan hubungan

kejadian longsor dengan satuan ini sangat tinggi, hal ini dapat dikorelasikan

dengan kondisi maupun ciri fisik batuan yang bertekstur klastik dengan ukuran

butir halus memiliki porositas yang baik dan permeabilitas yang permeable

(mudah meloloskan air).

Parameter jarak dari struktur memperlihatkan nilai FR terjadinya longsor

erat kaitannya dengan zona-zona lemah batuan yaitu adanya pengaruh struktur

geologi berupa kekar ataupun sesar. Parameter struktur geologi memperlihatkan

nilai FR yang relatif rendah ketika kejadian longsor berada lebih jauh dari garis

struktur hal ini terlihat dari nilai FR jarak struktur 1000 m sebesar 1.21,

45
sedangkan jarak struktur 7000 m sebesar 0.13 sementara ketika jarak struktur

12.000 m nilai FR nya 0.00

Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor,

hal ini terbukti bahwa sejumlah kejadian longsor yang terjadi banyak ditemukan

dilereng-lereng yang curam. Dalam analisis FR parameter kemiringan lereng

memperlihatkan slope dengan kemiringan kisaran 55o memiliki nilai FR 2.13 ini

menujukan bahwa kemiringan lereng yang tinggi maka kemungkinan untuk

terjadinya tanah longsor juga semakin tinggi.

Elevasi menunjukan tinggi atau rendahnya suatu daerah diatas

permukaan, nilai elevasi yang tinggi disuatu daerah menunjukan bahwa daerah

tersebut berada lebih tinggi dari atas permukaan laut. Elevasi erat kaitan nya

dengan kemiringan lereng (slope), perbedaan nilai elevasi menunjukan semakin

tinggi atau rendahnya kemiring lereng pada suatu daerah, oleh karena itu dalam

anilisi frekunsi rasio elevasi juga mempengaruhi terjadinya tanah longsor. Pada

elevasi 400-600 m memperlihatkan nilai FR 1.68-2.19 hal ini menunjukan bahwa

pada ketinggian ini peluang terjadinya tanah longsor sangat tinggi.

Parameter arah lereng (aspect) memperlihatkan peluang terjadinya tanah

longsor sangat tinggi pada arah tenggara dan selatan yakni 1.55 dan 1.32.

sedangkan untuk plan curvature memperlihatkan kejadian longsor banyak terjadi

didaerah dengan bentuk lereng yang cekung dengan nilai FR 1.67

Pada tataguna lahan frekuensi longsor banyak terjadi di daerah hutan dan

persawahan dengan nilai 1.03 dan 1.56 selain itu terdapat juga beberapa kejadian

longsor yang terjadi di pemukiman warga dengan nilai FR 0.75

46
Pada aspek hidrologi parameter sungai ikut mendorong peluang terjadi

longsor hal ini terlihat dari nilai FR yang relatif lebih tinggi ketika longsor

berada lebih dekat dengan sungai yaitu pada jarak 100 m nilai FR 1.10

sedangkan jarak 600 m nilai FR 0.74. Selain sungai kondisi curah hujan juga ikut

mendorong terjadi nya kejadian longsor, curah hujan yang tinggi pada daerah

penelitian memperlihatkan rasio kejadian longsor lebih besar dibandingkan

dengan curah hujan yang lebih rendah hal ini terlihat dari nial FR ketika curah

hujan berada pada angka 2910 mm/tahun adalah 1.38 sedangkan pada curah

hujan 1251mm/tahun dan 1622/tahun nilai FR nya adalah 0.02 dan 0.65.

47
A B

C D

Gambar 4. 11 Grafik nilai frekuensi rasio masing-masing paramaeter A. Litologi B. Jarak dari struktur C. Slope dan D. Elevasi

48
E F

G H

Gambar 4. 12 Grafik nilai frekuensi rasio masing-masing paramaeter E Arah lereng (Aspect). Litologi F. Plan curvature G. Tataguna lahan
H. Jarak dari Sungai dan I Curah hujan

49
4.4 Zona Kerentanan Gerakan Tanah ditinjau Aspek Geologi dan

Hidrologi

Perhitungan zona kerentanan dilakukan dengan menggunakan teknik

tumpang tindih seluruh raster peta frekuensi rasio prediksi longsor menggunakan

perangkat ArcGIS. Selanjutnya dilakukan klasifikasi tingkat zona kerentanan

kedalam lima kelas yakni zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah, rendah,

menengah, tinggi dan sangat tinggi. Adapun dasar klasifikasi yang digunakan

dalam menentukan interval nilai probabilitas pada setiap zona adalah natural

breaks dimana nilai rentangnya ditentukan berdasarkan distribusi frekuensi data

dan dibagi jumlah kelas yang telah ditentukan

4.4.1 Zona Kerentanan Gerakan Tanah Ditinjau dari Aspek Geologi

Pada aspek geologi perhitungan dilakukan dengan teknik tumpang tindih

raster peta parameter litologi, jarak dari struktur, elevasi, kemiringan lereng, arah

lereng, plan curavture serta tataguna lahan sehingga didapatkan lima zona

kerentanan gerakan tanah. Pada aspek geologi terlihat bahwa parameter litologi,

elevasi dan kemiringan lereng sangat mempengarahi zona kerentanan gerakan

tanah.

Pada zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah memiliki luas sekitar

9% dari keseluruhan daerah penelitian, litologi penyusun terdiri dari tufa, breksi

andesit dan intrusi basal, pengaruh struktur terlihat tidak signifikan karena jarak

dari struktur geologi tergolong jauh yaitu sekitar 7.000-12.000 m. selain itu

terlihat juga pengaruh kemiringan lereng pada zona ini tergolong kedalam lereng

yang landau sampai curam yaitu 5-16o dengan ketinggian elevasi diatas 800 m.

50
Pada zona kerentanan gerakan tanah rendah memiliki luas sekitar 23% dari

keseluruhan daerah penelitian, litologi penyusun terdiri dari breksi basal dan

intrusi basal, pengaruh struktur terlihat tidak signifikan karena jarak dari struktur

geologi tergolong jauh yaitu sekitar 4000-6000 m. selain itu terlihat juga pengaruh

kemiringan lereng pada zona ini tergolong kedalam lereng yang cukup terjal yaitu

5-8o dengan ketinggian elevasi diatas 800 m.

Pada zona kerentanan gerakan tanah menengah memiliki luas sekitar 22%

dari keseluruhan daerah penelitian, litologi penyusun terdiri dari breksi basal dan

breksi vulknanik, pengaruh struktur terlihat signifikan karena jarak dari struktur

geologi tergolong dekat yaitu sekitar 2000-3000 m. selain itu terlihat juga

pengaruh kemiringan lereng pada zona ini tergolong kedalam lereng yang curam

sampai terjal yaitu 17-35o dengan ketinggian elevasi sekitar 600-800 m.

Pada zona kerentanan gerakan tanah tinggi memiliki luas sekitar 25% dari

keseluruhan daerah penelitian, litologi penyusun terdiri dari breksi tufa halus dan

breksi vulknanik, pengaruh struktur terlihat signifikan karena jarak dari struktur

geologi tergolong dekat yaitu sekitar 1000-2000 m. selain itu terlihat juga

pengaruh kemiringan lereng pada zona ini tergolong kedalam lereng yang curam

sampai terjal yaitu 17-35o dengan ketinggian elevasi sekitar 400-600 m.

Pada zona kerentanan gerakan tanah sangat tinggi memiliki luas sekitar

14% dari keseluruhan daerah penelitian, litologi penyusun terdiri dari tufa halus,

pengaruh struktur terlihat signifikan karena jarak dari struktur geologi tergolong

sangat dekat yaitu sekitar 0-1000 m. selain itu terlihat juga pengaruh kemiringan

51
lereng pada zona ini tergolong kedalam lereng yang terjal yaitu 36 o sampai diatas

55o dengan ketinggian elevasi sekitar 300-500 m

G
a
Parameter Geologi m
b
14% 9% a
r
23%
25%

29%

Sangat rendah Rendah Menengah


Tinggi Sangat tinggi
4. 13 Diagram pembagian zona kerentanan tanah ditinjau dari aspek geologi

Pada pemodelan zonasi longsor ini juga dapat ditentukan parameter litologi

yang dominan, berupa breksi vulkanik, dengan ketinggian antara 447 m-569 m

dan kemiringan lereng yang sangat berpengaruh yaitu antara 16-35 o seperti yang

terlihat pada tabel di bawah ini

Tabel 4. 3 Hubungan antara zona kerentanan longsor terhadap jenis litologi

Zona Kerentanan Longsor


Jenis Litologi Sangat Renda Menenga Tingg Sangat
Rendah h h i Tinggi
Intrusi Diorit 0% 1% 1% 0% 0%
Intrusi Basal 2% 11% 4% 5% 3%
Breksi
Andesit 2% 0% 0% 0% 0%
Breksi
Vulkanik 36% 48% 61% 76% 69%
Tufa 45% 4% 0% 0% 0%
Batugamping 0% 0% 0% 0% 0%
Tufa Halus 1% 3% 2% 5% 26%
Breksi Basal 13% 31% 32% 14% 1%
Lava Basal 0% 1% 1% 0% 0%

52
Tabel 4. 4 Hubungan antara zona kerentanan longsor terhadap kemiringan lereng

Zona Kerentanan Longsor


Slope Sangat Menenga Sangat
Rendah Rendah h Tinggi Tinggi
0-2° 7.75% 5.18% 2.04% 1.96% 2.51%
2-4o 9.70% 4.88% 2.44% 2.00% 2.48%
4-8o 18.19% 13.61% 9.50% 8.51% 8.42%
33.95 27.82
8-16o 35.21% % 28.98% % 24.75%
40.19 50.11
16-35o 28.86% % 50.41% % 50.10%
35-55o 0.26% 2.07% 6.27% 9.28% 11.57%
>55o 0.02% 0.13% 0.36% 0.32% 0.17%
Tabel 4. 5 Hubungan antara zona kerentanan longsor terhadap ketinggian

Zona Kerentanan Longsor


Renda Menenga Tingg
Elevasi Sangat Rendah h h i Sangat Tinggi
170 m 37% 25% 8% 1% 0%
313 m 5% 11% 20% 22% 3%
447 m 0% 2% 10% 22% 60%
569 m 0% 5% 16% 27% 31%
686 m 3% 17% 23% 18% 3%
803 m 10% 18% 14% 6% 1%
926 m 16% 10% 7% 3% 1%
1054 m 16% 11% 3% 1% 0%
1394 m 13% 2% 0% 0% 0%

4.4.2 Zona Kerentanan Gerakan Tanah ditinjau dari Aspek Hidrologi

Pada aspek hidrologi perhitungan dilakukan dengan tumpang tindih raster

peta parameter geologi, jarak dari sungai dan curah hujan sehingga didapatkan

lima zona kerentanan tanah. Pada aspek hidrologi terlihat perubahan yang

signifikan terhadap beberapa zona yaitu pada zona kerentanan gerakan tanah

sangat rendah luas area terdampak berubah menjadi 15% dari daerah penelitian,

dan zona kerentanan gerakan tanah menengah berubah menjadi 25% dari daerah

penelitian. Hal ini dapat disimpulkan bahwa parameter hidrologi berupa sungai

53
dan curah hujan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keajadian

longsor.

Kejadian longsor dengan aspek


hidrologi
14% 15%

23% 23%

25%

Sangat rendah Rendah Menengah


Tinggi Sangat tinggi

Gambar 4. 14 Diagram pembagian zona kerentanan tanah dengan parameter hidrologi

Pada aspek hidrologi khususnya parameter curah hujan juga dapat terlihat

bahwa hubungan antara zonasi kerentanan longsor terhadap tingkat curah hujan

itu berbanding lurus, hal ini dapat dilihat dari tabel dibawah ini yang

memperlihatkan semakin tinggi intensitas curah hujan maka tingkat kerentanan

longsor juga semakin tinggi, selain itu dapat juga disimpulkan bahwa pengaruh

tingkat kerentan longsor ini sangat dipnegaruhi oleh intensitas hujan yang tinggi.

Tabel 4. 6 Hubungan antara zona kerentanan longsor terhadap curah hujan

Curah Zona kerentanan longsor


hujan
(mm/tahu Sangat Renda Menenga Tingg Sangat
n) Rendah h h i Tinggi
1251 41% 23% 3% 0% 0%
1662 8% 9% 15% 11% 4%
2049 16% 6% 11% 12% 11%
2398 23% 16% 14% 12% 14%
2669 12% 38% 29% 19% 18%
2910 1% 7% 28% 47% 53%

54
Hubungan antara zonasi longsor terhadap curah hujan
60%

50%

40%

30%

20%

10%

0%
Sangat Rendah Rendah Menengah Tinggi Sangat Tinggi

1251 1662 2049 2398 2669 2910

Gambar 4. 15 Grafik hubungan antara zonasi longsor terhadap curah hujan

4.5 Zona Kerentanan Gerakan Tanah

4.5.1 Zona Kerentanan Sangat Rendah

Zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah memiliki luas 34.28 km 2

atau sekitar 15 % dari keseluruhan daerah penelitian. Secara umum zona ini

menempati bagian timur dan barat laut daerah penelitian Pada bagian timur

meliputi desa Sicini, Paladingang dan Paranglompoa kecamatan Bungaya

sedangkan pada bagian barat laut meliputi desa Moncongloe dan Tanakaraeng

kecamatan Manuju.

Litologi penyusun didominasi oleh satuan tufa (45%) dan satuan breksi

vulkanik (36%). Berdasarkan urutan stratigrafinya litologi tufa terbentuk secara

bersamaan (interfingering) dengan breksi vulkanik sehingga terjadi perselingan

antara kedua litologi ini, Seperti kita ketahui bahwa litologi tufa yang tersusun

dari material abu vulkanik bersifat kedap terhadap air dan menjadi licin pada saat

55
hujan, sehingga lapisan ini dapat bertindak sebagai bidang luncur terhadap batuan

breksi dan tanah yang terbentuk di atasnya. Selain itu terlihat juga pada zona ini

didominasi dengan lereng yang curam (8-16o). Dengan demikian cukup wajar jika

pada satuan ini seharusnya banyak terjadi proses longsor sehingga membentuk

zona kerentanan tinggi sampai sangat tinggi bukan zona kerentanan rendah.

Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa kejadian longsor yang didapatkan

pada daerah penelitian terjadi karena pengaruh curah hujan tinggi sedangkan pada

zona ini terlihat didominasi oleh curah hujan yang rendah yaitu 1255mm/tahun

sehingga diasumsikan bahwa litologi-litologi yang seharusnya menjadi pengontrol

terjadinya longsor tidak terjadi longsor karena intensitas curah hujan yang rendah

sehingga batuan tersebut belum jenuh air.

4.5.2 Zona Kerentanan Rendah

Zona kerentanan gerakan tanah rendah memiliki luas 52.56 km2 atau

sekitar 23% dari keseluruhan daerah penlitian. secara umum zona tersebar pada

bagian timur, tenggara dan barat daya daerah penelitian. Pada bagian timur

meliputi beberapa desa dikecamatan Bungaya yaitu sebagian desa Jenebatu dan

sebagian dari desa Sapaya sedangkan pada bagian tenggara zona ini terdapat

didesa Buakang.

Secara umum litologi penyusun didominasi oleh satuan breksi vulkanik

(48%) dan satuan breksi basal (31%). Litologi yang mendominasi pada zona ini

diketahui memiliki tingkat pelapukan sedang dan tingkat kekerasan tinggi. Selain

itu faktor pemicu terjadinya longsor yakni curah hujan tergolong rendah yaitu

sekitar 1251 mm/tahun sehingga kemungkinan terjadinya longsor itu sangat

56
rendah, walaupun terlihat pada zona ini dodiminasi lereng yang cenderung curam

(8-35o).

4.5.3 Zona Kerentanan Menengah

Zona kerentanan gerakan tanah menegah memiliki luas 57.13 km2 atau

sekitar 25% dari keseluruhan daerah penelitian. Secara umum zona ini menempati

beberapa desa di kecamatan Bungaya yaitu desa Sapaya, Ronloe dan Bisoloro

serta desa Moncongloe di kecamatan Manuju.

Secara umum litologi penyusun didominasi oleh satuan breksi vulkanik

(61%) dan satuan breksi basal (32%). Sama halnya denga zona kerentanan rendah

litologi yang mendominasi pada zona ini diketahui memiliki tingkat pelapukan

sedang dan tingkat kekerasan tinggi dengan kemiringan lereng antara 16-35 o,

tetapi pada zona menengah ini kemungkinan terjadinya longsor lebih tinggi

dibanding zona rendah hal ini disebabkan oleh tingkat curah hujan pada zona ini

cukup tinggi yaitu antara 2669 mm/tahun. Ketika terjadi longsor pada zona ini

maka dapat diasumsikan bahwa jenis longsor yang terjadi berupa jatuhan hal ini

diperkirakan karena kemiringan lereng dan jenis litologi yang mendominasi pada

zona ini memiliki kekerasan yang tinggi.

4.5.4 Zona Kerentanan Tinggi

Zona kerentanan gerakan tanah tinggi memiliki luas 52.56 km2 atau sekitar

23% dari keseluruhan daerah penelitian. Secara umum zona ini menempati

beberapa desa di kecamatan Bungaya yaitu desa Sapaya, Jenebatu, Ranloe,

sebagian desa Tassese, bagian barat daya desa Bontomanai, dan sebagian desa

Mangempang, serta desa Manuju di kecamatan Manuju.

57
Secara umum litologi penyusun didominasi oleh satuan breksi vulkanik

(76%) dan satuan breksi basal (14%). Sama halnya denga zona kerentanan

menengah litologi yang mendominasi pada zona ini diketahui memiliki tingkat

pelapukan sedang dan tingkat kekerasan tinggi dengan kemiringan lereng antara

16-35o tetapi pada zona ini kemungkinan terjadinya longsor lebih tinggi dibanding

zona menengah hal ini disebabkan oleh tingkat curah hujan pada zona ini cukup

tinggi yaitu antara 2910 mm/tahun.

4.5.5 Zona Kerentanan Sangat Tinggi

Zona kerentanan gerakan tanah sangat tinggi memiliki luas 31.9 km2 atau

sekitar 14% dari keseluruhan daerah penelitian. Secara umum zona ini menempati

beberapa desa di kecamatan Bungaya yaitu desa Sapaya, Mangempang, Tassese

dan Ronloe.

Secara umum litologi penyusun didominasi oleh satuan breksi vulkanik

(69%) dan satuan tufa halus (26%). Berdasarkan urutan stratigrafinya litologi tufa

terbentuk secara bersamaan (interfingering) dengan breksi vulkanik sehingga

terjadi perselingan antara kedua litologi ini, Seperti kita ketahui bahwa litologi

tufa yang tersusun dari material abu vulkanik bersifat kedap terhadap air dan

menjadi licin pada saat hujan, sehingga lapisan ini dapat bertindak sebagai bidang

luncur terhadap batuan breksi dan tanah yang terbentuk di atasnya. Selain itu

terlihat juga pada zona ini didominasi dengan lereng yang curam (16-55o). Dengan

demikian cukup wajar jika pada satuan ini banyak terjadi proses longsor sehingga

membentuk zona kerentanan sangat tinggi selaint itu juga faktor pengontrol

kejadian longsor berupa curah hujan sangat mendorong banyka nya kejadian

58
longsor pada zona ini, hal ini terlihat dari intensitas curah hujan pada zona ini

tergolong sangat tinggi yaitu 2910 mm/tahun.

4.6 Validasi dan Verifikasi

Validasi dilakukan untuk menguji tingkat akurasi model dalam

memprediksi terjadinya longsor di daerah penelitian. Validasi peta zonasi gerakan

tanah dilakukan melalui pembuatan kurva ROC dengan melakukan plotting nilai

sensitifity (True positif rate) pada sumbu y dan nilai 1 – specifity (Negatif positif

rate) pada sumbu x. Setelah dilakuan plotting kurva ROC, selanjutnya dilakukan

perhitungan daerah dibawah kurva (Area Under Curve/AUC). Hasil perhitungan

diperoleh nilai 0.794 (gambar 4.17).

59
Gambar 4. 16 Hasil analisis menggunakan perangkat lunak SPSS A. Grafik ploting kurva
ROC, B. Nilai AUC pemodelan longsor

Berdasarkan klasifikasi akurasi nilai AUC yang diusulkan oleh Swets,

J.A., (1988), tingkat akurasi model yang dihasilkan termaksud dalam kategori

cukup baik. (tabel 4.7).

Sedangkan untuk memverivikasi model longsor yang telah dibuat maka

akan digunakan data kejadian longsor prediksi (30%) sehingga bisa dihasilkan

60
apakah pemodelan menggunakan metode ini layak digunakan atau tidak.

Berdasarkan ploting kurva ROC, maka dihasilkan nilai AUC prediksi longsor

sebesar 0.791, hasil ini memperlihatkan nilai yang hampir sama dengan nilai AUC

pemodelan longsor yang telah dibuat sebelumnya, ini menandakan bahwa

pemodelan longsor layak diterapkan pada daerah penelitian.

Gambar 4. 17 Nilai AUC prediksi longsor

Tabel 4. 7 Tingkat akurasi model prediksi longsor

No Nilai Tingkat
AUC Akurasi
1 0,5 – 0,6 Gagal
2 0,6 – 0,7 Kurang
3 0,7 – 0,8 Cukup
4 0,8 – 0,9 Baik
5 0.9 - 1 Sangat baik

61
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa pada daerah penelitian dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Kondisi geologi daerah penelitian, litologi penyusun daerah penelitian

terdiri dari batugamping, tufa halus, breksi vulkanik, lava basalt, breksi

basal, breksi andesit, tifa, intrusi basal, dan intrusi diorit. Struktur geologi

daerah penelitian berupa sesar geser.

2. Berdasarkan analisis frekunesi rasio (FR) kejadian longsor terhadap

pengaruh geologi terlihat bahwa litologi tufa halus memiliki pengaruh

yang sangat signifikan terhadap kejadian longsor hal ini terlihat dengan

nilai FR yang didapatkan yaitu 2.22, sedangkan untuk pengaruh jarak dari

struktur terlihat bahwa semakan dekat kejadian longsor dengan struktur

maka peluang kejadian longsor semakin tinggi.

3. Berdasarkan analisa frekuensi rasio (FR) kejadian longsor terhadap

pengaruh hidrologi terlihat bahwa jarak dari sungai terhadap kejadian

longsor sangat berpengaruh hal ini terlihat dari nilai FR yang sangat tinggi

ketika kejadian longsor lebih dekat dengan sungai, sedangkan untuk curah

hujan terlihat bahwa intesitas hujan yang tinggi memperlihatkan peluang

kejadian longsor sangat tinggi hal ini terlihat dari nilai FR pada curah

hujan 2910 mm/tahun 1.38 lebih tinggi dibandingkan curah hujan 1251

mm/tahun nilai FR nya 0.02

62
4. Berdasarkan analisa frekuensi rasio, terdapat lima zona kerentanan

gerakan tanah yaitu zona tingkat kerentanan sangat tinggi dengan luas

sekitar 31.99 km2, zona kerentanan tinggi dengan luas sekitar 52.56 km2,

zona kerentanan menengah dengan luas sekitar 57.13 km2, zona

kerentanan rendah dengan luas 52.56 km2 dan zona kerentanan sangat

rendah sekitar 34.28 km2 dari luas daerah penelitian.

5.2 Saran

Pada wilayah atau daerah dengan zona tingkat kerentanan longsor tinggi

dan sangat tinggi perlu dilakukan sosialisasi mitigasi bencana longsor. Selain itu,

perlu perencanaan tata wilayah yang tepat dengan mempertimbangkan kondisi

geologi dan tata guna lahan karena hal tersebut mempengaruhi terjadinya gerakan

tanah.

63
DAFTAR PUSTAKA

Devkota, K.C, Regmi, A.D, Pourghasemi H.R & Yoshida K., 2012. Landslide

Susceptibility Maping Using Certainly Factor, Index of Entropy and

Logistic Regression Models in GIS and Their Comperasion at

Mugling-Narayanghat Road Section in Nepal Himalaya. Springer

Science Busines Media B.V. 2012

Dwiprabowo H., Djaenuddin,D. Alviya,I & Wicaksono,D. (2014). Dinamika

Tutupan Lahan Pengaruh Faktor Sosial dan Ekonimi. PT Kanisius :

Yogyakarta

Faizana, F., A. L. Nugraha, dan B. D. Yuwono. 2015. Pemetaan Risiko Bencana

Tanah Longsor Kota Semarang. Jurnal Geodesi UNDIP Volume 4

Nomor 1 Tahun 2015 (ISSN: 2337-845X). Semarang: Universitas

Diponegoro.

Gorsevki P.V, Gessler P & Foltz R.B ,2.000. Spatial Prediction of Landslide

Hazard Using Discriminant Analysis and GIS. GIS in the Rockies 2000

Conference and Workshop Applications for the 21st Century. Denver,

Colorado. September 25-27, 2000.

Hosmer dan Lemeshow, 2000). Applied Logistic Regression, Second Edition,

John Wiley & Sons, Inc, New York: USA

Irwansyah, E. 2013. Sistem Informasi Geografis: Pr.insip Dasar dan

Pengembangan Aplikasi. Yogyakarta: Digibooks.

64
Karnawati, D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan

Upaya Penanggulangannya. ISBN 979-95811-3-3. Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada.

Karnawati, D. 2006. Mekanisme Gerakan Massa Batuan Akibat Gempabumi;

Tinjauan dan Analisis Geologi Teknik. Dinamika Teknik Sipil Volume

7 Nomor 2. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Lee, S. dan T. Sambath. 2006. Landslide susceptibility mapping in the Damrei

Romel area, Cambodia using frequency ratio and logistic regression

models. Environmental Geology 50 (6), 847–856. Berlin: Springer.

Lucian, 2012. Aspect Regarding The Signifiabce of The Curvature Types and

Values ini The Studies of Geomorphologtry Assited By GIS. Analele

Universitatii din Ordea, Seria Geografie. No. 2/2012 pp. 327-337

Park, S., et al. 2013. Landslide Susceptibility Mapping Using Frequency Ratio,

Analytic Hierarchy Process, Logistic Regression, and Artificial Neural

Network Methods at The Inje Area, Korea. Environ Earth Sci (2013)

68:1443–1464. Berlin: Researchgate.

Pourghasemi H.R, Pradhan B., Gocceougle C. & K. Deylami M., 2012. Landslide

Susceptibility Mapping Using a Spatial Multi Criteria Evaluation

Model at Haraz Watershed, Iran. Springer-Verlag Berlin Heidelberg;

Germany

65
Prawiradisastra, S. 2013. Identifikasi Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor

di Provinsi Lampung. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol.15

No. 1. Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Puntodewo, A., S. Dewi dan J. Tarigan. 2003. Sistem Informasi Geografis

untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bogor: CIFOR.

Riyanto, H.D, 2016. Rekayasa Vegetatif Untuk Mengurangi Risiko Longsor.

Balai Penelititan dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai: Surakarta

Soma dan Kubota, 2017. The performance Of Land Use Change Causative

Factor On Landslide Susceptibility Map In Upper Ujung-Loe

Watersheds South Sulawesi, Indonesia. Jurnal of Gematics and Planing:

Undip

Sulistyo, B. 2016. Peranan Sistem Informasi Geografis Dalam Mitigasi

Bencana Tanah Longsor. Seminar Nasional “Mitigasi Bencana Dalam

Perencanaan Pengembangan Wilayah”.

Susanti, P.D. dan M. Arina. 2016. Analisis Tingkat Kerawanan Dan Teknik

Mitigasi Longsor di Sub DAS Merawu. Prosiding Seminar Nasional

Geografi UMS 2016 Upaya Pengurangan Risiko Bencana Terkait

Perubahan Iklim. ISBN: 978-602-361-044-0. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Tejakusuma, I.G. 2013. Kadar Airtanah Pemicu Longsor Desa Girimekar

Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Jurnal Sains dan

66
Teknologi Indonesia Vol. 15, No. 1, April 2013 Hlm.34-41. Jakarta:

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Yazdadim E.A & Ghanavati, E ,2016. Landslide Hazard Zonation by using

AHP (Analytical Hierarchy Process) model in GIS (Geographic

Information System) Environment (Case study: Kordan Watershed).

Berlin: Researchgate

67

You might also like