You are on page 1of 9

Pengujian Jumlah Mikroba Pada Daging Ikan Lele Menggunakan Teknik

Standard Plate Count


Eduardus Edward L. (2101636785), Gabriella Kosastra (2101651981), Gabrielle Zhe
(2101631033), Santo Chiwoso (2101634155)

ABSTRACT
The results of the waters in Indonesia are quite large, because of the location of Indonesia
which is surrounded by various waters, both sea water and fresh water. Even Indonesia
has been recorded to have 1,200 species of freshwater fish. Catfish become a popular
food product because the meat is very easily processed to become a variety of dishes. The
problem is that catfish sold on the market have a number of poor quality. This can be
caused by a variety of things, one of which is due to microbial contamination and disease
owned by catfish. As a result catfish meat becomes bad for humans, although there are a
number of benefits from catfish meat. Therefore, testing of the quality of catfish meat is
needed. You do this through testing with standard plate count techniques. This technique
is a bacterial calculation technique with multilevel dilution or enumeration. This is so the
microbial results obtained are not too concentrated, so it is not difficult to do the
calculations. This technique also involves planting and isolating microbes in the sample
into PCA media through the spread and pour plate techniques. The experiments were
carried out with aseptic techniques, starting from making sample fluids, enumerating, to
doing spread plate and pour plate techniques. Through treatment according to the
procedure, it was found that the amount of microbes found in fresh catfish meat by pour
plate is 0-27.5 colony/petridis and spread plate is 0.5-6.5 colony/pertidis. While the
number of microbes found in frozen catfish meat by pour plate is 0.5-17 colony/petridis
and by spread plate is 1.5-12 colony/petridis. This number is included in the standard
which is worth 5 x 105 CFU / g.
Key words : Daging ikan lele, standard plate count, spread plate, pour plate, aseptic

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara maritim, negara yang dikelilingi oleh berbagai
kepulauan. Tidak heran bila Indonesia memiliki berbagai sumber daya laut. Bahkan
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki biodiversitas laut yang terbesar di dunia.
Namun Indonesia tidak hanya memiliki laut, namun juga memiliki berbagai daerah air
tawar. Bahkan hingga saat ini Indonesia telah memiliki 1200 jenis ikan air tawar
(Haryono, 2017 ).

Melihat keadaan tersebut, maka ikan menjadi hasil perairan yang utama di
Indonesia. Ikan sering kali dijual dalam keadaan segar ataupun dilakukan pengolahan

1
lebih lanjut untuk memenuhi permintaan pasar nasional maupun internasional. Ikan
merupakan sebuah produk pangan yang mudah rusak atau dapat dibilang perishable. Hal
tersebut dikarenakan ikan memiliki kandungan protein yang tinggi dan memiliki kadar
air yang cukup tinggi. Jika suatu bahan pangan memiliki kadar air yang cukup tinggi
maka akan mempercepat proses pembusukan karena mikroorganisme didalammnya juga
berkembangbiak dengan cepat. Maka untuk mencegah kerusakan pada ikan dan produk
ikan, jika ikan sudah ditangkap segera harus diolah agar mencegahnya berkembangnya
bakteri (Aulia, 2015).

Salah satu jenis ikan air tawar yang cukup popular di Indonesia adalah ikan lele.
Ikan lele memiliki ciri khas yaitu tubuh yang licin dan bentuk agak pipih memanjang dan
terdapat kumis didekat mulutnya. Karena sangat popular, berbagai jenis dan kualitas dari
ikan lele berkembang sangat pesat. Beberapa diantaranya adalah lele dumbo, lele asal
Taiwan yang ukuran tubuhnya lebih besar dari umumnya; lele sangkuriang, ikan lele hasil
perkawinan antara ikan lele dumbo jantan dan ikan lele betina; lele phyton, ikan lele khas
kabupaten pandeglang banten yang tahan cuaca dingin, gesit, dan dagingnya tidak lembek
serta gurih. Namun umumnya yang mudah ditemui adalah ikan lele lokal yang memiliki
nama latin Clarias Batrachus yang juga terdapat 3 jenis yaitu ikan lele putih, ikan lele
hitam, dan ikan lele belang. Masyarakat lebih umum mengkonsumsi ikan lele hitam,
sedangkan lele putih dan belang umumnya dijadikan ikan hias. Ikan lele menjadi popular
karena dagingnya tidak hanya mudah untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan,
namun ikan lele juga memiliki kandungan omega 3 dan omega 6 yang baik untuk
perkembangan otak. Serta kaya akan protein, vitamin B12 dan fosfor (Sitio, 2017).

Permasalahannya ikan lele merupakan salah satu ikan yang mudah mengalami
pembusukan karena habitat ikan lele adalah lingkungan air tawar yang lembab relative
kotor (Sitio, 2017). Tentunya ini menjadi salah satu masalah dalam dunia pengolahan
pangan. Karena tentunya ini dapat merugikan daya jual ikan lele dan juga jaminan akan
kesehatan dari konsumen. Apalagi daging ikan lele sudah banyak dijual secara bebas di
pasaran, baik secara segar maupun dalam bentuk daging ikan lele beku. Maka perlu
dilakukan pengujian terhadap daging ikan lele yang dijual di pasaran. Caranya
menggunakan teknik standard plate count, teknik menumbuhkan mikroba pada media
PCA (Aneja, Jain, & Aneja, 2018). Melalui cara ini kita mampu menentukan apakah
jumlah mikroba yang terdapat dalam daging ikan lele yang dijual secara pasaran telah
memenuhi standar yang berlaku atau jumlah tersebut telah melewati ambang batas.

METODE PENELITIAN
Langkah pertama sampel ikan yang digunakan ditimbang seberat 25 gram,setelah
itu sampel dihaluskan dengan menggunakan mortar. Saat sampel dihaluskan dengan
menggunakan mortar,ditambahkan 225 ml pepton water sedikit demi sedikit. Setelah itu
sampel yang telah bercampur dengan pepton water diambil sebanyak 1 ml dengan

2
menggunakan mikro pipet, dan kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi berisi air
yang diberi label 10-1. Kemudian sampel dengan pengencaran 10-2 diambil kembali
sebanyak 1 ml dan dipindahkan ke tabung reaksi selanjutnya yang diberi label 10-3. Proses
pengenceran ini dilanjutkan hingga pengenceran mencapai 10-8. Pada praktikum ini
dilakukan 2 metode penumbuhan mikroba, yaitu dengan menggunakan metode pour plate
dan spread plate. Pada metode pour plate sampel sebanyak 0,1 ml dimasukkan terlebih
dahulu ke dalam cawan petri, kemudian media PCA dituangkan kedalam cawan petri.
Pada pour plate, sampel yang digunakan adalah sampel dengan pengenceran 10-7 dan 10-
8
. Pada metode spread plate, media pca dituangkan terlebih dahulu kedalam cawan petri,
setelah media menjadi padat, sampel sebanyak 0,1 ml dimasukkan kedalam cawan petri
dan diratakan dengan batang gelas drigalski. Pada metode spread plate sampel yang
digunakan adalah sampel dengan pengenceran 10-6 dan 10-7. Cawan petri berisi sampel
mikroba kemudian dimasukkan kedalam inkubator untuk diinkubasi selama 48 jam pada
suhu 35 derajat celcius.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
SPREAD PLATE
Pengeceran 1 2 3 4 5 6
10-6 1 1 5 1 5 4 3 3 4 9 13 11
1 3 4.5 3 6.5 12
10-7 0 0 5 3 1 3 1 1 1 8 2 1
0 4 2 1 4.5 1.5
10-8 0 1 6 19 2 3 1 3 3 2 1 2
0.5 12.5 2.5 2 2.5 1.5

POUR PLATE

Pengeceran 1 2 3 4 5 6
10-6 0 0 17 17 5 2 2 4 29 26 6 8
0 17 3.5 3 27.5 7
10-7 1 3 4 2 1 1 4 2 1 3 7 4
2 3 1 3 2 5.5
10-8 2 0 1 7 2 0 0 5 2 1 1 0
1 4 1 2.5 1.5 0.5

Keterangan :
Cawan dengan nomor 1,3,5 adalah daging ikan lele segar.
Cawan dengan nomor 2,4,6 adalah daging ikan lele beku.

3
Pembahasan

Standard plate count adalah teknik menghitung total bakteri pada suatu sampel
dengan pengenceran bertingkat. Perhitungan dapat dilakukan dengan memilih data yang
ada. Biasanya semakin kecil konsentrasinya, akan semakin memudahkan dalam
melakukan perhitungan. Prinsip dari metode ini adalah jika sel mikroba masih hidup
ditumbuhkan pada medium agar maka sel tersebut akan berkembang biak dan membentuk
koloni yang dapat dilihat langsung tanpa menggunakan mikroskop. Dalam melakukan
perhitungan total bakteri dalam suatu sampel, diperlukan penanaman untuk isolasi bakteri
sampel pada cawan penguji. Terdapat 2 metode penanaman, yaitu metode tuang atau pour
plate dan metode sebar atau spread plate (Yunita, Hendrawan, & Yulianingsih, 2015 ).
Teknik pour plate merupakan teknik penanaman mikroba di dalam media agar
dengan cara mencampurkan sampel dengan media agar cair sehingga pertumbuhan
mikroba merata di permukaan dan di dalam agar. Sesuai dengan namanya, pengerjaan
teknik pour plate dilakukan dengan cara mencampurkan sampel yang diinginkan
sebanyak 1 ml bersama media dan tutup rapat (Yunita, Hendrawan, & Yulianingsih, 2015
). Jumlah yang digunakan hingga 1 ml karena teknik pour plate membutuhkan lebih
banyak sampel untuk mengisi ruang penyebaran yang lebih luas. Sedangkan spread plate
hanya perlu menyebarkan sampel pada bagian permukaan media. Kelebihan dari metode
ini adalah hasil yang didapatkan lebih merata, pengerjaan lebih cepat, dan tingkat
kontaminasi lebih rendah. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan oleh (Seniati,
2017), dengan penggunaaan sampel yang sama, hasil dari mikroba yang dilakukan
dengan metode tuang mampu menghasilkan pertumbuhan yang merata, permukaan halus,
dan memiliki pola yang jelas dibandingkan metode gores maupun metode sebar.
Disamping itu, waktu yang dikerjakan lebih singkat karena metode pour plate tidak perlu
menunggu media padat, karena media tercampur dengan sampel yang akan diuji.
Kekurangan dari metode ini adalah dibutuhkannya sampel yang lebih banyak, jumlah
mikroba lebih sedikit, dan perlu ketelitian tinggi dalam mengerjakannya. Menurut
(Seniati, 2017), teknik pour plate membutuhkan ketelitian tinggi karena dibutuhkan
teknik mengaduk media dan sampel hingga merata. Jika suhu media yang digunakan
masih panas, ada kemungkinan mikroba berkurang, karena mikroba mengalami kontak
langsung dengan panas (Seniati, 2017).

Teknik spread plate merupakan teknik penanaman mikroba di dalam media agar
dengan cara menuangkan sampel dia atas media padat. Sesuai dengan namanya,
pengerjaan teknik spread dilakukan dengan menyebarkan sampel sebanyak 0.1 ml dan
diratakan dengan batang dugral kemudian ditutup rapat. Berbeda dengan metode pour
plate, metode spread plate akan mengambil sampel stok lebih kecil dari pada yang
diujikan. Kelebihan dari metode ini adalah sampel yang dibutuhkan tidak terlalu banyak
dan kemungkinan jumlah mikroba yang didapatkan lebih banyak. Karena media sudah
padat terlebih dahulu, sehingga penyebaran cukup berada di permukaan media.
Disamping itu, media yang telah memadat dipastikan memiliki suhu yang normal.

4
Sehingga sebagian besar mikroba akan tetap hidup, meskipun ada kemungkinan
pertumbuhan dari koloni tidak merata. Kekurangan dari metode ini adalah hasil yang
didapatkan cenderung menyebar koloninya dan dibutuhkan persiapan khusus sebelum
dilakukan penanaman. Hal ini karena media yang telah memadat sering kali
mengeluarkan air yang mengganggu proses penyebaran. Maka media sering kali
dikeringkan terlebih dahulu dengan cara pengovenan dengan suhu 250C-500C selama 30-
60 menit. Pengeringan yang dilakukan juga perlu hati-hati. Karena terkadang media dapat
mengalami fenomena case hardening, kondisi dimana medium mengalami kehilangan
kelembapan yang berlebihan. Ini dapat mengakibatkan konsentrasi inhibitor pada media
selektif. Selain itu, pengeringan yang tidak tepat dapat meningkatkan resiko kontaminasi
(Pradhika, 2018).

Baik metode pour plate dan spread plate, keduanya dapat digunakan untuk
menguji hampir semua produk pangan. Seperti Jarvis (2008) mengatakan bahwa kedua
teknik ini, pour plate dan spread plate, tidak memiliki perbedaan hasil yang signifikan
untuk produk pangan sosis, daging sapi olahan, salad, dan krim (Pradhika, 2018). Namun
setiap metode memiliki spesifikasi masing-masing untuk beberapa produk pangan. Untuk
teknik pour plate, teknik penanaman ini banyak digunakan untuk penanaman isolasi
bakteri dan jamur yang terdapat pada air, susu, dan tanah (Aneja, Jain, & Aneja, 2018).
Namun sampel tersebut tetap harus diencerkan hingga konsentrasi mikroba tidak terlalu
besar. Sedangkan teknik spread plate lebih umum digunakan untuk pengujian bahan
pangan. Syarat utama dari teknik adalah sampel sudah dalam keadaan cair. Biasanya
jumlah mikroba yang dipindahkan sekitar 30-300 sel (Aneja, Jain, & Aneja, 2018). Selain
itu, spread plate umumnya terbatas pada pengamatan mikroba yang bersifat anaerob.
Karena letak pertumbuhannya berbatasan dengan ruang oksigen.

Dalam melakukan kedua metode penanaman tersebut, diperlukan kinerja dengan


mengikuti teknik aseptik. Teknik aseptik dikenal sebagai teknik tanpa mikroorganisme
(Aneja, Jain, & Aneja, 2018). Teknik ini mengacu pada praktek yang digunakan untuk
menghindari kontaminasi organisme patogen. Tujuan dari teknik aseptik yaitu untuk
melindungi pengguna dari kontaminasi oleh organisme patogen dan untuk melindungi
dari hal-hal yang berpotensi menular dari mikroorganisme tersebut. Sehingga lingkungan
yang berada dalam cawan penguji terhindar atau minim dari kontaminan (Aneja, Jain, &
Aneja, 2018). Teknik ini dapat diartikan bahwa semua pengerjaan yang dilakukan harus
berada di bawah lingkungan yang steril atau terbebas dari kontaminan. Sterilisasi yang
dapat dilakukan secara fisik, kimia, mekanik, dan biologi.

Secara fisik, umumnya metode sterilisasi dengan panas, meliputi penggunaan


panas lembab (autoklaf/ uap bertekanan dan uap langsung), dan penggunaan panas kering
(oven/ udara panas dan pembakaran) (Cahyani, 2009). Bila menggunakan pengovenan
biasanya menggunakan oven steril adalah suhu 170oC 1 jam, 160oC 2 jam, 150oC selama
2.5 jam, dan 140oC selama 3 jam (Cahyani, 2009). Biasanya sterilisasi menggunakan
panas merupakan teknik yang paling sering digunakan. Karena cara ini termasuk yang

5
paling praktis dan efesien, contohnya dengan suhu air panas maupun autoklaf (Cahyani,
2009). Secara kimia, dapat digunakan agen‐agen kimia, misalnya metil bromida, dan
formaldehida. Pemilihan antiseptik terutama tergantung pada kebutuhan daripada tujuan
tertentu serta efek yang dikehendaki. Namun yang sangat umum digunakan adalah cairan
alkhohol 90% (Cahyani, 2009). Sedangkan secara biologi sangat jarang digunakan karena
untuk pengobatan, salah satunya dengan antibiotika (Fitri, et al., 2014). Sterilisasi
mekanik adalah sterilisasi pada benda yang mampu mengalami perubahan akibat
pemanasan tinggi atau tekanan tinggi (Afrani, Hasanuddin, & Lisnawita, 2017). Pada
sterilisasi ini, mikroba tidak mati namun hanya dihilangkan atau dipisahkan dari produk.
Sterilisasi yang digunakan berupa sterilisasi membrane, UV, gamma, dan alfa (Afrani,
Hasanuddin, & Lisnawita, 2017).

Dalam percobaan ini, digunakan langkah penggerusan dengan mortar pestle


sebelum melakukan enumerasi. Mortar dan pestle merupakan sebuah alat yang digunakan
untuk menghancurkan suatu sampel seperti daun, biji, dan sampel lain dan memiliki
tujuan untuk mengisolasi suatu DNA, RNA, protein, bakteri dan lain-lain. Selain itu,
langkah ini digunakan untuk membuat partikel lebih kecil sehingga lebih mudah
teridentifikasi. Mortar itu sendiri merupakan bagian dari wadahnya dan pestle merupakan
alat tumbuknya. Lama penggerusan dari sampel bergantung dengan tekstur sampel serta
jenis dan kekuatan penggerusnya. Tujuan dari penumbukan sampel atau pembuatan
mortar pada percobaan ini adalah untuk mengetahui bakteri yang ada pada sampel ikan
lele dengan cara ditumbuk sehingga didapatkan. Selain itu sampel tidak dikeluarkan dari
plastik steril agar tidak terkontaminasi (Ariyanti, 2016).

Pada percobaan diatas metode pengenceran yang digunakan merupakan metode


enumerasi yaitu TPC atau total plate count dengan menggunakan teknik isolasi yaitu pour
plate dan spread plate. Dan menggunakan larutan pengencer pepton water sebanyak 225
ml dengan pH 7.00-7.40 sehingga dapat melarutkan daging ikan lele karena pepton water
bersifat melarutkan saat protein terkena air (Paturakham, 2016).

Enumerasi merupakan sebuah perhitungan jumlah mikroba per satuan berat atau
volume. Dalam enumerasi terdapat beberapa metode yaitu TPC atau Total Plate Count
yang dimana didalam TPC terdapat pour plate, spread plate, dan drop plate, selain itu
terdapat MPN atau Most probable Number dan Membrane filter. Keuntungan
menghitungan dengan TPC adalah dapat diteruskan dengan isolasi, murah dan dapat
menunjukan perbedaan jenis mikroba. Sedangkan keuntungan membrane filtration adalah
sensitive dan dapat dikerjakan dengan media selektif tertentu terhadap mikroba tertentu
(Paturakham, 2016).

Sedangkan isolasi adalah sebuah teknik untuk memindahkan atau memisahkan


mikroba tertentu dari suatu lingkungan yang mengakibatkan didapatkannya kultur murni
dan nantinya diindetifikasi berdasarkan kebutuhannya. Dalam isolasi itu sendiri terdapat
beberapa teknik seperti streak plate atau dengan goresan, pourplate dengan tuangan,
spread plate yaitu dnegan cara menyebar, dan dilution plate yaitu pengenceran. Dan kultur

6
murni itu sendiri merupakan suatu kultur yang sel-sel mikrobanya berasal dari suatu
pembelahan sel tunggal. Dalam suatu teknik isolasi diperlukan teknik aseptic agar kultur
murni tidak terkontaminasi dan dapat berhasil di biakan (Paturakham, 2016)

Pepton merupakan hidrolisat protein yang dapat larut saat terkena air dan tidak
menggumpal jika dipanaskhan. Pepton juga dapat dikatakan sebagai sumber nitrogen
utama dalam suatu media komersial untuk suatu pertumbuhan mikroba yang terdiri dari
suatu campuran yang ada kandungan protein dimana melalui reaksi hidrolisis asam atau
enzimatis seperti polipeptida, dipeptide, dan asam amino. Alkaline pepton water
merupakan media penyubur yang digunakan dalam menumbuhkan bakteri seperti
Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella Typhimuriu. Pepton water juga
berfungsi untuk melarutkan dikarenakan larutan ini merupakan hidrolisat protein.
(Saputra, 2013).

Media PCA (Plate Count Agar) digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba
pada ikan salmon, karena metode penelitian yang digunakan pada praktikum ini adalah
SPC (Standard Plate Count), yaitu metode menghitung jumlah koloni bakteri pada sampel
yang diuji. Media PCA digunakan karena semua mikroba dapat tumbuh pada media PCA
(Wati, 2018).

Mikroba diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 derajat celcius,karena setelah 48


jam mikroba akan tumbuh maksimal dan (bahas fase mikroba) sehingga waktu 48 jam ini
merupakan waktu yang tepat untuk menghitung koloni mikroba yang terbentuk. Suhu 35
derajat celcius digunakan karena suhu 35 derajat celcius merupakan suhu optimum
pertumbuhan mikroba (Respati, 2017).

Menurut standar SNI, cemaran mikroba pada ikan segar adalah 5 x 10 5 koloni/g
untuk mikroba ALT (30 ,72 jam), < 3 CFU/g untuk APM Escherichia Coli, negative 25
CFU/g untuk Salmonella sp., negative 25 CFU/g untuk mikroba Vibrio cholerae, negative
25 CFU/g untuk mikroba negative 25 CFU/g. Diberi Batasan mikroba dengan tujuan
untuk menjaga kualitas dari produk pangan tersebut, sehingga kualitas produk pangan
yang beredar di pasaran dapat terkontrol dan tidak merugikan kesehatan konsumen.
Menurut SNI batas maksimal SPC mikroba ikan lele adalah 1 x 105 Koloni/g (BSN,
2009).

Kualitas daging ikan lele terkadang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tidak
hanya permasalahan habitat dan teknik pengolahan serta tingkat higenitas selama
pengolahan, Salah satu faktor penting lainnya adalah kesehatan dari ikan lele tersebut
sebelum dipanen. Ikan maupun berbagai jenis hewan lainnya dapat mengalami berbagai
penyakit. Ikan lele mudah terserang penyakit akibat infeksi bakteri Aeromonas
hydrophila. Bakteri A. hydrophila dapat menyebabkan penyakit motile aeromonad
septicaemia (MAS), hemorrhagic septicaemia, ulcer disease atau red-sore disease (Rey,
Verjan, Ferguson, & Iregul, 2009).

7
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, jumlah mikroba yang terdapat
dalam daging ikan lele segar tergolong rendah hingga tidak dapat dihitung, yaitu 0-27.5
koloni per cawan. Sedangkan pada daging ikan beku, jumlahnya juga cukup rendah
hingga tidak dapat dihitung, yaitu 1.5-17 koloni per cawan. Jumlah ini masih dalam
ambang batas normal yaitu 5 x 105 CFU/g (Barodah, Sumardianto, & Susanto, 2017).
Selama percobaan berlangsung, koloni yang teramati secara garis besar memiliki tipe
yang cembung, halus, dan bulat.

KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa jumlah
mikroba yang terdapat dalam daging ikan lele segar hanya kisaran 0-27.5 koloni per
cawan dan daging ikan lele beku adalah 1.5-17 koloni per cawannya.

DAFTAR PUSTAKA
Afrani, A., Hasanuddin, & Lisnawita. (2017). Pengaruh Metode Sterilisasi dan
Konsentrasi Filtrat Bakteri Endofit Tanaman Tebu untuk Mengendalikan
Penyakit Blendok (Xanthomonas albilineans (Ashby) Savulescu 1947). Jurnal
Pertanian Topik , 4(1) : 22.

Aneja, K. R., Jain, P., & Aneja, R. (2018). A Textbook of Basic and Applied Micribiology
. New Delhi: New Age International Publisher .

Ariyanti, V. N. (2016). Hubungan Kerapatan Lamun Dengan Kelimpahan Bakteri


Heterotof Di Perairan Pantai Kartini Kabupaten Jepara. Diponegoro Journal Of
Maquares, 5(4) : 142-149.

Aulia, R. (2015). Isolasi, Identifikasi, dan Enumerasi Bakteri Salmonella spp. Pada Hasil
Perikanan Serta Resistensinya Terhadap Antibiotik. Jurnal BIOMA , 11(1) : 15-
16.

Barodah, L. L., Sumardianto, & Susanto, E. (2017). Efektifitas Serbuk Sagarssum


polycystum Sebagai Antibakteri Pada Ikan Lele (Clarias sp.) Selama
Penyimpanan Dingin . J.Peng. & Biotek. Hasil Pi. , 6(1) : 13.

BSN. (2009). Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional .

Cahyani, V. R. (2009). Pengaruh Beberapa Metode Sterilisasi Tanah Terhadap Status


Hara, Populasi Mikrobiota, Potensi Infeksi Mikorisa dan Pertumbuhan Tanaman.
Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi, 43-45.

8
Fitri, A., Wiranto, A., Karina, Hawaidah, N., Lestari, D. E., Nurhidayati, A., & Jut, I.
(2014). Peralatan, Sterilisasi dan Media Pertumbuhan Mikroba. Jurnal Praktikum
Mikrobiologi Dasar, 2-6.

Haryono. (2017 ). Fauna Ikan Air Tawar di Perairan Kawasan Gunung Sawal, Jawa Barat,
Indonesia . Berita Biologi , 16(2) : 147.

Paturakham, N. (2016). Isolasi Bakteri Parasit Pada Ikan Lele (Clarias gariepinus).
Institut Pertanian Bogor, 1-5.
Pradhika, I. (2018). Teori dan Praktik Perhitungan Mikroorganisme. Lembang : Graha
Imu.

Respati, N. Y. (2017). Optimasi Suhu dan PH Media Pertumbuhan Bakteri Pelarut Fosfat
dari Isolat Bakteri Termofilik. Jurnal Prodi Biologi, 6(7) : 427-429.

Rey, A., Verjan, N., Ferguson, H., & Iregul, C. (2009). Pathogenesis of Aeromonas
hydrophila strain KJ99 infection and its extracellular products in two species of
fish. Veterinary Record , 164 : 493–499.

Saputra, D. (2013). Produksi Dan Aplikasi Pepton Ikan Selar Untuk Media Pertumbuhan
Bakteri. JPHPI, 16(3) : 215-223.

Seniati, M. N. (2017). Kajian Uji Konfrontasi terhadap Bakteri Pathogen dengan


Menggunakan Metode Sebar, Metode Tuang, dan Metode Gores . Jurnal Galung
Tropika , 6(1) : 43-47.

Sitio, M. H. (2017). Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan Benih Ikan Lele (Clarias
sp.) Pada Salinta Media Yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 5(1)
: 83-96.

Wati, R. Y. (2018). Pengaruh Pemanasan Media Plate Count Agar (PCA) Berulang
Terhadap Uji Total Plate Count (TPC) di Laboratorium Mikrobiologi Teknologi
Hasil Pertanian Unand. Jurnal Teknologi dan Manajemen Pengelolaan
Laboratorium , 1(2) : 44-47.

Yunita, M., Hendrawan, Y., & Yulianingsih, R. (2015). Analisis Kuantitatif Mikrobiologi
pada Makanan Penerbangan (Aerofood ACS) Garuda Indonesia Bedasarkan TPC
(Total Plate Count) dengan Metode Pour Plate . Jurnal Keteknikan Pertanian
Tropis dan Biosistem , 3(3) : 238-241.

You might also like